Anda di halaman 1dari 4

NAMA : RIZMA VERIKA AFIYANTI

NIM : 202210040311034

KELAS : IKOM B

TUGAS: AIK 7

 Masyarakat dalam pandangan islam

Masyarakat Islam adalah kelompok orang yang menyatakan dirinya sebagai pemeluk Islam yang
menjadikan Al-Qur'an dan Hadis sebagai kerangka acuan dalam kehidupannya. Masyarakat ini
mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang diikat o\eh agama Islam. Dalam
pandangan para pemikir Muslim Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat terbentuk melalui aqidah
dan syariat Islam dengan menjadikan AlQur' an dan Hadis sebagai pedoman hidupnya yang memiliki rasa
persaudaraan yang solid, cinta kasih yang mendalam atas sesaml warganya meskipun mereka berbeda
kelas, suku, ras maupun golongan. 3. Konsep masyarakat Islam menurut Sayyid Qutb adalah suatu
masyarakat yang tercipta oleh syariat yang khas ciptaan Allah sendiri tanpa melauli prosos evolusi
sejarah. Ia merupakan sebuah masyarakat yang bebas dan terbuka sehingga semua orang, semua
jama'ah dan seluruh bangsa berhak untuk masuk dan berintegrasi di dalamnya. Di Jalam masyarakat
Islam tidak ada perbedaan antara dinding rasial, warna kulit, hahasa bahkan tidak ada batasan geografis
dan batas yang dibuat oleh fanatisme agama. Setiap orang yang berada di bawah kekuasaan Islam
mempunyai hak. dan kewajiban yar1g ::;arna dengan orang-orang Muslim dibawah kekuasaan Islam
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang Muslim.

 Akhlak Ra'i (pemimpin) kepada Ra'iyyah (warga, rakyat)


1. Mencintai Kebenaran
Sebagai seseorang yang akan memimpin orang lain, seorang pemimpin haruslah berpegang
teguh kepada kebenaran yang sudah ditentukan Allah tanpa ada kompromi. Allah
menegaskannya di dalam Qs. Al-Baqarah 147.

‫الحق من ربك فال تكونن من الممترين‬

“Kebenaran itu berasal dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu. “
Jika seorang pemimpin memiliki akhlak yang terpuji, lantas istiqamah di atas kebenaran, maka ia
akan menjadi seorang pemimpin yang senantiasa dihormati dan dipatuhi. Dan di akhirat nanti,
sesuai janji Allah, ia akan diberikan kemuliaan di sisi-Nya karena telah memimpin dengan dan
untuk kebenaran.

2. Dapat Menjaga Amanah dan Kepercayaan Orang Lain


Jabatan merupakan amanah berat yang akan diminta pertanggungjawaban bukan hanya oleh
manusia, tetapi juga di hadapan Nya. maka seorang pemimpin harus benar-benar bisa menjaga
amanah dan tidak menyelewengkannya. Allah telah mengingatkan hal ini dalam surah Al-
Baqarah ayat 166
Oleh karena itu, seorang pemimpin memiliki tanggungjawab moral yang sudah seyogyanya
dijaga terus menerus sebagai control pribadi selama masa kepemimpinannya.

3. Ikhlas dan Memiliki Semangat Pengabdian


Tak ada gunanya jika menjalankan roda kepemimpinan tanpa dilandaskan dengan rasa ikhlas,
karena jika hal tersebut terjadi, maka akan muncul tendensi-tendensi tertentu. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya korupsi. Hendaknya seorang pemimpin hanya mengharapkan ganjaran
terbaik dari Allah. Allah SWT berfirman:
“Siapakah yang memanjari Allah dengan panjar yang baik, maka Allah akan melipatgandakan
pembayarannya secara berlipat-lipat. Dan Allah akan menyempitkan dan melapangkan rezeki.
Dan kepada Nya kamu akan kembali” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 245)

