Anda di halaman 1dari 67

‫عشرات أجوبة لمنتظري فتوى كبار‬

‫العلماء في قبول الحجة‬

Belasan Jawaban
Bagi Penunggu Kibarul Ulama
Untuk Menerima Kebenaran

Ditulis Dan Diterjemah Oleh:


Al Faqir Ilallah/ Abu Fairuz Abdurrahman bin
Soekojo
Al Qudsiy Al Indonesiy
-semoga Allah mengampuninya-
2



Judul Asli:
‫عشرات أجوبة لمنتظري فتوى كبار العلماء في قبول الحجة‬

Judul Bebas Terjemah:


“Belasan Jawaban Bagi Penunggu Kibarul Ulama
Untuk Menerima Kebenaran”

Ditulis Dan Diterjemah oleh:


Al Faqir IlAllah Abu Fairuz Abdurrahman Bin
Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy Al Qudsiy
-semoga Allah memaafkannya-

Cetakan Pertama: Indonesia, Jumadal Akhirah 1439


H

Maktabah Fairuz Ad Dailamiy


3

Idzin cetak resmi dari penulis untuk Al Akh Al Mifdhal Abi


Abdirrahman Faisal Al Indonesiy –semoga Allah
memberkahinya-
4



Pengantar Penulis ‫وفقه هللا‬

‫ ونعوذ باهلل من‬،‫إن احلمد هلل نحمده ونستعينه ونستغفره‬


‫ ومن‬،‫ من هيده اهلل فال مضل له‬،‫رشور أنفسنا ومن سيئات أعاملنا‬
،‫ وأشهد أن ال إله إال اهلل وحده ال رشيك له‬،‫يضلل فال هادي له‬
.‫وأشهد أن حممدا عبده ورسوله‬
Sesungguhnya segala puji adalah bagi Allah,
kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-
Nya dan memohon ampunan kepada-Nya, serta
kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-
kejahatan jiwa-jiwa kami, dan dari kejelekan-
kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa Allah
memberinya petunjuk maka tidak ada yang mampu
menyesatkannya. Dan barangsiapa Allah
menyesatkannya maka tiada yang mampu untuk
memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi
bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar
selain Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah
hamba-Nya dan utusan-Nya.
5

‫احدَ ٍة َو َخ َل َق‬
ِ ‫سو‬ ِ ِ
ُ ‫﴿ َيا َأ ه َُّيا الن‬
َ ٍ ‫َّاس ا َّت ُقوا َر َّبك ُُم ا َّلذي َخ َل َقك ُْم م ْن َن ْف‬
‫اء َوا َّت ُقوا اهلل ا َّل ِذي‬ ِ ِ ِ َّ ‫ِمنْها زَوجها وب‬
‫ث من ُْه ََم ِر َج ااًل كَث اريا َون َس ا‬ ََ َ َ ْ َ
.]1:‫َان َع َل ْيك ُْم َر ِقي ابا﴾ [النساء‬
َ ‫ون بِ ِه َو ْاْلَ ْر َحا َم إِ َّن اهلل ك‬
َ ‫اء ُل‬َ ‫ت ََس‬
“Wahai manusia, bertaqwalah kalian pada Rabb
kalian Yang menciptakan kalian dari satu jiwa, dan
menciptakan darinya istrinya, dan menyebarkan
dari keduanya lelaki yang banyak dan wanita yang
banyak. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah
Yang kalian saling meminta dengan-Nya dan
peliharalah hubungan kekerabatan. Sesungguhnya
Allah senantiasa mengawasi kalian.”
‫ين َآ َمنُوا ا َّت ُقوا اهلل َح َّق ُت َقاتِ ِه َو ًَل َتَ ُوت َُّن إِ ًَّل َو َأ ْنت ُْم‬ ِ
َ ‫﴿ َيا َأ ه َُّيا ا َّلذ‬
.]101:‫ون﴾ [آل عمران‬ َ ‫ُم ْسلِ ُم‬
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kalian kepada Allah dengan sebenar-benar
ketaqwaan kepada-Nya, dan janganlah kalian
meninggal kecuali dalam keadaan kalian sebagai
Muslimin.”
6

‫ين َآمنُوا ا َّت ُقوا اهلل َو ُقو ُلوا َق ْو اًل َس ِديدا ا * ُي ْصلِ ْح َلك ُْم‬ ِ
َ ‫﴿ َيا َأ ه َُّيا ا َّلذ‬
‫َأ ْع ََم َلك ُْم َو َيغ ِْف ْر َلك ُْم ُذنُو َبك ُْم َو َم ْن ُيطِ ِع اهلل َو َر ُسو َل ُه َف َقدْ َفا َز َف ْو ازا‬
.]01- 00:‫َعظِ ايَم﴾ [اْلحزاب‬
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan
yang lurus, niscaya Allah akan memperbaiki untuk
kalian amalan-amalan kalian, dan mengampuni
untuk kalian dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia
telah beruntung dengan keberuntungan yang
agung.”
‫ فإن خري احلديث كتاب اهلل وخري اهلدى هدى‬:‫أما بعد‬
‫ ورش األمور حمدثاهتا وكل‬،‫رسول اهلل صىل اهلل عليه وعىل آله وسلم‬
.‫ وكل ضاللة يف النار‬،‫حمدثة بدعة وكل بدعة ضاللة‬
Kemudian setelah itu: Maka sesungguhnya
sebaik-baik ucapan adalah Kalamullah, dan sebaik-
baik jalan adalah jalan Muhammad ‫( ﷺ‬semoga
shalawat dan salam dari Allah tercurah untuk
beliau)-, sejelek-jelek perkara adalah perkara yang
dibuat-buat, dan setiap perkara yang dibuat-buat
adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan,
7

dan setiap kesesatan adalah di dalam Neraka.


Sesungguhnya Luqman Ba Abduh dan para
pengikutnya tidak bersedia menerima hujjah-hujjah
(argumentasi) dan bayyinah (bukti) yang ditebarkan
oleh Syaikhuna Yahya bin Ali Al Hajuriy dan para
ulama yang bersama beliau, dengan alasan
menunggu fatwa kibarul ulama, di dalam masalah
perselisihan yang terjadi seputar hizbiyyahnya
Abdurrahman Al Adeniy dan para pendukungnya.
Ucapan mereka tadi: “Mana fatwa kibarul
ulama tentang masalah ini?” mereka lontarkan
dengan tujuan untuk meruntuhkan ucapan-ucapan
para ulama Dammaj dan yang bersama mereka, yang
telah didukung dengan dalil, hujjah dan bukti.
Maka kita jawab dengan memohon
pertolongan pada Allah:
8

Jawaban Pertama: Penyerupaan Dengan


Hizbiyyin

Jawaban yang pertama: cara itu tadi adalah


termasuk syubuhat dari Sururiyyin yang dulu
dibantah oleh para pengikut Luqman. Manakala para
Salafiyyin menampilkan bukti-bukti tentang batilnya
Muhammad Surur dan para pengikutnya, para
Sururiyyin berseru: “Kami menunggu Kibarul
ulama!”.
Manakala para Salafiyyin membongkar
kebatilan Abul Hasan Al Mishriy Al Ma’ribiy, para
Hasaniyyin berseru: “Kami menunggu Kibarul
ulama!”.
Manakala para Salafiyyin membongkar makar
Abdurrahman Al Adeniy dan pengikutnya, para
Barmakiyyin Mar’iyyin berseru: “Kami menunggu
Kibarul ulama!”, “Rujukan saat ada fitnah itu
hanyalah Kibarul ulama secara fisik dan
maknawiy!”. Sebagian dari mereka berkata tentang
para pembela kebenaran: “Mereka itu hanyalah
anak-anak kecil saja!”.
Manakala para pengikut Luqman Ba Abduh
meneriakkan syubhat semacam tadi, bertambahlah
keyakinan kami bahwasanya mereka adalah
hizbiyyun, karena Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
9

.»‫«من تشبه بقوم فهو منهم‬


“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia
itu termasuk dari kalangan mereka.” (HR. Abu
Dawud (4026)/Aun/cet. Darul Hadits/shahih, dari
Ibnu Umar ‫)رضي هللا عنه‬.
Ucapan yang serupa dengan sengaja itu
menunjukkan keserupaan hati. Allah ta’ala
berfirman:
ِ ِ ِ ِ ‫ك َق َال ا َّل ِذ‬
َ ِ‫﴿ك ََذل‬
ُ ُ ‫ت ُق ُل‬
:‫وَب ْم﴾ [البقرة‬ َ َ ‫ين م ْن َق ْبل ِه ْم م ْث َل َق ْوِل ْم ت ََش‬
ْ ‫اَب‬ َ
.]111
“Seperti itulah ucapan orang-orang sebelum
mereka semisal dengan ucapan mereka. Hati-hati
mereka itu saling serupa.”
Al Qadhi Ibnu Asyur ‫ رحمه هللا‬berkata: “Firman
Allah: ”Hati-hati mereka itu saling serupa” sebagai
penetapan untuk makna: “Ucapan orang-orang
sebelum mereka semisal dengan ucapan mereka”,
yaitu: akal-akal mereka itu saling serupa di dalam
kurangnya kekuatan akal dan buruknya pandangan,
maka dari itu mereka bersatu di dalam perkataan.
Hati yang dimaksudkan di sini adalah akal,
sebagaimana hal itu dikenal dalam bahasa Arab.”
(“At Tahrir Wat Tanwir”/Ibnu Asyur/13/hal. 10).
01

Maka cukuplah ini sebagai bantahan terhadap


mereka.
00

Jawaban Kedua: Kalian Tidak Menunggu


Kibarul Ulama Untuk Memukuli Orang

Jawaban kedua: kalian telah berulang kali


meneriakkan: “Kita tunggu Kibarul ulama!”, maka
kenapa kalian tidak menunggu Kibarul ulama dalam
menggunakan cara kekerasan, kebengisan, dan teror
baik secara maknawi ataupun fisik? Kalian itu
hanyalah pendusta yang berlindung di balik jubah
Salafiyyah.
Apakah kalian tidak ingat kejadian berdarah, di
masa gerakan Laskar Jihad, di mana Luqman Ba
Abduh memerintahkan sebagian pasukan khususnya
untuk memukuli Ustadz Ghufran –yang mereka
anggap membangkang- di kepulauan Maluku, lalu
mereka memukulinya tanpa belas kasihan, seakan-
akan mereka adalah binatang buas, hingga beberapa
tulang rusuknya itu patah, dan ustadz tadi hampir-
hampir impoten? Lalu dirinya juga dihalang-halangi
untuk berjumpa dengan istrinya padahal dia sangat
memerlukan istrinya untuk merawat luka-lukanya.
Ustadz Ghufran tadi mengumumkan dalam rekaman
persaksiannya bahwasanya Ustadz Luqman itu yang
menyuruh pasukan melakukan itu.
Salah seorang mantan pasukan khususnya
(telah bertobat dan kembali pada Salafiyyah) telah
02

mengabari saya bahwasanya Luqman Ba Abduh


memerintahkan mereka untuk menyerang salah
seorang ustadz di pulau Jawa, lalu mereka menyerbu
masuk ke rumah ustadz tadi tanpa idzin tuan rumah,
tapi ustadz tadi lari sebelum mereka berhasil
menangkapnya. Saudara kita tadi berkata:
“Seandainya kami waktu itu berhasil menangkapnya,
mungkin saja dia akan terbunuh.”
Demikian pula sebagian pengikut Luqman di
kepulauan Maluku melempari rumah sebagian
ikhwah Salafiyyin dengan batu, dan memukuli
sebagian saudara kita Salafiyyin.
Di Damaj, saat para pengikut Luqman masih
disana; salah seorang dari mereka telah mencekik
saudara kita Irham Al Jawiy Al Indonesiy.
Salah seorang dari mereka telah memukul
saudara kita Irham Al Maidaniy Al Indonesiy.
Yang lain telah memukul Abu Kholifah Abdul
Ghafur Al Indonesiy di wajahnya.
Salah seorang dari mereka telah memukul
dada saya. Yang lain memukul leher saya dan
mengancam membunuh saya.
Abu Abdillah Adib Bin Ahmad Al-Jawiy ditusuk
dengan jari di antara dagu dan ujung lehernya.
Abu Abdillah Muhammad Bin Thabariy Al-
Brebesiy mengalami berbagai upaya teror fisik dan
03

mental dialaminya di "malam undangan" tersebut.


Kacamatanya hilang pada malam itu.
Abu Qilabah Abdul Wahid Al-Jakartiy
mengalami sedikit tabrakan yang disengaja, lalu
dikasih isyarat ancaman.
Abu Abdirrahman Utsman As-Semarangiy
diteriaki sambil diancam-ancam.
Abu 'Amr Ridwan Bin Zaky Al-Amboniy
didorong kepalanya.
Abu Hudzaifah Hasan Al-Bugisiy direnggut
krah bajunya dengan kasar, lalu ditarik ke dinding.
Lalu datang lagi yang lain berbuat yang hampir sama
dengan itu.
Abu Ahmad Sulaiman Al-Ambony didorong
wajahnya.
Abul Husain Muhammad Nur Kholis Al Jawiy
direnggut krah bajunya dengan kasar dan diteriaki.
Berita-berita tentang kekasaran dan teror
mereka itu panjang penyebutannya. Sebagiannya
telah saya sebutkan dalam risalah “Al Fathur
Robbaniy Fir Raddi ‘Ala Abdillah Al Bukhariy Al
Muftariyl Janiy” (judul kitab terjemah: “Pembukaan
Sanubari, Pelurusan Tuduhan Abdulloh Al
Bukhori”), dengan Kata Pengantar Asy Syaikh Al
Mifdhol: Abu Malik Abdulloh bin Muhammad Al
04

Wushabiy Al Jabjabiy ‫حفظه هللا ورعاه‬. Maka silakan


merujuk di situ.
Dan banyak dari kami yang bersabar dan tidak
melakukan seperti apa yang mereka lakukan.
Yang sangat disayangkan: sebagian orang
percaya bahwasanya Asy Syaikh Yahya dan para
Salafiy yang bersama beliau itu sangat keras, tapi
mereka masih saja ragu akan hizbiyyah Luqman Ba
Abduh dan para pengikutnya setelah punya ilmu dan
disertai bermunculannya alamat-alamat hizbiyyah
mereka.
Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan
orang yang memakai kekerasan, mereka itulah
orang-orang bodoh seperti hizbiyyin dan yang
lainnya. Adapun Ahlussunnah, maka mereka itu tidak
memakai kekerasan, ... dan seterusnya.” (“Tuhfatul
Mujib”/ hal. 226).
Syaikh mereka sendiri, Rabi’ Al Madkhaliy ‫هداه‬
‫ هللا‬saat menyebutkan karakter Haddadiyyah yang
kesembilan, beliau berkata: “... dan meneror sampai
pada derajat mengancam salafiyyin dengan
pukulan, bahkan tangan mereka benar-benar telah
terjulur dan memukul sebagian salafiyyin.”
(“Shifatul Haddadiyyah”/Rabi’ Al Madkhaliy/ hal. 51-
52).
05

Maka barangsiapa merenungkan perbuatan


Luqman, dia akan mendapati –insya Allah-
bahwasanya orang ini memang membawa sebagian
pemikiran berdarah gaya Ikhwanul Muslimin, dan
bahwasanya orang ini bersikap seakan-akan dia
adalah komandan pasukan yang tengah
mengomando tentaranya, sampai-sampai dia
menjadikan para ustadz yang bergabung dengannya
–setelah bubarnya Laskar Jihad sampai tahun ini- itu
bagaikan komandan-komandan di bawah panglima
tertinggi untuk memimpin tentara mereka –
sebagaimana digambarkan oleh sebagian ustadz
mereka sendiri-.
Aduhai, andaikata Asy Syaikh Rabi’ menyadari
akan benarnya firasat dia yang dulu tentang Luqman
Ba Abduh, bahwasanya orang ini memang Ikhwaniy
yang menyusup.
ٍ ‫ُورا َفَم َل ُه ِم ْن ن‬
.]04 :‫ُور﴾ [النور‬ َ ‫َي َع ِل اهلل َل ُه ن ا‬
ْ َ ْ ‫﴿ َو َم ْن ََل‬
“Barangsiapa tidak diberikan cahaya oleh Allah,
maka dia tidak akan punya cahaya.”
Jika mereka berkata: Sesungguhnya Luqman
telah mengumumkan tobat dari gerakan Laskar
Jihad, maka kesalahan itu harus dipikul oleh Ja’far
Umar Thalib yang menjadi kepala umum gerakan
tadi! Dan boleh jadi Ja’far itulah yang
memerintahkan Luqman untuk memerintahkan
06

Luqman untuk menggerakkan pasukan khusus dan


melakukan perbuatan-perbuatan kasar tadi.
Jawaban dengan memohon pertolongan pada
Allah:
Memang telah diumumkan tobat dari gerakan
Laskar Jihad tadi, akan tetapi: apakah Luqman telah
memenuhi empat syarat tobat dari perbuatan-
perbuatan kasar tadi?
Adapun Ja’far, memang dia itu telah
disematkan kritikan pada dirinya oleh Syaikhuna
Yahya Al Hajuriy bahwasanya dia itu damawiy
(mudah mengalirkan darah orang lain), maka dia
juga wajib memikul tanggung jawab kejahatan-
kejahatan tadi, karena dia adalah panglima umum
gerakan Laskar Jihad.
Adapun ucapan mereka: “boleh jadi Ja’far
itulah yang memerintahkan Luqman untuk
memerintahkan Luqman untuk menggerakkan
pasukan khusus dan melakukan perbuatan-
perbuatan kasar tadi.”
Kita jawab dengan memohon pertolongan
pada Allah:
Ucapan mereka “Boleh jadi ...” tidaklah
menunjukkan secara pasti bahwasanya memang
Ja’far itulah yang memerintahkan Luqman untuk
boleh jadi Ja’fat itulah yang memerintahkan Luqman
07

untuk menggerakkan pasukan khusus dan


melakukan perbuatan-perbuatan jahat terhadap
sebagian ustadz tadi. Persangkaan itu tidak
mencukupi kebenaran sedikitpun. Orang yang
menyatakan itu harus mendatangkan bayyinah.
.﴾‫﴿هاتوا برهانكم إن كنتم صادقني‬
"Katakanlah : Datangkanlah bukti kebenaran
kalian jika kalian memang orang-orang yang
jujur." (QS. Al Baqarah : 111)
Kemudian, sesungguhnya Luqman itu adalah
wakil panglima, dan dia adalah pelaksana perintah-
perintah Ja’far. Maka bagaimanakah dia itu menaati
kebatilan-kebatilan padahal dia punya ilmu ? dan dia
tidak menampakkan pengingkaran dan pelepasan
diri terhadap perintah berdarah tadi ? itu jika
dakwaan mereka memang jujur bahwasanya Ja’far
itulah yang memerintahkan, dan bukan Luqman.
Kemudian sesungguhnya Ustadz Ghufran yang
mereka pukuli tadi, saat beliau terbaring di rumah
sakit, Luqman mendatanginya dan berkata padanya :
"Kapokmu kapan? (Kapankah engkau akan
bertobat?)". Ini semua menunjukkan bahwasanya
Luqman itulah yang mengatur –atau salah satu
pengatur gerakan-gerakan berdarah tadi. Dan
Ustadz Ghufran berkata bahwasanya sampai
sekarang Ustadz Luqman tidak minta maaf pada
08

dirinya, dan sampai sekarang dirinya tidak tahu atas


dosa apa Luqman memerintahkan pasukan khusus
untuk memukuli dirinya.
09

Jawaban Ketiga: Mana Dalil Pembagian


Ulama Menjadi Ulama Besar dan Ulama
Kecil?

Jawaban ketiga: sebutkan kriteria pembagian


ulama kepada: Kibarul Ulama dan shigharul ulama
itu. Jelaskanlah pada kami dengan dalilnya. Boleh
jadi dengan kalimat ini saja mereka sudah tergagap
tak mampu menjawab dengan baik.
21

Jawaban Keempat: Masalah Hadits:


“Keberkahan itu bersama orang-orang
besar kalian.”

Jawaban keempat: boleh jadi kalian akan


berdalilkan dengan hadits:
.»‫«الربكة مع أكابركم‬
“Keberkahan itu bersama orang-orang besar
kalian.”
Saya katakan: Hadits ini hasan dengan jalur-
jalurnya. (1).

(1)
Hadits ini hasan dengan jalur-jalurnya. Diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban (559), Al Kharaithiy dalam “Makarimul Akhlaq”
(355), dan Ath Thabraniy dalam “Al Ausath” (8991), semuanya
dari jalur Abdullah ibnul Mubarak, dari Kholid Al Hadzdza, dari
‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas ‫ رضي هللا عنهما‬.
Zhahir sanadnya Shahih, akan tetapi para huffazh
mengkritiknya.
Ibnu hibban ‫ رحمه هللا‬berkata: “Ibnul Mubarak tidak
meriwayatkan hadits ini di Khurosan. Beliau hanya
meriwayatkannya di Darbirrum, maka penduduk Syam
mendengar hadits tadi dari beliau. Dan tidaklah hadits ini di
dalam kitab-kitab Ibnul Mubarak itu marfu’ (sampai ke Nabi
‫)ﷺ‬.” (“Shahih Ibni Hibban”/2/hal. 320).
20

Az Zarkasyiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Hadits ini diriwayatkan


oleh Ibnu Hibban, dan Al Hakim dan beliau menShahihkannya
dari hadits Ibnu Abbas secara marfu’. Al Hakim berkata: “Ini
sesuai syarat Al Bukhariy.” Tetang keShahihannya perlu
diteliti lagi, dan dia itu punya ‘illah (penyakit tersembunyi)
yaitu: Bahwasanya Al Walid bin Muslim meriwayatkan dari
hadits Ibnu Abbas dan Anas.
Adapun hadits Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Ibnul
Mubarak dari Kholid al Hadzdza dan Ikrimah dari Ibnu Abbas.
Dalam keadaan Ibnul Mubarak menceritakan hadits ini pada
Al Walid di Darbirrum, dan kitab-kitab beliau saat itu tidak
bersama beliau, sementara hadits tadi di dalam kitab-kitab
Ibnul Mubarak tidaklah marfu’, dan beliau tidak
menceritakan hadits (marfu’) ini di Khurosan.
Ash Shoirofiy berkata: Sekelompok ahli hadits
meriwayatkan dari Al Walid, dan dari Nu’aim juga, dari Al
Walid. Dikatakan: dari Nu’aim dari Ibnul Mubarak. Dan
mereka mentaswiyyahnya (menghapus Al Walid) karena
Nu’aim telah mendengar hadits dari Ibnul Mubarak juga.
Hanya saja hadits ini didengar Nu’aim dari Al Walid dari Ibnul
Mubarak. Ini dikatakan oleh Al Hafizh Abu Musa Al Madiniy.
Ibnu Abis Sari berkata: dari Al Walid yang berkata:
“Kami pernah bersama Ibnul Mubarak di negri Romawiy, lalu
kami saling mengingatkan dengan Ummul Kitab. Lalu Ibnul
Mubarak menceritakan pada kami hadits tadi.” Dan tidak ada
yang meriwayatkan dari Kholid Al Hadzdza selain Ibnul
Mubarak. Ibnu Hisyam ibnu ‘Imad telah meriwayatkan dari Al
Walid dari Nabi ‫ ﷺ‬secara mursal. Dan dikatakan:
sesungguhnya riwayat (mursalah) inilah yang benar.”
22

(selesai dari “Al Laalil Mantsuroh Fil Ahaditsil


Masyhuroh”/karya Az Zarkasyiy/hal. 80).
Muhammad bin Thohir Al Maqdasiy ‫ رحمه هللا‬berkata:
“Pada asalnya hadits ini mursal.” (“Dzakhirotul
Huffazh”/2/hal. 1126).
Ibnu Adiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan ini tidak diriwayatkan
secara bersambung kecuali dari Ibnul Mubarak. Yang
meriwayatkan dari beliau adalah Nu’aim bin Hammad dan Al
Walid bin Muslim serta si Baqiyyah ini. Dan pada asalnya
hadits tadi adalah mursal.” (“Al Kamil Fi Dhu’afair Rijal”/2/hal.
270).
Dan hadits ini punya pendukung yang tidak
menggembirakan, dari hadits Anas ‫رضي هللا عنه‬, diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Adiy ‫ رحمه هللا‬yang berkata: haddatsana Abu Ali Al
Ju’iy Muhammad bin Sulaiman ibnil Husain bin Sulaiman bin
Bilal bin Abid Dar’da Sahabat Rasulullah ‫ ﷺ‬di Samarqond. Aku
menanyai dia, dia masuk ke ajaran shufiy sehingga dijuluki
sebagai Al Ju’iy: haddatsana Abdus Salam bin ‘Atiq Abu
Hisyam Ad Dimasyqiy: haddatsana Muhammad bin Bakkar bin
Bilal: ‘an Sa’id bin Busyair: ‘an Qotadah: ‘an Anas yang
berkata: Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Keberkahan itu dari orang-
orang besar.” (“Al Kamil Fi Dhu’afair Rijal”/3/hal. 374).
Di dalam sanadnya ada Abu ‘Ali Al Ju’iy, majhul.
Dan di dalam sanadnya juga ada: Sa’id bin Busyair
murid Qotadah, munkarul hadits. (“Mizanul I’tidal”/2/hal.
128).
Dan dia punya pendukung secara mauquf (ucapan
Shahabat), diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah ‫ رحمه هللا‬yang
berkata: Haddatsana Salm bin Junadah: haddatsana Ibnu
Idris: ‘an Ashim bin Kulaib: ‘an abihi: ‘an Ibni Abbas yang
23

berkata: “Dulu Umar bertanya kepadamu bersama para


pembesar dari kalangan Shahabat Rasulullah ‫ﷺ‬. Dan beliau
sering berkata: “Janganlah engkau berbicara sampai mereka
berbicara.” Maka beliau bertanya pada mereka tentang
malam Al Qodar. Beliau berkata: “Sungguh kalian telah
mengetahui bahwasanya Rasulullah ‫ ﷺ‬itu bersabda: “Carilah
malam itu pada sepuluh malam yang terakhir yang ginjil.”
Lalu beliau menyebutkan kisah Ibnu Abbas bersama Umar.
Salm bin Junadah adalah Abus Saib Al Kufiy Al ‘Amiriy,
tsiqah. (“Tahdzibut Tahdzib”/4/hal. 113).
Dan Ibnu Idris adalah Abdullah bin Idris bin Yazid bin
Abdirrohman Al Audiy Az Za’afiriy Abu Muhammad Al Kufiy,
tsiqah. (“Tahdzibut Tahdzib”/5/hal. 126).
Ashim bin Kulaib adalah Ibnu Syihab ibnil Majnun Al
Jarmiy, tsiqah. (“Tahdzibut Tahdzib”/5/hal. 49).
Ayahnya adalah Kulaib bin Syihab ibnil Majnun Al
Jarmiy, tsiqah. (“Tahdzibut Tahdzib”/8/hal. 400).
Maka atsar Umar ‫ رضي هللا عنه‬adalah Shahih.
Dan dia juga punya pendukung lain dari hadits Sahl bin
Abi Hatsmah dan para pembesar kaumnya ‫رضي هللا عنهم‬
tentang kisah terbunuhnya Abdullah bin Sahl:
‫ وأقبل هو وأخوه حويصة وهو أكرب منه وعبد الرمحن بن سهل فذهب‬...
.‫ «كرب كرب» يريد السن‬:‫ فقال النبي ﷺ ملحيصة‬،‫ليتكلم وهو الذي كان بخيرب‬
“… dia dan saudaranya yang lebih tua yang bernama
Khuwaishoh dan Abdurrohman bin Sahl menghadap Nabi.
Lalu mulailah dia berbicara, dan dia itu yang dulu ada di
Khoibar. Maka Nabi ‫ ﷺ‬bersabda pada Muhaishoh: “Mulailah
24

Boleh jadi yang dikehendaki di sini adalah tuanya


usia, dan mungkin saja yang dimaukan adalah
besarnya ilmu. Yang manapun dia dari dua
kemungkinan ini, maka hadits tadi tidak berbicara
tentang syarat-syarat fatwa.
Al Hafizh Muhammad bin Ishaq Al Kalabadziy
‫ رحمههه هللا‬dalam syarh hadits ini –dan yang semakna
dengannya- menyebutkan bahwasanya bisa jadi
yang diinginkan dengannya adalah: orang yang
sudah berumur dan orang-orang tua yang telah
berpengalaman, akal mereka telah sempurna,
kekerasan mereka telah tenang, adab mereka telah
sempurna, telah hilang dari mereka kenakalan anak-
anak dan kekerasan anak muda, dan mereka telah
memantapkan pengalaman. Maka barangsiapa
duduk-duduk bersama mereka, dia akan beradab
dengan adab-adab mereka, dan mengambil manfaat
dari pengalaman mereka. –Sampai pada ucapan
beliau:-
Dan bisa jadi yang diinginkan dengan hadits ini
adalah: orang-orang besar keadaannya, dan orang
yang punya derajat dalam agama dan kedudukan
tinggi di sisi Allah, sekalipun tidak tua umurnya.”
(“Ma’anil Akhbar”/ karya Al Kalabadziy/hal. 100).

dari yang paling tua, mulailah dari yang paling tua.” Yaitu
umurnya. (HR. Al Bukhariy (7192) dan Muslim (1669)).
25

Al Munawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Keberkahan itu


bersama orang-orang besar kalian” orang-orang
yang berpengalaman dalam berbagai perkara, yang
terus-menerus memperbanyak pahala, maka
mereka duduk-duduk dengan mereka untuk
meneladani pendapat mereka, mengikuti petunjuk
mereka. Atau yang dikehendaki adalah orang yang
punya kedudukan ilmu sekalipun berusia muda,
wajib untuk mengagungkan mereka untuk menjaga
kehormatan yang dikaruniakan oleh Al Haq Yang
Mahasuci dan Mahatinggi.” (“Faidhul Qodir Syarhul
Jami’ish Shoghir”/no. (3205)).
Seandainya kemungkinan yang benar adalah
adalah kemungkinan kedua: bahwasanya barokah
itu bersama para ulama, bukan sekedar orang-orang
yang tua umurnya, maka jadilah hadits tadi
argumentasi untuk membantah para ahlul batil tadi.
Dan sebagian imam telah menguatkan bahwasanya
yang terpandang dalam hadits ini adalah kebesaran
dalam ilmu, bukan kebesaran dalam usia.
Al Imam Ibnu Abdil Barr ‫ رحههههمههههه هللا‬berkata:
“Sebagian ulama berkata: sesungguhnya orang kecil
yang tersebut dalam atsar Umar dan atsar-atsar yang
semisalnya, yang dimaksudkan hanyalah: orang yang
dimintai fatwa padahal dia tak punya ilmu, karena
sesungguhnya orang yang besar itu adalah orang
26

alim, dalam usia berapapun dia. Mereka berkata:


orang bodoh itu kecil, sekalipun sudah tua umurnya.
Dan orang alim itu besar sekalipun masih muda
usia.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih”/1/hal. 499-
500/Dar Ibnil Jauziy).
Al Imam Ibnu Abdil Barr ‫ رحمه هللا‬juga berkata:
“Dan termasuk yang menunjukkan bahwasanya
ashoghir (orang-orang kecil) itu adalah orang yang
tak punya ilmu: apa yang disebutkan oleh
Abdurrozzaq dan yang lainnya, dari Ma’mar, dari Az
Zuhriy yang berkata: “Dulu majelis Umar penuh
dengan para ahli Qur’an, yang muda dan yang tua.
Terkadang beliau mengajak mereka bermusyawarah
dan berkata: janganlah menghalangi satu orang
kalian kemudaan usianya untuk menyampaikan
pendapatnya, karena sesungguhnya ilmu itu bukan
berdasarkan kemudaan usia atau ketuaannya, akan
tetapi Allah meletakkan ilmu di manapun yang
diinginkan-Nya.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa
Fadhlih”/1/hal. 501/Dar Ibnil Jauziy).
Al Qurthubiy ‫ رحههههمههههه هللا‬berkata: “Terkadang
luput dari orang yang mulia pengetahuan yang
diketahui oleh orang yang kurang mulia”. (“Al Jami’
Li Ahkamil Qur’an”/11/hal. 17).
Al Imam Ibnu Muflih Al Hanbaliy ‫رحههههمههههه هللا‬
berkata tentang masalah mendahulukan orang yang
27

tua usianya: “Dan masuk ke dalam makna usia tua


adalah: ketinggian ilmu dan kemuliaan serta yang
semacam itu, dan itulah yang diinginkan oleh Al
Imam Ahmad ‫ رحمههه هللا‬insya Allah, karena jika tidak
demikian maka tidak ada gunanya mendahulukan
orang tua yang tak punya ilmu sambil meninggalkan
orang alim yang muda usianya”. (“Al Adabusy
Syar’iyyah”/1/hal. 426).
28

Jawaban Kelima: Tidak Ada Dalam


Hadits Tadi Pensyaratan Usia Tua Demi
Sahnya Fatwa

Jawaban kelima: seandainya ditetapkan


bahwasanya yang dimaukan adalah tuanya usia,
maka tidak ada dalam hadits tadi yang menunjukkan
bahwasanya itu adalah termasuk syarat sahnya
fatwa. Hanyanya hadits ini masuk dalam bab
dorongan untuk duduk-duduk dengan orang tua,
memuliakan mereka, dan keutamaan perbuatan
tersebut. Ibnu Hibban ‫ رحههههمههههه هللا‬meriwayatkannya
dalam Shahihnya (559) dalam bab: Penyebutan
disukainya seseorang mencari berkah dengan
bergaul dengan masyayikh pemilik agama dan akal.
Dan hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqiy
‫ رحمه هللا‬dalam “Syu’abul Iman” (10493) dalam bab:
Merohmati anak kecil dan menGharmati orang
besar.
Al Kharaithiy ‫ رحمههههه هللا‬juga meriwayatkannya
dalam “Makarimul Akhlaq” (355) dalam bab:
Pemuliaan dan pengagungan pada orang-orang tua.
Al Hafizh Muhammad bin Ishaq Al Kalabadziy
‫ رحههههمههههه هللا‬setelah menyebutkan hadits ini berkata:
Beliau telah memerintahkan untuk memuliakan
mereka dengan sabda beliau ‫ ﷺ‬: “Barangsiapa tidak
29

memuliakan orang besar di antara kita, maka dia


bukanlah dari golongan kita.” (“Ma’anil Akhbar”/
karya Al Kalabadziy/hal. 100).
31

Jawaban Keenam: Boleh Jadi


Maksud Hadits Tadi Adalah Para
Shahabat ‫ رضي هللا عنهم‬, Para Shalihin, dan
Orang-orang Mulia, Bukan Sekedar
Tuanya Usia

Jawaban keenam: bisa jadi yang dimaksudkan


dengan orang-orang besar adalah para Shahabat
‫ رضهههي هللا عنه‬, para shalihin, dan orang-orang mulia,
bukan sekedar tuanya usia. Hadits ini diriwayatkan
oleh Al Imam Ibnu Abdil Barr ‫ رحمههه هللا‬dalam “Jami’
Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih” no. (1053) di bawah bab:
Keadaan ilmu jika ada di sisi orang-orang fasiq dan
orang-orang yang hina.
Beliau ‫ رحهههههههمهههههههه هللا‬berkata: “Abu Ubaid
menyebutkan dalam ta’wil berita ini dari Ibnul
Mubarak bahwasanya beliau berpendapat
bahwasanya ashoghir adalah ahlil bida’, dan tidak
berpendapat tuanya usia. Abu Ubaid berkata: Ini
adalah satu sisi. Beliau juga berkata: saya
berpendapat bahwasanya ashoghir adalah manakala
ilmu itu diambil dari orang yang datang setelah para
Shahabat Rasulullah ‫ ﷺ‬dan lebih diutamakan
daripada pendapat para Shahabat Rasulullah ‫ ﷺ‬dan
ilmu mereka. Maka itulah yang dinamakan sebagai:
30

mengambil ilmu dari ashoghir.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi


Wa Fadhlih”/1/hal. 496/Dar Ibnil Jauziy).
Al Imam Ibnu Abdil Barr ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan
mungkin saja hadits ini bermakna bahwasanya orang
yang paling berhak dengan ilmu dan belajar fiqh
adalah orang-orang mulia, ahli agama dan pemilik
kebesaran, karena ilmu itu jika ada di sisi mereka,
maka jiwa-jiwa tidak merasa angkuh untuk duduk-
duduk di majelis mereka. Tapi jika ilmu itu dimiliki
oleh selain mereka, maka setan mendapatkan jalan
untuk menghinakan mereka, dan mencampakkan ke
dalam jiwa-jiwa sikap lebih mengutamakan
keridhoan dengan kebodohan karena merasa
angkuh untuk bolak-balik pergi ke orang yang tak
punya martabat tinggi dan agama. Dan hal itu
dijadikan sebagai alamat dan tanda hari Kiamat, dan
sebagai sebab dihilangkannya ilmu.” (“Jami’ Bayanil
‘Ilmi Wa Fadhlih”/1/hal. 500-501/Dar Ibnil Jauziy).
32

Jawaban Ketujuh: Susunan Hadits Tadi


Tidak menunjukkan Pembatasan
Berkah Pada Orang Yang Tua Usia Saja

Jawaban ketujuh: Tidak ada pada susunan


kalimat dalam hadits tadi yang menunjukkan
pembatasan berkah pada orang yang tua usianya
saja. Ini berbeda jika khobar kalam didahulukan
sebelum mubtada’nya, atau yang terkait dengan
khobar yang terhapus didahulukan sebelum
mubtada’nya. Maka pola mendahulukan kata yang
harusnya diakhirkan itu memang memberikan faidah
pembatasan dan pengkhususan. Dan tidak ada
dalam hadits ini apa yang menunjukkan ada yang
demikian itu.
33

Jawaban Kedelapan: Keutamaan Para


Pemuda Yang Menegakkan Agama Juga
Disebutkan Oleh Allah ta’ala

Jawaban kedelapan: Sesungguhnya Allah


ta’ala telah mengisyaratkan dalam Al Qur’an kepada
keutamaan para pemuda yang menegakkan agama
Allah. Allah ta’ala berfirman:
ِ َْ ْ‫ك ن ََبْ َه ُه ْم ِب‬
ُ ‫اق ِق إِ َّم ُ ْم ف ْت َي ٌة َآمنُوا بِ َر َِبِ ْم َو ِز ْدن‬
‫َاه ْم‬ َ ْ‫﴿ن َْح ُن َن ُق هص َع َل ْي‬
ِ ‫وَبِم إِ ْذ َقْاموا َف َقا ُلوا ربنَا رب السَْْموا‬
َ َ َّ ‫َ ه َ ه‬ ُ ْ ِ ‫ُهْدا * َو َر َب ْط َنْا َع َ ُق ُل‬
﴾‫ونْ ِه إِ َاِلْا َلْ َقْدْ ُق ْل َنْا إِ اذا َ ْْ َط اطْا‬ ِ ‫ض َلْن َنْدْ عْو ِمْن د‬
ُ ْ َ ُ ْ ِ ‫َو ْاْلَ ْر‬
.]14 ،13/‫[الكهف‬
“Kami akan menceritakan padamu berita mereka
dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah para
pemuda yang beriman pada Robb mereka dan Kami
tambahkan pada mereka hidayah dan Kami
kokohkan tekad dan kesabaran hati mereka ketika
mereka bangkit lalu mereka berkata: Robb Kami
adalah Robb langit dan bumi, kami tak akan berdoa
pada sesembahan selain-Nya. Sungguh jika
demikian tadi kami telah mengatakan suatu
kecurangan dan kemustahilan.”
34

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمهههه هللا‬berkata: “Maka


Allah ta’ala menyebutkan bahwasanya mereka
adalah para pemuda –yaitu syabab (anak-anak
muda)- dan mereka itu lebih menghadapkan diri
kepada kebenaran, dan lebih mendapatkan petunjuk
kepada jalan yang lurus daripada orang-orang tua
yang telah berlarut-larut hidup dalam agama yang
batil. Oleh karena itulah maka kebanyakan orang-
orang yang menyambut seruan Allah dan Rosul-Nya
‫ ﷺ‬adalah para pemuda. Adapun orang-orang tua
dari Quroisy maka kebanyakan dari mereka telah
lama tinggal di atas agama mereka, dan tidak masuk
Islam dari mereka kecuali sedikit. Dan demikianlah
Allah ta’ala mengabarkan tentang ashhabul Kahf
bahwasanya mereka itu adalah anak-anak muda.”
(“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/5/hal. 140).
Maka barokah dari Allah tabaroka wata’ala itu
bersama orang-orang yang Allah kehendaki, yang tua
ataupun yang muda.
35

Jawaban Kesembilan: Kondisi Salaf ‫رضي‬


‫ هللا عنهم‬Menunjukkan Bahwa Fatwa Itu
Tidak Tergantung Pada Tuanya Usia,
Tapi Pada Kemampuan

Jawaban kesembilan: kenyataan para salaf


‫ رضهههههههي هللا عنه‬menunjukkan bahwasanya fatwa itu
tidak tergantung pada tuanya usia, tapi tergantung
pada kemampuan. Berapa banyaknyakah ahli fatwa
pada masa salaf dalam keadaan mereka belum
mencapai usia tua. Al Imam Ibnu Abdil Barr ‫رحمه هللا‬
berkata: “Para ulama berdalilkan dengan keadaan
Abdulloh bin Abbas yang dulu berfatwa dalam
keadaan beliau itu masih muda, dan bahwasanya
Mu’adz bin Jabal dan ‘Attab bin Usaid dulu berfatwa
untuk manusia dalam keadaan keduanya masih usia
muda, dan Rasulullah ‫ ﷺ‬mengutus keduanya untuk
memimpin di beberapa wilayah bersamaan dengan
usia keduanya yang masih muda. Dan yang seperti ini
di kalangan ulama banyak.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa
Fadhlih”/1/hal. 500/Dar Ibnil Jauziy).
Beliau ‫ رحمههه هللا‬juga berkata: “Pada masa lalu
telah ada orang tua dan muda yang memimpin
dengan ilmunya. Dan Allah itu mengangkat derajat-
derajat orang yang disukai-Nya.” (“Jami’ Bayanil ‘Ilmi
Wa Fadhlih”/1/hal. 501/Dar Ibnil Jauziy).
36

Jawaban Kesepuluh: Asy Syaikh Yahya


bin Ali Al Hajuriy Dan Beberapa Ulama
Yang Bersama Beliau Telah Mencapai
Lebih Dari Lima Puluh Tahun

Jawaban kesepuluh: sesungguhnya Syaikh


kami Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫ حفظه هللا‬dan beberapa
ulama yang bersama beliau telah mencapai lebih dari
lima puluh tahun, sementara banyak masyayikh
yang lain yang bersama beliau juga telah mencapai
usia empat puluh tahun, dan ini tidaklah dikatakan
muda usia. Allah ta’ala berfirman:
‫ني َسْنَ اة َق َال َر ِب َأ ْو ِز ْعنِي َأ ْن َأ ْ ُك َر‬ ِ
َ ‫﴿ َحتَّى إِ َذا َب َلغَ َأ ُ ْدَّ ُ َو َب َلغَ َأ ْر َبع‬
ِ‫ت ع َل وع َ والِدَ ي و َأ ْن َأعم َل صْ ا‬ ِ َ ‫نِعمت‬
﴾ ُ ‫اقا ت َْر َضا‬ َ َ ْ َ َّ َ َ َ َّ َ َ ‫َك ا َّلتي َأ ْن َع ْم‬ َْ
.]51/‫ [األحقاف‬.‫اآلية‬
“Sampai apabila dia telah mencapai puncak
kekuatan dan pengetahuan dan mencapai empat
puluh tahun, dia berkata: Wahai Robbku,
karuniailah aku taufiq untuk mensyukuri nikmat-Ku
yang Engkau berikan padaku, dan kepada kedua
orang tuaku, dan agar saya beramal sholih yang
Engkau ridhoi…”
37

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحهههمههههه هللا‬berkata dalam


tafsir: “dan mencapai empat puluh tahun”: yaitu:
mencapai puncak akalnya dan sempurnalah
pemahamannya dan kesabarannya. Dikatakan:
Sesungguhnya orang berusia empat puluh tahun itu
biasanya tidak berubah dari apa yang dia ada di
atasnya.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/7/hal. 280).
38

Jawaban Kesebelas: Berkah Itu


Menyertai Ilmu, Bukan Sekedar Tuanya
Usia

Jawaban kesebelas: termasuk yang


memperkuat pendapat bahwasanya akabir di sini
adalah para ulama adalah: bahwasanya berkah itu
adalah tetapnya kebaikan, pertumbuhan dan
pertambahannya.
Al Imam Ibnul Qoyyim ‫ رحهههههمهههههه هللا‬berkata:
“Adapun keberkahan maka sesungguhnya dia itu
manakala yang dinamai dengannya adalah
banyaknya kebaikan dan terus-menerusnya dia
sedikit demi sedikit, setiap kali ada bagian yang habis
digantikan oleh bagian yang lain, maka dia itu adalah
kebaikan yang lestari, yang individu-individunya itu
susul-menyusul secara lestari sedikit demi sedikit.”
(“Badai’ul Fawaid”/2/hal. 675/cet. Dar ‘Alamil
Fawaid).
Dan Rasulullah ‫ ﷺ‬telah menetapkan
bahwasanya kebaikan itu bersama ilmu yang
bermanfaat. Dari Mu’awiyah ‫ رضههههههههههي هللا عههههنههههه‬yang
berkata: Saya mendengar Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:
.» ‫«من يرد اهلل به خريا يفقهه ىف الدين‬
39

“Barangsiapa diinginkan oleh Allah kebaikan maka


Allah akan memahamkannya dalam agama.” (HR.
Al Bukhariy (71) dan Muslim (1037)).
Dan dari Utsman ‫ رضههههههههي هللا عههنههههه‬dari Nabi ‫ ﷺ‬yang
bersabda:
.» ‫«خريكم من تعلم القرآن وعلمه‬
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang
mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR.
Al Bukhariy (5027)).
Dan orang yang paling besar berkahnya
adalah orang yang paling banyak manfaatnya untuk
masyarakat, bukan sekedar tuanya umur. Al Imam
Ibnul Qoyyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka sesungguhnya
orang yang bermanfaat adalah orang yang diberkahi.
Dan perkara yang paling bermanfaat adalah perkara
yang paling berbarokah. Dan orang yang diberkahi di
manapun dia berada adalah orang yang bisa diambil
manfaatnya di manapun dia turun.” (“Zadul
Ma’ad”/4/hal. 141).
Ucapan ini cukup dalam menjelaskan lebih
beratnya timbangan ilmu daripada sekedar
timbangan tuanya usia, dan bahwasanya orang yang
besar ilmunya itu lebih banyak berkahnya dan lebih
banyak manfaat daripada sekedar orang yang lebih
tua umurnya. Dan ini juga cukup untuk menyirnakan
syubhat orang yang menolak kebenaran dengan
41

sekedar mudanya umur para pembawanya. Dan


hanya milik Allah saja segala pujian.
40

Jawaban Kedua Belas: Tiada Dalil


Bahwasanya Kebenaran Itu Hanya Sah
Jika Datang Dari Kibarul ulama

Jawaban kedua belas: apa dalil bahwasanya


kebenaran itu tidak wajib diterima kecuali jika
datangnya dari Kibarul ulama? Bahkan tidak ada dalil
yang mensyaratkan semacam tadi.
Dari Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬: bahwasanya Nabi ‫ﷺ‬
bersabda:
‫«ما بال أناس يشرتطون رشوط اا ليس يف كتاب اهلل؟ من ا رتط‬
‫ رشط اهلل‬.‫رشط اا ليس يف كتاب اهلل فهو باطل وإن ا رتط مائة رشط‬
.»‫أحق وأوثق‬
“Kenapa ada sekelompok orang yang membuat
syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah?
Barangsiapa membuat syarat yang tidak ada
dalam Kitab Allah, maka itu adalah batil sekalipun
mencapai seratus syarat. Syarat Allah lebih berhak
dan lebih kuat.” (HR. Al Bukhariy (2155) dan Muslim
(1504)).
42

Jawaban Ketiga Belas: Berpaling Dari


Hujjah Demi Ucapan Si Fulan dan si Alan
Adalah Sebab Kebid’ahan

Jawaban ketiga belas: bahwasanya berpaling


dari hujjah tegak di atas cahaya Al Kitab dan As
Sunnah berdasarkan manhaj Salaf; demi ucapan si
Fulan dan si Alan merupakan sebab keluarnya
seseorang dari area Ahlussunnah.
Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata tentang
perbedaan antara Ahlussunnah dan Ahli bid’ah: “...
di antaranya adalah: bahwasanya Ahlussunnah
ketika ada perselisihan, mereka mengajak untuk
berhukum pada Sunnah, bukan pada pendapat dan
akal para tokoh.” (“Mukhtasharush Shawa’iq”/hal.
603/ cet. Darul Hadits).
Beliau ‫ رحمه هللا‬juga berkata: “Dan di antaranya
adalah: bahwasanya Ahlussunnah jika dikatakan
pada mereka: “Allah berfirman, Rasul-Nya ‫ﷺ‬
bersabda” hati mereka berhenti pada dalil-dalil tadi
dan tidak melampauinya kepada yang lain, dan tidak
berpaling pada “Apakah ucapan si Fulan? Dan si
Fulan?” Sementara ahli bid’ah, menyelisihi yang
demikian itu.” (“Mukhtasharush Shawa’iq”/hal. 604/
cet. Darul Hadits).
43

Al Imam Ibnu Rojab ‫ رحمه هللا‬berkata: “Oleh


karena itulah maka dulunya para imam Salaf yang
ilmu dan keutamaan mereka telah disepakati
mereka menerima kebenaran dari orang yang
mendatangkannya kepada mereka sekalipun dia
adalah anak kecil. Dan mereka juga berwasiat
kepada para sahabat dan pengikut mereka untuk
menerima kebenaran jika kebenaran tadi muncul
dari selain ucapan mereka.” (“Al Farqu Bainan
Nashihah Wat Ta’yiir”/Majmu’ur Rosail/2/hal.
404/cet. Al Faruq).

Jawaban Keempat Belas: Kebenaran Itu


Diketahui Dengan Dalilnya, Bukan
Dengan Tuanya Usia Pembawanya

Jawaban keempat belas: termasuk ujian Allah


pada para hamba-Nya adalah bahwasanya tidak ada
yang meliputi seluruh ilmu kecuali Allah ‫سبحانه‬
sendiri, dan Allah tidak menjadikan kema’shuman
kecuali untuk para Nabi-Nya. Maka tiada seorangpun
dari umat ini kecuali dia itu terkadang tahu dan
terkadang tidak tahu, terkadang benar dan
terkadang keliru. Semua orang terkadang ucapannya
boleh diambil dan terkadang boleh ditolak, kecuali
44

Rasulullah ‫ﷺ‬, maka tidak boleh ada ketaatan secara


mutlak melainkan untuk Allah dan Rasul-Nya saja.
Maka kebenaran itu diketahui dengan dalil-dalilnya,
bukan dengan tuanya usia pembawanya.
Dari Ubaid bin Umair yang berkata:
:‫ فقال عمر‬.‫ فرجع‬،‫أن أبا موسى استأذن عىل عمر ثالثا فكأنه وجده مشغوالا‬
‫ ما محلك عىل‬:‫ فقال‬،‫ فدعي له‬.‫أمل تسمع صوت عبداهلل بن قيس؟ ائذنوا له‬
.‫ لتقيمن عىل هذا بينة أو ألفعلن‬:‫ قال‬.‫ إنا كنا نؤمر هبذا‬:‫ما صنعت؟ قال‬
‫ ال يشهد لك عىل هذا إال‬:‫ فقالوا‬،‫فخرج فانطلق إىل جملس من األنصار‬
‫ خفي عيل هذا من‬:‫ فقال عمر‬.‫ كنا نؤمر هبذا‬:‫ فقال‬،‫ فقام أبو سعيد‬.‫أصغرنا‬
)2402( ‫ (أخرجه البخاري‬.‫ أهلاين عنه الصفق باألسواق‬،‫أمر رسول اهلل ﷺ‬
.))2512( ‫ومسلم‬
Dari Abu Musa Al Asy’ariy ‫ رضي هللا عنه‬meminta
izin masuk kepada 'Umar bin Al Khaththob ‫رضي هللا‬
‫ عنه‬sebanyak tiga kali (namun tidak diizinkan), karena
nampaknya beliau sedang sibuk. Lalu Abu Musa
kembali. Kemudian 'Umar berkata: "Tidakkah tadi
engkau mendengar suara 'Abdullah bin Qais? Berilah
izin kepadanya". Umar diberitahu bahwa Abu Musa
telah pulang. Maka 'Umar memanggilnya, dan
bertanya:”Apa yang membuat engkau berbuat itu?
(Pulang setelah minta idzin sebanyak tiga kali).”
Maka Abu Musa berkata: "Kami diperintahkan hal
45

yang demikian (kembali pulang bila salam minta izin


tiga kali tidak dijawab)". Maka Umar berkata:
"Engkau harus memberikan kepadaku bayyinah
(bukti) tentang masalah ini, atau aku akan
menghukummu". Maka Abu Musa pergi menemui
majelis Kaum Anshar lalu dia bertanya kepada
mereka. Kaum Anshar berkata: "Tidak ada yang
menjadi saksi untuk mendukungmu tentang
masalah ini kecuali orang yang paling muda di
antara kami, yaitu Abu Sa'id Al Khudriy". Maka Abu
Musa berangkat bersama Abu Sa'id Al Khudriy
menemui 'Umar, lalu Abu Sa’id berkata: "Kami
diperintahkan hal yang demikian (kembali pulang
bila salam minta izin tiga kali tidak dijawab)". Maka
'Umar berkata: "Aku tidak tahu urusan Rasulullah ‫ﷺ‬
yang ini. Sungguh aku telah dilalaikan oleh
perniagaan di pasar". (HR. Al Bukhariy (2062) dan
Muslim (2153)).
Al Imam Ibnu Abdil Barr ‫ رحمه هللا‬berkata di
dalam bantahan beliau terhadap orang yang
mengekor pada sebagian tokoh besar: “Pendapat itu
tidak menjadi benar disebabkan oleh keutamaan
orang yang mengucapkannya. Tapi pendapat itu
menjadi benar hanya disebabkan oleh penunjukan
dalilnya.” (“Jami’ Bayanil Ilm”/2/hal. 174/cet. Dar
Ibnil Jauziy).
46

Ibnu 'Abbas ‫ رضيييييي هللا عنهما‬berkata: "Dulu aku


membacakan Al Qur'an kepada para tokoh dari
Muhajirin, di antara mereka adalah Abdurrahman
bin 'Auf". (HR. Al Bukhariy (6830)/cet. Darul Kutubil
Ilmiyyah).
Ibnul Jauziy ‫ رحمه هللا‬berkata: "Maka di dalam
atsar tadi ada peringatan untuk mau mengambil
ilmu dari ahlinya meskipun umur mereka masih
muda, atau derajat mereka lebih rendah. Dulu
Hakim bin Hizam ‫ رضي هللا عنه‬belajar Al Qur'an pada
Mu'adz bin Jabal ‫رضي هللا عنه‬. Maka dikatakan pada
beliau,"Anda belajar Al Qur'an pada bocah Khazrajiy
itu?" Maka beliau berkata,"Hanyalah yang
membinasakan kita itu kesombongan." ("Kasyful
Musykil" 1/hal. 63/cet. Darul Wathan).
Ibnul Madiny ‫ رحمه هللا‬berkata: "Sesungguhnya
ilmu itu bukan berdasarkan umur." ("Al Adabusy
Syar'iyyah"/Imam Ibnu Muflih ‫رحييييييمييييييه هللا‬/pasal:
mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun mereka itu
berusia muda/hal. 364/cet. Ar Risalah).
Sufyan bin 'Uyainah ‫ رحمه هللا‬berkata: "Anak kecil
adalah ustadz jika dia tsiqah". ("Al Adabusy
Syar'iyyah"/Imam Ibnu Muflih ‫رحمه هللا‬/ hal. 364/cet.
Ar Risalah).
Al Imam Waqi’ Ibnul Jarrah ‫ رحمه هللا‬berkata:
“Seseorang itu tidak akan menjadi alim sampai dia
47

mau mendengar ilmu dari orang yang lebih tua


daripada dirinya, orang yang semisal dirinya, dan
orang yang lebih muda daripada dirinya.” ("Al
Adabusy Syar'iyyah"/Imam Ibnu Muflih ‫رحمه هللا‬/ hal.
364/cet. Ar Risalah).
Al Imam Ahmad bin Hanbal ‫ رحمه هللا‬berkata:
“Tidak ada di zaman Ibnul Mubarak orang yang lebih
banyak menuntut ilmu daripada beliau, beliau
mengadakan perjalanan ke Yaman, ke Mesir, ke
Syam, ke Bashrah, ke Kufah. Dan beliau termasuk
para periwayat ilmu dan ahli ilmu. Beliau mencatat
ilmu dari anak-anak muda dan orang-orang tua.”
(“Tarikh Dimasyq”/32/hal. 407/cet. Darul Fikr).
Kemudian sesungguhnya Luqman Ba Abduh
dan para pengikutnya sering bertabirkan dengan Al
Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬dalam rangka untuk
menghantam Asy Syaikh Yahya dan orang yang
bersama beliau. Maka hendaknya mereka sekarang
mendengarkan bahwasanya Al Imam Al Wadi’iy ‫رحمه‬
‫ هللا‬membantah pensyaratan mereka untuk
diterimanya kebenaran adalah dengan melalui
Kibarul Ulama:
Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬berkata:
“Dengarkanlah, dengarkanlah, fatwa orang yang
paling besar jika menyelisihi dalil, maka hal itu tidak
ada harganya bagiku. Tapi fatwa orang yang paling
48

kecil di antara kalian jika disertai dalil maka aku


junjung tinggi, sehingga kalian tidak menakut-nakuti
diriku dengan fatwa Fulan ataupun Fulan. Bahkan
aku adalah lawan si Fulan, selama dia mengeluarkan
fatwa yang menyimpang, maka aku adalah
lawannya.” (“Gharatul Asyrithah”/1/hal. 46/cet.
Maktabah Shan’a Al Atsariyyah).
49

Jawaban Kelima Belas: Menolak


Kebenaran Karena Mudanya Usia
Pembawanya Adalah Kesombongan

Jawaban kelima belas: menolak kebenaran


karena mudanya usia orang yang membawanya
merupakan suatu kesombongan, dan itu adalah
penyakit yang membahayakan.
Abu Salamah ‫ رحمه هللا‬berkata:
‫اِص َع َىل املَْ ْر َو ِة‬ ِ ‫ا ْل َت َقى َعبدُ اهلل بن ُعمر و َعبدُ اهلل بن َعم ِرو ب ِن ا ْلع‬
َ ْ ْ ُ ْ ْ َ ََ ُ ْ ْ
.‫َفت ََحدَّ َثا ُث َّم َم ََض َع ْبدُ اهلل ْب ُن َع ْم ٍرو َو َب ِق َى َع ْبدُ اهلل ْب ُن ُع َم َر َي ْبكِي‬
َ‫ َع ْبد‬:‫ َه َذا – َي ْعنِي‬:‫مح ِن؟ َق َال‬ َ ْ ‫الر‬ ِ
َّ ‫يك َيا َأ َبا َع ْبد‬ َ ِ‫ َما ُي ْبك‬:‫َف َق َال َل ُه َر ُج ٌل‬
‫َان ِىف‬ َ ‫ « َم ْن ك‬:‫ول‬ ُ ‫ول اهلل ﷺ َي ُق‬ َ ‫ َز َع َم َأ َّن ُه َس ِم َع َر ُس‬- ‫اهلل ْب َن َع ْم ٍرو‬
ِ ‫َق ْلبِ ِه ِم ْث َق ُال َح َّب ٍة ِم ْن َخ ْر َد ٍل ِم ْن كِ ْ ٍرب َأ َك َّب ُه اهلل َع َ َو ْج ِه ِه ِىف الن‬
.»‫َّار‬
"Abdullah bin Umar berjumpa dengan Abdullah bin
Amr ibnul 'Ash ‫ رضيييي هللا عنهما‬di atas bukit Marwah.
Lalu mereka saling menyampaikan hadits. Kemudian
Abdullah bin Amr berlalu, dan tinggallah Abdullah
bin Umar di situ menangis. Maka seseorang bertanya
kepadanya,"Apa yang membikin Anda menangis,
wahai Abu Abdirrahman?" Beliau menjawab,"Orang
ini tadi - Abdullah bin Amr- menyatakan bahwa
51

Rasulullah ‫ﷺ‬bersabda: "Barangsiapa di hatinya


ada kesombongan seberat timbangan biji sawi,
Alloh akan menelungkupkan dirinya di dalam
neraka di atas wajahnya." (HR. Ahmad (7015/Ar
Risalah) dan dishahihkan Al Imam Al Wadi'iy ‫رحمه هللا‬
di "Ash Shahihul Musnad" no. (800)).
Al Imam Ibnul Qayyim ‫رحمييه هللا‬berkata: “Aku
mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫رحميييه هللا‬
berkata: “Kesombongan itu lebih buruk daripada
kesyirikan, karena orang yang sombong itu
menyombongkan diri dari beribadah pada Allah
ta’ala, sementara musyrik itu menyembah Allah dan
yang lainnya.” Kukatakan: oleh karena itulah Allah
menjadikan neraka sebagai negri orang-orang yang
menyombongkan diri, sebagaimana firman Allah
ta’ala dalam surat Az Zumar dan surat Ghafir:
﴾‫﴿فْادخلوا أبواب جهنم خْالْدين فيهْا فبثس مثو ايتكربين‬
.[01 :‫ و]الزمر‬،[07 :‫]غافر‬
“Maka masuklah kalian ke dalam pintu-pintu
Jahannam dengan kekal di dalamnya. Maka itu
adalah sejelek-jelek tempat tinggal orang-orang
yang menyombongkan diri.”
Dan dalam surat An Nahl:
50

﴾‫﴿فْادخلوا أبواب جهنم خْالْدين فيهْا فلبثس مثوي ايتكربين‬


.[12 :‫]النحل‬
“Maka masuklah kalian ke dalam pintu-pintu
Jahannam dengan kekal di dalamnya. Maka itu
adalah benar-benar sejelek-jelek tempat tinggal
orang-orang yang menyombongkan diri.”
Dan dalam surat Tanzil:
. [70 :‫﴿أليس يف جهنم مثو للمتكربين﴾ ]الزمر‬
“Bukankah di dalam Jahannam itu ada tempat
tinggal bagi orang-orang yang menyombongkan
diri.”
Dan Allah mengabarkan bahwasanya pelaku
kesombongan dan pemaksaan, mereka itulah yang
Allah timpakan cetakan di atas hati mereka. Allah
ta’ala berfirman:
.[53 :‫﴿كذلك يطبع اهلل ع كل قلب متكرب جبار﴾ ]غافر‬
“Demikianlah Allah mencetak di atas setiap hati
orang yang menyombongkan diri dan memaksa.”
Dan bersabda (Nabi ‫ )ﷺ‬:
.»‫«ًل يدخل اجلنة من يف قلبه مثقال ذرة من كرب‬
"Tak akan masuk Jannah orang yang di hatinya ada
semisal dzarroh dari kesombongan." [HR. Muslim
(91) dari Ibnu Mas'ud ‫]رصي هللا عنه‬.
52

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
.»‫«الكرب بطر اقق وغمص الناس‬
"Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia." [hadits Ibnu Mas’ud ‫رضهههي‬
‫]هللا عنه‬.
Dan datang dengan lafazh: "kesombongan itu
adalah masa bodoh terhadap kebenaran dan
meremehkan manusia.” Diriwayatkan Al Imam
Ahmad (6583) dari Abdullah bin Amr, dishahihkan
oleh Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬dalam “Ash
Shahihul Musnad” (801)).
Dan Allah ta'ala berfirman:
.)1 : ‫﴿إن اهلل ًل يغفر أن يرشك به﴾ (النساء‬
"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni kesyirikan
terhadap diri-Nya" (QS. An Nisa: 8).
Sebagai peringatan bahwasanya Dia tidak
mengampuni kesombongan yang hal itu lebih besar
daripada kesyirikan. Dan sebagaimana bahwasanya
orang yang bertawadhu' kepada Allah, Allah akan
mengangkatnya, demikian pula barangsiapa
menyombongkan diri dari ketundukan kepada al
haq, Allah akan menghinakannya,
merendahkannya, mengecilkannya,
meremehkannya. Dan barangsiapa
menyombongkan diri dari ketundukan kepada al haq
53

walaupun mendatanginya melalui anak kecil atau


orang yang dibencinya atau memusuhinya, maka
sebenarnya kesombongannya itu hanyalah kepada
Allah, karena sesungguhnya Allah itulah Al Haq,
firman-Nya adalah haq, agama-Nya adalah haq, dan
Al Haq adalah sifat-Nya, dari-Nya dan milik-Nya.
Maka jika sang hamba menolak al haq dan
menyombongkan diri dari menerimanya, maka dia
itu hanyalah membantah Allah dan
menyombongkan diri kepada Allah. WAllahu a'lam."
Pasal: penulis “Al Manazil” berkata: tawadhu’
adalah sang hamba merendahkan diri terhadap
kekuasaan kebenaran.
Yaitu: dia menjumpai kekuasaan kebenaran
dengan ketundukan, penghinaan diri dan ketaatan
padanya, dan masuk ke dalam perbudakannya, yang
mana kebenaran itulah yang mengatur di situ seperti
pengaturan sang tuan terhadap budaknya. Maka
dengan ini dihasilkanlah untuk hamba akhlaq
tawadhu’. Oleh karena itulah maka Nabi menafsirkan
kesombongan dengan kebalikannya: “kesombongan
itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan
manusia”
Batharul haqq adalah menolaknya dan
menentangnya, dan menolak dadanya seperti
menolak seorang penyerang. Ghamsun nas adalah:
54

meremehkan dan menghina mereka. maka kapan


saja dirinya meremehkan dan menghina manusia,
dia akan menolak, menentang hak-hak mereka dan
menghinakan hak-hak mereka. Dan manakala
pemilik kebenaran itu punya hak bicara dan
kekuasaan, jadilah jiwa-jiwa yang sombong tidak
mengakui kekuasaan kebenaran terhadap
kekuasaan jiwa yang sombong, terutama jiwa-jiwa
yang berbuat kebatilan yang menyerang kekuasan
kebenaran dengan kesombongannya dan
kebatilannya. Maka hakikat tawadhu’ adalah:
merunduknya diri hamba kepada kekuasaan
kebenaran, dan ketaatannya kepadanya, maka
dirinya tidak menghadapi kekuasaan kebenaran
dengan penentangan.” ("Madarijus Salikin" /2/hal.
271/cet. Darul Hadits).
Adapun orang yang orang yang benar-benar
kenal Allah, maka dia itu bertawadhu’ pada Allah.
Ibrahim ‫ رحمييه هللا‬berkata: Al Fudhoil ditanya:
“Apakah tawadhu’ itu?” beliau menjawab: “Engkau
tunduk pada kebenaran dan menaatinya. Sekalipun
engkau mendengarnya dari anak kecil, engkau
menerimanya darinya. Sekalipun engkau
mendengarnya dari orang yang paling bodoh,
engkau menerimanya darinya.” (“Hilyatul
55

Auliya”/3/hal. 392/cet. Dar Ummil Qura/atsar


hasan).
56

Jawaban Keenam Belas: Menolak


Kebenaran Karena Pembawanya Itu
Masih Muda Atau Kurang Terkenal; Itu
Adalah Ashabiyyah Dan Hizbiyyah

Jawaban keenam belas: menolak kebenaran


dengan alasan bahwasanya para pembawanya itu
masih usia muda atau kurang terkenal; itu
merupakan penyakit jahiliyyah dan ashabiyyah, dan
ashabiyyah adalah ciri khas hizbiyyah.
Al Imam Asy Syaukaniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan
termasuk penyakit-penyakit yang menghalangi
untuk kembali kepada kebenaran adalah:
bahwasanya orang yang berbicara dengan
kebenaran itu masih muda usia –ditinjau dari orang
yang mendebatnya- atau lebih rendah ilmunya atau
kurang terkenal di mata manusia, sementara lawan
bicaranya adalah sebaliknya. Maka sungguh orang
yang kena penyakit ini telah dibawa oleh kemarahan
jahiliyyah dan fanatisme syaithoniyyah untuk tetap
berpegang dengan kebatilan Karena keangkuhan
darinya untuk rujuk kepada ucapan orang yang lebih
muda usia darinya atau lebih rendah ilmunya, atau
lebih kurang terkenal, karena dia mengira
bahwasanya sikap rujuk tadi bisa menjatuhkan
derajatnya atau mengurangi apa yang telah ada
57

padanya. Dan ini adalah dugaan yang rusak karena


sesungguhnya kejatuhan dan kekurangan itu
hanyalah ada pada sikap bersikukuh di atas
kebatilan, sementara ketinggian dan kemuliaan itu
ada pada sikap rujuk kepada kebenaran, di tangan
siapapun dia, dan dari sisi manapun dihasilkan.”
(“Adabuth Thalab”/hal. 57/cet. Darul Kutubil
Ilmiyyah).
Al ‘Allamah Shiddiq Hasan Khan ‫رحمه هللا‬
berkata tentang definisi “Syaikh”: “Dan barangsiapa
menyatakan bahwasanya yang dimaksudkan dengan
“Syaikh” di sini adalah orang yang mencapai umur
yang layak untuk menyampaikan hadits, yaitu sekitar
lima puluh tahun sampai delapan puluh tahun, maka
dia itu jauh dari kebenaran, memberat-beratkan diri
dan mengharuskan diri untuk berjalan di atas
pendapat yang palsu, karena yang benar adalah
bahwasanya poros peredaran penyampaian hadits
adalah ada pada keahlian di muhaddits. Al Bukhariy
telah menyampaikan hadits dalam keadaan di
wajahnya belum ada rambut, sampai bahkan beliau
membantah kesalahan sebagian dari masyayikh
beliau yang keliru dalam sanadnya. Malik telah
menyampaikan hadits padahal beliau berumur tujuh
belas tahun. Asy Syafi’iy telah menyampaikan hadits
padahal beliau masih berusia muda.
58

Yang benar adalah: bahwasanya kemuliaan


dan keutamaan itu hanyalah dengan ilmu dan akal,
bukan umur dan ketuaan. Alangkah banyaknya
orang tua yang mencapai usia yang disunnahkan di
situ penyampaian hadits, tapi dia tidak tahu
bagaimana membedakan mana yang bagus dan
mana yang buruk. Ada syair:
‫وعند الشيخ أجزاء كبار * جملدة ولكن ما قراها‬
“Syaikh itu punya juz-juz yang besar dan berjilid-jilid,
tapi dia sendiri tidak membacanya.”
Alangkah banyaknya anak kecil yang
melampaui syaikh tua dalam pengetahuan dan
kemampuan untuk menganalisis. Dan Allah
mengkhususkan rahmat-Nya kepada orang yang Dia
kehendaki.”
(“Al Khiththah Fi Dzikrish Shihahis Sittah”/Shiddiq
Hasan/hal. 253-254/cet. Darul Atsar).
Kesimpulan: fatwa-fatwa –termasuk di
antaranya adalah jarh wat ta’dil- itu tergantung pada
terpenuhinya syarat-syarat kemantapan ilmu dan
keahlian, di usia berapapun si juru fatwa. Allah ta’ala
berfirman:
ِ ‫َاب َل ُت َب ِينُنَّ ُه لِلن‬
‫َّاس َو ًَل‬ ِ
َ ‫ين ُأوتُوا ا ْلكت‬
ِ َ ‫﴿وإِ ْذ َأ َخ َذ اهلل ِمي َث‬
َ ‫اق ا َّلذ‬ َ
.]581 :‫َت ْكت ُُمو َن ُه﴾ [آل عمران‬
59

“Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian


yang teguh pada orang-orang yang diberi Al Kitab:
Hendaknya kalian menerangkannya pada manusia
dan kalian tidak menyembunyikannya.”
Maka Allah ta’ala menggantungkan kewajiban
menerangkan itu pada adanya ilmu, bukan pada usia,
dan bukan pula pada popularitas ataupun
kebangsawanan seseorang. Maka barangsiapa
menolak kebenaran yang telah didukung oleh hujjah
dan bukti dengan alasan bahwasanya kebenaran tadi
tidak datang dari orang yang katakan sebagai Kibarul
ulama, maka orang ini adalah mubtadi’ hizbiy.
Segala puji bagi Allah pada segala keadaan.
61

Jawaban Ketujuh Belas: Membantah Dan


Memvonis Ahli Batil Adalah Fardhu
Kifayah

Jawaban ketujuh belas: membantah dan


memvonis ahli batil adalah fardhu kifayah, maka jika
sebagian ulama telah menjalankan kewajiban ini,
tidaklah ulama yang lain –Ulama yang dianggap Kibar
ataupun yang lainnya- harus berbicara juga.
Bahkan Syaikh mereka Rabi' Al Madkhaliy ‫وفقه‬
‫ هللا‬berkata: "Para ulama yang mulia itu wajib
mengetahui bahwasanya para ahlul ahwa wat
tahazzub itu memiliki metode-metode yang
menakutkan untuk mengumpulkan para pemuda,
menguasai akal-akal mereka dan untuk
menggugurkan jihadnya para pembela manhaj
Salaf dan ahlinya di lapangan. Di antara uslub-uslub
makar tersebut adalah memanfaatkan diamnya
sebagian ulama terhadap si fulan dan fulan,
walaupun dia itu termasuk orang yang paling sesat.
Maka walaupun para kritikus memajukan hujjah
yang paling kuat terhadap kebid'ahannya dan
kesesatannya, cukuplah bagi orang-orang yang
sengaja berbuat salah itu untuk menghancurkan
kerja keras para penasihat dan pejuang itu dengan
bertanya-tanya dihadapan orang-orang yang bodoh:
60

"kenapa ulama fulan dan fulan diam dari si fulan


dan fulan? Kalau memang si fulan itu di atas
kesesatan tentulah mereka tak akan tinggal diam
dari kesesatannya." Demikianlah mereka membikin
pengkaburan terhadap orang-orang yang bodoh.
Bahkan kebanyakan para pendidik dan keumuman
orang tidak tahu kaidah-kaidah syar'iyyah dan
pokok-pokoknya yang di antaranya adalah:
bahwasanya amar ma'ruf nahi mungkar itu termasuk
fardhu kifayah. Jika sebagian orang telah
menegakkannya, gugurlah kewajiban itu dari yang
lainnya.
Dan di antara uslub mereka juga adalah
mengambil pujian/rekomendasi dari sebagian
ulama untuk orang-orang yang karya tulis mereka,
sikap dan kegiatan mereka telah dihukumi jauh dari
manhaj salaf, bermusuhan dengan pengikut salaf
dan berloyalitas dengan para musuh, dan perkara
yang lain. Dan kebanyakan orang tidak tahu kaidah
jarh wat ta'dil, dan bahwasanya kritikan yang
terperinci itu didahulukan terhadap pujian, karena si
pemuji itu membangun pujiannya di atas perkara
yang nampak dan baik sangka. Dan si pengritik itu
membangun kritikannya di atas ilmu dan kenyataan
sebagaimana telah dimaklumi bersama di kalangan
para imam jarh wat ta'dil.
62

Dan dengan dua uslub ini dan yang lainnya


mereka hendak menggugurkan kerja keras para
penasihat dan perjuangan para pembela sunnah
dengan amat mudahnya, dan menjaring masyarakat
yang banyak dan bahkan kebanyakan pengajar, dan
menjadikan mereka tentara untuk memerangi
manhaj salaf dan salafiyyun, dan membela para
pemimpin kebid'ahan dan kesesatan.
Alangkah kerasnya perhatian para salafiyyun
dalam menjaga dua celah ini, yang wajib bagi para
ulama untuk menutupnya dengan kuat, dan
memotong bahaya yang diakibatkan oleh dua lubang
ini."
("Al Haddul Fashil Bainal Haqq wal Bathil"/Syaikh
Rabi' ‫وفقه هللا‬/hal. 144).
Beliau ‫ حههههفههههظههههه هللا‬juga berkata tentang Abul
Hasan: Dia berkata: "Dan ini telah diperiksa oleh
ulama." Kukatakan,"Ini termasuk salah satu dari
pondasi yang dianggapnya sebagai hujjah jika
mencocoki hawa nafsunya. Dan ulama yang
disebutkannya itu ada dua kelompok. Satu kelompok
yang tidak mengkritiknya sama sekali, dan satu
kelompok lagi yang mengkritiknya. Dan terjadi
perbedaan medan yang mereka kritik. Dan mereka
itu Abul Hasan membantah sebagian mereka dengan
sebagian yang lain, sebagaimana dia membantah
63

kelompok yang mengkritik dengan memanfaatkan


kelompok yang diam. Dan pembaca telah melewati
sedikit contoh dari kasus tersebut." ("At Tankil Bima
Fi Lujaji Abil Hasan Minal Abathil"/masalah keenam/
catatan kaki pertama).
Seorang penelpon gelap telah menelpon
seorang kerabat Syaikh Ahmad An Najmy ‫رحهههمههههه هللا‬
agar menasihati beliau untuk meninggalkan
pembicaraan tentang hizbiyyin. Dan di antara yang
diucapkan penelpon tadi: "Cara seperti itu tidak
diikuti oleh ulama besar kita," dan seterusnya.
Maka beliau ‫ رحههمههههه هللا‬menjawab: Kukatakan:
Yang pertama: Sesungguhnya Allah ‫ عههههل و هههه‬telah
mewajibkan kepada ahli ilmu untuk menjelaskan
kepada manusia dan tidak menyembunyikan. Dan
bayan (penjelasan) itu merupakan fardhu kifayah,
yang jika sebagiannya telah melaksanakannya maka
jatuhlah beban kewajiban dari yang lain –jika
memang bayan yang telah ada itu sudah cukup dan
tertunaikan- kalau tidak demikian maka wajiblah
bagi yang lain untuk melaksanakan bayan hingga
tercapailah kecukupan.
Yang kedua: Kami dan para masyayikh kamu
sebutkan serta yang lainnya, semuanya terbebani
dari Allah untuk memberikan penjelasan. Maka
barangsiapa telah menunaikan tugasnya selamatlah
64

dia dari dosa. Dan yang bersikap kurang dalam hal ini
padahal dia mampu, maka sungguh dia akan terkena
dosa sesuai dengan kadar sikap kurang yang dia
lakukan. Akan tetapi diamnya orang yang diam
tidaklah menjadi hujjah yang mengharuskan
diamnya orang yang tengah menunaikan kewajiban
ini. Bahkan orang yang diam itulah yang harus
memperhatikan: apakah kewajiban tadi telah
tertunaikan dengan pengingkaran yang dilakukan
oleh orang yang mengingkari kemungkaran ataukah
belum? Jika belum tertunaikan maka wajib baginya
untuk menunaikan." ("Ar Raddusy Syar'i"/ hal. 230).
Beliau ‫ رحههههمههههه هللا‬juga berkata dalam "Raddul
Jawab" hal. 37: "Jika para ulama tadi tidak berkata
sedikitpun tentangnya (tentang seorang pembesar
Ikhwani), itu karena mereka tidak mengetahui
tentang kejelekannya sedikitpun. Maka mereka
punya hak untuk bersikap hati-hati dan menahan
diri, dalam keadaan yang seperti ini.
Yang keempat: telah nampak di dalam
manhajnya kejelekan-kejelekan yang banyak. Orang
yang menghapalnya adalah hujjah terhadap orang
yang tidak menghapalnya. Ini adalah kaidah yang
telah terkenal di kalangan para ahlul hadits, dan
beramal dengannya dalam kasus ini adalah wajib."
(Selesai).
65

Dan termasuk dalam bab ini adalah apa yang


disebutkan oleh Saif Abdullah Al Gharib -‫حههفههظههههه هللا‬-
dalam kitabnya "Al Ikhwanul Muslimin fil Jazirotul
ARabiyyah" bahwasanya di antara sifat mereka yang
ketiga puluh tujuh: " ...dan mereka memberikan
gambaran salah bahwasanya para kibarul ulama itu
tidak membantah ahlul ahwa'" dan seterusnya.
(Dinukil oleh Syaikh Ahmad An Najmiy ‫ رحمه هللا‬dalam
“Raddul Muhabbir”/ hal. 187).

،‫واهلل تعاىل أعلم‬


.‫واحلمد هلل رب العاملني‬
.‫سبحانك اللهم وبحمدك ال إله إال أنت أستغفرك وأتوب إليك‬

Kedah, Malaysia, 16 Jumadal Akhirah 1439 H


66

Daftar Isi

Table of Contents

Pengantar Penulis ‫ وفقه هللا‬......................................... 4


Jawaban Pertama: Penyerupaan Dengan Hizbiyyin . 8
Jawaban Kedua: Kalian Tidak Menunggu Kibarul
Ulama Untuk Memukuli Orang.............................. 11
Jawaban Ketiga: Mana Dalil Pembagian Ulama
Menjadi Ulama Besar dan Ulama Kecil? ................ 19
Jawaban Keempat: Masalah Hadits: “Keberkahan itu
bersama orang-orang besar kalian.” ..................... 20
Jawaban Kelima: Tidak Ada Dalam Hadits Tadi
Pensyaratan Usia Tua Demi Sahnya Fatwa ............ 28
Jawaban Keenam: Boleh Jadi Maksud Hadits Tadi
Adalah Para Shahabat ‫ رضي هللا عنهم‬, Para Shalihin,
dan Orang-orang Mulia, Bukan Sekedar Tuanya
Usia ....................................................................... 30
Jawaban Ketujuh: Susunan Hadits Tadi Tidak
menunjukkan Pembatasan Berkah Pada Orang Yang
Tua Usia Saja ......................................................... 32
Jawaban Kedelapan: Keutamaan Para Pemuda Yang
Menegakkan Agama Juga Disebutkan Oleh Allah
ta’ala ..................................................................... 33
Jawaban Kesembilan: Kondisi Salaf ‫رضي هللا عنهم‬
Menunjukkan Bahwa Fatwa Itu Tidak Tergantung
Pada Tuanya Usia, Tapi Pada Kemampuan ............ 35
67

Jawaban Kesepuluh: Asy Syaikh Yahya bin Ali Al


Hajuriy Dan Beberapa Ulama Yang Bersama Beliau
Telah Mencapai Lebih Dari Lima Puluh Tahun ...... 36
Jawaban Kesebelas: Berkah Itu Menyertai Ilmu,
Bukan Sekedar Tuanya Usia .................................. 38
Jawaban Kedua Belas: Tiada Dalil Bahwasanya
Kebenaran Itu Hanya Sah Jika Datang Dari Kibarul
ulama .................................................................... 41
Jawaban Ketiga Belas: Berpaling Dari Hujjah Demi
Ucapan Si Fulan dan si Alan Adalah Sebab
Kebid’ahan ............................................................ 42
Jawaban Keempat Belas: Kebenaran Itu Diketahui
Dengan Dalilnya, Bukan Dengan Tuanya Usia
Pembawanya......................................................... 43
Jawaban Kelima Belas: Menolak Kebenaran Karena
Mudanya Usia Pembawanya Adalah
Kesombongan ....................................................... 49
Jawaban Keenam Belas: Menolak Kebenaran Karena
Pembawanya Itu Masih Muda Atau Kurang
Terkenal; Itu Adalah Ashabiyyah Dan Hizbiyyah .... 56
Jawaban Ketujuh Belas: Membantah Dan Memvonis
Ahli Batil Adalah Fardhu Kifayah ........................... 60
Daftar Isi................................................................ 66

Anda mungkin juga menyukai