Anda di halaman 1dari 15

PEREKONOMIAN MASYARAKAT SUKU BADUY

WILAYAH SUKU BADUY

Gambar 1. Tugu Selamat Datang (Ciboleger)

Berdasarkan data yang diperoleh oleh Tim Social Forestry Indonesia, Banten
merupakan wilayah yang berhutan paling luas di Jawa barat dengan 354.970 ha. Jenis
vegetasinya antara lain, Rasamala, Saninten dan Nyamplung. Di wilayah hutan Banten
itulah terdapat Desa Kanekes yang luasnya 5.101,85 ha. Dengan jumlah masyarakatnya
sekitar 5.000 orang yang tersebar di 10 kampung (dalam Wilodati, 1985:7). Desa Kanekes
adalah suatu daerah yang hampir tanpa daratan, karena hampir keseluruhan wilayah Desa
Kanekes adalah dataran tinggi yang berbukit-bukit.

LETAK GEOGRAFIS DAN PEMUKIMAN SUKU BADUY


Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6o2727-6o300 LU
dan 108o39-106o 455 BT. Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di
desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten.
Berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian
dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 600m di atas permukaan laut (DPL)
mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata
mencapai 45o, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian
tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan) dengan suhu rata-rata 20o C. Orang baduy
juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di dea kanekes.
Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di
Pegunungan Kendeng, atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65km sebelah
selatan ibukota Serang, sehingga untuk mencapai lokasi diperlukan waktu sekitar 9 jam,
baik berkendara maupun berjalan kaki. Jadi, dapast disimpulkan bahwa Desa Kanekes jauh
dari pusat kota atau pusat keramaian.
Lokasi dan letak demografi Baduy yang berlokasi di desa Kanekes, Kecamatan
Leuwindar, Kabupaten Rangkasbitung, Banten terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik,
Cibeo, dan Cikertawanan. Dan juga terbagi menjadi Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Daerah dengan luas 1348 Ha, terdiri atas 117 KK yang menempati 99 rumah yang
dinamakan Culah Nyanda atau rumah panggung, sedangkan rumah kokolot atau duku
dinamakan Dangka yang menghadap ke selatan. Suku Baduy mendiami kurang lebih 20
kampung di Desa Kanekes, termasuk Baduy Dangka yang tinggal di luar desa Kanekes.

ASAL USUL SUKU BADUY


Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari
Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul
tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli
sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat
mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.
Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum
keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Padjajaran (sekitar Bogor sekarang).
Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan
bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup
besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah
tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian
sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang
sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di
wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus
tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih
mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut. Perbedaan pendapat
tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan
mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes
sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun
1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah
tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146).
Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari
orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Orang Baduy merupakan
penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek
moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan
kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitanasli, asal, pokok, jati).
Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang
menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
KELOMPOK ETNIS BADUY
1. Tangtu
Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam yang paling ketat
mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung Cibeo, Cikartawana, dan
Cikeusik.

Gambar 2. Ciri khas pakaian Baduy Tangtu


Ciri khas orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua
serta memakai ikat kepala putih (Wilodat, 2011: 4). Baduy Dalam menolak akan adanya
teknologi modern dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka sangat memegang teguh
tradisi dan patuh pada peraturan adat.

2. Panamping

Gambar 3. Ciri khas pakaian Baduy Panamping

Panamping adalah kelompok yang dikenal sebagai baduy luar, yang tinggal di
beerbagai kampung dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy dalam, seperti Cikadu,
Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar
berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam (Wilodati, 2011: 4).
Masyarakat Baduy Luar tidak seperti Baduy dalam yang sangat taat pada adat dan tidak
mau menerima kemajuan teknologi. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy Luar
sudah terpengaruh budaya luar dan kemajuan teknologi, tetapi mereka masih patuh
terhadap adat istiadat meski tidak seketat Baduy Dalam.

3. Dangka
Baduy dangka adalah suku baduy yang tinggal di luar wilayah Kanekes, berbeda
dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Menurut Permana (dalam Astari, 2009: 8), mereka
tinggal di dua kampung yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka berfungsi sebagai buffer zone atas pengaruh dari luar Kelompok etnis
baduy terbagi menjadi tiga yaitu, Baduy Dalam (Tangtu), Baduy Luar (Panamping), dan
Baduy Dangka. Ketiga kelompok Baduy tersebut tinggal di sekitar Desa Kanekes dan di
luar Desa Kanekes. Baduy dalam memiliki pakaian khas berwarna putih dan biru serta
memakai ikat kepala putih, Baduy Luar memiliki pakaian khas dan ikat kepala yang
berwarna hitam, sedangkan Baduy Dangka berfungsi sebagai buffer zone atas pengaruh
dari luar.

Gambar 4. Masyarakat Suku Baduy Dangka foto bersama pengunjung

MATA PENCAHARIAN SUKU BADUY


1. Bertani

Gambar 5. Mata pencaharian bertani Suku Baduy


Bertani adalah salah satu mata pencaharian masyarakat Baduy pada umumnya yang
dilakukan hampir seluruh masyarakat Baduy. Sebelum memulai masa tanam, masyarakat
Baduy melakukan ritual yang disebut ngaseuk, bersih lahan atau yang disebut nyacar,
membakar lahan supaya subur disebut ngadruk. Ada kurang lebih 40 jenis padi yang
ditanam dan tumbuh disekitar suku Baduy. Perawatan padinya pun berbeda dengan
masyarakat di tempat lain, untuk perawatan padi masyarakat Baduy menggunakan
tanaman alami seperti cangkudu, tamiah, gempol, pacing tawa, dan lajak sebagai pestisida
alami (Djoharis L, 2009: 8). Pola bercocok tanam masyarakat Baduy sangat tradisional dan
memegang adat leluhur.

2. Bercocok tanam dan berladang


Bercocok tanam dan berladanang adalah salah satu mata pencaharian suku Baduy.
Mereka memproduksi makanan sendiri yang diperoleh dari hasil bercocok tanam dan
berladang.

Gambar 6. Mata Pencaharian Berladang Suku Baduy


3. Menjual Buah-buahan

Gambar 7. Mata Pencaharian menjual buah-buahan Suku Baduy

Selain bertani, bercocok tanam, serta berladang masyarakat Baduy juga menjual
hasilnya sebagai mata pecaharian. Mereka menjual buah-buahan yang didapat dari hutan
maupun ladang seperti durian, asam keranji, dan madu hutan.

HASIL KERAJINAN TANGAN SUKU BADUY


1. Tas Koja

Gambar 8. Koja, Tas dari Kulit Pohon Khas Suku Baduy


Tas salah satu aksesories yang telah menjadi bagian keseharian dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Bahkan hal ini telah dijadikan nenek moyang manusia selama
ratusan tahun yang lalu. Tidak terkecuali dengan suku-suku tradisional yang mendiami
bumi nusantara. Salah satunya adalah Suku Baduy di Pegunungan Kendeng, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Suku Baduy juga memiliki tas yang terbuat dari
bahan alami koja atau jarog, tas ini menjadi bagian suku baduy dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari.

Banyak souvenir khas suku baduy yang bisa kita dapatkan. Sepert di foto, bapak ini sedang membuat
tas khas suku baduy yang dikenal dengan KOJA. Koja terbuat dari bahan kulit kayu yang dianyam
dengan tangan.

Terbuat dari kulit kayu Pohon Teureup atau terap yang memiliki ketahanan
terhadap rayap, koja diproduksi dengan cara yang tradisional. Proses ini dimulai dengan
mencari jenis pohon tersebut di pedalaman hutan.
Setelah kulit pohon ditemukan, proses selanjutnya adalah mengambil kulit pohon
yang akan dijadikan sebagai bahan dasar tas koja. Kulit pohon ini akan dijemur sampai
kering lalu akan dijadikan serabut guna memudahkan dalam pembuatan benang.
Benang yang telah terajut kemudian disambung hingga menjadi bentuk tas yang
diinginkan. Umumnya lama proses pembuatan tas ini bisa membutuhkan waktu beberapa
hari hingga seminggu. Tergantung dengan kesediaan bahan baku dan kerumitan motif
yang dibentuk dalam tas koja.
Tas koja atau jarog digunakan Suku Baduy dalam menjalankan aktivitas sehari-
hari. Seperti berladang, bercocok tanam, hingga menangkap ikan disungai. Bentuknya
yang menyerupai kotak dan mudah dibawa menjadikan tas ini selalu terlihat mendampingi
dimana pun Suku Baduy berada.
Suku Baduy biasa membawa tas ini dengan cara dijinjing pada bagian pundak atau
disilangkan. Keunikan tas ini selain warnanya yang coklat kehitaman menyerupai kulit
kayu, tas koja ini akan membusuk secara alami ketika sudah tidak terpakai oleh
pemiliknya.

2. Kain Tenun
Kain tenun Suku Baduy dibuat dengan bantuan alam dan proses menenun
dilakukan oleh kaum perempuan Suku Baduy. Proses dimulai dengan kapas yang
dipintal hingga membentuk benang.
Dari benang inilah proses akan dilanjutkan dengan kegiatan menenun. Kegiatan
ini hanya boleh dilakukan oleh kaum wanita Suku Baduy. Mitos yang berkembang
menceritakan, apabila ada pihak laki-laki yang melakukan kegiatan menenun maka
perilaku laki-laki tersebut akan berubah menyerupai perilaku wanita.
Proses menenun bisa berlangsung mulai dari hitungan minggu hingga berbulan-bulan.
Lamanya proses ini disebabkan oleh besar dan kerumitan membuat motif kain. Biasanya
motif kain Suku Baduy berupa garis warna-warni dan motif yang terinspirasi dari alam.
Kain tradisional Suku Baduy selalu digunakan dalam pembuatan baju adat.
Terlebih lagi jika menyangkut dengan Suku Baduy Dalam yang masih memegang teguh
aturan adat. Pakaian harus terbuat dari kapas dan tidak boleh menggunakan mesin jahit
dalam pembuatannya.
Kain di sini didominasi dengan warna putih untuk Suku Baduy Dalam. Warna
ini diartikan dengan suci dan aturan yang belum terpengaruh dengan budaya luar.
Sedangkan bagi masyarakat Baduy Luar, kain berwarna hitam dan biru tua
menjadi warna yang sering dipakai. Untuk kaum perempuan kain digunakan dalam
membuat baju adat yang memiliki bentuk menyerupai kebaya.
Penggunaan kain tenun Suku Baduy tidak hanya diperuntukan bagi pakaian adat
saja. Majunya pariwisita di Baduy Luar dimanfaatkan para penduduk sekitar untuk
menjual kain kepada wisatawan yang datang berkunjung ke daerah mereka. Kain ini
biasanya dijadikan oleh-oleh sebagai tanda pernah berkunjung ke Suku Baduy. Selain
terdapat kain ikat kepala dan pakaian adat, kain tenun di sini juga bisa dijadikan taplak
meja atau hiasan cantik dekorasi rumah Anda.

Sebagian mata pencaharian wanita suku baduy adalah menenun. Kain-kain tenunan
ini juga menjadi souvenir cantik untuk para wisatawan yang mengunjungi kampung
ini.

Kain tenun yang sudah jadi dan siap dijual dipasar ciboleger
KLIPING
PEREKONOMIAN MASYARAKAT SUKU BADUY
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Pelajaran Ekonomi

Disusun Oleh :
Nama : Mimin
Kelas : XI IIS 2

SMA NEGERI 3 PANDEGLANG


Tahun Ajaran 2017/2018
KLIPING
PEREKONOMIAN MASYARAKAT SUKU BADUY
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Pelajaran Ekonomi

Disusun Oleh :
Nama : Nia Sulasih
Kelas : XI IIS 1

SMA NEGERI 3 PANDEGLANG


Tahun Ajaran 2017/2018
KLIPING
PEREKONOMIAN MASYARAKAT SUKU BADUY
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Pelajaran Ekonomi

Disusun Oleh :
Nama : Aep Saepullah
Kelas : XI IIS 5

SMA NEGERI 3 PANDEGLANG


Tahun Ajaran 2017/2018
KLIPING
PEREKONOMIAN MASYARAKAT SUKU BADUY
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Pelajaran Ekonomi

Disusun Oleh :
Nama : Rizki Algafari
Kelas : XI IIS 5

SMA NEGERI 3 PANDEGLANG


Tahun Ajaran 2017/2018

Anda mungkin juga menyukai