Anda di halaman 1dari 14

Nama : Neiha Dani Fitri

Absen/NIM : 08/ 12201193043

Kelas : PAI 5C

TUGAS SENI BUDAYA ISLAM

MASJID MENARA KUDUS, JAWA TENGAH

Gambar 1. Masjid Menara Kudus

Kota Kudus merupakan ibukota kabupaten Kudus memiliki luas 422, 21 km². Kudus
berjarak 24 km ke arah timur laut dari kota Demak dan berada dekat gunung Muria. Kudus dan
Demak dihubungkan melalui Semarang yang pada saat itu merupakan ibukota dari Jawa Tengah
dan menjadi pusat kota di Jawa Tengah. Di bagian tengah kota Kudus, mengalir sungai Geulis
dari arah utara ke selatan. Sungai Geulis ini secara tidak langsung membagi kota Kudus menjadi
dua bagian, Kudus kulon dan Kudus wetan. Bagian barat kota Kudus atau Kudus kulon
diperuntukkan untuk administrasi kota perdagangan dan industri. Sedangkan bagian timur kota
Kudus atau Kudus wetan terdiri dari pemukiman masyarakat dan pabrik rokok. Bagian barat dan
timur kota Kudus ini dihubungkan oleh satu jembatan. Masjid menara Kudus (Masjid Al-Aqsa)
dan makam Sunan Kudus terletak di Kudus kulon, tepatnya di kampung Kauman.
Sejarah Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah

Masjid Al-Aqsa, sebuah nama masjid bersejarah di Kudus, Jawa Tengah memang kurang
dikenal oleh mayoritas orang Indonesia. Masjid peninggalan Walisongo ini lebih akrab di telinga
warga dengan nama Masjid Menara Kudus. Pasalnya, Masjid Menara al-Aqsa Kudus memiliki
sebuah menara yang eksotis dan unik. Menara ini terlihat seperti sebuah bangunan candi
peninggalam jaman Hindu dahulu. Menara berbentuk bangunan ciri khas Hindu inilah yang
membuat orang lebih senang menyebutnya dengan Masjid Menara Kudus.

Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai bukti proses
penyebaran Islam di Tanah Jawa. Masjid ini tergolong unik karena desain bangunannya, yang
merupakan penggabungan antara budaya Hindu dan budaya Islam. Sebagaimana kita ketahui,
sebelum Islam, di Jawa telah berkembang agama Budha dan Hindu dengan peninggalannya
berupa candi dan pura. Selain itu, ada penyembahan terhadap roh nenek moyang (Animisme)
dan kepercayaan terhadap benda-benda (Dinamisme). Masjid Menara Kudus menjadi bukti,
bagaimana sebuah perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Hindu telah
menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Sebuah
bangunan masjid, namun dengan menara dalam bentuk candi dan berbagai ornamen lain yang
bergaya Hindu.

Menurut sejarah, Masjid Menara Kudus didirikan pada tahun 1549 M (956 H) oleh Sunan
Kudus atau Ja’far Shodiq, yang merupakan putra dari R. Usman Haji yang bergelar dengan
Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan tempat tersebut terletak di utara
Blora). Sunan Kudus menikah dengan Dewi Rukhil, puteri dari R.Makdum Ibrahim, Kanjeng
Sunan Bonang di Tuban. R. Makdum Ibrahim adalah putera R.Rachmad (Sunan Ampel) putera
Maulana Ibrahim. Dengan demikian Sunan Kudus adalah menantunya Kanjeng Sunan Bonang.
Sunan Kudus selain dikenal seorang ahli agama juga dikenal sebagai ahli ilmu tauhid, ilmu
hadist dan ilmu fiqh. Karena itu, diantara kesembilan wali, hanya beliau yang terkenal sebagai
“Waliyil Ilmi”. 1

