Anda di halaman 1dari 3

Islamic Worldview

1. Kewibawaan Dalam Islam

ْ adalah etika jiwa yang dapat mengantarkan seseorang kepada akhlak yang baik
Muru’ah (ُ‫)ال ُم ُر ْو َءة‬
dan kebiasaan yang terpuji. (Al–Mishbah al–Munir 8/446) Ibnu ‘Arafah brekata, “Muru’ah adalah
penjagaan terhadap suatu perbuatan yang mubah, yang jika ditinggalkan akan mendapat celaan
menurut ‘urf (kebiasaan)… atau tidak melakukan suatu perbuatan yang mubah, yang jika dilakukan
akan mendapat celaan menurut ‘urf.” (Syarh Hudud Ibnu ‘Arafah hal.591)

Muru’ah secara umum terbagi dua, yaitu menjauhi perangai yang tidak disukai Allah dan kaum
muslimin dan menerapkan perangai yang dicintai Allah dan kaum muslimin. (Raudhah
al–‘Uqala’ hal. 232) Ibnul Qayyim mengatakan, “Hakikat muru’ah adalah menjauhi hal-hal
rendahan dan hina, baik dalam perkataan, akhlak, maupun perbuatan.” (Madarijus Salikin 3/151-
152)

2. Hal Hal Yang Membuat Dan Menjaga Kewibawaan Seseorang


Diantara bentuk menjaga kewibaan seorang pemimpin didalam islam adalah seorang pemimpin
tersebut senantiasa menjaga amanah dan tidak berkhianat
menjaga amanah adalah salah satu akhlaq yang sangat mulia didalam islam
sebagaimana hadits Nabi ‫ ﷺ‬berikut

‫حرم هللا عليه‬


َّ ‫غاش ِل َر ِعيَّتِ ِه؛ إال‬
ٌّ ‫ وهو‬،‫ يموت يوم يموت‬،ً‫ «ما من عبد يَ ْست َْر ِع ْي ِه هللا َر ِعيَّة‬:ً‫عن معقل بن يسار رضي هللا عنه مرفوعا‬
)‫الجنة (متفق عليه‬
Ma'qil bin Yasār -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū': "Tidaklah seorang hamba
dibebani amanah oleh Allah untuk memimpin rakyat lalu mati dalam keadaan berkhianat kepada
rakyatnya; melainkan Allah akan mengharamkan surga baginya." (Muttafaq alaih)

3.Hal Hal Yang Merusak Kewibawaan


Rusaknya muru’ah terbagi dua macam; ada yang menurut syar’i dan menurut ‘urf (adat kebiasaan).
Karena syariat tidak dapat berubah dan diganti, maka ia tidak terpengaruh oleh tempat maupun
zaman. Adapun ‘urf sangat bergantung kepada waktu dan tempat.

Para ulama sepakat, bahwa seseorang yang rusak muru’ahnya tidak dapat diterima persaksiannya.
Adapun perkataan dan perbuatan yang dapat merusak muru’ah adalah:
1.Perbuatan haram yang termasuk dosa besar, baik haram zatnya maupun karena sebab yang
lain.
2.Perbuatan makruh yang dianggap dosa kecil, jika terus menerus dilakukan.
3.Perbuatan mubah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan haram atau terus menerus
dikerjakan, sehingga menjadi makruh atau menyerupai orang fasik bila (Al–Muru’ah
wa Khawarimuha, Syaikh Masyhur Hasan Salman hal. 345)
4.Kewibawaan Mengantarkan Kepada Loyalitas
Pemimpin yang baik, dan amanah akan menimbulkan citra yang baik pada rakyatnya. Rakyat yang
telah cinta terhadap pemimpinnya pun pasti akan dengan sukarela mentaati dan menaruh loyalitas
kepada pemimpinnya; Lantas bagaimana Islam mengatur masalah loyalitas ini?!
Masalah al-wala’ (loyalitas/kecintaan) dan al-bara’ (berlepas diri/kebencian) adalah masalah yang
sangat penting dan ditekankan kewajibannya dalam Islam, bahkan merupakan salah satu landasan
keimanan yang agung, yang dengan melalaikannya akan menyebabkan rusaknya keimanan
seseorang[1].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Al-baraa’ah (sikap berlepas diri/kebencian) adalah
kebalikan dari al-wilaayah (loyalitas/kecintaan), asal dari al-baraa’ah adalah kebencian dan asal
dari al-wilaayah adalah kecintaan. Yang demikian itu karena hakikat tauhid adalah (dengan) tidak
mencintai selain Allah dan mencintai apa dicintai Allah karena-Nya. Maka kita tidak (boleh)
mencintai sesuatu kecuali karena Allah dan (juga) tidak membencinya kecuali karena-Nya”

Diskusi Konsep

ketaatan pada pemimpin dan batasan batasan Loyalitas terhadap pemimpin

1. Bolehkah Menaati Pemimpin Dalam Segala Sesuatu


Apakah taat kepada pemimpin itu sesuatu ketaatan yang mutlaq?

