Anda di halaman 1dari 12

Sementara menurut pendapat kedua, shalatnya tetap sah.

Sebab ia meninggalkan kiblat


disebabkan udzur, sehingga sama dengan persoalan meninggalkan kiblat saat kondisi
perang. Penjelasan di atas sebagaimana keterangan yang disampaikan dalam referensi
berikut ini: ‫قوله (ومن صلى باالجتهاد) منه أو من مقلده (فتيقن الخطأ) في جهة أو تيامن أو تياسر معينا قبل الوقت أو فيه أعاد‬
‫أو بعده (قضى) وجوبا (في األظهر) وإن لم يظهر له الصواب لتيقنه الخطأ فيما يؤمن مثله في العادة كالحاكم يحكم باجتهاده ثم يجد‬
‫ النص بخالفه‬Artinya, “Orang yang shalat dengan ijtihad dari dirinya sendiri atau orang yang
dia ikuti, kemudian yakin keliru di dalam arah kiblat, arah kanan atau kiri kiblat secara
tertentu, sebelum masuk waktu atau di dalamnya, maka ia wajib mengulangi shalat. Atau
apabila terjadi setelah shalat, maka wajib mengqadla’ menurut pendapat al-Azhhar, meski
tidak jelas baginya kebenaran. Sebab kayakinannya akan sebuah kekeliruan dalam
persoalan yang secara adat terjamin dari kekeliruan, sebagaimana seorang hakim yang
menghukumi berdasarkan ijtihad kemudian ia menemukan dalil nash yang menyelisihinya”.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/100458/terlanjur-shalat-tanpa-menghadap-kiblat
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا َأِط يُعوا َهَّللا َو َأِط يُعوا الَّرُسوَل َو ُأوِلي اَأْلْم ِر ِم نُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara
kalian.” [An-Nisaa: 59]

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫َالطَاَع َة ِفي َم ْع ِصَيِة ِهللا ِإَّنَم ا الَّطاَع ُة ِفي اْلَم ْع ُرْو ِف‬.

“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiyat kepada Allah,
sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan” [1]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ َفَال َسْمَع َو َال َطاَع َة‬،‫ َفِإْن ُأِمَر ِبَم ْع ِصَيٍة‬،‫ ِإَّال َأْن ُيْؤ َم َر ِبَم ْع ِصَيٍة‬،‫َع َلى اْلَم ْر ِء اْلُم ْس ِلِم الَّس ْم ُع َو الَّطاَع ُة ِفْيَم ا َأَح َّب َو َك ِر َه‬.

“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia
cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk
berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” [2]

Apabila mereka memerintahkan perbuatan maksiyat, saat itulah kita dilarang untuk mentaatinya
namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

… ‫…ُأْو ِص ْيُك ْم ِبَتْقَو ى ِهللا َو الَّس ْم ِع َو الَّطاَع ِة َو ِإْن آَم َر َع َلْيُك ْم َع ْبٌد َحَبِشٌّي‬
“…Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi
Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang
budak hitam…“ [3]

Ahlus Sunnah memandang bahwa maksiat kepada seorang amir (pemimpin) yang muslim
merupakan perbuatan maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ َو َم ْن َع َص ى َأِم ْيِر ي َفَقْد َع َص اِني‬،‫ َو َم ْن َأَطاَع َأِم ْيِر ي َفَقْد َأَطاَع ِني‬،‫ َو َم ْن َع َص اِني َفَقْد َع َص ى َهللا‬،‫َم ْن َأَطاَع ِنْي َفَقْد َأَطاَع َهللا‬.

“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang
durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku
(yang muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amirku, maka ia
maksiat kepadaku.” [4]

Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izz ad-Dimasqy (terkenal dengan Ibnu
Abil ‘Izz wafat th. 792 H) rahimahullah berkata: “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib
(selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari
ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan
kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur
dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah Azza wa Jalla tak akan
menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga.
Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh
memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َو َم ا َأَص اَبُك م ِّم ن ُّمِص يَبٍة َفِبَم ا َك َسَبْت َأْيِد يُك ْم َو َيْع ُفو َعن َك ِثيٍر‬

“Dan musibah apa saja yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan).” [Asy-Syuraa: 30]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