1
Zakiyyah Ainun Nayyiroh, “Disiplin Wisatawan dalam Ziarah Wali Sunan Kudus”, (Skripsi tidak
diterbitkan, Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 2021) hal: 19
Sesuai dengan inskripsi yang tertulis di atas batu yang berada di dalam Masjid Menara
Kudus ini, masjid ini didirikan pada tahun 1549 M. Batu tersebut merupakan batu yang didapat
oleh Sunan Kudus pada saat menuntut ilmu di Tanah Arab sembari melakukan ibadah haji. Tidak
hanya menuntut ilmu, Sunan Kudus juga mengabdi menjadi pengajar Agama Islam di Tanah
Arab.2

Menurut Salam (1997), pada saat itu Tanah Arab sedang dilanda wabah penyakit yang
berbahaya, dan Sunan Kudus dipercaya pemimpin wilayah Tanah Arab untuk membantu
pengobatan masyarakat yang terkena wabah tersebut. Berkat Sunan Kudus, wabah tersebut dapat
teratasi. Karena kemampuannya, seorang Amir berniat untuk memberikan hadiah kepada Sunan
Kudus sebagai ucapan terima kasih telah membantu meredakan wabah yang tersebar, namun
Sunan Kudus menolak. Sebagai gantinya, Sunan Kudus meminta sebongkah batu yang berasal
dari Baitul Makdis atau Jerussalem yang nantinya digunakan dalam pembangunan Masjid
Menara Kudus. Batu tersebut yang kemudian menjadi sebuah prasasti yang berisikan tanggal
dibangunnya Masjid Menara Kudus.

Di dalam masjid inilah kemudian Sunan Kudus menyebarkan ajaran Islam. Beliau juga
memimpin dan sekaligus menjadi panutan masyarakat Islam Kudus. Tidak hanya melakukan
ajaran Islam di masjid, beliau juga mengajar secara Tablig, atau berkeliling ke satu tempat ke
tempat yang lain. Dakwah yang dilakukan Sunan Kudus juga tidak terbatas kepada masyarakat
umum, tetapi juga kepada priyayi. Untuk memenuhi jamaah yang semakin banyak, Masjid
Menara Kudus melakukan berbagai perubahan seperti penambahan luas serambi masjid.

Adapun cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan
kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat itu masih memeluk agama
Hindu. Salah satu contohnya adalah Sapi, yang merupakan hewan yang sangat dihormati oleh
agama Hindu, suatu ketika kanjeng Sunan Kudus mengikat sapi di pekarangan masjid, setelah
mereka datang Kanjeng Sunan Kudus bertabligh, sehingga diantara mereka banyak yang
memeluk Islam. Dan sampai sekarang pun di wilayah Kudus, khususnya Kudus Kulon dilarang
menyembelih sapi sebagai penghormatan terhadap agama Hindu sampai dengan saat ini.

Dedik Agus Indra F, Djono, Isawati, “Nilai Historis Komplek Makam Sunan Kudus sebagai Bahan
2

Pengembangan Sumber Belajar Sejarah Lokal”, Jurnal Candi, Vol 15 No. 1 (82)
Sunan Kudus dikenal sebagai seorang wali yang sangat gigih dalam syi’ar. Strategi syi’ar
yang dikembangkan terutama adalah dengan pendekatan sosio-kultural dan religi. Pendekatan
religi ditempuh dengan xara mengakomodasi unsur nilai kepercayaan pra-Islam dalam nila
kepercayaan Islam. Ajaran Islam di tangan Wali Sanga, termasuk Sunan Kudus, tetap
menyediakan ruang bagi kesinambungan penghayatan nila dan praktik ritual berdasarkan
kepercayaan tradisi lama (Hinduisme-Budhisme dan Animisme-Dinamisme). Aspek budaya dan
spritual seperti itulah yang melatarbelakangi perwujudan budaya fisik, struktur, dan bentuk
estetis dan ornamentasi situs Majid Menara Kudus, sehingga mengambil dan memadukan
berbagai unsur tradisi seni bangun dan seni hias pra-Islam, tertama Hinduis.

Bangunan dan Arsitektur Masjid Menara Kudus

Menurut Ashadi, Menara Kudus pada mulanya adalah bangunan semacam tetenger yang
dibuat oleh komunitas Budo di wilayah yang selanjutnya bernama Kudus dan Sunan Kudus
memanfaatkan bangunan itu untuk dakwah. Kata menara dikaitkan dengan keberadaan masjid
kuno dan nama Kota Kudus. Ada dua kemungkinan asal kata: Pertama, perubahan nama dari al-
Manar sesuai dengan apa yang tertulis pada inskripsi di dalam Masjid Menara Kudus. Kedua,
sebutan adanya Menara (mirip candi) di sebelah tenggara masjid ini sekarang. Ada yang
berpendapat bahwa kata menara berasal dari kata al-manar, sebagaimana orang dulu menyebut
nama didasarkan atas kebiasaan yang dihubungkan dengan kehidupannya. Bangunan besar yang
bentuknya mirip candi Hindu lebih menarik perhatian masyarakat Kudus saat itu daripada
keberadaan masjid. Penyebutan Masjid Menara Kudus, menurut Ashadi, seolah-olah
mengandung makna masjidnya menara, masjid milik menara. Dengan demikian, bangunan
menara lebih bermakna daripada masjid bagi masyarakat Kudus Kuno.3

Perwujudan seni bangun Masjid Menara Kudus didasari pola mengambil bentuk estetis
tradisi seni bangun Hinduis, seperti tampak pada struktur dan bentuk atap bangunan Masjid,
gerbang Candi Bentur ddan Praduraksa, serta totalitas bangunan menaranya, tetapi mengubah
makna simbolis dan fungsinya. Tradisi seni bangin dan seni hias Hinduis dipakai sebagai rujukan
utama. Kesenian Islam, dalam hal ini menjadi sangat ellastis dan akomodatif terhadap berbagai
unsur luar. Masjid Menara Kudus (al-Aqsha) yang didirikan oleh Sunan Kudus ini adalah tipe

Moh. Rosyid, “Menara Masjid Al-Aqsha Kudus: Antara Situs Hindu atau Islam”, Jurnal Penelitian dan
3

Pengembangan Arkeologi Vol. 8 No. 1 (Juni, 2019), hal: 21-22


seni bangun sakral bergaya Islam-Jawa. Unsur tradisi lama yang paling tampak pada Masjid
Menara Kudus adalah bentuk dan struktur atap tumpang bersusun tiga.4

Atap tumpang bersusun tiga menuju titik puncak memberi kesan bangunan menjulang
menuju keagungan dan kemuliaan Tuhan. Dalam tradisi pra Islam, struktur dan bentuk
menjulang merupakan manifestasi dari kepercayaan bahwa roh nenek moyang, dewa-dewi
penguasa alam semesta dan pengayam kehidupan, bersemayam di puncak gunung atau tempat
yang tinggi. Atap tumpang 3 berstruktur progresif dari posisi paling bawah sebagai yang
terbesar, posisi tengah-sedang, posisi atas-paling kecil, hingga unsur puncak paling atas, mustaka
berbentuk meruncing keatas menuju satu titik. Berbeda dengan referensi makna filosofis pra
Islam, dalam referensi filosofis Islam Jawa (Kejawen) dimaknai sebagai ungkapan simbolis atau
tingkatan religiusitas dan tingkat ketakwaan kaum Muslim terhadap Tuhan. Dalam pandangan
Kejawen, hal itu dipahami sebagai perjalanan dalam rangka pencarian Sangkan paraning dumadi
untuk mencapai jumbuhi (manunggaling) kawulo Gusti. Tingkatan paling bawah proses laku
spiritual religius itu adalah tingkat syari’at (sarengat), tumpang atasnya tariqat (tarekat) tumpang
ketiga hakikat (hakekat), hingga titik tertinggi, mustaka melambangkan ma’rifat (manunggaling
kawulo Gusti).

