Anda di halaman 1dari 3

Setapak Kisah Tentang Kota Santri

Oleh Iraya Febri Anggana

Kota santri adalah istilah yang diberikan kepada kota-kota yang memiliki banyak
pondok pesantren. Istilah kota santri semakin populer dengan diciptakannya lagu “Kota
Santri” yang diciptakan oleh seorang warga Kaliwungu, Kendal. Di Indonesia ada beberapa
kota yang sering disebut sebagai kota santri, salah satunya adalah kota Kudus.
Kudus merupakan kota yang terletak di jalur Pantai Timur Laut Jawa Tengah antara
kota Semarang dan kota Surabaya. Kota ini berjarak sekitar 51 kilometer dari arah Timur kota
Semarang. Nama Kudus diambil dari kata Al Quds yang berarti kesucian., yang kemudian
dalam ejaan lidah Jawa berubah menjadi Kudus.
Tiap-tiap kota bisa mengklaim bahwa kota mereka adalah Kota Santri. Tapi, Kudus
adalah kota santri dalam arti sebenarnya. Kentalnya nuansa Islam yang ada di kota ini
menjadikan Kota Kudus juga dianggap sebagai kota santri. Selain itu, Kudus juga menjadi
rujukan para generasi muda untuk memperdalam agama, dengan banyaknya pesantren yang
berdiri. Sehingga predikat Kudus kota santri menjadi penguat atas berbagai predikat lain yang
melekat. Hal itu dapat dilihat dengan kota Kudus sebagai salah satu pusat dakwah Islam di
Jawa serta terdapatnya lima makam auliya’, yakni Kyai Telingsing, Sunan Kudus, Sunan
Muria, Sunan Kedu, dan Syekh Syadzili.
Kota yang menyandang gelar “Kota Santri” ini memiliki 86 pondok pesantren yang
tersebar di sembilan kecamatan. Nah, yang istimewa dari Kudus adalah lahirnya banyak ahli
Qur’an. Pondok pesantren di Kudus terkenal dengan pengajarannya tentang ilmu Al Qur’an.
Pondok pesantren yang sangat terkenal dengan pengajaran ilmu Al Qurannya adalah pondok
pesantren Yanbu’ul Qur’an yang merupakan pondok pesantren warisan KH. Arwani Amin.
Pesantren itu kini diasuh oleh anaknya yakni KH. Ulin Nuha Arwani.
Salah satu sikap hidup yang diajarkan Sunan Kudus kepada santrinya adalah
Gusjigang. Gus berarti bagus, Ji berarti mengaji, dan gang berarti berdagang. Melalui filosofi
itu, Sunan Kudus menuntun masyarakat menjadi orang yang berkepribadian bagus, tekun
mengaji, dan mau berdagang. Dalam gusjigang terdapat spirit bahwa ilmu agama dan harta
benda sama-sama diperlukan. Dalam Gusjigang pula warga Kudus percaya, rezeki harus
diperoleh dengan cara halal. Walaupun jumlahnya sedikit, tapi jika halal akan bermanfaat.
Sejarah kota Kudus tidak terlepas dari kisah Sunan Kudus. Berkat keahlian dan
ilmunya, Sunan Kudus ditugaskan untuk memimpin para jamaah haji, sehingga diberi gelar
Amir Haji. Amir Haji adalah orang yang menguasai urusan para jamaah haji. Ia sempat
tinggal di Baitul Maqdis untuk belajar agama Islam.
Saat itu, orang-orang disana banyak yang terjangkit wabah penyakit, sehingga banyak
orang yang menjadi korban jiwa. Namun, berkat bantuan Sunan Kudus, wabah tersebut dapat
diberantas. Atas jasanya, maka seorang Amir di Palestina memberikannya hadiah berupa
wewenang menguasai suatu daerah di Palestina. Pemberian tersebut dituliskan pada batu
dengan huruf arab kuno dan sekarang masih ada di atas mihrab masjid menara Kudus. Sunan
Kudus memohon kepada Amir Palestina untuk memindahkan wewenang wilayah tersebut ke
Pulau Jawa. Permohonan tersebut disetujui dan Sunan Kudus kembali ke Pulau Jawa.
Setelah kembali ke Pulau Jawa, Sunan Kudus mendirikan masjid di daerah Kudus
tahun 1956 H. Mulanya, masjid ini akan diberi nama Al Manar atau Masjid Al Aqsho, meniru
nama masjid di Yerussalem yang bernama masjid Al Aqsho. Kota Yerussalem sendiri juga
disebut sebagai Baitul Maqdis atau Al Quds. Dari kata Al Quds kemudian lahirlah kata
Kudus, yang kemudian digunakan sebagaimana kota Kudus sekarang. Selain itu, sebelum
bernama Kota Kudus, dulunya kota ini Bernama Kota Tajug. Disebut Tajug karena banyak
atap arsitektur tradisional yang sangat kuno dan digunakan untuk tujuan keramat disana.
Kudus itu unik. Satu kabupaten yang menyandang banyak julukan. Selain dikenal
sebagai Kota Semarak, Kudus memiliki semboyan “Semarak” kependekan dari kata Sehat,
Elok, Maju, Aman, Rapi, Asri, dan Konstitusional. Selain itu, juga dikenal sebagai Kota Wali,
