Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH ARSITEKTUR TIMUR

ARSITEKTUR TRADISIONAL PADANG DAN


PALEMBANG

DISUSUN OLEH
NAMA : SONIA OSIN
NIM : 142018013
DOSEN : RENY KAERTIKA SARY, ST.MT

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanyalah milik Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Kepada-Nya kita memuji
dan bersyukur, memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya pula kita
memohon perlindungan dari keburukan diri dan syaiton yang selalu
menghembuskan kebatilan. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh Subhanahu
wa Ta’ala, maka tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barangsiapa
disesatkan oleh-Nya maka tak seorang pun dapat member petunjuk kepadanya.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu‘alaihiwasallam, keluarga, sahabat, juga pada orang-orang yang
senantiasa mengikuti sunnah-sunnahnya. Dengan rahmat dan pertolongan-Nya
Alhamdulillah makalah yang berjudul PendidikanIslam di Amerika Serikat ini dapat
diselesaikan dengan baik. Banyak sekali kekurangan kami sebagai penyusun
makalah ini, baik menyangkut isi atau yang lainnya. Mudah-mudahan semua itu
dapat menjadikan cambuk bagi kami agar lebih meningkatkan kualitas makalah ini di
masa yang akan datang.
ARSITEKTUR TRADISIONAL PADANG

Rumah Gadang, Rumah Tradisional Minangkabau

Rumah Gadang atau rumah Godang adalah nama untuk rumah adat tradisional
Minangkabau yang banyak dijumpai di provinsi Sumatera Barat. Rumah ini juga
disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama rumah
Bagonjong atau Rumah Baanjuang.

Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama mempunyai ketentuan-


ketentuan tersendiri. Contohnya saja seperti jumlah kamar yang bergantung
pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya.Rumah Gadang biasanya
dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dari suku atau kelompok
tertentu secara turun menurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada
perempuan kelompok tersebut.
Rumah Gadang, di samping sebagai tempat tinggal, juga dapat berfungsi
sebagai tempat musyawarah keluarga, tempat mengadakan upacara-upacara,
pewarisan nilai-nilai adat, dan merupakan representasi dari budaya matrilineal.
Rumah Gadang sangat dimuliakan dan bahkan dipandang sebagai tempat suci
oleh masyarakat Minangkabau. Status rumah Gadang yang begitu tinggi ini juga
melahirkan berbagai macam tata krama. Setiap orang yang ingin naik ke rumah
Gadang harus terlebih dahulu mencuci kakinya.

Bentuk rumah Gadang sendiri dapat diibaratkan seperti bentuk kapal. Kecil di
bawah dan besar di atas. Bentuk atapnya mempunyai lengkung ke atas, kurang
lebih setengah lingkaran, dan berasal dari daun Rumbio (nipah). Bentuknya
menyerupai tanduk kerbau dengan jumlah lengkung empat atau enam, dengan
satu lengkungan ke arah depan rumah.

Setiap elemen dari rumah Gadang memiliki makna simbolis tersendiri. Unsur-
unsur dari rumah Gadang meliputi:

-Gonjong, struktur atap yang seperti tanduk

-Singkok, dinding segitiga yang terletak di bawah ujung gonjong

-pereng,rak di bawah singkok

-anjung,lantai yang mengambang

-dinding ari,dinding pada bagian samping

-dinding ari,dinding pada bagian depan dan belakang

-Papan banyak

-fasad depan,papan sakapiang,rak di pinggiran rumah, salangko,dinding di ruang


bawah

Bentuk gonjong yang runcing diibaratkan seperti harapan untuk mencaoai Tuhan
dan dinding.yang secara tradisional terbuat dari potongan anyaman bambu,
melambangkan kekuatan dan utilitas dari masyarakat minagkabau yang terbentuk
ketika tiap individu menjadi bagian masyarakat yang lebih besar dan tidak berdiri
sendiri.

Ada pula yang mengatakan bahwa atap gonjong merupakan simbol dari tanduk
kerbau, simbol dari pucuk rebung, simbol kapal, dan simbol dari bukit. Kerbau
karena kerbau dinilai sebagai hewan yang sangat erat kaitannya dengan nama
Minangkabau. Pucuk rebung karena rebung merupakan bahan makanan adat.
Kapal karena orang Minangkabau dianggap berasal dari rombongan Iskandar
Zulkarnaen yang berlayar. Bukit karena daerah Minangkabau yang berbukit.

Pilar rumah Gadang yang ideal disusun dalam lima baris yang berjajar
sepanjang rumah. Baris ini membagi bagian interior menjadi empat ruang
panjang yang disebut Lanjar. Lanjar di belakang rumah dibagi menjadi kamar
tidur (Ruang).

Menurut adat, sebuah rumah Gadang harus memiliki minimal lima Ruang, dan
jumlah ideal adalah sembilan. Lanjar lain digunakan sebagai area umum yang
disebut labuah gajah (jalan gajah) yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari
dan acara seremonial.

Rumah Gadang juga memiliki beberapa lumbung padi (Rangkiang), dengan


masing-masing memiliki nama dan fungsi yang berbeda. Rangkiang Sitinjau
Lauik berisi beras untuk upacara adat. Rangkiang Sitangka Lapa berisi beras
untuk sumbangan ke desa miskin dan desa yang kelaparan. Rangkiang Sibayau-
bayau berisi beras untuk kebutuhan sehari-hari keluarga. Di halaman depan
rumah Gadang terdapat pula ruang Anjuang, tempat pengantin bersanding atau
tempat penobatan kepala adat. Maka, rumah Gadang juga dinamakan sebagai
rumah Baanjuang.
Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua
bagian, muka dan belakang. Pada bagian depan dinding rumah Gadang dibuat
dari bahan papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan
dinding dipasang vertikal dan semua papan yang menjadi dinding atau menjadi
bingkai diberi ukiran sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran.
Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada
dinding rumah Gadang.

Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam, “alam
takambang jadi guru”, ukiran-ukiran pada rumah Gadang juga merupakan
simbolisasi dari alam.

Pada dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan ragam hias dalam
bentuk garis melingkar atau persegi. Biasanya bermotif tumbuhan merambat,
akar yang berdaun, berbunga dan berbuah.

Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan


dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke
dalam, ke atas dan ke bawah. Motif lain yang dijumpai adalah motif geometri
segi tiga, empat dan genjang. Motif daun, bunga atau buah dapat juga diukir
tersendiri atau secara berjajaran.

Nenek moyang orang Minang ternyata berpikiran jauh maju melampaui


zamannya dalam membangun rumah. Konstruksi rumah gadang ternyata telah
dirancang untuk menahan gempuran gempa bumi. Rumah gadang di Sumatera
Barat membuktikan ketangguhan rekayasa konstruksi yang memiliki daya lentur
dan soliditas saat terjadi guncangan gempa hingga berkekuatan di atas 8 skala
Richter. Bentuk rumah Gadang membuat rumah Gadang tetap stabil menerima
guncangan dari bumi. Getaran yang datang dari tanah terhadap bangunan
terdistribusi ke semua bangunan.
Rumah gadang tidak menggunakan paku sebagai pengikat, tetapi berupa pasak
sebagai sambungan. Hal ini membuat bangunan memiliki sifat sangat lentur.
Selain itu, kaki atau tiang bangunan bagian bawah tidak pernah menyentuh bumi
atau tanah.

Tapak tiang dialasi dengan batu sandi. Batu ini berfungsi sebagai peredam
getaran gelombang dari tanah sehingga tidak mempengaruhi bangunan di
atasnya.

Jika ada getaran gempa bumi, rumah Gadang hanya akan berayun atau
bergoyang mengikuti gelombang yang ditimbulkan getaran tersebut.
Darmansyah, seorang ahli konstruksi di Sumatera Barat menyebutkan, dari sisi
ilmu konstruksi bangunan rumah gadang jauh lebih maju setidaknya 300 tahun
dibanding konstruksi yang ada di dunia pada zamannya.

ARSITEKTUR TRADISIONAL PALEMBNG

RUMAH LIMAS

Berdasarkan catatan sejarah kota Palembang yang berada di wilayah Sumatera


Selatan dahulu merupakan pusat kerajaan Sriwijaya. Hal ini diperkuat oleh adanya
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di daerah Bukit Siguntang, sebelah barat
kota Palembang.
Kata Palembang berasal dari kata Limbang yang berarti mencuci air sungai yang
berlumpur untuk mendapatkan emas ditambah dengan awalan pa berarti menunjuk
suatu tempat.

Namun, ada versi lain yang menyebutkan bahwa kata Palembang berasal dari kata
Lembang yang berarti genangan air dengan awalan pa berarti menunjuk suatu
tempat. Dengan demikian kata Palembang dapat diartikan sebagai suatu tempat
yang selalu tergenang air.Pada saat ini yang disebut orang Palembang bukan lagi
“Penduduk asli” melainkan keturunan hasil asimilasi pendatang dengan latar
belakang etnik yang beragam. Orang Palembang asli sendiri serint disebut sebagai
Melayu Palembang mereka sendiri menyebut dirinya sebagai wong Palembang.Mata
pencaharian utama sebagian besar masyarakat kota ini adalah menangkap
ikan,membuat perahu dan nambangi yaitu mendayung perahu tambangan untuk
penumpang yang akan menyeberangi sungai. Disamping itu kaum wanita dan anak-
anak juga bekerja membuat rokok godong (dari daun nipah), kerupuk kemplang, dan
mpek-mpek yang terbuat dari ikan tenggiri.Mayoritas wong Palembang beragama
Islam dan sebagian kecil Protestan, Katholik dan Budha. Mereka memiliki kerajinan
khas, seperti nyaman rotan, ukitan emas dan tenunan kain yang menghasilkan
berbagai kain songket dengan motif hiasan yang beraneka ragam, seperti songket
Lepus, janda berhias, bunga intan tretes midar, kembang siku hijau dan sebagainya.

Bentuk Rumah

Masyarakat Palembang mengenal tiga bentuk bangunan tempat tinggal seperti


rumah Limas, rumah cara gudang, dan rumah rakit.Rumah Limas adalah rumah
panggung dengan atap berbentuk limas dengan tiang penyangga terbuat dari kayu.
Bentuk umum rumah Limas adalah limasan gajah njerum. Bangunan rumah Limas
berbentuk empat persegi panjang dengan lantai berundak atau kekijing. Jumlah
kekijing 2-4 buah dan tinggi tiang rumah antara 1,5 meter sampai dengan 2 meter.
Pada umumnya rumah Limas dibangun di daerah basah dengan tiang berukuran
panjang yang ditancapkan dalam-dalam ke tanah.

Rumah Adat Palembang

Bentuk bangunan tempat tinggal yang kedua adalah rumah cara gudang. Rumah ini
juga memiliki atap berbentuk limas (limasan bapangan) dengan bentuk bangunan
empat persegi panjang, dan dibangun di atas tiang-tiang setinggi 2 meter. Disebut
sebagai rumah cara gudang karena rumah ini bentuknya panjang seperti gudang
penyimpanan barang-barang. Ada tiga bagian ruang dalam rumah cara gudang,
yaitu ruang depan termasuk tangga (2 buah tangga yang terdapat di kiri kanan
garang), dan beranda,
ruang tengah dan ruang belakang.Rumah tradisional yang ketiga adalah rumah rakit.
Kenapa disebut rumah rakit? Karena rumah ini dibangun dengan tetap terapung di
atas sebuah rakit yang terdiri dari sekumpulan balok-balok kayu atau bambu-bambu
yang dirangkai menjadi satu. Setiap sudut rumah dipasang tiang agar bangunan
tidak bergeser dan diikat dengan tali rotan yang dipasang pada tonggak yang kuat
dan kokoh di tebing sungai.Rumah rakit ini berbentuk persegi panjang dengan
selisih antara panjang dan lebarnya sedikit, sedangkan atapnya mirip dengan bentuk
atap rumah Kampung Apitan di Jawa yang terdiri dari atap kajang atau atap cara
gudang.

Susunan Ruangan

Rumah Limas terdiri atas tiga bagian yaitu ruang depan, ruang tengah, dan ruang
belakang. Ruang depan atau beranda disebut garang. Rumah ini memiliki dua buah
tangga dengan jumlah anak tangga ganjil, yang diletakkan di kiri-kanan garang.
Kadang-kadang ada bangunan tambahan yang disebut jogan berbentuk persegi
panjang atau huruf L.Pada umumnya jogan berfungsi sebagai tempat beristirahat
pada sore atau pun malam hari, namun kadang-kadang juga dimanfaatkan oleh
anak-anak untuk menonton kesenian pada saat ada perhelatan.Ruangan berikutnya
adalah ruang tengah. Ruang tengah terdiri dari empat atau beberapa kekijing yang
dilengkapi dengan dua buah jendela pada kiri kanannya. Antara kekejing pertama
dengan kedua diberi sekat atau kiyam. Lemari dinding dan amben diletakkan pada
kekijing terakhir.Lemari dinding dibuat tinggi sampai ke loteng, di bagian bawah
lemari dinding setebal 69 cm dibuat ruangan tertutup seperti kotak yang fungsinya
untuk menyimpan perabot rumah tangga seperti piring/mangkuk. Di atas kotak
tersebut diberi kaca setebal 80 cm untuk memajang barang rumah tangga yang
terbuat dari porselen.Bila sewaktu-waktu diadakan upacara, kekijing pertama
ditempati kaum kerabat dan para undangan yang berusia muda, kekijing kedua
ditempati oleh undangan setengah baya sedangkan kekijing ketiga dan keempat
ditempati oleh undangan yang telah berusia tua atau orang yang dihormati. Namun,
dalam keadaan biasa, ruangan tengah ini juga berfungsi sebagai ruang serba guna.
Biasanya kekijing terakhir dipergunakan oleh kepala keluarga dan bila mereka
mempunyai anak perempuan dewasa. Kamar tersebut dipakai oleh mereka
sehingga kamar ini sering disebut kamar gadis.Ruang belakang rumah limas ini
adalah dapur.
Dapur sengaja dibuat lebih rendah ± 30-40 cm dari ruang tengah, dengan lebar yang
sama dengan rumah. Ada dua bangunan dapur, pertama termasuk bagian dari
rumah Limas dan kedua dibuat bangunan tersendiri dengan sebuah tangga yang
dipergunakan untuk naik ke dapur. Di bagian dapur ini dengan tanah yang
dipadatkan kemudian di atasnya diberi batu sebagai tungku untuk memasak.
Ruangan di bawah kotak berkaki digunakan sebagai tempat menyimpan kayu ,
sedangkan di atasnya dibuat pago dengan panjang dan lebar sama dengan meja
dapur. Pago ini dilapisi oleh alas atau galar yang terbuat dari bambu atau papan
yang dipergunakan sebagai tempat pengeringan atau penyimpanan.Susunan
ruangan rumah cara gudang sama seperti rumah Limas yang terdiri atas tiga bagian,
yaitu ruang depan yang terdiri dari tangga, garang dan beranda, kemudian ruang
tengah, ruang belakang dan ruang dalam sebagai ruang serba guna. Ruang depan
atau garang dalam rumah cara gudang ini juga berfungsi sebagai tempat untuk
istirahat. Selain itu , bila ada perhelatan garang berfungsi sebagai tempat untuk
mengadakan upacara/kesenian. Sedangkan ruang ulama pada rumah cara gudang
terletak pada ruang tengah, sehingga tamu atau undangan terhormat ditempatkan di
ruangan ini.Ruang belakang terdiri dari sebuah kamar, dapur dan ruang dalam.
Sebelum anak perempuan dewasa, ruangan ini ditempati oleh kepala keluarga,
namun bila anak perempuan sudah dewasa kamar itu ditempati oleh anak gadis
tersebut.

Kampung wisata merupakan salah satu produk wisata yang menawarkan konsep
sustainable and inclusive tourism dalam konteks budaya secara kompleks tidak
hanya atraksi budaya yang bersifat tangibel atau kongkret tapi juga intangibel atau
abstrak, juga yang bersifat living culture (budaya yang masih berlanjut) dan cultural
heritage (warisan budaya masa lalu) seperti definisi yang dinyatakan oleh Nuryanti
(2003) desa/kampung wisata adalah syatu bentuk integrasi antara atraksi,
akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan
masyarakat yang menyatu dengan tata cara tradisi yang berlaku. Bercermin kepada
pola konsumsi wisatan yang mulai berorientasi kepada interaksi budaya, masyarakat
dan alam sekitarnya. Efektifitas dan wujud interaksi yang maksimal dapat di
realisasikan melalui keunikan suatu kawasan (sudana, 2013).Kawasan dengan nilai
keunikan yang tertuang dalam suatu bentuk kebiasaan, aktivitas sehari-hari, ritual
serta pola hidup yang harmonis dengan alam, serta berlandaskan semangat
meningkatkan taraf hidup masyarakat sekaligus memfasilitasi keinginan wisatawan
akan pengalaman baru, maka konsep kampung wisata menyatukan semua elemen
tersebut.Kampung Kapiten, perkampungan etnis toinghua merupakan salah satu
kawasan cagar budaya di Kota Palembang.
Lokasi kawasan yang strategis tepat berseberangan dengan ikon pariwisata kota
Palembang yaitu Benteng Kuto Besak menandakan keberadaan kawasan ini tidak
dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah kota Palembang. Asal nama Kapiten atau
kapitan merupakan asal usul terbentuknya kampung kapiten 7 Ulu. Kapitan adalah
panggilan bagi Tjoah Ham Hin yang merupakan pengawas pajak di jaman
penjajahan Belanda. Dahulu kampung ini memiliki luas +20 hektar, namun saaat ini
hanya tinggal 1 hektar saja, sejarah yang turun temurun kampung ini merupakan
awal mula masuknya masyarakat tionghua di Palembang. Zaman kolonial Belanda,
warga tionghoa berperan sangat penting dalam memainkan roda perekonomian
Kota Palembang yang perpusat di sepanjang tepian sungai Musi tepatnya disekitar
kawasan pasar 16 Ilir.Kampung Kapiten memiliki 5 bangunan yang sudah terdaftar
sebagai bangunan cagar budaya versi Badan Akeologi Nasional. Hanya saja pada
tingkatan pemerintah daerah belum ada peraturan daerah yang mengatur mengenai
pemanfaatan dan pengelolaan tinggalan budaya kawasan tersebut. Belum adanya
tata cara pengaturan menyebabnya banyaknya permasa-lahan lingkungan yang
terjadi di kawasan tersebut antara lain: penurunan kualitas objek tinggalan sejarah
berupa bangunan, penurunan kualitas lingkungan terlihat, pertumbuhan kawa-san
yang tidak mempertimbangkan aspek-asppek konservasi potensi kawasan, seperti
banyaknya bangunan disekitar kawasan yang keberadaannya mengganggu
keberadaan potensi historis kawasan, serta tumbuhnya permukiman padat
masyarakat yang tidak memperhaikan aspek keamanan dan kenyamanan seperti
yang dinyatakan oleh Listen prima (2006) dalam penelitiannya berjudul The Absence
of Regional Regulatin as a Catastropes of Cultural HeritageTourism : Case Study of
Kampung Kapitan Palembang.Potensi Arsitektur dan tata ruang Kampung Kapiten
merupakan daya tarik yang sangat tinggi dimata masyarakat. Arsitektur dan tata
ruang merupakan fakta daripada eksisitensi suatu budaya serta nilai-nilai yang
dinjunjung tinggi masyarakat sekitarnya yang meruakan suatu bukti nyata
berkembangnya suatu budaya di dalam masyarakat.Pengembangan kampung
Kapiten sebagai kampong wisata budaya merupakan salah satu solusi bagi
pelestarian nilai kesejarahan kawa-san sekaligus menumbuhkan atmosfer kepari-
wisataan di lingkungan masyarakat, untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap
komponen arsitektur dan tata ruang Kampung Kapiten sebagai landasan
pembetukan Kampung wisata budaya.
Elemen kondisi fisik kawasan menunjukkan skoring 2 yang berarti kondisi kawasan
termasuk dalam kategori menengah, berada pada posisi dimana kondisi fisik masih
bias berdiri tetapi sudah mulai mengalami degradasi dan kehancuran di beberapa
elemennya.Dari aspek pemanfaatan bangunan, rumah kapiten sebagai bangunan
utama di kampung Kapiten,
hingga saat ini masih didiami oleh penerusnya dan fungsinya hanya sebagai tem-pat
tinggal, belum ada kegiatan kepariwi-sataan yang dikembangkan disana. sehingga
pembobotan menjukkan point 1 berarti peman-faatan bangunan belum maksimal
sebagai objek wisata budaya.Beberapa bangunan di kawasan menunjukkan
kekentalan kelokalan yang sangat signifikan terlihat dari bentukan masa dan
ornament yang mengadopsi bentuk rumah limas-rumah tradesonal Palembang yang
memang diperuntukan bagi para bangsawan Palembang. Tipologi tampak rumah
Kapitan adalah tipologi tampak rumah Limas. namun pada denah dan tata ruang
dalam masih mengadopsi tipologi rumah masyarakat Cina dengan Courtyard pada
abgian tengah rumah, yang berguna bagi penghawaan dan masuknya cahaya
(Adiyanto, 2006.

Anda mungkin juga menyukai