‫َو َك َٰذ ِلَك ُنَو ِّلي َبْع َض الَّظاِلِم يَن َبْعًضا ِبَم ا َك اُنوا َيْك ِس ُبوَن‬

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi
sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” [Al-An’aam: 129]

Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin mereka, hendaknya mereka
meninggalkan kezhaliman itu juga.” [5]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari
kezhaliman para penguasa yang ‘warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama
dengan lisan kita’ karena itu agar umat Islam selamat:
1. Hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Hendaklah mereka memperbaiki ‘aqidah mereka.
3. Hendaklah mereka mendidik diri dan keluarganya di atas Islam yang benar sebagai penerapan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫ِإَّن َهَّللا اَل ُيَغِّيُر َم ا ِبَقْو ٍم َح َّتٰى ُيَغِّيُروا َم ا ِبَأنُفِس ِهْم‬

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.” [Ar-Ra’d: 11]

Ada seorang da’i berkata:

‫ ُتَقْم َلُك ْم ِفْي َأْر ِض ُك ْم‬، ‫َأِقْيُم ْو ا َدْو َلَة ْاِإل ْس َالِم ِفي ُقُلْو ِبُك ْم‬.

“Tegakkanlah negara Islam di dalam hatimu, niscaya akan tegak Islam di negaramu.”

Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara menurut sangkaan
sebagian orang, yaitu dengan memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta,
karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash-nash syari’at yang
memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena itu harus ada perbaikan kaidah
dalam pembinaan, dan pasti Allah menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َو َلَينُص َر َّن ُهَّللا َم ن َينُصُر ُهۗ ِإَّن َهَّللا َلَقِو ٌّي َع ِزيٌز‬

“… Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Mahakuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hajj: 40] [6]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menganjurkan agar menasihati ulil amri dengan cara yang baik serta
mendo’akan amir yang fasiq agar diberi petunjuk untuk melaksanakan kebaikan dan istiqamah di
atas kebaikan, karena baiknya mereka bermanfaat untuk ia dan rakyatnya.

Imam al-Barbahari (wafat tahun 329 H) rahimahullah dalam kitabnya, Syarhus Sunnah berkata:
“Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia
termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendo’akan
kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allah.”

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan
dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.” Ia ditanya: “Wahai Abu
‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata: “Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi
diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin
dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan
merasakan manfaat dan kebaikannya.”
Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan bukan keburukan meskipun ia
seorang pemimpin yang zhalim lagi jahat karena kezhaliman dan kejahatan akan kembali kepada
diri mereka sendiri sementara apabila mereka baik, maka mereka dan seluruh kaum Muslimin
akan merasakan manfaat dari do’anya.” [7]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga
1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa-i
(VII/159-160), Ahmad (I/94), dari Sahabat ‘Ali z. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (1/351
no. 181) oleh Syaikh Al-Albani t.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839), at-Tirmidzi (no. 1707), Ibnu Majah
(no. 2864), an-Nasa-i (VII/160), Ahmad (II/17, 142) dari Saha-bat Ibnu ‘Umar c. Lafazh ini
adalah lafazh Muslim.
[3]. HR. Ahmad (IV/126,127, Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimi
(I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205) dan al-Hakim (I/95-96), dari Sahabat ‘Irbadh
bin Sariyah . Dishahihkan oleh al-Hakim dan di-sepakati oleh adz-Dzahabi. Lafazh ini milik al-
Hakim.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 7137), Muslim (no. 1835 (33)), Ibnu Majah (no. 2859) dan an-Nasa-i
(VII/154), Ahmad (II/252-253, 270, 313, 511), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (X/41, no.
2450-2451), dari Sahabat Abu Hurairah .
[5]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 543) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth
dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki.
[6]. Al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah (hal. 69), tahqiq Syaikh al-Albani, cet. II/Maktab al-Islami, th.
1414 H.
[7]. Lihat Syarhus Sunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahary.

Read more https://almanhaj.or.id/1399-ahlus-sunnah-taat-kepada-pemimpin-kaum-


muslimin.html

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda:

‫من أطاعني فقد أطاع هللا ومن يعصني فقد عصى هللا ومن يطع األمير فقد أطاعني ومن يعص األمير فقد عصاني‬

“Barang siapa yang mentaati aku sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang
durhaka padaku sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang siapa yang taat pada pemimpin
sungguh ia telah taat padaku, dan barang siapa yang durhaka pada pemimpin sungguh ia telah
durhaka padaku” (HR. Muslim no. 1835).