4. Baik dalam Bergaul


Tidak menjadi seorang pemimpin saja kita dianjurkan untuk bersikap baik ketika bergaul, apalagi
ketika menjadi seorang pemimpin. Sebagai makhluk social, multi dimensional, kita diharapkan
mampu memberikan dampak positif bagi oranglain, terutama pemimpin. Seorang pemimpin
haruslah pandai menyesuaikan diri dengan baik di tengah masyarakat tatkala bergaul, sehingga
nilai dakwah akan mudah tersampaikan.
Apalagi, Islam sangatlah mengutamakan sifat persahabatan ketika bermuamalah. Hal ini
disebutkan dalam surah Yusuf ayat 22.
“Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan ia ilmu kebijaksanaan. Demikianlah Kami
memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

5. Bijaksana
Sifat bijaksana merupakan hasil dari akhlakul karimah. Dalam memimpin, kebijaksanaan
memiliki tempat yang sangat urgent, karena dengan sifat ini mampu memberikan rasa tentram
di berbagai kepentingan di tengah masyarakat yang majemuk.
Dalam Qs. Fushshilat 34, Allah berfirman,
“Dan tidaklah sama antara kebaikan dengan kejahatan. Sebab itu, tolaklah kejahatan dengan
perbuatan baik, supaya yang tadinya sedang bermusuhan denganmu, berubah sikap menjadi
sahabat karib yang amat mesra.”
 Akhlak Ra'iyyah (warga) kepada Ra'i (pemimpin)

Mendengar dan mentaati pemimpin adalah kewajiban berdasarkan firman Allah ta’ala,
‫يَاَأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rosul dan ulil amri di antara kalian.”
(Q.S An-Nisa’: 59)
Ayat diatas adalah dalil nash akan wajibnya taat kepada pemimpin, walaupun ada perbedaan
pendapat siapa yang di maksud ulil amri dalam ayat tersebut apakah para ulama atau
pemimpin/perangkat negara, tetapi dengan mentaati keduanya secara bersamaan tentunya
akan terwujud kehidupan dunia dan agama yang baik. Dalam mentaati umaro/pemimpin maka
akan berlangsung kehidupan dunia yang baik dan teratur, dan dengan mentaati ulama akan
mudah bagi kita untuk mengenal dan mempelajari halal dan haram. Intinya dalam hal ini ada
kewajiban untuk mentaati semuanya baik ulama maupun umaro.
Ulama, merekalah pemimpin dalam hal menjelaskan urusan agama adapun umaro merekalah
pemimpin dalam hal mewujudkan hukum-hukum dan mengurus sebuah pemerintahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫صيَة فَِإ ْن َأ َم َر بِ َم ْع‬
‫صيَة فَاَل َس ْمع َواَل طَاعَة‬ ِ ‫َعلَى ال َمرْ ِء ال َّس ْم ُع َوالطَّاعَة فِ ْي َما أحب َوكره ِإاَّل َأ ْن يْؤ َمر بِ َم ْع‬
“Wajib atas seseorang untuk mendengar dan mentaati dalam hal yang dia sukai maupun yang
dia benci, kecuali jika di suruh untuk maksiat, maka jika memerintah untuk bermaksiat, maka
tidak boleh mendengar (perintah tersebut) dan tidak boleh mentaati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mentaati pemimpin itu sejatinya adalah bentuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, sebaliknya
membangkang kepada pemimpin sejatinya membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

