Anda di halaman 1dari 130

Solusi Tepat

Bagi Perbedaan Madzhab dan Pendapat


Demi Kejayaan Umat

Disusun Oleh Al Faqir Ilallah:


Abu Fairuz Abdurrahman Bin Soekojo
Al Indonesiy Al Jawiy ‫وفقه هللا‬

Dengan Tazkiyah Fadhilatusy Syaikh:


Abu Abdirrahman Abdurraqib Bin Ali
Ash Shan’aniy Al Kaukabaniy ‫حفظه هللا‬
2



Judul:

“Solusi Tepat Bagi Perbedaan Madzhab Dan Pendapat Demi


Kejayaan Umat”

Disusun Oleh Al Faqir Ilallah:

Abu Fairuz Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy


Al Qudsiy -semoga Allah memaafkannya-

Dengan Tazkiyah Fadhilatusy Syaikh:

Abu Abdirrahman Abdurraqib Bin Ali Ash Shan’aniy Al


Kaukabaniy -semoga Allah memelihara beliau-

Cetakan pertama: Indonesia, Muharram 1441 H

Maktabah Fairuz Ad Dailamiy


3

Idzin cetak resmi dari penulis untuk Al Akh Al Mifdhal Abi


Abdirrahman Faisal Al Indonesiy Al Jawiy –semoga Allah
memberkahinya-
4

Potret Kata Tazkiyah Dari Fadhilatusy Syaikh


Abu Abdirrahman Abdurraqib Bin Ali Al
Kaukabaniy ‫حفظه هللا‬

Satu: Persaksian Abul Khaththab Harun Bin Shalih Al


Yamaniy Al Utmiy ‫حفظه هللا‬:
5

Dua: Persaksian Abu Umar Ayyub Bin Utsman Al Iraqiy


Al Kurdiy ‫حفظه هللا‬:
6



Tazkiyah Dari Fadhilatusy Syaikh Abu


Abdirrahman Abdurraqib Bin Ali Al Kaukabaniy
‫حفظه هللا‬

Satu: Persaksian Abul Khaththab Harun Bin Shalih Al


Yamaniy Al Utmiy ‫حفظه هللا‬:

:‫ أما بعد‬،‫ احلمد هلل رب العاملني‬.‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬

Maka sesungguhnya saya telah melihat apa yang


ditulis oleh syaikh kami yang mulia Abdurraqib Bin Ali Al
Kaukabaniy pada risalah syaikhku yang utama Abu Fairuz
Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy ‫ سدده هللا‬. dan di antara
yang ditulis oleh Asy Syaikh (Abdurraqib) kepada Abu Fairuz
adalah:

“Ini tadi sekedar memalingkan pandangan untuk


memperbanyak penelitian terhadap pendapat-pendapat
dalam masalah ini, karena jika tidak demikian maka engkau
sendiri adalah seorang syaikh ilmu, dan janganlah engkau
beramal kecuali dengan pendapat terkuat yang dengan itu
engkau beribadah pada Allah”.

Inilah persaksian saya dengan apa yang saya baca di


dalam surat tertulis yang sampai kepada saya tersebut. Dan
Allah menjadi saksi atas segala sesuatu. Dan Allah ada di
belakang maksud.
7

.‫واحلمد هلل رب العاملني‬

Shan’a, 14 Ramadhan 1440 H

Ditulis oleh:

Abul Khaththab Harun Bin Shalih Bin Umar Al Utmiy


8

Dua: Persaksian Abu Umar Ayyub Bin Utsman Al Iraqiy


Al Kurdiy ‫حفظه هللا‬:

:‫ أما بعد‬،‫ احلمد هلل رب العاملني‬.‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬

Maka sesungguhnya saya telah melihat apa yang


ditulis oleh syaikh kami yang mulia Abdurraqib Bin Ali Al
Kaukabaniy pada risalah saudara kami syaikh Abu Fairuz
Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy ‫ سدده هللا‬. dan di antara
yang ditulis oleh Asy Syaikh Abdurraqib kepada Abu Fairuz
adalah:

“Ini tadi sekedar memalingkan pandangan untuk


memperbanyak penelitian terhadap pendapat-pendapat
dalam masalah ini, karena jika tidak demikian maka engkau
sendiri adalah seorang syaikh ilmu, dan janganlah engkau
beramal kecuali dengan pendapat terkuat yang dengan itu
engkau beribadah pada Allah”.

Inilah persaksian saya. Dan Allah menjadi saksi atas


segala sesuatu.

.‫واحلمد هلل رب العاملني‬

Ditulis oleh:

Abu Umar Ayyub Bin Utsman Al Kurdiy

Di Irak, Arbil, 21 Dzul Qa’dah 1440 H.


9



Pengantar Penulis ‫حفظه هللا‬

‫ ونعوذ باهلل من رشور‬،‫إن احلمد هلل نحمده ونستعينه ونستغفره‬


‫ ومن يضلل فال هادي‬،‫ من هيده اهلل فال مضل له‬،‫أنفسنا ومن سيئات أعاملنا‬
‫ وأشهد أن حممدا عبده‬،‫ وأشهد أن ال إله إال اهلل وحده ال رشيك له‬،‫له‬
.‫ورسوله‬

Sesungguhnya segala puji adalah bagi Allah, kami memuji-


Nya, memohon pertolongan kepada-Nya dan memohon ampunan
kepada-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-
kejahatan jiwa-jiwa kami, dan dari kejelekan-kejelekan amalan-
amalan kami. Barangsiapa Allah memberinya petunjuk maka tidak
ada yang mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa Allah
menyesatkannya maka tiada yang mampu untuk memberinya
petunjuk. Dan aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan
yang benar selain Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba-Nya dan
utusan-Nya.

ِ ٍ ِ ٍ ‫﴿يا َأُّيا النَّاس ا َّت ُقوا ربكُم ا َّل ِذي َخ َل َقكُم ِمن َن ْف‬
ْ ‫س َواحدَ ة َوخَ َل َق من َْها‬
‫زَو َج َها‬ ْ ْ ُ َّ َ ُ َ‫َ ه‬
‫ون بِ ِه َو ْاْلَ ْر َحا َم إِ َّن اهلل‬
َ ‫اء ُل‬ ِ
َ ‫اء َوا َّت ُقوا اهلل ا َّلذي ت ََس‬
ِ ِ ِ َّ ‫وب‬
‫ث من ُْه ََم ِر َج ااًل كَث اريا َون َس ا‬ ََ
.]1:‫َان َع َل ْيك ُْم َرقِي ابا﴾ [النساء‬ َ ‫ك‬
10

“Wahai manusia, bertaqwalah kalian pada Rabb kalian


Yang menciptakan kalian dari satu jiwa, dan menciptakan
darinya istrinya, dan menyebarkan dari keduanya lelaki
yang banyak dan wanita yang banyak. Dan bertaqwalah
kalian kepada Allah Yang kalian saling meminta dengan-
Nya dan peliharalah hubungan kekerabatan. Sesungguhnya
Allah senantiasa mengawasi kalian.”

َ ‫ين َآ َمنُوا ا َّت ُقوا اهلل َح َّق ُت َقاتِ ِه َو ًَل َتَ ُوت َُّن إِ ًَّل َو َأ ْنت ُْم ُم ْسلِ ُم‬
‫ون﴾ [آل‬ ِ
َ ‫﴿ َيا َأ ه َُّيا ا َّلذ‬
.]101 :‫عمران‬

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian


kepada Allah dengan sebenar-benar ketaqwaan kepada-
Nya, dan janganlah kalian meninggal kecuali dalam
keadaan kalian sebagai Muslimin.”

‫ين َآمنُوا ا َّت ُقوا اهلل َو ُقو ُلوا َق ْو اًل َس ِديدا ا * ُي ْصلِ ْح َلك ُْم َأ ْع ََملَك ُْم‬ ِ
َ ‫﴿ َيا َأ ه َُّيا ا َّلذ‬
:‫َو َيغ ِْف ْر َلك ُْم ُذنُو َبك ُْم َو َم ْن ُيطِ ِع اهلل َو َر ُسو َل ُه َف َقدْ َفازَ َف ْوزا ا َعظِ ايَم﴾ [اْلحزاب‬
.]01- 00

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian


kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang lurus, niscaya
Allah akan memperbaiki untuk kalian amalan-amalan
kalian, dan mengampuni untuk kalian dosa-dosa kalian.
Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka
sungguh dia telah beruntung dengan keberuntungan yang
agung.”
11

ِ
ِ‫رسول اهلل‬ ‫َاب اهللِ َو َخ ْ َْي اهلُدَ ى ُهدَ ى‬ ِ ِ ِ ‫ َفإِ َّن َخْي ا‬: ُ‫َأما بعد‬
ُ ‫حلد ْيث كت‬ َ َْ ْ َ َّ
‫اُتا َوك َُّل ُحم ْدَ َث ٍة بِدْ َع ٌة َوك َُّل‬
َ ُ ‫رش ْاْلُ ُم ْو ِر ُحم ْدَ َث‬
ِ ِ ِ
َّ َ ‫ َو‬،‫َص ََّّل اهللُ َع َل ْيه َو َع ََّل آله َو َس َّل َم‬
.‫ َوك َُّل َض َال َل ٍة ِِف الن َِّار‬،‫بِدْ َع ٍة َض َال َل ٌة‬

Kemudian setelah itu: Maka sesungguhnya sebaik-


baik ucapan adalah Kalamullah, dan sebaik-baik jalan adalah
jalan Muhammad ‫( ﷺ‬semoga shalawat dan salam dari Allah
tercurah untuk beliau)-, sejelek-jelek perkara adalah perkara
yang dibuat-buat, dan setiap perkara yang dibuat-buat adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap
kesesatan adalah di dalam Neraka.
Sesungguhnya telah datang surat dari seorang ikhwah
yang mulia tentang bagaimanakah menyikapi perselisihan
antar madzhab yang ada di umat ini?

Juga datang surat dari ikhwah yang mulia lainnya:


Apakah yang menyebabkan kelemahan umat ini adalah
perpecahan akibat khilafiyah? Bagaimanakah sikap kita dalam
menyikapi perbedaan madzhab dan pendapat? Dan
bagaimanakah cara menyatukan umat dan agar mereka kuat
dan jaya kembali?

Maka saya akan menjawabnya dengan memohon


pertolongan kepada Allah ta’ala, dan saya berusaha sekuat
tenaga untuk banyak-banyak mencari bimbingan para ulama
Salafiyyin dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, agar
selalu terbimbing dalam menguraikan masalah-masalah yang
ada, sesuai dengan wasiat Fadhilatusy Syaikh Abu
Abdirrahman Abdurraqib Bin Ali Ash Shan’aniy Al Kaukabaniy
12

dan para ulama yang lainnya. Semoga Allah ta’ala memelihara


mereka semua, dan membalasi mereka dengan pahala yang
terbaik.

Saya berkata –dan tiada upaya ataupun daya kecuali


dengan pertolongan Allah-:
13

Bab Satu: Langkah Yang Tepat


Menyikapi Perselisihan

Pasal Satu: Perpecahan itu terlarang dan


menyebabkan kelemahan
Memang perselisihan dan perpecahan itu
menyebabkan umat menjadi lemah. Allah ta’ala berfirman:
ِ
‫ِبوا إِ َّن اهلل‬
ُ ِ ‫اص‬ ُ ‫ب ِر‬
ْ ‫حيك ُْم َو‬ َ ‫﴿ َو َأطي ُعوا اهلل َو َر ُسو َل ُه َو ًَل َتنَاز َُعوا َف َت ْف َش ُلوا َوت َْذ َه‬
َ ‫الصابِ ِر‬
.]64 :‫ين﴾ [اْلنفال‬ َّ ‫َم َع‬

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah


kalian bertengkar, yang menyebabkan kalian menjadi
gentar dan hilang kekuatan kalian dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Al Imam Asy Syinqithiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Allah ‫جل وعال‬


di dalam ayat yang mulia ini melarang kaum Mukminin dari
pertengkaran, dan Allah menerangkan bahwasanya hal itu
adalah sebab kegentaran dan kelemahan serta hilangnya
kekuatan. Dan di ayat-ayat yang lain Allah melarang dari
perpecahan”. (“Adhwaul Bayan”/2/hal. 102).

Allah ta’ala berfirman:

ٍ ‫ين َف َّر ُقوا ِدين َُه ْم َوكَانُوا ِش َي اعا ك هُل ِح‬


‫زْب‬ ِ ِ
َ ‫ني * م َن ا َّلذ‬
ِ ِ ْ ‫﴿و ًَل َتكُونُوا ِمن ا ُْْل‬
َ ‫ْشك‬ َ َ
َ ‫بِ ََم َلدَ ُّْيِ ْم َف ِر ُح‬
.]11 ، 11 : ‫ون﴾ [الروم‬
14

“Dan janganlah kalian termasuk golongan Musyikin,


termasuk orang-orang yang memecah-belah agama mereka
dan mereka berkelompok-kelompok, setiap golongan
bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (QS. Ar Rum:
31-32).

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمممممممممه هللا‬berkata: “Maka para


pemeluk agama-agama sebelum kita; mereka itu berselisih
pendapat di antara mereka sendiri menjadi pandangan-
pandangan dan aliran-aliran yang batil. Setiap kelompok dari
mereka menyatakan bahwasanya mereka ada di atas ajaran
yang benar. Dan umat ini juga berselisih pendapat di antara
mereka sendiri menjadi aliran-aliran, semuanya sesat kecuali
satu aliran, dan mereka itulah Ahlussunnah Wal Jamaah;
orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah ‫ ﷺ‬serta ajaran yang dulu generasi pertama
ada di atasnya, dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan para
imam Muslimin pada masa lampau dan masa sekarang”.
(“Tafsurl Qur’anil ‘Azhim”/6/hal. 316-317).

Allah ta’ala berfirman:

َ ِ‫َات َو ُأو َلئ‬


‫ك‬ ُ ‫اء ُه ُم ا ْل َب ِّين‬ ِ ِ
َ ‫اخ َت َل ُفوا م ْن َب ْعد َما َج‬
ْ ‫ين َت َف َّر ُقوا َو‬ ِ
َ ‫﴿و ًَل َتكُونُوا كَا َّلذ‬
َ
ِ
.]101/‫يم﴾ [آل عمران‬ ٌ ‫اب َعظ‬ ٌ ‫ََُل ْم َع َذ‬

“Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang


bercerai berai dan berselisih setelah datang dalil-dalil
kebenaran, dan mereka itu orang-orang yang berhak
mendapatkan siksaan yang besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105).
15

Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabariy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Yang


diinginkan oleh Allah ‫ جممل اؤمم‬adalah: Dan janganlah kalian
wahai orang-orang yang beriman, menjadi seperti orang-
orang yang bercerai-berai dari kalangan Ahli Kitab, dan
berselisih di dalam agama Allah, perintah dan larangan-Nya,
setelah datangnya keterangan-keterangan kepada mereka,
berupa hujjah-hujjah Allah di dalam perkara yang mereka
perselisihkan, dan mereka mengetahui kebenaran di dalam
perkara tadi, lalu mereka sengaja menyelisihinya dan
menyelisihi perintah Allah, serta mereka membatalkan
perjanjian dan kesepakatan dengan Allah; sebagai bentuk
kelancangan mereka kepada Allah. Dan mereka itu, yaitu:
para Ahli Kitab yang bercerai-berai dan berselisih setelah
datangnya keterangan-keterangan tadi, akan mendapatkan
siksaan yang besar dari sisi Allah. Allah ‫ جمممل اؤممم‬berfirman:
maka janganlah kalian wahai kaum Mukminin, bercerai-berai
di dalam agama kalian semacam tercerai-berainya mereka di
dalam agama mereka, dan janganlah kalian berbuat seperti
perbuatan mereka, serta jangan pula kalian di dalam agama
kalian itu menempuh jalan mereka; karena jika demikian
kalian akan mendapatkan siksaan yang besar dari Allah
semisal siksaan yang dialami oleh mereka”. (“Jami’ul
Bayan”/7/hal. 92).

Allah ta’ala berfirman:

.]111/‫َش ٍء﴾ [اْلنعام‬ ِ ِ َ ‫ين َف َّر ُقوا ِدين َُه ْم َوكَانُوا ِش َي اعا َل ْس‬
ْ َ ‫ت من ُْه ْم ِف‬
ِ
َ ‫﴿إِ َّن ا َّلذ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama


mereka dan mereka berkelompok-kelompok, engkau itu
tidak termasuk dari mereka sedikitpun.” (QS. Al An’am: 159).
16

Al Imam As Sa’diy ‫ رحمممممممممه هللا‬berkata: “Allah ta’ala


mengancam orang-orang yang memecah-belah agama
mereka, yaitu: mencerai-beraikannya dan mereka berpecah-
belah di dalamnya, setiap orang mengambil untuk dirinya
sendiri satu bagian dari nama-nama yang tidak bermanfaat
untuk manusia di dalam agamanya sedikitpun, seperti:
Yahudi, Nasrani dan Majusi. Atau nama-nama yang tidak
menyebabkan imannya sempurna, dengan cara: dia
mengambil suatu bagian dari syariat ini dan dia
menjadikannya sebagai agamanya, dan dia meninggalkan
yang semisalnya atau yang bahkan lebih utama daripada yang
tadi, sebagaimana itu adalah keadaan para sekte dari
kalangan para pelaku bid’ah-bid’ah dan kesesatan dan orang
orang yang memecah-belah umat ini.

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya agama


memerintahkan untuk bersatu dan saling mendekat, dan
melarang dari perpecahan dan perselisihan di dalam dasar
agama dan seluruh masalah-masalahnya baik yang bersifat
prinsipil maupun percabangannya.

Dan Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk berlepas


diri dari orang-orang yang memecah-belah agama mereka,
seraya berfirman: “Engkau bukanlah dari mereka
sedikitpun”, yaitu: engkau bukanlah dari kalangan mereka,
dan bukanlah mereka itu dari golonganmu, karena mereka
menyelisihimu dan menentangmu. “Urusan mereka
hanyalah diserahkan kepada Allah” mereka akan
dikembalikan kepada Allah, lalu dia membalasi mereka sesuai
dengan amalan-amalan mereka “Lalu Allah akan mengabari
mereka tentang apa yang dulunya mereka kerjakan”.
17

(Selesai dari “Taisirul Karimir Rahman”/hal. 282).

Allah ta’ala berfirman:

‫ك َو َما َو َّص ْينَا بِ ِه‬


َ ‫ُوحا َوا َّل ِذي َأ ْو َح ْينَا إِ َل ْي‬ ِ ِ ِّ‫﴿َش َع َلك ُْم ِم َن الد‬
‫ين َما َو ََّّص بِه ن ا‬ ََ
.]11 :‫ين َو ًَل َتتَ َف َّر ُقوا فِ ِيه ﴾ [الشورى‬ ِ
ُ ‫يسى َأ ْن َأق‬
َ ِّ‫يموا الد‬
ِ
َ ‫وسى َوع‬
ِ
َ ‫إِ ْب َراه‬
َ ‫يم َو ُم‬

“Dia telah mensyari´atkan untuk kalian tentang sesuatu


yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu, juga apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya”.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maksud dari


pembahasan ini adalah bahwasanya perselisihan itu
meniadakan (bertentangan dengan) aajaran yang dengan
itulah Allah mengutus Rasul-Nya.” (“I’lamul
Muwaqqi’in”/1/hal. 259).

Abu Hurairah ‫هللا عمممؤممممه‬ ‫ رضممممممممم‬berkata: Rasulullah ‫ﷺ‬


bersabda:

‫ْش ُك ْوا بِ ِه‬ِ ْ ‫ َف َ ْري َض َل ُك ْم َأ ْن َت ْع ُبدُ ْو ُه َو ًَل ُت‬:‫«إِ َّن اهللَ َي ْر َض َل ُك ْم َو َي ْك َر ُه لَ ُك ْم َث َلث اا‬

‫ َو َك ْث َر َة‬،‫ َو َي ْك َر ُه َل ُك ْم قِ ْي َل َو َق َال‬،‫ َو َأ ْن َت ْع َت ِص ُم ْوا بِ َح ْب ِل اهللِ َجِ ْيع اا َو ًَل َت َف َّر ُق ْوا‬،‫َش ْيئ اا‬
.»‫ال‬ ِ ‫اع َة ْا َْل‬
َ ‫ َوإِ َض‬،‫ال‬ ِ ‫الس َؤ‬
‫ه‬

“Sesungguhnya Allah meridhai untuk kalian tiga perkara,


dan membenci untuk kalian tiga perkara. Dia ridha untuk
18

kalian: kalian itu beribadah pada-Nya dan tidak


menyekutukan dengan-Nya sesuatu apapun. Dan ridha
untuk kalian semuanya berpegang teguh dengan tali Allah
dan tidak bercerai-berai. Dan membenci untuk kalian
penyebaran berita yang tidak jelas, banyak bertanya (yang
kurang bermanfaat -pen), dan penyia-nyiaan harta.” (HR.
Muslim (4481)).

Al Imam Ibnu Abdil Barr ‫ رحمه هللا‬berkata tentang hadits


ini: “... karena perselisihan dan perpecahan adalah
kebinasaan, sementara persatuan adalah keselamatan”. (“At
Tamhid”/21/hal. 275).

Al Imam An Nawawiy ‫ رحمممممممممه هللا‬berkata: “Adapun


berpegang teguh dengan tali Allah adalah berpegang teguh
dengan perjanjian-Nya, yaitu: mengikuti kitab-Nya yang
mulia, batasan-batasan-Nya, dan beradab dengan adabnya –
sampai pada ucapan beliau:- maka ini adalah perintah untuk
setia pada Jama’ah kaum Muslimin dan satu sama lain saling
mendekat. Dan ini adalah salah satu dari kaidah-kaidah
Islam”. (“Al Minhaj”/12/hal. 11).

Dalam merapikan barisan shalat jamaah; beliau ‫ﷺ‬


bersabda:

َ ِ‫«اِ ْس َت ُو ْوا َو ًَل َ َْ َتلِ ُف ْوا َف َتخْ َتل‬


.»‫ف ُق ُل ْو ُب ُك ْم‬

“Luruskan barisan, dan jangan saling berselisih yang


menyebabkan hati-hati kalian berselisih”. (HR. Muslim (972)
dari Abu Mas’ud ‫) رض هللا عؤه‬.
19

Al Imam Ibnu Hubairah ‫ رحممممه هللا‬berkata: “... karena


sungguh perselisihan shaf itu menyebabkan perselisihan
hati”. (“Al Ifshah ‘An Ma’anish Shihah”/2/hal. 110).

Dan masih banyak dalil yang menunjukkan


diagungkannya persatuan dan larangan berpecah-belah.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Pertengkaran


dan perselisihan itu adalah perkara yang paling berat bagi
Rasulullah ‫ﷺ‬. Dulu beliau jika melihat ada perselisihan ringan
di kalangan Sahabat dalam memahami nash tampaklah
kebencian di wajah beliau sampai-sampai seakan-akan di
wajah beliau bermunculan biji-biji delima dan berkata:
“Untuk inikah kalian diperintahkan?” (“I’lamul
Muwaqqi’in”/1/hal. 354).

Para Salaf banyak menyebutkan perkara ini dalam


prinsi-prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di antara mereka
adalah Abu Ja’far Ath Thohawiy dalam “Al ‘Aqidah Ath
Thohawiyyah” (2/755/syarh Ibnu Abil ‘Izz), Abdurrahman Al
Mu’allimy dalam “Al Qaid Ila Tashihil ‘Aqaid” (hal. 241), Abu
‘Amr Ad Daniy dalam “Ar Risalatul Wafiyyah” (hal. 67), dan
Ibnu Abi Zamanain dalam “Ushulus Sunnah” (hal. 35), Al
Barbahariy dalam “Syarhus Sunnah” (hal. 65), serta Al Khollal
dalam “As Sunnah” (1/hal. 617) dan yang lainnya ‫رحمهم هللا‬.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمممممممممممه هللا‬berkata:


“Perpecahan dan perselisihan ini menyebabkan timbulnya
kesyirikan dan meniadakan tauhid yang mana dia itu adalah
pemurnian agama semuanya untuk Allah." (“Qa’idatun fil
Mahabbah” sebagaimana dalam “Jami’ur Rosail” (2/229)).
20

Al Imam Abu Sulaiman Al Khaththabiy Asy Syafi’iy


‫ رحمه هللا‬berkata: “Adapun perpecahan di dalam pendapat dan
agama, maka yang demikian itu terlarang berdasarkan akal,
dan harom berdasarkan pokok-pokok agama, karena yang
demikian itu akan menyeru kepada kesesatan, dan
menyebabkan penyia-nyiaan. Seandainya manusia dibiarkan
bercerai berai pastilah akan terjadi percerai-beraian
pendapat dan pemikiran, dan pastilah berbagai agama dan
aliran kepercayaan akan menjadi banyak, dan pengutusan
para Rosul tidak lagi berfaidah.” (“Al ‘Uzlah”/hal. 57).

Demikian pula disinggung oleh Al Imam As Sam’aniy


‫ رحمه هللا‬dalam “Al Intishar Li Ashabil Hadits” (hal. 42).

Pasal Dua: Mengobati Perbedaan Madzhab Dan


Pertentangan Pendapat
Memang perselisihan di dalam urusan agama itu
adalah sesuatu yang pasti selalu terjadi karena perbedaan
kadar ilmu dan pemahaman, serta niat dari setiap individu.
Akan tetapi hal itu wajib diusahakan untuk dihindari dan
ditanggulangi agar tidak menyebabkan umat terpecah-belah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata:


“Negeri-negeri timur; termasuk sebab di mana Allah
menguasakan orang Tartar kepada mereka adalah: karena
banyaknya perpecahan dan fitnah di dalam madzhab-
madzhab dan yang lainnya –sampai pada ucapan beliau:- dan
di wilayah barat: engkau mendapati orang yang menisbatkan
diri kepada Malik bersikap fanatik pada madzhabnya untuk
memusuhi yang ini atau yang itu. Dan itu semua termasuk
perpecahan dan perselisihan yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya. Dan orang-orang yang fanatik secara batil, orang-
21

orang yang mengikuti persangkaan dan apa yang diinginkan


oleh jiwa, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bukannya
mengikuti petunjuk dari Allah, mereka semua berhak
mendapatkan celaan dan hukuman.

Ini adalah bab yang luas yang mana fatwa ini tidak
cukup untuk menjabarkannya, karena berpegang teguh
dengan jama’ah dan saling mendekat merupakan bagian dari
dasar-dasar agama”.

(selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 254).

Dan bencana menjadi semakin bertambah


menyusahkan umat ini dengan adanya hizbiyyah-hizbiyyah
(pengelompokan), baik itu yang sifatnya jelas (partai-partai
politik) ataupun yang sifatnya terselubung (fanatisme dalam
grup-grup dakwah yang menyelisihi dalil), karena dia itu lebih
buruk dan lebih memecah-belah umat daripada fanatisme
madzhab.

Al Imam Muqbil Al Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Hizbiyyah


itu lebih buruk, lebih buruk dan lebih buruk daripada
kemadzhaban, karena madzhab itu adalah pengikut
Muhammad Bin Idris, salah seorang dari imam kaum
Muslimin. Walaupun mengekor itu tidak boleh. Atu termasuk
dari pengikut Ahmad Bin Hanbal, salah seorang dari imam
kaum Muslimin. Akan tetapi hizbiy boleh jadi adalah pengikut
dari orang yang rusak di negara Mesir, ... dan seterusnya”.
(“Gharatul Asyrithah”/Al Wadi’iy/2/hal. 106/cet. Maktabah
Shan’a Al Atsariyyah).
22

Wajibnya merujuk pada Allah dan Rasul-Nya ‫ﷺ‬


hendaknya setiap orang tahu bahwasanya Allah
mewajibkan hamba-Nya untuk setiap kali ada perselisihan;
dia mengembalikan masalah itu dan jawabannya kepada Al
Qur’an, As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah.

Setiap hamba wajib untuk taat pada Allah dan Rasul-


Nya secara mutlak. Dan Allah ta’ala berfirman:

‫ول ْاْلَ ْم ِر ِمنْك ُْم َفإِ ْن‬ ِ ‫ول َو ُأ‬ َ ‫الر ُس‬ ِ ِ
َّ ‫ين َآمنُوا َأطي ُعوا اهلل َو َأطي ُعوا‬
ِ
َ ‫﴿ َيا َأ ه َُّيا ا َّلذ‬
‫ُون بِاهلل َوا ْل َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر‬
َ ‫ول إِ ْن ُك ْنت ُْم ت ُْؤ ِمن‬
ِ ‫َتنَازَ ْعتُم ِِف ََش ٍء َفر هدو ُه إِ َل اهلل َوالرس‬
ُ َّ ُ ْ ْ
.]95 :‫ك َخ ْ ٌري َو َأ ْح َس ُن ت َْأ ِو ايل﴾ [النساء‬ َ ِ‫َذل‬

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan


taatilah Rasul dan para pemegang urusan di antara kalian.
Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara maka
kembalikanlah pada Allah dan Rasul jika kalian memang
beriman pada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih
baik dan lebih bagus kesudahannya”.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: "Maka Allah


ta'ala memerintahkan untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-
Nya, dan mengulang fi'il (taatilah) untuk memberi tahu
bahwasanya taat pada Rasul itu wajib secara tersendiri, tanpa
harus menyodorkan perintah beliau kepada Al Qur'an,
bahkan jika beliau memerintah, wajib untuk ditaati secara
mutlak, sama saja apakah perintah beliau itu ada dalam Al
Qur'an ataukah tidak ada, karena beliau itu telah diberi Al
Kitab dan yang semisal dengannya bersamanya.
23

Dan Allah tidak memerintahkan untuk taat pada ulil


amri (pemerintah dan ulama) secara tersendiri, bahkan Allah
menghapus fi'il (taatilah), dan menjadikan ketaatan pada
mereka itu masuk dalam kandungan ketaatan pada Rasul,
sebagai pengumuman bahwasanya mereka itu hanyalah
ditaati dalam rangka mengikuti ketaatan pada Rasul. Maka
barangsiapa dari mereka memerintahkan untuk taat pada
Rasul, wajiblah dia ditaati, dan barangsiapa memerintahkan
menyelisihi apa yang dibawa oleh Rasul, tak boleh didengar
ataupun ditaati.