Dalil 4

Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, ia berkata:


‫ وعسِرنا‬،‫ في منشِط نا ومكرِهنا‬،‫ أن بايعنا على السمِع والطاعِة‬: ‫ فقال فيما أخذ علينا‬،‫دعانا النبُّي صَّلى ُهللا عليِه وسَّلَم فبايعناه‬
‫ عندكم من ِهللا فيه برهاٌن‬،‫ إال أن تروا ُك فًرا َبواًحا‬،‫ وأن ال ننازَع األمَر أهَله‬،‫ويسِر نا وأثرٍة علينا‬

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memanggil kami, kemudian membaiat kami. Ketika
membaiat kami beliau mengucapkan poin-poin baiat yaitu: taat dan patuh kepada pemimpin,
baik dalam perkara yang kami sukai ataupun perkara yang tidak kami sukai, baik dalam keadaan
sulit maupun keadaan lapang, dan tidak melepaskan ketaatan dari orang yang berhak ditaati
(pemimpin). Kecuali ketika kalian melihat kekufuran yang jelas, yang kalian punya buktinya di
hadapan Allah” (HR. Bukhari no. 7056, Muslim no. 1709).

Dalil 5

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ثم إنها ستكون بعدي أثرة وأمور تنكرونها قالوا يا رسول هللا كيف تأمر من أدرك منا ذلك قال تؤدون الحق الذي عليكم وتسألون‬
‫هللا الذي لكم‬

“Akan datang banyak kezaliman sepeninggalku. Dan perkara-perkara yang kalian ingkari”.
Lalu para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa nasehatmu bagi orang yang mendapat
masa itu?”. Lalu beliau bersabda: “Tunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, dan
mintalah kepada Allah sesuatu yang baik untuk kalian” (HR. Muslim no. 1843).

Dalil 6

Salamah bin Yazid Al Ju’fiy bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫يا نبي هللا أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما تأمرنا فأعرض عنه ثم سأله فأعرض عنه ثم سأله في‬
‫الثانية أو في الثالثة فجذبه األشعث بن قيس وقال اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم‬

“Wahai Nabi Allah bagaimana menurutmu bila diangkat bagi kami pemimpin-pemimpin yang
menuntut segala hak mereka, tetapi mereka tidak menunaikan hak-hak kami? apa perintahmu
untuk kami wahai Rasulullah?”. Maka Rasulullah berpaling darinya, sampai ia tanyakan tiga kali
namun Rasulullah tetap berpaling darinya. Kemudian Al Asy’ats bin Qais menariknya dan
berkata: “Kewajibanmu hanya mendengar dan taat, sesungguhnya mereka akan
mempertanggung-jawabkan apa yang dibebankan atas mereka, dan kalian juga akan
mempertanggung-jawabkan apa yang dibebankan atas kalian” (HR. Muslim no. 1846).

Dalil 7

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ إال ماَت ميتًة جاهليًة‬، ‫ فماَت عليِه‬، ‫ فإّنه ليَس أحٌد من الناِس خرج من السلطاِن ِش ْبرا‬. ‫من َك ِر ه من أميِر ِه شيئا فليْص ِبْر عليِه‬

“Barang siapa yang tidak suka terhadap suatu hal dari pemimpinnya, maka hendaknya ia
bersabar. Karena tidak ada yang memberontak kepada penguasa satu jengkal saja, kemudian ia
mati, kecuali ia mati jahiliyah” (HR. Bukhari no. 7054, Muslim no. 1849).
Dalil 8

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ وُيقاِتل‬، ‫ يغضُب للعصبِة‬، ‫ ومن ُقِتَل تحَت رايٍة عميٍة‬. ‫ ماَت مْيتًة جاهليًة‬، ‫ ثم ماَت‬، ‫ وفارَق الجماعَة‬، ‫من خرَج من الطاعِة‬
‫ وال يفي بذي‬، ‫ ال يتحاش من مْؤ منها‬، ‫ يضرُب بّرها وفاجرها‬، ‫ ومن خرَج من أّم تي على أّم تي‬. ‫ فليَس من أّم تي‬، ‫للعصبِة‬
‫ فليَس مني‬، ‫عهدها‬