‫صانِ ْي‬ َ ‫صى اَأْل ِميْر فَقَ ْد َع‬ َ ‫ َو َمن يطع اَأْل ِميْر فَقَ ْد َأطَا َعنِ ْي َم ْن َع‬،‫صى هللا‬ َ ‫ْصنِ ْي فَقَ ْد َع‬ َ ‫طا َعنِ ْي فَقَ ْد َأ‬
ِ ‫طا َع هللا َو َم ْن يَع‬ َ ‫َم ْن َأ‬
“Barangsiapa mentaatiku maka dia telah mentaati Allah, dan siapa saja yang memaksiatiku maka
dia telah memaksiati Allah, dan barangsiapa yang mentaati pemimpin maka dia telah
mentaatiku dan siapa saja memaksiati pemimpin maka dia telah memaksiatiku”. (HR. Bukhori
dan Muslim)
Mentaati pemimpin itu hukumnya wajib, walau pemimpin adalah orang yang dzolim. Jadi tolak
ukur dalam ketaatan kepada pemimpin bukan di lihat dari kesholehan pemimpin itu sendiri,
tetapi yang menjadi tolak ukur ketaatan adalah jenis perintahnya, apakah perintahnya
melanggar agama atau tidak, adapun kedzoliman pemimpin tidak menghalangi ketaatan
kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ُ‫ َوُأ ِخ َذ َمال‬،‫ك‬
‫ فَا ْس َم ْع َوَأ ِط ْع‬،‫ك‬ َ ‫ب ظَ ْه ُر‬ ِ ‫ َوِإ ْن ض‬،‫ير‬
َ ‫ُر‬ ِ ‫تَ ْس َم ُع َوتُ ِطي ُع ِلَأْل ِم‬
“Tetap mendengar dan juga taat kepada pemimpin meskipun punggungmu di pukul/cambuk,
dan hartamu di ambil, maka tetaplah mendengar dan mentaati”. (HR. Bukhari)
‫ َواَل تَ ْن ِزعُوا يَدًا ِم ْن طَا َع ٍة‬،ُ‫ فَا ْك َرهُوا َع َملَه‬،ُ‫َوِإ َذا َرَأ ْيتُ ْم ِم ْن ُواَل تِ ُك ْم َش ْيًئا تَ ْك َرهُونَه‬
“Dan apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka bencilah
amalnya, dan jangan melepaskan ketaatan kepada pemimpin”. (HR. Muslim)
Wajibnya taat kepada pemimpin sudah menjadi ijma’/kesepakatan ulama salaf. Shidiq Hasan
Khon rahimahullahu ta’ala berkata: “Mentaati pemimpin wajib kecuali di dalam perintah
maksiat, ini sudah menjadi kesepakatan salafus shaleh.”
Adapun jika pemimpin memerintahkan kepada kemaksiatan, maka haram bagi kita mentaati
perintah tersebut, namun dia masih tetap menjadi pemimpin walau perintahnya bersifat
maksiat dan kita tidak boleh keluar dari kepemerintahannya atau memberontak dikarenakan
perintah maksiat tersebut.
 Akhlak antar sesama (Ra'iyyah)
Pada dasarnya, akhlak terbagi menjadi 2 macam jenis
1. Al-Akhlaku al- Mahmud’ah (akhlak baik atau terpuji)
Perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk makhluk yang lain .
2. Al-Akhlaku al- Madhmumah (Akhlak buruk atau tercela)
Perbuatan buruk terhadap tuhan, sesama manusia dan makhluk makhluk yang lain
1. .Al-Shafaqah, yaitu sikap yang selalu ingin berbuat baik dan menyantuni orang lain
Rasulullah SAW bersabda :
ِ ‫َاب َع ْب ٌد َولَ ْم يَجْ َع ِل هَّللا ُ تَ َعا َل فِى قَ ْلبِ ِه َرحْ َمةًلِلبَش‬
‫َر‬ َ ‫خ‬
Artinya: Merugilah seseorang hamba, yang dalam hatinya tidak di beri Allah sifat belas kasihan
terhadap orang lain. HR ibnu Asakir, yang bersumber dari Amri bin Hubai.
2. Al-Ikhaa’, yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan bersatu dengan orang lain
3. Al-Nasiihah, yaitu memberi nasiahat atau suatu upaya untuk memberi petujuk-petunjuk yang
baik kepada orang lain
4. Al-Nasru, yaitu suatu upaya untuk membatu orang lain, agar tidak mengalami suatu kesulitan
atau memberi pertolongan. Dalam HR. Bukhary dan Muslim di katakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
ْ ‫ص َرال َّر ُج ُل َأخَاهُ ظَا لِ ًما َأوْ َم‬
‫ظلُوْ ًما‬ ُ ‫لِيَ ْن‬
Artinya: Hendaklah seseorang itu suka memberi pertolongan kepada saudaranya; baik yang
menganiaya, maupun yang dianiaya.
5. Kazmu al- Ghaizi, ( Menahan Amarah), yaitu upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh
perasaan marah terhadap orang lain
6. Al-hilmu (sopan santun), yaitu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang lain
7. Al-`Afwu (Suka memaafkan), Yaitu sikap dan prilaku seseorang yang suka memaafkan
kesalahan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai