Anda di halaman 1dari 4

MENGENAL PENDIDIKAN PESANTREN

DARUZZAHRA (DAR AL ZAHRA) TARIM, YAMAN

Tarim sebagai kota seribu wali, terkenal sebagai pusat ilmu dan penyebaran islam ke
seluruh dunia. Akhir-akhir ini nama Tarim tidak asing lagi di telinga kita. Utamanya bagi para
santri, Tarim banyak di idam-idamkan menjadi tempat untuk menuntut ilmu. Berikut hasil
interview kami bersama alumni Pesantren Daruzzahra, yaitu Syarifah Sania Fatimah Az Zahra
binti Umar Al Mutahar.

1. Di Indonesia, seorang yang menuntut ilmu disebut sebagai santri. Lalu apakah
sebutan bagi penuntut ilmu di kota Tarim sama seperti di Indonesia atau ada
panggilan khas tersendiri?
Terkait dengan penyebutan santri di Kota Tarim itu relatif sama karena perbedaan di sini
cuma terkait bahasa saja. Kalua santri itu adalah penyebutan untuk orang yang menuntut ilmu di
Indonesia, kalau perempuan disebut santriwati. Tapi di Tarim karena santrinya bukan hanya
terdiri orang Indonesia saja, jadi penyebutannya lebih bersifat global seperti mungkin thaalib
(penuntut ilmu) atau thaalibaat (para penuntut ilmu perempuan), jadi penyebutannya tidak ada
perbedaan akan tetapi ketika kita terjemahkan atau translatekan tau, misal secara maksud kita
terapkan, apakah santri dan thaalib ini sama? jawabannya sama, perbedaannya disini hanya
terkait penyebutan saja.

2. Bagaimana Syarifah Sania menyesuaikan diri di tengah keragaman yang terdapat


disana?
Pastinya penyesuaian diri di sekolah yang sifatnya Internasional seperti itu tidak mudah
karena kita harus bisa survive, harus bisa bertahan diantara orang-orang yang culture nya
berbeda dengan kita, budaya sehari-hari dan bahasanya saja beda. Ketika kita berkomunikasi saja
mungkin akan sering terjadi miss understanding karena bahasanya aja ngga sama, tapi pastinya
karena tujuan kita satu, mau belajar, mau menuntut ilmu. Alhamdulillah Allah berikan kita jalan,
berikan kita kenyamanan, dan karena memang tujuan kita untuk bersaudara jadi apa yang kita
lakukan disana itu gak ada sifat kayak menjatuhkan satu sama lain, atau misal membanggakan
diri satu sama lain, jadi seperti merasa dapat keluarga baru kalau dalam menyesuaikan diri disana
dan sama sekali gak susah karena ketika kita sudah sampai disana itu sangat kekeluargaan,
walaupun nantinya pasti dimanapun kita tinggal kita akan mejumpai yang namanya masalah,
konflik dan lainnya. Tapi terlepas dari semua itu, kita di Daruzzahra nyaman sekali dengan
perbedaan yang kita miliki justru kita mempunyai beragam budaya. Kita merasa bahwa betapa
islam ini begitu agung bisa mempersatukan berbagai macam budaya, ras, keturunan baik itu
keturunan dari lahir atau yang baru masuk islam (muallaf), tapi kita tetap bisa bersama-sama dan
sama rata gak ada yang lebih mulia diatas yang lain, kecuali memang kita memuliakan dan
menghormati mereka karena kelebihan ilmu dan martabatnya, seperti mereka yang lebih tua pasti
lebih dimuliakan, lebih unggul kelasnya, yang lebih unggul ilmunya pasti kita muliakan
(ihtiromi). Tapi secara global kita tetap bisa melewati perbedaan budaya tersebut dengan cara
yang kekeluargaan karena kita disini adalah berkeluarga. Apapun yang kita lalui, kita hadapi, kita
dapat menyelesaikan dengan cara kekeluargaan jadi gak ada persaingan, gak ada saling
mejatuhkan dan sebagainya.

3. Bagaimana cara pendidikan atau pengajaran di Daruzzahra yang bisa diterapkan


di Indonesia?
Mungkin untuk penerapan pesantren di Indonesia kurang lebih mengadaptasi dari apa yang
ada di Yaman. Tapi dari apa yang saya lihat, perbedaan yang mencolok antara pesantren di
Indonesia dengan pesantren Yaman adalah pesantren Yaman itu tidak ada ta’ziran, kalaupun ada
itu relatif kecil, contoh telat sholat. Pelanggaran seperti itu di Indonesia hukumannya mungkin
dipukul dengan rotan (di beberapa pondok pesantren) atau disuruh membersihkan kamar mandi
dan sebagainya. Nah, untuk di Yaman seperti di Tarim tidak ada hukuman untuk pelanggaran-
pelanggaran tersebut, karena disini pondoknya bersifat tazkiyah (pembersihan hati/pembersihan
diri), jadi semua peraturan-peraturan itu ditaati dan dipenuhi, semuanya terdorong dan terbangun
dari keinginan para santri sendiri jadi tidak ada paksaan. Akan tetapi ustadzah akan selalu
mengingatkan dan mendorong kita supaya untuk menaati peraturan tanpa adanya hukuman yang
ditetapkan seperti di Indonesia. Menurut saya, adanya ta’ziran itu memang sudah paling tepat
bagi santri di Indonesia karena di tahap kita awal belajar, kita perlu adanya pengarahan dan
penekanan. Kita ngga akan jadi seperti sekarang. Insya Allah ketika mendengar suara adzan kita
langsung sholat, kalau bukan karena guru-guru kita yang menetapkan hukuman dan ta’ziran.
Dan untuk masalah kultur-kultur di Tarim yang bisa dibawa ke Indonesia, Subhanallah. Insya
Allah semuanya sudah kita temui di Indonesia karena sejatinya guru-guru kita juga beracuan
kepada guru-guru mereka yang relatif mungkin keturunan orang orang Yaman seperti para
habaib.

4. Dari yang sudah Syarifah Sania dapatkan di Daruzzahra, pelajaran atau


pengajaran hidup apa yang Syarifah terima sehingga bisa membentuk karakter
Syarifah?
Menurut saya, yang pertama adalah pentingnya kesadaran diri, karena ketika kita sudah biasa
ditekan oleh peraturan, secara tidak langsung membunuh kesadaran dan memupuk keterpaksaan
kita. Karena ketika kita melakukan sesuatu diancam dengan hukuman kita akan melakukan
dengan terpaksa, tapi ketika kita melakukan sesuatu dan disitu diberi pilihan untuk melakukan
atau tidak, yang mana Allah ta’ala juga berfirman dalam Alquran “wahadaina hunnajdain”
(manusia itu diberi Allah dua jalan). Nah, di Indonesia kita ditekankan, mau tak mau kita harus
mengikuti yang diatur oleh pondok, sehingga namanya kesadaran hati kita untuk berbuat baik itu
kadang bisa hilang karena sudah terbiasa melakukan segala sesuatu dengan didikte, tapi ketika
kita melakukan sesuatu dengan sukarela, dengan tazkiyah, dengan dorongan dari guru-guru kita
berupa motivasi mereka dalam setiap pelajaran berupa pekerjaan dan amal guru-guru kita. Jadi
ngga pakai “tidak boleh seperti ini blablabla” atau tidak hanya perkataan saja, tapi kita lihat
bagaimana guru-guru kita menjalankan hal-hal tersebut, maka itu sudah menjadi penanaman
moral yang besar. Menurut saya, karena lingkungan itu bukan sekedar peraturan tertulis ketika
perbaikan diri, akan tetapi merupakan sebuah lingkungan yang memang dibentuk untuk merubah
moral kita menjadi lebih baik. Jadi, pesan atau pelajaran besar yang bisa saya ambil adalah
kesadaran diri itu penting untuk dibangun. Kita ngga bisa mendapat kesadaran gitu aja, kalau
kita mendapatkannya tiba-tiba itu namanya hidayah dari Allah. Kalau kita tinggal dipondok
disitulah Allah SWT mengajarkan sebuah kesadaran, lama-kelamaan kita bakal sadar, lama-
kelamaan kita bakal lebih wake up, kita bakal membuka mata untuk hidup ke jenjang yang lebih
serius seperti kehidupan rumah tangga, kehidupan kerja, atau kehidupan selanjutnya. Kita ngga
akan bisa belajar kalau tidak bisa tinggal dipondok, karena itu miniatur kehidupan selanjutnya
adalah dengan kita tinggal dipondok pesantren. Yang kedua bagi saya adalah ketika kita misal
diberi peraturan dengan sifat yang sedikit memaksa dan menekan, maka disitu para santri akan
menjadikan kehidupan di pondok pesantren sebagai kehidupan yang tidak ingin dia jalani di sisa
kehidupannya nanti. Jadi ketika kita ditekan dengan peraturan seperti itu kita akan “yaudah
selama aku lagi mondok sekarang ini mau ga mau saya harus menaati peraturan, nanti saya saat
pulang saya puas-puasin saya mau tidur, saya puas-puasin mau main HP, saya puas-puasin mau
nonton film”, kenapa terjadi kalimat “mau puas-puasin”, karena ketika dipondok meninggalkan
hal-hal tersebut tidak berdasarkan kesadaran diri-sendiri, tapi berdasarkan atas sebuah
keterpaksaan, sebuah tekanan. Namanya orang ketika ditekan terlalu berlebihan nantinya jiwa
berontaknya semakin kuat, ketika kita terlalu ditekan dengan kekuatan yang tidak seharusnya.
Jadi yang pertama adalah memupuk kesadaran diri itu penting, dan yang kedua faedah yang saya
ambil dari penerapan gaya hidup seperti itu, ketika selesai dari pondok kita jadi menerapkan
kehidupan yang nyaman yang tidak ada keterpaksaan, disitu kita ingin melanjutkan seperti itu
sampai kapanpun nanti

5. Adakah motivasi yang dijadikan pegangan hidup Syarifah Sania?


Motivasi saya simpel sederhana cuma satu yaitu membahagiakan orang tua itu aja yang saya
pengen. Jadi memang motivasi terbesar saya dalam belajar, baik itu belajar kitab, menghafal
alquran, menghafal hadis, atau apapun itu keberhasilan saya, semuanya saya rasa adalah berkat
daripada yang pertama doa orang tua, dan yang kedua adalah memang motivasi terbesar saya
dalam hidup adalah ingin membahagiakan orang tua. Udah itu aja, jadi mondok apapun itu,
apapun yang saya hadapi, saya cuma mikir kalau orang tua saya lihat saya seperti ini mereka
bahagia atau enggak, kalau orang tua saya lihat saya seperti ini mereka senang atau enggak,
mereka mengharap enggak saya seperti ini. Jadi menurut saya itu adalah motivasi utama seorang
tholabul ‘ilm, orang tua dan keluarga itu yang paling utama, karena tanpa mereka kita ngga akan
sampai ke tempat yang seperti ini, tanpa mereka kita ngga akan sampai jadi seperti diri kita yang
sekarang dan merekalah orang yang paling utama yang pantas menikmati hasil daripada
keberhasilan kita yaitu orang tua kita.

6. Apa pesan pesan Syarifah Sania untuk para santri?


Namanya santri itu sekali kamu jadi santri seumur hidup kamu jadi santri, sekali kamu
berguru sama satu guru baik itu kamu udah lulus, udah ngajar, udah nikah maka selama itu juga
kamu mejadi santri daripada guru tersebut. Sekali nyantri tetap santri, sekali thaalib/thaalibah
maka tetap thaalib/thaalibah, maka senantiasalah menuntut ilmu dalam hidupmu karena
sesungguhnya menuntut ilmu itu bukan hanya duduk, ngaji, memaknai kitab, bukan hanya
nderes, tapi menuntut ilmu itu membaca keadaan, membaca lingkungan, mengambil pelajaran
dari kehidupanmu untuk kehidupan nanti. Harus menjadi sosok yang lebih baik, harus
menunjukkan kepada guru-gurumu, kepada Allah SWT, dan Nabi Muhammad SAW bahwa
kamu adalah seorang pelajar yang baik, kamu adalah orang yang bisa mengambil ilmu dalam
semua keadaan dan semua situasi itu yang pertama, dan yang kedua bagi yang masih menapaki
proses pertama dalam menuntut ilmu, masih proses belajar, menghafal, semangat jangan pernah
menyerah, jangan pernah putus asa, karena kepandaianmu bukan dari seberapa cepat hafalanmu,
kepandaianmu bukan dari berapa banyak jumlah setoranmu, tapi sekali lagi bagaimana kita tetap
mau berusaha memperbaiki diri menjadi sosok yang lebih baik. Dan yang ketiga adalah
peganglah pedoman ini kuat-kuat, terapkan dalam hidupmu, doktrinkan dalam pikiranmu bahwa
“’al adab fauqal ‘ilm” adab dan akhlak, etika budi pekerti itu semuanya letaknya diatas ilmu,
berapa banyak ilmu yang kita miliki semua itu tidak akan bermanfaat dan tidak akan nampak
kecuali apabila kita barengi dengan adab yang kita miliki itu yang terpenting, karena Imam
Syafi’i r.a beliau pernah berkata “ij’al ‘ilmak minchan wa adaabak daqiiqat” (Jadikanlah
ilmumu itu seperti garam dan juga adabmu seperti tepung) kalau kita mau buat kue yang lebih
banyak garam atau tepungnya? Tepung kan, supaya kue kita nanti jadi bagus. Nah, begitu
katanya Imam Syafi’I r.a. Kalau mau jadi orang yang bagus, orang yang sukses, orang berhasil
dunia dan akhirat perbaiki adabmu, perbaiki akhlakmu, ilmu nanti jadi penghias diri kita,
menjadi penuntun diri kita menuju Allah SWT. Guru kita Alhabib Umar bin Hafidz tidaklah
beliau banyak mengajarkan kita fiqih, tidak banyak mengajarkan kitab bahtsul masa’il, maknai
kitab enggak, tapi beliau mengajarkan kita “’adab baathin” adab-adab batin yang dengan itu
Insya Allah perlahan-lahan menjadikan kita hamba yang lebih baik di mata Allah SWT.

Reported by :
1) Hayyina Tazkiyatin Nada
2) Iqfina Hammal’ida
3) Maulidatuz Zu’ama

CURRICULUM VITAE
Nama : Sania Fatimah Az Zahra binti Umar Al Mutahar
Alamat : Semarang, Gunung Pati
Tempat, tanggal lahir : Semarang, 23 Oktober 2001
Riwayat Pendidikan : - SD Assalamah
- Ponpes Babul Khoirot
- Ribath Fatah wal Imdad Hautoh, Hadramaut
- Darul Habib
- Daruzzahro, Tarem, Hadramaut
- Baitul Quran, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai