Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH ARSITEKTUR TIMUR

PENGARUH AGAMA ISLAM KEPADA BENTUK


ARSITEKTUR

DISUSUN OLEH
NAMA : SONIA OSIN
NIM : 142018013
DOSEN : RENY KARTIKA SARY, ST.MT

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak
kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang terlampir
sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses
akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran
bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu
kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan
Hindu dan Budha hilang. Ajaran Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar abad
Penyebaran awal Islam di Nusantara dilakukan pedagang-pedagang Arab, Cina,
India dan Parsi. Setelah itu, proses penyebaran Islam dilakukan oleh kerajaan-
kerajaan Islam Nusantara melalui perkawinan, perdagangan dan peperangan.

Banyak masjid yang diagungkan di Indonesia tetap mempertahankan bentuk


asalnya yang menyerupai (misalnya) candi Hindu/Buddha bahkan pagoda Asia
Timur, atau juga menggunakan konstruksi dan ornamentasi bangunan khas daerah
tempat masjid berada. Pada perkembangan selanjutnya arsitektur mesjid lebih
banyak mengadopsi bentuk dari Timur Tengah, seperti atap kubah bawang dan
ornamen, yang diperkenalkan Pemerintah Hindia Belanda.

Kalau dilihat dari masa pembangunannya, masjid sangat dipengaruhi pada budaya
yang masuk pada daerah itu. Masjid dulu, khususnya di daerah pulau Jawa, memiliki
bentuk yang hampir sama dengan candi Hindu – Budha. Hal ini karena terjadi
akulturasi budaya antara budaya setempat dengan budaya luar.

Antar daerah satu dengan yang lain biasanya juga terdapat perbedaan bentuk. Hal
ini juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan budaya setempat.

Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat
kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia. Wujud
akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam,
istana. Untuk lebih jelasnya silakan Anda simak gambar berikut:

Masjid Aceh merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia.

Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar memiliki ciri
sebagai berikut:

1. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas


semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya
ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi
tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.
2. Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada
di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan
kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat.
Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
3. Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau
bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat
dengan makam.

Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat
pada bangunan makam. Untuk itu silahkan Anda simak gambar 2 makam Sendang
Duwur berikut ini:

Makam Sendang Duwur (Tuban)

Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:

1. makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang


keramat.
2. makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,
nisannya juga terbuat dari batu.
3. di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup
atau kubba.
4. dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam
dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut
ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang
berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
5. di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan
biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya
masjid makam Sendang Duwur seperti yang tampak pada gambar 2 tersebut.
MASJID AGUNG DEMAK

Tampak depan Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak adalah sebuah mesjid tertua di Indonesia. Masjid ini terletak di
desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat
berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut juga Walisongo,
untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan
Indonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu
raja pertama dari Kesultanan Demak.

Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk


memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Bangunan serambi merupakan
bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang
disebut Saka Majapahit.

Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja
Kesultanan Demak dan para abdinya. Di sana jugaterdapat sebuah museum, yang
berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung Demak.

MASJID MENARA KUDUS


Masjid Menara Kudus (disebut juga sebagai mesjid Al Aqsa dan
Mesjid Al Manar) adalah mesjid yang dibangun oleh Sunan
Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan
menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari Palestina sebagai
batu pertama dan terletak di desa Kauman, kecamatan Kota,
kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Yang paling monumental dari bangunan masjid ini adalah


menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit, bukan pada
ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya
yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan
berbagai menara masjid di seluruh dunia.

Keberadaannya yang tanpa-padanan karena


bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk
sebuah menara masjid itulah yang
menjadikannya begitu mempesona. Dengan
demikian bisa disebut menara masjid ini
mendekati kualitas genius locy.
Tahun didirikannya masjid tertulis juga di batu prasasti yang memperlihatkan kata Al
Quds. Batu ini berperisai. Ukuran perisainya memiliki panjang 46 cm dan lebar 30
cm. Kalau tanpa perisai, panjangnya 41 cm dan lebarnya 23,5 cm.

Menara Masjid Kudus merupakan bangunan


menara masjid paling unik di Kota Kudus karena
bercorak Candi Hindu Majapahit.

Bangunan menara berketinggian 18 meter dan


berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar
ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan
elemen bangunan Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat
dari kaki dan badan menara yang dibangun dan
diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk
motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang
dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan dengan digosok-gosok hingga
lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta
pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi.

Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara
yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru
yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk
terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan
utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur
Jawa-Hindu.

Menurut cerita, batu itu berasal dari Kota Baitul Maqdis (Al Quds) di Yerusalem,
Palestina. Dari kata Baitul Maqdis itulah terjadinya nama Kudus yang berarti ‘suci’.
Masjid Menara Kudus ini terdiri atas lima buah pintu sebelah kanan dan lima buah
pintu sebelah kiri. Jendelanya ada empat buah. Pintu besar terdiri dari lima buah dan
tiang besar di dalam masjid yang terbuat dari kayu jati sebanyak delapan buah.
Dulu, masjid itu tidak sebesar sekarang. Pada masa Sunan Kudus, masjid itu masih
kecil dan sederhana. Kabarnya, pada awalnya batas masjid hanya sampai pada
batas tempat gapura kecil yang hingga kini terdapat dalam masjid. Tiang 8 dari kayu
jati dahulunya berbentuk persegi empat dan kecil kemudian diberi lapis kayu hingga
menjadi tiang-tiang besar seperti sekarang. Mengenai kapan menara Kudus
dibangun, terdapat sebuah petunjuk yang memperlihatkan waktu dibangunnya
menara. Di dalam tiang atap menara terdapat candrasengkala yang berbunyi
Gapura Rusak Ewahing Jagad. Candrasengkala itu memuat tahun pembuatan
menara tersebut, yakni gapura = 9, rusak = 0, ewah = 6, dan jagad = 1, karena
kalimat bahasa Jawa dibaca dari belakang sehingga menjadi 1609 Saka atau
bertepatan dengan 1685 M. Kaki menara Kudus memiliki denah bujur sangkar
menjorok keluar dan digunakan sebagai tangga masuk. Tinggi menara lebih dari 17
meter. Pada keempat sisi luar terdapat hiasan 32 piring porselen bergambar
manusia, unta, pohon kurma, dan bunga. Di dalam menara terdapat tangga kayu jati
yang dibuat tahun 1895 M. Di puncak menara terdapat sebuah bedug dan mustaka
(semacam hiasan) yang semula terbuat dari tanah liat peninggalan Sunan Kudus.
Pada tahun 1947, mustaka tersambar petir sehingga diganti dengan seng. Di depan
menara terdapat lekungan besi putih yang jika dilihat kurang sesuai dengan corak
Hindu-Islam secara keseluruhan. Menara Masjid Kudus ini merupakan perpaduan
antara seni Hindu dan Islam. Hal ini dapat dilihat dari hiasan atau seni ukirnya yang
mirip dengan Candi Hindu, serta dari bentuknya terdiri atas 3 bagian, yaitu kaki,
badan, dan puncak. Di dalam masjid juga terdapat semacam pintu gerbang candi
yang berjumlah dua buah. Pintu gerbang tersebut mengingatkan kepada pembagian
bangunan berdasarkan tingkat kesucian dalam agama Hindu.

FAKTA UNIK

Di belakang Masjid Menara Kudus terdapat makam Sunan Kudus beserta


keluarganya dan kerabatnya. Pintu Gerbang Masjid Bergaya Candi Bentar dan
Paduraksa.

Pada bagian terluar terdapat sebuah pintu candi yang sering disebut sebagai jaba
luar. Jaba luar merupakan bagian terluar dari Masjid Kudus. Pada bagian dalam
masjid juga terdapat satu pintu gerbang candi yang sering disebut sebagai jaba
dalam. Jaba dalam ini membagi ruangan masjid antara bagian tengah dan bagian
jeroan atau bagian inti atau dalam dari masjid. Penyesuaian dengan adat serta
kepercayaan lama dalam menara masjid ini sebagai tanda menggantikan
kepercayaan lama Hindu-Buddha pada kepercayaan baru Islam. Dari beberapa
sumber dikatakan bahwa Menara Kudus adalah buatan para wali dengan bantuan
tenaga ahli dari India yang diberi bentuk yang disesuaikan dengan adat istiadat serta
kepercayaan masyarakat yang hidup di kala itu dengan diberi jiwa baru (Islam).
Kalau dilihat dari segi seni bangunannya, sekalipun ini betul diciptakan oleh Sunan
Kudus, tetapi yang diciptakan oleh Sunan Kudus ini bukan barang baru. Di Bali juga
ditemukan bangunan yang serupa dan dipergunakan untuk menempatkan kul-kul
(semacam kentongan). Ketika Islam masuk ke daerah Kudus, masyarakat masih
memegang teguh ajaran-ajaran Hindu. Oleh karena itu, Menara Kudus ini berbentuk
candi untuk menyesuaikan diri dengan adat serta kepercayaan lama. Dalam
menjalankan dakwah Islam itu, dibuatlah menara yang mirip dengan bentuk candi
umat Hindu karena pada saat itu terjadi zaman peralihan dari kebudayaan Hindu ke
kebudayaan Islam.
MASJID AGUNG BANTEN
Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara kota
Serang, ibu kota Provinsi Banten ini menjadi obyek wisata ziarah arsitektur yang
sangat menarik, karena gaya seni bangunan yang unik dan terdapat elemen
arsitektur menarik.

Sisi menarik pertama dari bangunan utama masjid, yang dibangun pertama kali oleh
Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sutan pertama Kasultanan Demak yang
juga putra pertama Sunan Gunung Jati itu adalah atapnya yang tumpuk lima.
Menurut tradisi, rancangan bangunan utama masjid yang beratap tumpuk lima ini
dipercayakan kepada arsitek Cina bernama Cek Ban Cut. Selain jumlah tumpukan,
bentuk dan ekspresinya juga menampilkan keunikan yang tidak ditemui
kesamaannya dengan masjid-masjid di sepanjang Pulau Jawa, bahkan di seluruh
Indonesia.

Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten


adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling
atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda
Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak
tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur
gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu
memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi
kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi
daya tarik tersendiri.

Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi


sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang
bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya
dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap
tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.

Elemen menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan
monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara
seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Dikarenakan menara bukanlah
tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung
Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di
Jawa.

Tradisi menyebutkan, menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter
ini dulunya konon lebih berfungsi sebagai menara pandang/pengamat ke lepas
pantai karena bentuknya yang mirip mercusuar daripada sebagai tempat
mengumandangkan azan. Yang jelas, semua berita Belanda tentang Banten hampir
selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik
perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau. Tempat khatib membaca khotbah
pada hari Jumat adalah mimbar yang terbuat dari kayu jati berukir seperti yang ada
di Masjid Demak, tetapi sekarang mimbar tersebut hilang. Di sebelah tajug
(bangunan dengan atap berbentuk piramida) yang ada di belakang masjid terdapat
sebuah perigi (sumur) yang dinamakan Sumur Bandung. Kemudian di dekat langgar
Dalem juga terdapat sumur yang diberi nama Sumur Puter. Pada akhir tahun 1918,
Masjid Agung ini telah dibongkar dan kemudian dibuat lebih besar lagi. Masjid
kemudian diberi serambi depan yang dibangun pada tahun 1344 H. Bagian masjid
ditambah bangunan berupa serambi paling depan dengan kubah dari India pada
tanggal 5 November 1933 M, bertepatan
dengan tanggal 16 Rajab 1352 H. Di
sekeliling kubah dihiasi nama-nama nabi
yang berjumlah 25 orang.

MASJID JAMI BANJARMASIN


Masjid Jami Banjarmasin adalah salah satu
masjid tua di kota Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Di masjid ini terdapat kantor MUI
kota Banjarmasin dan di belakang masjid merupakan pemakaman umum yang juga
terdapat komplek Makam Pangeran Antasari.

MASJID SULTAN SURIANSYAH


Masjid Sultan Suriansyah adalah sebuah
masjid bersejarah yang merupakan masjid
tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini
dibangun di masa pemerintahan Sultan
Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama
yang memeluk agama Islam. Masjid ini terletak
di Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan
Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin.

Masjid bergaya tradisional Banjar pada bagian


mihrabnya memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan induk. Masjid ini didirikan
di tepi sungai Kuin.

Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur
Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke
daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi
oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu.
Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur
Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru,
ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan
ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan
mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas.
Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling
banyak dan paling tinggi.

Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat
sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan
dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat)
yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella
(ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan
ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.

Indonesia adalah negara yang kaya dengan seni rancang bangunannya atau yang
sering disebut dengan arsitektur bangunan. Bisa kita jumpai di sekitar kita
bangunan-bangunan yang memiliki seni arsitektur yang beragam. Hal ini bisa kita
lihat dari bangunanbangunan peninggalan masa lalu seperti candi, masjid, gedung-
gedung kuno, dan rumah-rumah adat yang tersebar di pelosok Nusantara.
Bangunan-bangunan itu memiliki ciri-ciri khas masing-masing, mulai dari bentuk
bangunan, tata ruang, dan bentuk atap. Beragamnya arsitektur bangunan yang
berada di Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh luar, terutama masuknya
agama-agama di Nusantara.
Masuknya agama-agama di Nusantara pada masa lalu berlangsung secara damai.
Hampir tidak ada kekerasan atau pertentangan dengan penduduk asli. Semua
dilakukan secara rukun berdampingan. Bisa kita lihat dari berbagai bidang di dalam
kehidupan kita yang memperlihatkan adanya akulturasi kebudayaan. Akulturasi
kebudayaan adalah suatu proses percampuran antara kebudayaan lama dan
kebudayaan yang lain sehingga hasil percampuran membentuk kebudayaan baru.
Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak
kehilangan kepribadian atau ciri khasnya.
Pengaruh dari masuknya agama Hindu dan Buddha dan Islam di Nusantara pada
masa lalu memengaruhi terbentuknya kebudayaan baru di Nusantara. Salah satu
hasil kebudayaan baru yang bisa kita saksikan sampai sekarang adalah arsitektur
bangunan. Hal ini bisa kita saksikan pada bangunan candi dan masjid kuno. Kedua
bangunan yang memiliki fungsi tempat ibadah masing-masing pemeluknya itu
memiliki seni arsitektur bangunan yang khas hasil dari akulturasi kebudayaan.
Konon, para penyebar agama menggunakan cara yang halus dalam menyebarkan
agamanya. Mereka terlebih dahulu beradaptasi dengan kebudayaan lokal, baru
setelah itu mereka menanamkan budaya mereka. Dalam proses penanaman budaya
itu tidak jarang mereka menemukan kendala seperti kuatnya pengaruh kebudayaan
lama dan kebudayaan lama tidak bisa digeser dengan budaya yang mereka bawa.
Oleh karena itu, mereka melakukan pencampuran antara budaya mereka dan
budaya lokal.
Di Nusantara sebelum masuknya agama-agama dari luar, masyarakatnya masih
menganut kepercayaan lama, yaitu animisme dan dinamisme. Animisme adalah
kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi, baik hidup maupun mati
mempunyai roh (seperti tempat tertentu, gunung, laut, sungai, gua, pohon, dan batu
besar) sehingga harus dihormati agar tidak mengganggu manusia. Caranya adalah
dengan melakukan pemujaan dan memberi sesajen
Sementara itu, dinamisme adalah kepercayaan yang menyakini bahwa semua
benda-benda yang ada di dunia ini, baik hidup maupun mati mempunyai daya dan
kekuatan gaib. Benda-benda tersebut dipercaya dapat memberi pengaruh baik dan
pengaruh buruk bagi manusia.
Bukti adanya kepercayaan animisme dan dinamisme dapat dilihat dari sisa
peninggalan kepercayaan budaya lokal masyarakat yang percaya pada pemujaan
roh nenek moyang dan benda-benda supranatural. Bangunan peninggalan penganut
animisme dan dinamisme yang sering disebut sebagai bangunan asli masyarakat
Indonesia masa lalu, yaitu bangunan seperti punden berundak, dolmen, sarkofagus,
dan menhir.
Setelah masuknya agama-agama dari luar terutama Hindu dan Buddha, lalu agama
Islam, terjadi perpaduan kebudayaan yang kemudian menghasilkan kebudayaan
baru. Kebudayaan baru itu tidak meninggalkan kebudayaan asli masyarakat
Nusantara. Bahkan kebudayaan itu bercampur dengan baik. Ini disebabkan oleh
masyarakat Nusantara tidak mudah menerima unsur kebudayaan baru. Kebudayaan
lama tetap mereka pertahankan hingga kebudayaan baru itu masuk. Tidak mudah
begitu saja meninggalkan unsur kebudayaan lama yang telah mereka peroleh dari
nenek moyang mereka. Harus ada suatu kecakapan lokal dari masyarakat untuk
memerima kebudayaan baru dan kemudian mengolahnya dan disesuaikan dengan
kebudayaan lama. Kecakapan-kecakapan lokal itu salah satunya tercermin dalam
arsitektur bangunan yang akan kita lihat dalam arsitektur Candi Prambanan, Candi
Borobudur, Masjid Agung Demak, dan Masjid Menara Kudus. Kita lihat bukti betapa
rukun dan damainya penyebaran agama di Nusantara pada masa lalu dalam
halusnya seni arsitektur antaragama yang saling memengaruhi.

Anda mungkin juga menyukai