Kota Jenang, Kota Santri dan Kota Kretek.
Selain banyaknya pondok pesantren yang ada di kota ini, Kudus juga termasuk kota
industri. Dengan adanya berbagai macam perusahaan skala nasional yang ada misalnya
perusahaan rokok, perusahaan kertas, perusahaan alat elektronik. Meskipun termasuk kota
industri namun suasana Kota Kudus tetap nyaman, adem, dan sangat jarang sekali ada demo
di kota ini, apalagi demo yang membawa embel-embel agama, berbeda dengan kota industri
lainnya yang cenderung panas, individualis, macet dan serba mahal.
Berbicara tentang ketoleransiannya, bagi masyarakat Kudus bukan hanya slogan saja,
namun sudah menjadi bagian dari kehidupan dan adat. Setiap warga pendatang akan mudah
merasakan kerukunan di kota ini seperti orang yang sudah nyantri bertahun-tahun di kota
Kudus ini. Warga Kudus sudah terlatih hidup dalam perbedaan agama satu sama lain.
Perjalanan menjaga hidup bersama dapat dipetik dari berbagai agama dan suku di kota yang
berjuluk kota santri ini.
Banyak simbol yang menunjukkan bahwa kota Kudus merupakan kota yang toleran,
masjid Menara Kudus salah satunya. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di
Indonesia. Masjid ini dianggap sebagai simbol toleransi karena memiliki menara yang
menyerupai bangunan candi. Hal ini oleh pendiri masjid Menara Kudus yaitu Sunan Kudus
dimaksudkan agar masyarakat Kudus yang dulunya banyak beragama Hindu bisa menerima
dan hidup dengan damai setelah kedatangan agama Islam. Terkesan dengan sikap Sunan
Kudus, akhirnya banyak orang Hindu di Kudus yang akhirnya beralih memeluk agama Islam
tanpa paksaan waktu itu.
Seiring berjalannya waktu akhirnya masyarakat kudus mayoritas memeluk agama
Islam. Namun bangunan menara yang menyerupai candi tidak dibongkar dan tetap
dipertahankan sampai sekarang sebagai simbol toleransi. Tak jauh dari masjid Menara Kudus
juga terdapat sebuah klenteng yang tetap menjalankan aktivitasnya dengan damai tanpa
gangguan walaupun terletak di lingkungan muslim.
Tak hanya melalui bangunan, toleransi di Kota Kudus juga tercermin dari kuliner.
Merek jenang Mubarok adalah merek paling terkenal. Tidak hanya di Indonesia, tapi ke
sejumlah negara Islam di Timur Tengah juga soto kudus yang tak kalah enaknya.
Di Kudus, masyarakat tidak menyembelih sapi dan larangan ini masih dijalankan
warga kudus sampai sekarang. Maka tak heran jika kuliner khas kota ini banyak yang
berbahan dasar daging kerbau. Misalnya, sate kerbau, soto kerbau, sop kerbau, dan masih
banyak lagi. Hal ini tidak terlepas dari peranan Sunan Kudus zaman dahulu yang melarang
warga Kudus menyembelih sapi karena menghormati warga Hindu yang mensucikan hewan
sapi, maka sebagai gantinya masyarakat Kudus menyembelih domba atau kerbau saat idul
adha. Kalaupun ada yang menyembelih sapi di Kudus biasanya merupakan pedagang yang
belum mengetahui adat istiadat Kudus.
Umat islam di kota ini juga selalu menggelar tradisi dandangan menjelang bulan
Ramadhan. Tradisi ini sudah turun temurun atas warisan dari Sunan Kudus. Dulu tradisi ini
bermula pada saat masyarakat mendatangi masjid Menara Kudus untuk mendengarkan
pengumuman dari sesepuh masjid mengenai kapan mulainya hari pertama puasa Ramadhan.
Pengumuman diawali dengan menabuh beduk yang terpasang di menara, lalu beduk tersebut
kedengarannya menimbulkan suara “dhang…dhang…”. Bunyi beduk itulah yang
memunculkan kata dhandhang, sehingga kebiasaan tersebut dikenal sebagai tradisi
dandangan.
Tradisi lainnya seperti tradisi sewu kupat yang disemarakkan tepat tanggal 1 Syawal,
Tradisi Buka Luwur yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Suro di makam Sunan Kudus dan
16 Suro di makam Sunan Muria, Tradisi Kupatan yang mungkin terjadi di daerah kalian yang
dilakukan satu minggu setelah lebaran,Tradisi Budaya Wiwit Kopi yang biasa dilakukan di
Colo, Budaya Tari Kretek, Tradisi Adat Rogomoyo yang dilakukan setiap tahun tepatnya saat
bulan Muharram atau Syura di dukuh Prokowinong, Desa Kaliwungu, Kudus. Jenang
Tebokan,Rebo Wekasan, Ampyong Maulid, Tradisi Adat Bulasan serta tradisi yang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai