Anda di halaman 1dari 10

1.

MASJID AGUNG DEMAK

Masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan pertama Demak, yakni Raden
Patah. Salah satu masjid tertua di Pulau Jawa ini didirikan pada tahun 1477 masehi.
Mengutip dari sumber lain, "Cerita Rakyat Jawa Tengah Sunan Kalijaga (Asal usul
Masjid Agung Demak)" yang ditulis Ade Soekrino, masjid ini merupakan perwujudan
dari harapan Raden patah untuk membuat bangunan monumen yang bernuansa Islam.
Pendiri Kesultanan Demak itu pun meminta Wali Songo untuk membangun sebuah
Masjid di area Bintoro. Fungsi Masjid Agung Demak Pada masa kejayaannya,
Kesultanan Demak menjadi pusat tempat utama pengembangan para ulama di
Nusantara. Bangunan masjid yang dibangun oleh Raden Patah dan para wali itu pun
makin ramai didatangi oleh orang-orang dari berbagai penjuru wilayah nusantara. Lihat
Foto Masjid Agung Demak.(Pesona Indonesia) Dapatkan informasi, inspirasi dan
insight di email kamu. Daftarkan email Masjid sederhana dan berukuran kecil itu tak
lagi mampu menampung pengunjung yang semakin banyak. Akhirnya Raden Patah
kembali memerintahkan para wali untuk memperluas bangunan tersebut. Pengerjaan
renovasi masjid ini dilakukan oleh empat orang wali, yaitu Sunan Giri, Sunan Bonang,
Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Filosofi bangunan Masjid Agung Demak
Kembali merujuk pada tulisan Agus Maryanto dan Zaimul Azzah dalam "Oas
Menjelajah Masjid: Masjid Agung Demak", masjid yang memiliki luas 1,5 hektar ini
terdiri dari ruang utama, pawastren dan serambi. Di dalam kompleks Masjid Agung
Demak ini juga terdapat bangunan cungkup makam, peseban, museum, wisma tamu dan
perpustakaan. Serambi di depan ruang utama pada masjid ini biasa digunakan sebagai
tempat ibadah dan ruang pertemuan. Masyarakat juga biasa melakukan beragam acara
keagaaman untuk memperingati hari-hari besar Islam. Serambi Masjid Agung Demak
berukuran 30 x 17 meter. Bagian ini berupa ruang terbuka dengan atap berbentuk limas
tiga lapis yang semakin mengerucut di puncaknya. Baca juga: Peninggalan Kerajaan
Demak Mengutip website resmi Dinas Pariwisata Kabupaten Demak, atap itu memiliki
filosofi akidah Agama Islam, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Bagian serambi ini memiliki
delapan tiang yang disebut sebagai Saka Majaphit. Delapan pilar penyangga itu konon
dibawa langsung dari keraton Majapahit. Hampir dua pertiga bagian Saka Majapahit ini
memiliki ukiran motif sulur dan motif tumpal yang mengagumkan. Tak hanya pilar
serambi, ada pula empat tiang utama yang disebut sebagai Saka Tatal atau Saka guru.
Tiang ini terdapat di empat penjuru mata angin yang menyangga ruang utama masjid.
Saka Guru konon katanya dibuat langsung oleh empat wali yang membantu
pembangunan masjid. Baca juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak Sunan Bonang
membuat pilar di bagian barat laut, Sunan Gunung Jati membuat pilar bagian barat
daya, Sunan Ampel membuat pilar bagian tenggara, dan Sunan Kalijaga yang membuat
pilar bagian timur laut. Banggunan utama pada Masjid Agung Demak ini memiliki
ukuran 23,10 x 22,30 meter dengan ruang mihrab berukuran 1,4 x 2,4 meter. Meski
sudah megalami bannyak renovasi, nuansa tradisional dari bangunan ini masih begiu
kental. Lihat Foto Cungkup Utama Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak
dibangun oleh Raja Demak I Raden Patah atas saran Wali Songo yang dimulai pada
1477 M.(Kemdikbud) Pengunjung bisa menyaksikan berbagai interior lawas yang
terawat dan mempercantik bangunan utama ini. Salah satunya adalah keramik annam
biru putih dengan motif tumbuhan, binatang mitos, dan pola giometris yang terdapat di
dinding-dinding ruang utama. Bagian utama ini memiliki tiga pintu. Salah satu pintu
yang paling terkenal adalah Lawang Bledeg (pintu petir). Pintu utama yang berada tepat
di tengah bangunan ini dipercaya dapat menangkal petir. Sayangnya karena sudah aus,
pintu yang terpasang di tengah bangunan utama itu hanyalah tiruan. Namun,
pengunjung tetap bisa melihat Lawang Bledeg yang asli di Museum Masjid Agung
Demak. Baca juga: Latar Belakang dan Alasan Kerajaan Demak Menguasai Banten Tak
jauh dari mihrab, terdapat sebuah bangunan kecil yang disebut dengan Maksurah.
Bangunan ini dahulu digunakan sebagai tempat beribadah para raja atay pengguasa.
Bangunan ini terbuat dari kayu jati dengan ukiran-ukiran unik di setiap sisinya. Pada
dinding bagian atas terdapat prasasti yang ditulis menggunakan huruf-huruf arab. Bagi
kamu yang berencana mengunjungi Masjid Agung Demak, jangan lupa tetap menaati
protokol kesehatan. Selalu pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan pakai sabun. Bila
perlu, lakukan vaksinasi sebelum bepergian.
2. MASJID MENARA KUDUS

Masjid Menara Kudus adalah salah satu masjid yang berperan dalam sejarah
perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Masjid yang berada di Kudus,
Jawa Tengah, ini memiliki arsitektur unik, yakni perpaduan Hindu-Jawa dengan Islam.
Masjid bersejarah yang juga disebut dengan Masjid Al Aqsha dan Masjid Al Manar ini
sudah eksis ada sejak tahun 1549. Letaknya berlokasi di Kecamatan Kauman, Kota
Kudus, Jawa Tengah. Pendiri Masjid Kudus adalah Sunan Kudus atau Syekh Ja'far
Shodiq.

Disebut Masjid Menara Kudus karena masjid ini sepaket dengan menara unik yang
menjadi ciri khasnya. Tri Maya Yulianingsih dalam buku Jelajah Wisata Nusantara
(2010), menjelaskan bahwa Menara Kudus merupakan hasil akulturasi budaya Hindu-
Jawa dengan Islam. Sejarah & Pendiri Masjid Menara Kudus Sama seperti masjidnya,
Menara Kudus juga didirikan oleh Sunan Kudus sebagai simbol dalam candrasengkala
"gapuro rusak ewahing jagad". Sunan Kudus sendiri adalah salah satu dari Walisongo
atau para ulama yang mempelopori dakwah Islam di Jawa. Sunan Kudus pernah
menjadi senopati di Kesultanan Demak, kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa yang
sekaligus meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Selain itu, Sunan Kudus juga dikenal
sebagai ahli hukum Islam.

Seperti para Wali lainnya, Sunan Kudus juga punya strategi untuk menebarkan syiar
Islam di Jawa dengan cara-cara yang bisa diterima oleh masyarakat lokal. Pembangunan
Masjid Menara Kudus menjadi salah satu contohnya. Sunan Kudus mendirikan Masjid
Menara Kudus dengan arsitektur perpaduan antara budaya Hindu atau Jawa dengan
Islam yang datang dari arab. Mengutip laman Kabupaten Kudus, saat itu dilakukan
akulturasi agar masyarakat tidak merasa asing dan terkejut dengan bangunan masjid.
Hasilnya, penduduk tidak menolak kehadiran masjid sehingga dakwah Islam lebih
mudah dilakukan. Antara masjid dan Menara Kudus tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan satu kesatuan yang berhubungan langsung dengan sejarah Kota Kudus dan
masih difungsikan hingga saat ini.
Bangunan & Arsitektur Masjid Menara Kudus Masjid Menara Kudus didirikan di
tanah seluas sekitar 5.000 meter persegi. Masjid dikelilingi tembok pembatas yang
memisahkannya dengan perkampungan setempat. Terdapat "Gapura Bentar" sebagai
jalan utama di utara dan selatan masjid. Gerbang utara menjadi jalan masuk untuk
jamaah langsung ke masjid. Gerbang selatan menjadi jalan menuju kompleks
pemakanan. Penamaan "Gapura Bentar" diambil dari istilah Hindu yang bermakna
"gerbang". Masuk ke halaman masjid akan disuguhi pemandangan menara. Menara
Kudus dibuat dari bata merah dengan luas 100 meter pesegi dan tinggi 18 meter. Ukiran
bermotif Hindu dapat ditemukan pada bagian bawah menara.

Menurut Andanti Puspita Sari Pradisa dalam "Perpaduan Budaya Islam dan Hindu
dalam Masjid Menara Kudus" (2017) yang disampaikan pada Seminar Heritage Ikatan
Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI), bangunan Menara Kudud memiliki
bagian kepala, badan, dan kaki. Bagian kepala atau di bawah atap terdapat bedug yang
digungakan sebagai penanda waktu salat dengan menghadap utara-selatan. Sementara
bagian badan memiliki ruang kecil atau relung yang dikosongkan. Jika dalam bangunan
Pura, relung ini biasa diisi patung. Lalu, bagian kaki terdapat ornamen-ornamen motif
Hindu. Arah bangunan Masjid Menara Kudus seperti masjid-masjid lainnya di
Indonesia yang mengarah ke arah Kakbah sebagai kiblat. Atap masjid turut mengadopsi
arsitektur Hindu saat itu yang dibuat tumpang dengan jumlah ganjil. Meski Masjid
Menara Kudus dibangun dengan mengadaptasi gaya bangunan Hindu, namun tetap
memiliki pedoman-pedoman ajaran Islam. Akulturasi ini membuat dakwah Islam lebih
diterima masyarakat dengan cara yang elegan.
3. KERATON KASEPUHAN CIREBON

Keraton Kasepuhan Cirebon bermula dari runtuhnya Kerajaan Cirebon yang


berlangsung sejak 1666. Kerajaan Cirebon runtuh pada masa pemerintahan
Panembahan Ratu II atau Pangeran Rasmi.

Tahun itu, Sultan Amangkurat I, penguasa Mataram yang juga mertua Panembahan
Ratu II, memanggil menantunya ini datang ke Surakarta. Dia meminta pertanggung-
jawabannya atas tuduhan telah bersekongkol dengan pihak Kerajaan Banten untuk
menjatuhkan kekuasaannya di Mataram. Sultan Amangkurat I akhirnya
mengasingkan Panembahan Ratu II bersama kedua puteranya Pangeran Kartawijaya
dan Pangeran Martawijaya, hingga menantunya ini wafat di Surakarta pada 1667.
Kekosongan kekuasaan ini di Kerajaan Cirebon dimanfaatkan oleh Raja Mataram
untuk mengambil-alihnya.

Pengambilalihan kekuasaan sepihak tadi memicu amarah dari Sultan Ageng


Tirtayasa yang berkuasa di Banten. Sultan Banten ini kemudian turun tangan dengan
tujuan membebaskan kedua putera Panembahan Ratu II yang juga diasingkan oleh
Mataram, yaitu Pangeran Kartawijaya dan Pangeran Martawijaya. Sepuluh tahun
kemudian, pada 1677, terjadi konflik internal di Kesultanan Cirebon karena
perbedaan pendapat di kalangan keluarga mengenai penerus kerajaan. Karena itu,
Sultan Ageng Tirtayasa turun tangan. Dia memutuskan membagi Kesultanan
Cirebon menjadi tiga, yaitu Kesultanan Kanoman, Kesultanan Kasepuhan, dan
Panembahan Cirebon. Kekuasaan dibagi ke tiga pangeran.

Kesultanan Kanoman dipimpin oleh Pangeran Kartawijaya yang bergelar Sultan


Anom I, Kesultanan Kasepuhan diberikan kepada Pangeran Martawijaya yang
bergelar Sultan Sepuh I, dan Pangeran Wangsakerta menjadi panembahan di
Cirebon. Sejak saat itu, Sultan Sepuh I menempati Keraton Pakungwati yang
kemudian berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan. Pada mulanya, saat Kerajaan
Cirebon belum runtuh, ada dua kompleks bangunan di sana. Pertama, Dalem Agung
Pakungwati yang didirikan pada 1430 oleh Pangeran Cakrabuana. Kedua, kompleks
Keraton Pakungwati yang didirikan oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada 1529.

Cicit Sunan Gunung Jati, Pangeran Mas Zainul Arifin atau Panembahan Pakungwati
I, pada 1529 membangun keraton baru di sebelah barat daya keraton lama. Keraton
baru ini dinamai Keraton Pakungwati, mengabadikan nama Ratu Dewi Pakungwati.
Keraton Pakungwati itulah yang menjadi cikal bakal Keraton Kasepuhan. Nama
Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana
yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Keraton Kasepuhan kini terletak di
kelurahan Kesepuhan, Lemahwungkuk, Cirebon. Selain megah, keraton ini memiliki
museum benda-benda kuno yang cukup lengkap. Salah satu koleksinya yang
terkenal adalah Kereta Singa Barong, kereta kecana Sunan Gunung Jati yang hanya
dikeluarkan setiap 1 Syawal untuk dimandikan, dan banyak lagi lainnya.
4. MAKAM WALI SONGO

Sejarah penyebaran Islam di  tanah Jawa lekat dengan sosok Wali Songo. Banyak
peninggalan para wali, berupa petilasan, masjid, serta makam masih berdiri kokoh
hingga kini dan menjadi tujuan wisata religi yang cukup terkenal. Wali Songo adalah
julukan yang diberikan kepada tokoh-tokoh Islam yang sangat dihormati di pulau Jawa.
Wali Songo berasal dari kata wali yang berarti orang yang dipercaya atau orang yang
ditugaskan dan kata Sanga yang berarti sembilan. Istilah ini lalu diterjemahkan sebagai
“Sembilan Wali”. Para wali ini yang kemudian berperan sebagai penyampai ajaran
Islam pertama di Jawa dengan memasukkan unsur budaya agar Islam dapat lebih
diterima. Makam atau pundhen para Wali ini sangat dihormati masyarakat Jawa hingga
kini. Oleh sebab itu, tradisi ziarah makam Wali Songo menjadi agenda rutin yang biasa
dilakukan peziarah untuk mengenang dan mendoakan jasa para wali.
Bila ingin berziarah dan mengunjungi seluruh makam para wali, pengunjung disarankan
membuat rute perjalanan dalam satu alur perjalanan. Karena makam-makam Wali
Songo menyebar di seluruh tanah Jawa, menyiapkan rute ini akan bisa membuat
perjalanan lebih ringkas. Mengutip dari laman pegipegi.com, jika peziarah datang dari
arah timur menuju barat, maka Jawa Timur menjadi rute pertama yang ditempuh. Di
wilayah ini terdapat lima makam Wali Songo. Pertama, pengunjung bisa berziarah
makam Sunan Ampel di kota Surabaya.
Makam ini menawan dengan sepasang pintu gerbang bergaya Eropa. Di Gresik terdapat
dua makam wali, yakni makam Sunan Gresik di kota Gresik dan Sunan Giri di wilayah
bukit desa Giri Gajah. Makam Sunan Bonang berada di dekat Masjid Agung, Tuban dan
yang terakhir, makam Sunan Drajat, putra Sunan Ampel yang berada di Lamongan.
Masuk ke wilayah Jawa Tengah, pengunjung akan menjumpai makam Sunan Muria,
putra Sunan Kalijaga, terletak 30 kilo meter dari kompleks Masjid Menara Kudus.  Di
kota Kudus sendiri, pengunjung bisa berwisata religi ke makam Sunan Kudus yang
selalu ramai dikunjungi peziarah. Makam terakhir yang berada di Jateng adalah makam
Sunan Kalijaga di kota Demak. Sementara itu, satu-satunya wali yang dimakamkan di
Jawa Barat adalah Sunan Gunung Jati, terletak di Desa Astanam Cirebon Utara berjarak
6 kilo meter dari kota Cirebon.
Sunan Gresik Nama asli Sunan Gresik adalah Maulana Malik Ibrahim atau Makdum
Ibrahim As-Samarkandy. Ia lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-
14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy. Maulana Malik Ibrahim terkadang
juga disebut sebagai Syekh Magribi.
Sunan Ampel Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dilahirkan pada sekitar 1401
Masehi di Champa. Ia adalah putra Sunan Gresik yang kemudian menikah dengan putri
Tuban bernama Nyai Ageng Manila. Dari perkawinannya itu, Raden Rahmatullah
memperoleh keturunan Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang),Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Putri Istri Sunan Kalijaga. satunya Wali
Songo yang memimpin pemerintahan. Ia adalah putra pembesar Mesir keturunan Bani
Hasyim dari Palestina. Sedangkan dari pihak ibu, Sunan Gunung Jati masih keturunan
Pajajaran.
5. KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Sejak Yogyakarta bergabung dengan Negera Kesatuan Republik Indonesia sekitar


tahun 1950,Walaupun Yogyakarta baru bergabung dengan NKRI di tahun 1950,
namun Keraton Yogyakarta sudah dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I sejak
tahun 1755. Tata ruang keraton Yogyakarta terdiri dari komplek inti yaitu Siti Hinggil
Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti,
Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti
Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Dibeberapa bagiannya merupakan museum yang
menyimpan berbagai peninggalan kuno, baik dalam bentuk benda maupun tak benda.

UNESCO telah meresmikan bangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai


salah satu warisan duniaFoto-foto dokumentasi kereta kuda milik Keraton
YogyakartaPintu masuk untuk pengunjung menuju Kompleks Pagelaran Siti
HinggilRumah Kaca salah satu bangunan yang terdapat di Komplek Keraton
YogyakartaBangunan museum yang memajang berbagai barang peninggalan Sultan di
Keraton YogyakartaInilah Gladhag Pangarukan, gerbang utama semacam benteng
pertahanan untuk bisa masuk ke dalam keratonRelief perjuangan Pangeran
Mangkubumi yang ada disalah satu dinding Keraton YogyakartaSalah satu bangunan di
Keraton Yogyakarta yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I sejak tahun
1755Berbagai benda peninggalan Sultan yang ada di Keraton YogyakartaPengunjung
bisa melihat aneka kain batik yang menjadi koleksi di Keraton Yogyakarta

Replika Masjid Agung Demak yang terdapat di Keraton YogyakartaSuasana


pengunjung di Regol Danapratapa, salah satu bangunan yang ada di Keraton
Yogyakarta

Memasuki Komplek Keraton, kita akan disambut bangunan Gladhag Pangurakan, yaitu
gerbang utama semacam benteng pertahanan untuk bisa masuk ke dalam keraton.
Setelah melewati bangunan tersebut, kita akan memasuki bangunan utama bernama
Bangsal Pagelaran atau bernama lain Tragtat Rambat. Dahulu, tempat ini merupakan
tempat bertemunya abdi keraton ketika ingin menghadap Sultan. Namun sekarang,
tempat ini difungsikan untuk kegiatan atau event-event pariwisata yang berkaitan
dengan kesultanan Yogyakarta.

Masih dibangunan yang sama, tepat di singgasana Sultan, lurus menghadap ke depan
akan terlihat Tugu Yogja. Bukan tanpa sengaja, namun terdapat arti filosofis dibalik hal
tersebut, yaitu bahwa perhatian Sultan yang selalu tertuju kepada rakyat Yogyakarta.

Memasuki ruangan Siti Honggil Ler pengunjung akan menjumpai foto-foto Sultan
mulai dari kesultanan pertama hingga terakhir. Tempat ini merupakan tempat yang
dahulu biasa dipergunakan sebagai tempat kesultanan mengadakan upacara. Pada tahun
1949, ruangan ini sempat digunakan untuk meresmikan Universitas Gadjah Mada.

Sementara di ruangan lain, tersimpan berbagai benda peninggalan kesultanan keraton.


Mulai dari koleksi seragam abdi dalem hingga deorama upacara-upacara yang sering
dilakukan oleh Kesultanan Yogyakarta. Wisatawan yang berkunjung ke keraton ini
tentu akan mengagumi kekayaan filosofis dari bangunan yang ada didalamnya. Oleh
karena itulah, UNESCO telah meresmikan bangunan Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat sebagai warisan dunia berupa benda dan tak benda.

Berkunjung ke Yogyakarta namun tidak menyambangi Keraton Yogyakarta sama saja


seperti belum berkunjung ke Kota Gudeg. Mengingat di Keraton Yogyakarta terdapat
berbagai informasi lengkap tentang sejarah perkembangan Yogyakarta.

Dengan tiket masuk yang relatif terjangkau dan tersedianya jasa pendamping
wisatawan, pengunjung akan mendapat berbagai pengetahuan mengenai Yogyakarta.
Karena Yogyakarta adalah salah satu kekayaan nusantara yang patut dijaga dan
dilestarikan.

Anda mungkin juga menyukai