–Sampai pada ucapan beliau:- kemudian Allah ta'ala


memerintahkan untuk mengembalikan perkara yang kaum
mukminin memperselisihkannya kepada Allah dan Rasulnya
jika mereka memang mukminin. Dan Allah mengabari mereka
bahwasanya yang demikian itu lebih baik untuk mereka di
dunia dan lebih bagus lagi kesudahannya di akhirat."

(Selesai dari "I'lamul Muwaqqi'in"/1/hal. 48).

Yang manakah sumber hukum yang harus ditaati?


Kemana kita merujuk saat ada perselisihan?

Tentu saja merujuk pada wahyu dari Penguasa alam


semesta, yaitu: Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana yang
disebutkan pada ayat di atas dan di dalam dalil-dalil yang lain,
yang mana Allah ta’ala berfirman:

‫ت َوإِ َل ْي ِه‬
ُ ‫َش ٍء َف ُحك ُْم ُه إِ َل اهلل َذلِك ُُم اهلل َر ِّّب َع َل ْي ِه ت ََو َّك ْل‬ ِ ِ ِ
ْ َ ‫اخ َت َل ْفت ُْم فيه م ْن‬
ْ ‫﴿ َو َما‬
ِ
.]10 :‫يب﴾ [الشورى‬ ُ ‫ُأن‬
24

“Tentang sesuatu apapun yang kalian perselisihkan, maka


keputusannya harus diserahkan kepada Allah. (Yang
mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku.
Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nya-lah aku
kembali”.

Allah ta’ala berfirman:

َ ‫اعت َِص ُموا بِ َح ْب ِل اهلل َجِي اعا َو ًَل َت َف َّر ُقوا َوا ْذك ُُروا نِ ْع َم‬
‫ت اهلل َع َل ْيك ُْم إِ ْذ ُكنْت ُْم‬ ْ ‫﴿ َو‬
‫ني ُق ُلوبِك ُْم َف َأ ْصبَ ْحت ُْم بِن ِ ْع َمتِ ِه إِ ْخ َواناا َو ُكنْت ُْم َع َل َش َفا ُح ْف َرةٍ ِم َن‬
َ ْ ‫َأ ْعدَ ااء َف َأ َّلفَ َب‬
َ ُ‫ني اهلل َلك ُْم آ َياتِ ِه لَ َع َّلك ُْم َ َْتتَد‬
:‫ون ﴾ [آل عمران‬ َ ِ‫َّار َف َأ ْن َق َذك ُْم ِمن َْها ك ََذل‬
ُ ِّ ‫ك ُي َب‬ ِ ‫الن‬

.]101

“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama)


Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah
akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa
Jahiliyah) saling bermusuhan, lalu Allah menyatukan hati-
hati kalian, sehingga dengan nikmat Allah menjadilah
kalian orang-orang yang bersaudara; dan kalian (dulu)
berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan
kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk”.

Maka Allah tidak menyuruh umat ini bersatu dengan


persatuan semu: setiap orang berpartai-partai dan
bergolongan-golongan serta berfanatik madzhab. Namun
semuanya diwajibkan untuk bersatu di atas syariat yang
sama, kembali kepada sumber hukum yang sama.
25

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Jika dasarnya


sama, tujuan yang dicari juga sama, jalan yang ditempuh juga
sama; hampir-hampir tidak akan menyebabkan perselisihan.
Sekalipun terjadi perselisihan; maka hal itu tidak
membahayakan sebagaimana perselisihan di kalangan
Sahabat yang pernah terjadi. Yang demikian itu dikarenakan
dasar yang mana mereka membangun agama ini adalah
sama, yaitu: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, tujuan mereka
juga sama, yaitu: menaati Allah dan Rasulnya, jalan mereka
juga sama yaitu: meneliti dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah
serta mendahulukannya di atas setiap ucapan, pendapat,
kiyas, perasaan dan politik”. (“Ash Shawa’iqul
Mursalah”/2/hal. 518-519/cet. Darul Ashimah).

Itulah konsekuensi pengakuan bahwasanya: dirinya


meridhai Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya,
dan Muhammad sebagai Rasulnya.

Dari Al Abbas bin Abdil Muththalib ‫هللا عؤه‬ ‫رض‬


bahwasanya beliau mendengar Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

.»‫ َوبِ ُم َح َّم ٍد َر ُس ْوًلا‬،‫ال ْس َل ِم ِد ْين اا‬


ِ ْ ِ‫ َوب‬،‫ض بِاهللِ َربا‬ ِ ِ ِ ْ ‫« َذ َاق َط ْع َم‬
َ ‫ َم ْن َر‬:‫ال ْي ََمن‬
.))43( ‫(أخرجه مسلم‬

“Orang yang meridhai Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai


agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya, dia akan
merasakan cita rasa keimanan.” (HR. Muslim (34)).

Dan dari Abu Sa’id Al Khudriy ‫رض هللا عؤه‬:


26

‫ال ْس َل ِم ِد ْيناا‬ِ ْ ِ‫ض بِاهللِ َربا َوب‬ ِ ٍ ِ َ


َ ‫ َم ْن َر‬،‫ « َيا أ َبا َسع ْيد‬:‫رسول اهللِ ﷺ َق َال‬ َ ‫َأ َّن‬
‫ َأ ِعدْ َها َع َ َّل َيا‬:‫ب َهل َا َأ ُب ْو َس ِع ْي ٍد َف َق َال‬ َ ‫ َف َع ِج‬،»‫ت َل ُه ْا َلنَّ ُة‬ْ ‫ َو َج َب‬:‫َوبِ ُم َح َّم ٍد َنبِيا‬
ِ ٍ ِ
َ ْ ‫ « َو ُأ ْخ َرى ُي ْر َف ُع ِ َبا ا ْل َع ْبدُ ما َئ َة َد َر َجة ِِف ْا َلنَّة َما َب‬:‫ ُث َّم َق َال‬،‫ َف َف َع َل‬.ِ‫سول اهلل‬
‫ني‬ َ ‫َر‬
:‫رسول اهللِ؟ َق َال‬
َ ِ ‫الس ََم ِء َو ْاْلَ ْر‬
‫ َو َما ِه َي َيا‬:‫ َق َال‬.»‫ض‬ َّ ‫ني‬ ِ ْ ‫ُك ِّل َد َر َج َت‬
َ ْ ‫ني َك ََم َب‬
.))4883( ‫ (أخرجه مسلم‬.»ِ‫ ْا ِل َها ُد ِِف َسبِ ْي ِل اهلل‬،ِ‫« ْا ِل َها ُد ِِف َسبِ ْي ِل اهلل‬

“Bahwasanya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Wahai Abu Sa’id,


orang yang meridhai Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai
agamanya, dan Muhammad sebagai Nabinya, wajiblah
untuknya masuk Surga.” Maka Abu Sa’id merasa kagum
dengan itu seraya berkata: “Ulangilah kalimat tadi untuk saya
wahai Rasulullah.” Maka beliau melakukannya. Kemudian
beliau bersabda: “Dan ada amalan lain yang dengan itu sang
hamba akan diangkat derajatnya mencapai seratus derajat
di Surga, yang mana jarak antara dua derajat adalah
bagaikan jarak antara langit dan bumi.” Dia bertanya:
“Apakah amalan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
“Jihad di jalan Allah, jihad di jalan Allah.” (HR. Muslim
(1884)).

Dari Sa’d bin Abi Waqqash ‫هللا عؤه‬ ‫ رض‬bahwasanya


Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

‫ َو َأ َّن‬،‫ك َل ُه‬ ِ َ ‫ َأ ْش َهدُ َأ ْن ًَل إِ َل َه إِ ًَّل اهللُ َو ْحدَ ُه ًَل‬:‫ني َي ْس َم ُع ْا ُْل َؤ ِّذ َن‬ ِ
َ ‫َش ْي‬ َ ْ ‫« َم ْن َق َال ح‬
‫ غُ ِف َر‬:‫ال ْس َل ِم ِد ْين اا‬ ٍ ‫ت بِاهللِ ربا وبِم‬
ِ ْ ِ‫حمد َر ُس ْوًلا َوب‬ ُ َ َ ُ ‫ َر ِض ْي‬،‫ُممد اا َع ْبدُ ُه َو َر ُس ْو ُل ُه‬
.))483( ‫ (أخرجه مسلم‬.»‫َل ُه َذ ْن ُب ُه‬
27

“Barangsiapa berkata ketika mendengar adzan si


muadzdzin: “Asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarika
lah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh,
radhitu billahi rabban, wabi Muhammadin rasulan, wabil
Islami dinan,” Akan diampunilah untuknya dosanya.” (HR.
Muslim (386)).

Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbaliy ‫ رحمه هللا‬berkata:


“Ridha dengan rububiyyah Allah itu mengandung keridhaan
untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa sekutu bagi-Nya,
dan meridhai pengaturan-Nya pada hamba-Nya dan pilihan-
Nya untuknya. Meridhai Islam sebagai agamanya itu
menuntut dirinya memilih Islam di antara seluruh agama yang
ada. Meridhai Muhammad sebagai Rasulnya itu menuntut
keridhaan pada seluruh syariat yang beliau datangkan dari sisi
Allah, dan menerima itu dengan ketundukan dan kelapangan
hati, sebagaimana firman Allah ta’ala:

‫وك فِ َيَم َش َج َر َب ْين َُه ْم ُث َّم ًَل ََيِدُ وا ِِف َأ ْن ُف ِس ِه ْم‬


َ ‫حيك ُِّم‬ َ ‫ك ًَل ُي ْؤ ِمن‬
َ ُ ‫ُون َحتَّى‬ َ ‫﴿ َف َل َو َر ِّب‬
.]41 :‫ت َو ُي َس ِّل ُموا ت َْسلِ ايَم﴾ [النساء‬ َ ‫َح َر اجا ِِمَّا َق َض ْي‬

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak


beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.”

(Selesai dari “Jami’ul Ulum Wal Hikam”/hadits kedua).


28

Maka hendaknya sang hamba mengoreksi diri sendiri


dan melihat pada kejujurannya di dalam ucapannya setiap
hari:

)‫(رضيت باهلل رب اا‬

“Aku rela Allah sebagai Rabbku.”

Karena barangsiapa meridhai takdir Allah secara


hakiki, dia akan merasakan cita rasa keimanan. Dan
barangsiapa mendapatkan taufiq dari Allah untuk Allah dan
Rasul-Nya itu lebi dia cintai daripada keduanya, dan
menyempurnakan syarat yang lain, dia akan merasakan
manisnya keimanan, dan itu lebih tinggi daripada cita rasa
iman.

Dari Anas ‫ رض هللا عؤه‬bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

‫ب إِ َل ْي ِه ِِم َّا‬
َّ ‫ان اهللُ َو َرسو ُل ُه َأ َح‬ َ ‫ َم ْن َك‬:‫ال ْي َ َِمن‬ ِ ْ ‫ث َم ْن ُك َّن فِ ْي ِه َو َجدَ َح َل َو َة‬ ٌ ‫« َث َل‬
‫ َو َم ْن َي ْك َر ُه َأ ْن َي ُع ْو َد ِِف الْ ُك ْف ِر َب ْعدَ إِ ْذ‬،ِ‫ب َع ْبد اا ًَل ُحيِ هب ُه إِ ًَّل هلل‬
َّ ‫ َو َم ْن َأ َح‬،‫اها‬
َ ُ ‫س َو‬
ِ

‫) ومسلم‬14( ‫ (أخرجه البخاري‬.»‫ار‬ ِ ‫َأ ْن َق َذ ُه اهللُ َكَم َي ْك َر ُه َأ ْن ُي ْل َقى ِِف ال َّن‬


َ
.))34(

“Ada tiga perkara yang barangsiapa di dalam dirinya ada


ketiga perkara tersebut, dia akan merasakan manisnya
iman. Orang yang Allah dan Rosul-Nya lebih dicintainya
daripada yang lainnya. Orang yang mencintai seorang
hamba, tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah. Dan
29

orang yang benci untuk kembali pada kekufuran setelah


Allah menyelamatkannya sebagaimana dia benci untuk
dilemparkan ke dalam Neraka.” (HR. Al Bukhary (21) dan
Muslim (43)).

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan manakala


kecintaan yang sempurna adalah kecondongan hati secara
total pada pihak yang dicintainya: jika kecondongan tadi
membawanya kepada ketaatan dan pengagungan pada pihak
yang dicintai, dan setiap kali kecondongan tadi semakin kuat,
semakin sempurna pulalah ketaatan, dan semakin banyaklah
pengagungannya.

Dan kecondongan tadi menyertai keimanan, dan dia


itu adalah ruh dan inti keimanan. Maka perkara apakah yang
lebih tinggi daripada suatu perkara yang berisi kecintaan
tertinggi, pengagungan paling utama, dan ketaatan paling
besar untuk Allah ‫?سبح ؤه‬

Dan dengan itulah sang hamba mendapat manisnya


iman sebagaimana dalam “Shahih” bahwasanya beliau
bersabda:

‫ب إِ َل ْي ِه ِِم َّا‬
َّ ‫ان اهللُ َو َرسو ُل ُه َأ َح‬ ِ ْ ‫ث َم ْن ُك َّن فِ ْي ِه َو َجدَ َح َل َو َة‬
َ ‫ َم ْن َك‬:‫ال ْي َ َِمن‬ ٌ ‫« َث َل‬
‫ َو َم ْن َي ْك َر ُه َأ ْن َي ُع ْو َد ِِف الْ ُك ْف ِر َب ْعدَ إِ ْذ‬،ِ‫ب َع ْبد اا ًَل ُحيِ هب ُه إِ ًَّل هلل‬
َّ ‫ َو َم ْن َأ َح‬،‫اها‬
َ ُ ‫س َو‬
ِ

ِ َّ‫َأ ْن َق َذ ُه اهللُ َكَم َي ْك َر ُه َأ ْن ُي ْل َقى ِِف الن‬


.»‫ار‬ َ

“Ada tiga perkara yang barangsiapa di dalam dirinya ada


ketiga perkara tersebut, dia akan merasakan manisnya
iman. Orang yang Allah dan Rosul-Nya lebih dicintainya
30

daripada yang lainnya. Orang yang mencintai seorang


hamba, tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah. Dan
orang yang benci untuk kembali pada kekufuran setelah
Allah menyelamatkannya sebagaimana dia benci untuk
dilemparkan ke dalam Neraka.”

Maka Nabi menggantungkan cita rasa keimanan pada


perasaan meridhai Allah sebagai Rabb. Dan beliau
menggantungkan adanya kemanisan iman pada
terwujudnya tiga syarat tadi. Dan tidak sempurnalah
kemanisan iman tadi kecuali dengan tiga syarat tadi, yaitu:
Allah ‫ سبح ؤه‬dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada yang lain.
Manakala kecintaan yang sempurna dan keikhlasan -yang
menjadi buahnya- itu lebih tinggi daripada sekedar meridhai
pada rububiyyah Allah ‫سبح ؤه‬, buahnya juga lebih tinggi, yaitu:
didapatkannya manisnya iman, sementara buah dari
keridhaan tadi adalah: cita rasa iman. Yang ini mendapatkan
manisnya iman, yaitu mendapatkan cita rasa iman. Dan hanya
Allah sajalah yang dimintai pertolongan.

Buah yang ini dan yang itu hanyalah diperoleh dengan


keridhaan pada Allah sebagai Rabb, berlepas diri dari
peribadatan pada yang lain, kecondongan hati secara total
pada Allah, terpusatnya seluruh kekuatan si pecinta pada-
Nya.

Keridhaan si hamba pada apa saja yang datang dari


Rabbnya adalah mengikuti keridhaannya pada-Nya.
Barangsiapa meridhai Allah sebagai Rabbnya; Allah akan
meridhainya.
31

Dan barangsiapa meridhai apa saja yang datang dari


Allah, berupa pemberian-Nya, penghalangan-Nya, ujian-Nya
dan penjagaan-Nya; dirinya tidak akan mendapatkan dengan
itu derajat keridhaan kepada Allah sebagai Rabbnya; jika dia
tidak meridhai Allah sebagai Rabbnya, Nabi Muhammad
sebagai Rasul-Nya, dan Islam sebagai agama-Nya. Yang
demikian itu dikarenakan si hamba terkadang meridhai Allah
sebagai Rabbnya dalam masalah pemberian dan
penghalangannya, tapi dirinya tidak meridhai Allah sebagai
satu-satunya yang berhak disembah dan diibadahi.

Oleh karena itulah Rasulullah itu hanyalah menjamin


sang hamba akan mendapatkan keridhaan dari Allah pada
hari Kiamat jika dirinya meridhai Allah sebagai Rabbnya
sebagaimana sabda Nabi ‫ ﷺ‬:

َ ‫ال ْس َل ِم ِد ْين اا َوبِ ُم َح َّم ٍد َنبِيا إِ ًَّل َك‬


‫ان َحقا‬ ِ ْ ِ‫ت بِاهللِ َربا َوب‬ ُ ‫ َر َض ْي‬: ‫« َم ْن َق َال ُك َّل َي ْو ٍم‬
.»‫َع َل اهللِ َأ ْن ُي ْر ِض َي ُه َي ْو َم ا ْل ِق َي َام ِة‬

“Barangsiapa berkata setiap hari: “Radhitu billahi rabban,


wabil Islami dinan, wabi Muhammadin Nabiyyan,” wajib
bagi Allah untuk menjadikannya ridha pada Hari Kiamat.” (1)

(1)
Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (18967) dari Abu Sallam dari
seorang pembantu Rasulullah ‫ ﷺ‬.
Di dalam sanadnya ada Sabiq bin Najiyah, dan dia itu
majhul hal, sebagaimana diketahui dari biografinya dalam
“Tahdzibut Tahdzib” no. (797).
Dia punya pendukung dalam pensyariatan dzikir tadi
sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (11102) dari Abu
32

(Selesai dari “Madarijus Salikin”/2/hal. 186-187).

Pentingnya pemahaman Salaful Ummah


Dan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah itu
adalah dengan pemahaman Salaful Ummah (Sahabat, Tabi’in
dan Atba’ut Tabi’in).

Sesungguhnya dalil-dalil tentang keutamaan para


sahabat Rasulullah ‫ ﷺ‬itu banyak sekali, di antaranya adalah:

‫اء َب ْين َُه ْم ت ََر ُاه ْم ُر َّك اعا‬ ُ ‫َح‬ ِ ‫ين َم َع ُه َأ ِشدَّ ُاء َع َل الْ ُك َّف‬
َ َ ‫ار ُر‬
ِ
َ ‫ول اهلل َوا َّلذ‬ ُ ‫﴿م َّمدٌ َر ُس‬ َُ
ِ‫وه ِهم ِمن َأ َث ِر السجود‬ ِ ‫ُون َف ْض ال ِمن اهلل و ِر ْضواناا ِسيَمهم ِِف وج‬ َ ‫ُس َّجدا ا َي ْب َتغ‬
ُ ‫ه‬ ْ ْ ُ ُ ْ ُ َ َ َ َ
ْ ‫يل كَزَ ْر ٍع َأ ْخ َر َج َش ْط َأ ُه َف َآزَ َر ُه َف‬
‫اس َت ْغ َل َظ‬ ِ ‫الن‬
ِ ‫ْج‬ ِ ْ ‫ك َمثَ ُل ُه ْم ِِف الت َّْو َر ِاة َو َمثَ ُل ُه ْم ِِف‬
َ ِ‫َذل‬
‫ين َآ َمنُوا‬ ِ َ ‫اع لِ َي ِغ‬ ِ ‫است ََوى َع َل ُسوقِ ِه ُي ْع‬
َ ‫يظ ِبِ ُم الْ ُك َّفا َر َو َعدَ اهلل ا َّلذ‬ َ ‫ب الزه َّر‬
ُ ‫ج‬ ْ ‫َف‬
.]15/‫ات ِمن ُْه ْم َمغ ِْف َر اة َو َأ ْج ارا َعظِ ايَم﴾ [الفتح‬ ِ ‫اِل‬
َِ ‫وع ِم ُلوا الص‬
َّ َ َ

"Muhammad adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang


bersama beliau itu keras kepada orang-orang kafir dan
menyayangi di antara mereka. Engkau melihat mereka itu
ruku' dan sujud dalam rangka mencari karunia dari Allah
dan keridhoan-Nya. Alamat mereka di wajah-wajah mereka
adalah berupa bekas sujud. Yang demikian itu adalah
permisalan mereka di dalam Tauroh. Dan permisalan

Sa’id ‫رض هللا عؤه‬. Tapi di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah, dan dia
itu buruk hapalannya.
Dan hadits-hadits dalam bab ini menguatkan pensyariatan
dzikir itu.
33

mereka di dalam Injil adalah bagaikan tanaman yang


mengeluarkan tunasnya lalu memperkerasnya, lalu tunas
itu tumbuh meninggi, lalu tegak lurus di atas pokoknya,
tanam itu membikin kagum para petani, agar dengan para
shahabat itu Allah membikin marah orang-orang kafir. Allah
menjanjikan pada orang-orang yang beriman dan beramal
shalih di antara mereka dengan ampunan dan pahala yang
agung".

Allah ta'ala berfirman:

ِ ‫الش َج َر ِة َف َعلِ َم َما ِِف ُق ُل‬


‫وبِ ْم‬ َّ ‫ت‬ َ ‫ني إِ ْذ ُي َبايِ ُعون‬
َ ‫َك َ َْت‬ ِِ
َ ‫ض اهلل َع ِن ا ُْْل ْؤمن‬
ِ
َ ‫﴿ َل َقدْ َر‬
ِ
.]11/‫اب ْم َفت اْحا َق ِري ابا﴾ [الفتح‬ ُ َ ‫السكينَ َة َع َليْ ِه ْم َو َأ َث‬ َّ ‫َف َأ ْنزَ َل‬

"Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin


ketika mereka membai'atmu di bawah pohon tersebut,
maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka,
maka Allah menurunkan ketenangan pada mereka, dan
memberi mereka pahala dengan kemenangan yang dekat."

Allah ta'ala berfirman:

‫ُون َف ْض ْ ال ِم َن‬ ِ ‫ار ِهم و َأمو‬


َ ‫اَل ْم َي ْب َتغ‬ ِ ِ
َ ْ َ ْ ِ ‫ين ُأ ْخ ِر ُجوا م ْن د َي‬
ِ
َ ‫ين ا َّلذ‬ ِ ‫﴿لِ ْل ُف َق َرا ِء ا ُْْل َه‬
َ ‫اج ِر‬
ِ ِ ‫ك هم الص‬ ِ ِ
َ ‫ون * َوا َّلذ‬
‫ين َت َب َّو ُءوا‬ َ ‫اد ُق‬ َّ ُ ُ َ ‫ون اهلل َو َر ُسو َل ُه ُأو َلئ‬ َ ‫ْر‬ ُ ُ ‫اهلل َور ْضْ َواناا َو َين‬
‫ور ِه ْم‬
ِ ُ‫ون ِِف ُصْْد‬ َ ُ‫اج َر إِ َل ْي ِه ْم َو ًَل ََيِد‬ َ ‫ال َيَم َن ِم ْن َق ْبلِ ِه ْم ُحيِ هب‬
َ ْ‫ون َم ْن َه‬ ِ ْ ‫الْدَّ َار َو‬
34

َ ‫اص ٌة َو َم ْن ُي‬
‫وق ُش َّح‬ َ ‫ون َع َل َأ ْن ُف ِس ِه ْم َو َل ْو ك‬
َ ‫َان ِ ِب ْم َخ َص‬ َ ‫اج اة ِِمَّا ُأوتُوا َو ُي ْؤثِ ُر‬ َ ‫َح‬
.]5 ،8/‫ون﴾ [احلرش‬ َ ‫ك ُه ُم ا ُْْل ْفلِ ُح‬
َ ِ‫َن ْف ِس ِه َف ُأو َلئ‬

"Untuk para faqir miskin dari kalangan muhajirin yang


diusir dari rumah-rumah mereka dan harta-harta mereka
dalam rangka mencari karunia dari Allah dan keridhoan-
Nya dan menolong Allah dan Rosul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang jujur. Dan orang-orang yang menempati
negri itu (Madinah) dan beriman sebelum kedatangan
mereka, mereka mencintai orang yang berhijroh kepada
mereka dan tidak mendapati di dalam dada-dada mereka
kebutuhan dari apa yang Allah berikan pada muhajirin, dan
mereka lebih mendahulukan para muhajirin daripada diri
mereka sendiri sekalipun mereka itu punya kebutuhan. Dan
barangsiapa dipelihara dari sifat kikir maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung."

Allah ta'ala berfirman:

ٍ ‫﴿فْإِ ْن َآ َمنُوا بِ ِم ْثْ ِل َمْا َآ َمنْت ُْم ِبْ ِه َف َقْ ِد ْاه َتْدَ ْوا َوإِ ْن ت ََو َّل ْوا َفإِنََّم ُه ْم ِِف ِشْْ َق‬
‫اق‬ َ
َ
ِ ِ ‫َفسيك ِْفيكَهم اهلل وهو‬
.]441/‫يم﴾ [البقرة‬ ُ ‫يع ا ْل َعل‬ ُ ‫السم‬ َّ َ ُ َ ُ ُ َ َ

"Maka jika mereka mau beriman sebagaimana imannya


kalian (para sahabat) pastilah mereka mendapat petunjuk.
Tapi jika mereka berpaling maka sesungguhnya mereka itu
hanyalah di dalam perpecahan". (QS. Al Baqoroh: 137).

Dan Allah ta'ala berfirman:


35

ٍ ‫وه ْم بِإِ ْح َس‬ ِ ِ ‫ين َو ْاْلَن َْص‬ ِ ‫ون ِم َن ا ُْْل َه‬ َ ‫ون ْاْلَ َّو ُل‬
‫ان‬ ُ ‫ين ا َّت َب ُع‬َ ‫ار َوا َّلذ‬ َ ‫اج ِر‬ َ ‫السابِ ُق‬
َّ ‫﴿و‬َ
‫ين فِ َيها‬ ِِ ٍ
َ ‫ض اهلل َعن ُْه ْم َو َر ُضوا َعنْ ُه َو َأ َعدَّ ََُل ْم َجنَّات َ َْت ِري َ َْتت ََها ا ْْلَ ْْن َ ُار َخالد‬ َ ‫َر‬
ِ
ِ َ ِ‫َأ َبدا ا َذل‬
.]411/‫يم ﴾ [التوبة‬ ُ ‫ك ا ْل َف ْوزُ الْ َعظ‬

"Dan orang yang terdahulu dan pertama masuk Islam dari


kalangan muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka
dengan kebaikan Allah telah meridhoi mereka, dan mereka
telah ridho pada Allah, dan Allah telah menyediakan untuk
mereka Jannah-jannah yang di bawahnya mengalir sungai-
sungai, mereka kekal di dalamnya selamanya, demikian itu
adalah kemenangan yang agung."

Allah ta'ala berfirman:

‫ني ن َُو ِّل ِه‬ِ ِ ِ ِ‫ول ِمن بع ِد ما َتبني َله ُْاَلدَ ى وي َّتبِع غَري سب‬
َ ‫يل ا ُْْل ْؤمن‬ َ َْ ْ ََ ُ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ ‫الر ُس‬
ِ
َّ ‫﴿و َم ْن ُي َشاق ِق‬
َ
.]449/‫اء ْت َم ِص اريا﴾ [النساء‬ ِِ
َ ‫َما ت ََو َّل َون ُْصله َج َهن ََّم َو َس‬

"Dan barangsiapa menentang Rosul setelah jelas baginya


petunjuk dan mengikuti selain jalan kaum mukminin Kami
akan memalingkannya kemanapun dia berpaling, dan Kami
akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan itu adalah
sejelek-jelek tempat kembali."

Al ‘Irbadh bin Sariyah ‫ رض هللا عؤه‬berkata:


36

‫ َذ َر َف ْت‬،‫ ُث َّم َأ ْق َب َل َع َل ْينَا َف َو َع َظنَا َم ْو ِع َظة َبلِ ْي َغة‬،‫ات َي ْو ٍم‬


َ ‫رسول اهللِ ﷺ َذ‬ ُ ‫َص ََّّل بِنَا‬
‫ َك َأ َّن َه ِذ ِه‬،ِ‫رسول اهلل‬ َ ‫ َيا‬:‫ فقال َق ِائ ٌل‬،‫ِمنْ َها ا ْل ُعيُ ْو ُن َو َو ِج َل ْت ِمنْ َها ا ْل ُق ُل ْو ُب‬
‫اع ِة‬َ ‫الس ْم ِع َوال َّط‬
ِ ِ
َّ ‫ « ُأ ْوص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى اهللِ َو‬:‫ َف َام َذا َت ْع َهدُ إِ َل ْينَا؟ فقال‬،‫َم ْوع َظ ُة ُم َود ٍع‬
‫اختِ َلف اا َكثِ ْري اا َف َع َل ْي ُك ْم‬
ْ ‫ َفإِ َّن ُه َم ْن َي ِع ْش ِمنْ ُك ْم َب ْع ِدي َف َس َ َريى‬،‫َوإِ ْن َع ْبد اا َح َب ِش ّي اا‬
،‫اج ِذ‬ ِ ‫ َتَ َ َّس ُك ْوا ِ َبا َو َع هض ْوا َع َل ْي َها بِالنَّ َو‬،‫اش ِد ْي َن‬ ِ ‫اء ا َْله ِديني الر‬
ِ ِ ِ
َ َ ْ ِّ ْ ‫بِ ُسنَّتي َو ُسنَّة ْا ُل َل َف‬
.»‫مدَ َث ٍة بِدْ َع ٌة َو ُك َّل بِدْ َع ٍة َض َل َل ٌة‬ ِ ‫مدَ َث‬
ْ ُ ‫ َفإِ َّن ُك َّل‬،‫ات ْاْلُ ُم ْو ِر‬ ْ ُ ‫َوإِ َّيا ُك ْم َو‬

Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah mengimami kami shalat pada suatu hari,


kemudian beliau menghadapkan wajah pada kami, lalu
menasihati kami dengan nasihat yang tajam, yang dengannya
air mata berlinang, dan hati merasa takut. Maka seseorang
berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat
orang yang hendak berpisah, maka apakah perjanjian yang
Anda ambil dari kami?” maka beliau bersabda: “Kuwasiatkan
kalian untuk bertaqwa pada Allah, dan mendengar dan taat
kepada pemerintah, sekalipun dia itu adalah budak
Habasyah, karena orang yang hidup di antara kalian
sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak.
Maka wajib bagi kalian untuk memegang sunnahku dan
sunnah Al Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk.
Pegang teguhlah dia dan gigitlah dia dengan geraham
kalian. Dan hindarilah setiap perkara yang muhdats karena
yang muhdats itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan.”
(HR. Abu Dawud (4594) dan lainnya dihasankah oleh Al
Wadi’iy ‫ رحمه هللا‬dalam “Ash Shahihul Musnad” (921)).
37

Dan dari Abu Qotadah ‫هللا عؤه‬ ‫ رض‬yang berkata:


Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

.))384( ‫ (أخرجه مسلم‬.» ‫« َفإِ ْن ُيطِ ْي ُعوا َأ َبا َب ْك ٍر َو ُع َم َر ُي ْر َشدُ وا‬

"Maka jika mereka menaati Abu Bakr dan Umar mereka


akan terbimbing." (HR. Muslim (681)).

