PENDAHULUAN
Dalam kehidupan bernegara, Islam juga telah mengatur dan mengajarkan pada umatnya.
bagaimana yang dipimpin berakhlak dengan baik kepada pemimpin, bagaimana pemimpin
berakhlak kepada orang yang dipimpinnya. Semuanya dijelaskan dalam banyak ayat dalam
Al-Qur’an dan Hadits, yang disertai dengan contoh dari Rasulullah, sahabat, tabiin, tabit
tabiin serta para ulama hingga sekarang.
Islam mengatur bagaimana seharusnya hubungan di antara rakyat dengan penguasa, agar
berjalan dengan harmoni sehingga terbentuk sebuah susunan/jalinan masyarakat yang
diidam-idamkan. Tujuan mulia ini akan terwujid jika hubungan rakyat dan penguasa terjalin
dengan sangat baik. Dalil-dalil yang menerangkan usul yang agung ini di antaranya firma
Allah s.w.t.;
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن َآَم ُنوا َأِط يُعوا َهَّللا َو َأِط يُعوا الَّرُسوَل َو ُأوِلي اَألْم ِر ِم ْنُك ْم َفِإْن َتَناَز ْعُتْم ِفي َش ْي ٍء َفُر ُّد وُه ِإَلى ِهَّللا َو الَّرُسوِل ِإْن ُكْنُتْم
ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اَآلِخ ِر َذ ِلَك َخْيٌر َو َأْح َس ُن َتْأِو يًال
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berselisihan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (Surah an-Nisa [4]: 59)
Rasulullah saw. juga bersabda;
َع ِن الَّنِبِّي صلى هللا عليه، َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا، َع ِن اْبِن ُع َم َر، َح َّد َثِني َناِفٌع: َقاَل، َع ْن ُع َبْيِد ِهللا، َح َّد َثَنا َيْح َيى، َح َّد َثَنا ُمَس َّدٌد
َع ِن، َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا، َع ِن اْبِن ُع َم َر، َح َّد َثَنا ِإْس َم اِع يُل ْبُن َزَك ِرَّياَء َع ْن ُع َبْيِد ِهللا َع ْن َناِفٍع، وسلم َو َح َّد َثِني ُمَحَّم ُد ْبُن َص َّباٍح
َو َال َطاَع، الَّس ْم ُع َو الَّطاَع ُة َح ٌّق َم ا َلْم ُيْؤ َم ْر ِباْلَم ْع ِصَيِة َفِإَذ ا ُأِمَر ِبَم ْع ِصَيٍة َفَال َسْمَع: الَّنِبِّي صلى هللا عليه وسلم َقاَل
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw. : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada
pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah
ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at..
(HR. Bukhari, 4/2955, an-Nasai, 7/4206, Ibnu Majah, 4/2864, Abu Daud 2/2628 )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menyatakan: “Ulil Amri mencakupi dua
golongan, yaitu ulama dan penguasa.” (Majmu’ Fatawa, 5/240)
Islam sangat memuliakan penguasa, ini dikeranakan beratnya tugas yang mereka
tanggung/pikul. Tidak boleh bagi siapa pun untuk merendahkan penguasa, baik itu dengan
celaan, ghibah (umpatan) atau yang selainnya. Rasulullah saw. melarang keras sikap
merendah-rendahkan penguasa, Beliau bersabda;
حدثنا بندار حدثنا ابو داود حدثنا حميد بن مهران عن سعد بن أوس عن زياد بن كسيب العدوي قال كنت مع أبي بكرة تحت
أنظروا إلى أميرنا يلبس ثياب الفساق فقال أبو بكرة اسكت: منبر ابن عامر وهو يخطب وعليه ثياب رقاق فقال أبو بالل
)سمعت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول من أهان سلطان هللا في األرض أهانه هللا(رواه الترمذي
صحي: قال أبو عيسى هذا حديث غريب قال الشيخ األلباني
Ziyad bin Kusaib al-Adawi berkata: “Aku pernah bersama Abu Bakrah duduk di bawah
mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian tipis. Abu Bilal berkata:
‘Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik!’ Abu Bakrah berkata: “Diamlah!
Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menghina penguasa
Allah di muka bumi, Allah akan menghinakannya.” )HR. Tirmidzi, 4/2224 Abu Isa berkata
hadits ini adalah hadits yang ghorib, Syekh Albani menshahihkanya(
Sahl bin Abdullah at-Tustari yang telah berkata: “Manusia akan sentiasa berada dalam
kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan para ulama. Apabila mereka
mengagungkan dua golongan ini, Allah akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Apabila
mereka merendahkannya, bererti mereka telah menghancurkan dunia dan akhirat mereka
sendiri.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/260)
Larangan mencela penguasa bukan hanya kerana memelihara kehormatan kepada mereka
semata, akan tetapi demi membendung dan mencegah kerusakan/keburukan yang besar.
Tidak mustahil bahawa diawali dengan soal cela-mencela akan berakhir dengan
pemberontakan. lantas bagaiman cara yang syar’i dalam mengingkari kemungkaran penguasa
jika terdapat pemimpin yang zalim? pemimpin yang memementingkan kehidupan pribadi
daripada kehudupan rakyat? Sedangkan di dalam islam ada kewajiban amar ma’ruf nahi
mungkar (Surah Ali Imran [3]: 104)
Hal yang perlu difahami dengan baik yaitu tidak terburu-buru mengikuti nafsu amar ma’ruf
nahi mungkar yang akan menghasilkan kepada kerusakan yang lebih parah disebabkan
kaedah yang salah dan menjauhi Sunnah. Rasulullah saw. bersabda:
، َسِم ْع ُت اْبَن َعَّباٍس: َح َّد َثِني َأُبو َر َج اٍء اْلُع َطاِرِد ُّي َقاَل، َع ِن اْلَج ْع ِد َأِبي ُع ْثَم اَن، َح َّد َثَنا َحَّم اُد ْبُن َزْيٍد، َح َّد َثَنا َأُبو الُّنْع َم اِن
َفِإَّنُه َم ْن َفاَر َق، َم ْن َر َأى ِم ْن َأِم يِر ِه َشْيًئا َيْك َر ُهُه َفْلَيْص ِبْر َع َلْيِه: َع ِن الَّنِبِّي صلى هللا عليه وسلم َقاَل، َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا
اْلَج َم اَع َة ِش ْبًرا َفَم اَت ِإَّال َم اَت ِم يَتًة َج اِهِلَّيًة.
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang ia benci dari penguasanya maka hendaklah ia
bersabar. Barangsiapa yang meninggalkan jama’ah walau sejengkal maka dia mati dalam
keadaan jahiliyyah. (HR. Bukhari, 9/7054)
Di hadis lain Nabi saw. bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya akan ada setelahku para
pemimpin yang mementingkan diri mereka sendiri, perkara-perkara yang kalian ingkari.”
Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Beliau menjawab: “Hendaklah kalian menunaikan kewajiban kalian dan mintalah hakmu
kepada Allah. (HR. Bukhari 13/5, Muslim 3/1472)
Imam Ibnu Abil Izzi rahimahullah berkata: “Adapun taat kepada penguasa tetap wajib
sekalipun mereka zalim, kerana keluar dari ketaatan terhadap mereka akan menimbulkan
keburukkan yang banyak melebihi kezaliman mereka. Bahkan sabar di atas kezaliman
penguasa adalah penghapus dosa, melipat gandakan pahala, kerana tidaklah Allah
menimpakan hal itu kecuali kerana keburukkan perbuatan kita sendiri. Balasan itu setimpal
dengan perbuatan. Wajib bagi kita untuk bersunguh-sungguh meminta ampun kepada Allah,
taubat dan memperbaiki diri. Maka apabila rakyat ingin membebaskan diri dari kezaliman
penguasa hendaklah mereka mengawali dengan meninggalkan perbuatan zalim pada diri
mereka sendiri.” (Syarah al-Aqidah at-Thohawiyyah, 2/542).
Hal lain yang diperintahkan dalam Islam jika mendapati penguasa melakukan sesuatu tidak
sesuai dengan syariat Islam ialah menasihati secara rahasia dan tidak dengan terang-terangan
(dipertontonkan), tidak menyebarkan keburukannya di mimbar-mimbar bebas, di tempat-
tempat umum, di pentas ceramah, media-media massa dan cetak, majalah-majalah dan
risalah-risalah, demonstrasi, atau apa saja dari cara-cara yang tidak debenarkan. Jika cara
rahasia tidak dapat ditempuh maka hendaklah dengan cara menyindir misalnya jika penguasa
korupsi hendaknya hanya menyebutkan keharaman korupsi tanpa menyebutkan identitas
secara langsung penguasa tersebut. Rasulullah saw. Bersabda yang artinya: Barangsiapa yang
hendak menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, akan
tetapi hendaklah ia memegang tangannya, kemudian bersendirian dengannya. Apabila
penguasa itu ingin menerima nasihat, maka itulah yang diinginkan. Apabila tidak,
sesungguhnya dia (yang menasihati) telah menunaikan kewajibannya. (HR., Ahmad 3/403,
Hakim 3/290, hadis ini disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dhilalil Jannah, hal. 507)
Memberontak terhadap penguasa hukumnya adalah haram walau bagaimanapun keadaan dan
keburukkan penguasa. Rasulullah saw. bersabda;
َح َّد َثَنا ِإْس َح ُق ْبُن ِإْبَر اِهيَم اْلَح ْنَظِلُّي َأْخ َبَر َنا ِع يَس ى ْبُن ُيوُنَس َح َّد َثَنا اَأْلْو َزاِع ُّي َع ْن َيِز يَد ْبِن َيِزيَد ْبِن َج اِبٍر َع ْن ُرَزْيِقْ ِن َح َّياَن
َع ْن ُم ْس ِلِم ْبِن َقَر َظَة َع ْن َعْو ِف ْبِن َم اِلٍك َع ْن َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِخَياُر َأِئَّمِتُك ْم اَّلِذ يَن ُتِح ُّبوَنُهْم َو ُيِح ُّبوَنُك ْم
َو ُيَص ُّلوَن َع َلْيُك ْم َو ُتَص ُّلوَن َع َلْيِهْم َو ِشَر اُر َأِئَّمِتُك ْم اَّلِذ يَن ُتْبِغ ُضوَنُهْم َو ُيْبِغ ُضوَنُك ْم َو َتْلَع ُنوَنُهْم َو َيْلَع ُنوَنُك ْم ِقيَل َيا َر ُسوَل ِهَّللا َأَفاَل
ُنَناِبُذ ُهْم ِبالَّسْيِف َفَقاَل اَل َم ا َأَقاُم وا ِفيُك ْم الَّص اَل َة َو ِإَذ ا َر َأْيُتْم ِم ْن ُو اَل ِتُك ْم َشْيًئا َتْك َر ُهوَنُه َفاْك َر ُهوا َع َم َلُه َو اَل َتْنِز ُعوا َيًدا ِم ْن َطاَع
Sebaik-baiknya penguasa adalah yang kalian mencintainya dan mereka mencintai kalian.
Kalian mendo‘akannya dan mereka mendo’akan kalian. Seburuk-buruknya penguasa adalah
yang kalian membencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian mencacinya dan mereka
mencaci kalian.” Rosulullah ditanya: “Wahai Rasulullah tidakkah kita memberontak dengan
pedang?” beliau menjawab: “Jangan, selama mereka masih menegakkan solat.” Apabila
kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya
dan janganlah kalian mencabut ketaatan dari mereka. (Hadis Riwayat Muslim, 3/1481)
Sungguh sejarah telah mencatat kekejaman seorang yang bernama Hajjaj bin Yusuf as-
Tsaqofi. Dia telah banyak membunuh jiwa, sehingga sahabat yang mulia Abdullah bin Zubair
radhiyallahu ‘anhu terbunuh. Bagaimana Sikap para sahabat yang lain, apakah mereka
menyusun kekuatan untuk memberontak? Ternyata tidak sama sekali, bahkan mereka tetap
menganjurkan untuk mendengar dan taat. Zubair bin Adiy berkata: “Kami mendatangi Anas
bin Malik mengeluhkan perihal Hajjaj. Anas menjawab: “Bersabarlah, kerana tidaklah datang
sebuah zaman kecuali yang setelahnya akan lebih buruk sehingga kalian berjumpa dengan
Rabb kalian, aku mendengar ini dari Nabi kalian.” (HR. Bukhari, 13/20)
Abu Utsman Said bin Ismail berkata: “Nasihatilah penguasa, perbanyakkan mendo’akan
kebaikan bagi mereka dengan ucapan, perbuatan dan hukum. Kerana apabila mereka baik,
rakyat akan baik. Janganlah kalian mendo’akan keburukkan dan laknat bagi penguasa, kerana
keburukkan mereka akan bertambah dan bertambah pula musibah bagi kaum muslimin.
Do’akanlah mereka agar bertaubat dan meninggalkan keburukkan sehingga musibah hilang
dari kaum muslimin.” (Su’abul Iman, 13/99)
5. Membantunya
Rakyat wajib membantu pemimpinnnya dalam kebaikan, sekalipun haknya
dikurangi. Karena menolongnya akan membuat agama dan kaum muslimin menjadi
kuat, lebih-lebih kalau ada sebagian rakyat yang ingin meneror dan memberontak
kepadanya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi kalian, ingin
mematahkan kekuatan kalian atau memecah belah kalian, sedangkan kalian
mempunyai pemimpin, maka bunuhlah.” (HR. Muslim: 1852)
Perhatikanlah, bagaimana Nabi dilupakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala suatu ilmu
yang sangat agung, yaitu tentang Lailatul Qadar gara-gara ada sahabat yang
bertengkar, beliaupun kacau bacaannya sebab makmumnya ada yang tidak
menyempurnakan wudhu. Bagiamana lagi jika rakyat akidahnya rusak, ibadahnya
jauh dari sunnah, kemudian rakyat ingin pemimpin yang shalih?! Bukankah bani Israil
diubah menjadi kera ketika dipimpin oleh manusia terbaik (Nabi Musa) dan belum
dikutuk tatkala dipimpin oleh Fir’aun? Di satu sisi, itulah hukuman bagi mereka.
Sedangkan bagi rakyat yang shalih itu termasuk dalam firman Allah subhanahu wa
ta’ala yang artinya
“Dan peliharalah dirimu dar sikwaan yang tidak khusus menimpa orang-orang
yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-
Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)
Jika mereka bersabar maka itu akan menghapus dosa yang telah lalu. Al-Baji (Al-
Muntaqa Syarh Al-Muwaththa: 615) mengatakan, “Terkadang sekelompok orang
melakukan perbuatan dosa yang hukumannya akan merembes di dunia kepada orang
lain yang tidak melakukan dosa tersebut. Adapun di akhirat, seseorang tidak akan
menanggung dosa orang lain.”
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menolak keburukan dengan keburukan yang lebih besar menurut ijma muslimin,
(sesungguhnya) hal itu tidak dibolehkan. Dan jika terdapat kelompok yang ingin mengganti
penguasa yang melakukan kekufuran nyata (itu) dan mereka memiliki kemampuan untuk
melengserkannya, kemudian dapat menggantikannya dengan penguasa yang shalih dan baik
tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar atas kaum muslimin, dan tidak menimbulkan
keburukan yang lebih besar dari keburukan penguasa itu sendiri, maka, tidaklah mengapa
melakukan pemberontakan. Sedangkan apabila pemberontakan itu akan mengakibatkan
kerusakan yang besar, (menyebabkan) hilangnya rasa aman serta kezhaliman terhadap orang
lain, (menimbulkan) pembunuhan terhadap orang yang tidak berhak untuk dibunuh dan
berakibat menimbulkan kerusakan lain yang lebih besar, maka tidak dibolehkan melakukan
pemberontakan. Akan tetapi wajib untuk bersabar, mendengar, taat dalam kebaikan,
menasihati penguasa, mendoakan kebaikan bagi mereka, bersungguh-sungguh dalam
mengurangi keburukan dan meminimalkan keburukan, dan (juga) memperbanyak kebaikan.
Demikian inilah jalan dan cara yang benar yang wajib ditempuh. Dalam cara ini terdapat
maslahat (kebaikan) bagi kaum muslimin secara umum. Juga cara inilah yang bisa
meminimalkan keburukan dan memperbanyak kebaikan, juga bisa memelihara rasa aman dan
keselamatan kaum muslimin dari keburukan yang lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Ustadz Abu Bakar dalam Majalah Al-Mawaddah, Vol. 79, Muharram 1436 H
Al-Qurtubi, Syamsuddin, al-Jami’ liahkam al-Qur’an: Tafsir al-Qurtubi, Kairo: Dar al-Kitab
al-Mishriyyah, 1964.
Baihaqi, Abu Bakar Al, Su’abul Iman, India: Dar as-Salafi di Mumbai, 2003, edisi Dr. Abd
al-‘Ali Abd al-Hamid hamid.
Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al, al-Jami’ as-Shahi, Kairo: Dar as-Sya’bi,
1987.
Daud Sulaiman bin al-Asy’atsi as-sijistany, Abu, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, tth, edisi Shalahuddin al-Bani
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qura’an Terjemah dan Penjelasan Ayat Ahkam,
Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002.
Hajar al-‘Asqalani, ibnu, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ma’rifah,
edisi Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadl al-Asqalani as-Syafi’i.
Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Ttp,
Maktabah Abu al-Ma’aty, Tth.
Nasa’i, Ahmad bin Syuaib Abu Abd ar-Rahman An, al-Mujtaby min as-Sunan, Halb: Maktab
al-Mathbu’at al-Islamiyah,1986, edisi Abd al-Fattah Abu Gadah.
Taimiyah al-Harani, ibnu, al-Fatawa al-Kubra, Ttp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987, edisi
Muhammad Abd al-Qadir ‘Atha dan Musthafa Abd al-Qadir ‘Atha.
Tirmidzi as-Salamy, At, al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-Tirmidz, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats
al-‘Araby, Tth, edisi Ahmad Muhammad Syakir Dll.