“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin dan meninggalkan jama’ah,
kemudian meninggal, maka ia mati jahiliyah. Barangsiapa yang mati di bawah bendera fanatik
buta, ia mengajak pada ashabiyyah (fanatik golongan), atau membantu untuk ashabiyah, maka
ia bukan bagian dari umatku. Barangsiapa dari umatku yang memberontak melawan umatku
juga, ia memerangi orang yang baik dan jahat semuanya, ia tidak menjauhkan diri dari
memerangi orang mukmin, dan tidak memenuhi perjanjian, maka ia bukan bagian dari umatku”
(HR. Muslim no. 1848).

Dalil 9

Dari Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah radhiallahu’anha, Rasulullah


Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ ما‬. ‫ ال‬: ‫ أفال نقاتلُهم ؟ قال‬: ‫ ولكن من َر ِض ي وتابَع قالوا‬. ‫ ومن َنِكَر َسِلَم‬. ‫ فمن َع ِر ف َبِر ئ‬. ‫ فتعرفوَِن وُتْنكروَن‬. ‫ستكوُن أمراُء‬
‫صلوا‬

“Akan ada para pemimpin kelak. Kalian mengenal mereka dan mengingkari perbuatan mereka.
Siapa yang membenci kekeliruannya, maka ia terlepas dari dosa. Siapa yang mengingkarinya,
maka ia selamat. Namun yang ridha dan mengikutinya, itulah yang tidak selamat”. Para
sahabat bertanya: “Apakah kita perangi saja pemimpin seperti itu?”. Nabi menjawab: “Jangan,
selama mereka masih shalat” (HR. Muslim no. 1854).

Dalil 10

Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ َهْل َو َر اَء َذ ِلَك الَّش ِّر‬: ‫ ُقْلُت‬، » ‫ «َنَعْم‬: ‫ َفَهْل ِم ْن َو َر اِء َهَذ ا اْلَخْيِر َش ٌّر ؟ َقاَل‬،‫ َفَنْح ُن ِفيِه‬، ‫ َفَج اَء ُهللا ِبَخْيٍر‬،‫ ِإَّنا ُكَّنا ِبَش ٍّر‬،‫َيا َر ُسوَل ِهللا‬
‫ َو اَل‬، ‫ «َيُك وُن َبْع ِد ي َأِئَّم ٌة اَل َيْهَتُد وَن ِبُهَداَي‬: ‫ َكْيَف ؟ َقاَل‬: ‫ ُقْلُت‬، » ‫ «َنَعْم‬: ‫ َفَهْل َو َر اَء َذ ِلَك اْلَخْيِر َش ٌّر ؟ َقاَل‬: ‫ ُقْلُت‬، » ‫ «َنَعْم‬: ‫َخْيٌر؟ َقاَل‬
‫ ِإْن َأْد َر ْكُت‬،‫ َكْيَف َأْص َنُع َيا َر ُسوَل ِهللا‬: ‫ ُقْلُت‬: ‫ َقاَل‬، »‫ َو َسَيُقوُم ِفيِه ْم ِر َج اٌل ُقُلوُبُهْم ُقُلوُب الَّشَياِط يِن ِفي ُج ْثَم اِن ِإْنٍس‬،‫َيْس َتُّنوَن ِبُس َّنِتي‬
‫ َفاْس َم ْع َو َأِط ْع‬،‫ َو ُأِخ َذ َم اُلَك‬، ‫ َو ِإْن ُض ِر َب َظْهُرَك‬، ‫ «َتْس َم ُع َو ُتِط يُع ِلَأْلِم يِر‬: ‫َذ ِلَك ؟ َقاَل‬

“Wahai Rasulullah, dulu kami dalam keburukan. Lalu Allah mendatangkan kebaikan. Dan
sekarang kami berada di dalamnya. Apakah setelah ini akan datang keburukan? Beliau berkata:
‘Ya’. Hudzaifah bertanya lagi: ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan?’. Beliau
berkata: ‘Ya’. Hudzaifah bertanya lagi: ‘Apakah setelah kebaikan itu akan datang keburukan
lagi?’. Beliau berkata: ‘Ya’. Hudzaifah bertanya lagi: ‘Apa hal itu?’. Beliau berkata: ‘Akan
datang sepeninggalku, para pemimpin yang tidak berjalan di atas petunjukku, tidak
mengamalkan sunnahku, dan di tengah-tengah mereka akan berdiri orang-orang yang berhati
setan dengan jasad manusia’. Hudzaifah bertanya lagi: ‘Lalu apa yang harus diperbuat wahai
Rasulullah jika aku mendapati masa itu?’. Beliau berkata: ‘Engkau mendengar dan taat kepada
pemimpin walau punggungmu di pukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat’”
(HR Muslim no.1847)

Dalil 11

Dari Irbadh bin Sariyyah radhiallahu’anhu, ia berkata:

، ‫ ُثَّم َأْقَبَل َع َلْيَنا َفَو َع َظَنا َم ْو ِع َظًة َبِليَغ ًة َذ َر َفْت ِم ْنَها اْلُعُيوُن َوَو ِج َلْت ِم ْنَها اْلُقُلوُب‬، ‫َص َّلى ِبَنا َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َذ اَت َيْو ٍم‬
‫ َو ِإْن َعْبًدا‬،‫ َفَم اَذ ا َتْع َهُد ِإَلْيَنا؟ َفَقاَل «ُأوِص يُك ْم ِبَتْقَو ى ِهَّللا َو الَّسْم ِع َو الَّطاَع ِة‬،‫ َيا َر ُسوَل ِهَّللا َك َأَّن َهِذِه َم ْو ِع َظُة ُمَو ِّد ٍع‬:‫َفَقاَل َقاِئٌل‬
‫…َحَبِش ًّيا‬

“Suatu hari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat bersama kami. Selesai shalat, beliau
menghadap kami lalu memberikan ceramah yang sangat mendalam, membuat mata berlinang
dan menggetarkan hati. Hingga ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, seakan-akan ini nasehat
dari orang yang akan pergi. Lalu apa yang engkau tetapkan bagi kami?’. Beliau bersabda: ‘Aku
nasehatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah, serta mendengar dan taat kepada pemimpin,
walaupun ia seorang budak Habasyah…’” (HR. Abu Daud 4607, dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Abi Daud).

Dalil 12

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu ia berkata,

: ‫ َفَك اَن ِم ْن ُخ ْطَبِتِه َأْن َقاَل‬،‫َقاْم ِفيَنا َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َخ ِط يًبا‬

‫ َفَيْلَبُثوَن‬،‫ َو َطاَع ُة ُأوَلِئَك َطاَع ٌة‬، ‫ َو َيْع َم ُلوَن ِبَم ا َيْع ِرُفوَن‬، ‫ َيُقوُلوَن ِبَم ا َيْع َلُم وَن‬،‫َأاَل ِإِّني ُأوِش ُك َأْن ُأْد َعى َفُأِج يَب َفَيِلَيُك ْم ُع َّم اٌل ِم ْن َبْع ِد ي‬
‫ َو َشَّد َع َلى‬، ‫ َوَو اَز َر ُهْم‬، ‫ َفَم ْن َناَص َح ُهْم‬، ‫ َو َيْع َم ُلوَن َم ا اَل َيْع ِرُفوَن‬، ‫ َيُقوُلوَن َم ا اَل َيْع َلُم وَن‬، ‫ ُثَّم َيِلَيُك ْم ُع َّم اٌل ِم ْن َبْع ِدِهْم‬،‫َك َذ ِلَك َد ْهًرا‬
‫ َو َع َلى اْلُمِس يِء ِب ُه‬، ‫ َو اْش َهُدوا َع َلى اْلُم ْح ِس ِن ِبَأَّنُه ُم ْح ِس ٌن‬، ‫ َو َزاِيُلوُهْم ِبَأْع َم اِلُك ْم‬، ‫ َخ اِلُطوُهْم ِبَأْج َس اِد ُك ْم‬،‫َأْع َض اِدِهْم َفُأوَلِئَك َقْد َهَلُك وا‬
‫َّن‬‫َأ‬
‫ُمِس يٌء‬

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu ketika berdiri di tengah-tengah kami untuk


berkhutbah. Diantara khutbah beliau ialah sabdanya: “Ketahuilah, aku hampir dipanggil dan aku
akan menjawabnya. Sehingga datang pemimpin-pemimpin setelah kalian yang berkata dan
beramal dengan ilmu. Mentaati mereka merupakan ketaatan kepada Allah. Lalu waktu
berselang. Hingga sepeninggal mereka, datanglah kepada kalian pemimpin-pemimpin yang
mereka berkata dan beramal tanpa ilmu. Barangsiapa yang membantunya, menjadi
pendampingnya, dan kuat membelanya, mereka akan binasa dan membuat kebinasaan. Maka
pergauilah pemimpin yang demikian dengan raga kalian, namun selisihilah dalam amal-amal
kalian. Dan bersaksilah bahwa yang baik itu baik, serta bersaksilah bahwa yang buruk itu
buruk” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath 6984, Al Baihaqi dalam Az Zuhd Al Kabir 1/22.
dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 1/820).

Dalil 13
Dari Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda,

‫خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم‬
‫ويلعنونكم قيل يا رسول هللا أفال ننابذهم بالسيف فقال ال ما الصالة وإذا رأيتم من والتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله وال تنزعوا‬
‫يدا من طاعة‬

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai
kalian. Kalian mendo’akan mereka, mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin
kalian adalah yang kalian benci, mereka pun benci kepada kalian. Kalian pun melaknat mereka,
mereka pun melaknat kalian”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apakah kita perangi saja
mereka dengan senjata?”. Nabi menjawab, “Jangan, selama mereka masih shalat. Bila kalian
melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka cukup bencilah perbuatannya,
namun jangan kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan kepadanya” (HR. Muslim no.
1855).

Dalil 14

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ فإذا ُأِمَر بمعصيٍة فال سمع وال طاعَة‬، ‫ ما لم ُيؤَم ُر بمعصيٍة‬، ‫السمُع والطاعُة على المرِء المسلِم فيما أحَّب وكرَه‬

“Wajib mendengar dan ta’at (kepada penguasa) bagi setiap Muslim, dalam perkara yang ia
setujui ataupun yang ia benci (dari pemimpinnya). Jika pemimpinnya memerintahkan untuk
bermaksiat, tidak boleh mendengar dan tidak boleh ta’at” (HR. Bukhari no. 2955, 7144).

Dalil 15

Dari Abu Bakrah Nafi bin Al Harits Ats Tsaqafi, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:

‫ وَم ْن أهاَن ُسلطاَن ِهللا أهانه ُهللا‬، ‫َم ْن َأكرم ُسلطاَن ِهللا َأكرَم ه ُهللا‬

“Barangsiapa yang memuliakan penguasa, maka Allah akan memuliakan dia. Barangsiapa yang
menghinakan penguasa, maka Allah akan menghinakan dia” (HR. Tirmidzi no. 2224, Ahmad
no. 20433, dihasankan Al Albani dalam Zhilalul Jannah Takhrij Kitabus Sunnah li Abi Ashim
no. 1017).

Dalil 16

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة‬

“Mendengar dan taatlah. Walaupun yang menjadi pemimpin kalian adalah seorang budak dari
Habasyah yang kepalanya seakan seperti kismis” (HR. Bukhari no. 6723).
Dalil 17

Dari Ummul Hushain radhiallahu’anha, ia berkata:

‫حججت مع رسول هللا حجة الوداع قالت فقال رسول هللا قوال كثيرا ثم سمعته يقول إن أمر عليكم عبد حبشي مجدع أسود يقودكم‬
‫بكتاب هللا فاسمعوا له وأطيعوا‬

“Aku berhaji Wada’ bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ketika itu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang banyak hal. Diantaranya beliau mengatakan:
“Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak yang pincang dan hitam, ia
memerintah dengan kitabullah, maka mendengar dan taatlah“” (HR. Muslim no. 1838).

Sebagian orang melakukan pemberontakan kepada ulil amri Muslim dengan dalih hadits ini.
Yaitu mereka berdalil dengan mafhum mukhalafah dari ‫“( يقودكم بكتاب هللا‬ia memerintah dengan
kitabullah“). Menurut mereka, berarti jika tidak memerintah dengan kitabullah, tidak wajib
mendengar dan taat. Ini pemahaman keliru. Kita lihat penjelasan para ulama:

Al Imam An Nawawi mengatakan:

‫ معناه ما داموا متمسكين باإلسالم والدعاء إلى كتاب هللا تعالى على أي حال كانوا‬: ‫ قال العلماء‬، ‫ما دام يقودنا بكتاب هللا تعالى‬
‫ بل إذا ظهرت منهم المنكرات وعظوا وذكروا‬، ‫ وال يشق عليهم العصا‬، ‫في أنفسهم وأديانهم وأخالقهم‬

“[selama ia memerintah dengan Kitabullah], para ulama menjelaskan maknanya: selama ia


berpegang pada agama Islam dan menyeru pada Al Qur’an. Bagaimana pun keadaan diri mereka,
keadaan agama mereka, keadaan akhlak mereka, tetap tidak boleh melepaskan ketaatan. Bahkan,
walaupun nampak kemungkaran dari diri mereka. Maka hendaknya mereka dinasehati dan
diingatkan” (Syarah Shahih Muslim, 9/47).

As Sindi mengatakan:

‫وفي قوله يقودكم بكتاب هللا اشاره الى أنه ال طاعة له فيما يخالف حكم هللا‬

“Dalam sabda beliau [selama ia memerintah dengan Kitabullah] mengisyaratkan tidak bolehnya
taat dalam perkara yang menyelisihi hukum Allah” (Hasyiyah As Sindi, 7/154).

Dalil 18

Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إال أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية فال سمع وال طاعة‬

“Wajib bagi setiap Muslim untuk mendengar dan taat kepada pemimpinnya baik dalam perkara
yang ia sukai atau yang ia benci. Kecuali jika ia memerintahkan suatu maksiat. Jika ia
memerintahkan suatu maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat” (HR. Muslim no. 1839).

Dalil 19
Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫إن خليلي أوصاني إن أسمع وأطيع وإن كان عبدًا مجدع األطراف‬

“Sesungguhnya kekasihku (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam) mewasiatkan aku


untuk mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun ia seorang budak yang terpotong jari-
jarinya” (HR. Muslim no. 1837).

Dalil 20

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

‫ثالثة ال ينظر هللا إليهم يوم القيامة وال يزكيهم ولهم عذاب أليم رجل كان له فضل ماء بالطريق فمنعه من بن السبيل ورجل بايع‬
‫إمامًا ال يبايعه إال لدنيا فإن أعطاه منها رضي وإن لم يعطه منها سخط ورجل أقام سلعته بعد العصر فقال وهللا الذي ال إله غيره‬
‫لقد أعطيت بها كذا وكذا فصدقه رجل ثم قرأ هذه اآلية إن الذين يشترون بعهد هللا وأيمانهم ثمنا قليًال‬

“Ada tiga orang yang tidak dilihat Allah di hari kiamat, dan Allah tidak mensucikan mereka,
dan bagi mereka adzab yang pedih. Pertama, seorang yang punya kelebihan air di jalan, namun
ia menahan air tersebut sehingga orang yang dalam perjalanan tidak bisa mengambilnya.
Kedua, seorang yang berbaiat kepada pemimpin Muslim semata-mata karena perkara duniawi.
Jika ia diberikan manfaat dunia, ia ridha. Jika tidak diberikan, ia pun benci. Ketika, orang yang
menawarkan barang dagangannya setelah Ashar. Lalu ia berkata: “demi Allah, yang tidak ada
sesembahan yang haq kecuali Ia, sungguh aku telah membelinya sekian dan sekian”, kemudian
ada orang yang tertarik membeli barang tersebut. Nabi kemudian membaca ayat (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah
mereka dengan harga yang sedikit” (QS. Al Imran: 77)” (HR. Bukhari no. 2230, Muslim no.
108).

Dan masih banyak dalil-dalil dari hadits shahih yang lainnya.

Dalil Ijma

Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:

‫أجمع العلماء على وجوب طاعة األمراء في غير معصية‬

“Para ulama ijma akan wajibnya taat kepada ulil amri selama bukan dalam perkara maksiat”
(Syarah Shahih Muslim, 12/222).