Dari Abu Musa ‫ رض هللا عؤه‬yang berkata:

‫ « َما‬:‫ َف َخ َر َج َع َل ْينَا َف َق َال‬.‫ َق َال – َف َج َل ْسنَا‬- ‫َل ْو َج َل ْسنَا َح َّتى ُن َص َل َم َع ُه ا ْل ِع َشا َء‬
‫ َن ْج ِل ُس َح َّتى‬:‫ َص َّل ْينَا َم َع َك ْا َمل ْغ ِر َب ُث َّم ُق ْل َنا‬،ِ‫رسول اهلل‬ َ ‫ َيا‬:‫ ُق ْلنَا‬.»‫ِز ْل ُت ْم َها ُهنَا‬
‫الس َام ِء‬ ِ
َّ ‫ َف َر َف َع َر ْأ َس ُه إِ َل‬:‫ َق َال‬.»‫ « َأ ْح َسنْ ُت ْم َأ ْو َأ َص ْب ُت ْم‬:‫ َق َال‬.‫ُن َص َل َم َع َك ا ْلع َشا َء‬
ِ ‫ «النهجوم َأمنَ ٌة لِلسَم ِء َفإِ َذا َذهب‬:‫ َف َق َال‬،‫ان َكثِْيا ِما ير َفع ر ْأسه إِ َل السام ِء‬
‫ت‬ ََ َ َّ َ ُ ْ ُ َ َّ ُ َ َ ُ ْ َ َّ ْ َ ‫َو َك‬
‫ت َأ َتى َأ ْص َح ِاّب َما‬ ُ ‫ َو َأ َنا َأ َمنَ ٌة ِْلَ ْص َح ِاّب َفإِ َذا َذ َه ْب‬، ُ‫السْ ََم َء َما ُت ْو َعد‬
َّ ‫النه ُج ْو ُم َأ َتى‬
.»‫ب َأ ْص َح ِاّب َأ َتى ُأ َّمتِي َما ُي ْو َعدُ ْو َن‬ ِ ِ
َ ‫ َو َأ ْصْ َح ِاّب َأ َمنَ ٌة ْلُ َّمتي َفإِ َذا َذ َه‬،‫ُي ْو َعدُ ْو َن‬
.))1944( ‫(أخرجه مسلم‬

"Kami pernah shalat Maghrib bersama Rasulullah ‫ ﷺ‬lalu kami


berkata: "Seandainya kita duduk sampai kita shalat Isya
bersama beliau." Maka kamipun duduk. Lalu beliau keluar
menemui kami seraya bertanya: "Kalian masih di sini?" maka
kami menjawab: "Wahai Rasulullah, kami telah shalat
Maghrib bersama Anda, lalu kami berkata: "Sebaiknya kita
duduk sampai kita shalat Isya bersama Anda." Maka beliau
38

menjawab: "Kalian bagus" –atau: "Kalian benar." Lalu beliau


mengangkat kepalanya ke langit, dan beliau memang sering
mengangkat kepala beliau ke langit. Lalu beliau bersabda:
"Bintang-bintang adalah pengaman bagi langit, maka jika
bintang-bintang itu telah pergi, akan datang pada langit
perkara yang telah dijanjikan padanya. Dan aku adalah
pengaman bagi para sahabatku, maka jika aku telah pergi,
akan datang pada shahabatku perkara yang telah
dijanjikan pada mereka. Dan para sahabatku adalah
pengaman bagi umatku, maka jika para sahabatku telah
pergi, akan datang pada umatku perkara yang telah
dijanjikan pada pada mereka." (HR. Muslim (2531)).

Dari Abdullah bin Mas'ud ‫ رض هللا عؤه‬bahwasanya Nabi


‫ ﷺ‬bersabda:

.‫س َق ْر ِن ُث َّم ا َّل ِذ ْي َن َي ُل ْو َْنُ ْم ُث َّم ا َّل ِذ ْي َن َي ُل ْو َْنُ ْم» اِلديث‬


ِ ‫« َخ ْ ُري النَّا‬

"Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian


generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi
yang datang setelah mereka." (HR. Al Bukhariy (2652) dan
Muslim (2533)).

Al Imam Ibnu Rajab ‫ رحمه هللا‬berkata: “Jangan engkau


berbicara tentang Kitabullah atau tentang hadits Rasulullah
dengan apa yang tidak diucapkan oleh Salaf.” (“Majmu’ Rasail
Ibnu Rajab”/ dengan pemilihan Abu Abdillah Al Atsyubiy).

Dalam hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan ‫رض هللا عؤهم‬


yang berkata: Sesungguhnya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
39

‫ َوإِ َّن َه ِذ ِه ْاْلُ َّم َة‬،‫ني ِم َّل اة‬ ِ ِ ْ ‫ني ا ْف َت ُق ْوا ِِف دِ ْين ِ ِه ْم َع َل ثِنْ َت‬
َ ْ ‫ني َو َس ْبع‬ َ
ِ ْ ‫«إِ َّن َأ ْه َل ا ْلكِ َتا َب‬
ِ ‫ار إِ ًَّل و‬ ِ َّ‫ ُك هل َها ِِف الن‬،-‫ َي ْعن ِي ْاْلَ ْه َو َاء‬- ‫ني ِم َّل اة‬ ِ ٍ
‫احدَ اة‬ َ َ ْ ‫َس َت ْف َ ِت ُق َع َل َث َلث َو َسبْع‬
‫ك ْاْلَ ْه َو ُاء َك ََم‬ َ ‫ َو َأ َّن ُه َس َيخْ ُر ُج ِِف ُأ َّمتِي َأ ْق َوا ٌم َ ََت َارى ِبِ ٌم تِ ْل‬.‫َو ِه َي ْا َل ََم َع ُة‬
.»‫احبِ ِه ًَل َيبْ َقى ِمنْ ُه ِع ْر ٌق َو ًَل ِم ْف َص ٌل إِ ًَّل َدخَ َل ُه‬ ِ ‫ي َتجارى ا ْل َك َلب بِص‬
َ ُ َ َ َ

“Sesungguhnya Ahlul Kitabain –Taurat dan Injil- telah


tercerai-berai dalam agama mereka menjadi tujuh puluh
dua agama. Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga agama –yaitu hawa nafsu-.
Semuanya di dalam neraka kecuali satu, yaitu Al Jama’ah.
Dan bahwasanya akan keluarlah di dalam umatku kaum-
kaum yang dijalari oleh hawa-hawa nafsu tadi,
sebagaimana penyakit anjing gila menjalari korbannya.
Tidaklah tersisa darinya satu uratpun dan satu
persendianpun kecuali dia akan memasukinya.” (HR. Ahmad
((16937)/Ar Risalah) hadits hasan).
Dari Al Harits Al Asy’ariy ‫ رض هللا عؤه‬:

،‫اع ِة‬ َّ :‫س اهللُ َأ َم َر ِن ِبِ َّن‬


َ ‫ َوال َّط‬،‫الس ْم ِع‬ ٍ ‫ « َو َأ َنا ُآم ُر ُك ْم بِخَ ْم‬:‫َق َال النَّبِي ﷺ‬

.»‫ال ََم َع ِة‬


َ ‫ َو‬،‫اَل ْج َر ِة‬
ِ ْ ‫ و‬،‫اد‬
ِ ِْ ‫و‬
َ ‫ال َه‬ َ

Nabi ‫ ﷺ‬bersabda: “Dan aku memerintahkan kalian dengan


lima perkara yang mana Allah memerintahkan aku untuk
mengerjakan itu: mendengar dan taat, berjihad, hijrah dan
setia pada Jama’ah”. (HR. At Tirmidziy (2863), HR. Ahmad
(17209) dan Al Hakim (863), dan dia itu shahih. Dan
40

dishahihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy ‫ رحمممممممممه هللا‬dalam “Al


Jami’ush Shahih” no. (3155)).

Al Imam Ath Thibiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Yang dikehendaki


dengan Al jama’ah di sini adalah para Sahabat dan orang yang
setelah mereka dari kalangan Tabi’in dan tabi’it tabi’in serta
para Salafush Shalihin. Yaitu: Aku perintahkan kalian untuk
berpegang dengan jalan mereka, dan masuk ke dalam
rombongan mereka.” (“Al Kasyif ‘An Haqaiqis Sunan”/ hal.
2574).

Tidak boleh menakwilkan dalil yang sudah jelas


maknanya demi kepentingan madzhab atau partai
Suatu dalil yang jelas penunjukannya itu wajib diikuti
dan dibangun di atasnya pengamalan sesuai penunjukannya,
dan haram untuk diselisihi dan ditakwil-takwil
(diselewengkan makna atau penunjukannya).

Al Imam Muhammad Bin Idris Asy Syafi’iy ‫رحمه هللا‬


berkata tentang masalah hujjah (argumentasi): ”Adapun jika
hujjah tadi berupa nash yang terang dari Al Qur’an, atau
Sunnah yang telah disepakati; maka di dalam hujjah tadi telah
ada penunjukan yang pasti dan tidak boleh ada keraguan di
dalam salah satunya. Barangsiapa menolak untuk
menerimanya; dia harus dituntut untuk bertobat”. (“Ar
Risalah”/Asy Syafi’iy/hal. 460).

Al Imam Asy Syafi’iy ‫ رحمه هللا‬juga berkata: ”Segala


perkara yang mana Allah telah menegakkan hujjah
dengannya di dalam Kitab-Nya atau melalui lidah Nabi-Nya
dalam keadaan ditetapkan secara jelas; tidak halal adanya
41

perselisihan di dalamnya bagi orang yang telah


mengetahuinya”. (“Ar Risalah”/Asy Syafi’iy/hal. 560).

Ijtihad yang boleh dan yang tidak diperbolehkan


Al Imam Abu Ishaq Asy Syairaziy Asy Syafi’iy ‫رحمه هللا‬
berkata: “Urusan syariat maka dia itu ada dua jenis: jenis yang
mana boleh berjtihad di dalamnya, dan jenis yang mana tidak
boleh berjtihad di dalamnya.

Adapun jenis yang mana tidak boleh berjtihad di


dalamnya; maka dia itu juga ada dua jenis lagi:

Yang pertama: perkara yang telah diketahui secara


sangat pasti dari agama Rasulullah ‫ﷺ‬, seperti shalat fardhu,
zakat yang wajib, dan juga diharamkannya zina, homoseksual,
minum khamr dan yang lainnya. Maka barangsiapa
menyelisihi sedikit saja dari yang demikian itu maka sungguh
dia telah mendustakan Allah ta’ala dan Rasul-Nya ‫ ﷺ‬di dalam
berita keduanya, maka dia dihukumi sebagai orang kafir.

Yang kedua: perkara yang tidak diketahui secara


sangat pasti dari agama Rasulullah ‫ﷺ‬, seperti hukum-hukum
yang pasti dengan ijma’ para Sahabat dan fuqaha berbagai
negeri, akan tetapi hukum-hukum tadi tidak sampai diketahui
secara sangat pasti dari agama Rasulullah ‫ﷺ‬, maka kebenaran
dalam masalah itu adalah satu saja, yaitu apa yang telah
disepakati oleh orang-orang. Maka barangsiapa menyelisihi
dalam sedikit saja dari masalah tadi setelah dia tahu
hukumnya, maka dia dihukumi sebagai orang fasik.

Adapun perkara yang mana boleh berijtihad di


dalamnya maka dia itu adalah masalah-masalah yang mana
42

para fuqaha negeri-negeri memperselisihkannya menjadi dua


pendapat, ... dan seterusnya(2)”.

(Selesai dari “Al Luma’ Fi Ushulil Fiqh”/Asy Syairaziy/hal. 72).

Al Imam Abul Muzhaffar As Sam’aniy ‫ رحمه هللا‬berkata:


“Dan ketahuilah bahwasanya pendapat yang berselisih di
dalam satu kejadian itu ada dua jenis: jenis yang tidak boleh
di dalamnya perselisihan, dan jenis yang mana perselisihan di
dalamnya diperbolehkan.

Adapun jenis yang mana perselisihan tidak


diperbolehkan di dalamnya adalah seperti: usul (dasar-dasar)
agama berupa tauhid, sifat-sifat Yang Maha Pencipta ‫ عز اسمه‬,
dan dia itu disepakati tidak boleh ada perselisihan di
dalamnya. Demikian pula perkara-perkara furu’ (cabang-
cabang) yang telah diketahui kewajibannya dengan dalil yang
pasti seperti: shalat, zakat, puasa dan haji. Begitu pula
perkara-perkara terlarang yang telah pasti dengan dalil yang

Penulis –Abu Fairuz ‫ –وفقه هللا‬berkata: Yaitu: ketika dalil yang jelas
(2)

terhadap suatu masalah itu tidak ditemukan, di situlah para ulama


boleh berijtihad.

Al Imam As Sarkhasiy Al Hanafiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “...Hanya


saja kami syaratkan dalam masalah itu bahwasanya ra’yu itu
dipakai ketika keinginan untuk mendapatkan jawaban dari wahyu
itu sudah habis, dan itu seperti apa yang disyaratkan pada umat ini
dalam beramal dengan ra’yu, hendaknya dia memaparkannya pada
Al Kitab dan As Sunnah. Jika tidak didapatkan penjelasannya dari
situ, maka ketika itulah mereka boleh berijtihad dengan ra’yu.”
(“Ushulus Sarkhasiy”/2/hal. 95-96).
43

pasti pula; maka tidak boleh ada perselisihan pendapat di


dalamnya sedikitpun.

Adapun perkara-perkara yang di dalamnya boleh ada


perselisihan adalah: cabang-cabang agama jika hukum-
hukumnya diambil berdasarkan alamat-alamat ijtihad dan
makna-makna istinbath (pengambilan hukum dan pelajaran),
maka perselisihan para ulama di dalamnya itu diperbolehkan,
dan setiap orang dari mereka itu boleh mengamalkan apa
yang ihasilkan oleh ijtihad mereka di dalam perkara tadi”.

(Selesai dari “Qawathi’ul Adillah Fil Ushul”/As Sam’aniy/3/hal.


407-408).

Sikap terhadap ijtihad para ulama


Memang suatu perkara yang mana dalilnya tentang
itu belum jelas; ijtihad di dalamnya itu diperbolehkan. Dan
ulama yang benar dalam ijtihadnya maka beliau akan
mendapatkan dua pahala, sebagaimana dalam riwayat Yazid
Ibnul Had: dari Muhammad Bin Ibrahim: dari Busr Bin Sa’id:
dari Abu Qais Maula Amr Ibnil Ash: dari Amr Ibnil Ash ‫رض هللا‬
‫ عؤه‬yang berkata:

‫ «إِ َذا َح َك َم ْا َِلاكِ ُم َفا ْج َت َهدَ َف َأ ْخ َطأَ َف َل ُه َأ ْج ٌر ُث َّم إِ ْن َح َك َم‬:‫رسول اهللِ ﷺ‬ ُ ‫َق َال‬
ِ ‫اب َف َل ُه َأ ْج َر‬
.»‫ان‬ َ ‫َف َأ َص‬

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Jika seorang hakim menghukumi


maka dia berijtihad lalu dia keliru, maka dia akan
mendapatkan satu pahala. kemudian jika dia menghukumi
lalu dia tepat, maka dia akan mendapatkan dua pahala”.
44

Yazid Ibnul Had berkata: lalu aku menyampaikan


hadits ini kepada Abu Bakr Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm,
maka Abu Bakr berkata: demikianlah Abu Salamah
menyampaikan hadits dari Abu Hurairah.

(HR. Al Imam Ahmad (17809), Abu Dawud (3574), Ibnu Majah


(2314), Ad Daruquthniy (24) dan yang lainnya dengan sanad
yang shahih).

Dan Allah mewajibkan pada kita untuk menaati para


ulama tadi sebagai ulil amri kita.

Adapun ulama yang keliru ijtihadnya; maka beliau


akan mendapatkan satu pahala, dan kesalahannya tadi
diampuni, namun kita boleh menjelaskan bahwasanya yang
benar dalam masalah ini adalah demikian dan demikian,
berdasarkan fatwa ulama yang lain, dengan tetap beradab
dan menjaga kehormatan pihak yang keliru.

Kemudian: sebagian ulama yang keliru di dalam


pemahaman mereka terhadap suatu dalil; kita tidak boleh
mengikuti kesalahan tersebut, karena kita diharamkan untuk
mengikuti pendapat yang salah dari orang yang tidak
ma’shum setelah jelasnya penyelisihan dia terhadap dalil-dalil
yang jelas, sambil kita tetap menghormati mereka tadi.

Al Imam Muhammad Bin Idris Asy Syafi’iy ‫رحمه هللا‬


berkata: “Semua yang aku ucapkan, sementara telah datang
hadits shahih dari Nabi ‫ ﷺ‬yang menyelisihi ucapanku, maka
hadits Nabi ‫ ﷺ‬lebih utama untuk diikuti, dan janganlah kalian
bertaqlid (mengekor) kepadaku”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dalam “Adabusy Syafi’iy”/hal. 67/ sanadnya shahih.
45

Dan dari jalur beliau Al Imam Al Baihaqiy meriwayatkannya


dalam “Ma’rufatus Sunan Wal Atsar”/no. (859)).

(Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul Auliya”


(9/hal. 107) dan Ibnu Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” (51/386/
shahih lighairih)).

Al Imam Abu Syamah Asy Syafi’iy ‫ رحمه هللا‬berkata:


“Bahkan wajib bagi pelajar untuk senantiasa selamanya
berusaha mencari tambahan ilmu yang sebelumnya tidak dia
ketahui dari siapapun dia (asalkan ahli ilmu Salafiy –pen),
karena hikmah adalah mustika yang hilang dari seorang
Mukmin, di manapun dia mendapatkannya hendaknya dia
mengambilnya. Dan dia wajib untuk bersikap adil dan
meninggalkan taqlid, selalu mengikuti dalil, karena setiap
orang mungkin salah dan mungkin benar; kecuali orang yang
dipersaksikan oleh syariat dengan ‘ishmah (terjaga dari
kesalahan –pen), yaitu; Nabi ‫“ﷺ‬. (“Mukhtasharul Muammal
Fir Raddi Ilal Amril Awwal”/Abu Syamah/hal. 34/cet. Al
Maktabatul Ashriyyah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata:


“Perkataan mereka: “Tidak boleh untuk saling mengingkari
dalam perkara-perkara yang diperselisihkan” bukanlah
perkataan yang benar, karena pengingkaran itu bisa jadi
diarahkan kepada ucapan dari hukum tersebut, dan bisa jadi
diarahkan kepada pengamalan dari hukum tadi. Adapun yang
pertama: jika ucapan tadi menyelisihi suatu sunnah atau
suatu ijma’ yang telah lampau, maka ucapan tadi wajib
diingkari, tanpa ada perselisihan. Jika tidak demikian, maka
ucapan tadi boleh diingkari dalam artian: sisi kelemahannya
dijelaskan, menurut orang yang berpendapat bahwasanya
46

pihak yang benar itu cuma satu, dan ini adalah pendapat
hampir seluruh Salaf dan fuqoha.

Adapun dari sisi amalan, jika amalan tadi menyelisihi


suatu sunnah atau suatu ijma’ yang telah lampau, maka dia
juga wajib diingkari sesuai dengan derajat-derajat
pengingkaran, sebagaimana telah kami sebutkan dari hadits
peminum nabidz (perasan buah) yang diperselisihkan, dan
sebagaimana hukum seorang hakim itu dibatalkan jika
menyelisihi suatu sunnah sekalipun dia telah mengikuti
sebagian ulama. Adapun jika di dalam masalah itu tidak ada
sunnah ataupun ijma’ maka ijtihad di situ boleh, orang yang
mengamalkannya tidak diingkari baik secara ijtihad ataupun
taqlid.”

(“Bayanud Dalil ‘Ala Buthlanit Tahlil”/Ibnu Taimiyyah/hal.


159/Daru Ibnul Jauziy).

Bacalah juga perkataan Al Imam Ibnul Qayyim ‫رحمه هللا‬


dalam “I’lamul Muwaqqi’in” (3/hal. 223/Khothou Man Yaqulu
La Inkaro Fi Masailil Khilaf”/Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Maka bukanlah ucapan yang benar itu adalah


perkataan Asy Syaikh Fulan ataupun orang yang lebih tinggi
dari beliau. Akan tetapi ucapan yang benar adalah firman
Alloh dan sabda Rasul-Nya dengan pemahaman As Salafush
Shalih. Jika telah nampak bahwasanya perkataan Asy Syaikh
Fulan itu tidak didukung oleh dalil-dalil dan bukti-bukti, maka
harus dibuktikan bahwasanya Allah lebih kita cintai daripada
beliau.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمممممممممممه هللا‬berkata tentang


Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawiy ‫رحمه هللا‬: "Syaikhul Islam
47

adalah orang yang kami cintai, namun al haqq lebih kami


cintai daripada beliau. Dan semua orang yang selain al
ma'shum, maka pendapatnya itu mampu diambil ataupun
ditinggalkan" ("Madarijus Salikin"/2 hal. 32/cet. Darul Hadits).

Dulu Al Qadhi Abdul Jabbar ‫ رحمه هللا‬sering menolong


madzhab Asy Syafi’iy dalam masalah usul dan furu’. Manakala
beliau mendapati kesalahan Asy Syafi’iy beliaupun berkata:
“Pria ini adalah tokoh besar, akan tetapi kebenaran itu lebih
besar daripada beliau.” (Dinukilkan oleh Ilkiya Al Hirrosiy
sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Asy Syaukaniy ‫رحمهما‬
‫ هللا‬dalam “Irsyadul Fuhul”/2/hal. 813/cet. Ar Royyan).

Maka sikap menjadikan ucapan seorang alim atau


perbuatannya bagaikan dalil syar’iy merupakan suatu
kebid’ahan.

Al Imam Asy Syathibiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Ucapan orang


alim telah menjadi hujjah menurut orang awwam,
sebagaimana ucapan orang alim juga dijadikannya sebagai
hujjah yang mutlak dan menyeluruh dalam fatwanya. Maka
berkumpullah pada orang awwam ini amalan yang disertai
keyakinan akan bolehnya perbuatan itu dengan adanya
syubhah (kekaburan) dalil. Dan ini benar-benar merupakan
kebid’ahan.” (“Al I’tisham”/1/hal. 364).

Al Imam Asy Syaukaniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan sungguh


kaidah ahlul bida’ telah berjalan pada zaman dahulu dan yang
berikutnya bahwasanya mereka itu bergembira dengan
munculnya satu kalimat dari satu orang ulama, lalu mereka
berlebihan dalam mempopulerkannya dan
mengumumkannya di antara mereka, menjadikannya sebagai
48

argumentasi untuk mendukung kebid’ahan mereka, dan


dengannya mereka memukul wajah orang yang mengingkari
mereka, sebagaimana engkau dapati di dalam kitab-kitab
Rofidhoh yang di dalamnya ada riwayat-riwayat tentang
kalimat-kalimat yang datang dari ulama Islam yang terkait
dengan perselisihan para Shahabat, juga tentang keutamaan
dan cercaan. Para Rofidhoh dengan adanya itu terbang
gembira dan menjadikannya sebagai bagian dari simpanan
dan ghanimah (rampasan perang) yang paling besar.”
(“Adabuth Tholab”/hal. 35/ Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Tentunya dalam membantah pendapat seorang ulama


karena nampak menyelisihi hujjah; kita harus dibimbing oleh
ulama yang lain. Tidak mungkin semua ulama (ahli ijtihad) di
seluruh dunia keliru sementara yang bukan ulama itu yang
benar, karena yang berhak memahami dalil secara langsung
adalah para ahli ijtihad, sementara yang belum mencapai
derajat mereka; dia itu memahami dalil dengan bimbingan
ahli ijtihad.

Fadhilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan ‫ حفظه هللا‬berkata:


“Maka kami mewasiatkan kepada para pemuda untuk
meninggalkan perpecahan dan perselisihan, dan hendaknya
mereka menyodorkan perkara yang terjadi di antara mereka
kepada para ulama. Mereka tidak mungkin untuk kembali
(langsung) kepada Al Qur’an dan As Sunnah; karena mereka
belum punya kemampuan untuk itu; karena kurangnya ilmu
mereka. Akan tetapi hendaknya mereka kembali kepada para
ulama, dan salah satu dari mereka berkata: “Saya berkata
demikian, sedangkan si Fulan berpendapat demikian.
Siapakah dari kami yang di atas pendapat yang benar?” Dan
49

mereka berangkat dari pengarahan para ulama untuk


menerangkan kebenaran.

Inilah yang kami inginkan untuk mereka: mereka


merujuk kepada para ulama: boleh jadi berbicara secara
langsung jika mereka hadir di dekat para ulama, atau boleh
jadi dengan tulisan; mereka menulis surat kepada para ulama
dan menerangkan kasus kepada mereka, lalu bertanya:
“Siapakah dari kami yang ada di atas pendapat yang benar?
Kami berkata demikian, sedangkan Fulan berkata demikian.
Dalil Fulan demikian, dalil Fulan begini. Siapakah dari kami
yang ada di atas pendapat yang benar? Kemudian mereka
mengambil jawaban yang benar insya Allah.

Mereka menulis surat kepada para ulama yang


terpercaya dan telah dikenal dengan keilmuan mereka, lalu
mereka berangkat dari bimbingan dan pengarahan para
ulama. Inilah yang aku wasiatkan kepada kalian”.

(Selesai dari “Al Muntaqa Min Fatawal Fauzan”/28/hal. 4).

Jika seluruh ahli ijtihad telah bersepakat dalam suatu


permasalahan, pastilah kebenaran ada pada mereka,
walaupun diselisihi oleh orang-orang awam ataupun pelajar
yang mengaku punya dalil.

Lalu jika ahli ijtihad berselisih pendapat, pastilah salah


satunya itu yang benar dan sesuai dengan dalil, karena
kebenaran tak mungkin keluar dari keseluruhan ahli ijtihad.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Prinsip yang


ketiga dari prinsip-prinsip beliau –yaitu: Al Imam Ahmad Bin
Hanbal- adalah: jika para Sahabat berselisih pendapat; kita
50

memilih dari pendapat-pendapat mereka tadi yang paling


dekat kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Jika belum jelas bagi
beliau kesesuaian salah satu dari pendapat tadi kepada dalil;
beliau menukilkan perselisihan mereka dalam masalah tadi
tanpa memastikan kebenaran salah satu dari pendapat-
pendapat tadi.

Ishaq Bin Ibrahim Bin Hani berkata dalam “Masail”


beliau: “Ditanyakan kepada Abu Abdillah –Ahmad-:
‘Seseorang ada di tengah-tengah kaumnya, lalu dia ditanya
tentang suatu masalah yang di dalamnya ada perselisihan
(ulama)’. Maka beliau menjawab: ‘Hendaknya dia berfatwa
dengan pendapat yang mencocoki Al Qur’an dan As Sunnah,
namun jika tidak dia ketahui pendapat yang manakah yang
mencocoki Al Qur’an dan As Sunnah, hendaknya dia menahan
diri darinya...”

(Selesai dari “I’lamul Muwaqqi’in”/Ibnul Qayyim/1/hal. 31).

Al Khathib Al Baghdadiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Ini dalam


posisi jika para Sahabat berselisih pendapat dalam masalah
tadi menjadi dua pendapat, dan zaman mereka habis di atas
kedua pendapat tadi, maka sungguh para Tabi’in tidak boleh
untuk mendatangkan pendapat yang ketiga, karena
perselisihan Sahabat menjadi dua pendapat itu merupakan
ijma’ (kesepakatan) akan batilnya pendapat yang selain
keduanya.

Sebagaimana ijma’ para Sahabat terhadap suatu


pendapat merupakan ijma’ mereka tentang batilnya seluruh
pendapat yang lain.
51

Maka sebagaimana seseorang tidak boleh membuat


pendapat kedua di dalam perkara yang disepakati oleh para
Sahabat di atas satu pendapat; maka demikian pula dia tidak
boleh membuat pendapat ketiga di dalam perkara yang
disepakati oleh para Sahabat di atas dua pendapat”.

(Selesai dari “Al Faqih Wal Mutafaqqih”/Al Khathib/1/hal.


435/ cet. Maktabah At Tau’iyyah Al Islamiyyah).

Beliau ‫ رحمه هللا‬juga berkata tentang keadaan para


imam yang terkenal dari kalangan Atba’ut Tabi’in: “Dan
mereka punya banyak orang-orang yang semacam dengan
mereka dari kalangan para tokoh di setiap zaman, para ahli
penelitian dan ijtihad. Maka apapun yang mereka sepakati;
berarti hal itu adalah hujjah. Dan ijtihad (dalam masalah tadi)
menjadi gugur jika telah adalah ijma’ mereka tadi. Maka
demikian pula jika mereka berselisih menjadi dua pendapat,
tidak boleh bagi orang yang setelah mereka untuk membuat
pendapat yang ketiga”. (“Al Faqih Wal Mutafaqqih”/Al
Khathib/1/hal. 433/ cet. Maktabah At Tau’iyyah Al
Islamiyyah).