Fenomena paling menonjol pada kompleks Masjid Menara Kudus adalah keberadaan
menara yang bergaya seni bangun tradisi Hinduis. Seni bangun Masjid di Jawa pada masa Wali
Sanga tidak mengenal unsur menara, kecuali masjid Menara Kudus. Struktur dan bentuk menara
pada Masjid Menara Kudus merupakan salah satu fenomena seni bangun yang unik, bukan saja
karena tampilannya seperti candi, tetapi juga menjadi satu-satunya Masjid Wali yang memiliki
unsur menara, yang dibangun sezaman dengan pembangunan masjidnya. Masjid Wali di Jawa
lazimnya tidak memiliki unsur menara, pada umunya masa pembangunannya jauh setelah
pembangunan masjid induknya, yatu masa kolonial Belanda.5

Bangunan Menara Kudus berbentuk menyerupai Candi Hinduis, bertubuh jenjang


sehingga tampak anggun. Sebagaimana struktur bangunan Hinduis, Menara Kudus Kudus terdiri
dari tiga bagian, yatu kaki, badan, dan kepala atau atap. Bahan bangunan berupa susunan bata
merah dan kontruksi kayu di bagian atapnya. Atap berbentuk limas berbentuk tumpang ganda,
4
Supatmo dan S.P Bustami, “Seni Bangun Masjid Menara Kudus Representasi Akulturasi Budaya”, Jurnal
Humanika Vol. 18 No. 4 (Oktober, 2005) hal: 573
5
Ibid, hal: 574
yang dipuncaknya terdapat mustaka (memolo) seperti pada atap masjid. Disamping kiri dan
kanan kaki bangunan, terdapat candi laras (miniatur candi), sebagai hiasan struktural, melekat
pada dinding. Menara ini memiliki satu gerbang “Kori Agung” untuk masuk ke puncak. Dari
kaki menara hingga pintu masuk dihubungkan dengan undak-undakan berjumlah 33 tingkat.
Pada dinding luar, bagian badan menara terdapat hiasan piring porselen berjajar mengisi panil-
panil kecil. Di ruang atas digantung sebuah bedhug besar dan dua buah kenthongan. Beberapa
ahli menghubungkan struktur dan bentuk menara itu dengan Candi Jago (Jayaghu), makam Raja
Wisnuwardhana, di Malang Jawa Timur, namun juga mirip dengan bentuk dan struktur bangunan
balai Kulkul di Bali.

Gambar 2. Menara Kudus

Secara umum, seni hias pada masjid Menara Kudus masih sangat nuansa gaya Majapahit
yang dikombinasi dengan nuansa keislaman. Seni hias (ornamen) yang paling unik berupa hiasan
berpola kala pada padasan dan hiasan figuratif motif binatang yang kelihatan realistis. Solichin
Salam menghubungkan delapan pancuran air wudhu dengan hiasan kala itu dengan
astasanghikamarga atau delapan jalan keutamaan (asta= delapan, sanghika= berlipat, marga=
jalan). Astanghikamarga adalah ajaran sang Budha yang pertama-tama diberikan daripada
kepada murid-muridnya di Benares (India), terdiri atas pengetahuan yang benar, keputusan yang
benar, perkataan yang benar, perbuatan yang benar, pekerjaan yang benar, usaha yang benar,
meditasi secara benar, dan kontemplasi yang benar (suci, murni, luhur).
Ornamen figuratif binatang terdapat pada dua pintu salah satu gerbang Paduraksa.
Ornamen itu berupa dua binatang kembar, yang saling berhadapan pada kedua belahan daun
pintu dengan bahan kayu. Secara anatomis, figur binatang itu seperti kelinci atau kancil, tetapi
memiliki daun telinga lebar mirip sayap, dan sebuah cula di kepala bagian atas. Ekor binatang itu
mirip kelinci, bersurai, memiliki empat kaki yang salah satu kaki depannya terangkat, dan
memiliki jenggot. Pola penggambaran figur itu sangat berbeda dengan pola umum
penggambaran motif ornamen lain, yang bercorak denaturalistis, dan non-ikonik bentuk figurnya
dengan pendekatan dekoratif-stilitatif. Susanti-Sahar menyebutkan binatang itu sebagi domba,
namun dari wujud fisik (visual), adanya daun telinga yang lebar seperti sayap, satu cula (tanduk
ke atas), dan proporsi tubuhnya yang sangat berbeda dengan anatomi domba, maka dapat
diidentifikasi dengan meyakinkan bahwa binatang itu bukan domba. Figur itu merupakan
binatang mitologis tradisi seni hias Hinduis-Budhis yang sering muncul pada relief dinding
bagian kaki candi. Binatang tersebut adalah binatang bulan (Hare). Menurut Hariani-Santiko,
figur hare sering muncul pada relief batu sungkup (bagian kaki bangunan) candi gaya Singasari,
yang menjadi ciri khas pembeda dengan candi gaya Mataram Kuno. Bila pada candi Mataram
Kuno, relief pada batu sungkup-nya berupa bunga padma dengan delapan daun telinga, maka
pada candi gaya Singasari relief batu sungkup-nya berupa figur binatang hare. Pada beberapa
relief batu sungkup candi Majapahit, hare sering digambarkan dengan penunggangnya dan
dalam lingkaran matahari (Sinar Majapahit). Penggambaran hare memiliki makna simbolik
sebagai bulan dan matahari (candra-cakra).

Gambar 3. Keunikan Ornamen Bermotif Figuratif Masjid Menara Kudus


Makam Sunan Kudus

Makam Sunan Kudus kemudian dibangun sepeninggal Sunan Kudus pada tahun 1550 M /
968 H. Setelah wafat, oleh keluarga makam Sunan Kudus ditempatkan di belakang masjid Al-
Aqsa atau Masjid Menara Kudus.

Gambar 4. Makam Sunan Kudus

Makam Sunan Kudus terbagi-bagi dalam beberapa blok, dan tiap bloknya memiliki
bagian sendiri-sendiri dari hubungannya terhadap Sunan Kudus. Blok yang terdekat dengan
makam Sunan Kudus adalah keluarga dekat Sunan Kudus, seperti putra putri Sunan Kudus.
Selanjutnya adalah blok para Panglima perang serta blok utama adalah Makam Sunan Kudus.
Selain itu, di area makam Sunan Kudus juga terdapat makam para Ulama yang juga berjasa
dalam penyebaran dan pengembangan Agama Islam, seperti Kiai Haji Raden Asnawi, salah satu
pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama di Kudus.
Gambar 5. Makam K.H Raden Asnawi

Yang membedakan adalah semua pintu yang menghubungkan antar blok menyerupai
bangunan gapura pada candi-candi Hindu. Tembok-tembok pada area makampun tersusun dari
batu bata merah yang disusun selayaknya bangunan candi.

Dalam pembangunan area makam Sunan Kudus, penataan blok-blok dan bentuk area
makam dibentuk dengan mengedepankan konsep ruang pertahanan, yang mana digunakan untuk
melindungi dan mengurangi akses dari pihak luar. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
mengurangi campur tangan pihak luar dalam hal pengembangan makam Sunan Kudus, dengan
harapan agar area makam tetap terjaga keasliannya. Komplek Makam Sunan Kudus sendiri
terdiri dari Menara, Masjid Al Aqsa, Makam Sunan Kudus, Gerbang Tajug, Pancuran Wudhu,
Gapura Samping, Gapura Padureksan Kidul Menara, Gapura Kembar. Setiap bagian bangunan
dihubungkan oleh gapura dan tembok tinggi dengan ciri khas seperti candi, yang berfungsi untuk
saling melindungi setiap bangunan dan juga blok- blok makam. Bangunanbangunan tersebut
kemudian memiliki fungsi sendiri-sendiri tetapi tetap memiliki simbol yang khas serta
berhubungan dengan ajaran agama Islam.
Gambar 6. Gapura Tajug

