Anda di halaman 1dari 4

5 Manfaat Memiliki Sifat Qanaah

Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

April 12, 2017

Qana’ah artinya selalu merasa cukup dengan nikmat yang Allah beri. Apa manfaat kita memiliki
sifat qana’ah?

1- Mendapatkan dunia seluruhnya

Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda,

ْ ‫وت يَ ْو ِم ِه فَ َكَأنَّ َما ِحي َز‬


‫ت لَهُ ال ُّد ْنيَا‬ ُ ُ‫َم ْن َأصْ بَ َح ِم ْن ُك ْم آ ِمنًا فِى ِسرْ بِ ِه ُم َعافًى فِى َج َس ِد ِه ِع ْن َدهُ ق‬
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan
masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di
rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi, no. 2346;
Ibnu Majah, no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).

 2- Menjadi orang yang beruntung

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ُ‫ق َكفَافًا َوقَنَّ َعهُ هَّللا ُ بِ َما آتَاه‬ ِ ‫قَ ْد َأ ْفلَ َح َم ْن َأ ْسلَ َم َور‬
َ ‫ُز‬
“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan
Allah mengaruniakannya sifat qana’ah (merasa puas) dengan apa yang diberikan kepadanya.”
(HR. Muslim, no. 1054).

 3- Mudah bersyukur

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ا ْنظُرُوا ِإلَى َم ْن َأ ْسفَ َل ِم ْن ُك ْم َوالَ تَ ْنظُرُوا ِإلَى َم ْن هُ َو فَ ْوقَ ُك ْم فَهُ َو َأجْ َد ُر َأ ْن الَ تَ ْز َدرُوا نِ ْع َمة‬
ِ ‫هَّللا‬
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah
engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu
akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim, no. 2963).

4- Menjauhkan diri dari hasad (iri, cemburu pada nikmat orang lain)

Kenapa harus cemburu pada orang kalau kita sendiri sudah merasa cukup dengan nikmat yang
Allah beri?
Merasa tidak suka terhadap nikmat yang ada pada orang lain, sudah disebut hasad oleh Ibnu
Taimiyyah, walau tidak menginginkan nikmat tersebut hilang. Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata, “Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang
yang menjadi sasaran hasad.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:111). Adapun menurut kebanyakan
ulama, hasad adalah menginginkan suatu nikmat orang lain itu hilang. (Al-Mawsu’ah Al-
Fiqhiyyah, 17:269)

Hasad itu begitu bahaya karena seolah-olah protes akan takdir Allah. Sebagaimana disebut
dalam ayat,

َ ‫ضهُ ْم فَ ْو‬
‫ق‬ َ ‫ك نَحْ ُن قَ َس ْمنَا بَ ْينَهُ ْم َم ِعي َشتَهُ ْم ِفي ْال َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َو َرفَ ْعنَا بَ ْع‬ َ ِّ‫ون َرحْ َمةَ َرب‬َ ‫َأهُ ْم يَ ْق ِس ُم‬
َ ‫ك َخ ْي ٌر ِم َّما يَجْ َمع‬
‫ُون‬ َ ِّ‫ضهُ ْم بَ ْعضًا س ُْخ ِريًّا َو َرحْ َمةُ َرب‬ ُ ‫ت لِيَتَّ ِخ َذ بَ ْع‬ٍ ‫ْض َد َر َجا‬
ٍ ‫بَع‬
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS.
Az-Zukhruf : 32)

Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ُ ِ‫ق ال َّش ْع َر َولَ ِك ْن تَحْ ل‬


‫ق‬ ُ ِ‫ضا ُء ِه َى ْال َحالِقَةُ الَ َأقُو ُل تَحْ ل‬ َ ‫َدبَّ ِإلَ ْي ُك ْم َدا ُء اُأل َم ِم قَ ْبلَ ُك ُم ْال َح َس ُد َو ْالبَ ْغ‬
‫ِّين َوالَّ ِذى نَ ْف ِسى بِيَ ِد ِه الَ تَ ْد ُخلُوا ْال َجنَّةَ َحتَّى تُْؤ ِمنُوا َوالَ تُْؤ ِمنُوا َحتَّى تَ َحابُّوا َأفَالَ ُأنَبُِّئ ُك ْم‬ َ ‫الد‬
‫ِّت َذا ُك ْم لَ ُك ْم َأ ْف ُشوا ال َّسالَ َم بَ ْينَ ُك ْم‬
ُ ‫بِ َما يُثَب‬
“Telah berjalan kepada kalian penyakit umat-umat terdahulu, yaitu hasad dan permusuhan.
Dan permusuhan adalah membotaki. Aku tidak mengatakan membotaki rambut, akan tetapi
membotaki agama. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya tidaklah kalian masuk surga
hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah
aku kabarkan kepada kalian dengan apa bisa menimbulkan hal tersebut? Tebarkanlah salam di
antara kalian.” (HR. Tirmidzi, no. 2510 dan Ahmad, 1: 164. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ َ‫ َو ْالب‬،ُ‫ اَأل ْشر‬: ‫ يَا َرس ُْو َل هللاِ َو َما َدا ُء اُأل َم ِم ؟ قَا َل‬: ‫ فَقَالُوا‬، ‫ُصيْبُ ُأ َّمتِي َدا ُء اُأل َم ِم‬
‫ط ُر‬ ِ ‫َسي‬
ُ ‫والتَّ َكاثُ ُر َوالتَّنَاجُشُ فِي ال ُّد ْنيَا َوالتَّبَا ُغضُ َوالتَّ َحا ُس ُد َحتَّى يَ ُك ْو َن ْالبَ ْغ‬
‫ي‬
“Umatku akan ditimpa penyakit berbagai umat.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah,
apa saja penyakit umat-umat (terdahulu)?” Rasulullah berkata, “Kufur Nikmat,
menyalahgunakan nikmat, saling berlomba memperbanyak dunia, saling berbuat najsy
(mengelabui dalam penawaran, pen.), saling memusuhi, dan saling hasad-menghasadi hingga
timbulnya sikap melampaui batas (kezaliman).” (HR. Al-Hakim, 4: 168 dan Ath-Thabrani dalam
Al-Mu’jam Al-Awsath, 2/275/9173. Al-Hakim menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih,
perawinya tsiqah termasuk perawi Imam Muslim. Imam Adz-Dzahabi menyetujui sanadnya
yang shahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 680)

Orang yang selamat dari hasad adalah jalan menuju surga. Coba perhatikan kisah berikut.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫طلُ ُع َعلَ ْي ُك ُم اآْل َن َر ُج ٌل ِم ْن َأ ْه ِل‬ ْ َ‫ ” ي‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل‬ َ ِ‫ُول هللا‬ ِ ‫ُكنَّا ُجلُوسًا َم َع َرس‬
َ َّ‫ قَ ْد تَ َعل‬،‫ف لِحْ يَتُهُ ِم ْن ُوضُوِئ ِه‬
‫ق نَ ْعلَ ْي ِه فِي يَ ِد ِه‬ ُ ‫ تَ ْن ِط‬،‫ار‬ِ ‫ص‬ َ ‫ْال َجنَّ ِة ” فَطَلَ َع َر ُج ٌل ِم َن اَأْل ْن‬
‫ك ال َّر ُج ُل ِم ْث َل‬ َ ِ‫ فَطَلَ َع َذل‬،‫ك‬ َ ِ‫ ِم ْث َل َذل‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ‫ قَا َل النَّبِ ُّي‬،‫ان ْال َغ ُد‬ َ ‫ فَلَ َّما َك‬،‫ال‬ِ ‫ال ِّش َم‬
،‫ ِم ْث َل َمقَالَتِ ِه َأ ْيضًا‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ قَا َل النَّبِ ُّي‬،‫ث‬ َ ‫ فَلَ َّما َك‬. ‫ْال َم َّر ِة اُأْلولَى‬
ُ ِ‫ان ْاليَ ْو ُم الثَّال‬
ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم تَبِ َعهُ َع ْب ُد هللا‬ َ ‫ فَلَ َّما قَا َم النَّبِ ُّي‬،‫ك ال َّر ُج ُل َعلَى ِم ْث ِل َحالِ ِه اُأْلولَى‬ َ ِ‫فَطَلَ َع َذل‬
َ ‫ فَِإ ْن َرَأي‬،‫ت َأ ْن اَل َأ ْد ُخ َل َعلَ ْي ِه ثَاَل ثًا‬
‫ْت‬ ُ ‫ْت َأبِي فََأ ْق َس ْم‬
ُ ‫ ِإنِّي اَل َحي‬:‫اص فَقَا َل‬ ِ ‫ب ُْن َع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬
‫ نَ َع ْم‬:‫ت ؟ قَا َل‬ َ ‫ض َي فَ َع ْل‬ ِ ‫ك َحتَّى تَ ْم‬ َ ‫َأ ْن تُْؤ ِويَنِي ِإلَ ْي‬
“Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun
berkata, ‘Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga.’ Maka munculah
seseorang dari kaum Anshar, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil
menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan
kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang
tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka ‘Abdullah bin ‘Amr
bin Al-‘Ash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya, “Aku bermasalah dengan ayahku
dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh
menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?” Maka orang tersebut menjawab, “Silakan.”

Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya,

‫ َغ ْي َر‬،‫ فَلَ ْم يَ َرهُ يَقُو ُم ِم َن اللَّي ِْل َش ْيًئا‬،‫ث‬ َ ‫ك اللَّيَالِي الثَّاَل‬ َ ‫ات َم َعهُ تِ ْل‬ َ َ‫ِّث َأنَّهُ ب‬
ُ ‫ان َع ْب ُد هللاِ يُ َحد‬ َ ‫َو َك‬
‫ قَا َل‬. ‫صاَل ِة ْالفَجْ ِر‬ َ ِ‫ َحتَّى يَقُو َم ل‬،‫اش ِه َذ َك َر هللاَ َع َّز َو َج َّل َو َكبَّ َر‬ ِ ‫ب َعلَى فِ َر‬ َ َّ‫َأنَّهُ ِإ َذا تَ َعا َّر َوتَقَل‬
‫ت َأ ْن َأحْ قِ َر‬ ُ ‫ال َو ِك ْد‬ ُ ‫ت الثَّاَل‬
ٍ َ‫ث لَي‬ ِ ‫ض‬ َ ‫ فَلَ َّما َم‬،‫ َغ ْي َر َأنِّي لَ ْم َأ ْس َم ْعهُ يَقُو ُل ِإاَّل َخ ْيرًا‬:ِ‫َع ْب ُد هللا‬
ُ ‫ َولَ ِك ْن َس ِمع‬،‫ضبٌ َواَل هَجْ ٌر ثَ َّم‬
‫ْت‬ َ ‫ يَا َع ْب َد هللاِ ِإنِّي لَ ْم يَ ُك ْن بَ ْينِي َوبَي َْن َأبِي َغ‬:‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬،ُ‫َع َملَه‬
‫طلُ ُع َعلَ ْي ُك ُم اآْل َن َر ُج ٌل ِم ْن َأ ْه ِل‬ ْ َ‫ ” ي‬:‫ار‬ ٍ ‫ث ِم َر‬ َ ‫ك ثَاَل‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل ل‬ َ ِ‫َرسُو َل هللا‬
‫ فَلَ ْم‬،‫ي ِب ِه‬ َ ‫ فََأ ْقتَ ِد‬،‫ك‬ َ ُ‫ك َأِل ْنظُ َر َما َع َمل‬َ ‫ي ِإلَ ْي‬
َ ‫آو‬ ِ ‫ت َأ ْن‬ُ ‫ فََأ َر ْد‬،‫ار‬ ٍ ‫ث ِم َر‬ َ ‫ت الثَّاَل‬ َ ‫ْت َأ ْن‬ َ ‫ْال َجنَّ ِة ” فَطَلَع‬
‫ َما‬:‫ فَقَا َل‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ‫ك َما قَا َل َرسُو ُل هللا‬ َ ِ‫ فَ َما الَّ ِذي بَلَ َغ ب‬،‫ك تَ ْع َم ُل َكثِي َر َع َم ٍل‬ َ ‫َأ َر‬
‫ َغ ْي َر َأنِّي اَل َأ ِج ُد فِي‬،‫ْت‬ َ ‫ َما هُ َو ِإاَّل َما َرَأي‬:‫ فَقَا َل‬،‫ْت َد َعانِي‬ ُ ‫ فَلَ َّما َولَّي‬:‫ قَا َل‬. ‫ْت‬ َ ‫هُ َو ِإاَّل َما َرَأي‬
ِ‫ فَقَا َل َع ْب ُد هللا‬. ُ‫ َواَل َأحْ ُس ُد َأ َحدًا َعلَى َخي ٍْر َأ ْعطَاهُ هللاُ ِإيَّاه‬،‫ين ِغ ًّشا‬ َ ‫نَ ْف ِسي َأِل َح ٍد ِم َن ْال ُم ْسلِ ِم‬
‫ق‬ُ ‫ َو ِه َي الَّتِي اَل نُ ِطي‬،‫ك‬ َ ِ‫ت ب‬ ْ ‫هَ ِذ ِه الَّتِي بَلَ َغ‬
“Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bercerita bahwasanya ia pun menginap bersama orang tersebut
selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan shalat
malam. Hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka ia pun
berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat Shubuh. ‘Abdullah
bertutur, ‘Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan.’

Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka aku pun
berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara
aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata sebanyak tiga kali bahwa akan muncul kala itu kepada kami seorang penduduk
surga. Lantas engkaulah yang muncul, maka aku pun ingin menginap bersamamu untuk melihat
apa sih amalanmu untuk aku teladani. Namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Lantas
apakah yang telah membuatmu memiliki keistimewaan sehingga disebut-sebut oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Orang itu berkata, ‘Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat.’
Abdullah bertutur, ‘Tatkala aku berpaling pergi, ia pun memanggilku dan berkata bahwa
amalannya hanyalah seperti yang terlihat, hanya saja ia tidak memiliki perasaan dendam dalam
hati kepada seorang muslim pun dan ia tidak pernah hasad kepada seorang pun atas kebaikan
yang Allah berikan kepada yang lain.’ Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang mengantarkan
engkau (menjadi penduduk surga, pen.) dan inilah yang tidak kami mampui.” (HR. Ahmad, 3:
166. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Bukhari-Muslim)

Kalau qana’ah dimiliki, sifat hasad akan hilang dan semakin memudahkan ke surga.

5- Mengatasi berbagai problema hidup seperti berutang

Karena kalau seseorang memiliki sifat qana’ah, ia akan menjadikan kebutuhan hidupnya sesuai
standar kemampuan, tak perlu lagi baginya menambah utangan.

Ingatlah, orang yang memiliki sifat qana’ah sungguh terpuji. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam minta dalam doa beliau sifat qana’ah (selalu merasa cukup) seperti dalam doa berikut,

َ ُ‫اللَّهُ َّم إنِّي أسْأل‬


َ َ‫ وال َعف‬، ‫ والتُّقَى‬، ‫ك الهُ َدى‬
‫ وال ِغنَى‬، ‫اف‬
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu petunjuk (dalam ilmu dan amal), ketakwaan, sifat ‘afaf
(menjaga diri dari hal yang haram), dan sifat ghina’ (hati yang selalu merasa cukup atau
qana’ah).” (HR. Muslim, no. 2721, dari ‘Abdullah).

‘Afaf artinya menjaga iffah, menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik, termasuk juga menjauhkan
diri dari syubhat (hal yang masih samar). Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “’Afaf
adalah menahan diri dari yang haram, juga menjauhkan dari hal-hal yang menjatuhkan
kehormatan diri. Ulama lain mengungkapkan ‘iffah (sama dengan ‘afaf) adalah menahan diri
dari yang tidak halal.” (Syarh Shahih Muslim, 12: 94)

Semoga bermanfaat.

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/15569-5-manfaat-memiliki-sifat-qanaah.html

Anda mungkin juga menyukai