Abul Hasan Al Asy’ariy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan para


ulama bersepakat bahwasanya, ... –lalu beliau menyebutkan
beberapa poin, sampai pada ucapan beliau:- dan bahwasanya
tidak boleh bagi satu orangpun untuk keluar dari pendapat-
pendapat para Salaf, di dalam perkara yang mereka sepakati,
ataupun di dalam perkara yang mereka perselisihkan, atau di
dalam penakwilannya, karena kebenaran itu tidak mungkin
keluar dari area pendapat-pendapat para Salaf”. (“Risalatun
Ila Ahlits Tsaghr”/Abul Hasan Al Asy’ariy/hal. 306-307/cet.
Maktabatul Ulumi Wal Hikam).
52

Jangan bermudah-mudah menghukumi seseorang itu


kafir atau mubtadi’
Namun, sekalipun kita tidak boleh mengikuti
pendapat orang alim yang menyelisihi hujjah yang lebih kuat,
kita tidak boleh mengkafirkan atau membid’ahkan para
ulama yang terkenal dengan kebaikan mereka tadi
dikarenakan kesalahan mereka itu, tanpa kita mengikuti
bimbingan para ulama yang lain.

Orang alim yang telah mencurahkan kesanggupannya


untuk mengetahui kebenaran tapi salah dalam ijtihadnya,
maka dia itu telah menunaikan kewajibannya semampu dia,
maka dia itu mendapatkan pahala atas ijtihadnya.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Bahkan terkadang orang


yang menginginkan kebenaran itu tersesat dari kebenaran
dalam keadaan dia telah bersungguh-sungguh mencarinya
tapi tidak berhasil. Maka dia tidak dihukum. Dia telah
mengerjakan sebagian perkara yang diperintahkan, maka dia
mendapatkan pahala atas ijtihad dia, sedangkan
kekeliruannya yang dia tersesat di dalamnya dari hakikat
perkara tadi akan diampuni. Dan banyak dari mujtahidin
salaf dan kholaf telah mengatakan sesuai atau melakukan
sesuatu yang ternyata hal itu adalah bid’ah dalam keadaan
mereka tidak mengetahui bahwasanya itu adalah bid’ah,
bisa jadi karena hadits-hadits yang lemah dan mereka
mengiranya shohih, atau bisa jadi karena adanya ayat-ayat
yang mereka memahaminya dengan pemahaman yang tidak
Alloh inginkan, dan bisa jadi karena suatu pendapat yang
dipandangnya, sementara dalam masalah tadi ada nash-nash
yang tidak sampai pada mereka.
53

Jika seseorang itu bertaqwa pada Robbnya sesanggupnya,


dia masuk di dalam firman Alloh ta’ala:

.]114 :‫اخ ْذنَا إِ ْن ن َِسينَا َأ ْو َأ ْخ َط ْأ َن﴾ [البقرة‬


ِ ‫﴿ربنَا ًَل ت َُؤ‬
َّ َ

“Wahai Robb kami janganlah Engkau menghukum kami


jika kami lupa atau keliru.”

Dan dalam hadits shohih Alloh ta’ala menjawab:

.»‫«قد فعلت‬

“Aku telah mengerjakannya.”

Dan penjabaran ini ada di tempat yang lain.”

(Selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/19/hal. 192).


Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Karena sesungguhnya
memberikan keleluasaan bagi orang-orang bodoh untuk
mengkafirkan para ulama Muslimin itu termasuk
kemungkaran yang paling besar. Asal dari amalan tadi adalah
dari para Khawarij dan Syi’ah Rafidhah yang mengkafirkan
para imam kaum Muslimin manakala kelompok-kelompok
tadi meyakini bahwasanya para imam tadi keliru di dalam
agama.

Dan Ahlussunnah Wal Jama’ah telah bersepakat


bahwasanya para ulama Muslimin itu tidak boleh dikafirkan
dengan semata-mata kesalahan yang murni. Akan tetapi
setiap orang bisa diambil dan bisa ditolak ucapannya; kecuali
Rasulullah ‫ﷺ‬. Dan tidaklah setiap orang yang sebagian
54

ucapannya ditinggalkan karena punya kesalahan yang dia


keliru di situ lantas dikafirkan ataupun difasikkan ataupun
dihukumi telah berdosa, karena sesungguhnya Allah ta’ala
telah menjawab doa kaum Mukminin:

.]114 :‫اخ ْذنَا إِ ْن ن َِسينَا َأ ْو َأ ْخ َط ْأ َن﴾ [البقرة‬


ِ ‫﴿ربنَا ًَل ت َُؤ‬
َّ َ

“Ya Rabb (Pencipta dan Penguasa) kami, janganlah Engkau


hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah (tidak segaja
berbuat salah)”.

Dan di dalam “Ash Shahih” dari Nabi: “Bahwasanya


Allah ta’ala menjawab: “Aku telah melakukannya”.

(Selsesai dari “Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah”/35/hal. 100).

Al Imam Adz Dzahabiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Andaikata


setiap orang yang keliru di dalam ijtihadnya padahal
keimanannya itu benar dan kesungguhannya dalam
mengikuti kebenaran itu kita gugurkan kedudukannya, dan
kitab bid’ahkan orangnya; pastilah sedikit sekali dari para
imam yang selamat bersama kita. Semoga Allah merahmati
semuanya dengan karunia dan kedermawanan-Nya”. (“Siyar
A’lamin Nubala”/14/hal. 374-376).

Tetap harus saling menghormati di dalam perselisihan


ijtihad. Adapun perselisihan akidah dan manhaj di dalam
perkara-perkara yang mana wahyu telah berbicara dengan
jelas, maka yang sengaja menyelisihi wahyu dan pemahaman
para Salaf adalah mubtadi’. Itu hukum umum. Adapun untuk
orang-perorang; tidak boleh orang tadi dihukumi sebagai
55

mubtadi’ kecuali setelah tegak padanya dalil, lalu dia sengaja


membangkang.
56

Bab Dua: Kunci Kemenangan dan


Kejayaan Umat

Adapun untuk menjawab pertanyaan berikutnya:


bagaimanakah agar umat ini kembali mendapatkan
kemenangan dan kejayaan mereka? Di antara jawabannya
adalah sebagai berikut:

Pertama: Memperbaiki tauhid ibadah dan keikhlasan


Kunci kemenangan yang paling asasi adalah:
mentauhidkan Allah ta’ala dalam peribadatan, dan menjaga
keikhlasan dalam amalan.

Dari Thariq Al Muharibiy ‫ رض هللا عؤه‬yang berkata:

‫ «يا‬: ‫رأيت رسول اهلل ﷺ مر ِف سوق ذي املجاز وعليه حلة محراء وهو يقول‬
‫ ًل إله إًل اهلل تفلحوا» ورجل يتبعه يرميه باحلجارة قد أدمى‬: ‫أُّيا الناس قولوا‬
: ‫ فقلت‬.‫ يا أهيا الناس ال تطيعوه فإنه كذاب‬: ‫ وهو يقول‬،‫كعبيه وعرقوبيه‬
‫ من هذا الذي يتبعه يرميه‬: ‫ غالم بني عبد املطلب فقلت‬: ‫من هذا ؟ قالوا‬
.‫ هذا عبد العزى أبو هلب‬: ‫باحلجارة ؟ قالوا‬

"Aku pernah melihat Rasulullah ‫ ﷺ‬lewat di pasar Dzil Majaz


dalam keadaan pakaian atas dan bawah beliau adalah merah.
Beliau berkata: "Wahai manusia, ucapkanlah "La ilaha
illAllah" (tiada sesembahan yang benar selain Allah) niscaya
kalian beruntung." Dan ada orang yang mengikuti beliau
sambil melempari beliau dengan bebatuan hingga membikin
57

kedua mata kaki dan urat yang ada di atasnya itu berdarah,
sambil orang tadi berkata: "Wahai manusia, janganlah kalian
menaatinya karena sesungguhnya dia itu pendusta." Maka
aku bertanya: "Siapakah orang itu?" mereka menjawab:
"Pemuda dari Bani Abdul Muththolib." Aku bertanya:
"Siapakah orang yang mengikutinya sambil melemparinya
dengan bebatuan?" mereka menjawab: "Abdul 'Uzza Abu
Lahab." (HR. Ibnu Khuzaimah dalam "Shohih" (159) dan
dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy ‫ رَحه اهلل‬dalam “Al Jami'ush
Shohih” (2212)).

Ini adalah dalil yang jelas bahwasanya tauhid ibadah


pada Allah ta’ala merupakan sebab keberuntungan dan
kemenangan.

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Tidak ada


kemaslahatan, keberuntungan dan keledzatan untuk mereka
tanpa peribadatan kepada-Nya sama sekali”. (“Majmu’ul
Fatawa”/1/hal. 23).
Allah ta’ala berfirman:
‫َزِّل بِ ِه ُس ْل َطاناا‬
ْ ‫َشكُوا بِاهلل َما َل ْ ُين‬ َ َ ‫الر ْع‬
َ ْ ‫ب بِ ََم أ‬
ِ ِ ‫﴿سنُ ْل ِقي ِِف ُق ُل‬
َ ‫وب ا َّلذ‬
‫ين َك َف ُروا ه‬ َ
ِ
.]111 :‫ني﴾ [آل عمران‬ َ ‫َو َم ْأ َو ُاه ُم الن َُّار َوبِئ َْس َم ْث َوى الظَّاْل‬
“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa
takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan
tentang itu. Tempat kembali mereka ialah Neraka; dan
itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang
zalim”.
Allah ta’ala berfirman:
58

ِ ِ ‫﴿و ًَل َتكُونُوا كَا َّل ِذين َخرجوا ِمن ِدي‬


‫ون َع ْن‬
َ ‫س َو َي ُصده‬ َ ‫اره ْم َبطَ ارا َو ِرئ‬
ِ ‫َاء النَّا‬ َ ْ ُ َ َ َ
.]60 :‫يط ﴾ [اْلنفال‬ ٌ ‫ون ُ ِم‬ ِ ِ‫َسب‬
َ ‫يل اهلل َواهلل بِ ََم َي ْع َم ُل‬
“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa
takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan
tentang itu. Tempat kembali mereka ialah Neraka; dan
itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang
zalim”.
Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Semakin kuat
ketauhidan di hati seorang hamba, semakin kuat pula
keimanannya, ketentramannya, ketawakkalannya dan
keyakinannya. Dan rasa takut yang ada di dalam hati-hati
manusia itu adalah kesyirikan yang ada di dalam hati mereka.
–lalu beliau membacakan ayat tadi-“. (“Majmu’ul
Fatawa”/28/hal. 35).
Dari Ubaiyy bin Ka’b ‫ رضي هللا عنه‬dari Nabi ‫صلى هللا عليه‬
‫ وسلم‬yang bersabda:
‫ َف َم ْن َع ِم َل ِمنْ ُه ْم َع َم َل ْاْل ِخ َر ِة‬،‫ني‬
ِ ْ ِ‫ر َوال َّت ْمك‬ ِ َ‫«ب ِّْش ه ِذ ِه ْاْلُم َة بِالسن‬
ِ ْ َّ‫اء َوالن‬ َّ َّ َ ْ َ
ِ ِ ِ ِ
.»‫ب‬ ٌ ‫للده ْن َيا َل ْ َي ُك ْن َل ُه ِِف ْاْلخ َرة َنص ْي‬
“Berikanlah kabar gembira pada umat ini dengan cahaya,
pertolongan, dan kekokohan. Maka barangsiapa beramal
dari mereka dengan amalan akhirat tapi untuk
mendapatkan dunia, dia tidak akan mendapatkan bagian di
akhirat.” (HR. Ahmad (21261)/shahih).
Ini adalah dalil yang jelas bahwasanya riya dan
semacamnya akan menghalangi keberuntungan dan
kejayaan.
59

Al Imam Al Munawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Berikanlah


kabar gembira pada umat ini” yaitu: umat yang menyambut
seruan Nabi. “Dengan cahaya” Yaitu: ketinggian posisi dan
nilai. “Agama” Yaitu: kemantapan agama. ”Ketinggian”
Yaitu: ketinggian di dunia dan Akhirat. “Pertolongan” Yaitu:
dalam menghadapi para musuh. “Dan kekokohan di bumi”.
Yaitu seperti firman Allah ta’ala:
ِ ‫ني * َون َُمك َِّن ََُل ْم ِِف ْاْلَ ْر‬ِ ِ
:‫ض﴾ [القصص‬ َ ‫﴿ َون َْج َع َل ُه ْم َأئ َّم اة َون َْج َع َل ُه ُم ا ْل َو ِارث‬
.]4-1
“Dan akan Kami akan jadikan mereka sebagai para
pemimpin, dan Kami akan jadikan mereka sebagai para
pewaris kekuasaan. Dan Kami akan teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi”.
“Maka barangsiapa beramal dari mereka dengan amalan
akhirat tapi untuk mendapatkan dunia” Yaitu: dia
memaksudkan dengan amalan Akhiratnya itu untuk
mendapatkan dunia, dan dia menjadikan amalan tadi sebagai
sarana untuk untuk menghasilkan dunia, “Dia tidak akan
mendapatkan bagian di akhirat” karena dia tidak beramal
dengan Akhirat”.
(Selesai dari “Faidhul Qadir”/3/hal. 201).
Al Imam Ash Shan’aniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka
barangsiapa beramal dari mereka dengan amalan akhirat
tapi untuk mendapatkan dunia, dia tidak akan
mendapatkan bagian di akhirat” kalimat tadi bagaikan
penjagaan dari perkara yang memberikan faidah keumuman
kabar gembira tadi, dan sebagai penjelasan bahwasanya
keberuntungan dunia dan Akhirat tadi hanyalah
diperuntukkan bagi orang yang melakukan amalan Akhirat
60

untuk meraih Akhirat“. (“At Tanwir Syarhil Jami’ish


Shaghir”/4/hal. 547).

Kedua: Memperbaiki persatuan dan membuang


sebab-sebab perpecahan
Kunci kemenangan yang penting juga adalah:
memperbaiki persatuan dan menjauhi sebab-sebab
perpecahan. Allah ta’ala berfirman:
ِ
‫ِبوا إِ َّن اهلل‬
ُ ِ ‫اص‬ ُ ‫ب ِر‬
ْ ‫حيك ُْم َو‬ َ ‫﴿ َو َأطي ُعوا اهلل َو َر ُسو َل ُه َو ًَل َتنَاز َُعوا َف َت ْف َش ُلوا َوت َْذ َه‬
َ ‫الصابِ ِر‬
.]64 :‫ين﴾ [اْلنفال‬ َّ ‫َم َع‬
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah
kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian
menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar”.
Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata tentang sebab-
sebab kemenangan: “Persatuan pendapat dan tiadanya
pertengkaran yang menyebabkan kegagalan dan kelemahan.
Dan perpecahan adalah bagaikan tentara yang mana orang-
orang yang bertengkar akan menguatka musuh mereka
dengan itu untuk mengalahkan mereka sendiri, karena
mereka itu jika bersatu; mereka itu bagaikan seikat anak
panah yang mana tidak ada seorangpun yang mampu
mematahkannya. tapi jika dia memisah-misahkan anak-anak
panah tadi; dan jadilah setiap panah itu sendirian; orang tadi
mampu untuk mematahkannya semuanya”. (“Al
Furusiyyah”/hal. 506).
Termasuk dari menjaga persatuan adalah: setia pada
sunnah, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta
61

melawan bid’ah-bid’ah dan memperingatkan umat dari para


mubtadi’ah, karena syirik, bid’ah dan maksiat menyebabkan
tercerai-berainya umat dari jalan yang lurus, sebagaimana
telah saya jelaskan dalam buku yang lain.
Dari Abu Musa Al Asy'ary ‫ رضي هللا عنه‬yang berkata:
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
، ‫ال ْي َش بِ َع ْين ََّى‬
َْ ‫ت‬ ُ ‫« َم َث ِل َو َم َث ُل َما َب َع َثن ِي اهلل ك ََمثَ ِل َر ُج ٍل َأتَى َق ْو اما َف َق َال َر َأ ْي‬
‫ َف َأ َطا َع ْت ُه َطائِ َف ٌة َف َأ ْد َُلوا َع َل َم ْهلِ ِه ْم‬. ‫اء‬ ُ ‫َوإِنِّى َأنَا الن َِّذ ُير الْ ُع ْر َي‬
َ ‫ان َفالن ََّجا الن ََّج‬
.» ‫َاح ُه ْم‬َ ‫اجت‬ َْ ‫ َوك ََّذ َب ْت ُه َطائِ َف ٌة َف َص َّب َح ُه ُم‬، ‫َفن ََج ْوا‬
ْ ‫ال ْي ُش َف‬
"Permisalanku dengan permisalan apa yang dengannya
Alloh mengutus diriku adalah permisalan seseorang yang
mendatangi suatu kaum seraya berkata,"Aku melihat
pasukan dengan mata kepalaku. Dan sungguh aku ini
adalah pemberi peringatan yang jujur, maka carilah
keselamatan, carilah keselamatan. Maka sekelompok dari
mereka menaatinya seraya berangkat di awal malam tanpa
penundaan sehingga mereka selamat. Tapi sekelompok lagi
mendustakannya, sehingga mereka dihantam oleh pasukan
tentara tadi di waktu pagi dan dimusnahkan." (HR. Al
Bukhariy (6482)).
Perhatikanlah ‫وفقني هللا وإياكم‬: saat al haq datang mereka
terpecah jadi dua. Yang ikut al haq selamat dan yang
menolaknya celaka. Apakah yang mengikuti al haq patut
dicerca karena tidak mau terus bersatu bersama kelompok
kedua agar celaka bersama-sama? Ataukah sang pemberi
peringatan itu yang tercela? Ataukah beritanya tadi yang
dicela karena membikin perpecahan? Ataukah mereka
dibiarkan saja hidup tenang bersatu tanpa menyadari adanya
62

bahaya besar yang mendekat? Maka persatuan yang benar


adalah persatuan di atas jalan Rasulullah ‫ ﷺ‬.
Maka barangsiapa taat pada para utusan Alloh maka
dia itu bersama mereka di atas jalan yang lurus, dan mereka
itu adalah ahlul Jama’ah. Tapi barangsiapa mendurhakai
mereka maka sungguh dia telah meninggalkan jalan yang
lurus dan condong kepada jalan-jalan yang menyimpang tadi
dan memisahkan diri dari Jama’ah, maka dia itulah yang
tercela. Maka sebab dari perpecahan adalah keluarnya
seseorang dari mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan manhaj
Salaf.
Asy Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad ‫ حفظه هللا‬dalam
bantahannya terhadap Hasan Al Malikiy berkata: “Adapun
penyimpangan ahlul bida’ wal ahwa dari Al Kitab dan As
Sunnah, itulah sebab yang hakiki dari perpecahan mereka dan
robeknya barisan mereka…” dst. (rujuk “Al Intishar Li
Ahlissunnah”/hal. 33/Darul Fadhilah).
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan ‫ حفظه هللا‬berkata:
“Peringatan untuk umat dari manhaj-manhaj yang
menyelisihi manhaj salaf itu merupakan penyatuan kalimat
Muslimin, bukan pemecah-belahan terhadap barisan
mereka, karena sesungguhnya yang memecahbelah barisan
Muslimin adalah manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj
salaf itu”. (“Al Ajwibatul Mufidah” milik Asy Syaikh Shalih Al
Fauzan/ditulis oleh Jamal Al Haritsiy/hal. 157/Maktabatul
Hadyil Muhammadiy).
Manakala memperbaiki persatuan dan menjauhi
sebab-sebab perpecahan adalah sebab kemenangan,
sementara kebatilan itu adalah sebab perpecahan, berarti
kita perlu mengkhususkan pembicaraan pada kunci:
63

Ketiga: Memerintahkan pada yang ma’ruf, dan


mencegah dari yang mungkar
Kunci kemenangan yang penting juga adalah: amar
ma’ruf dan nahi mungkar. Firman Allah ‫سبح ؤه‬:
ِ ‫ون بِاْلَْعر‬ َ ‫﴿ َو ْل َتك ُْن ِمنْك ُْم ُأ َّم ٌة َيدْ ُع‬
‫وف َو َين َْه ْو َن َع ِن ا ُْْلنْ َك ِر‬ ُ ْ َ ‫ري َو َي ْأ ُم ُر‬
ِ ْ ‫ال‬
َْ ‫ون إِ َل‬

.]413 :‫ون﴾ [آل عمران‬ َ ‫ك ُه ُم ا ُْْل ْفلِ ُح‬ َ ِ‫َو ُأو َلئ‬

"Dan hendaknya ada sekelompok umat dari kalian yang


menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang
ma'ruf dan melarang dari yang mungkar, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imron: 104).

Al Imam Asy Syaukaniy ‫ رحمممممممممه هللا‬berkata: “Dan di


dalam ayat ini ada dalil tentang wajibnya memerintahkan
kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Dan
kewajiban amalan tadi telah pasti dengan dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah, dan perkara itu termasuk kewajiban syariat
yang suci yang paling agung, dan sebagai prinsip yang agung
dari prinsip-prinsip syariat, serta rukun (tiang utama) yang
sangat tinggi menjulang dari rukun-rukunnya. Dan dengan
itulah keteraturan syariat ini menjadi sempurna dan
puncaknya itu menjadi tinggi.” (“Fathul Qodir”/2/hal. 8).
Dan firman Allah ta'ala :
ِ ‫ون بِاْلَْعر‬ ِ ‫ت لِلن‬
ْ ‫﴿ ُكنْت ُْم َخ ْ َري ُأ َّم ٍة ُأ ْخ ِر َج‬
‫وف َو َتن َْه ْو َن َع ِن ا ُْْلنْكَر﴾ [آل‬ ُ ْ َ ‫َّاس ت َْأ ُم ُر‬
.]441 :‫عمران‬
64

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk


manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah
dari yang munkar".

Syaikhul Islam ‫ رحمممممممممممه هللا‬berkata: “Memerintahkan


kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar adalah
wajib.” (“Majmu’ul Fatawa”/23/hal. 354).
Dan firman Allah ta’ala:
ِ ‫ون بِاْلَْعر‬ ِ ُ ‫ُون َوا ُْْل ْؤ ِمن‬
َ ‫﴿وا ُْْل ْؤ ِمن‬
‫وف َو َين َْه ْو َن َع ِن‬ ُ ْ َ ‫ض َي ْأ ُم ُر‬ ٍ ‫اء َب ْع‬ ُ ‫َات َب ْع ُض ُه ْم َأ ْول َي‬ َ
‫َح ُه ُم‬
ُ َ ‫ك َس َ ْري‬ َ ِ‫ون اهلل َو َر ُسو َل ُه ُأو َلئ‬
َ ‫ُون الزَّ كَا َة َو ُيطِي ُع‬
َ ‫الص َل َة َو ُي ْؤت‬
َّ ‫ون‬ َ ‫يم‬ ِ
ُ ‫ا ُْْلنْك َِر َو ُيق‬
ِ
.]14 :‫يم﴾ [التوبة‬ ٌ ‫اهلل إِ َّن اهلل َع ِزي ٌز َحك‬

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,


sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)
yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
sholat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Al Hafizh Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: “Ath Thabariy


berkata (tentang makna fitnah): “Dan yang benar adalah kita
katakan: sesungguhnya fitnah itu asalnya adalah ujian.
Sementara mengingkari kemungkaran adalah wajib bagi
setiap orang yang mampu melaksanakannya. Maka
barangsiapa membantu orang yang benar; maka dia itu telah
bertindak tepat. dan barangsiapa membantu orang yang
salah; maka dia bertindak keliru. dan apabila urusannya itu
rumit; maka perkara itulah yang dilarang oleh dalil untuk kita
65

berperang di dalamnya.” (“Fathul Bari”/Ibnu Hajar/13/hal.


31).
Dan semua kebatilan adalah sebab kecelakaan dan
kekalahan. Maka amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah
sebab kemenangan dan keberuntungan.
Al Imam An Nawawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan ketahuilah
bahwasanya pahala itu sesuai dengan kadar rasa capek(3), dan
tidaklah dia meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar tadi
karena adanya ikatan persahabatan, rasa cinta, basa-basi,
mencari muka di hadapan sahabatnya tadi ataupun
kelestarian kedudukan dirinya di sisi sahabatnya tadi.
Sesungguhnya persahabatan dan rasa cinta itu mengharuskan
adanya penghormatan dan hak. Dan di antara haknya adalah:
memberinya nasihat dan membimbingnya kepada
kemaslahatan akhiratnya dan menyelamatkannya dari
bahaya-bahaya yang bisa menimpanya di akhirat.
Dan sahabat seseorang dan orang yang mencintainya
adalah orang yang berupaya dalam memakmurkan akhirat
orang tadi, sekalipun hal itu mengakibatkan berkurangnya
dunianya. Dan musuh dia adalah orang yang berupaya

(3) Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah ‫ رضي هللا عنها‬yang diriwayatkan

oleh Al Bukhariy (1787) dan Muslim (1211).


Kondisi kerusakan yang merata di tengah-tengah manusia
menuntut para penasihat mencurahkan kerja keras untuk
menghilangkan kerusakan tadi atau memperkecilnya.
Al Imam Abu Ja’far Ibnun Nahhas Ad Dimasyqiy ‫رحمه هللا‬
berkata: “Dan seorang muslim harus mencapekkan dirinya untuk
menghilangkan kemaksiatan sebagaimana dia juga harus
mencapekkan dirinya untuk meninggalkan kemaksiatan tadi.”
(“Tanbihul Ghafilin Fil Amri Bil Ma’ruf Wan Nahyi ‘Anil
Munkar”/Ibnun Nahhas/hal. 79).
66

melenyapkan atau mengurangi akhiratnya sekalipun dengan


sebab itu tergambarkan suatu manfaat di dunianya. Dan
hanyalah iblis itu menjadi musuh kita dikarenakan perkara ini.
Dulu para Nabi ‫ صلوات هللا وسالمه عليهم‬menjadi wali bagi
kaum mukminin karena mereka berupaya mendatangkan
kemaslahatan untuk akhirat mereka dan membimbing
mereka kepada kemaslahatan akhirat. Kita mohon pada Allah
Yang Mahamulia agar memberikan taufiq pada kita dan
orang-orang yang kita cintai dan seluruh muslimin kepada
keridhoan-Nya, dan agar melingkupi kita dengan
kedermawanan-Nya dan rahmat-Nya”. (Selesai dari “Syarh
Shahih Muslim”/2/hal. 24).
Al Imam Ibnun Nahhas Ad Dimasyqiy ‫ رحمه هللا‬berkata:
“Dan tiada keraguan bahwasanya barangsiapa melihat
saudaranya di atas kemungkaran dan tidak melarangnya,
maka sungguh dia telah membantunya berbuat mungkar
karena dia membiarkan dirinya berkumpul dengan
kemungkaran tadi dan tidak mau menghadangnya. Dan ini
sama sekali bukanlah termasuk dari agama sama sekali,
karena seseorang itu tidak beriman sampai dia menyukai
untuk saudaranya perkara yang dia cintai untuk dirinya
sendiri. Dan hanyalah agama itu nasihat. Dan barangsiapa
melihat seseorang hendak terjatuh ke dalam neraka tapi dia
tak mau menasihatinya maka sungguh dia ikut berdosa.” (“Al
Amru Bin Ma’ruf Wan Nahyu Anil Munkar”/hal. 84).

Keempat: Merealisasikan seluruh rukun dan


cabang keimanan dan ketaatan
Kuncinya juga adalah: realisasi seluruh rukun dan
cabang keimanan yang benar.
67

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka


sesungguhnya Allah ‫ سبح ؤه‬menjadikan kemuliaan untuk orang
yang menaati-Nya dan kehinaan untuk orang yang
mendurhakai-Nya. Allah ta’ala berfirman:
ِِ ِ ِِ ِ ِ
َ ْ ‫﴿وهللِ ا ْلعزَّ ُة َول َر ُسوله َول ْل ُم ْؤمن‬
.] 8 : ‫ني﴾ [ املنافقون‬ َ

“Dan hanya milik Allah sajalah kemuliaan itu, juga milik


Rasul-Nya dan milik para Mukminin”.

Allah ta’ala berfirman:


ِِ
َ ْ ‫﴿و ًَل ََتِنُ ْوا َو ًَل َ َْتزَ ُن ْوا َو َأ ْن ُت ُم ْاْلَ ْع َل ْو َن إِ ْن ُكنْ ُت ْم ُم ْؤمن‬
،]445 : ‫ني﴾ [ آل عمران‬ َ

“Janganlah kalian menjadi lemah, dan jangan pula kalian


bersedih hati, karena kalian itulah yang unggul jika kalian
adalah orang-orang yang beriman”.

Allah ta’ala juga berfirman:

،] 41 : ‫له ا ْل ِعزَّ ُة َجِ ْيعا﴾ [ فاطر‬


ِ ِ‫ان ي ِريدُ ا ْل ِعزَّ َة َفل‬
ْ ُ َ ‫﴿م ْن َك‬
َ

“Barangsiapa menginginkan kemuliaan maka


sesungguhnya kemuliaan itu hanya milik Allah semuanya”.

Yaitu: barangsiapa mencari kemuliaan, maka


hendaknya dia mencarinya dengan menaati Allah; dengan
ucapan yang baik dan amalan yang shalih”.

(Selesai dari “Ighatsatul Lahfan”/1/hal. 48).


68

Kelima: Bertobat dan menjauhi kemaksiatan


Kunci kejayaan adalah: bertobat dan menjauhi
kemaksiatan. Allah ta’ala berfirman:

َ ‫ُون َل َع َّلك ُْم ُت ْفلِ ُح‬


.]11/‫ون﴾ [النور‬ َ ‫﴿ َوتُو ُبوا إِ َل اهلل َجِي اعا َأ ه َُّيا ا ُْْل ْؤ ِمن‬

“Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-


orang yang beriman agar kalian beruntung”.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan ayat ini


ada di dalam surat Madaniyyah, Allah mengajak bicara
dengan itu orang-orang yang beriman dan para makhluk-Nya
yang terbaik; agar mereka bertobat pada-Nya setelah mereka
beriman, bersabar, hijrah dan berjihad. Kemudian Allah
menggantungkan keberuntungan pada tobat; seperti
digantungkannya akibat pada sebabnya. Dan Allah
mendatangkan lafazh (‫ )لعل‬yang menunjukkan adanya
harapan yang memberitahukan bahwasanya jika kalian
bertobat; kalian punya harapan keberuntungan. Maka
tidaklah mengharapkan keberuntungan kecuali orang-orang
yang bertobat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dari
kalangan mereka”. (“Madarijus Salikin”/1/hal. 149/ cet. Darul
Hadits).

Allah ta’ala berfirman:


ِ ِ ِ َ ‫اِلا َفعسى َأ ْن يك‬
ِ ِ
َ ‫ُون م َن ا ُْْل ْفلح‬
﴾‫ني‬ َ َ ‫﴿ َف َأ َّما َم ْن ت‬
َ َ ‫َاب َو َآم َن َو َعم َل َص ا‬
.]40 :‫[القصص‬
69

“Maka adapun orang yang bertobat, beriman dan beramal


shalih, maka semoga mereka menjadi termasuk dari orang-
orang yang beruntung”.

Al Imam Asy Syaukaniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Barangsiapa


bertobat dari kesyirikan dan membenarkan ajaran yang
dibawa oleh para Rasul, dan menunaikan kewajiban-
kewajiban serta menjauhi maksiat-maksiat maka semoga dia
termasuk dari Muflihin, yaitu: orang-orang yang berjaya
mendapatkan apa yang mereka cari, berupa kebahagiaan di
dua negeri. Ucapan “Semoga” sekalipun pada asalnya adalah
untuk harapan, maka hal itu dari Allah adalah wajib,
berdasarkan tradisi orang-orang yang mulia”. (“Fathul
Qadir”/5/hal. 417).

Dari Abu Dzarr ‫ رضمممم هللا عؤه‬dari Nabi ‫ ﷺ‬di dalam apa
yang beliau riwayatkan dari Allah ‫ تب رك وتع لى‬bahwasanya Dia
berfirman –dan menyebutkan hadits-:

،‫الذ ُن ْو َب َجِ ْيع اا‬


‫ َو َأ َنا َأغْ ِف ُر ه‬،‫ار‬
ِ ‫ادي إِ َّن ُك ْم ُ َْطِ ُئ ْو َن بِال َّل ْي ِل َوالنَّ َه‬ ِ ‫«يا ِعب‬
َ َ
.»‫اس َت ْغ ِف ُر ْو ِن َأغْ ِف ْر َل ُك ْم‬
ْ ‫َف‬

“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian itu


melakukan kesalahan di waktu malam dan siang, dan Aku
mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mohonlah
ampunan kepada-Ku, Aku akan mengampuni untuk kalian.”
(HR. Muslim (2577)).

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: “Akan tetapi para Nabi


‫ صمممممهللاواس هللا وسممممممالمه وعهللا هم‬itu, mereka itulah yang para ulama
berkata: sesungguhnya mereka itu terjaga dari terus-menerus
70

dalam dosa. Adapun para shiddiqun, syuhada dan shalihun,


maka mereka itu tidak dijaga dari dosa. (“Majmu’ul
Fatawa”/35/hal. 69).

Tidak mungkin kita keluar dari kehinaan ini sementara


mayoritas dari kita sengaja mendurhakai Allah, padahal
ketaatan itulah asas kemuliaan dan kemenangan. Maka tidak
ada keselamatan dan kemenangan kecuali dengan bertobat
pada Allah ta’ala. Dari Abdullah Bin Umar ‫ رض هللا عؤهم‬: aku
mendengar Rasulullah Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

‫ َو َت َر ْك ُت ُم ْا ِل َها َد‬،‫ َو َر ِض ْي ُت ْم بِالزَّ ْر ِع‬،‫اب ا ْل َب َق ِر‬ ِ ِ


َ ‫ َو َأ َخ ْذ ُت ْم َأ ْذ َن‬،‫«إِ َذا َت َبا َي ْع ُت ْم بِا ْلع ْينَة‬
.»‫َس َّل َط اهللُ َع َل ْي ُك ْم ُذًل ًَل َينْ ِز ُع ُه َح َّتى َت ْر ِج ُع ْوا إِ َل ِد ْين ِ ُك ْم‬

“Apabila kalian saling berjual beli dengan system ‘inah


(salah satu pola riba –pen), dan kalian telah mengambil
ekor-ekor lembu (terlalu sibuk dengan peternakan –pen),
kalian ridha dengan pertanian, dan kalian meninggalkan
jihad di jalan Allah (bukan jalan khawarij ataupun pecinta
kekuasaan tentunya –pen); Allah akan menguasakan
kehinaan terhadap kalian, dan Dia tidak mencabut
kehinaan itu dari kalian hingga kalian kembali kepada
agama kalian”. (HR. Al Imam Ahmad (5007), Abu Dawud
(3462), Ath Thabraniy dalam “Al Kabir” (13582), Al Baihaqiy
dalam “Al Kubra” (11017) dan yang lainnya, dan itu adalah
hadits yang shahih).

Dan dari Tsauban ‫ رض هللا عؤه‬yang berkata:


71

.»‫اعى ْاْلَ َك َل ُة إِ َل َق ْص َعتِ َها‬ َ َ‫اعى َع َل ْي ُك ُم ْاْلُ َم َم َك ََم َتد‬َ َ‫ « َتد‬:‫رسول اهللِ ﷺ َق َال‬ َ ‫َأ َّن‬
ِ ِ ٍِ ‫ َأ ِم ْن ِق َّل ٍة َن ْح ُن َيا‬:‫َقا ُلوا‬
ٌ ‫ َو َلكنَّ ُك ْم غُ َث‬،‫ َأ ْن ُت ْم َي ْو َمئذ َكث ْ ٌري‬،‫ « ًَل‬:‫رسول اهللِ؟ َق َال‬
‫اء‬ َ
‫ َو َل َي ْق ِذ َف َّن ِِف‬،‫الر ْه َب َة ِم ْن ُصدُ ْو ِر َعدُ ِّو ُك ْم لَ ُك ْم‬ َّ ُ‫ َو َل َينْ ِز َع َّن اهلل‬،‫الس ْي ِل‬
ِ
َّ ‫َك ُغ َثاء‬
ِ ‫ «حب الده ْنيا و َكر‬:‫رسول اهللِ؟ َق َال‬
‫اه َي ُة‬ َ ‫ َو َما ا ْل َو ْه ُن َيا‬:‫ َقا ُلوا‬.»‫ُق ُل ْوبِ ُك ُم ا ْل َو ْه َن‬
َ َ َ ‫ُ ه‬
.»‫ت‬ ِ ‫ْا َْلو‬
ْ
Bahwasanya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Umat-umat akan
saling memanggil untuk menyerang kalian sebagaimana
para pemakan itu saling memanggil untuk menyantap
hidangan di piring besar mereka.” Para Sahabat berkata:
“Apakah hal itu disebabkan karena sedikitnya kami pada hari
itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, kalian pada
hari itu banyak, akan tetapi kalian itu buih, bagaikan buih
banjir. Dan pastilah Allah akan mencabut rasa gentar dari
dada-dada musuh kalian terhadap kalian, dan pastilah Allah
akan melemparkan ke dalam hati-hati kalian wahn.” Para
Sahabat berkata: “Apakah wahn itu wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Cinta dunia dan benci kematian”. (HR. Al Imam
Ahmad (22450), Ibnu Abi Syaiban (37247) dan Abu Dawud
(4297)/ shahih lighairih).

Dari Ibnu Umar ‫هللا عؤهم‬ ‫ رض‬berkata: Rasulullah ‫ﷺ‬


bersabda:

‫هلل َأ ْن‬ ِ ‫ َأ ُع ْو ُذ بِا‬،‫خ ٌس إِ ِن ا ْبتُلِ ْي ُت ْم ِبِ َّن َو َنزَ َل فِ ْي ُك ْم‬ ِ ‫« َيا َم ْع َْش ْا ُْل َه‬
ْ َ ،‫اج ِر ْي َن‬ َ
‫اح َش ُة ِِف َق ْو ٍم َق هط َح َّتى َي ْع َم ُل ْوا ِ َبا إِ ًَّل ََ َه َر فِ ْي ِه ُم‬ ِ ‫ ل َت ْظه ِر ا ْل َف‬:‫ُتدْ ِر ُكوهن‬
َ ْ َّ ُ ْ
72

‫ َو َل ْ َينْ ُق ُصوا ْاْل ِ ْك َي َال‬،‫ت ِِف َأ ْس َلفِ ِه ْم‬ ْ ‫اع ا َّلتِي ل ْ َي ُك ْن َم َض‬ ُ ‫اع ْو ُن َو ْاْلَ ْو َج‬ ُ ‫ال َّط‬
ِ ‫الس ْل َط‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ان إِ ًَّل ُأ ِخ ُذوا بِالسن‬ َ َ‫َو ْاْل ِ ْيز‬
‫ َول ْ َي ْمنَ ُعوا‬،‫ان َع َل ْي ِه ْم‬ ‫ني َوشدَّ ة ْا ُْل ْؤ َنة َو َج ْو ِر ه‬ ْ ِّ
َ‫ َول ْ َينْ ُق ُضوا َع ْهد‬،‫ َو َل ْو ًَل ا ْل َب َهائِ ُم ل ْ ُي ْم َط ُروا‬،‫الس ََم ِء‬ ِ ِ
َّ ‫الزَّ َكا َة إِ ًَّل ُمن ُعوا ا ْل َق ْط َر م َن‬
َ ‫ َو َأ َخ ُذوا َب ْع َض َما َك‬،‫ري ِه ْم‬
‫ان‬ ِ ْ َ‫اهللِ َو َع ْهدَ رسولِ ِه إِ ًَّل ُس ِّل َط َع َل ْي ِه ْم َعدُ هو ُه ْم ِم ْن غ‬
ِ ‫حي ُك ْم َأئِ َّم ُت ُه ْم بِكِ َت‬
.‫اب اهللِ إِ ًَّل َأ ْل َقى اهللُ َب ْأ َس ُه ْم َبيْنَ ُه ْم» احلديث‬ ِ
ْ َ ْ ‫ َو َما ل‬،‫ِِف َأ ْيد ُّْيِ ْم‬

“Wahai orang-orang Muhajirin, ada lima perkara yang jika


kalian diuji dengannya dan turun di antara kalian, aku
berlindung pada Allah untuk kalian menjumpai lima perkara
itu: tidaklah kekejian itu nampak di suatu kaum sama sekali
hingga mereka mengerjakannya kecuali akan nampak pada
mereka wabah Tho’un dan penyakit-penyakit yang belum
datang pada para pendahulu mereka. Dan tidaklah mereka
mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka akan
dihukum dengan tahun-tahun paceklik, kerasnya
tanggungan, dan kezhaliman penguasa. Dan tidaklah
mereka menahan zakat kecuali mereka akan terhalangi dari
hujan. Seandainya bukan karena binatang-binatang ternak,
niscaya mereka tak akan diberi hujan. Dan tidaklah mereka
membatalkan perjanjian dengan Allah dan perjanjian
dengan Rasul-Nya kecuali akan dikuasakan pada mereka
musuh mereka dari luar kalangan mereka, musuh tadi akan
mengambil sebagian kekuasaan yang dulu ada di tangan
mereka. Dan tidaklah para pemimpin mereka itu tidak
berhukum dengan Kitabullah kecuali Allah akan menjadikan
keganasan mereka terjadi di antara mereka sendiri.” Al
hadits. (HR. Al Hakim dalam “Al Mustadrak “8688) dan yang
73

lainnya. Al Imam Al Albaniy ‫ رحمه هللا‬berkata dalam “Ash


shahihah” (1384): “Maka hadits ini hasan dengan kumpulan
jalan-jalannya.” Dan dihasankan juga oleh Al Imam Al Wadi’iy
‫ رحمه هللا‬dalam “Al Jami’ush Shahih Fil Qadar” (hal. 431/cet.
Maktabah Shan’a Al Atsariyyah).

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan


renungkanlah hikmah Allah ta’ala di dalam menjadikan
musuh itu berkuasa terhadap para hamba (masyarakat)
manakala orang yang kuat di antara masyarakat itu sendiri
telah berbuat zhalim pada orang yang lemah di antara
mereka, dan tidak ditegakkannya keadilan pada orang yang
zhalim untuk orang yang dia zhalimi, bagaimana Allah
menguasakan pada mereka orang yang berbuat demikian
pada mereka; sebagaimana mereka berbuat pada rakyat
mereka dan orang-orang lemah di antara mereka, sama
persis. Dan ini adalah sunnah Allah ta’ala sejak adanya dunia
sampai bumi ini dilipat dan dikembalikan sebagaimana
permulaannya.

Dan renungkanlah hikmah Allah ta’ala di dalam


menjadikan para raja, pemerintah dan penguasa di kalangan
para hamba itu sesuai dengan jenis amalan para hamba
sendiri, bahkan seakan-akan amalan para hamba itu nampak
pada bentuk raja dan pemerintah mereka. Jika mereka
istiqomah; raja-raja mereka juga istiqomah, jika mereka adil;
raja mereka juga adil pada mereka, jika mereka curang; raja
dan pemerintah mereka juga curang, jika nampak pada
mereka makar dan tipu daya; maka pemerintah merekapun
demikian, dan jika mereka menghalangi hak-hak Allah yang
ada pada mereka, dan mereka pelit dengan hak tadi; raja dan
74

pemerintah mereka juga akan menghalangi hak para hamba


yang ada pada mereka, dan bersikap pelit pada mereka(4).

(4) Catatan kaki: dan hak Allah ta'ala yang tertinggi adalah:
mentauhidkan Allah dalam peribadatan. Sungguh kebanyakan
orang telah menyombongkan diri terhadap tauhid dan mereka
menyia-nyiakan hak-hak Allah. Manakala mereka menyia-
nyiakannya; hak merekapun disia-siakan.
Dari Mu’adz bin Jabal ‫ رض هللا عؤه‬yang berkata:

‫ َه ْل َتدْ ِري‬،‫ « َيا ُم َعا ُذ‬:‫ َف َق َال‬،‫ار ُي َق ُال َل ُه ُع َف ْ ٌْي‬ٍ ‫مح‬ َ ِ ‫ف النَّبِي ﷺ َع ََّل‬
َ ‫ُكنْ ُت ِر ْد‬
.‫ اهللُ َورسو ُله َأ ْع َل ُم‬:‫اد َع َل اهللِ؟» ُق ْل ُت‬ ِ ‫ وما ح هق ا ْل ِعب‬،‫اد ِه‬ ِ ‫ح َّق اهللِ ع َل ِعب‬
َ َ ََ َ َ َ
‫ َو َح َّق‬،‫ْش ُك ْوا بِ ِه َش ْيئ اا‬ ِ ‫ « َفإِ َّن ح َّق اهللِ ع َل ا ْل ِعب‬:‫َق َال‬
ِ ْ ‫ َأ ْن َي ْع ُبدُ ْو ُه َو ًَل ُي‬:‫اد‬ َ َ َ
َ ‫ َيا رس‬:‫ َف ُق ْل ُت‬.»‫ْش ُك بِ ِه َش ْيئا‬
،ِ‫ول اهلل‬ ِ ‫ا ْل ِعب‬
ِ ْ ‫ َأ ْن ًَل ُي َع ِّذ َب َم ْن ًَل ُي‬:َ‫اد َع َل اهلل‬ َ
.»‫ْش ُه ْم َف َيتَّكِ ُل ْوا‬ْ ِّ ‫ « ًُل ُت َب‬:‫اس؟ َق َال‬
ِ
َ َّ‫رش بِه الن‬ ُ ‫َأ َف َال ُأ َب‬

“Dulu saya pernah diboncengkan oleh Nabi ‫ ﷺ‬di atas seekor keledai
yang dipanggil dengan: ‘Ufair, lalu beliau bersabda: “Wahai
Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah terhadap para hamba-
Nya, dan apakah hak para hamba terhadap Allah?” Saya
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda:
“Maka sesungguhnya hak Allah terhadap para hamba adalah:
mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu
apapun dengan-Nya. Dan hak para hamba terhadap Allah adalah
Dia tidak menyiksa orang yang tidak menyekutukan sesuatu
apapun dengan-Nya.” Maka saya bertanya: “Wahai Rasulullah,
apakah boleh saya memberitakan kabar gembira ini pada orang-
75

Dan jika mereka mengambil dari orang-orang lemah


mereka sesuatu yang mereka tidak berhak mengambilnya di
dalam mu’amalah mereka; raja-raja merekapun akan
mengambil dari mereka sesuatu yang raja-raja itu tidak
berhak mengambilnya, dan membuat pajak-pajak dan tugas-
tugas. Dan setiap kali masyarakat mengeluarkan sesuatu dari
orang yang lemah; raja-raja mereka akan mengeluarkan dari
mereka secara paksa. Maka pemerintah mereka itu nampak
di dalam bentuk amalan-amalan mereka.

Dan bukanlah masuk ke dalam hikmah ilahiyyah untuk


Allah menguasakan orang-orang yang buruk dan jahat kecuali
terhadap orang-orang yang sejenis dengan mereka. Dan
manakala generasi pertama umat ini adalah generasi terbaik
dan paling berbakti; para pemerintah merekapun seperti itu.

orang?” Beliau bersabda: “Janganlah engkau sampaikan berita


gembira ini pada mereka karena mereka nanti akan bergantung
padanya.” (HR. Al Bukhoriy (2856) dan Muslim (30)).

Maka hadits ini menunjukkan bahwasanya bahwasanya


tauhidullah itu adalah sebab keselamatan, dan bahwasanya
kesyirikan pada Allah adalah sebab dari siksaan, dan hal itu umum
mencakup siksaan di dunia dan siksaan di Akhirat.
Ingatlah apa yang terjadi pada kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan
umat-umat musyrikin yang lain, manakala mereka menentang
dakwah tauhid yang disampaikan oleh para Rasul mereka.

ِ ‫﴿ك ٌُّل ك ََّذب الرس َل َفح َّق و ِع‬


.]43 :‫يد﴾ [ق‬ َ َ ُ ‫َ ه‬

“Mereka semua mendustakan para Rasul, sehingga mereka


berhak terkena ancaman-Ku”.
76

Manakala umat ini membuat percampuran (baik dan buruk);


pemerintah mereka juga membuat percampuran terhadap
mereka. Maka hikmah Allah enggan untuk menguasakan pada
kita di zaman-zaman semacam ini semisal Mu’awiyah dan
Umar bin Abdil ‘Aziz; lebih-lebih lagi yang semisal Abu Bakr
dan Umar. Bahkan pemerintah kita adalah berdasarkan kadar
kondisi kita, sebagaimana pemerintah masyarakat sebelum
kita adalah berdasarkan kadar kondisi masyarakat mereka. Itu
semua adalah keharusan dan tuntutan dari hikmah.”

(Selesai dari “Miftah Daris Sa’adah”/Ibnul Qayyim/hal. 253-


254).

Berapa banyak orang yang meremehkan shalat dan


menyia-nyiakannya, dan mereka menampakkan penyelisihan
terhadap Allah dan Rosul-Nya ‫ ﷺ‬, sehingga Allah membalas
mereka sesuai dengan jenis amalan mereka, maka musuh-
musuh mereka menyerang mereka dan menghinakan
mereka. Dari Jubair bin Nufair ‫ رحمه هللا‬yang berkata:

‫ َر َأ ْي ُت َأ َبا الدَّ ْر َد ِاء‬،‫ض‬


ٍ ‫ َف َب َكى َب ْع ُض ُه ْم إِ َل َب ْع‬،‫ني َأ ْهلِ َها‬
َ ْ ‫ َو ُفر َق َب‬،‫ب ٌس‬ ِ
ُ ْ ‫َمل َّا ُفت َح ْت ُق‬
‫ َما ُي ْبكِ ْي َك ِِف َي ْو ٍم َأ َع َّز اهللُ فِ ْي ِه‬،‫ َيا َأ َبا الدَّ ْر َد ِاء‬:‫ َف ُق ْل ُت‬.‫َجال ِسا َو ْحدَ ُه َي ْبكِي‬
‫ال ْل َق َع ََّل اهللِ إِ َذا ُه ْم َت َر ُك ْوا‬
َ ْ ‫ َما َأ ْه َو َن‬،‫ي َك َيا ُج َب ْ ُْي‬ ِْ
َ ْ ‫ َو‬:‫ال ْس َال َم َو َأ ْه َل ُه؟ َق َال‬
‫ َف َص ُاروا‬،‫ َت َر َك ْوا َأ ْم َر اهللِ عز وجل‬،‫ َهل ُ ُم ْا ُمل ْل ُك‬،‫اه َر ٌة‬ ِ ‫اهر ٌة َظ‬
ِ ِ
َ ‫ َب ْينَا ه َي ُأ َّم ٌة َق‬.‫َأ ْم َر ُه‬
.‫إِ َل َما َت َرى‬

“Ketika Ciprus ditaklukkan (oleh Muslimin), penduduknya


dipisah-pisah, satu sama lain saling menangis, aku melihat
77

Abud Darda duduk sendirian sambil menangis. Maka aku


berkata: “Wahai Abud Darda, apa yang membikin Anda
menangis pada hari Allah memuliakan Islam dan Muslimin?”
beliau menjawab: “Semoga Allah mengasihanimu, wahai
Jubair. Alangkah hinanya makhluk di pandangan Allah jika
mereka meninggalkan perintah-Nya. Ketika penduduk Ciprus
ini adalah suatu umat yang kuat dan unggul, mereka memiliki
kekuasaan, mereka meninggalkan perintah Allah ‫ عمممز وجممممل‬,
maka jadilah mereka seperti apa yang engkau lihat.” (“Az
Zuhd” karya Al Imam Ahmad/hal. 142/ sanadnya shahih).

Allah ta’ala setelah menyebutkan kisah kekalahan


Yahudi Bani Nazhir berfirman:

ِ ‫ول ْاْلَ ْب َص‬


ِ ‫َِبوا َيا ُأ‬
.]1 :‫ار﴾ [اِلْش‬ ُ ِ ‫اعت‬
ْ ‫﴿ َف‬

“Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang punya


mata hati.”

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬berkata: “Yaitu: berpikirlah


kalian tentang akibat orang yang menyelisihi perintah Allah
dan menyelisihi Rasul-Nya, mendustakan Kitab-Nya,
bagaimana menimpa dirinya sebagian dari hukuman Allah
yang menghinakan untuknya di dunia, disertai dengan siksaan
yang pedih yang Allah simpan untuknya di Akhirat.” (“Tafsirul
Qur’anil ‘Azhim”/8/hal. 57).

Keenam: Merealisasikan ketakwaan pada Allah


Kuncinya juga adalah: bertakwa pada Allah:
menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Sebenarnya ini
sangat terkait dengan sebab-sebab yang sebelumnya, namun
disendirikan sangat penting. Allah ta’ala berfirman:
78

‫ض ك َََم‬ ِ ‫ات َل َي ْستَخْ لِ َفن َُّه ْم ِِف ْاْلَ ْر‬


ِ ‫اِل‬ َِ ‫﴿وعدَ اهلل ا َّل ِذين آمنُوا ِمنْكُم وع ِم ُلوا الص‬
َّ َ َ ْ َ َ َ َ
‫ين ِم ْن َقبْلِ ِه ْم َو َليُ َم ِّكن ََّن ََُل ْم ِدين َُه ُم ا َّل ِذي ْارت ََض ََُل ْم َو َل ُي َبدِّ َلن َُّه ْم‬ ِ َ ‫استَخْ َل‬
َ ‫ف ا َّلذ‬ ْ
َ ِ‫ك َف ُأو َلئ‬
‫ك‬ َ ِ‫ُون ِّب َش ْيئاا َو َم ْن َك َف َر َب ْعدَ َذل‬ ِ ْ ‫ِم ْن َب ْع ِد َخ ْوفِ ِه ْم َأ ْمناا َي ْع ُبدُ ونَنِي ًَل ُي‬
َ ‫ْشك‬
.]99 :‫ون﴾ [النور‬ َ ‫اس ُق‬ ِ ‫هم ا ْل َف‬
ُ ُ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman


di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-
Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan
Aku, dan barangsiapa mengingkari setelah itu maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka


janji ini sesuai untuk setiap orang yang memiliki sifat tadi.
Orang-orang setelah mereka juga memiliki sifat tadi sesuai
dengan kadar iman dan amal shalih mereka. Maka
barangsiapa lebih sempurna keimanannya dan amal
shalihnya; kekuasaan untuknya lebih sempurna. Jika iman dan
amal shalihnya kurang dan cacat; kekuasaannya cacat dan
kurang. Yang demikian itu adalah karena kekuasaan tadi
adalah ganjaran untuk amalan yang itu. Barangsiapa
menegakkan amalan tadi, dia berhak mendapatkan ganjaran
79

tersebut. Akan tetapi tidak tersisa generasi seperti generasi


pertama, maka pastilah tidak tersisa generasi yang
kekuasaannya seperti kekuasaan generasi pertama.

Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

.‫س َق ْر ِن ُث َّم ا َّل ِذ ْي َن َي ُل ْو َْنُ ْم ُث َّم ا َّل ِذ ْي َن َي ُل ْو َْنُ ْم» اِلديث‬


ِ ‫« َخ ْ ُري النَّا‬

"Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian


generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi
yang datang setelah mereka." [HR. Al Bukhariy (2652) dan
Muslim (2533) dari Abdullah bin Mas'ud ‫]رض هللا عؤه‬.

Akan tetapi boleh jadi kekuasaan didapatkan oleh


sebagian penduduk suatu masa, sebagaimana didapatkan
oleh sebagian Muslimin di beberapa sisi, sebagaimana telah
diketahui di setiap zaman”.

(Selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/18/hal. 302-303).

Al Imam Ibnu Baz ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka Allah ‫سبح ؤه‬


berjanji pada para hamba-Nya yang diutus, dan tentara-Nya
kaum Mukminin bahwasanya mereka akan mendapatkan
pertolongan dan kemenangan serta kekuasaan di bumi, dan
keleluasaan untuk agama mereka, dan Allah jujur di dalam
janji-Nya. Itu adalah janji Allah. Allah tidak akan menyelisihi
janji-Nya.

Hanya saja terkadang janji tadi tertinggal disebabkan


karena kekurangan yang dilakukan oleh kaum Muslimin
sendiri, karena mereka tidak menjalankan apa yang Allah
wajibkan kepada mereka, berupa iman kepada Allah dan
80

menolong agama-Nya, sebagaimana itulah kenyataannya.


Maka dosa yang ada adalah dosa kita, bukan dosa Islam.
Musibah yang terjadi adalah disebabkan karena perbuatan
kita sendiri, berupa kesalahan-kesalahan kita, sebagaimana
firman Allah ta'ala:

:‫ت َأ ْي ِد ْي ُك ْم َو َي ْع ُفو َع ْن َكثِ ْ ٍري﴾ ]الشورى‬


ْ ‫﴿و َما َأ َصا َب ُك ْم ِم ْن ُم ِص ْي َب ٍة َفبِ ََم َك َس َب‬
َ
.[41

"Apapun musibah yang menimpa kalian maka itu adalah


disebabkan oleh ulah tangan kalian, dan Allah memaafkan
kesalahan yang banyak dari kalian."
(“Fatawa Ibnu Baz”/1/hal. 308).

Al Imam Ibnu Utsaimin ‫ رحمه هللا‬berkata:


“Sesungguhnya tidaklah tersamarkan kondisi umat Islam ini
manakala mereka berpegang teguh dengan agama mereka,
mereka berkumpul di atasnya, mengagungkan pemerintah
mereka, mematuhi mereka dalam perkara yang ma’ruf,
merekapun memiliki kepemimpinan dan kemenangan di
bumi, sebagaimana firman Allah ta’ala –lalu beliau
membacakan ayat An Nur: (55) tadi, lalu berkata:-

Dan Allah ta’ala berfirman:

ِ ‫َّاه ْم ِِف ْاْلَ ْر‬ ِ


‫ض‬ ُ ‫ين إِ ْن َم َّكن‬
َ ‫ي َع ِزيزٌ * ا َّلذ‬ٌّ ‫ْر ُه إِ َّن اهلل َل َق ِو‬
ُ ُ ‫ْر َّن اهلل َم ْن َين‬ َ ُ ‫﴿ َو َل َين‬
‫وف َو َْنَ ْوا َع ِن ا ُْْلنْك َِر َوهللِ َعاقِ َب ُة‬
ِ ‫َأ َقاموا الص َل َة وآتَوا الزَّ كَا َة و َأمروا بِا َْْلعر‬
ُْ َُ َ ُ َ َّ ُ
.[34-31 :‫ ]سورة احلج‬.﴾‫ور‬ ِ ‫ْاْلُ ُم‬
81

"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong


(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat
lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma´ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan”.

Manakala umat Islam membuat banyak perkara baru,


memecah-belah agama mereka, membangkang terhadap
para pemimpin mereka, memberontak terhadap mereka dan
berkelompok-kelompok; dicabutlah rasa segan dari hati-hati
para musuh mereka, umat Islam saling bertengkar hingga
ketakutan sendiri, hilanglah kekuatan mereka, dan umat-
umat yang lain saling memanggil untuk menyerang mereka
dan jadilah mereka bagaikan buih di lautan”.

(Selesai dari “Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibni Utsaimin”


/51/hal. 13).

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata tentang hikmah


perang Uhud: “Di antaranya adalah: Allah memperkenalkan
pada mereka akibat kemaksiatan, ketakutan dan
persengketaan, dan bahwasanya yang menimpa mereka itu
adalah pengaruh buruk dari perkara tadi, sebagaimana Allah
‫ سبح ؤه وتع لى‬berfirman:

‫وْنُ ْم بِإِ ْذنِ ِه َحتَّى إِ َذا َف ِش ْلت ُْم َو َتنَازَ ْعت ُْم ِِف ْاْلَ ْم ِر‬
َ ‫﴿و َل َقدْ َصدَ َقك ُُم اهلل َو ْعدَ ُه إِ ْذ َ َُت هس‬
َ
ُ‫ون ِمنْك ُْم َم ْن ُي ِريدُ الده ْن َيا َو ِمنْك ُْم َم ْن ُي ِريد‬ ِ ُ ‫وعصيتُم ِمن بع ِد ما َأراكُم ما‬
َ ‫َت هب‬ َ ْ َ َ َْ ْ ْ ْ َ َ َ
.]111 :‫ْاْل ِخ َر َة ثم رصفكم عنهم ليبتليكم ولقد عفا عنكم﴾ [آل عمران‬
82

"Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada


kalian, ketika kalian membunuh mereka dengan izin-Nya
sampai pada saat kalian lemah dan berselisih dalam urusan
itu dan mendurhakai perintah (Rosul) sesudah Allah
memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai. Di
antara kalian ada orang yang menghendaki dunia dan di
antara kalian ada orang yang menghendaki akhirat. Lalu
Allah memalingkan kalian dari mereka untuk menguji
kalian, dan sungguh Allah telah memaafkan kalian."

Manakala mereka telah merasakan akibat


kedurhakaan mereka pada Rasul, akibat persengketaan
mereka dan kelemahan mereka, mereka setelah itu menjadi
paling waspada, paling sadar dan paling berjaga-jaga dari
sebab-sebab ketelantaran.”
(Selesai dari “Zadul Ma’ad”/3/hal. 196).

Ketujuh: Kembali pada manhaj Salaf


Kunci yang sangat penting juga adalah: Kembali
kepada manhaj Salaf. Dari Abu Sa'id Al Khudriy ‫رض هللا عؤه‬
yang berkata: Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

‫َتدُ ْو َن فِ ْي ُك ْم‬ ُ ‫ث ِمنْ ُه ُم ا ْلبَ ْع‬


ِ َ ‫ ا ْن ُظ ُر ْوا َه ْل‬:‫ث َف َي ُق ْو ُل ْو َن‬ ُ ‫ان ُي ْب َع‬ ِ ‫« َي ْأ ِت َع َل ا َّلنا‬
ٌ ‫س زَ َم‬
‫ث‬ ُ ‫ ُث َّم ُي ْب َع‬.‫ َف ُي ْف َت ُح ََُل ْم بِ ِه‬،‫الر ُج ُل‬
َّ ُ‫؟ َف ُي ْو َجد‬-‫ﷺ‬- ‫اب النَّبِ ِّي‬ ِ ‫َأ َحد اا ِم ْن َأ ْص َح‬
ِ
‫؟ َف ُي ْف َت ُح ََُل ْم‬-‫ﷺ‬- ‫اب النَّبِ ِّي‬ َ ‫ َه ْل ف ْي ِه ْم َم ْن َر َأى َأ ْص َح‬:‫ث ال َّث ِان َف َي ُق ْو ُل ْو َن‬ ُ ‫ا ْل َب ْع‬
‫ ا ْن ُظ ُر ْوا َه ْل َت َر ْو َن فِ ْي ِه ْم َم ْن َر َأى َم ْن َر َأى‬:‫ث َف ُي َق ُال‬ُ ِ‫ث ال َّثال‬ ُ ‫ ُث َّم ُي ْب َع‬.‫بِ ِه‬
ُ ‫ث ا ْل َب ْع‬
‫ ا ْن ُظ ُر ْوا َه ْل َت َر ْو َن فِ ْي ِه ْم‬:‫الرابِ ُع َف ُي َق ُال‬
َّ ‫ث‬ َ ‫َأ ْص َح‬
ُ ‫؟ ُث َّم َي ُك ْو ُن ا ْل َب ْع‬-‫ﷺ‬- ‫اب النَّبِ ِّي‬
83

َ ‫َأ َحد اا َر َأى َم ْن َر َأى َأ َحد اا َر َأى َأ ْص َح‬


َّ ُ‫؟ َف ُي ْو َجد‬-‫ﷺ‬- ‫اب النَّبِ ِّي‬
‫الر ُج ُل َف ُي ْف َت ُح‬
.» ‫ََُل ْم بِ ِه‬

"Akan datang pada manusia suatu zaman di mana diutuslah


dari mereka suatu utusan, lalu mereka berkata: "Lihatlah
apakah kalian mendapatkan di antara kalian satu orang
dari shahabat Nabi ‫ ?ﷺ‬Maka didapatkanlah orang itu, maka
merekapun mendapatkan kemenangan dengannya.
Kemudian diutuslah utusan kedua, lalu mereka berkata:
"Apakah di antara mereka ada orang yang melihat
shahabat Nabi ‫ ?ﷺ‬Maka didapatkanlah orang itu, maka
merekapun mendapatkan kemenangan dengannya. Lalu
diutuslah utusan ketiga, lalu mereka berkata: "Lihatlah
apakah kalian melihat di antara mereka ada orang yang
melihat orang yang melihat shahabat Nabi ‫ ?ﷺ‬Maka
didapatkanlah orang itu, maka merekapun mendapatkan
kemenangan dengannya. Lalu diutuslah utusan keempat,
lalu mereka berkata: "Lihatlah apakah kalian melihat di
antara mereka ada satu orang yang melihat orang yang
melihat orang yang melihat satu orang dari shahabat Nabi
‫ ?ﷺ‬Maka didapatkanlah orang itu, maka merekapun
mendapatkan kemenangan dengannya." (HR. Muslim
(2532)).

Al Imam Ibnu Katsir ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan dulu para


Sahabat ‫ رض هللا عؤهم‬di dalam bab keberanian, menjalankan
perintah Allah, melaksanakan bimbingan-Nya kepada
mereka; mereka memiliki kualitas yang tidak dimiliki oleh
seorangpun dari umat-umat dan generasi-generasi yang
sebelum mereka. Dan tidak akan dimiliki oleh seorangpun
84

setelah mereka; karena para Sahabat itu dengan keberkahan


Rasul ‫ صهللاواس هللا وسالمه عهللا ه‬dan ketaatan mereka kepada beliau
di dalam perintah-perintah yang beliau berikan kepada
mereka; mereka berhasil membuka hati-hati dan wilayah-
wilayah di timur dan barat dalam selang waktu yang singkat,
padahal jumlah mereka itu sedikit dibandingkan dengan
pasukan-pasukan seluruh wilayah tadi, dari kalangan
Romawi, Persia, Turki, Shaqlab (penduduk wilayah dataran
tinggi Romawi, atau wilayah antara Bulgaria dan
Kostantinopel –pen), Barbar (penduduk pedalaman Aljazair –
pen), Ethiopia, berbagai jenis Sudan, Mesir, dan berbagai
kelompok keturunan Adam. Para Sahabat menundukkan
mereka semua sehingga meninggilah kalimat Allah, dan
menanglah agama-Nya di atas agama-agama yang lain, dan
membentanglah taklukan-taklukan Islam di sepanjang timur
dan barat bumi, dalam masa kurang dari tiga puluh tahun.
Maka semoga Allah meridhai mereka dan menjadikan mereka
semua meridhai pahala Allah, dan semoga Allah
mengumpulkan kita di dalam rombongan mereka, karena
sungguh Allah Maha Dermawan lagi Maha Memberi”. (Selesai
dari “Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 72).

Fadhilatusy Syaikh Ahmad An Najmiy ‫ رحمه هللا‬berkata:


“Dan demi Allah, tak akan kembali kepada muslimin
pertolongan untuk mereka dan kemuliaan mereka, kecuali
jika mereka kembali kepada mata air yang bersih dan sumber
air yang segar serta salsabil yang melimpah, yaitu Kitabullah
yang terang dan tali-Nya yang kokoh serta jalan-Nya yang
lurus, kemudian As Sunnah, atsar dan jalan Salaf yang terbaik
dari kalangan Shahabat Nabi ‫ ﷺ‬dan orang yang mengikuti
mereka di atas petunjuk di zaman-zaman yang telah lalu dan
85

sekarang, dari seluruh penjuru. Dan inilah yang Allah ‫عز وجل‬
perintahkan yang mana Dia berfirman:

ُ‫الر ُسْ ْو ُل َفخُ ُذ ْو ُه َو َما َْنَا ُك ْم َعنْ ُه َفا ْن َت ُه ْوا َوا َّت ُقوا اهللَ إِ َّن اهللَ َشْ ِد ْيد‬
َّ ‫﴿و َما آ َتا ُك ُم‬
َ
.﴾‫اب‬ ِ ‫ا ْل ِع َق‬

“Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul maka ambillah dia,
dan apa yang dilarangnya maka berhentilah darinya. Dan
bertaqwalah pada Allah, sesungguhnya Allah itu keras
siksaan-Nya”.

(“Al Mauridul ‘Adzbiz Zulal”/hal. 291).

Kedelapan: Aktif menolong agama Allah


Termasuk kunci kemenangan adalah: akitif menolong
agama Allah. Allah ta’ala berfirman:

ِ ‫َّاه ْم ِِف ْاْلَ ْر‬ ِ


‫ض‬ ُ ‫ين إِ ْن َم َّكن‬
َ ‫ي َع ِزيزٌ * ا َّلذ‬ٌّ ‫ْر ُه إِ َّن اهلل َل َق ِو‬
ُ ُ ‫ْر َّن اهلل َم ْن َين‬ َ ُ ‫﴿ َو َل َين‬
‫وف َو َْنَ ْوا َع ِن ا ُْْلنْ َك ِر َوهللِ َعاقِ َب ُة‬
ِ ‫َأ َقاموا الص َل َة وآتَوا الزَّ كَا َة و َأمروا بِا َْْلعر‬
ُْ َُ َ ُ َ َّ ُ
.[34-31 :‫ ]سورة احلج‬.﴾‫ور‬ ِ ‫ْاْلُ ُم‬

"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong


(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat
lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma´ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan”.
86

Al Imam Asy Syinqithiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Di dalam ayat


yang mulia ini Allah ‫ جل وعال‬menerangkan bahwasanya Dia
bersumpah: pasti benar-benar akan menolong orang yang
menolong-Nya. Dan telah diketahui bahwasanya cara
menolong Allah hanya dengan mengikuti apa yang Dia
syariatkan; dengan menjalankan perintah-perintah-Nya,
menjauhi larangan-larangan-Nya, menolong para Rasul-Nya
dan para pengikut mereka, juga dengan menolong agama-
Nya serta memerangi musuh-musuh-Nya dan menundukkan
mereka hingga jadilah kalimat Allah ‫ جل وعال‬itu yang tertinggi,
dan kalimat musuh-musuh-Nya itu yang terrendah.

Kemudian sungguh Allah ‫ جل وعال‬menerangkan sifat-


sifat orang yang Dia janjikan pertolongan untuk mereka; agar
Dia memisahkan mereka dari yang lainnya. Allah berfirman
menerangkan orang yang Dia bersumpah untuk menolongnya
karena dia menolong Allah ‫عز وجل‬: “(yaitu) orang-orang yang
jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi
niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar”.

Dan yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia ini adalah:


bahwasanya orang yang menolong Allah; Allah akan
menolongnya, telah datang firman yang menjelaskan itu di
lebih dari satu tempat, seperti firman Allah ta’ala:

‫ت َأ ْقدَ َامك ُْم والذين َك َف ُرو ْا‬


ْ ‫نرك ُْم َو ُي َث ِّب‬ ُ ُ ‫﴿ياأُّيا الذين آمنوا إِن ت‬
ْ ُ ‫َنرو ْا اهلل َي‬
.] 1-0 : ‫َف َت ْعس اا ََُّل ْم َو َأ َض َّل َأ ْع ََم ََُل ْم﴾ [ ممد‬
87

“Hai orang-orang mukmin, jika kalian menolong (agama)


Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan
kedudukan kalian. Dan orang-orang yang kafir, maka
kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-
amal mereka”.

Allah ta’ala berfirman:

‫ون * َوإِ َّن ُجنْدَ نَا‬ ِ ِ ِِ ِ ْ ‫﴿و َل َقدْ سب َق‬


ُ ‫ني * إِ َّْن ُ ْم ََُل ُم ا َْْلن ُْص‬
َ ‫ور‬ َ ‫ت كَل َم ُتنَا لع َبادنَا ا ُْْل ْر َسل‬ َ َ َ
.]414-414/‫ََُل ُم الْغَالِ ُبون﴾ [الصافات‬

“Dan sungguh telah lewat kalimat Kami untuk para hamba


Kami dari kalangan para Rasul, sesungguhnya mereka
itulah yang tertolong, dan sesungguhnya tentara Kami
itulah yang akan menang”.

Allah ta’ala berfirman:

.] 11 : ‫َب اهلل ْلَغْلِ َب َّن َأ َن ْا ورسيل﴾ [ اْلجادلة‬


َ ‫﴿ َكت‬

“Allah telah menetapkan: pastilah Aku dan para Rasul-Ku


yang akan menang”.

Dan firman Allah ta’ala:

ِ ‫ات َل َي ْستَخْ لِ َفن َُّه ْم ِِف ْاْلَ ْر‬


﴾‫ض‬ ِ ‫اِل‬
َِ ‫﴿وعدَ اهلل ا َّل ِذين آمنُوا ِمنْكُم وع ِم ُلوا الص‬
َّ َ َ ْ َ َ َ َ
.]99 :‫[النور‬

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman


di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh
88

bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka


berkuasa di muka bumi”.

Hingga akhir ayat. Dan ayat-ayat yang lain. Dan di


dalam firman Allah ta’ala “(yaitu) orang-orang yang jika
Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” ada dalil
bahwasanya Allah tidak menjanjikan pertolongan kecuali
disertai dengan orang itu mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar. Maka orang-orang yang
kedudukannya diteguhkan di bumi dan diberi kalimat yang
ditaati dan kekuasaan di dalamnya namun bersamaan dengan
itu mereka tidak mendirikan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar; maka Allah tidak menjanjikan untuk mereka
pertolongan, karena mereka bukanlah dari golongan Allah
dan bukan pula dari wali Allah yang mana Allah menjanjikan
pertolongan untuk para wali-Nya, bahkan mereka tadi adalah
golongan setan dan wali-wali setan. Maka jika mereka
meminta pertolongan berdasarkan janji Allah pada mereka;
permisalan mereka mereka adalah bagaikan pekerja yang
tidak mau bekerja berdasarkan akad pekerjaan mereka,
namun mereka meminta upah. Dan orang yang seperti ini
keadaannya adalah orang yang tidak berakal.

Dan Firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya Allah benar-


benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”, Yang Maha Perkasa
adalah Yang Maha Mengalahkan, yang mana tiada
sesuatupun yang mampu untuk mengalahkan Dia,
sebagaimana yang telah kami sebutkan berulang-ulang.
89

Dan ayat-ayat ini menunjukkan kepada sahnya


kekhilafahan para Khulafaur Rasyidin, karena Allah menolong
mereka untuk mengalahkan para musuh mereka, disebabkan
karena mereka itu menolong Allah dengan mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah
dari perbuatan yang mungkar. Dan Allah telah meneguhkan
kekuasaan mereka, menjadikan mereka sebagai khalifah di
bumi, sebagaimana dalam firman Allah:

ِ ‫ات َل َي ْستَخْ لِ َفن َُّه ْم ِِف ْاْلَ ْر‬


﴾‫ض‬ ِ ‫اِل‬
َِ ‫﴿وعدَ اهلل ا َّل ِذين آمنُوا ِمنْكُم وع ِم ُلوا الص‬
َّ َ َ ْ َ َ َ َ
.‫ اآلية‬.]99 :‫[النور‬

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman


di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di muka bumi”. Hingga akhir ayat.

Dan yang benar adalah: bahwasanya ayat-ayat


tersebut mencakup para Sahabat Rasulullah ‫ ﷺ‬dan orang
yang menegakkan pertolongan kepada agama Allah dalam
bentuk yang paling sempurna. Ilmunya di sisi Allah ta’ala”.

(Selesai penukilan dari “Adhwaul Bayan”/5/hal. 272).

Kesembilan: Mengokohkan ketawakkalan kepada


Allah
Kunci kemenangan juga adalah: realisasi
ketawakkalan kepada Allah. Di dalam firman Allah ta’ala:
90

‫اخ َش ْو ُه ْم َفزَ ا َد ُه ْم إِ َيَمناا‬ ِ


ْ ‫ج ُعوا لَك ُْم َف‬ َ َ ْ‫َّاس َقد‬ َ ‫َّاس إِ َّن الن‬ُ ‫ين َق َال ََُل ُم الن‬ َ ‫﴿ا َّلذ‬
‫يل * َفا ْن َق َل ُبوا بِن ِ ْع َم ٍة ِم َن اهلل َو َف ْض ٍل َل ْ َي ْم َس ْس ُه ْم‬
ُ ِ‫َو َقا ُلوا َح ْس ُبنَا اهلل َونِ ْع َم ا ْل َوك‬
ُ‫ي ِّوف‬ ُ ‫الش ْي َط‬
َ ُ ‫ان‬ َّ ‫ان اهلل َواهلل ُذو َف ْض ٍل َعظِي ٍم * إِن َََّم َذلِك ُُم‬ َ ‫وء َوا َّت َب ُعوا ِر ْض َو‬ٌ ‫ُس‬
ِِ ِ ‫وه ْم َو َخا ُف‬ ِ
َ ‫ون إِ ْن ُكنْت ُْم ُم ْؤمن‬
.]101 ،101 :‫ني ﴾ [آل عمران‬ َ ‫َأ ْول َي‬
ُ ‫اء ُه َف َل َََا ُف‬

“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang


mana ada orang-orang yang mengatakan kepada mereka:
"Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan
untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada
mereka", Maka perkataan itu menambah keimanan mereka
dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong
kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung". Maka
mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar)
dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa,
mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar. Sesungguhnya mereka itu tidak lain
hanyalah setan yang menakut-nakuti (kalian) dengan
kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena
itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman”.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Sesungguhnya


Ibrahim Al Khalil, manakala beliau telah mengerjakan sebab-
sebab yang diperintahkan, padahal beliau mampu untuk
meninggalkan sebab-sebab tadi atau sebagiannya, lalu beliau
dikalahkan oleh musuh beliau, dan mereka melemparkan
beliau ke dalam api; dalam suasana itu beliau berkata:
91

ُ ِ‫« َح ْسبِ َي اهللُ َونِ ْع َم ا ْل َوك‬


.»‫يل‬

“Cukuplah Allah bagiku, dan Dialah sebaik-baik Pelindung”,

Maka kalimat tadi menempati tempat yang tepat


untuknya, menetap pada posisi yang sesuai untuknya, lalu dia
memberikan pengaruhnya, dan dihasilkanlah buah yang
dituntutnya.

Demikian pula Rasulullah ‫ ﷺ‬dan para Sahabat beliau


pada hari-hari Uhud, manakala mereka telah pergi dari Uhud
(menuju daerah Hamraul Asad –pen) dikatakan kepada
mereka (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang telah
berkumpul untuk menyerang kalian, maka takutlah kalian
pada mereka”. Maka merekapun bersiap-siap dan keluar
untuk menyongsong musuh mereka dan memberikan
kesungguhan hati untuk mereka, lalu mereka berkata:
“Cukuplah Allah bagi kami, dan Dialah sebaik-baik
Pelindung”, maka kalimat tadi memberikan pengaruhnya,
dan menghasilkan buah yang dituntutnya. Oleh karena itulah
maka Allah ta’ala berfirman:
ِ َ ‫ث ًَل‬
ُ ‫َم َر اجا * َو َي ْرزُ ْق ُه ِم ْن َح ْي‬
‫ب * َو َم ْن َي َت َوك َّْل‬
ُ ‫حيتَس‬
ْ ْ َ ‫﴿و َم ْن َيت َِّق اهلل‬
ْ َ ‫َي َع ْل َل ُه‬ َ
.]4 ،1 :‫َع َل اهلل َف ُه َو َح ْس ُب ُه ﴾ [الطالق‬

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-


sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah niscaya Allah Yang akan mencukupi dirinya”.
92

Maka Allah menjadikan ketawakkalan setelah


ketakwaan yang maka takwa adalah menjalankan sebab-
sebab yang diperintahkan. Maka ketika itulah jika dia
bertawakkal pada Allah; maka Allah akan mencukupi dirinya“.
(“Zadul Ma’ad”/Ibnul Qayyim/2/hal. 325).

Kesepuluh: Mengikuti bimbingan para ulama


Ahlussunnah Wal Jama’ah
Kunci kemenangan juga adalah: siap untuk dibimbing
oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, Rasikhin fil ilm
(mendalam ilmunya), bukan para tokoh partai pencari
kekuasaan ataupun para tokoh pergerakan pemberontakan.

Merujuk kepada para ulama di dalam perkara yang


rumit bagi umat ini adalah wajib. Allah ta’ala:

.[34 :‫ون﴾ ]النحل‬ ِّ ‫اس َأ ُلوا َأ ْه َل‬


َ ‫الذك ِْر إِ ْن ُك ْنت ُْم ًل َت ْع َل ُم‬ ْ ‫﴿ َف‬

"Maka bertanyalah kalian pada para ahli Qur’an jika kalian


tidak mengetahui".

Para ulama itulah yang memahami dalil-dalil


sebagaimana mestinya, dan meletakkannya pada waktu dan
tempat yang sesuai. Allah ta’ala berfirman:

َ ِ ‫اْل‬
.]34 :‫ون﴾ [العنكبوت‬ ُ ‫س َو َما َي ْع ِق ُل َها إِ ًَّل ا ْل َع‬
ِ ‫َْض ُ َبا لِلنَّا‬ َ ‫﴿وتِ ْل‬
ِ ْ ‫ك ْاْلَ ْم َث ُال ن‬ َ

"Dan permisalan itu Kami buatkan untuk manusia, dan


tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang alim."
93

Para ulama itulah yang mampu untuk menelusuri dalil


dan nash-nash, memahaminya dan mengambil faidah darinya
sebagaimana mestinya.

Al Maimuniy ‫ رحمه هللا‬berkata: Ahmad –Ibnu Hanbal


‫رحمه هللا‬- berkata kepadaku: “Wahai Abul Hasan, janganlah
engkau berbicara tentang suatu masalah yang engkau tidak
punya imam di situ.” (“Siyar A’lamin Nubala”/Adz
Dzahabiy/11/hal. 296).

Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabariy ‫ رحمه هللا‬berkata:


“Kemudian sesungguhnya setelah wafatnya Rasulullah ‫ﷺ‬
berlangsunglah di setiap zaman itu kejadian-kejadian, dan di
setiap masa itu ada peristiwa-peristiwa yang datang, di dalam
suasana itu orang yang jahil harus kembali kepada orang yang
alim, lalu orang yang alim menyingkapkan tabir kegelapan
yang menyelimuti orang jahil; dengan ilmu yang Allah
karuniakan padanya dan Allah lebihkan orang alim di atas
orang yang lainnya; boleh jadi dengan atsar dan boleh jadi
dengan penelitian”. (“Sharihus Sunnah”/Ath Thabariy/hal. 2).

Al Imam Al Barbahariy ‫رحمه هللا‬: “Maka perhatikanlah,


semoga Allah merahmatimu, setiap orang yang engkau
dengar perkataannya dari kalang orang di zamanmu secara
khusus, maka janganlah engkau tergesa-gesa mengikutinya,
dan janganlah engkau masuk sedikitpun ke dalam ucapan tadi
sampai engkau bertanya dan melihat: apakah ada satu orang
Shahabat Nabi ‫ ﷺ‬yang mengucapkannya? Atau satu orang
dari ulama? Jika engkau mendapatkan atsar tentang itu dari
mereka, maka peganglah dia dengan erat dan janganlah
engkau melampauinya karena suatu perkara, dan janganlah
engkau memilih yang lain sehingga engkau terjatuh ke dalam
94

Neraka.” (“Syarhus Sunnah”/Al Barbahariy/hal. 18/cet. Darul


Atsar).

Al Imam Muhammad bin Husain Al Ajurriy ‫رحمه هللا‬


berkata: “Barangsiapa punya ilmu dan akal lalu dia mampu
membedakan seluruh perkara yang aku sebutkan padanya
sejak dari awal kitab sampai ke permasalahan ini, dia akan
tahu bahwasanya dia sangat perlu untuk mengamalkannya.
Maka jika Allah menghendaki kebaikan untuknya, dia akan
menjadi setia pada sunnah-sunnah Rasulullah ‫ ﷺ‬dan manhaj
yang ada di atasnyalah para Shahabat ‫رض هللا عؤهم‬, dan orang
yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan pemimpin
Muslimin di setiap zaman, dan mempelajari ilmu untuk
dirinya sendiri demi menghilangkan kebodohan dari dirinya
sendiri, dan keinginannya adalah dia mempelajarinya itu
karena Allah ta’ala, dan bukanlah keinginan dia untuk belajar
tadi untuk berdebat, bertengkar dan bertikai, dan bukan pula
untuk dunia. Dan barangsiapa keinginannya adalah demikian,
dia akan selamat insya Allah ta’ala dari hawa nafsu,
kebid’ahan dan kesesatan, dan dia telah mengikuti manhaj
ulama yang terdahulu dari kalangan para pemimpin Muslimin
yang tidak asing nama-nama mereka.” (“Asy Syari’ah”/Al
Ajurriy/hal. 51/cet. Darul Hadits).

Ibnut Tin menukilkan dari Ad Dawudiy bahwasanya


beliau berkata tentang firman Allah ta’ala:

ِ َّ‫ني لِلن‬
.﴾‫اس َما ُنزِّ َل إِ َليْ ِه ْم‬ ِ ِّ ‫ك‬
َ ِّ ‫الذ ْك َر ل ُت َب‬ َ ْ‫﴿ َو َأ ْنزَ ْلنَا إِ َلي‬

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Adz Dzikr agar engkau


menerangkan pada manusia apa yang diturnkan kepada
mereka”.
95

Beliau berkata: “Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi


telah menurunkan banyak syariat secara global, lalu Nabi-Nya
menafsirkan apa yang diperlukan pada waktunya. Sedangkan
perkara yang tidak terjadi pada zaman beliau; tafsirnya diserahkan
kepada para ulama, berdasarkan firman Allah ta’ala:

.﴾‫ين َي ْس َتنْبِ ُطو َن ُه ِمن ُْه ْم‬ ِ ِ ِ


َ ‫ول ْاْلَ ْم ِر من ُْه ْم َل َعل َم ُه ا َّلذ‬ ِ ‫﴿ َو َل ْو ر هدو ُه إِ َل الرس‬
ِ ‫ول َوإِ َل ُأ‬ ُ َّ َ
.[84 :‫النساء‬
“Seandainya mereka mengembalikannya kepada Rasul atau
kepada ulil amr dari mereka, niscaya orang-orang yang ingin
mengambil pelajaran akan mengetahuinya dari mereka.”

(Selesai dari “Fathul Bari”/Ibnu Hajar/13/hal. 246).

Al Imam Al Albaniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Adapun pertanyaan


yang datang tentang: bagaimana agar seorang Muslim itu dapat
lepas dari tanggung jawab atau bagaimana cara memberikan andil
dalam merubah kenyataan yang menyedihkan tadi?

Maka kita jawab: setiap orang dari kaum Muslimin


punya peran dan tanggung jawab sesuai dengan kadarnya.
Orang alim di antara mereka punya kewajiban yang tidak
dipikul oleh yang bukan alim, sebagaimana yang aku sebutkan
dalam kesempatan seperti ini: bahwasanya Allah ‫ عز وجل‬telah
menyempurnakan kenikmatan dengan Kitab-Nya, dan
menjadikannya sebagai undang-undang untuk orang-orang
yang beriman pada-Nya. Dan di antaranya adalah firman Allah
ta’ala:
.[34 :‫ون﴾ ]النحل‬ ِّ ‫اس َأ ُلوا َأ ْه َل‬
َ ‫الذك ِْر إِ ْن ُكنْت ُْم ًل َت ْع َل ُم‬ ْ ‫﴿ َف‬
96

"Maka bertanyalah kalian pada para ahli Qur’an jika kalian


tidak mengetahui."
Maka Allah ‫ سبحانه وتعالى‬telah menjadikan masyarakat
Islamiy itu menjadi dua kelompok: orang alim dan orang tidak
alim. Dan Allah mewajibkan pada setiap orang dari mereka
apa yang tidak Dia wajibkan pada yang lainnya. Maka wajib
bagi orang-orang yang bukan ulama untuk bertanya pada ahli
ilmu, dan wajib bagi ulama untuk menjawab mereka sesuai
dengan apa yang mereka tanyakan. Maka kewajiban-
kewajiban –dari titik tolak ini- itu berbeda-beda dengan
perbedaan setiap individu.
Maka orang alim pada hari ini wajib untuk mengajak
pada dakwah yang benar, sesuai dengan batas
kemampuannya. Dan orang yang bukan alim; maka dia wajib
untuk menanyakan perkara yang penting untuk dirinya
sendiri atau untuk orang yang ada di bawah tanggung
jawabnya; seperti istrinya atau anaknya, atau yang semacam
itu. Maka jika seorang Muslim –dari kedua kelompok tadi-
telah menjalankan tugas yang dimampuinya; maka sungguh
dia telah selamat; karena Allah ‫ عز وجل‬telah bersabda:
.)183 :‫﴿ًل ُي َك ِّلفُ اهلل َن ْف اسا إِ ًَّل ُو ْس َع َها﴾ (البقرة‬
َ
“Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.”

(“At Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam”/Al Albaniy/ hal. 28).

Al Imam Ibnu Utsaimin ‫ رحمه هللا‬berkata: “Jika


demikian, maka manusia sangat berhajat kepada para ulama,
dalam rangka membantah tipu daya para mubtadi’ah dan
para musuh Allah ‫ عز وجل‬yang lainnya, dan hal itu tidak terjadi
97

kecuali dengan ilmu syar’iy yang didapatkan dari Kitabullah


dan Sunnah Rasul-Nya ‫”ﷺ‬. (“Al Ilmu”/Al Utsaimin/hal. 21).

Kesebelas: membuang sikap saling mengejek atau


saling mendengki
Allah ta’ala berfirman:

‫ين َآ َمنُوا ًَل َي ْسخَ ْر َق ْو ٌم ِم ْن َق ْو ٍم َع َسى َأ ْن َيكُونُوا َخ ْ اريا ِمن ُْه ْم وًل‬ ِ
َ ‫﴿َيا َأ ه َُّيا ا َّلذ‬
‫نساء من نساء عسى أن يكن خريا منهن وًل تلمزوا أنفسكم وًل تنابزوا‬
.﴾‫باْللقاب‬

"Wahai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum


itu mengejek kaum yang lain, karena bisa jadi yang diejek
itu lebih baik daripada mereka. Dan janganlah para wanita
mengejek para wanita yang lain, karena bisa jadi yang
diejek itu lebih baik daripada yang mengejek. Dan
janganlah kalian menyindir diri kalian sendiri, dan jangan
pula kalian saling menjuluki dengan gelar-gelar yang
buruk.” (QS: Al Hujurat: 11).

Al Imam Asy Syaukaniy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan makna


ayat adalah: larangan kaum mukminin dari saling mengejek
satu sama lain. Dan Allah menyebutkan alasan larangan tadi
adalah dengan firman-Nya: “karena bisa jadi yang diejek itu
lebih baik daripada mereka” yaitu bisa jadi yang diejek itu
lebih baik di sisi Allah daripada orang-orang yang mengejek.”
(“Fathul Qadir”/7/hal. 15).

Maka janganlah sesama Muslimin saling mendengki


ataupun saling menghina, karena hal itu akan membinasakan
98

pelakunya, dengan sebab dia mengundang murka Allah dan


sekaligus dia bagaikan menyakiti dirinya sendiri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata dalam


tafsir ayat ini dan yang setelahnya: “Allah ta’ala berfirman:
“Maka jika kalian saling mencaci dengan sesama muslim,
kalian mengejeknya dan kalian menyindirnya, maka kalian
berhak untuk dinamakan sebagai orang-orang yang fasiq.”
(“Majmu’ul Fatawa”/7/hal. 248).

Al Imam Ibnu Muflih ‫ رحمه هللا‬berkata tentang akhlaq


antar mukminin: “Dan diharamkan makar, tipu daya,
menghina dan mengejek. Allah ta’ala berfirman -(lalu
membacakan ayat tadi, lalu beliau berkata lagi:-

Tentang sebab dan tafsirnya ada pembicaraan


panjang di kitab tafsir. Dan yang dimaksudkan dengan “diri
kalian sendiri” adalah saudara-saudara kalian, karena mereka
itu adalah bagaikan diri kalian sendiri.”

(Selesai dari “Al Adabusy Syar’iyyah”/hal. 13).

Maka dengan penjelasan ini semua, jelaslah


bahwasanya orang yang senang mengejek dan menghina
saudaranya adalah orang yang terkena keburukan dalam
hatinya, maka kita harus sering mengoreksi diri kita sendiri.
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
ِ َ ‫ و ًَل‬،‫ي ُذ ُله‬ ِ ِ ِ
ِ ‫ بِ َح ْس‬،‫اهنَا‬
‫ب‬ ْ َ ُ ْ َ ‫ َو ًَل‬،‫« ْا ُْل ْسل ُم َأ ُخو ْا ُْل ْسل ِم ًَل َيظْل ُم ُه‬
ُ ‫ ال َّت ْق َوى َه‬.‫حيق ُر ُه‬
.»‫حي ِق َر َأ َخا ُه ْاْلُ ْسلِ َم‬
ْ َ ‫الْش َأ ْن‬
ِ
ِّ َّ ‫ْام ِر ٍئ م َن‬
"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain,
tidak menzhaliminya, tidak menelantarkannya
99

(membiarkannya tanpa pertolongan), dan tidak


meremehkannya. Ketaqwaan itu di sini –isyarat ke dada
beliau-. Cukuplah seseorang itu dikatakan berbuat jahat
dengan meremehkan saudaranya sesama muslim." (HR.
Muslim (2564)/dari Abu Hurairah ‫)رض هللا عؤه‬.
Kemudian termasuk bencana besar perusak
persaudaraan adalah: persaingan yang menyebabkan
kedengkian, yang selanjutnya ingin memperoleh posisi lebih
tinggi di dunia dan tidak mau disaingi oleh saudaranya,
sehingga muncul upaya untuk mencari kekurangan
saudaranya dan menampilkannya ke umat agar muncul kesan
bahwasanya dirinya lebih tinggi daripada saudaranya itu.

Bertaqwalah kita semua pada Allah dan jangan sampai


kita mengalami yang demikian itu.

Al Imam Ahmad bin Hanbal ‫ رحمه هللا‬berkata pada


orang-orang di sekelilingnya: “Ketahuilah, semoga Allah ta’ala
merahmati kalian, bahwasanya seseorang dari ahli ilmu itu
jika Allah memberikan karunia padanya suatu ilmu yang Allah
tidak memberikannya pada para rekan sejawatnya dan teman
yang setaraf dengannya, mereka akan mendengkinya, lalu
mereka akan menuduhnya dengan perkara yang tidak ada
padanya, dan kedengkian adalah karakter yang amat buruk di
kalangan ahli ilmu.” (Sebagaimana di “Manaqibusy
Syafi’iy”/karya Al Baihaqiy/2/hal. 259/Cet. Maktabah Darit
Turats).

Ibnu Hibban ‫ رحمه هللا‬berkata: “Kedengkian itu paling


banyak didapatkan di antara teman sejawat atau orang yang
urusannya itu berdekatan, karena para juru tulis tidak
didengki kecuali oleh para juru tulis juga, sebagaimana para
100

penjaga pintu itu tidaklah didengki kecuali oleh para penjaga


pintu juga. Dan tidaklah seseorang itu mencapai suatu
martabat dari martabat-martabat di dunia ini kecuali
didapatkan di situ orang yang membencinya karena dia
mendapatkan martabat tadi, atau mendengkinya karena dia
mendapatkan martabat tadi. Dan orang yang dengki itu
merupakan lawan yang suka membangkang. Maka tidak
harus bagi orang yang berakal untuk menjadikannya sebagai
hakim dalam kasus yang menimpa karena si pendengki tadi
jika memberikan hukuman tidak akan menghukumi kecuali
yang akan merugikan orang yang didengki.” –sampai pada
ucapan beliau:- “Maka hendaknya seseorang itu mewaspadai
apa yang aku gambarkan dari orang-orang yang seprafesi
dengannya, teman-teman sejawatnya, para tetangganya, dan
anak-anak pamannya.” (“Raudhatul ‘Uqala”/hal. 136-137).

Al Imam An Nawawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dalil-dalil


syariat dan kesepakatan ulama telah saling mendukung
tentang haramnya hasad, dan haramnya menghina muslimin,
dan haramnya menginginkan kejelekan menimpa mereka,
dan amalan-amalan hati yang jelek yang lain dan larangan
bertekad untuk itu. Allahu a’lam.” (“Al Minhaj”/2/hal. 152).

Dan dari Abdullah bin Amr ibnil ‘Ash ‫ رض هللا عؤهم‬:

»‫ي َق ْو ٍم َأ ْن ُت ْم؟‬‫ َأ ه‬،‫الر ْو ُم‬


‫ار ٌس َو ه‬ ِ ‫ت َع َل ْي ُك ْم َف‬ ْ ‫ «إِ َذا ُفتِ َح‬:‫رسول اهللِ ﷺ َأ َّن ُه َق َال‬ ِ ‫َع ْن‬
‫ « َأ َو غَ ْ َري‬:‫رسول اهللِ ﷺ‬ ٍ ‫الرمحن بن َعو‬
ُ ‫ َق َال‬.ُ‫ َن ُق ْو ُل َك َام َأ َم َر َنا اهلل‬:‫ف‬ ْ ُ ْ ِ ُ‫َق َال عبد‬
،‫ك‬ َ ِ‫ َأ ْو َن ْح َو َذل‬،‫ ُث َّم َت َت َباغَ ُض ْو َن‬،‫ ُث َّم َت َتدَ ا َب ُر ْو َن‬،‫اسدُ ْو َن‬ َ ِ‫َذل‬
َ ‫ ُث َّم َت َت َح‬،‫ َت َت َنا َف ُس ْو َن‬:‫ك‬
101

ِ ‫ َف َت ْج َع ُل ْو َن َب ْع َض ُه ْم َع َل ِر َق‬،‫اج ِر ْي َن‬
ٍ ‫اب َب ْع‬
.»‫ض‬ ِ ْ ِ‫ُث َّم َتنْ َطلِ ُق ْو َن ِِف َم َساك‬
ِ ‫ني ْا ُْل َه‬

.))1531( ‫(أخرجه مسلم‬

“Dari Rasulullah ‫ ﷺ‬bahwasanya beliau bersabda: “Jika


dibukakan untuk kalian Persia dan Romawi, seperti kaum
yang manakah kalian?” Abdurrahman bin Auf menjawab:
“Kami berbuat seperti yang diperintahkan oleh Allah.”
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Ataukah selain itu: kalian saling
berlomba lalu kalian saling mendengki, lalu kalian saling
membelakangi, lalu kalian saling membenci, atau yang
seperti itu, lalu kalian berangkat ke orang-orang miskin
muhajirin, lalu kalian menjadikan sebagian kalian menjadi
pemimpin terhadap sebagian yang lain?” (HR. Muslim
(2962)).

Al Imam An Nawawiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Para ulama


berkata: tanafus adalah saling berlomba untuk mendapatkan
sesuatu, dan tidak suka orang lain mengambilnya. Dan itu
adalah derajat hasad yang pertama. Hasad adalah: angan-
angan untuk hilangnya nikmat dari pemiliknya. Tadabur
adalah saling memutus hubungan. Terkadang bersamaan
dengan itu masih ada sedikit rasa cinta atau tidak terjadi
saling cinta ataupun juga saling benci. Tabaghudh (Saling
benci) adalah setelah itu. Oleh karena itulah diurutkan dalam
hadits ini.” (“Al Minhaj”/18/hal. 96-97).

Maka sebagaimana hasad itu haram, demikian pula


sarana yang menyampaikan ke situ juga haram.
102

Kemudian sesungguhnya hasad adalah penyakit yang


berbahaya terhadap pelakunya, dan terkadang menyebabkan
dia menzhalimi yang lain. Penyair berkata:

.‫عاداك ِمن َح َس ِد‬


َ ‫ إال َعدَ َاو َة َمن‬... ‫كل ال َعداوة قد ت ُْر َجى إماتتُها‬

"Setiap permusuhan itu bisa diharapkan untuk dipadamkan


kecuali permusuhan dari orang yang memusuhimu
disebabkan oleh kedengkian."
(Selesai "Al 'Aqdul Farid"/1/hal. 193).
Dari Fudhalah bin Ubaid ‫ رض هللا عؤه‬yang berkata: Aku
mendengar Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda dalam haji Wada':

‫ َو ْا ُْل ْسْْلِ ُم َم ْن‬.‫اَل ْم َو َأ ْن ُف ِسْْ ِه ْم‬


ِ ‫« َأ ًَل ُأ ْخ ِِب ُكم بِ ْا ُْل ْؤ ِم ِن؟ من َأ ِمنَه النَّاس ع َل َأمو‬
َْ َ ُ ُ ْ َ ْ ُ
ِ ‫ َو ْا ُْل َه‬.ِ‫اع ِة اهلل‬
‫اج ُر‬ َ ‫اهدَ َن ْف َس ُه ِِف َط‬
ِ ِ ِِ ِ ِ
َ ‫ِ َو ْا ُْل َجاهدُ َم ْن َج‬.‫اس م ْن ل َسانه َو َيده‬
ِ
ُ َّ‫َسل َم الن‬
‫َم ْن َه َج َر ْا َل َطا َيا َو ه‬
.)‫صحيح‬/)13113( ‫ (أخرجه المام أمحد‬.»‫الذ ُن ْو َب‬

“Maukah kukabarkan pada kalian tentang mukmin?


Mukmin yang sebenarnya adalah orang yang manusia itu
merasa aman dengan dirinya dalam masalah harta dan jiwa
mereka. Muslim yang sebenarnya adalah orang yang
manusia itu selamat dari lidahnya dan tangannya. Mujahid
yang sebenarnya adalah orang yang memerangi dirinya
sendiri di dalam ketaatan pada Allah. Muhajir yang
sebenarnya adalah orang yang meninggalkan kekeliruan
dan dosa-dosa.” (HR. Ahmad (24004)/ Shahih).

Syaikhul Islam ‫ رحمه هللا‬berkata: "Barangsiapa


mendapati dalam dirinya ada hasad terhadap orang lain,
103

maka dia harus menjalankan ketakwaan dan sabar dalam


mengobati hasad tadi. Hendaknya dia membenci hasad itu
dari dirinya. Dan banyak orang yang punya agama tidak
sampai melampaui batas terhadap orang yang dihasadi
sehingga mereka tidak membantu orang yang menzhalimi
orang yang dihasadi tadi. Akan tetapi mereka juga tidak
melaksanakan hak orang terzhalimi tadi yang wajib untuk
ditunaikan. Bahkan jika ada orang mencela dia (orang yang
dihasadi) mereka tidak menyetujui si pencela dalam
celaannya tadi tapi mereka juga tidak menyebutkan perkara-
perkara terpuji dari orang yang dicela tadi. Demikian pula jika
ada orang yang memuji dia (orang yang dihasadi) mereka
diam saja. Dan mereka itu terkena celaan karena
meninggalkan perkara yang diperintahkan dalam hak orang
yang mereka hasadi tadi. Mereka kurang dalam menunaikan
hak dia. Tapi mereka tidak sampai melampaui batas
terhadapnya. Balasan untuk mereka adalah bahwasanya
mereka rugi dalam hak-hak mereka, dan mereka juga tidak
berbuat adil di beberapa posisi. Mereka tidak menolong
menghadapi orang yang menzhalimi mereka sebagaimana
mereka juga tidak menolong orang yang mereka hasadi tadi.
Adapun orang yang melampaui batas dengan ucapan atau
perbuatan, maka orang itu akan mendapatkan hukuman.
Dan barangsiapa bertakwa pada Allah dan bersabar,
maka dia tidak masuk dalam jajaran orang-orang yang zhalim.
Allah memberinya taufik dengan ketaqwaannya,
sebagaimana terjadi pada Zainab binti Jahsy ‫رض هللا عؤه‬
karena beliau inilah yang dulu menyamai Aisyah dari kalangan
para istri Nabi ‫ﷺ‬, sementara hasad para wanita satu sama lain
itu banyak dan dominan, terutama para wanita yang menjadi
istri dari seorang suami, karena sesungguhnya seorang wanita
104

itu merasa cemburu terhadap suaminya karena dia punya


bagian darinya, karena dengan sebab persekutuan tadi,
luputlah sebagian dari bagiannya.
Dan demikianlah kedengkian banyak terjadi di
kalangan orang-orang yang berserikat dalam kepemimpinan
atau harta. Jika sebagian dari mereka telah mengambil bagian
dari itu dan luputlah yang lain. Dan juga terjadi di antara
orang-orang yang sepadan dikarenakan salah seorang dari
mereka benci untuk orang yang lain mengungguli dirinya,
seperti hasadnya para saudara Yusuf, dan seperti hasadnya
salah satu dari anak Adam terhadap saudaranya, karena dia
mendengkinya karena Allah menerima qurban dia dan tidak
menerima qurban yang ini, maka dia mendengkinya karena
keimanan dan ketaqwaan yang Allah karuniakan pada
saudaranya, seperti kedengkian Yahudi terhadap muslimin
dan pembunuhan yang dilakukannya karena alasan tadi.
Karena itulah dikatakan bahwasanya dosa yang
pertama kali Allah ta'ala didurhakai dengannya itu ada tiga:
rakus, sombong, dan hasad. Kerakusan itu dari Adam,
kesombongan itu dari Iblis, kedengkian itu dari Qabil yang dia
itu membunuh Habil."
(Selesai penukilan dari "Majmu'ul Fatawa"/10/hal. 125-126).

Keduabelas: Saling menolong dan kebajikan dan


ketakwaan
Kunci berikutnya adalah: saling menolong dan saling
membantu. Allah ta’ala berfirman:
105

ِ ‫ال ْث ِم َوا ْل ُعدْ َو‬


‫ان َوا َّت ُقوا اهلل إِ َّن‬ ِ ْ ‫ِب َوال َّت ْق َوى َو ًَل َت َع َاونُوا َع َل‬
ِّ ِ ‫﴿ َو َت َع َاونُوا َع َل ا ْل‬
.]1 :‫اب﴾ [اْلائدة‬ ِ ‫اهلل َش ِديدُ ا ْل ِع َق‬

"Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan)


kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-
Nya”.

Dari Abu Musa Al Asy’ariy ‫ رض هللا عؤه‬:

ِ
َ ِّ ‫ِّسا و َب‬
‫ْشا‬ َ ِّ ‫ « َي‬:‫َأ َّن النَّبِ َّي ﷺ َب َع َث ُم َعاذا َو َأ َبا ُم ْو َسى إ َل ا ْل َي َم ِن َق َال‬
َ ِّ ‫ِّسا وًل ُت َع‬
.»‫َو ًَل ُت َن ِّف َرا َو َت َط َاو َعا َو ًَل َ َْتَلِ َفا‬

“Bahwasanya Nabi ‫ ﷺ‬mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke


Yaman, beliau bersabda: “Permudahlah oleh kalian berdua
dan janganlah kalian persulit, dan berikanlah kabar
gembira dan janganlah kalian membikin lari. Dan
hendaknya kalian saling menaati dan janganlah kalian
saling berselisih.” (HR. Al Bukhariy (3038) dan Muslim
(1732)).

Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬berkata: ”Dulu wilayah kerja


Mu’adz adalah daerah-daerah Nejed dan wilayah yang
arahnya meninggi di negri-negri Yaman, sementara wilayah
kerja Abu Musa adalah daerah-daerah Tihamah dan wilayah
yang arahnya menurun dari negri-negri Yaman”. (“Fathul
Bari”/13/hal. 162-163).
106

Beliau juga berkata: “Dan di dalam hadits ini ada


perintah untuk memberikan kemudahan dalam berbagai
perkara, bersikap lembut pada rakyat jelata, menjadikan
mereka cinta pada keimanan, dan tidak bersikap keras agar
hati mereka tidak lari, terutama untuk orang yang baru masuk
Islam, atau anak-anak yang mendekati usia baligh, agar iman
itu meresap dengan mantap di hatinya dan dia berlatih
dengan keimanan tadi. Demikian pula manusia dalam melatih
dirinya dalam beramal, jika keinginannya itu jujur maka
janganlah dia bersikap keras padanya, tapi mengambilnya
secara bertahap dan memberi kemudahan, sampai jika dia
telah merasa akrab dengan kondisi yang telah menjadi
rutinitas, diapun memindahkan dirinya kepada kondisi yang
lain dan menambahinya lebih banyak dari yang pertama
hingga mencapai kadar puncak yang sanggup dipikulnya, dan
tidak membebaninya dengan beban amalan yang bisa jadi dia
tak sanggup menjalankannya.” (“Fathul Bari”/13/hal. 163).

Ibnu Hajar ‫ رحمه هللا‬juga berkata: “Dan hendaknya


kalian saling menaati” yaitu: hendaknya kalian saling
mencocoki dalam hukum, “dan janganlah kalian saling
berselisih” karena yang demikian itu menyebabkan para
pengikut kalian saling berselisih, lalu yang demikian itu
menjerumuskan pada permusuhan, kemudian peperangan.
Dan sumber rujukan dalam perselisihan adalah pada apa yang
datang di dalam Al Kitab dan As Sunnah, sebagaimana firman
Allah ta’ala:
ِ ‫﴿ َفإِ ْن َتنَازَ ْعتُم ِِف ََش ٍء َفر هدو ُه إِ َل اهلل َوالرس‬
.]11 : ‫ول﴾ [النساء‬ ُ َّ ُ ْ ْ
107

“Maka jika kalian berselisih pendapat terhadap suatu


perkara maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (QS. An Nisa: 59)
(Selesai dari “Fathul Bari”/13/hal. 162-163).
Ibnu Baththal dan yang lainnya berkata: “Di dalam
hadits ini ada dorongan untuk saling bersepakat dalam
perkara yang di dalamnya ada kekokohan rasa cinta,
keakraban, saling menolong untuk mendukung kebenaran.
Dan di dalamnya juga ada dalil tentang bolehnya mengadakan
dua hakim di satu negri, lalu masing-masing dari keduanya
menduduki satu sisi dan negri tersebut.” (Sebagaimana dalam
“Fathul Bari”/13/hal. 163).

Dan di dalam hadits An Nu'man bin Basyir ‫رض هللا عؤهم‬


bahwasanya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

‫ إِ َذا ْاش َت َكى ِم ْن ُه‬:‫ني ِِف َت َوا ِّد ِه ْم َو َت َر ُاَحِ ِه ْم َو َت َعا ُط ِف ِه ْم َم َث ُل ْا َل َس ِد‬ ِِ
َ ْ ‫« َم َث ُل ْا ُْل ْؤمن‬
. «‫الس َه ِر َو ْا ُِل َّمى‬ ِ ِ
َّ ِ‫اعى َل ُه َسائ ُر ْا َل َسد ب‬ َ َ‫ُع ْض ٌو َتد‬

“Permisalan kaum Mukminin dalam sikap saling cinta,


saling mengasihi dan saling menolong di antara mereka
adalah ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota badan
mengeluh sakit, seluruh jasadpun akan ikut tidak bisa tidur
dan menjadi demam.” (HR. Al Bukhariy (6011) dan Muslim
(2586)).

Ketiga belas: Tidak condong pada orang-orang


zhalim
Termasuk kunci yang penting adalah: tidak condong
kepada orang-orang kafir. Allah ta’ala berfirman:
108

ِ ِ ِ ‫﴿ و ًَل تَر َكنُوا إِ َل ا َّل ِذين ََ َلموا َفتَمسكُم النَّار وما َلكُم من د‬
َ ‫ون اهلل م ْن َأ ْول َي‬
‫اء‬ ُ ِّ َ َ ُ ُ َّ َ ُ َ ْ َ
.]١١١: ‫ون﴾ [ هود‬ ُ َ ‫ُث َّم ًَل ت‬
َ ‫ُنر‬

"Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang yang


zhalim sehingga kalian akan terkena api neraka, dan tidak
ada bagi kalian wali-wali selain Allah, kemudian kalian
tidak akan diberi pertolongan".

Al Imam Al Qurthubiy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Kecondongan


itu pada hakikatnya adalah bersandar dan bertopang serta
merasa tentram kepada suatu perkara dan merasa puas
dengannya. Qatadah berkata: “Maknanya adalah: “Janganlah
kalian mencintai dan menaati mereka”. Ibnu Juraij berkata:
“Janganlah kalian miring kepada mereka”. Abul Aliyah
berkata: “Janganlah kalian ridha kepada amalan-amalan
mereka”. Dan semua penafsiran tadi adalah saling
berdekatan”. (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/Al
Qurthubiy/9/hal. 108).

Keempat belas: Menjalani tahapan-tahapan jihad


di jalan Allah
Di antara kunci kemenangan adalah: menjalani
tahapan-tahapan jihad di jalan Allah. Allah ta’ala berfirman:

‫اهدُ وا ِِف َسبِيلِ ِه َل َع َّلك ُْم‬


ِ ‫﴿ي َاأُّيا ا َّل ِذين آمنُوا ا َّت ُقوا اهلل واب َتغُوا إِ َلي ِه ا ْلو ِسي َل َة وج‬
َ َ َ ْ ْ َ َ َ َ‫َ ه‬
.﴾‫ون‬ َ ‫ُت ْفلِ ُح‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah


dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
109

berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kalian mendapat


keberuntungan”. (QS. Al Maidah: 35).

Ini menunjukkan bahwasanya kunci keberuntungan


dan kejayaan adalah: berjihad di jalan Allah. Akan tetapi
barangsiapa tidak meniru langkah-langkah Rasulullah ‫ﷺ‬
dalam berjihad, dia pasti akan terpalingkan kepada kebatilan,
salah arah dan jalan, serta berujung pada kegagalan (5). Maka
kita wajib tahu bagaimanakah jihad beliau agar mencapai
keberhasilan sebagaimana beliau mencapai keberhasilan.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Manakala


jihad adalah puncak tertinggi dan kubah dari bangunan Islam,
dan posisi pelaksananya adalah posisinya tertinggi di dalam
Jannah sebagaimana merekalah pemilik ketinggian di dunia,
sehingga mereka itulah yang tertinggi di dunia dan Akhirat,
maka Rasulullah ‫ ﷺ‬berada di puncak yang tertinggi dari
tingkatan tadi. Dan beliau menguasai jenis-jenis jihad
semuanya. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-

(5)
Sesungguhnya istilah “Jihad” sudah dibelokkan oleh para juru
dakwah Khawarij untuk mencari makan secara batil dan
menyesatkan para pemuda agar memberontak kepada pemeritah
yang berdaulat.

Sungguh benar kata Al Imam Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy


‫ رحمه هللا‬manakala beliau berkata: “Maka jihad sekarang menjadi
sumber mencari rejeki dan sarana untuk menyesatkan para
pemuda. Maka mereka wajib untuk memusatkan perhatian di
dalam menuntut ilmu yang bermanfaat”. (“Tuhfatul Mujib”/hal.
149? Cet. Darul Atsar).
110

benar jihad untuk-Nya; dengan hati, dakwah, penjelasan dan


pedang, serta tombak. Dan seluruh waktu-waktu beliau
diwakafkan untuk jihad dengan hati, lidah dan tangan beliau.
Maka dari itu beliau adalah makhluk yang paling tinggi
penyebutannya, dan paling agung di sisi Allah nilainya.

Dan Allah ta’ala memerintahkan beliau untuk


berjihad sejak beliau mengutus beliau, dan Allah berfirman:

‫اهدْ ُه ْم بِ ِه ِج َها ادا‬


ِ ‫﴿و َلو ِش ْئنَا َلبع ْثنَا ِِف ك ُِّل َقري ٍة ن َِذيرا * َف َل تُطِ ِع الْكَافِ ِرين وج‬
َ َ َ ‫ا‬ َْ ََ ْ َ
.]11 ،11 :‫َكبِ اريا﴾ [الفرقان‬

“Dan andaikata Kami menghendaki pastilah Kami utus pada


tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (Rasul).
Maka janganlah kamu menaati orang-orang kafir, dan
berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad
yang besar”.

Ini adalah surat Myang turun di Mekkah, di dalamnya


Allah memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir
dengan hujjah, keterangan dan penyampaian Al Qur’an.

Demikian pula memerangi kaum munafikin itu


hanyalah dengan penyampaian hujjah, karena jika tidak
demikian mereka itu sudah ada di bawah penundukan kaum
Muslimin. Allah ta’ala berfirman:

‫ني َواغْ ُل ْظ َع َل ْي ِه ْم َو َم ْأ َو ُاه ْم َج َهن َُّم َوبِئ َْس‬ ِِ ِ ِ


َ ‫﴿ َيا َأ ه َُّيا النَّبِ هي َجاهد ا ْل ُك َّف َار َوا ُْْلنَافق‬
.]01 :‫ا َْْل ِصري﴾ [التوبة‬
111

“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan munafiqin,


dan bersikaplah keras pada mereka. Dan tempat mereka
adalah jahannam, dan itu adalah sejelek-jelek tempat
kembali”.

Maka memerangi orang-orang munafik itu lebih susah


daripada memerangi orang-orang kafir. Itu adalah jihadnya
orang-orang khusus dari umat ini dan para pewaris Nabi.
Orang-orang yang menegakkannya adalah individu-individu
di alam semesta ini. orang yang berperan serta dan berjerih
payah di dalamnya; sekalipun mereka berjumlah paling
sedikit, namun mereka itu paling agung kadarnya di sisi Allah.

Manakala termasuk dari jihad yang paling utama


adalah: mengucapkan kebenaran bersamaan dengan
banyaknya penentang; seperti: engkau mengucapkan
kebenaran di dekat orang yang engkau khawatirkan
keganasan dan gangguannya; jadilah para Rasul ‫صهللاواس هللا عهللا هم‬
‫ وسالمه‬mendapatkan bagian terbanyak dari perkara tadi, dan
Nabi kita ‫ صهللاواس هللا وسالمه عهللا ه‬dari bagian tadi adalah paling
sempurna dan paling lengkap jihad beliau.

Dan manakala memerangi musuh-musuh Allah yang di


luar itu adalah cabang dari jihad hamba melawan dirinya
sendiri di jalan Allah; sebagaimana dalam sabda Nabi ‫ﷺ‬:

ِ ‫ َو ْا ُْل َه‬.ِ‫اع ِة اهلل‬


.»‫اج ُر َم ْن َه َج َر َما َْنَى اهللُ َعنْ ُه‬ َ ‫اهدَ َن ْف َس ُه ِِف َط‬
ِ
َ ‫« ْا ُْل َجاهدُ َم ْن َج‬

“Mujahid yang sebenarnya adalah orang yang memerangi


dirinya sendiri di dalam ketaatan pada Allah. Muhajir yang
sebenarnya adalah orang yang meninggalkan perkara yang
112

mana Allah melarang darinya”. [HR. Ahmad (24004)/ Shahih


dari Fudhalah bin Ubaid ‫]رض هللا عؤه‬,

Jadilah berjihad melawan diri sendiri itu di dahulukan


sebelum jihad melawan musuh dari luar, dan jihad yang
pertama memang dasar dari jihad yang kedua itu, karena
selama seseorang tidak mampu melawan diri sendiri agar
mengerjakan perintah dan menjauhi larangan, dan
memeranginya di jalan Allah; dia tidak akan mampu untuk
melarang musuhnya yang dari luar. Bagaimana mungkin dia
mampu memerangi musuhnya secara adil sementara
musuhnya yang ada di dalam badannya masih menundukkan
dan menguasai dirinya, dia tidak mampu melawan dan
memerangi jiwanya di jalan Allah? Bahkan dia tidak mungkin
keluar melawan musuhnya sampai dia mampu memerangi
jiwanya sendiri untuk keluar berjihad (jihad yang sesuai
syariat, bukan sesuai hawa nafsu –pen).

Maka ini adalah dua jenis musuh yang mana si hamba


diuji untuk melawan kedua-duanya.

Di antara keduanya itu ada musuh yang ketiga yang


mana dia tidak mungkin melawan keduanya kecuali dengan
melawan musuh yang ketiga. Musuh yang ini berdiri di antara
keduanya, memperlambat si hamba dalam memerangi
keduanya, menelantarkan si hamba dan menakut-nakuti
dirinya, serta terus-menerus mengkhayalkan pada dirinya
bahwasanya berjihad melawan keduanya itu harus
mengalami berbagai kesulitan, meninggalkan kesenangan
diri, luputnya keledzatan-keledzatan dan perkara-perkara
yang menarik selera.
113

Dan tidak mungkin baginya untuk memerangi kedua


musuhnya kecuali dengan memerangi musuh yang ketiga ini.
Maka jihad melawan musuh yang ini merupakan dasar jihad
melawan kedua musuh tadi. Dan dialah setan. Allah ta’ala
berfirman:
ِ َّ ‫ان َلكُم عدُ و َف‬ َّ ‫﴿إِ َّن‬
.]4 :‫اَ ُذو ُه َعدُ وا﴾ [فاطر‬ ٌّ َ ْ َ ‫الش ْي َط‬

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka


anggaplah ia sebagai musuh”.

Perintah untuk menganggap setan sebagai musuh


merupakan peringatan untuk mencurahkan segala
kemampuan dalam memeranginya dan melawannya seakan-
akan dia adalah musuh yang tidak pernah berhenti dan tidak
pernah berkurang dalam memerangi si hamba sebanyak
hembusan nafasnya”.

(Lihat selengkapnya di “Zadul Ma’ad”/3/hal. 5-7/cet. Ar


Risalah).

Maka kita wajib memerangi hawa nafsu, dan kokoh di


atas syariat. Pengekor hawa nafsu tidak akan kuat untuk
menjalankan jihad Islamiy ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ‫ رحمه هللا‬berkata: “Dan


telah pasti dari Nabi ‫ ﷺ‬bahwasanya beliau bersabda:
ِ ‫اهدُ من جاهدَ َن ْفسه ِِف َذا‬
ِ
.»ِ‫ت اهلل‬ ُ َ َ َ ْ َ ‫« ْا ُْل َج‬
114

“Mujahid yang sebenarnya adalah orang yang memerangi


dirinya sendiri di jalan Allah”. [HR. Ahmad (24004)/ Shahih
dari Fudhalah bin Ubaid ‫]رض هللا عؤه‬,

Maka seorang hamba diperintahkan untuk


memerangi diri sendiri sebagaimana dia diperintahkan untuk
memerangi orang yang memerintahkan dan mengajak pada
perbuatan maksiat. Si hamba lebih berhajat pada peperangan
terhadap dirinya sendiri, karena yang ini adalah fardhu ‘ain,
sementara yang itu adalah fardhu kifayah. Dan kesabaran di
dalam masalah yang ini termasuk amalan yang paling utama,
karena jihad melawan hawa nafsu adalah hakikat dari jihad
yang itu. Maka barangsiapa bersabar terhadap jihad yang ini;
dia akan mampu bersabar terhadap jihad yang itu,
sebagaimana sabda Nabi ‫ﷺ‬:
ِ ‫اجر من هجر السيئ‬
.»‫َات‬ ِّ َّ َ َ َ ْ َ ُ ِ ‫« َو ْا ُْل َه‬

“Dan muhajir yang sebenarnya adalah orang yang


meninggalkan keburukan-keburukan”. [HR. Ibnu Hibban
(196) dan yang lainnya/ Shahih dari Abdullah bin Amr ‫رض‬
‫]هللا عؤهم‬,

Kemudian jihad melawan hawa nafsu ini orang itu


tidak terpuji di dalamnya kecuali jika dia menang, berbeda
dengan yang pertama karena orang yang :

.]06 :‫ف ن ُْؤتِ ِيه َأ ْج ارا َعظِ ايَم﴾ [النساء‬ ِ


ْ ‫﴿ َف ُي ْقت َْل َأ ْو َيغْل‬
َ ‫ب َف َس ْو‬
115

“(Barangsiapa yang berperang di jalan Allah) lalu gugur


atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami
berikan kepadanya pahala yang besar”.

Maka dari itu Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

.». . . ‫الر َع ِة‬ ِ َّ ‫« َليس‬


َ ‫الشد ْيدُ بِ ه‬ َ ْ

“Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang mampu


mengalahkan orang banyak, (akan tetapi orang yang kuat
adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika
marah)”. [HR. Al Bukhariy (6114) dan Muslim (2609) dari Abu
Hurairah ‫]رض هللا عؤه‬.

Yang demikian itu dikarenakan Allah memerintahkan


manusia untuk melarang dirinya dari mengikuti hawa nafsu,
dan agar takut kepada berdirinya dia di hadapan Rabbnya
(kelak), maka dengan itu dihasilkanlah untuknya keimanan
yang membantunya untuk berjihad, maka jika dia kalah dari
hawa nafsunya; hal itu adalah karena lemahnya
keimanannya, … dan seterusnya”.

(Selesai dari “Maju’ul Fatawa”/10/hal. 635-636).

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka jihad itu


ada empat tingkatan: memerangi diri sendiri, memerangi
setan, memerangi orang-orang kafir dan memerangi orang-
orang munafiqin.

[Tingkatan memerangi diri sendiri] maka memerangi


diri sendiri itu ada empat tingkatan juga: yang pertama:
memerangi diri agar mau mempelajari petunjuk dan agama
116

yang benar yang mana jiwa itu tak akan punya keberuntungan
dan kesuksesan di dunia dan akhiratnya kecuali dengan itu.
Dan kapan saja luput darinya ilmunya, dia akan celaka di dua
negri. Yang kedua: memerangi diri untuk mengamalkan ilmu
tadi setelah dia mengetahuinya. Jika tidak demikian, maka
sekedar ilmu tanpa amalan kalaupun tidak membahayakan,
tak akan bermanfaat baginya. Ketiga: memerangi diri sendiri
agar mau berdakwah dan mengajarkan ilmu tadi kepada
orang yang belum mengetahuinya. Jika tidak demikian, maka
dia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan
keterangan yang Allah turunkan, dan ilmunya tidak
bermanfaat baginya dan tak akan menyelamatkannya dari
adzab Allah. Keempat: memerangi diri sendiri untuk bersabar
di atas kesulitan dakwah kepada Allah dan gangguan para
makhluq, dan untuk memikul itu semua untuk Allah.

Jika dia telah menyempurnakan empat tingkatan ini,


jadilah dia termasuk para Robbaniyyin, karena sesungguhnya
Salaf itu telah bersepakat bahwasanya seorang alim itu tidak
berhak dinamakan sebagai Robbaniy sampai dirinya
mengetahui kebenaran, mengamalkannya dan
mengajarkannya. Maka barangsiapa mengetahui, beramal
dan mengajarkannya, maka dia itulah yang dipanggil sebagai
orang agung di kerajaan langit.

Pasal [memerangi setan]. Memerangi setan itu ada


dua tingkatan. Yang pertama: memeranginya untuk menolak
syubuhat dan keraguan yang merusak keimanan yang
dilemparkannya pada hamba. Yang kedua: memerangi setan
dengan menolak keinginan-keinginan yang rusak dan
syahwat-syahwat yang dilemparkannya pada hamba. Jihad
117

yang pertama, setelahnya adalah keyakinan. Untuk jihad yang


kedua, setelahnya adalah kesabaran. Allah ta’ala berfirman:

َ ‫ِبوا َوكَانُوا بِآ َياتِنَا ُيوقِن‬


﴾‫ُون‬ ِ َ ِ َ ُ‫﴿ َو َج َع ْل َنْا ِمن ُْه ْم َأئِ َّمْ اة َ ُّْيْد‬
ُ َ ْْ‫ون بْأ ْمرنَا ََّْلا َص‬
.]13/‫[السجدة‬

“Dan Kami jadikan dari mereka para imam yang


membimbing dengan perintah Kami ketika mereka bersabar
dan mereka senantiasa yakin dengan ayat-ayat Kami.”

Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya kepemimpinan


dalam agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan
keyakinan. Kesabaran menolak syahwat-syahwat dan
keinginan yang rusak. Keyakinan menolak keraguan-keraguan
dan kesamaran-kesamaran.

Pasal [memerangi orang kafir dan munafiq] adapun


memerangi orang kafir dan munafiq itu ada empat tingkatan:
dengan hati, dengan lisan, dengan harta dan dengan jiwa.
memerangi orang kafir itu lebih khusus dengan tangan,
sedangkan memerangi orang munafiq itu lebih khusus
dengan lidah.

Pasal [memerangi para pelaku kezhaliman,


kebid’ahan dan kemungkaran]. Adapun memerangi para
pelaku kezhaliman, kebid’ahan dan kemungkaran maka ada
tiga tingkatan. Yang pertama: dengan tangan jika mampu. Jika
tak bisa, berpindah ke lidah. Jika tidak sanggup maka dengan
hatinya.
118

Maka inilah tigabelas tingkatan dari jihad. Dan barangsiapa


mati dan tidak berperang dan tidak mengajak bicara dirinya
untuk berperang, dia mati di atas satu cabang dari
kemunafiqan.” (“Zadul Ma’ad”/hal. 370-371/cet. Dar Ibni
Hazm).

Kelima belas: Banyak Bersabar


Di antara kunci kemenangan adalah: Banyak bersabar.
Allah ta’ala berfirman:
ِ ِ ِ
َ ‫الصابِ ِر‬
:‫ين﴾ [البقرة‬ َّ ‫الص ْ ِِب َو‬
َّ ‫الص َلة إِ َّن اهللََّ َم َع‬ َ ‫﴿ َي َاأ ه َُّيا ا َّلذ‬
َّ ِ‫ين َآمنُوا ْاستَعينُوا ب‬
.]111

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan


shalat sebagai penolong kalian, sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar”.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “... kunci


pertolongan adalah kesabaran, kunci tambahan nikmat
adalah syukur, kunci kewalian adalah rasa cinta dan dzikir,
kunci keberuntungan adalah takwa …dst.” (“Hadil
Arwah”/hal. 86/cet. Maktabah ‘ibadirrohman).

Allah ta’ala berfirman:

‫ت فِ َئ اة كَثِ َري اة بِإِ ْذ ِن اهلل‬


ْ ‫هون َأ َّْنُ ْم ُم َل ُقو اهلل ك َْم ِم ْن فِئ ٍَة َقلِي َل ٍة َغ َل َب‬
َ ‫ين َي ُظن‬ ِ
َ ‫﴿ َق َال ا َّلذ‬
َ ‫الصابِ ِر‬
.]161 :‫ين﴾ [البقرة‬ َّ ‫َواهلل َم َع‬

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui


Allah, berkata: Alangkah banyaknya terjadi golongan yang
119

sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan


izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka kapan


saja engkau kehilangan kesabaran dan keyakinan; jadilah
engkau bagaikan orang yang ingin bepergian jauh di lautan
tanpa memakai kapal. Allah ta’ala berfirman:

َ ‫ين ًل ُيوقِن‬
.﴾‫ُون‬ ِ ِ
َ ‫ِب إِ َّن َو ْعدَ اهلل َح ٌّق َوًل َي ْستَخ َّفن ََّك ا َّلذ‬
ْ ِ ‫اص‬
ْ ‫﴿ َف‬

“Dan bersabarlah engkau, sesungguhnya janji Allah adalah


benar, dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak
meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan
dirimu”.

Dan Allah ta’ala berfirman:

َ ‫ِبوا َوكَانُوا بِآياتِنَا ُيوقِن‬


.﴾‫ُون‬ ِ َ ِ َ ُ‫﴿و َج َع ْلنَا ِمن ُْه ْم َأئِ َّم اة َ ُّْيد‬
ُ َ ‫ون بأ ْمرنَا ََّْلا َص‬ َ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-


pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar, dan mereka itu senantiasa meyakini
ayat-ayat Kami”.

(Selesai dari “Al Fawaid”/ hal. 221-222/cet. Ar Rusyd).

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

ِ ْ ‫ َو َأ َّن َم َع ا ْل ُع‬،‫ب‬
.»‫ِّس ُي ِّْس اا‬ ِ ‫ َو َأ َّن ا ْل َف َر َج َم َع الْ َك ْر‬،‫الص ْ ِِب‬ َ ْ ‫ َو‬...«
َ ْ َّ‫اع َل ْم أ َّن الن‬
َّ ‫ر َم َع‬

“... Dan ketahuilah bahwasanya pertolongan itu menyertai


kesabaran, dan bahwasanya kelonggaran itu menyertai
120

kesulitan besar, dan bahwasanya kemudahan itu menyertai


kesusahan” (6).

Keenam belas: Banyak Berdzikir dan berdoa


Di antara kunci kemenangan adalah: Banyak berdzikir
dan berdoa. Allah ta’ala berfirman:

َ ‫ين َآمنُوا إِ َذا لَ ِقيت ُْم فِئَ اة َفا ْث ُبتُوا َوا ْذك ُُروا اهلل كَثِ اريا َل َع َّل ُك ْم ُت ْفلِ ُح‬
﴾ ‫ون‬ ِ
َ ‫﴿ َي َاأ ه َُّيا ا َّلذ‬
.]61 :‫[اْلنفال‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian berjumpa


dengan pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kalian dan
sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian
beruntung”.

Al Imam Ath Thabariy ‫ رحمه هللا‬berkata: “Ini adalah


pengajaran dari Allah ‫ جل اؤ‬untuk orang-orang yang beriman
kepada-Nya; tentang perjalanan di dalam memerangi musuh-
musuh-Nya dari kalangan orang-orang yang mengingkari-
Nya, dan amalan-amalan yang diharapkan akan
mendatangkan pertolongan dan kemenangan terhadap
musuh jika mereka menjalankannya. Lalu Allah ‫جل اؤ‬
berfirman kepada mereka: “Hai orang-orang yang beriman”
yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, “Apabila kalian
berjumpa” sekumpulan dari orang-orang yang kafir pada
Allah untuk berperang dan berlaga, “Maka berteguh hatilah

(6)
Penerjemah ‫ وفقه هللا‬berkata: diriwayatkan oleh At Tirmidziy
(2516) dan Al Baihaqiy dalam “Syu’abul Iman” (192) dan yang
lainnya, dari Ibnu Abbas ‫رض هللا عؤهم‬. Hadits ini hasan lighairih.
121

kalian” untuk memerangi mereka, dan janganlah kaliah


kalah, serta janganlah kalian lari ke belakang, kecuali sekedar
melambung untuk siasat peperangan atau bergabung dengan
pasukan dari kalian sendiri. ”Dan sebutlah (nama) Allah
sebanyak-banyaknya” yaitu: berdoalah pada Allah agar
menolong kalian untuk mengalahkan mereka, dan rasakanlah
dengan hati dan lidah kalian untuk mengingat Allah, “Agar
kalian beruntung” Yaitu: agar kalian berjaya sehingga kalian
mampu mengalahkan musuh kalian, dan Allah memberikan
pada kalian pertolongan dan kemenangan terhadap mereka”.
(“Jami’ul Bayan”/13/hal. 574).

Barangsiapa berdoa pada Allah agar memberinya,


maka sesungguhnya Dzat Yang Mahabaik lagi Maha
mengabulkan doa berfirman:
ِ ِ
‫ان‬
َ ‫الن َْس‬ َ ‫﴿ َو َآتَاك ُْم م ْن ك ُِّل َما َس َأ ْلت ُُمو ُه َوإِ ْن َت ُعده وا ن ْع َم َة اهلل ًَل ُ َْت ُص‬
ِ ْ ‫وها إِ َّن‬

.]16/‫َل َظ ُلو ٌم َك َّف ٌار﴾ [إبراهيم‬

“Dan Allah memberikan pada kalian dari setiap apa yang


kalian minta, dan jika kalian menghitung nikmat Allah
niscaya kalian tak boleh menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat
Allah)." (QS. Ibrohim 34)
Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Maka
barangsiapa diberi ilham untuk berdoa maka sungguh telah
diinginkan untuknya pengabulan doa, karena sesungguhnya
Allah subhanah berfirman:
122

.]40/‫﴿ادعون أستجب لكم﴾ [غافر‬

“Berdoalah kalian pada-Ku, Aku akan mengabulkannya


untuk kalian.”

Dan berfirman:

﴾‫﴿وإذا سألك عبادي عني فأن قريب أجيب دعوة الداع أذا دعان‬
.]114/‫[البقرة‬

“Dan jika para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-


Ku, maka sesungguhnya Aku itu dekat, Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa jika dia berdoa pada-Ku.”

Dan seterusnya.

(“Ad Da Wad Dawa”/hal. 24/cet. Dar Ibnil Jauziy).

Beliau ‫ رحمه هللا‬juga berkata: “Dan Allah subhanah telah


menjadikan untuk setiap perkara yang dicari itu kunci untuk
membukanya. … kunci taufiq adalah roghbah (minat dan
harapan) dan rohbah (rasa takut), kunci terkabulnya
permohonan adalah doa, …dst.” (“Hadil Arwah”/hal. 86/cet.
Maktabah ‘ibadirrohman).

Ketujuh belas: Belajar ilmu syar’iy


Di antara kunci kemenangan adalah: belajat ilmu
syar’iy, karena tidaklah agama Allah itu tertolong dengan
kebodohan, dan tidak pula umat ini terangkat dengan
kejahilan. Demikian pula tiada seorangpun yang selamat dari
penipuan setan manusia dan setan jin kecuali dengan ilmu.
123

Maka kita harus memperkuat kaki kita dengan kekokohan


ilmu. Allah ta’ala berfirman:

‫ُون لِ َين ِْف ُروا كَا َّف اة َف َل ْو ًَل َن َف َر ِم ْن ك ُِّل فِ ْر َق ٍة ِمن ُْه ْم َطائِ َف ٌة لِ َي َت َف َّق ُهوا‬ َ ‫َان ا ُْْل ْؤ ِمن‬
َ ‫﴿و َما ك‬
َ
ِ ِ ِ ِّ‫ِِف الد‬
.]111/‫ون﴾ [التوبة‬ َ ‫حي َذ ُر‬ ْ َ ‫ين َول ُينْذ ُروا َق ْو َم ُه ْم إِ َذا َر َج ُعوا إِ َل ْي ِه ْم َل َع َّل ُه ْم‬

“Dan tidak selayaknya kaum mukminin itu berangkat


perang semuanya. Kenapa tidak berangkat sekelompok
orang dari setiap golongan dari mereka untuk memahami
agama, dan agar memberikan peringatan pada kaum
mereka jika mereka telah kembali kepada mereka agar
mereka berhati-hati?”

Allah ta’ala berfirman:

.]116/‫﴿ َو ُق ْل َر ِّب ِز ْد ِن ِع ْل اَم﴾ [طه‬

“Dan katakanlah: Wahai Robbku, tambahilah saya ilmu.”

Dalil-dalil tentang bab ini banyak dan telah dikenal,


hanya sahaja saya ingin sedikit mengingatkan. Dan Allah ‫جل‬
‫ ذكر‬berfirman:

]18/‫اد ِه ا ْل ُع َل ََمء﴾ [فاطر‬


ِ ‫ي َشى اهلل ِمن ِعب‬
َ ْ ْ َ ‫﴿إِن َََّم‬

“Yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-Nya


hanyalah para ulama.”

Dan berfirman:
124

َ ِ ‫اْل‬
]61 :‫ون﴾ [العنكبوت‬ ُ ‫﴿ َو َما َي ْع ِق ُل َها إِ ًَّل ا ْل َع‬

“Dan tidaklah memahaminya kecuali orang-orang yang


berilmu.”

Dan berfirman:

.]1 :‫ين ًَل َي ْع َل ُمون﴾ [الزمر‬ ِ َ ‫﴿ ُق ْل ه ْل يست َِوي ا َّل ِذين يع َلم‬
َ ‫ون َوا َّلذ‬ ُ َْ َ ْ َ َ

“Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui


dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

Dan Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

.»‫«من يرد اهلل به خريا يفقهه ىف الدين‬

“Dan barangsiapa Allah kehendaki dengannya kebaikan,


Allah akan memahamkannya tentang agama ini.” (HR. Al
Bukhariy (71) dan Muslim (1037) dari Mu’awiyah ‫)رض هللا عؤه‬.

Dan termasuk amalan terbesar dan bagian dari jihad


adalah: mencari ilmu syar’iy.

Al Imam Ibnul Qayyim ‫ رحمه هللا‬berkata: “Sisi ke seratus


delapan: sesungguhnya kebanyakan para imam telah terang-
terangan menyatakan bahwasanya amalan yang paling utama
setelah perkara yang wajib-wajib adalah mencari ilmu. Asy
Syafi’iy berkata: “Tiada sesuatu setelah kewajiban-kewajiban
yang lebih utama daripada menuntut ilmu.” Dan inilah yang
disebutkan oleh para pengikut beliau dari beliau bahwasanya
itu adalah madzhabnya. Dan demikian juga perkataan Sufyan
125

Ats Tsauriy, dan dihikayatkan oleh para hanafiyyah dari Abu


Hanifah.

Adapun Al Imam Ahmad maka dihikayatkan dari


beliau tiga riwayat: salah satunya: yang paling utama setelah
kewajiban adalah mencari ilmu, karena ditanyakan pada
beliau: apa yang lebih Anda sukai: “Saya duduk di malam hari
menyalin (menulis kembali ilmu) ataukah saya shalat
sunnah?” Beliau menjawab: “Penyalinan yang engkau
lakukan yang dengannya engkau jadi tahu urusan agamamu,
maka itu lebih aku sukai.” Dan Al khollal menyebutkan dari
beliau dalam “Kitabul Ilm” nash-nash yang banyak tentang
pengutamaan ilmu. Dan termasuk dari ucapan beliau juga:
“Manusia itu lebih perlu kepada ilmu daripada keperluan
mereka pada makan dan minum.”…(dan seterusnya).”
(“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 150/cet. Al Maktabatul
‘Ashriyyah).

Di dalam firman Allah ta’ala:


ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫اهدُ وا فينَا َلن َْهد َين َُّه ْم ُس ُب َلنَا َوإِ َّن اهلل َْل َع ا ُْْل ْحسن‬
.﴾‫ني‬ َ ‫﴿ َوا َّلذ‬
َ ‫ين َج‬

"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk


mencari keridhoan Kami, pastilah Kami akan memberi
mereka petunjuk kepada jalan-jalan keridhoan Kami, dan
sesungguhnya Allah itu benar-benar bersama dengan orang
yang berbuat ihsan." (QS. Al 'Ankabut 67)

Al Imam Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy ‫رحمه هللا‬


berkata: “Mereka itu adalah orang-orang yang berhijrah di
jalan Allah, melawan musuh-musuh mereka, mencurahkan
kesungguhan mereka dalam mengikuti keridhoan-Nya
126

“pastilah Kami akan memberi mereka petunjuk kepada


jalan-jalan keridhoan Kami” yaitu: jalan-jalan yang
menyampaikan kepada Kami. Dan yang demikian itu
dikarenakan mereka itu adalah orang-orang yang berbuat
ihsan. “Dan sesungguhnya Allah itu benar-benar bersama
dengan orang yang berbuat ihsan” dengan pertolongan,
kemenangan dan hidayah. Ini menunjukkan bahwasanya
orang yang paling layak mencocoki kebenaran adalah ahli
jihad. Dan ini juga menunjukkan bahwasanya barangsiapa
berbuat baik terhadap apa yang diperintahkan, Allah akan
menolongnya dan memudahkan untuknya sebab-sebab
hidayah. Dan ini juga menunjukkan bahwasanya barangsiapa
bersungguh-sungguh dan bekerja keras dalam mencari ilmu
syar’iy, maka sesungguhnya dia akan mendapatkan hidayah
dan pertolongan untuk mendapatkan apa yang dicarinya,
dengan perkara-perkara ilahiyyah yang di luar dari apa yang
boleh dicapai oleh kerja kerasnya, dan mudahlah baginya
urusan ilmu, karena sesungguhnya menuntut ilmu syar’iy
merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Bahkan dia itu salah
satu dari dua jenis jihad, yang tidak mampu ditegakkan
kecuali oleh makhluk-makhluk yang khusus, yaitu jihad
dengan ucapan dan lisan, terhadap orang-orang kafir dan
munafiqin, dan jihad untuk mengajarkan urusan agama, dan
untuk menolak penyelisihan orang-orang yang menyelisihi
kebenaran, sekalipun mereka adalah dari kalangan
muslimin.” (“Taisirul Karimir Rohman”/hal. 763/cet. Dar
Ihyait Turatsil ‘Arobiy).

Al Imam Ibnu ‘Utsaimin ‫ رحمه هللا‬berkata: “Allah ‫سبح ؤه‬


‫ وتع لى‬telah memuji ilmu dan ahli ilmu, dan mendorong para
hamba-Nya untuk mencari ilmu dan menambah bekal
127

darinya. Demikian pula sunnah yang suci. Maka ilmu adalah


termasuk amal shalih yang paling utama, dan dia itu termasuk
ibadah yang paling utama dan paling agung, ibadah
tathowwu’, karena dia itu adalah satu jenis dari jihad fi
sabilillah, karena sesungguhnya agama Allah ‫ عز وجل‬hanyalah
tegak dengan dua perkara: yang pertama: ilmu dan burhan.
Yang kedua: peperangan dan tombak. Kedua perkara ini harus
ada. Dan tidak mungkin agama Allah tegak dan menang
kecuali dengan keduanya secara bersamaan. Yang pertama
lebih didahulukan daripada yang kedua. Oleh karena itulah
dulu Nabi ‫ ﷺ‬tidak menyerang mendadak terhadap suatu
kaum hingga dakwah ilallah ‫ عز وجل‬itu sampai pada mereka,
sehingga jadilah ilmu itu mendahului peperangan.” (“Kitabul
‘Ilm”/pasal kedua/hal. 13/cet. Daruts Tsuroyya).

Syaikh kami al Muhaddits Yahya bin Ali Al Hajuriy ‫حفظه‬


‫ هللا‬berkata: “Tidak ada di sana jihad yang lebih bermanfaat
daripada ilmu, pada zaman-zaman ini.” (faidah ini dicatat
pada tanggal 23 Sya’ban 1430 H).

Kesimpulannya:

Umat Islam tidak akan mulia, tertolong dan menang


selama mereka berpaling dari sebab-sebab kejayaan mereka.

Al Imam Al Qurthubiy ‫ رحمه هللا‬berkata dalam tafsir


Surat Al Baqarah: (249) –yang telah tersebut pada kunci
kelima belas-: “Maka ini adalah sebab-sebab dan syarat-
syarat kemenangan. Itu semua tidak kita miliki, tidak
terwujud di tengah-tengah kita. Sungguh kita hanyalah milik
Allah dan sungguh hanya kepada-Nya sajalah kita akan
128

kembali, atas musibah yang menimpa dan mengenai kita!


Bahkan tidak tersisa dari Islam melainkan sekedar namanya
saja. Dan tidak tersisa dari agama ini kecuali lambangnya saja,
karena dominannya kerusakan, banyaknya sikap melampaui
batas, dan sedikitnya kelurusan, sehingga musuh menguasai
dari timur dan barat, di daratan dan lautan. Kekacauan telah
meluas dan bencana telah membesar, dan tiada yang
terlindungi kecuali orang yang dirahmati”. (“Al Jami’ Li
Ahkamil Qur’an”/Al Qurthubiy/3/hal. 255).

.‫واهلل تعال أعلم بالصواب‬

.‫واحلمد هلل رب العاملني‬

Malaysia, 22 Muharram 1441 H

Abu Fairuz Abdurrahman Bin Soekojo Al Indonesiy

‫وفقه هللا‬
129

Daftar Isi
Table of Contents
Potret Kata Tazkiyah Dari Fadhilatusy Syaikh Abu
Abdirrahman Abdurraqib Bin Ali Al Kaukabaniy ‫ حفظه هللا‬........ 4
Tazkiyah Dari Fadhilatusy Syaikh Abu Abdirrahman
Abdurraqib Bin Ali Al Kaukabaniy ‫ حفظه هللا‬.............................. 6
Pengantar Penulis ‫ حفظه هللا‬...................................................... 9
Bab Satu: Langkah Yang Tepat Menyikapi Perselisihan ....... 13
Pasal Satu: Perpecahan itu terlarang dan menyebabkan
kelemahan ............................................................................ 13
Pasal Dua: Mengobati Perbedaan Madzhab Dan
Pertentangan Pendapat ....................................................... 20
Wajibnya merujuk pada Allah dan Rasul-Nya ‫ ﷺ‬.............. 22
Pentingnya pemahaman Salaful Ummah ......................... 32
Tidak boleh menakwilkan dalil yang sudah jelas maknanya
demi kepentingan madzhab atau partai .......................... 40
Ijtihad yang boleh dan yang tidak diperbolehkan ............ 41
Sikap terhadap ijtihad para ulama ................................... 43
Jangan bermudah-mudah menghukumi seseorang itu kafir
atau mubtadi’ ................................................................... 52
Bab Dua: Kunci Kemenangan dan Kejayaan Umat .............. 56
Pertama: Memperbaiki tauhid ibadah dan keikhlasan ........ 56
Kedua: Memperbaiki persatuan dan membuang sebab-sebab
perpecahan .......................................................................... 60
130

Ketiga: Memerintahkan pada yang ma’ruf, dan mencegah


dari yang mungkar ............................................................... 63
Keempat: Merealisasikan seluruh rukun dan cabang
keimanan dan ketaatan ....................................................... 66
Kelima: Bertobat dan menjauhi kemaksiatan ...................... 68
Keenam: Merealisasikan ketakwaan pada Allah ................. 77
Ketujuh: Kembali pada manhaj Salaf ................................... 82
Kedelapan: Aktif menolong agama Allah ............................. 85
Kesembilan: Mengokohkan ketawakkalan kepada Allah .... 89
Kesepuluh: Mengikuti bimbingan para ulama Ahlussunnah
Wal Jama’ah ......................................................................... 92
Kesebelas: membuang sikap saling mengejek atau saling
mendengki............................................................................ 97
Keduabelas: Saling menolong dan kebajikan dan ketakwaan
............................................................................................ 104
Ketiga belas: Tidak condong pada orang-orang zhalim ..... 107
Keempat belas: Menjalani tahapan-tahapan jihad di jalan
Allah ................................................................................... 108
Kelima belas: Banyak Bersabar .......................................... 118
Keenam belas: Banyak Berdzikir dan berdoa..................... 120
Ketujuh belas: Belajar ilmu syar’iy ..................................... 122
Daftar Isi ............................................................................. 129

Anda mungkin juga menyukai