Maka jika ada orang yang memerintahkan perkara yang membahayakan diri kita, atau bukan
perkara yang dianggap bagus oleh akal sehat, perkara yang memalukan, perkara yang menjatuhkan
wibawa, dan semisalnya ketika itu tidak wajib taat kepada orang tersebut.

Apalagi perkara maksiat. Tidak boleh kita taat kepada orang lain dalam perkara maksiat begitupula
kepada pemimpin.

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :
َ‫ فإذا ُأ ِم َر بمعصي ٍة فال سمع وال طاعة‬، ‫ ما لم يُؤ َم ُر بمعصي ٍة‬، َ‫المسلم فيما أحبَّ وكره‬
ِ ‫المرء‬
ِ ‫السم ُع والطاعةُ على‬

“Wajib mendengar dan ta’at (kepada penguasa) bagi setiap Muslim, dalam perkara yang ia setujui
ataupun yang ia benci (dari pemimpinnya). Jika pemimpinnya memerintahkan untuk bermaksiat,
tidak boleh mendengar dan tidak boleh ta’at” (HR. Bukhari no. 2955, 7144).

dan Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:

‫أجمع العلماء على وجوب طاعة األمراء في غير معصية‬

“Para ulama ijma akan wajibnya taat kepada ulil amri selama bukan dalam perkara maksiat”
(Syarah Shahih Muslim, 12/222).
2. Bagaimana Menyikapi Pemimpin Yang Menggunakan Wibawa dan Pengaruh
Kekuasaan Nya Tidak Pada Tempatnya

Syaikh Sholeh Al Fauzan menjelaskan bahwa pemimpin yang tegas itu lebih baik. Meski ia adalah
orang yang gemar maksiat. Maksiatnya adalah tanggung jawabnya di sisi Allah. Sedangkan
ketegasannya amat bermanfaat bagi kaum muslimin. Sedangkan orang yang shalih namun tidak
amanah kurang pantas jadi pemimpin. Karena keshalihan adalah kemanfaatan untuk diri sendiri.
Sedangkan tidak amanah berakibat buruk bagi orang banyak. (Syarh Masailil Jahiliyyah, hal. 33).
Dalam ajaran Islam, pemimpin yang fasik akan tetap ditaati. Karena kefasikan atau maksiat yang ia
perbuat akan jadi tanggungan ia sendiri. Ia pun tetap ditaati ketika berbuat zalim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ظ ْه ُركَ َوُأ ِخذَ َمالُكَ فَا ْس َم ْع َوَأ ِط ْع‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ت َ ْس َم ُع َوت ُ ِطي ُع ِلَأل ِم‬
َ ‫ير َوِإ ْن ض ُِر‬
“Dengarkan dan patuhilah penguasa, meski penguasa tersebut memukuli punggungmu dan
merampas hartamu. Tetap dengarlah dan taat.” (HR. Muslim no. 1848).

Syaikh Sholeh Al Fauzan berkata, “Ketika penguasa tersebut berbuat zalim tetap wajib ditaati.
Kerusakan saat taat pada penguasa saat ia bermaksiat lebih ringan daripada harus memberontak.
Rasa aman tetap ada dan akan hilang perpecahan di tengah-tengah umat.” (Idem)

3. Bagaimana Sikap Kita Apabila Mendapati Pemimpin Non Muslim Apakah Kita Wajib
Menempatkan Loyalitas Kepadanya

Juga merupakan bagian dari agama (yang dianut) nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Allah Ta’ala berfirman,
‫ض َو َم ْن يَت ََولَّ ُه ْم ِم ْن ُك ْم فَِإنَّهُ ِم ْن ُه ْم ِإ َّن هَّللا َ اَل يَ ْهدِي ْالقَ ْو َم‬
ٍ ‫ض ُه ْم َأ ْو ِليَا ُء بَ ْع‬
ُ ‫ارى َأ ْو ِليَا َء بَ ْع‬
َ ‫ص‬َ َّ‫{يَا َأيُّ َها الَّذِينَ َآ َمنُوا اَل تَت َّ ِخذُوا ْاليَ ُهودَ َوالن‬
َّ
} َ‫الظا ِل ِمين‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan Nasrani
sebagai kekasih/teman dekat(mu); sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai kekasih/teman dekat, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka” (QS. al-Maa-idah:51)[4].

Anda mungkin juga menyukai