Aktivitas di Kawasan Masjid Menara Kudus

Aktivitas yang diamati di kawasan Menara Kudus adalah aktivitas yang dilakukan oleh
peziarah dan jamaah masjid al- Aqsha. Peziarah yang mengunjungi kawasan Menara Kudus
mempunyai tujuan utama berziarah ke makam Sunan Kudus sekaligus sholat di Masjid Al-
Aqsha. Jumlah peziarah tidak pernah sepi setiap hari. Biasanya peziarah datang secara
rombongan menggunakan bis atau kendaraan pribadi. Ziarah pada makam Sunan Kudus dibuka
mulai jam 5 dini hari dan ditutup tengah malam, dengan waktu paling ramai di pagi dan sore
hingga malam hari. Pada peziarah biasanya datang ke makam Sunan Kudus sebagai rangkaian
ziarah ke Wali songo.

Tidak semua peziarah menganggap kegiatan yang mereka lakukan sebagai sebuah wisata.
Hal tersebut sesuai dengan perjalanan yang dilakukan. Ketika peziarah berasal dari luar kota,
secara otomatis mereka melakukan perjalananyang kemudian diartikan sebagai perjalan wisata.
Dengan melakukan perjalanan tersebut, peziarah juga memiliki niat untuk menyegarkan
pikirannya, dengan didukung arsitektur yang menarik di area makam Sunan Kudus, sehingga
peziarah memiliki keinginan untuk berfoto, sebagai mana yang biasa mereka lakukan ketika
mengunjungi tempat wisata. Berbeda dengan peziarah yang berasal dari dalam kota, mereka
tidak melakukan perjalanan yang memakan waktu, sehingga pemaknaan pesan mereka murni
untuk melakukan ziarah Wali Sunan Kudus, dengan tujuan-tujuan yang sudah mereka siapkan.

Biasanya, para peziarah langsung menuju ke Makam Sunan Kudus untuk berziarah,
kecuali sudah memasuki waktu sholat maka peziarah akan melaksanakan sholat di Masjid Al
Aqsha terlebih dahulu. Pintu gerbang menuju Makam, Menara, dan Masjid berada di satu arah
berjajar sehingga peziarah bisa mengenali dan menemukannya secara mudah. Selain
melaksanakan sholat, para peziarah juga bisa beristirahat sejenak di masjid sambil menunggu
keberangkatan bis kembali. Tempat yang digunakan peziarah beristirahat sejenak adalah di
serambi masjid. Serambi masjid ini digunakan juga untuk menghafal AlQur’an. Banyak rumah-
rumah yang ada di sekitar Menara Kudus memberikan fasilitas ruangan untuk beristirahat dan
mandi serta bebersih badan. Biasanya rombongan peziarah yang datang malam hari atau dini hari
akan memanfaatkan fasilitas ini. Aktivitas lain yang dilakukan para peziarah selain sholat dan
berziarah adalah berfoto di sekitar Menara Kudus dan membeli oleh-oleh yang tersedia di toko-
toko yang berjajar di depan Menara Kudus. Kegiatan berfoto ini paling banyak dilakukan di
depan Menara Kudus, bahkan peziarah juga bisa memesan foto dan langsung dicetak ditempat
sebagai kenang-kenangan.
Gambar 7. Peziarah di kawasan Masjid Menara Kudus

Peziarah yang datang untuk sholat bisa menggunakan ruang utama, pawestren, atau di
serambi. Dapat dideskripsikan bahwa ruang sakral untuk aktivitas sholat adalah pada bagian
dalam masjid dan pawestren. Ruang serambi, digunakan untuk sholat namun juga digunakan
untuk beristirahat para peziarah dan sebagai tempat menghafal Al-Qur’an bagi santri yang
berada di pondok sekitar Menara Kudus.
Sedangkan Ruang sakral pada makam terletak pada area makam Sunan Kudus yang
berada pada sisi paling dalam dari keseluruhan makam. Untuk menuju ke Makam Sunan
Kudus, kita harus melewati beberapa makam terlebih dahulu. Masjid dan Makam mempunyai
akses secara langsung karena para peziarah biasanya berwudhu terlebih dahulu sebelum
masuk ke Makam.
Selain ramai di kunjungi para peziarah, di Kawasan Menara Kudus ini ada kegiatan
besar yang dilakukan setahun sekali. Kegiatan ini dinamakan “Bukak Luwur”, yang
merupakan kegiatan penggantian kelambu makam Sunan Kudus. Biasanya kegiatan bukak
luwur ini didahului dengan serangkaian acara lain seperti pengajian, pembuatan nasi
jangkrik, santunan anak yatim, dan beberapa acara lain yang pada puncaknya adalah
penggantian luwur atau kelambu pada makam Sunan Kudus yang biasanya dilaksanakan
bertepatan dengan 10 Muharram.6
Pengaruh yang ditimbulkan dari keberadaan Masjid Menara Kudus
Pengaruh yang ditimbulkan dari keberadaan Masjid Menara Kudus terhadap kehidupan
sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Kudus Kulon dan sekitarnya adalah 1) Dalam bidang
sosial, meliputi bidang keagamaan, pendidikan dan organisasi sosial. 2) Dalam bidang budaya,
Masjid Menara Kudus dijadikan sebagai aset wisata daerah yang meliputi wisata budaya, wisata
agama dan wisata historis. 3) Dalam bidang ekonomi, karena Masjid Menara Kudus dijadikan
daerah tujuan wisata, maka banyak yang datang ke Masjid Menara Kudus, dengan demikian
dapat meningkatkan pendapatan baik kas masjid, Dinas Pendapatan Daerah Kudus dan
masyarakat yang berjualan di sekitar Masjid Menara Kudus.
Hal tersebut tidak terlepas dari adanya latar belakang sejarah Masjid Menara Kudus itu
sendiri yang meliputi aspek nilai-nilai budaya dan pengetahuan yang terkandung dalam

6
Anisa, “Kajian Identifikasi Ruang Sakral pada Kawasan Bersejarah. Studi Kasus Kawasan Menara
Kudus, Jawa Tengah, Indonesia”, Jurnal Seminar Nasional Penelitian LPPM UMJ (Oktober, 2020), hal: 5-6
bangunan tersebut dan juga figur pendirinya yaitu Sunan Kudus sebagai seorang tokoh ulama
sekaligus wali yang merakyat, sederhana dan mempunyai kharisma yang besar. Selain itu,
Masjid Menara Kudus sebagai pusat agama Islam pada perkembangannya telah mempengaruhi
sendi-sendi kehidupan religius masyarakat Kudus Kulon yang dikenal dengan sebutan
masyarakat santri.
DAFTAR PUSTAKA

Nayyiroh, Zakiyyah Ainun. 2021. “Disiplin Wisatawan dalam Ziarah Wali Sunan Kudus”,
(Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta) hal: 19

Dedik Agus Indra F,dkk. “Nilai Historis Komplek Makam Sunan Kudus sebagai Bahan
Pengembangan Sumber Belajar Sejarah Lokal”, Jurnal Candi, Vol 15 No. 1 (82)

Rosyid, Mohammad. 2019. “Menara Masjid Al-Aqsha Kudus: Antara Situs Hindu atau Islam”,
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 8 No. 1. hal: 21-22

Bustami, S.P. 2005. “Seni Bangun Masjid Menara Kudus Representasi Akulturasi Budaya”,
Jurnal Humanika Vol. 18 No. hal: 573

Anda mungkin juga menyukai