Beliau juga mengatakan:

‫وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين وقد تظاهرت األحاديث بمعنى ما ذكرته وأجمع‬
‫أهل السنة على أنه ال ينعزل السلطان بالفسق‬

“Adapun memberontak kepada ulil amri dan memerangi ulil amri, hukumnya haram berdasarkan
ijma ulama. Walaupun ulil amri tersebut fasiq dan zalim. Hadits-hadits yang telah saya sebutkan
sangat jelas dan ahlussunnah sudah sepakat tentang tidak bolehnya memberontak kepada
penguasa yang fasiq” (Syarah Shahih Muslim, 12/228).

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:

‫قال بن بطال في الحديث حجة في ترك الخروج على السلطان ولو جار وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب‬
‫والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء‬

“Ibnu Bathal mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat hujjah terhadap haramnya
memberontak kepada penguasa (Muslim) walaupun ia zalim. Dan ulama telah ijma akan
wajibnya taat kepada penguasa yang berhasil menguasai pemerintahan. Serta wajibnya berjihad
bersama dia. Dan taat kepadanya lebih baik daripada memberontak. Karena taat kepadanya akan
menjaga darah dan menstabilkan keamanan masyarakat” (Fathul Bari, 7/13).

Imam Abul Hasan Al Asy’ari mengatakan:

‫وأجمعوا – أي العلماء – على السمع والطاعة ألئمة المسلمين‬

“Para ulama ijma wajibnya mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum Muslimin”
(Risalah ila Ahlits Tsughur, 296).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

‫الصبر على جور األئمة أصل من أصول أهل الُسنة والجماعة‬

“Sabar terhadap kezaliman penguasa adalah salah satu pokok Ahlussunnah wal Jama’ah”
(Majmu’ Al Fatawa, 28/179).

Imam Ath Thahawi rahimahullah mengatakan:

‫وال نرى الخروج على أئمتنا ووالة أمورنا وإن جاروا وال ندعوا عليهم وال ننزع يدًا من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة هللا‬
‫فريضة ما لم يأمروا بمعصية وندعوا لهم بالصالح والمعافاة‬

“Kami berpandangan tidak diperbolehkan memberontak pada para imam dan ulil amri walaupun
mereka zalim. Dan tidak boleh mendoakan keburukan atas mereka. Dan tidak boleh melepaskan
ketaatan dari mereka. Dan kami berpendapat bahwa taat kepada ulil amri merupakan bentuk taat
kepada Allah dan hukumnya wajib. Selama bukan dalam perkara maksiat. Dan kita hendaknya
mendoakan kebaikan dan kesehatan kepada ulil amri” (Matan Al Aqidah Ath Thahawiyah).

Al Barbahari rahimahullah mengatakan:

‫ وال يحل قتال‬، ‫من خرج على إمام من أئمة المسلمين فهو خارجي قد شق عصا المسلمين وخالف اآلثار وميتته ميتة جاهلية‬
‫السلطان وال الخروج عليه وإن جار‬

“Orang yang memberontak kepada pemimpin kaum Muslimin, maka ia adalah seorang Khawarij
yang telah merusak tonggak Islam dan menyelisihi atsar dan jika ia mati, ia mati jahiliyyah. Dan
tidak halal memerangi penguasa, dan juga tidak boleh memberontak walaupun penguasa tersebut
zalim” (Matan Syarhus Sunnah).

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:

‫ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الوالة وذكر ذلك على المنابر ألن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في‬
، ‫ ولكن الطريقة المتبعة عند السلف النصيحة فيما بينهم وبين السلطان‬، ‫ ويفضي إلى الخوض الذي يضر وال ينفع‬، ‫المعروف‬
‫ أو االتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير‬، ‫والكتابة إليه‬

“Bukan termasuk manhaj salaf, menyebarkan aib-aib pemerintah dan menyebutkannya di


mimbar-mimbar. Karena hal ini akan membawa pada chaos (kekacauan) dan akan hilangnya
ketaatan pada pemerintah dalam perkara-perkara yang baik. Dan akan membawa kepada
perdebatan yang bisa membahayakan dan tidak bermanfaat. Adapun metode yang digunakan
para salaf adalah dengan menasehati penguasa secara privat. Dan menulis surat kepada mereka.
Atau melalui para ulama yang bisa menyampaikan nasehat kepada mereka, hingga mereka bisa
diarahkan kepada kebaikan” (Majmu Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 8/194).

Anda mungkin juga menyukai