Anda di halaman 1dari 172

[Date] 1

PENDAHULUAN

‫ َون َ ُعو ُذ ِِبلل َّ ِه ِم ْن ُش ُر ِور‬,‫ َون َ ْستَ ْغ ِف ُر ُه‬,ُ‫ َون َ ْس َت ِعي ُنه‬,‫ ن َ ْح َم ُد ُه‬,‫إ َِّن الْ َح ْم َد ِلل َّ ِه‬
.‫ َو َسيِّئ َِات أَ ْع َما ِلنَا‬,‫أَن ْ ُف ِسنَا‬
Segala puji hanya bagi Alloh, kami memuji-Nya,
memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami
berlindung kepada Alloh dari kejahatan diri-diri kami
dan kejelekan amal perbuatan kami.

‫ َوأَ ْشه َُد أَ ْن‬,ُ‫ َو َم ْن يُضْ ِل ْل فَ َال هَا ِد َي لَه‬,ُ‫َم ْن يَهْ ِد ِه الل َّ ُه فَ َال ُم ِض َّل لَه‬
. ‫ َوأَ ْشه َُد أَ َّن ُم َح َّمدً ا َع ْب ُد ُه َو َر ُسولُ ُه‬,ُ‫َال ِإلَ َه ِإالَّ الل َّ ُه َو ْح َد ُه َال َش ِريْ َك لَه‬
Barangsiapa yang Alloh beri petunjuk, maka tidak ada
yang dapat menye-satkannya, dan barangsiapa yang
Alloh sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya
petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
berhak diibadahi dengan benar kecuali Alloh saja, tidak
ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi
Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya.

‫ََي أَيُّهَا ال َّ ِذ َين آ َمنُوا ات َّ ُقوا الل َّ َه َح َّق تُقَا ِت ِه َو َال ت َ ُموتُ َّن ِإالَّ َوأَن ْ ُت ْم‬
. ‫ون‬ َ ‫م ُْس ِل ُم‬

[Date] 2
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Alloh dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102)

‫ََي أَيُّهَا النَّ ُاس ات َّ ُقوا َربَّ ُك ُم ال َّ ِذي َخلَقَ ُك ْم ِم ْن ن َ ْف ٍس َوا ِح َد ٍة َو َخلَ َق ِمنْهَا‬
َ ُ‫َز ْو َجهَا َوب َ َّث ِمنْهُ َما ِر َجا ًال كَ ِث ًيرا َو ِن َسا ًء َوات َّ ُقوا الل َّ َه ال َّ ِذي ت َ َسا َءل‬
‫ون ِب ِه‬
. ‫َو َاأل ََ ْر َحا َم إ َِّن الل َّ َه َك َان عَلَ ْي ُك ْم َرِقي ًبا‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Robb-mu
yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan
daripadanya Alloh menciptakan isterinya, dan dari-pada
keduanya Alloh memperkembang-biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh
yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturahmi. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan
menga-wasimu.” (QS. An-Nisaa’: 1)

‫ََي أَيُّهَا ال َّ ِذ َين آ َمنُوا ات َّ ُقوا الل َّ َه َو ُقولُوا قَ ْو ًال َس ِديدًا يُ ْص ِل ْح لَ ُك ْم أَ ْع َمالَ ُك ْم‬
. ‫َوي َ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم َو َم ْن يُ ِطع ِ الل َّ َه َو َر ُسولَ ُه فَقَدْ فَ َاز فَ ْو ًزا ع َِظي ًما‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Alloh dan ucapkanlah perkataan yang benar,
niscaya Alloh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan
barangsiapa mentaati Alloh dan Rosul-Nya, maka

[Date] 3
sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. Al-Ahzaab: 70-71)

[Date] 4
: ‫أَ َّما ب َ ْع ُد‬
‫َو َش َّر‬ ,‫ َو َخيْ َر الْهَدْ ِي هَدْ ُي ُم َح َّم ٍد‬,‫يث ِكتَ ُاب الل َّ ِه‬ ِ ‫فَإ َِّن َخيْ َر الْ َح ِد‬
‫َو ُك ُّل‬ ,‫ َو ُك َّل ِبدْ عَ ٍة ضَ َاللَ ٌة‬,‫ َو ُك َّل ُم ْح َدث َ ٍة ِبدْ عَ ٌة‬,‫ُاأل ُم ِور ُم ْح َد ََثتُهَا‬
.ِ‫الل َ ٍة ِفي النَّار‬َ َ‫ض‬
Amma ba’du:
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah
Kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad (as-Sunnah). Seburuk-buruk
perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam
agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama)
adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap
kesesatan tempatnya di Neraka.
Berbicara tentang kedua orang tua Nabi shollalloohu
‘alayhi wa sallam, berarti harus kembali kepada sejarah
Islam sebelum Nabi Muhammad shollalloohu ‘alayhi wa
sallam. Seperti yang disebutkan para ahli sejarah, ayah
Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam, ‘Abdulloh bin
Abdul Mutholib, meninggal sebelum beliau dilahirkan.
Ini pendapat mayoritas ulama sejarah. Sementara itu, ada
juga yang berpendapat bahwa ayah Nabi shollalloohu
‘alayhi wa sallam meninggal 2 bulan setelah kelahiran
putranya. (Fiqh as-Sirah, al-Ghazali, hlm. 45).

[Date] 5
Sementara ibu Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam,
Aminah bintu Wahb, meninggal di daerah Abwa’, saat
Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam berusia 6 tahun.
(Sirah Ibnu Hisyam, 1/168).
Karena itulah, baik ayah maupun ibunya Nabi
Muhammad shollalloohu ‘alayhi wa sallam, keduanya
meninggal jauh sebelum putranya diutus menjadi Nabi.
Sehingga kita tidak bisa mengetahui status agama
mereka, tanpa melalui berita dan wahyu yang Alloh
sampaikan.
Dalam rukun iman, salah satu yang wajib kita imani
adalah beriman kepada para Rosul. Terutama Nabi
Muhammad shollalloohu ‘alayhi wa sallam sebagai Nabi
terakhir. Konsekuensi dari iman kepada beliau adalah
mengimani semua berita yang beliau sampaikan.
Siapa yang tidak beriman dengan berita yang beliau
sampaikan, maka belum disebut sebagai mukmin.
Dari Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu, Nabi shollalloohu
‘alayhi wa sallam bersabda,

‫ُأ ِم ْر ُت أَ ْن ُأقَا ِت َل النَّ َاس َحتَّى ي َْشه َُدوا أَ ْن َال ِإلَ َه ِإالَّ الل َّ ُه َويُ ْؤ ِمنُوا بِىى‬
َّ‫َو ِب َما ِجئ ُْت ِب ِه فَ ِإ َذا فَ َعلُوا َذ ِل َك ع ََص ُموا ِمنِّى ِد َما َءه ُْم َوأَ ْم َوالَه ُْم ِإال‬
‫ِب َحقِّهَا َو ِح َسابُه ُْم عَلَى الل َّ ِه‬
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai
mereka bersyahadat laa ilaaha illallooh, beriman
kepadaku, dan beriman kepada apa yang aku bawa.

[Date] 6
Jika mereka melakukan itu semua, bearrti mereka telah
melindungi darah mereka dan harta mereka. Kecuali
karena asalan yang hak, dan mengenai hisab Alloh yang
menanggung. (HR. Muslim 135)
Satu yang pasti, bukan suatu hal yang mustahil, keluarga-
keluarga para Nabi itu tidak selamat dari kesesatan dan
kekafiran. Terbukti istri Nabi Nuh dan Nabi Luth
‘alayhimassalaam ingkar, sehingga mereka berdua tidak
bisa menyelamatkan istri-istrinya dari siksa Alloh ‘Azza
wa Jalla. Alloh Ta’ala berfirman,

‫وط كَانَتَا ت َ ْح َت‬ ٍ ُ‫ضَ َر َب الل َّ ُه َمث ًَال ِلل َّ ِذ َين َك َف ُروا ِا ْم َرأَ َة نُوح ٍ َوا ْم َرأَ َة ل‬
‫َع ْب َد ْي ِن ِم ْن ِع َبا ِد ََن َصا ِل َح ْي ِن فَ َخان َ َتا ُه َما فَلَ ْم يُ ْغ ِن َيا َع ْنهُ َما ِم َن الل َّ ِه َش ْيئًا‬
‫َو ِقي َل ا ْدخ َُال النَّ َار َم َع ال َّدا ِخ ِل َين‬
“Alloh membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai
perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada
di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di
antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu
berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka
suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun
dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya):
“Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang
yang masuk (jahannam).” (QS. At-Tahrim: 10)
Demikian pun ayah Nabi Ibrohim yang kafir dan anak
Nabi Nuh yang juga ingkar. Al-Quran menyebutkan
mereka berdua dengan jelas, Alloh Ta’ala berfirman,

[Date] 7
‫َو َما َك َان ْاس ِت ْغ َف ُار ِإ ْب َرا ِهي َم ألبِي ِه ِإالّ عَن ّم ْو ِع َد ٍة َوعَ َدهَآ إ َِّي ُه فَلَ ّما ت َ َبي ّ َن‬
ّ ‫لَ ُه أَن ّ ُه عَ ُد ّو لل ّ ِه تَبَ ّرأَ ِمنْ ُه إ ِّن ِإ ْب َرا ِهي َم‬
‫ألوا ٌه َح ِلي ٌم‬
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah)
untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji
yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka,
tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah
musuh Alloh, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya.
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lagi penyantun” (QS. At-Taubah: 114).
Tentang anak Luth ‘alayhissalaam,

‫َو ِقي َل ي َ َأ ْر ُض ابْلَ ِعي َمآ َء ِك َوي ََس َمآ ُء أَ ْق ِل ِعي َو ِغ َيض الْ َمآ ُء َو ُق ِض َي األ ْم ُر‬
ٌ ُ ‫الظا ِل ِم َين * َو ََندَى ن‬
‫وح ّرب ّ ُه‬ ّ ‫َو ْاس َت َو ْت عَلَى الْ ُجو ِد ّي َو ِقي َل بُ ْعداً لّلْقَ ْو ِم‬
‫نت أَ ْح َك ُم‬ َ َ‫فَقَا َل َر ّب إ ِّن ابُ ِني ِم ْن أَ ْه ِلي َوإ ِّن َو ْع َدكَ الْ َح ّق َوأ‬
‫وح ِإن ّ ُه لَيْ َس ِم ْن أَ ْه ِل َك ِإن ّ ُه َع َم ٌل غَيْ ُر َصا ِل ٍح فَ َال‬
ُ ‫الْ َحا ِك ِم َين * قَا َل ي َ ُن‬
َ ‫ت َ ْس َألْ ِنـي َما لَيْ َس ل َ َك ِب ِه ِعلْ ٌم ِإن َّي أَ ِع ُظ َك أَن تَ ُك‬
‫ون ِم َن الْ َجا ِه ِل َين‬
“Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai
langit (hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan,
perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh
di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-
orang yang zalim“. Dan Nuh berseru kepada Robb-nya
sambil berkata: “Ya Robbku, sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau
itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang

[Date] 8
seadil-adilnya”. Alloh berfirman: “Hai Nuh,
sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang
dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu
janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang
kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan
termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”
(QS. Huud : 44-46)
Kemudian, bagaimana status kedua orang tua Nabi
Muhammad shollalloohu ‘alayhi wa sallam di negeri
Akhirat? Akankah sama status keluarga Nabi Ibrohim,
Luth dan Nuh ‘alayhimussalam, sebagaimana disebutkan
di atas?
Nah, buku yang sekarang hadir di hadapan Anda ini
merupakan salah satu partisipasi seorang hamba yang
lemah dalam menjelaskan masalah ini serta menyingkap
beberapa syubhat seputarnya. Kita berdo’a kepada Alloh
‘Azza wa Jalla agar menjadikan tulisan ini ikhlas karena
mengharap pahala dari-Nya dan bermanfaat bagi kita
semua serta petunjuk bagi saudara kita yang tersesat
jalan atau masih bingung mengenainya.
Tak lupa kami ucapkan syukron wa jazaakillaah khoyron
kepada istriku yang sangat membantu terselesaikannya
tulisan ini.

[Date] 9
Ditulis oleh hamba yang mengharapkan ampunan Robb-
Nya

Abu Hudzaifah Ismail bin Idris Al-Makassari


Makassar, 02-10-2020

[Date] 10
BUKTI CINTA NABI:diantaranya
MENERIMA & MEMBENARKAN SABDA
NABI -shollallohu ‘alayhi wa sallam-
TERKAIT ORANG TUA NABI DI
AKHIRAT

Prolog
Status orang tua Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam
telah menjadi topik perbincangan para ulama sejak
dahulu. Sebagian mereka menggolongkannya dalam
pembahasan aqidah (seperti Imam Abu Hanifah dalam
kitabnya al-Fiqh al-Akbar),1 namun kebanyakan ulama
1
Ini diantara manfaat yang besar membahas dan mempelajari
permasalahan ini, yakni agar aqidah-aqidah kaum muslimin
terselamatkan dari penyimpangan terkait salah satu keimanan
mereka kepada perkara ghoib. Dimana beriman kepada perkara
ghoib, salah satu rukun dari rukun-rukun keimanan. Karena
berbicara tentang status kedua orang tua Nabi shollalloohu ‘alayhi
wa sallam di akhirat termasuk berbicara tentang keimanan
terhadap hari akhir, yang dia itu merupakan keimanan terhadap
perkara ghoib.

Alloh subhanahu wa Ta’ala berfirman,

[Date] 11
hanya membahasnya ketika mensyarah (menjelaskan)
hadits-hadits yang berkaitan dengan hal tersebut (seperti

َ ُ ْ ُ ََْ َ َ َّ َ ُ ُ َ ْ َ ْ َ ُ ْ ُ َ َّ
‫الصَلة َو ِم َّما َرزقناه ْم ُين ِفقون‬ ‫ال ِذين يؤ ِمنون ِبالغي ِب وي ِقيمون‬
(yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang gaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka. (QS. Al-Baqoroh: 3)

Ada banyak ayat-ayat di dalam al Quran dan hadits-hadits Nabi


shollalloohu ‘alayhi wa sallam yang mengabarkan orang-orang
tertentu yang Alloh telah pastikan bagi mereka dengan neraka dan
adzab, diantaranya: Abu Lahab sebagaimana dalam surah Al-Lahab,
Fir’aun dalam beberapa tempat di dalam al Quran, Abrahah
sebagaimana dalam surah Al-Fiil, para sahabat Nabi shollalloohu
‘alayhi wa sallam sebagaimana dalam surah At-Taubah ayat 100,
beberapa sahabat Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam yang masih
hidup telah dijanjikan surga kepada mereka, dan lain-lain yang
masih banyak lagi, dimana ini semua berbicara tentang perkara
ghoib, keimanan terhadap hari Akhir.

Juga masuk dalam pembahasan ini adalah bahwa memastikan


orang-orang tertentu dengan surga atau neraka merupakan
perbuatan terlarang jika hal tersebut tidak didukung oleh dalil,
sebagaimana yang disebutkan barusan. Abu Lahab, Fir’aun,
Abrahah, seandainya al Quran tidak menyebutkan status mereka di
akhirat, apakah di surga atau di neraka, maka kita tidak boleh
mengatakan, bahwa mereka adalah penghuni-penghuni neraka
secara pasti. Demikian pun semua sahabat Nabi shollalloohu ‘alayhi
wa sallam atau sebagian sahabat Nabi yang masih hidup telah
dipastikan tempatnya di akhirat, maka ini pun seandainya bukan
merupakan pengabaran dari Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam,
maka kita tidak boleh mengatakan demikian dan berkeyakinan
demikian.

[Date] 12
hadits Anas bin Malik tentang ayah Nabi Shollalloohu
‘alayhi Wa Sallam di neraka dan hadits Abu Hurairah
tentang Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam yang tidak
diizinkan untuk memintakan ampunan bagi ibunya).
Adapun para ahli tafsir mereka biasa membahas
permasalahan ini ketika menafsirkan firman Alloh ayat
113 dari surat at-Taubah.
Jika kita menghimpun pernyataan para ulama hingga
zaman As-Suyuthi rohimahulloh (sekitar abad ke-10
Hijriyyah), akan kita temukan bahwa mayoritas ulama
menyatakan bahwa orang tua Nabi shollalloohu ‘alayhi
wa sallam memang wafat dalam kondisi musyrik dan
kesudahan keduanya adalah Neraka. Hanya segelintir
ulama –di antaranya As-Suyuthi- yang berpendapat
bahwa orang tua Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam
tidak berkesudahan di Neraka, atau bahwa keduanya
kelak akan dihidupkan kembali untuk memeluk Islam
sehingga dapat masuk Surga.
Namun anehnya, beberapa tahun belakangan ini muncul
beberapa da’i provokator yang sepertinya menutup mata
dari pendapat mayoritas ulama, dan malah serta-merta
memprovokasi masyarakat dengan memberikan kesan
bahwa siapa saja yang menyatakan bahwa orang tua Nabi
shollalloohu ‘alayhi wa sallam akan berakhir di Neraka
adalah goblok nan tidak cinta kepada Nabi shollalloohu
‘alayhi wa sallam. SubhaanAlloh! Sebagaimana
pernyataan salah seorang habib di youtube. Sang Habib
berkata :

[Date] 13
“Cuma kurang ajarnya wahabi begitu, wahabi bilang
bapak-ibu Nabi dalam neraka, ini orang-orang goblok,
orang-orang tidak ngerti hadits”. (lihat menit 11.14)
Sebenarnya tidak perlu mengatakan orang yang berbeda
pendapat dengan kita dengan julukan “goblok”, “tidak
ngerti hadits”, atau tuduhan-tuduhan senada lainnya.
Provokasi da’i-da’i tersebut rupanya berhasil, sehingga
sebagian masyarakat awam akhirnya mengambil
tindakan, di antaranya mengusir sebagian da’i yang
berpendapat bahwa orang tua Nabi Shollalloohu ‘alayhi
Wa Sallam wafat dalam kondisi musyrik. Semoga Alloh
mengampuni dan memberi petunjuk bagi mereka kepada
jalan-Nya yang lurus.
Seandainya provokasi tersebut ingin dibalas, kita bisa
mengatakan sebaliknya, bahwa “Keyakinan bahwa
ayah Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam dan
seluruh nenek moyang Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa
Sallam tidak ada yang kafir adalah aqidah Syiáh”.
Ar-Raazi (wafat 606 H) berkata :

‫الس َال ُم‬ َّ ‫ إ َِّن أَ َحدًا ِم ْن َآِب ِء َّالر ُسولِ عَلَ ْي ِه‬:‫الشي َع ُة‬
َّ ‫الص َال ُة َو‬ ِّ ‫قَالَ ِت‬
‫َوأَ ْج َدا ِد ِه َما َك َان َكا ِف ًرا َوأَ ْن َك ُروا أَ ْن يُقَا َل إ َِّن َوا ِل َد ِإ ْب َرا ِهي َم َك َان َكا ِف ًرا‬
َّ ‫َو َذ َك ُروا أَ َّن َآز َر َك َان َع َّم ِإ ْب َرا ِهي َم عَلَ ْي ِه‬
‫الس َال ُم‬
“Syiáh berkata, ‘Sesungguhnya tidak seorangpun dari
ayah dan kakek-kakek Nabi shollalloohu álaihi wa sallam
yang kafir.’

[Date] 14
Mereka (Syiáh) juga mengingkari bahwa bapak Nabi
Ibrahim álayhis salaam kafir, dan mereka berkata bahwa
Azar (yang disebutkan dalam Al-Qur’an) adalah paman
Nabi Ibrahim álayhis salaam (bukan bapaknya)” [Tafsir
Ar-Raazi (13/32)]
Kemudian, jika menurut sang Habib setiap orang yang
menyatakan orang tua Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa
Sallam wafat dalam keadaan musyrik adalah Wahabi
yang goblok, maka berarti puluhan ulama (termasuk
ulama madzhab Syafi’i) adalah sama dengan Wahabi
yang goblok, di antaranya adalah Imam Al-Baihaqi,
Imam An-Nawawi, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Adz-
Dzahabi. Ya, sesuai pernyataan sang Habib, mereka
semua ini “goblok tidak ngerti hadits”. Padahal jajaran
nama di atas adalah deretan ulama tokoh besar madzhab
Syafi’i dan termasuk ulama pionir ilmu hadits!!
Berikut ini daftar para ulama Islam dari berbagai mazhab
fikih dan dari berbagai kurun (hingga abad ke 9/awal
abad ke 10) yang menyatakan bahwa orang tua
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam keadaan
musyrik.

1. Ulama Madzhab
 Maaliki
Al-Qadhi Íyaadh (544H)
Beliau mengatakan dalam Ikmaal al-Mu’lim bi
Fawaidi Muslim (1/591) bahwa Nabi Shallallahu

[Date] 15
‘alaihi Wa Sallam hendak menghibur orang yang
sedih tersebut, dengan memberitahukan kepadanya
bahwa nasib ayah Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa
Sallam sama dengan nasib ayahnya, yakni
kesudahan keduanya adalah di neraka.
Abul Ábbas Al-Qurthubi (656H)
(Al-Mufhim li maa Asykala min Talkhiis Kitaab
Muslim, 1/46-461)
Al-Qarafi (684H)
Beliau mengisyaratkan bahwa kedua orang tua
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam di neraka.
(Syarh Tanqih al-Fushul, hlm. 297)
Beliau juga menyatakan bahwa setiap yang
meninggal di zaman Jahiliyah maka ia akan
berakhir di Neraka.
 Hanafi
Abu Hanifah (150H)
Beliau mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam meninggal di atas
kekafiran. (Demikian dinukil oleh Ibnu Ábidin
dalam Radd Al-Muhtaar alaa ad-Durr Mukhtar
(3/185), dan dinukil pula oleh Ali al-Qaari dalam
Adillah Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fii
Abawai ar-Rasuul ‘alaihis sholaatu was salaam
(1/37)

[Date] 16
At-Thohawi (321H)
Beliau menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam ditegur ketika memohonkan
ampunan untuk ibunya. (Syarh Musykil al-Atsar
6/285)
As-Sarakhsi (483H)
Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-
orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang
tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam. (Al-Mabsuuth, 4/224 dan
30/289)
Al-Kasani (587H)
Beliau menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam kafir. (Badai’ ash-
Shanai’ fii Tartiib asy-Syarāi’, 2/272)
Al-Manbaji (686H)
Beliau memberi isyarat bahwa ibu Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam tidak beriman.
(Al-Lubab fi al-Jam’ baina as-Sunnah wa al-Kitab
2/133)
 Syaafi’i
Al-Mawardi (450H)
Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-
orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang

[Date] 17
tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam. (Al-Haawi al-Kabiir, 9/301 dan
11/284)
Al-Baihaqi (458H)
Beliau mengatakan: Bahwa orang tua Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah penyembah
berhala.
(Dalail An-Nubuwwah, Al-Baihaqi, 1/192)
Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam juga
mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam adalah musyrik. (As-
Sunan al-Kubra, 7/308, hal 14077)
Al-Juwaini (478H)
Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-
orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang
tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam. (Nihaayah al-Mathlab fi
Diraayah al-Madzhab, 12/289)
Abul Husain Al-Imrani Al-Yamani (558H)
Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-
orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang
tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam. (Al-Bayaan fi Madzhab Al-
Imam Asy-Syafi’i, 9/329)

[Date] 18
Ar-Rafi’i (623H)
Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-
orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang
tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam. (Al-Aziiz syarh al-Wajiiz, 8/97)
An-Nawawi (676H)
Beliau menyatakan bahwa orang tua Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam
kekafiran. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin
Al-Hajjaaj, 7/45)
Ibnur Rif’ah (710H)
Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-
orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang
tua dan nenek moyang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam. (Kifaayah an-Nabiih, 13/210)
Adz-Dzahabi (748H)
Beliau sangat mengingkari hadis yang berisi
keterangan bahwa orang tua Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam dibangkitkan kembali untuk
beriman. Beliau berdalil dengan sahihnya status
hadis yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam dilarang dari meminta ampunan
untuk ibunya. (Mizan al-I’tidal, 2/684)

[Date] 19
Ibnu Katsir 774H
Beliau menyatakan bahwa kedua orang tua dan
kakek Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam termasuk
penghuni Neraka. (Al-Bidayah wa an-Nihayah,
2/342)
Ibnul Khathib Al-Yamani (Ibnu Nuruddin As-
Syafií) 825H
Beliau menyatakan bahwa pendapat yang
mengklaim bahwa orang tua Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam dihidupkan kembali, lalu
kemudian beriman dan masuk Surga, adalah sikap
ghuluw (ekstrem) dalam agama yang dapat
berakibat kekufuran dan kesesatan. (Taisiir al-
Bayaan li Ahkaam al-Qurán, 3/382)
Ibnu Hajar Al-Asqalani (852H)
Beliau menyatakan bahwa ibu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat dalam keadaan
musyrik. Adapun kakek dan ayah beliau
Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, Ibnu Hajar
menyatakan bahwa keduanya wafat pada masa
fatrah dan akan diuji, sembari berharap bahwa
keduanya akan lulus ujian keimanan tersebut. (Fath
al-Bari, 8/508, Al-Ujaab fi Bayaan al-Asbaab,
1/372, dan Al-Ishaabah, 7/201)

[Date] 20
Al-Biqa’i (885H)
Beliau menyatakan bahwa kesudahan Ahlul Fatroh
yang wafat dalam keadaan tidak menganut agama
Nabi Ibrahim adalah di neraka, diantaranya adalah
ayah Nabi. (Nazhm ad-Durar fi Tanaasub al-Ayaat
wa as-Suwar, 16/332)
 Hambali
Abu Ali Al-Hasyimi Al-Bagdadi (428H)
(Al-Irsyaad ila Sabiil ar-Rasyaad, 285)
Abul Muzhaffar, Yahya bin Hubairah (560H)
Beliau mengatakan:bahwa ayah Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam di Neraka.
(Al-Ifshaah án Ma’aani as-Shihaah, 5/355-356)
Ibnul Jauzi (597H)
Beliau menyatakan bahwa ayah Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam meninggal dalam keadaan kafir,
serta menyatakan bahwa hadis yang menyebutkan
bahwa orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa
Sallam akan hidup kembali adalah hadis maudhu’.
(Al-Maudhu’aat, 1/283)
Abu Muhammad Ibnu Qudamah (620H)
(Al-Mughni, 7/172)
Abul Faraj Ibnu Qudamah (682H)

[Date] 21
(Asy-Syarh al-Kabiir, 7/587)
Najmuddin, Sulaiman bin Abdul Qawiy (716H)
Lihat: Al-Intishaaraat al-Islaamiyyah fi Kasyf
Syubah an-Nashraniyah, 2/714)
Ibnu Taimiyyah (728H)
Beliau mengambil kesimpulan bahwa kedua orang
tua Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam wafat
dalam kekafiran. (Majmuu’ al-Fataawa, 4/325)
Ibnul Qayyim (751H)
Beliau menyatakan bahwa setiap yang meninggal
dalam kemusyrikan (bukan di atas agama Nabi
Ibrahim) sebelum Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam diutus, maka akhirnya adalah di
Neraka, karena telah tegak hujjah baginya.
(Zaad al-Ma’aad, 3/599)
Burhanuddin Ibnu Muflih (884H)
(Al-Mubdi’ fi Syarh al-Muqni’, 6/176)
 Ahlul Hadits
Ibnu Majah (273H)
Dalam Sunan-nya, beliau membawakan hadis yang
mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa
Sallam menziarahi kuburan ibunya dalam: “Bab:

[Date] 22
Tentang menziarahi kuburan orang-orang musyrik”
(Sunan Ibnu Maajah, no. 1572)
An-Nasa’í (303H)
Dalam kitab Al-Mujtaba dan As-Sunan al-Kubra,
beliau memberi judul bagi hadis yang mengisahkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam
menziarahi kuburan ibunya dengan judul : ‫ارة ُ قَبْر‬
َ َ‫زي‬
‫ْال ُم ْشرك‬
“Ziarah kuburan orang musyrik”

Kedua : Ahli Tafsir


Ahli tafsir yang berpendapat bahwa orang tua Nabi
Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam meninggal dalam
kondisi musyrik sangatlah banyak. Silahkan merujuk
perkataan mereka ketika menafsirkan firman Alloh :

‫﴿ َما َك َان ِللنَّبِىيِّ َوال َّ ِذ َين آ َمنُوا أَ ْن ي َْستَ ْغ ِف ُروا ِللْ ُم ْش ِر ِك َين َولَ ْو َكانُوا‬
﴾‫ُأو ِلي ُق ْربَىى ِم ْن ب َ ْع ِد َما ت َ َبي ََّن لَه ُْم أَنَّه ُْم أَ ْص َح ُاب الْ َج ِحيم‬
[Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Alloh) bagi orang-
orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni
Neraka Jahanam] (Q.S. At-Taubah: 113)

[Date] 23
Mereka semua menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat
ini adalah tentang Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam
yang tidak diizinkan untuk memohon ampunan bagi
ibunya. Hal ini karena ibunda beliau wafat dalam kondisi
musyrik.
Para ahli tafsir tersebut :
• Muqatil bin Sulaiman (150H). [Tafsir Muqaatil bin
Sulaiman (2/199)]
• Ath-Thabari (310H). [Tafsir ath-Thabari (14/512 dan
2/560)]
• Abul Laits As-Samarqandi (373H). [Bahr al-Úluum
(2/91)]
• Abu Ishaq Ats-Tsa’labi (427H) [Al-Kasyf wa al-
Bayaan án Tafsiir al-Qurán (5/100-101)]
• Abu Muhammad Al-Andalusi Al-Qurthubi (437H) (Al-
Hidaayah ilaa Buluug an-Nihaayah (4/3171-3172)]
• Al-Mawardi (450H) [An-Nukat wa al-Úyuun 2/409)
• Al-Wahidi (468H) [Al-Wasiith fi Tafsiir al-Qur’an al-
Majiid (2/528)]
• Abul Muzhaffar As-Sam’aani (489H) [Tafsiir al-Qurán
(2/352-353)]
• Al-Baghawi (510H) [Maáalim at-Tanziil fi Tafsiir al-
Qurán (2/394)]
• Az-Zamakhsyari (538H) [Al-Kassyaaf (2/315)]

[Date] 24
• Ibnu Áthiyyah Al-Andalusi (542H) [Al-Muharrar al-
Wajiiz (3/90)]
• Ibnul Árabi (543H) [Ahkam al-Qurán (2/592)]
• Fakhruddin Ar-Razi (606H) [Mafaatiih al-Ghaib/At-
Tafsiir al-Kabiir (17/350)]
• Al-Baidhawi (685H) [Anwaar at-Tanziil wa Asraar at-
Ta’wiil (3/99)]
• Abu Hayyan Al-Andalusi (745H) [Al-Bahr al-Muhiith
(5/512)]
• Ibnu Katsir (774H) [Tafsiir al-Qurán al-Ázhiim
(4/222)]
• Abu Hafsh Ali bin ‘Adil Al-Hanbali (775H) [Al-Lubab
fii ‘Uluum al-Kitab (10/494)]
• Nizhamuddin An-Naisaburi (850H) [Gharaib al-Qurán
wa Raghaib al-Furqan (3/538)]
Adapun ulama yang mengatakan bahwa orang tua Nabi
shollalloohu álaihi wa sallam tidak di neraka (bahkan
sebagian menyatakan masuk surga) -sepanjang penilitian
penulis- adalah :
Pertama: Abu Ábdullah Al-Qurthubi (671H) dalam
kitabnya At-Tadzkirah (hal 138-142) dan kitab Tafsir
beliau (9/32).
Kedua: Ibnu Ruslan Asy-Syafií (844H) dalam Syarh
Sunan Abi Daud (18/285).

[Date] 25
Ketiga: As-Suyuthi asy-Syafí (wafat 911 H) dalam
beberapa kitabnya, di antaranya: Masaalik al-Hunafaa fi
Waalidai al-Mushthafa, Ad-Duraj al-Muniifah fi al-
Aabaa’ asy-Syariifah, Al-Maqaamah as-Sundusiyyah fi
an-Nisbah al-Mushthafawiyyah, At-Ta’zhiim wa al-
Minnah fi anna Abawai Rosulillaah fi al-Jannah, Nasyr
al-Alamain al-Munifain fi Ihyaa’ al-Abawain asy-
Syariifain, dan As-Subul al-Jaliyyah fi al-Aabaa’ al-
Aliyyah.

Kesimpulan :
Ternyata mayoritas ulama menyatakan bahwa kedua
orang tua Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam wafat
dalam kondisi musyrik. Dan ini adalah pendapat yang
sesuai dengan zahir hadits Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa
Sallam yang sahih, sehingga tidak perlu untuk ditakwil-
takwil dengan penafsiran yang terkesan dipaksakan.
Sebaliknya, yang menyatakan kedua orang tua Nabi
Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam wafat dalam kondisi
Islam adalah segelintir ulama saja.
Untuk itu, sebelum kita melangkah terlalu jauh, ada
baiknya kita pahami dulu beberapa poin penjelasan di
bawah ini.

📝 Ada beberapa hal yang harus kita ketahui terkait


permasalahan "Kedudukan orang tua Nabi di
Akhirat"

[Date] 26
1⃣ Apakah keimanan dan ketakwaan para Nabi
bermanfaat bagi keluarganya, meskipun diantara
mereka ada yang kafir?
Tidak dipungkiri bahwa kedudukan para Nabi dan Rosul
itu tinggi di mata Alloh. Namun hal itu bukanlah sebagai
jaminan bahwa seluruh keluarga para Nabi dan Rosul
mendapatkan petunjuk dan keselamatan serta aman dari
ancaman siksa neraka karena keterkaitan hubungan
keluarga dan nasab.

📖 Alloh telah berfirman tentang kekafiran anak Nabi


Nuh ‘alayhis-salaam yang akhirnya termasuk orang-
orang yang ditenggelamkan Alloh bersama orang-orang
kafir :

‫َو ِقي َل ي َ َأ ْر ُض ابْلَ ِعي َمآ َء ِك َوي ََس َمآ ُء أَ ْق ِل ِعي َو ِغ َيض الْ َمآ ُء َو ُق ِض َي األ ْم ُر‬
ٌ ُ ‫الظا ِل ِم َين * َو ََندَى ن‬
‫وح ّرب ّ ُه‬ ّ ‫َو ْاس َت َو ْت عَلَى الْ ُجو ِد ّي َو ِقي َل بُ ْعداً لّلْقَ ْو ِم‬
‫نت أَ ْح َك ُم‬ َ َ‫فَقَا َل َر ّب إ ِّن ابُ ِني ِم ْن أَ ْه ِلي َوإ ِّن َو ْع َدكَ الْ َح ّق َوأ‬
‫وح ِإن ّ ُه لَيْ َس ِم ْن أَ ْه ِل َك ِإن ّ ُه َع َم ٌل غَيْ ُر َصا ِل ٍح فَ َال‬
ُ ‫الْ َحا ِك ِم َين * قَا َل ي َ ُن‬
َ ‫ت َ ْس َألْ ِنـي َما لَيْ َس ل َ َك ِب ِه ِعلْ ٌم ِإن َّي أَ ِع ُظ َك أَن تَ ُك‬
‫ون ِم َن الْ َجا ِه ِل َين‬
Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai
langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan,
perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di
atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang
yang zalim “. Dan Nuh berseru kepada Robbnya sambil
berkata: "Ya Robbku, sesungguhnya anakku termasuk

[Date] 27
keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang
benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-
adilnya”.2 Alloh berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia
bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan),3 sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan
yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon
kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan
kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang
yang tidak berpengetahuan." [Huud : 44-46].

2
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan, “Maksudnya,
sedangkan Engkau telah menjanjikan kepadaku keselamatan
seluruh keluargaku, dan janji-Mu adalah benar, tidak akan diingkari;
maka mengapa Engkau menenggelamkannya. Dan Engkau adalah
Hakim yang seadil-adilnya.”
3
yang telah Aku janjikan keselamatan mereka, karena
sesungguhnya Aku hanya menjanjikan kepadamu keselamatan
orang-orang yang beriman saja dari kalangan keluargamu. Karena
itulah dalam ayat yang lain disebutkan oleh firman-Nya:
َْ ََ َ َ َْ َ
‫َوأهلك ِإال َم ْن َس َبق عل ْي ِه الق ْو ُل‬
dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu
ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. (Hud: 40 ; Al-
Mu’minun: 27)

Putra Nabi Nuh itu termasuk di antara mereka yang telah


ditakdirkan harus ditenggelamkan karena kekafirannya dan
menentang perintah ayahnya sebagai Nabi Alloh.

[Date] 28
‫‪Para ulama berbeda pendapat tentang kafir tidaknya anak‬‬
‫‪Nabi Nuh ‘alayhissalaam, Fakhruddin Ar-Razi berkata‬‬
‫‪tentangnya:‬‬

‫ا ْختَلَ ُفوا ِفي أَن َّ ُه َك َان ابْنًا لَهُ‪َ ،‬و ِفي ِه أَ ْق َوا ٌل‪:‬‬
‫يل عَلَ ْي ِه‪ :‬أَن َّ ُه ت َ َعالَى ن ََّص عَلَ ْي ِه‬‫الْقَ ْو ُل ْ َاأل َّو ُل‪:‬أَن َّ ُه ابْ ُن ُه ِفي الْ َح ِقيقَ ِة‪َ ،‬وال َّد ِل ُ‬
‫وح ابْنَ ُه ونوح أيضا نص عليه فقال‪َ :‬ي بُنَ َّي َو َص ْر ُف‬ ‫فَقَا َل‪َ :‬وَندى ن ُ ٌ‬
‫السبَ ِب‬ ‫ه ََذا الل َّ ْفظِ ِإلَى أَن َّ ُه َر َِّب ُه‪ ،‬فَ َأ ْطلَ َق عَلَ ْي ِه ْاس َم ِاال ْب ِن ِله ََذا َّ‬
‫َص ْر ٌف ِل ْل َك َال ِم ع َْن َح ِقيقَ ِت ِه ِإلَى َم َج ِاز ِه ِم ْن غَيْ ِر ضَ ُر َور ٍة َوأَن َّ ُه َال‬
‫الظا ِه َر ِإن َّ َما خَالَ ُفو ُه ِ َألنَّه ُُم ْاست َ ْب َع ُدوا أَ ْن‬‫ي َ ُجوزُ ‪َ ،‬وال َّ ِذ َين خَالَ ُفوا ه ََذا َّ‬
‫ون َولَ ُد َّالر ُسولِ الْ َم ْع ُصو ِم َكا ِف ًرا‪َ ،‬وه ََذا ب َ ِعي ٌد‪ ،‬فَ ِإن َّ ُه ثَبَ َت أَ َّن َوا ِل َد‬ ‫يَ ُك َ‬
‫الس َال ُم‬‫َر ُسو ِلنَا َصلَّى اللَّه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم َك َان كَا ِف ًرا‪َ ،‬و َوا ِل َد ِإ ْب َرا ِهي َم عَلَ ْي ِه َّ‬
‫َك َان كافرا بنص القرآن‪ ،‬ف َكذلِ َك هَا ُهنَا‬
‫‪“Para ulama berselisih tentang status putra Nabi Nuh‬‬
‫‪menjadi beberapa pendapat.‬‬
‫‪Pendapat pertama: Yang disebutkan dalam ayat adalah‬‬
‫‪benar-benar putranya Nabi Nuh.‬‬
‫‪Dalil pendapat ini, adalah bahwasanya Alloh Subhanahu‬‬
‫‪Wa Ta’ala sendiri yang menyatakan hal tersebut. Alloh‬‬
‫﴿وَندى ن ُ ٌ‬
‫وح ابْنَهُ﴾ ‪berfirman,‬‬ ‫‪َ “Dan Nuh menyeru‬‬
‫‪putranya”.‬‬

‫]‪[Date‬‬ ‫‪29‬‬
Demikian juga Nabi Nuh sendiri yang menyatakan
demikian. Beliau berkata, ﴾‫“﴿َي بُنَ َّي‬Wahai putraku”.

Dan memalingkan makna lafadz/nash (yang jelas) ini


kepada “anak didikan” (bukan anak asli), merupakan
pemalingan makna suatu lafaz dari makna hakiki kepada
makna majaz tanpa ada kebutuhan darurat, dan hal ini
tidak diperbolehkan (dalam linguistik Arab).
Mereka yang menyelisihi zahir ayat ini hanya
berargumen dengan mengatakan bahwa tidak mungkin
seorang rosul yang suci memiliki putra/i yang kafir.
Namun argumentasi ini sangat melenceng (dari
kebenaran), karena telah valid bahwa bapak Rosul kita
shollalloohu álaihi wa sallam adalah kafir, dan bapak
Nabi Ibrahim ‘alayhissalaam juga kafir berdasarkan nas
Al-Qur’an. Maka demikian halnya putra Nabi Nuh
‘alayhissalaam.” [Tafsir Ar-Raazi (17/350)]

📖 Alloh juga berfirman tentang keingkaran Azar ayah


Nabi Ibrahim ’alayhis-salaam :

‫َو َما َك َان ْاس ِت ْغ َف ُار ِإ ْب َرا ِهي َم ألبِي ِه ِإالّ عَن ّم ْو ِع َد ٍة َوعَ َدهَآ إ َِّي ُه فَلَ ّما ت َ َبي ّ َن‬
ّ ‫لَ ُه أَن ّ ُه عَ ُد ّو لل ّ ِه تَبَ ّرأَ ِمنْ ُه إ ِّن ِإ ْب َرا ِهي َم‬
‫ألوا ٌه َح ِلي ٌم‬
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Alloh)
untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji
yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka,
tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah
musuh Alloh, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya.

[Date] 30
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lagi penyantun” [At-Taubah : 114].

📖 Dan Alloh pun berfirman tentang istri Nabi Luth


sebagai orang yang dibinasakan oleh adzab Alloh :

‫فَ َأن َج ْينَا ُه َوأَ ْهلَ ُه ِإالّ ا ْم َرأَت َ ُه َكان َْت ِم َن الْغَا ِب ِر َين‬
Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-
pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang
yang tertinggal (dibinasakan). [Al-A’raf : 83].4

📰 Tidak terkecuali hal itu terjadi pada kedua orang tua


Rosululloh shollalloohu ’alayhi wa sallam. Mereka
berdua – sesuai dengan kehendak kauni Alloh ta’ala –
mati dalam keadaan kafir.

4
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh menyebutkan dalam tafsirnya,
“Kecuali istrinya, dia tidak beriman kepada Nabi Luth ‘alayhis
salaam, melainkan tetap berada pada agama kaumnya. Dia
bersekongkol dengan mereka dan memberitahu mereka tentang
dua orang tamu yang datang kepada Nabi Luth dengan isyarat yang
mereka mengerti. Oleh karena itu ketika Nabi Luth ‘alayhissalam
diperintahkan untuk berangkat diwaktu malam hari beserta
keluarganya, ia diperintahkan agar tidak memberitahu istrinya dan
tidak membawanya keluar dari negerinya. Oleh karena itu Alloh
َ َ ْ َ ْ َ َ ُ ََ ْ
berfirman {‫“ } ِإال ام َرأته كانت ِمن الغ ِاب ِرين‬kecuali istrinya; dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Yakni tetap tinggal
َ َْ َ
bersama kaumnya. Ada pula yang menafsirkan ‫ ِمن الغ ِاب ِرين‬yaitu
orang-orang yang dibinasakan, yang merupakan penafsiran
berdasarkan kecocokan.

[Date] 31
2⃣ Alloh Ta'ala -di dalam Al Qur-an- telah
memberikan petunjuk, ketika terjadi perselisihan
atau perbedaan pendapat, di mana tempat kembali
kita? Dimana kita mengambil solusi? Semuanya telah
diterangkan dalam Al Qur-an dan Hadits yang
shohih.

✅ Alloh Azza wa Jalla berfirman:

‫ََيأَيُّهَا ال َّ ِذ َين َءا َمنُوا أَ ِطي ُعوا الل َه َوأَ ِطي ُعوا َّالر ُسو َل َو ُأ ْو ِلى ْا َأل ْم ِر ِمن ُك ْم‬
‫ون‬َ ُ‫فَإِن تَنَ َاز ْع ُت ْم ِفي َش ْى ٍء فَ ُردُّو ُه ِإلَى الل ِه َو َّالر ُسولِ إِن ُكن ُت ْم ت ُْؤ ِمن‬
‫ِِبلل ِه َوالْ َي ْو ِم ْا َأل ِخ ِر َذ ِل َك َخيْ ُر َُ َوأَ ْح َس ُن ت َْأ ِوي ًال‬
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Alloh dan
ta’atilah Rosul(Nya), dan ulil amri (ulama dan umara’)
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh
(Al Qur-an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang
demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. [An Nisaa:59].
Imam Ibnul Qayyim rohimahulloh berkata: “Alloh
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk taat
kepadaNya dan taat kepada RosulNya. Alloh mengulangi
kata kerja (yakni: ta’atilah!) sebagai pemberitahuan
bahwa mentaati RosulNya wajib secara mutlak, dengan
tanpa meninjau (mengukur) apa yang beliau perintahkan
dengan Al Qur’an. Bahkan jika Beliau memerintahkan,
maka wajib ditaati secara mutlak, baik yang beliau

[Date] 32
perintahkan itu terdapat dalam Al Qur’an ataupun tidak.
Karena sesungguhnya, Beliau Shollallohu ‘alayhi wa
sallam diberi Al Qur’an dan yang semisalnya”.
Imam Ibnul Qayyim rohimahulloh juga berkata:
“Kemudian Alloh memerintahkan orang-orang beriman
agar mengembalikan permasalahan yang mereka
perselisihkan kepada Alloh dan RosulNya, jika mereka
benar-benar orang-orang yang beriman. Dan Alloh
memberitahu mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi
mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya.
Ini mengandung beberapa perkara.
Pertama: Orang-orang yang beriman terkadang
berselisih pada sebagian hukum-hukum. Perselisihan
pada sebagian hukum tidak mengakibatkan mereka
keluar dari keimanan (tidak kufur), jika mereka
mengembalikan masalah yang mereka perselisihkan
kepada Alloh dan RosulNya, sebagaimana yang Alloh
syaratkan. Dan tidak disanksikan lagi, bahwa satu
ketetapan hukum yang diterikat dengan satu syarat, maka
ketetapan itu akan hilang jika syaratnya tidak ada.
Kedua: Firman Alloh “Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu”, (maksudnya) mencakup
seluruh masalah yang diperselisihkan oleh orang-orang
yang beriman, berupa masalah agama, baik kecil atau
yang besar, yang terang dan yang samar.
Ketiga: Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan
kepada Alloh, maksudnya mengembalikan kepada
kitabNya. (Dan) mengembalikan kepada RosulNya

[Date] 33
adalah mengembalikan kepada diri Beliau di saat
hidupnya dan kepada Sunnahnya setelah wafatnya.
Keempat: Alloh menjadikan “mengembalikan apa yang
mereka perselisihkan kepada Alloh dan RosulNya”
termasuk tuntutan dan konsekwensi iman. Sehingga jika
itu tidak ada, imanpun hilang. [Diringkas dari I’lamul
Muwaqqi’in (2/47-48) ]

📰 Alloh juga memerintahkan untuk mengembalikan


kepada ahlinya yakni para ulama, jika ada yang kurang
jelas dalam sebuah permasalahan.

✅ Alloh Ta’ala berfirman,

َ ‫فَ ْاس َألُوا أَ ْه َل ال ِّذ ْك ِر إ ِْن ُك ْن ُت ْم َال ت َ ْعلَ ُم‬


‫ون‬
“Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang
berilmu, jika kamu tiada mengetahui” (QS. Al Anbiya’:
7).
Sehingga dari sini, jelaslah, dimana tempat mengambil
jawaban dari permasalahan kita ini, yakni bagaimana
kedudukan orang tua Nabi di Akhirat? Yaitu pada al
Quran dan Sunnah Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam,
serta penjelasan para ulama.

3⃣ Sebagian orang beralasan -ketika menganggap


orang tua Nabi tidak kafir- bahwa orang tua Nabi
meninggal di masa fathrah. Yang mana, orang-orang
yang meninggal di masa fathrah tidak diadzab oleh
Alloh, karena masa fathrah adalah masa kekosongan

[Date] 34
para Nabi. Benarkah demikian? Mari kita simak
penjelasannya di bawah ini...
Definisi fathrah menurut bahasa kelemahan dan
penurunan [Lisaanul-’Arab oleh Ibnul-Mandhur 5/43].
Adapun secara istilah, maka fatrah bermakna tenggang
waktu antara dua orang Rosul, dimana ia tidak mendapati
Rosul pertama dan tidak pula menjumpai Rosul kedua”
[Jam’ul-Jawaami’ 1/63]. Hal ini seperti selang waktu
antara Nabi Nuh dan Idris ’alaihimas-salaam serta seperti
selang waktu antara Nabi ’Isa ’alayhis-salaam dan
Muhammad shollalloohu ’alaihi wa sallam. Definisi ini
dikuatkan oleh firman Alloh ta’ala :

‫ََي أَ ْه َل ْال ِكتَ ِاب قَدْ َجا َء ُك ْم َر ُسولُنَا يُ َبي ِّ ُن لَ ُك ْم عَلَى فَتْ َر ٍة ِم َن ُّالر ُس ِل‬
‫أَ ْن ت َ ُقولُوا َما َجا َء ََن ِم ْن ب َِشي ٍر َوال ن َ ِذي ٍر‬
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu
Rosul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu
ketika terputus (pengiriman) rosul-rosul,5 agar kamu
tidak mengatakan: "Tidak datang kepada kami baik
seorang pembawa berita gembira maupun seorang
pemberi peringatan" [QS. Al-Maaidah : 19].
Ahli fatrah terbagi menjadi dua macam :

5
Kalimat fatrah dalam ayat diatas adalah zaman sesudah Nabi Isa
Alaihissallam dan sebelum Nabi Muhammad n diutus, sebagaimana
dikatakan oleh para Ulama’ ahli tafsir. Dengan demikian, kedua
orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di zaman fatrah.

[Date] 35
a. Yang telah sampai kepadanya ajaran Nabi.
b. Yang tidak sampai kepadanya ajaran/dakwah Nabi dan
dia dalam keadaan lalai.
Golongan pertama di atas dibagi menjadi dua, yaitu :
Pertama, Yang sampai kepadanya dakwah dan dia
bertauhid serta tidak berbuat syirik. Maka mereka
dihukumi seperti ahlul-islam/ahlul-
iman. Kedua, Yang sampai kepadanya dakwah namun ia
merubah ajaran dan berbuat syirik. Golongan ini tidaklah
disebut sebagai ahlul-islam/ahlul iman. Tidak ada
perselisihan di antara ulama bahwa mereka merupakan
ahli neraka.6
Golongan kedua, maka mereka akan diuji oleh Alloh
kelak di hari kiamat.7

6
Adillatu Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fî Abawai ar-Rasûl
Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al Allâmah Ali bin Sulthân
Muhammad al Qâri, tahqîq Syaikh Masyhûr bin Hasan bin Salmân ,
hlm. 11-12
7
Mengenai orang-orang yang hidup di zaman fatrah yang belum
sampai kepada mereka dakwah, para ulama berselisih pendapat
tentang keadaan mereka di akhirat. Yang râjih –wallâhu a’lam–
sebagaimana dinyatakan oleh para ulama peneliti, bahwa orang-
orang ini akan diuji diakhirat. Disebutkan dalam sebuah hadits
berikut ini: (hal. 12)
ٌ َ َ َ َّ َّ َ َّ َ َ ‫َعن ْا َأل ْس َود ْبن‬
‫ال أ ْرَب َعة َي ْو َم‬‫صلى الله عليه وسلم ق‬ َ ‫ه‬ِ ‫الل‬ ‫ي‬ ‫ب‬
ِ ‫ن‬ ‫ن‬‫أ‬ ‫ع‬ٍَ ‫ي‬
‫ر‬ ِ ‫س‬ َِ ِ ِ ْ
َ َ ُ ً َ
‫ال ِق َي َام ِ َة َر ُج ٌل أ َص ُّم ال َي ْس َم ُع ش ْيئا َو َر ُج ٌل أ ْح َمق َو َر ُج ٌل ه َر ٌم َو َر ُج ٌل َمات ِفي‬
ُ َ ْ َ ً َ َ َ ْ ْ ََ ُ ‫َف ْت َرة َفأ َّما ْا َأل َص ُّم َف َي ُق‬
‫ول َر ِّب لقد َج َاء ا ِإل ْسَل ُم َو َما أ ْس َم ُع ش ْيئا َوأ َّما األ ْح َمق‬ ٍ

[Date] 36
ُ ‫ونني ب ْال َب ْعر َوَأ َّما ْال َه َر ُم َف َي ُق‬
‫ول‬
َ ُ ْ َ ُ َ ْ ِّ َ ُ َ ْ ْ َ َ ْ َ َ ِّ َ ُ ُ َ َ
‫فيقول رب لقد جاء ا ِإلسَلم والصبيان يح ِذف‬
ِ ِ ِ َّ َ ً َ
ُ ‫ات في ْال َف ْت َرة َف َي ُق‬ َ َ ْ َ َ ْ ْ ََ
ِّ‫ول َرب‬
ِ ِ ‫َر ِّبي لقد َج َاء ا ِإل ْسَل ُم ْ َو َما أع ِق ُل ش ْيئا َوأ َّما ال ِذي م‬
َّ ُ ُ ْ ْ َ َ َ ُ َّ ُ ُ َ ْ ُ َ َ َ ُ ُ َ َ ٌ ُ َ َ َ ََ
‫يعنه ف ُي ْر ِس ُل ِإل ْي ِه ْم أن ادخلوا الن َار‬ ‫َما أت ِاني لك رسول فيأخذ مو ِاثيقهم لي ِط‬
َ ً ََ ْ َ ََ َ ُ َ َ َ ُ ‫ال َف َو َّال ِذي َن ْف‬َ ‫َق‬
‫س ُم َح َّم ٍد ِب َي ِد ِه ل ْو دخلوها لكانت عل ْي ِه ْم َب ْردا َو َسَل ًما َو ِف ْي‬
َ َ ً ََ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َََُْ َ َ
‫ف َم ْن دخل َها كانت عل ْي ِه َب ْردا َو َسَل ًما َو َم ْن ل ْم‬: ‫ال‬ ‫ِر َو َاي ٍة ع ْن أ ِبي هريرة ق‬
َ ْ ُ ْ
‫َيدخل َها ُي ْس َح ُب ِإل ْي َها‬
Dari Aswad bin Sari’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Pada hari kiamat ada empat orang yang akan mengadu
kepada Allâh yaitu seorang yang tuli, tidak mendengar sesuatupun;
seorang yang pandir; seorang yang pikun; dan seorang yang
meninggal dunia di zaman fatrah. Adapun orang yang tuli akan
mengatakan, ‘Wahai Rabb, agama Islam telah datang, namun aku
tidak mendengar sesuatupun.’ Orang yang pandir akan
mengatakan, ‘Wahai Rabb, agama Islam telah datang, sedangkan
anak-anak kecil melempariku dengan kotoran binatang”. Orang
yang pikun akan mengatakan: “Wahai Rabb, agama Islam telah
datang, sementara aku dalam keadaan tidak berakal sedikitpun”.
Dan orang yang mati di zaman fatrah akan mengatakan: “Wahai
Rabb, tidak ada seorang Rosul pun yang datang kepadaku.’ Maka
Allâh mengambil perjanjian mereka bahwa mereka benar-benar
akan mentaatiNya. Kemudian Allâh mengutus utusan kepada
mereka yang mengatakan, ‘Masuklah kalian ke dalam neraka!”.
Nabi r bersabda: “Demi (Allah) Yang jiwa Muhamad berada di
tanganNya, seandainya mereka memasukinya, sesungguhnya
neraka itu menjadi sejuk dan selamat bagi mereka”.

(Di dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan: “Barangsiapa


memasukinya, sesungguhnya neraka itu menjadi sejuk dan selamat
baginya. Dan barangsiapa tidak memasukinya, dia diseret ke
dalamnya”) [HR. Ahmad, no. 15866. Dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albani di dalam Shahih al-Jami’ush Shaghir, no. 894]

[Date] 37
Selain penjelasan di atas, juga ada beberapa bukti sejarah
yang menguatkan bahwa dakwah/syariat Nabi Ibrahim
dan Ismail tetap eksis hingga diutusnya Rosululloh
Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam, walau tanpa adanya
Rosul atau pun Nabi.
Berikut beberapa bukti sejarah yang menguatkan hal
tersebut:
Pertama: Mekkah adalah salah satu asal muasal
penyebaran dakwah tauhid. Ini ditandai dengan Ka’bah
yang dibangun oleh Nabi Ibrahim bersama putranya,
yaitu Nabi Ismail.
Kedua: Kaum Quraisy (termasuk Rosululloh
Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam dan keluarga besarnya)
adalah keturunan Nabi Ismail ‘alayhis salaam.8 Dan ini

8
Nasab Nabi Ṣallāllāhu‘alaihi wa sallam terbagi ke dalam tiga
klasifikasi:

Pertama, yang disepakati oleh Ahlus Siyar wal Ansab (para


sejarawan dan ahli nasab); yaitu urutan nasab beliau hingga kepada
Adnan.

Kedua, yang masih diperselisihkan antara yang mengambil sikap


diam dan tidak berkomentar dengan yang berpendapat dengannya,
yaitu urutan nasab beliau Ṣallāllāhu‘alaihi wa sallam dari atas Adnan
hingga Ibrahim –‘alaihissalām–.

Ketiga, yang tidak diragukan lagi bahwa di dalamnya terdapat


riwayat yang tidak shahih, yaitu urutan nasib beliau Ṣallāllāhu‘alaihi
wa sallam mulai dari atas Nabi Ibrahim –‘alaihissalām– hingga Nabi
Adam –‘alaihissalām–.

[Date] 38
Klasifikasi Pertama

Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib (nama aslinya,


Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya, Amr) bin Abdu Manaf (nama
aslinya, al-Mughirah) bin Qushay (nama aslinya, Zaid) bin Kilab bin
Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr (dialah yang dijuluki
sebagai Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya)
bin Malik bin an-Nadhar (nama aslinya, Qais) bin Kinanah bin
Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya, Amir) bin Ilyas bin Mudhar
bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.[Lihat Ibnu Hisyam, op.cit, I/1,2;
Tarikh ath-Thabari, II/239-271]

Klasifikasi Kedua (urutan nasab di atas Adnan) yaitu:

Adnan bin Add bin Humaisi’ bin Salaman bin Awsh bin Buz bin
Qimwal bin Ubay bin Awwam bin Nasyid bin Haza bin Baldas bin
Yadhaf bin Thabikh bin Jahim bin Nahisy bin Makhiy bin Idh bin
Abqar bin Ubaid bin ad-Di’a bin Hamdan bin Sunbur bin Yastribi bin
Yahzan bin Yalhan bin Ar’awi bin Idh bin Disyan bin Aishar bin Afnad
bin Ayham bin Muqashshir bin ahits bin Zarih bin Sumay bin Mizzi
bin Udhah bin Uram bin Qaidar bin Ismail bin Ibrahim –
‘alaihumāssalām–.[Ibnu Sa’d, op.cit, I/56,57; Tarikh ath-Thabari,
op.cit, II/272. Untuk mengetahui perbedaan seputar klasifikasi ini
lihat juga di dalam kitab Tarikh ath-Thabari, II/271-276 dan Fathul
Bari, VI/621-623]

Klasifikasi Ketiga (urutan nasab di atas Nabi Ibrahim) yaitu:

Ibrahim –‘alaihissalām– bin Tarih (nama aslinya, Azar) bin Nahur bin
Saru (atau Sarugh) bin Ra’u bin Falikh bin Abir bin Syalikh bin
Arfakhsyad bin Sam bin Nuh –‘alaihissalām– bin Lamik bin
Mutawasylikh bin Akhnukh (ada yang mengatakan bahwa dia
adalah Nabi Idris –‘alaihissalām– bin Yarid bin Mihla’il bin Qaynan
bin Anusyah bin Syits bin Adam –‘alaihissalām–. [Ibnu Hisyam, ibid.,
hal. 2-4, Tarikh ath-Thabari, ibid., hal. 276]

[Date] 39
adalah indikasi yang kuat akan tersisanya ajaran tauhid
hingga zaman Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa
Sallam, yakni besar kemungkinan akan senantiasa
adanya golongan yang bertauhid dari keturunan Nabi
Ismail di Mekkah atau sekitarnya hingga zaman
diutusnya Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam.
Ketiga: Adanya orang-orang yang Nabi shollalloohu
álaihi wa sallam sebutkan bahwa mereka akan berakhir
di Neraka, padahal mereka wafat sebelum diutusnya
Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam. Seperti ayah
dan ibu Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam9, Ámr bin
Luhay Al-Khuzaí10, Ibnu Jud’an11, dan ayah dari lelaki
9
Sebagaimana akan dinukilkan hadits-hadits tentang masalah ini
pada tempatnya.
10
Dalam suatu hadits shohih yang dikeluarkan oleh Bukhori, dari
hadits Abū Hurairah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu dan juga dari hadits
‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam
bersabda :

‫وني‬ ُ ُ ْ َ َ ُ ْ َّ َ َ ُ ََُْ َ ً ْ َ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َّ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ
ِ ‫ رأيتم‬،‫وني تأخرت‬ ِ ‫ ِحين رأيتم‬،‫ت ُجهن َم يح ِط ُم بعض ُها بَّعضا‬ ‫ولقد رأي‬
َّ ‫َت َأ َّخ ْر ُت َو َ َرأ ْيت فيها ْاب َن ل َح ٍّي َوه َو الذي َس َّي َب‬
َ‫الس َوائب‬
ِ ِ ِ
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam suatu saat shalat kemudian
beliau mundur (para shāhabat heran kenapa mundur), kata Nabi:
“Aku diperlihatkan oleh Allāh neraka Jahannam yang apinya
menghantam satu dengan yang lainnya. Aku melihat dalam neraka
Jahannam ada ‘Amr bin Luhay dan dia adalah orang yang telah
mengkeramatkan onta.”

Dalam hadits lain riwayat Abū Hurairah, kata Nabi shallallāhu ‘alayhi
wa sallam:

[Date] 40
َ َ َ َّ ُ ُ ُ ْ َ َ ُ َ
‫ كان أ َّو َل َم ْن َس َّي َب‬، ‫َرأ ْيت ع ْم َرو ْب َن ع ِام ٍر الخ َز ِاع َّي َي ُج ُّر ق ْص َبه ِفي الن ِار‬
‫الس َو ِائ َب‬
َّ

“Aku melihat ‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i menyeret ususnya didalam


neraka karena dia adalah orang yang pertama kali
mengkeramatkan onta-onta.” (HR Al-Bukhori no 3521)

Dalam riwayat Ahmad, kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:


ُ ُ َ ُ ْ َّ ُ ُ َ ُ ُ َ
‫ َوأش َبه َم ْن َرأ ْيت ِب ِه َم ْع َبد‬، ‫َو َرأ ْي َت ِف َيها ل َح َّي ْب َن ع ْم ٍرو َي ُج ُّر ق ْص َبه ِفي الن َِار‬
ُ َ ََ َ ْ َّ َ ُ َ َ ٌ َ ْ َ َ َ ُّ ْ َ ْ َ َ ْ ُ ْ
‫ أ ُيخشى عل َّي ِم ْن ش َب ِه ِه َوه َو‬، ‫ول الل ِه‬ ‫ يا رس‬: ‫بن أ كثم الكع ِبي فقال معبد‬
َ ُ
َ‫ان ل َح ٌّي أ َّو َل َم ْن َح َمل‬َ ََ َ ُ ْ َ َْ َ ‫َوالدي ؟ َق‬
‫ وك‬، ” ‫ وهو ك ِاف ٌر‬، ‫ أنت ُمؤ ِم ٌن‬، ‫ ” ال‬: ‫ال‬
َ َ
ِِ
َ َ َ ََ ْ
.‫ال َع َر َب على ِع َباد ِة األ ْصن ِام‬
“Aku melihat di dalamnya Luhay bin ‘Amr menyeret ususnya di
dalam neraka dan wajahnya mirip dengan Ma’bad bin Aktsam.”

Saat itu ada seorang shāhabat namanya Ma’bad bin Aktsam yang
wajahnya sangat mirip dengan ‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i.

Maka Ma’bad ini bertanya: “Yā Rasūlullāh, apakah dikhawatirkan


orang yang mirip dengan dia, dia adalah nenek moyangku?”
(Karena dia adalah dari keturunannya ‘Amr bin Luhay).

Jawab Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam: “Tidak, engkau


beriman sementara dia orang kafir. Dan dia adalah orang yang
pertama kali menjadikan orang-orang Arab untuk menyembah
berhala.” (HR Ahmad no 14800)

Apa yang dilakukan oleh ‘Amr bin Luhay Al-Khuzā’i diabadikan oleh
Allah di dalam Al-Quran. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
َ َ َ َّ َّ َ َ َ َ َ ََ َ َ ُ َّ َ َ َ َ
‫ين كف ُروا‬ ‫ال َس ِائ َب ٍة َوال َو ِصيل ٍة َوال َح ٍام ۙ ول ِكن ال ِذ‬‫و‬ ‫ة‬ٍ ‫ير‬‫ح‬ِ ‫ب‬ ‫ن‬‫م‬ِ ‫ه‬ ‫ما جعل الل‬
َ ُ ْ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َ َ َ َ ْ َّ َ َ َ ُ َ ْ َ
‫يفترون على الل ِه الك ِذب ۖ وأ كثرهم ال يع ِقلون‬

[Date] 41
yang bertanya kepada Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa
Sallam tentang kesudahan ayahnya.12
Keempat: Bahkan ada hadits umum yang mengesankan
bahwa semua orang musyrik di Mekkah ketika itu di
neraka, yaitu sabda Nabi shollalloohu álaihi wa sallam:

‫َح ْيثُ َما َم َر ْر َت ِبقَبْ ِر م ُْش ِر ٍك فَب َِّش ْر ُه ِِبلنَّ ِار‬


“Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik,
maka kabarkanlah kepadanya neraka”.13

“Allah sekali-kali tidak pernah mensyari´atkan adanya bahiirah,


saaibah, washiilah dan haam (ini nama-nama unta atau kambing
yang dikeramatkan-pent). Akan tetapi orang-orang kafir membuat-
buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak
mengerti” (QS Al-Maidah : 103)
11
sebagaimana dalam Shohīh Muslim tatkala ‘Āisyah bertanya
kepada Nabi ‫ﷺ‬:
ْ ْ َ َ َ َ ْ
‫ َو ُيط ِع ُم‬،‫الر ِح َم‬َّ ‫اه ِل َّي ِة َيص ُل‬
ِ ِ ‫ ْاب ُن ُجدعان كان ِفي ال َج‬،‫الله‬ َ ُ َ َ
ِ َ ‫ي ْا رسول‬
ْ ُ َ ُ َّ ُ َ ْ َ َ ُ َ َ َ
َ ‫ ف َه ْل ذاك ناف ُعه؟ ق‬،‫ين‬
‫ َر ِّب اغ ِف ْر‬:‫ ِإنه ل ْم َيق ْل َي ْو ًما‬،‫ ” ال َينف ُعه‬:‫ال‬ ِ
َ ‫الم ْسك‬
ِ ِ
ِّ َ ْ َ َ َ
‫ين‬ِ ‫ِلي خ ِطيئ ِتي يوم الد‬
Wahai Rosulullāh, Ibnu Jud’ān pada masa jahiliyyah suka
menyambung silaturrahīm dan memberi makan orang-orang
miskin, apakah hal itu bermanfaat baginya: Rasūlullāh ‫ ﷺ‬bersabda:
“Tidak akan bermanfaat untuknya, (sebab) seharipun dia tidak
pernah mengatakan, ”Wahai Rabbku ampunilah dosa-dosaku di
hari kiamat nanti.” (HR Muslim no 214)
12
Salah satu hadits yang akan menjadi bahasan kita

[Date] 42
Kelima: Adanya orang-orang di masa fatroh yang masih
istiqomah di atas tauhid, seperti Al-Qus bin Saídah14,
Zaid bin ‘Amr bin Nufail15, Rosululloh shollalloohu

13
H.R. Ibnu Majah, No. 1573, Al Bazzar, No.1089 sebagaimana telah
lalu ini adalah dari periwayatan Ma’mar dari Tsabit dan dinilai dho’íf
(mursal) oleh Ad-Daruquthni
14
Ia adalah salah satu sastrawan Jahiliah yang masyhur. Seorang
orator (khuthaba’) ulung yang sangat dihormati oleh masyarakat
Arab Jahiliah. Ia adalah seorang uskup Najran. Hidup di zaman
Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam, 10 tahun sebelum diutus
menjadi nabi. Dan meninggal sekitar tahun 600 M.

Qus bin Saidah al-Iyadi adalah sahabat karib Waraqah bin Naufal
dan Amr bin Nufail. Qus bersama dua sahabatnya termasuk orang
yang sudah membaca tanda-tanda bakal munculnya seorang nabi.
Wejangan dan nasehat mereka bertiga mengarah pada ajaran
ketauhidan.
15
Zaid bin ‘Amr bin Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza bin Rabah bin ‘Abdillah
bin Qarath bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr
Al-‘Adawi; dia adalah orang tua Sa’id bin Zaid (salah satu di antara
sepuluh orang yang mendapat berita gembira masuk surga). Dia
juga merupakan anak dari paman ‘Umar bin Al-Khaththab: ‘Umar
adalah anak Al-Khathhtab bin Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza, sedangkan
‘Amr (yang merupakan ayah Zaid) adalah saudara Khaththab (ayah
‘Umar bin Al-Khathhtab). Dengan demikian, Zaid ini adalah anak
dari paman ‘Umar bin Al-Khathhtab (ringkasnya: Zaid adalah
sepupu ‘Umar, pen.).” (‘Umdatul Qari, 24:475)

Dalam kurun waktu jahiliah, dialah yang mengingkari berbagai


amalan kaum jahiliah. Dia jelaskan pula kebatilan agama yang
dianut kaum Quraisy.

[Date] 43
Perihal Zaid bin ‘Amr bin Nufail, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫يبعث يوم القيامة أمة وحده‬


“Dia dibangkitkan pada hari kiamat sebagai umat seorang diri.”
(Hadits hasan; riwayat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu; lihat
Shahih As-Sirah An-Nabawiyyah, 1:94)

Mengapa Zaid bin ‘Amr bin Nufail disebut sebagai “umat” padahal
dia hanya seorang diri?

Dalam tafsir surat Al-Baqarah ayat 213, Al-Imam Ath-Thabari


menjelaskan, “Orang yang mengatakan perkataan semisal ini bagai
memperkenankan penamaan individu tunggal dengan
menggunakan nama jamak karena pada diri orang yang disebut
‘umat’ tersebut terkumpul segenap akhlak baik yang lazimnya ada
pada sekelompok orang. Sebagaimana dikatakan, ‘Fulan adalah
seorang umat’ yaitu dia menempati kedudukan sebuah umat.”
(Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, 4:277)

Adapun dalam tafsir surat An-Nahl ayat 119—123, Al-Imam Ibnu


Katsir menjelaskan, “Dari Malik; dia berkata, ‘Ibnu Umar
mengatakan, ‘(Yang dimaksud) umat adalah manusia yang
mengetahui agamanya.”” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4:611)

Selanjutnya, beliau juga mengutip perkataan Mujahid, “Mujahid


juga berkata, ‘Ibrahim adalah seorang umat, yaitu yang beriman
sendirian sedangkan tak ada seorang manusia pun yang beriman
karena mereka semua kafir pada saat itu.’” (Tafsir Al-Qur’an Al-
‘Azhim, 4:611)

Keadaan Zaid disebutkan dalam sebuah hadits yang juga


menyebutkan tempat kembali Waraqah bin Naufal, Khadijah binti
Khuwailid, dan Abu Thalib.

[Date] 44
álaihi wa sallam sendiri, Waraqah bin Naufal16, dan lain-
lain.

‫ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن ورقة‬: ‫عن جابر بن عبد الله‬
‫ (قد رأيته فرأيت عليه ثياب بياض أبصرته في بطنان‬: ‫بن نوفل ؟ فقال‬
‫ (يبعث‬: ‫الجنة وعليه السندس) وسئل عن زيد بن عمرو بن نفيل ؟ فقال‬
‫ (أخرجته من غمرة‬: ‫يوم القيامة أمة وحده) وسئل عن أبي طالب ؟ فقال‬
‫من جهنم إلى ضحضاح منها ) وسئل عن خديجة ألنها ماتت قبل‬
‫ (أبصرتها على نهر في الجنة في بيت من‬: ‫الفرائض وأحكام القرآن ؟ فقال‬
(‫قصب ال صخب فيه وال نصب‬
Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwasanya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya tentang Waraqah bin Naufal. Maka beliau bersabda,
“Sungguh aku telah melihatnya. Aku melihatnya mengenakan
pakaian putih; dia berada di antara dua bagian dalam surga dan
dia memakai kain sutra tipis.” Beliau ditanya tentang Zaid bin ‘Amr
bin Nufail. Maka beliau bersabda, “Dia dibangkitkan pada hari
kiamat sebagai umat seorang diri.” Beliau ditanya tentang Abu
Thalib. Maka beliau bersabda, “Aku mengeluarkannya dari
kesengsaraan Jahannam menuju bagian yang lebih ringan darinya.”
Beliau ditanya tentang Khadijah, sebab dia meninggal sebelum
turun ayat tentang hukum-hukum dan kewajiban dalam Alquran
dan dijadikan sumber keputusan. Maka beliau bersabda, “Aku
melihatnya berada di sungai di surga, di sebuah rumah yang
terbuat dari benang emas dan perak. Tak ada hiruk-pikuk di sana,
tidak pula keletihan.” (Hadits hasan; lihat Shahih As-Sirah An-
Nabawiyyah, 1:94)
16
Waraqah bin Naufal radhiallahu ‘anhu, sepupu Khadījah
radhiyallāhu ‘anhā.

Beliau adalah seorang pendeta Nashrani yang masih di atas tauhid


(Hanifiyah). Beliau mengatakan, “Wahai Muhammad, seandainya

[Date] 45
Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhumaa berkata:

‫أَ َّن النَّبِىيَّ َصلَّى الل ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم لَ ِق َي َزيْ َد ْب َن َع ْم ِرو ْب ِن ن ُ َف ْي ٍل ب َِأ ْس َف ِل‬
،‫ قَ ْب َل أَ ْن يَنْ ِز َل عَلَى النَّبِىيِّ َصلَّى الل ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم َالو ْح ُي‬،ٍ‫ب َلْ َدح‬
‫ فَ َأبَىى أَ ْن ي َ ْأ ُك َل‬،‫فَ ُق ِّد َم ْت ِإلَى النَّبِىيِّ َصلَّى الل ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم ُس ْف َر ٌة‬
‫ َو َال‬،‫ون عَلَى أَن َْصا ِب ُك ْم‬ َ ‫ ِإن ِّي لَ ْس ُت آ ُك ُل ِم َّما ت َْذب َ ُح‬:‫ ث ُ َّم قَا َل َزيْ ٌد‬،‫ِمنْهَا‬
‫يب عَلَى‬ ُ ‫ َوأَ َّن َزيْ َد ْب َن َع ْم ٍرو َك َان ي َ ِع‬،‫آ ُك ُل إ َِّال َما ُذ ِك َر ْاس ُم الل َّ ِه عَلَ ْي ِه‬
‫الس َما ِء‬َّ ‫ َوأَ ْن َز َل لَهَا ِم َن‬،ُ‫الشا ُة َخلَقَهَا اللَّه‬ َّ :‫ول‬ ُ ‫ َوي َ ُق‬،‫ُق َري ٍْش َذ َِبئِ َحه ُْم‬

aku masih muda saat kaummu mengusirmu maka saya lah yang
akan menolongmu dengan sekuat tenaga.”

Ini menunjukkan bahwa Waraqah beriman kepada Nabi ‫ﷺ‬,


meskipun setelah itu dia meninggal dunia dan tidak sempat
menjalani Islam. Namun Rasūlullāh ‫ ﷺ‬mengabarkan dalam hadīts
yang shahīh yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hākim dalam
Mustadraknya,
َ ً َ ُ ِّ َ
َ ‫ورقة‬ ُّ ‫ال َت‬
‫نتين‬
ِ ‫ فإني رأيت له جنة أو ج‬،‫نوفل‬
ٍ ‫بن‬ ‫سبوا‬
“Jangan kalian cela Waraqah bin Naufal. Sesungguhnya aku
melihat dia memiliki satu atau dua taman (di surga).” (HR. al-Hakim
4211. Dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam ash-Shohihah 405).

Oleh karenanya kita yakin dalam hadits yang shohih bahwasanya


Waraqah telah dijamin masuk surga oleh Rasūlullāh ‫ ﷺ‬dan dia
adalah lelaki yang pertama kali beriman.

[Date] 46
،‫ ث ُ َّم ت َْذب َ ُحونَهَا عَلَى غَيْ ِر ْاس ِم الل َّ ِه‬،‫ َوأَنْبَ َت لَهَا ِم َن َاأل ْر ِض‬،‫ال َما َء‬
‫ِإ ْن َك ًارا ِل َذ ِل َك َو ِإع َْظا ًما لَ ُه‬
“Suatu ketika Nabi shollalloohu álaihi wa sallam
bertemu dengan Zaid bin Amr bin Nufail di bawah
lembah Baldah, sebelum wahyu turun kepada beliau.
Kemudian makanan dihidangkan kepada Nabi
shollalloohu álaihi wa sallam, namun Zaid enggan
memakannya seraya berkata:
‘Sesungguhnya aku tidak akan memakan apa yang kalian
sembelih sebagai persembahan untuk berhala-berhala
kalian. Aku hanyalah memakan sesembelihan yang
disembelih dengan menyebut nama Alloh.’
Dan sesungguhnya Zaid bin Ámr dahulu mencela
sembelihan-sembelihan Quraisy dengan mengatakan,
‘Alloh lah yang menciptakan kambing, Alloh lah yang
menurunkan hujan dari langit, dan Alloh yang
menumbuhkan rumput sebagai makanannya. Lalu kalian
malah menyembelihanya tidak dengan nama Alloh?!’
Zaid sangat mengingkari perbuatan mereka tersebut dan
mengganggap besar kesalahan tersebut.” (HR. Al-
Bukhori no.3826)
Asmaa’ bintu Abi Bakar berkata :

:‫ول‬ُ ‫َرأَيْ ُت َزيْ َد ْب َن َع ْم ِرو ْب ِن ن ُ َف ْي ٍل قَائِ ًما م ُْسنِدً ا َظه َْر ُه ِإلَى ال َك ْع َب ِة ي َ ُق‬
‫ َو َك َان‬،‫ َوالل َّ ِه َما ِمنْ ُك ْم عَلَى ِد ِين ِإ ْب َرا ِهي َم غَيْ ِري‬،‫ََي َم َع ِاش َر ُق َري ٍْش‬

[Date] 47
‫ أَ ََن‬،‫ َال ت َ ْق ُتلْهَا‬،ُ‫ول ِل َّلر ُج ِل ِإ َذا أَ َرا َد أَ ْن ي َ ْق ُت َل ابْنَتَه‬ُ ‫ ي َ ُق‬،‫يُ ْحيِىي ال َم ْو ُءو َد َة‬
‫ إ ِْن ِشئْ َت‬:‫ فَ َي ْأخ ُُذهَا فَ ِإ َذا تَ َرع َْرع َْت قَا َل ِ َألبِيهَا‬،‫أَ ْك ِفي َكهَا َم ُئونَتَهَا‬
‫ َوإ ِْن ِشئْ َت َك َف ْي ُت َك َم ُئون َ َتهَا‬،‫َدفَ ْع ُتهَا ِإلَ ْي َك‬
“Aku melihat Zaid bin Ámr bin Nufail sedang berdiri
dengan menyandarkan punggungnya kepada Ka’bah
seraya berkata, “Wahai kaum Quraisy, demi Alloh tidak
seorangpun dari kalian yang berada di atas agama
Ibrahim selain aku”. Dan beliau termasuk orang yang
tidak mengubur anak perempuan hidup-hidup. Ia biasa
mengatakan kepada seseorang yang ingin membunuh
putrinya, “Jangan kau bunuh dia! Biarlah aku yang
akan mengurusnya”. Lalu ia pun mengasuh anak
perempuan tersebut. Ketika anak perempuan tersebut
sudah tumbuh besar, maka Zaid berkata kepada
bapaknya, “Kalau kau mau aku akan kembalikan
putrimu. Jika tidak, akulah yang akan melanjutkan
pemeliharaannya.” (HR. Al-Bukhori no.3828)
Ibnu Hajar berkata, “Zaid bin Ámr bin Nufail adalah
sepupunya Umar bin al-Khottob bin Nufai, dan beliau
adalah ayah dari Saíd bin Zaid yang termasuk 10 sahabat
yang dijamin masuk surga. Beliau termasuk orang-orang
yang mempelajari tauhid dan meninggalkan berhala serta
menjauhi kesyirikan, akan tetapi beliau wafat sebelum
Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam diutus.” (Fathul
Baari 7/143)

[Date] 48
Kedua hadits di atas menunjukan bahwa Zaid bin Ámr
bin Nufail tidak hanya bertauhid, akan tetapi beliau juga
mendakwahi kaum Quraisy untuk meninggalkan
kesyirikan mereka sembari mengingatkan mereka akan
agama nenek moyang mereka, yakni Nabi Ibrahim
álayhis salam.
Keenam: Pernyataan Zaid -di masa fatroh- kepada kaum
Quraisy bahwa mereka tidak berada di atas agama Nabi
Ibrahim, mengisyaratkan bahwa mereka mengetahui
dengan pasti bahwa kesyirikan yang mereka lakukan
bukanlah ajaran Nabi Ibrahim. Karena jika mereka tidak
mengetahui hal itu dan menyangka bahwa praktek
kesyirikan mereka adalah ajaran Nabi Ibrahim, tentunya
mereka akan membantah Zaid bin Nufail, karena Nabi
Ibrahim adalah nenek moyang mereka semua. Hal ini
dikuatkan dengan dalih mereka untuk menolak syariat
Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam. Mereka
hanyalah menisbatkan kesyirikan tersebut kepada nenek
moyang mereka yang juga musyrik. Alloh berfirman:

‫﴿و ِإ َذا فَ َعلُوا فَا ِح َش ًة قَالُوا َو َجدْ ََن عَلَ ْيهَا َآِب َء ََن َوالل َّ ُه أَ َم َر ََن ِبهَا ُق ْل إ َِّن‬ َ
﴾‫ون‬ َ ‫ون عَلَى الل َّ ِه َما َال ت َ ْعلَ ُم‬ َ ُ‫الل َّ َه َال ي َ ْأ ُم ُر ِِبلْ َف ْح َشا ِء أَت َ ُقول‬
{Dan jika mereka melakukan keburukan, mereka akan
mengatakan: sungguh kami dapati nenek moyang kami
melakukan ini, dan Alloh lah yang memerintahkan kami
akan hal itu. Katakanlah (wahai Muhammad)! Sungguh
Alloh tidak pernah memerintahkan keburukan, apakah

[Date] 49
kalian berbicara tentang Alloh dengan hal yang tidak
kamu ketahui?!} (QS. Al-A’raf : 28)
Mereka tidaklah menyandarkan perbuatan mereka
kepada agama Nabi Ibrahim ‘alayhissalam.
Alloh juga berfiman:

﴾‫ول ال َّ ِذ َين أَ ْش َر ُكوا لَ ْو َشا َء الل َّ ُه َما أَ ْش َر ْكنَا َو َال َآِبؤُ ََن‬
ُ ‫﴿س َي ُق‬
َ
{Orang-orang musyrik itu akan mengatakan: “Jika
Alloh berkehendak, sungguh kami tidak akan melakukan
kesyirikan, begitu juga dengan nenek moyang kami.”}
(QS Al-An’am: 148)
Ketika diingkari kesyirikan mereka, mereka akan
menyandarkannya kepada nenek moyang dan kehendak
Alloh ‘Azza wa Jalla. Dan yang demikian adalah bukti
yang sangat kuat bahwa mereka mengetahui dengan pasti
bahwa Nabi Ibrahim ‘alayhissalam tidaklah menyembah
berhala dan mereka juga mengetahui akan asal dakwah
tauhid itu.
Ketujuh: Bangsa Arab adalah salah satu bangsa yang
paling kuat ingatannya terhadap sejarah, sehingga hampir
mustahil jika mereka tidak mengetahui akan dakwah
tauhid yang dibawa oleh nenek moyang mereka, yakni
Nabi Ibrahim ‘alayhissalam.
Kedelapan: Kaum Quraisy mengetahui kisah kaum-
kaum yang dibinasakan oleh Alloh karena kesyirikan
mereka terhadapNya, seperti kaum Arab Áad, kaum Arab

[Date] 50
‫‪Tsamud, dan kaum Arab Madyan. Berkata Ibnul Qayyim‬‬
‫‪rohimahulloh:‬‬

‫َوقَ ْولُ ُه ( « َح ْيثُ َما َم َر ْر َت ِبقَ ْب ِر َكا ِف ٍر فَ ُق ْل أَ ْر َسلَ ِني ِإلَ ْي َك ُم َح َّم ٌد» )…‬
‫ات قَ ْب َل‬ ‫ات م ُْش ِركًا فَه َُو ِفي النَّ ِار‪َ ،‬وإ ِْن َم َ‬ ‫َد ِلي ٌل عَلَى أَ َّن َم ْن َم َ‬
‫الْ ِب ْعثَ ِة؛ ِ َأل َّن الْ ُم ْش ِر ِك َين َكانُوا قَدْ غَي َُّروا الْ َح ِني ِفيَّ َة ِد َين ِإ ْب َرا ِهي َم‬
‫الش ْركَ َو ْارتَ َك ُبو ُه‪َ ،‬ولَيْ َس َم َعه ُْم ُح َّج ٌة ِم َن الل َّ ِه ِب ِه‪،‬‬ ‫َو ْاست َ ْب َدلُوا ِبهَا ِّ‬
‫َو ُق ْب ُح ُه َوالْ َو ِع ُيد عَلَ ْي ِه ِِبلنَّ ِار لَ ْم يَ َز ْل َم ْعلُو ًما ِم ْن ِد ِين ُّالر ُس ِل ُكلِّه ِْم ِم ْن‬
‫أَ َّو ِله ِْم ِإلَى آ ِخ ِر ِه ْم‪َ ،‬وأَ ْخ َب ُار ُع ُق َوِب ِت الل َّ ِه ِ َأل ْه ِل ِه ُمتَ َد َاولَ ٌة ب َ ْي َن ْ ُاأل َم ِم‬
‫قَ ْر ًَن ب َ ْع َد قَ ْر ٍن‪ ،‬فَ ِلل َّ ِه الْ ُح َّج ُة الْ َبا ِلغ َُة عَلَى الْ ُم ْش ِر ِك َين ِفي ُك ِّل َو ْق ٍت‪،‬‬
‫َولَ ْو لَ ْم يَ ُك ْن إ َِّال َما فَ َط َر ِع َبا َد ُه عَلَ ْي ِه ِم ْن ت َْو ِحي ِد ُربُو ِبي َّ ِت ِه الْ ُم ْستَلْ ِز ِم‬
‫ون َم َع ُه‬ ‫يل ِفي ُك ِّل ِف ْط َر ٍة َو َع ْق ٍل أَ ْن يَ ُك َ‬ ‫ِلتَ ْو ِحي ِد ِإلَهِيَّ ِت ِه‪َ ،‬وأَن َّ ُه ي َْستَ ِح ُ‬
‫ِإلَ ٌه آخ َُر‪َ ،‬وإ ِْن َك َان ُس ْب َحان َ ُه َال يُ َع ِّذ ُب ِب ُم ْقتَضَ ى َه ِذ ِه الْ ِف ْط َر ِة َو ْح َدهَا‪،‬‬
‫فَلَ ْم تَ َز ْل َدع َْو ُة ُّالر ُس ِل ِإلَى التَّ ْو ِحي ِد ِفي ْ َاأل ْر ِض َم ْعلُو َم ًة ِ َأل ْه ِلهَا‪،‬‬
‫فَالْ ُم ْش ِركُ ي َْستَ ِح ُّق الْ َع َذ َاب ِب ُمخَالَ َف ِت ِه َدع َْو َة ُّالر ُس ِل َوالل َّ ُه أَ ْعلَ ُم‪.‬‬
‫‪“Dan sabda Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam:‬‬
‫‪“Setiap kali engkau melewati kuburan orang kafir, maka‬‬
‫”…‪katakanlah Muhammad mengutusku kepadamu‬‬
‫‪adalah dalil bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan‬‬
‫‪musyrik maka kesudahannya adalah Neraka, meskipun ia‬‬
‫‪mati sebelum diutusnya Rosululloh shollalloohu ‘alayhi‬‬
‫‪wa sallam. Karena sebenarnya orang-orang musyrik telah‬‬

‫]‪[Date‬‬ ‫‪51‬‬
menyelewengkan agama tauhid yang lurus, agama
Ibrahim ‘alayhissalam, seraya menggantinya dengan
kesyirikan yang mereka lakukan. Tidak ada alasan bagi
mereka dihadapan Alloh yang dapat menjustifikasi
perbuatan mereka tersebut.
Buruknya kesyirikan dan ancaman azab Neraka bagi para
pelakunya adalah maklumat yang senantiasa diketahui
dari agama seluruh utusan Alloh. Dan kisah-kisah siksa
duniawi dari Alloh atas para pelaku kesyirikan telah
tersebar, masyhur, nan diwariskan turun-temurun seiring
berputarnya roda zaman. Sehingga tegaklah hujjah Alloh
yang nyata bagi orang-orang musyrik lintas generasi.
Seandainya tidak ada hujah atas para hamba selain fitrah
tauhid Rububiyyah yang berkonsekuensi tauhid
Uluhiyyah yang Alloh tanamkan pada mereka, serta
keyakinan fitri akan kemustahilan adanya Tuhan selain
Alloh yang terpatri pada mereka, -meskipun Alloh
tidaklah mengazab hanya dengan menegakkan hujah
fitrah ini semata-, (tentulah semua itu sudah cukup
sebagai hujah atas para hamba, yang mengharuskan
mereka untuk bertauhid kepadaNya di setiap waktu dan
zaman).
Kesimpulannya, dakwah tauhid para Rosul senantiasa
diketahui oleh penduduk bumi di setiap zaman, dan
orang yang musyrik itu akan diazab karena ia
menyelisihi dakwah para Rosul. Wallaahu A’lam.”17

17
Zad Al Ma’ad, Ibnu Al Qoyyim, 3/599

[Date] 52
Kesembilan: Para nabi sebelum Rosululloh Muhammad
Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam memang tidak diutus
secara universal kepada seluruh umat manusia,
melainkan setiap nabi memiliki umat tersendiri.Akan
tetapi perlu diketahui bahwa asas syariat mereka adalah
sama, yaitu mendakwahi manusia untuk bertauhid dan
menyembah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala semata.Para
ulama mengatakan bahwa asas dakwah ini, yakni tauhid,
wajib dianut oleh setiap manusia yang telah sampai
kepadanya seruannya, baik ia termasuk umat nabi
tertentu (sebelum Muhammad Shollalloohu ‘alayhi Wa
Sallam), maupun tidak. Berbeda dengan cabang-cabang
syariat para nabi sebelum Muhammad Shollalloohu
‘alayhi Wa Sallam, seperti tata cara ibadah, zikir, dll, ia
hanya wajib dijalankan oleh kaum yang nabi tersebut
diutus kepadanya.18
Seperti Fir’aun, ia bukanlah termasuk Bani Israil,
sehingga ia bukan termasuk umat Nabi Musa alayhis
salaam. Memang ia tidaklah wajib mengikuti perincian
agama yang dibawa oleh Nabi Musa, akan tetapi ia tetap
wajib mengikuti asas ajaran para nabi yang telah
disampaikan oleh Nabi Musa alayhis salaam kepadanya,
yakni tauhid.
Demikian pula yang dilakukan oleh paman Khadijah
radhiyallaahu anha, Waraqah bin Naufal, yang menganut

18
Lihat jelasnya silahkan merujuk kepada: Rof’ al-Isytibah atau juga
dikenal dengan Al-Ibadah karya Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-
Yamani, yang dicetak dalam kumpulan karya beliau. (2/90-dst)

[Date] 53
agama Nasrani yang masih bertauhid nan bersih dari
kesyirikan ketika itu, padahal ia bukanlah termasuk Bani
Israil.
Oleh karena itu An-Nawawi (ketika mengomentari hadits
tentang ayah Nabi di neraka) berkata :

‫ات ِفي الْفَتْ َر ِة عَلَى َما َكان َْت عَلَ ْي ِه الْ َع َر ُب ِم ْن ِع َبا َد ِة‬ َ ‫َو ِفي ِه أَ َّن َم ْن َم‬
‫ْ َاأل ْو ََث ِن فَه َُو ِم ْن أَه ِْل النَّ ِار َولَيْ َس ه ََذا ُم َؤاخ ََذ ٌة قَ ْب َل بُلُوغ ِ ال َّدع َْو ِة‬
‫فَإ َِّن َهؤُ َال ِء َكان َْت قَدْ بَلَغَ ْته ُْم َدع َْو ُة ِإ ْب َرا ِهي َم َوغَيْ ِر ِه ِم َن ْ َاألن ْ ِب َيا ِء‬
‫َصلَ َو ُات الل َّ ِه ت َ َعالَى َو َس َال ُم ُه عَلَ ْيه ِْم‬
“Dapat disimpulkan dari hadits ini, bahwa setiap yang
wafat di masa fatrah dalam keadaan menganut
Paganisme Arab Jahiliyyah, maka dia termasuk penghuni
Neraka.
Ini bukan berarti ia disiksa sebelum sampainya dakwah
kepadanya, karena sungguh telah sampai kepada mereka
ajaran Nabi Ibrahim dan para nabi selainnya (yakni
tauhid), semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada mereka semua.”19

19
Syarh Shohih Muslim, Annawawi, 3/79

[Date] 54
4⃣ Sekarang kita masuk pada inti pembahasan status
ayah ibu Nabi di Akhirat

📝Poin ini akan kami nukilkan hadits-hadits Nabi


shollalloohu ‘alayhi wa sallam dan penjelasannya, terkait
keadaan orang tua Nabi di Akhirat.

📖 Pertama,

‫ع َْن أَن َ ٍس أَ َّن َر ُج ًال قَا َل ََي َر ُسو َل الل َّ ِه أَ ْي َن أَبِىي قَا َل ِفي النَّ ِار فَلَ َّما‬
‫قَفَّى َدعَا ُه فَقَا َل إ َِّن أَبِىي َوأَ َِبكَ ِفي النَّ ِار‬
Dari Anas rodhiyalloohu ‘anhu : Bahwasanya ada
seorang laki-laki bertanya kepada Rosululloh
shollalloohu ‘alayhi wa sallam : “Wahai Rosululloh,
dimanakah tempat ayahku (yang telah meninggal)
sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”.
Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau
memanggilnya lalu berkata : “Sesungguhnya ayahku
dan ayahmu di neraka”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shohîh-nya (203), Abu 'Awanah dalam Musnad-
nya (289), Ahmad dalam Musnad-nya (3/268), Abu
Dawud dalam Sunan-nya (4718), Ibnu Hibban
dalam Shohîh-nya (578), Abu Ya’la dalam Musnad-nya
(3516), al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (7/190 no. 13856)
dan Dalâil Nubuwwah (1/191), al-Jauraqani dalam al-
Abâthil wal Manâkir wash Shihah wal Masyâhir (1/132–
233), dan Ibnu Mandah dalam kitab al-Îmân(926).

[Date] 55
Tidak ragu lagi bahwa hadits ini adalah shohih. Cukuplah
sebagai hujjah akan keshohihannya bahwa Imam Muslim
memasukkan hadits ini dalam kitab Shohîh-nya yang
masyhur itu. Syaikh al-Albani rohimahulloh berkata
dalam Muqoddimah Bidâyatus Sûl (hlm. 16–17), “Hadits
riwayat Muslim dan selainnya. Hadits ini shohih
meskipun Imam as-Suyuthi memaksakan diri untuk
melemahkan hadits ini dalam beberapa kitabnya.”20
Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawiy -
rohimahulloh- berkata,

‫فيه أن من مات على الكفر فهو في النار وال تنفعه قرابة المقربين‬
‫وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة‬
‫األوَثن فهو من أهل النار وليس هذا مؤاخذة قبل بلوغ الدعوة‬
‫فان هؤالء كانت قد بلغتهم دعوة ابراهيم وغيره من األنبياء‬
‫صلوات الله تعالى وسالمه عليهم وقوله صلى الله عليه و سلم أن‬

20
Beliau lah (Imam As-Suyuthi) yang terdepan menolak bahwa
kedua orang tua Nabi di Neraka, hal ini terlihat semangat beliau
membahas di beberapa kitabnya di antaranya: Masaalik al-Hunafaa
fi Waalidai al-Mushthafa, Ad-Duraj al-Muniifah fi al-Aabaa’ asy-
Syariifah, Al-Maqaamah as-Sundusiyyah fi an-Nisbah al-
Mushthafawiyyah, At-Ta’zhiim wa al-Minnah fi anna Abawai
Rosulillaah fi al-Jannah, Nasyr al-Alamain al-Munifain fi Ihyaa’ al-
Abawain asy-Syariifain, dan As-Subul al-Jaliyyah fi al-Aabaa’ al-
Aliyyah.

[Date] 56
‫أبىي وأِبك في النار هو من حسن العشرة للتسلية ِبالشتراك في‬
‫المصيبة‬
“Di dalam hadits ini (terdapat keterangan) bahwa
barangsiapa yang mati di atas kekafiran, maka ia di
neraka dan kekerabatan orang-orang dekat tak akan
memberikannya manfaat. Di dalam hadits ini (terdapat
keterangan) bahwa yang mati di masa “fatroh” (vakum)
di atas sesuatu yang dipijaki oleh bangsa Arab berupa
penyembahan berhala, maka ia termasuk penduduk
neraka. Ini bukanlah hukuman sebelum sampainya
dakwah. Karena, mereka itu sungguh telah dicapai
dakwahnya Nabi Ibrahim 'alayhissalam dan selainnya
dari kalangan para nabi –sholawatullohi ta’ala wa
salamuhu 'alaihim-. Sabda beliau -Shollallohu alaihi wa
sallam-, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu dalam
neraka”, termasuk bentuk pergaulan yang baik demi
menghibur karena adanya kesamaan (antara bapak beliau
dan bapak orang itu) dalam sebuah musibah”. [Syarah
Shohih Muslim oleh An-Nawawi juz 3 hal. 79 melalui
perantara Naqdu Masaalikis-Suyuthi fii Waalidayil-
Musthofaa oleh Dr. Ahmad bin Shalih Az-Zahrani hal.
26, Cet. 1425 H].
Syaikh bin Baaz rohimahulloh saat menjelaskan hadits di
atas berkata:

‫ ( إن أبىي وأِبك في النار‬: ‫والنبىي صلى الله عليه وسلم حينما قال‬
، ‫ فهو عليه الصالة والسالم ال ينطق عن الهوى‬، ‫) قاله عن علم‬

[Date] 57
‫ ( َوالنَّ ْج ِم ِإ َذا ه ََوى َما ضَ َّل َصا ِح ُب ُك ْم‬:‫كما قال الله س بحانه وتعالى‬
-1/‫َو َما غَ َوى َو َما ي َ ْن ِط ُق ع َِن الْه ََوى إ ِْن ه َُو إِال َو ْح ٌي يُو َحى ) النجم‬
... 4
"Saat Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam menyatakan:
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu (sama-sama) di
neraka“, beliau mengucapkannya atas dasar ilmu, karena
beliau tidak mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya,
sebagaimana Firman Alloh Ta’ala (yang artinya): “Demi
bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak
sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).“ (QS. An-Najm: 1-4)".
https://islamqa.info/ar/answers/47170/
Disini kita mendapatkan sebuah faedah bahwa tidak
semua ahlul fatroh (orang yang berada di masa vakum),
mendapatkan udzur di sisi Alloh -Azza wa Jalla-. Jika
suatu kaum vakum dari seorang rosul, dalam artian
bahwa tak ada diantara mereka seorang rosul hidup
bersama dengan mereka, namun mereka masih
mendapatkan syariat dan risalah mereka dari para
pengikut mereka, maka dalam kondisi seperti ini ahlul
fatroh tak memiliki udzur di sisi Alloh -Azza wa Jalla-
. Inilah kondisi kedua orang tua Nabi -shollallohu 'alaihi
wa sallam-. Betul di zaman orang tua beliau tak ada lagi
Rosul, tapi risalah dan syariat Nabi Ibrahim 'alayhissalam

[Date] 58
masih terwarisi dan dipertahankan oleh kaum hunafa’.
Dengan ini, hujjah telah sampai kepada mereka.

Adapun memaknai lafaz ‫أَبِىي‬ “ayahku” menjadi ‫َع ِّمي‬


“pamanku” dengan dalih bahwa hal ini boleh dalam
tinjauan ilmu linguistik Arab, maka bantahannya adalah:
Pertama: Ini adalah bentuk mentakwil. Karena makna
‘ayahku’ pada kata ‫ أبِىي‬adalah makna hakikat, sedangkan
‘pamanku’ adalah makna majasi/majaz. Dan hukum
asalnya adalah bahwa suatu ucapan dipahami dengan
makna hakikat, kecuali jika adanya qarinah (indikasi)
yang mengharuskan kita untuk memahaminya dengan
makna majasi.
Kedua: Pernyataan Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa
sallam tersebut adalah sebagai pelipur lara bagi si
penanya. Jika ternyata yang dimaksud oleh Nabi
shollalloohu ‘alayhi wa sallam adalah ‘pamanku’, tentu
tujuan ini tidak tercapai, karena semua orang pasti
mengetahui perbedaaan antara paman dan ayah.
Ketiga: Seandainya memang maksud Rosululloh
shollalloohu ‘alayhi wa sallam adalah ‘pamanku’,
pastilah Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam akan
mengucapkannya dengan jelas. Apa sulitnya Nabi

[Date] 59
shollalloohu ‘alayhi wa sallam menggunakan lafaz ‫َع ِّمي‬
“pamanku”?21

21
Sebagaimana Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam memanggil Abu
Tholib yang jelas-jelas pamannya dengan panggilan ‘ammiy ( ‫)عمي‬
dalam sebuah hadits:
َ ْ َ َ َ ُ َ ْ َ ً َ َ ُ َّ َّ َ َ َ ْ ُ ِّ َ
ِ ‫يا عم! قل ال ِإله ِإال الله ك ِلمة أشهد لك ِبها ِعند‬
‫الله‬
“Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illAlloh, sebuah kalimat yang
dengannya aku akan menjadi saksi pembelamu di hadapan Alloh
kelak.”

Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah yang berada di sampingnya


pun menimpali:
َّ ْ َ َّ َ َ ََ
!‫أت ْرغ ُب ع ْن ِمل ِة ع ْب ِد ال ُمط ِل ِب؟‬
“Wahai Abu Thalib! Apakah engkau sudi membenci dan berpaling
dari agama Abdul Muththalib?!”

Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam pun terus mengulangi


seruannya tersebut, namun mereka berdua pun tak mau kalah
mengulangi seruan mereka. Hingga akhirnya Abu Thalib
mengikrarkan kata terakhirnya, bahwa ia tetap menganut agama
Abdul Muththalib, dan enggan untuk bersyahadat laa ilaaha
illallaah.

Maka Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam bersabda:


َ ْ َ َ ُْ َ َ َ َّ ْ َ َ َّ َ
‫أ َما َوالل ِه أل ْستغ ِف َرن لك َما ل ْم أنه عنك‬
“Demi Alloh! Aku akan terus memintakan ampunan untukmu selagi
aku belum dilarang oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.”

[Date] 60
Justru jika maksud Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam
dengan lafaz ‫ أَبِىي‬ternyata adalah adalah ‘pamanku’, tanpa
menyertakan penjelasan tambahan, ucapan ini malah
dapat disalah pahami oleh sang penanya tersebut.

📖 Kedua,

‫ول الل ِه صلى الله عليه وسلم ْاستَ ْأ َذن ُْت َربِّىي‬ ُ ‫ع َْن أَبِىي ه َُريْ َر َة قَا َل قَا َل َر ُس‬
َ َ‫أَ ْن أَ ْستَ ْغ ِف َر ِ ُأل ِّمي فَل َ ْم يُ ْؤ َذ ْن ِلي َو ْاستَ ْأ َذن ْ ُت ُه أَ ْن أ‬
‫زُور قَبْ َرهَا فَ ُأ ِذ َن ِلي‬
Dari Abu Hurairah rodhiyalloohu ’anhu ia berkata :
Telah bersabda Rosululloh shollalloohu ’alayhi
wa sallam: ”Sesungguhnya aku telah memohon ijin
Robb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak
mengijinkanku. Namun Ia mengijinkan aku untuk
menziarahi kuburnya”

📝 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim


dalam Shohîh-nya (976–977), Abu Dawud (3235), Nasai
(4/90), Ibnu Majah (1572), Ahmad dalam Musnad-nya
(2/441), ath-Thohawi dalam Musykil Atsar (3/89), al-
Baihaqi dalam Sunan Kubra (4/76), (7/190) dan Dalâil
Nubuawwah (1/190), al-Baghawi dalam Syarh
Sunnah (5/463 no. 1554) dan Ma’alim Tanzil (3/115),
Abu Ya’la dalam Musnad-nya (6193), al-Jauraqani

Terkait peristiwa tersebut, Alloh Subhanahu Wa Ta’ala pun


menurunkan ayat: {tidaklah boleh bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman untuk memintakan ampun untuk orang-orang musyrik}.
([H.R. Bukhori 1360, Muslim 141, dan selainnya.])

[Date] 61
dalam Abâthil wal Manâkir (1/230) dan al-Hakim
dalam al-Mustadrak (1429).

📌Tidaklah diragukan bahwa hadits ini adalah shohih.


Cukuplah sebagai hujjah bahwa Imam Muslim
memasukkan hadits ini dalam kitab Shohîh-nya. Imam
al-Baghawi berkata, “Hadits ini shohih.” Imam Al-
Hakim berkata, “Hadits shohih menurut syarat Muslim
tetapi keduanya (Bukhori-Muslim) tidak
mengeluarkannya.” Dan disetujui Imam Dzahabi!!

📋Kami berkata: Imam Hakim benar dalam


menghukumi hadits ini shohih menurut syarat Muslim,
tetapi beliau salah ketika mengatakan bahwa Imam
Muslim tidak mengeluarkannya, karena hadits ini
diriwayatkan Imam Muslim dalam Shohîh-nya—
sebagaimana Anda lihat di atas.
Al-Imam Al-Baihaqi rohimahulloh berkata :

‫ بدليل ما أخبرَن‬,‫وأبواه كاَن مشركين‬


”Sesungguhnya kedua orang tua Nabi shollalloohu
’alaihi wa sallam adalah musyrik dengan dalil apa yang
telah kami khabarkan....”. Kemudian beliau
membawakan dalil hadits dalam Shohih Muslim di atas
(no. 203 dan 976) di atas [Lihat As-Sunanul-Kubraa juz
7 Bab Nikaahi Ahlisy-Syirk wa Thalaaqihim]. [Perkataan
Imam Al-Baihaqi tentang kekafiran kedua orang tua
Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam juga dapat ditemui
dalam kitab Dalaailun-Nubuwwah juz 1 hal. 192, Daarul-

[Date] 62
Kutub, Cet. I, 1405 H, tahqiq : Dr. Abdul-Mu’thi Al-
Qal’aji]]
Al-’Allaamah Syamsul-Haq ’Adzhim ’Abadi berkata :

‫ ألنها كافرة واالس تغفار للكافرين ال يجوز‬: ‫فلم يأذن لي‬


”Sabda beliau shollalloohu ’alaihi wa sallam : ”Dan Ia
(Alloh) tidak mengijinkanku” adalah disebabkan
Aminah adalah seorang yang kafir, sedangkan
memintakan ampun terhadap orang yang kafir adalah
tidak diperbolehkan” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi
Dawud, Kitaabul-Janaaiz, Baab Fii Ziyaaratil-Qubuur].

✅Yang lebih menguatkan hadits ini dan pernyataan Al-


'Allaamah Syamsul-Haq 'Adzhim 'Abadi di atas adalah
ayat di bawah ini dan asbabun nuzulnya:

📖 Alloh Ta'ala berfirman,

‫َما َك َان ِللنّبِىيّ َوال ّ ِذ َين آ َمنُ َو ْا أَن ي َْستَ ْغ ِف ُرو ْا ِللْ ُم ْش ِر ِك َين َولَ ْو كَان ُ َو ْا ُأ ْو ِلي‬
‫ُق ْربَىىَ ِمن ب َ ْع ِد َما ت َ َبي ّ َن لَه ُْم أَنّهُ ْم أَ ْص َح ُاب الْ َج ِحي ِم‬
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Alloh) bagi orang-
orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni
neraka jahanam” [QS. At-Taubah : 113].

[Date] 63
💾Sababun-Nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah
berkaitan dengan permohonan Nabi shollalloohu ’alaihi
wa sallam kepada Alloh ta’ala untuk memintakan ampun
ibunya (namun kemudian Alloh tidak mengijinkannya)
[Lihat Tafsir Ath-Thobari dan Tafsir Ibnu Katsir QS. At-
Taubah : 113].

⛔ Masalah yang muncul: Ada Imam besar yang


melemahkan hadits pertama yang telah kita bahas.
Terlihat dari penjelasan di atas sepertinya tidak ada
masalah. Namun, setelah kita menengok keluar, ternyata
banyak yang menolak fakta ini. Mereka tidak rela, kedua
orang tua Nabi dikatakan kafir (penghuni neraka, dsb...).
Nah, ketahuilah saudaraku, ini ujian bagi orang-orang yg
beriman. Apalagi yang mempermasalahkan tentang hal
ini adalah seorang imam atau ulama besar, maka
ujiannya akan semakin besar. Di sinilah keistiqomahan
kita dibutuhkan.
Siapa yang tidak kenal dengan Al-Hafizh Al-Imam as-
Suyuthi, seorang imam dan ulama besar dan terkenal
ternyata melemahkan hadits pertama pada tulisan kita di
atas dalam beberapa kitabnya, diantaranya Masaliku
Hunafa fi Walidai Musthafa 2/432–435 dengan alasan
bahwa salah satu perawi dari hadits tersebut yang
bernama Hammad bin Salamah telah diselisihi oleh
Ma’mar bin Rasyid, di mana beliau tidak menyebutkan
lafazh ini (yakni, sebagaimana lafadz hadits Anas bin
Malik yang telah kami nukilkan), tetapi dengan lafazh

[Date] 64
“Apabila engkau melewati kuburan seorang kafir maka
beritakanlah dia dengan neraka”.22 Hadits dengan lafazh
ini lebih kuat, karena Ma’mar lebih kuat hafalannya
daripada Hammad, sebab Hammad ada pembicaraan
dalam hafalannya, berbeda halnya dengan Ma’mar.
Dan alasan lain bahwa Hammad bin Salamah ini,
berubah hafalannya di akhir hayatnya.

22
Redaksi selengkapnya,
َ َ َ َّ َّ َ ُ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ ْ َ
‫ول الل َ ِه ِإن أ ِبي كان‬ ‫ يا رس‬:‫َج َاء أع َر ِاب ٌّي ِإلى الن ِب ِّي َصلى َ الله علي ِه وسلم فقال‬
َ ُ َّ َ َ َ َ َّ َ ‫ َفأ ْي َن ُه َو؟ َق‬،‫ان‬ َ َ َ َ َ َ َ َّ ُ َ
‫ فكأنه َو َجد ِم ْن‬:‫ال‬ ‫ال « ِفي الن ِار» ق‬ ‫ وكان وك‬،‫يصل الرحم‬
ْ ََ ُ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ ُ َ ْ َ َّ َ ُ َ َ َ ِ َ َ َ ِ َ
َ َ
‫ يا رسول الل ِه فأين أبوك؟ فقال رسول الل ِه صلى الله علي ِه‬:‫ فقال‬،‫ذ ِلك‬
َّ ِّ َ ْ َ َ ُ َّ
»‫ « َح ْيث َما َم َر ْرت ِبق ْب ِر ُمش ِر ٍك ف َبش ْر ُه ِبالن ِار‬:‫َو َسل َم‬
“Pernah seorang arab badui datang menemui Rosululloh
shollalloohu ‘alayhi wa sallam dan berkata:

‘Wahai Rosululloh! Sesungguhnya ayahku dahulu adalah orang


yang menyambung tali silaturahmi, dan dia melakukan ini dan itu
(ia menyebutkan kebaikan-kebaikannya). Di manakah ia?”

Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam menjawab: “Ia di Neraka.”

Ia pun tampak sedih mendengar jawaban tersebut. Lalu ia


bertanya: “Kalau begitu, di manakah ayahmu wahai Rosululloh?”

Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam pun menjawab: “Setiap


kali engkau melewati kuburan orang musyrik, maka kabarkanlah
padanya bahwa kesudahannya di Neraka.” ([H.R. Ibnu Majah
(no.1573), dan Al-Bazzar (no.1089)])

[Date] 65
Untuk membuktikan ini, tentunya kita mengembalikan
permasalahan ini kepada pembicaraan ulama pakar
hadits.

📋Untuk lebih jelasnya, terlebih dahulu kita simak


kembali haditsnya secara lengkap dengan sanadnya..

📖 Hadits No. 302

‫َح َّدثَنا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَبِىي َشيْبَ َة َح َّدثَنَا َعفَّ ُان َح َّدثَنا َح َّما ُد ْب ُن َسل َ َم َة ع َْن ََثب ٍِت‬
‫ع َْن أَن َ ٍس أَ َّن َر ُج ًال قَا َل ََي َر ُسو َل الل َّ ِه أَيْ َن أَبِىي قَا َل ِفي النَّ ِار فَل َ َّما قَفَّى َدعَا ُه‬
‫فَقَا َل إ َِّن أَبِىي َوأَ َِبكَ ِفي النَّار‬
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin
Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami
['Affan] telah menceritakan kepada kami [Hammad
bin Salamah] dari [Tsabit] dari [Anas] bahwa
seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rosululloh, di
manakah bapakku?" Beliau menjawab, "Dia di dalam
neraka." Ketika laki-laki tersebut berlalu pergi, maka
beliau memanggilnya seraya berkata: "Sesungguhnya
bapakku dan bapakmu di dalam neraka."
Nah sekarang kita simak, tanggapan pernyataan Imam
As-Suyuthi di atas dari beberapa sisi:
Pertama: Tidak dikenal seorangpun dari ulama yang
mendho’ifkan hadits ini dengan alasan yang disebutkan

[Date] 66
oleh As-Suyuthi rahimahullah tersebut. Dan ulama yang
menshohihkan hadits ini jauh lebih banyak, dan mereka
adalah ahli hadits yang lebih diakui senioritas dan
keilmuannya tentang ilmu hadits daripada As-Suyuthi.
Kedua: Penulis belum berhasil menemukan riwayat
hadits ini melalui jalur Ma’mar dari Tsabit dalam diwan-
diwan hadits utama. As-Suyuthi sendiri ketika
menyebutkan riwayat ini tidak menyebutkan sumbernya.
Ketiga: Jalur periwayatan yang sahih dari Ma’mar
dengan lafaz: “Setiap kali engkau melewati kuburan
orang musyrik” telah dinyatakan berstatus mursal oleh
Abu Hatim dan Ad-Daraquthni. Sedangkan jalurnya yang
muttashil (bersambung) sampai Nabi Shollalloohu
‘alayhi Wa Sallam adalah daif.
Abu Hatim berkata:

َّ ‫ َو َال أعلَ ُم أَ َحدًا يُجاوِزُ ِب ِه ُّالز‬،‫ و ُابن أَبِىي ن ُ َعيم‬،‫َك َذا َر َوا ُه يَ ِز ُيد‬
‫هري‬
،ِّ‫ َجا َء أعرابىيٌّ إلى النبىي‬:‫هري؛ قَا َل‬ ِّ ‫غيرهما؛ ِإن َّ َما يَ ْر ُو ْون َ ُه ع َِن ُّالز‬
َ
.‫وال ُم َرس ُل أش ب ُه‬
“Demikianlah, hanya Yazid dan Ibnu Abi Nu’aim yang
aku ketahui meriwayatkannya secara muttashil kepada
Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam. Sedangkan
mayoritas perawi lainnya hanya menyambung sanadnya
hingga Az-Zuhri, (yakni secara mursal, bukan muttashil),
bahwa Az-Zuhri berkata: Suatu ketika seorang arab badui
menemui Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam…dst. Dan

[Date] 67
riwayat mursal lebih kuat dibandingkan riwayat yang
muttashil.” ([‘Ilal Al Hadits, Ibnu Abi Hatim, 5/692])
Berkata Ad-Daraquthni:

‫ ع َْن ِإ ْب َرا ِهي َم‬،‫ َوالْ َو ِل ُيد ْب ُن ع ََطا ِء ْب ِن ْ َاألغَ ِّر‬،‫يَ ْر ِوي ِه ُم َح َّم ُد ْب ُن أَبِىي ن ُ َع ْي ٍم‬
،‫ ع َِن ُّالز ْه ِر ِّي ُم ْر َس ًال‬،‫ َوغَيْ ُر ُه يَ ْر ِوي ِه ع َْن ِإ ْب َرا ِهي َم ْب ِن َس ْع ٍد‬،‫ْب ِن َس ْع ٍد‬
.‫الص َو ُاب‬ َّ ‫َوه َُو‬
“Riwayat Muhammad bin Abi Nu’aim, dan Al-Walid bin
Atha’ bin Al-Agharr hanya sampai kepada Ibrahim bin
Sa’d.
Dan selain keduanya meriwayatkan dari Ibrahim bin
Sa’d, dari Az-Zuhri secara mursal. Dan inilah yang
benar.”([Al ‘Ilal, Addarowuthni, 4/334])

Keempat: Siapakah Hammad ☝yang dipermasalahkan


oleh Imam As-Suyuthi ini?

✅Dia bernama lengkap Hammaad bin Salamah bin


Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah bin Abi Sakhrah
maulaa (pembantu) Robii’ah bin Maalik bin Handzholah
bin Bani Tamiim. Ia perawi yang dipakai Imam Al-
Bukhooriy dalam Shohih-nya (muallaq), Muslim, Abu
Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah.
Termasuk generasi pertengahan atbaa’ut-
taabi’iin (thabaqah 8), wafat tahun 167 H.
Imam Ibnu Hajar berkata tentangnya : “Tsiqoh
(terpercaya), lagi ‘aabid (ahli ibadah), orang yang

[Date] 68
paling tsabt (teguh) dalam periwayatan hadits Tsaabit
(Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya di akhir usianya”
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507].
Imam Al-Baihaqiy rohimahulloh berkata tentangnya :

‫هو أحد أئمة المسلمين إال أنه لما كبر ساء حفظه فلذا تركه‬
‫البخاري وأما مسلم فاجتهد وأخرج من حديثه عن َثبت ما سمع‬
‫منه قبل تغيره وما سوى حديثه عن َثبت ال يبلغ اثني عشر‬
“Ia adalah salah seorang imam di antara para imam kaum
muslimin. Akan tetapi ketika lanjut usia, hapalannya
menjadi buruk. Oleh karena itu Imam Al-Bukhooriy
meninggalkannya. Adapun Imam Muslim, maka ia
berijtihad dan meriwayatkan haditsnya dari Tsaabit yang
didengarnya sebelum berubah hapalannya. Adapun selain
haditsnya dari Tsaabit, tidak sampai berjumlah 12 buah
yang ia riwayatkan dalam syawaahid (penguat)”
[Tahdziibut-Tahdziib, 3/14].
Lebih penting dari pernyataan ini, ada empat orang yang
meriwayatkan darinya, yaitu ‘Affaan, Muusaa bin
Ismaa’iil, Wakii’ bin Al-Jarrah, dan Rauh bin ‘Ubaadah
yang kesemuanya merupakan para perawi tsiqoh
(terpercaya). Khusus tentang riwayat Hammaad yang
berasal dari ‘Affaan, Imam Ibnu
Rajab rohimahumulloh berkata :

[Date] 69
ُ
‫ من أراد‬: ‫سمعت يحيىى بن معين يقول‬ : ‫قال عبد الله بن أحمد‬
‫ فعليه بعفان بن مسلم‬،‫أن يكتب حديث حماد بن سلمة‬
“Telah berkata ‘Abdullah bin Ahmad : Aku mendengar
Yahyaa bin Ma’iin berkata : ‘Barangsiapa yang ingin
menulis hadits Hammaad, maka wajib baginya
berpegang pada ‘Affaan bin Muslim” [Syarh ‘Ilal At-
Tirmidziy, 2/707].
Artinya, menurut Imam Ibnu Ma’iin, ‘Affaan bin Muslim
termasuk orang yang kokoh dan diterima periwayatannya
dari Hammaad. Faedahnya, ‘Affaan mendengarkan
hadits Hammaad bin Salamah sebelum berubah
hapalannya. ‘Affaan bin Muslim sendiri adalah seorang
yang tsiqoh lagi tsabat, hanya kadang ia keliru/ragu
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 681-682 no. 4659].
Akurasi hadits ‘Affaan dari Hammaad ini dipersaksikan
oleh tiga perawi tsiqoh lainnya. Tidak ada ruang (atau
sangat kecil kemungkinannya) untuk mengatakan bahwa
hadits Hammaad ini keliru karena faktor berubah
hapalannya.
Kelima: Argumentasi Imam As-Suyuthi rahimahullah
pun terkesan aneh nan ganjil dalam tinjauan ilmu hadits.
Karena telah masyhur di kalangan ahli hadits bahwa
Hammad bin Salamah adalah murid paling tsiqah dari
Tsabit Al-Bunani. Sebaliknya, justru riwayat Ma’mar
dari Tsabit al-Bunani adalah riwayat yang lemah. Berikut
pernyataan para ulama:

[Date] 70
Imam Ahmad berkata :

‫َح َّماد بن َسل َمة أَثْبَ ُت النَّ ِاس ِفي ََثب ٍِت الْ ُبنَا ِن ّي‬
“Hammad bin Salamah adalah orang yang paling tsabit
(paling kuat dan sahih haditsnya) dalam meriwayatkan
hadits dari Tsabit Al-Bunani.”([Al ‘Ilal Wa Ma’rifah
Arrijal, Ahmad bin Hanbal dengan periwayatan anaknya,
2/131)
Hal senada juga dinyatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi23,
dan lain-lain.
Imam Muslim (penulis Shohih Muslim) berkata:

ِ ‫ ِا ْج ِت َما ُع أَه ِْل ال َح ِد‬،‫يل عَلَى َما بَيَّنَّا ِم ْن ه ََذا‬


‫يث َو ِم ْن ُعلَ َمائه ْم‬ ُ ‫َوال َّد ِل‬
‫ َو َك َذ ِل َك قَا َل‬،‫على أَ َّن أَثْبَ َت النَّ ِاس ِفي ََثبت الْبنا ِن ّي َح َّماد بن َسل َمة‬
‫يحيىى الْ َّقطان َويحيىى بن م ِعين َوأحمد بن َحنْ َبل َوغَيرهم من أهل‬
‫بت كحديثه عَن‬ ٍ ‫ َو َح َّماد يُ َع ُّد ِع ْندهم إِذا َح َّد َث عَن غير ََث‬.‫الْمعرفَة‬
‫قَتَادَة َوأَيوب َويُونُس َود َُاود بن أبىي ِه ْند والجريري َويحيىى بن‬
‫سعيد َو َع ْمرو بن ِدينَار وأش باههم فَ ِإن َّ ُه يُخْ ِط ُئ ِفي َح ِديثه ْم كثيرا‬
“Dalil yang menguatkan apa yang telah kami katakan
adalah: kesepakatan ahli hadits dan ulama pakar hadits

23
Imam Abu Hatim ar-Razi berkata—sebagaimana dalam al-’Ilal
(2185), ”Hammad bin Salamah adalah orang yang paling terpercaya
apabila meriwayatkan dari Tsabit dan Ali bin Zaid.”

[Date] 71
bahwa murid yang paling kuat dan paling sahih
periwayatannya dari Tsabit Al-Bunani adalah Hammad
bin Salamah, sebagaimana demikian dikatakan oleh
Yahya Al-Qaththan, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin
Hanbal dan para pakar hadits lainnya.
Mereka juga mengatakan bahwa jika Hammad
meriwayatkan dari guru lainnya selain Tsabit, seperti
Qatadah, Yunus, Dawud bin Abi Hind, Al-Jariri, Yahya
bin Sa’id, ‘Amr bin Dinar, dan yang semisal mereka,
maka memang riwayatnya banyak mengandung
kesalahan (berbeda dengan riwayatnya dari Tsabit Al-
Bunani).”([Attamyiz, Muslim, 1/218])
Berkata Yahya bin Ma’in:

:ُ‫ قيل لَه‬.‫ول َح َّما ٍد‬


ُ َ‫ فَالْقَ ْول ق‬،‫بت‬ٍ ‫من خَالف َح َّماد بن َسل َمة ِفي ََث‬
‫ َو َح َّماد أعلم‬،‫غيرة عَن ََثبت؟ قَا َل ُسلَ ْي َمان ثَبْ ٌت‬ َ ‫فسليمان بن ُم‬
.‫النَّاس ِبثَابِت‬
“Siapa pun yang meriwayatkan sesuatu dari Tsabit, akan
tetapi riwayatnya tersebut berbeda dengan apa yang
diriwayatkan oleh Hammad dari Tsabit, maka ketahuilah
bahwa riwayat Hammad lah yang benar.” (Lalu Yahya
bin Ma’in ditanya kembali): “Bagaimana jika riwayat
Hammad dari Tsabit berbeda dengan periwayatan
Sulaiman bin Al-Mughirah dari Tsabit, mana yang lebih
didahulukan?” Beliau menjawab: “Memang Sulaiman
adalah perawi yang tsabt (kuat hafalannya), hanya saja

[Date] 72
Hammad adalah murid yang paling tahu akan hadits-
hadits Tsabit.” [Tahdziibul-Kamaal, 7/262].
Kesimpulan: Riwayat dari Tsabit yang tersahih adalah
yang diriwayatkan darinya oleh Hammad, sebagaimana
demikianlah hal yang masyhur di kalangan ahli hadits,
bahkan Imam Muslim menukil ijmak ahli hadits akan hal
tersebut. Imam Muslim dalam Shohîh-nya seringkali
meriwayatkan riwayat dari jalur Hammad bin Salamah
dari Tsabit. Berbeda halnya dengan Ma’mar bin Rasyid,
sekalipun beliau terpercaya, para ahli hadits melemahkan
riwayatnya dari Tsabit. Ibnu Ma’in berkata, “Ma’mar
dari Tsabit lemah riwayatnya.” Al-’Uqaili berkata,
“Riwayat yang paling mungkar dari Tsabit adalah
riwayat Ma’mar bin Rasyid.”
Setelah penjelasan ini, lantas apa artinya perbandingan
yang dilakukan oleh al-Hafizh as-Suyuthi antara dua
orang tersebut?! Jadi, pendapat yang benar adalah
riwayat Hammad bin Salamah, sedangkan riwayat
Ma’mar bin Rasyid adalah mungkar. [Dinukil dari
jawaban Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam Majalah at-
Tauhid, edisi 3/Th. 9. Dan lihat bantahannya lebih
lengkap dalam tulisan beliau tersebut ]
Adapun hadits kedua, as-Suyuthi tidak memberikan
banyak alasan untuk melemahkannya kecuali ucapan
yang global saja!!
Hammaad, sebagaimana telah lalu penjelasannya, dicela
sebagian ulama karena berubahnya hapalannya di akhir
usianya sehingga ia keliru meriwayatkan beberapa hadits.

[Date] 73
Berkata Imam ‘Ali bin Al Madini:

‫لَ ْم يَ ُك ْن ِفي أَ ْص َح ِاب ََثب ٍِت أَثْبَ َت ِم ْن َح َّما ِد ا ْبن َسلَ َم َة ث ُ َّم ب َ ْع َد ُه‬
‫ُسلَ ْي َم ُان ْب ُن الْ ُم ِغ َير َة ث ُ َّم ب َ ْع َد ُه َح َّما ُد ْب ُن َزيْ ٍد َو ِه َي ِص َح ٌاح‬
“Tidak ada murid Tsabit yang lebih kuat dan sahih
periwayatannya dari Hammad bin Salamah, kemudian
pada level selanjutnya adalah Sulaiman bin Al-Mughirah,
kemudian setelahnya Hammad bin Zaid, dan semua
hadits mereka dari Tsabit adalah sahih.” ([Al ‘Ilal, Ibnu
Al Madini, 1/72])
Keenam: Seandainya memang ada riwayat hadits ini
melalui jalur Ma’mar dari Tsabit, tetap saja periwayatan
Ma’mar bin Rasyid dari Tsabit Al-Bunani telah dinilai
daif (lemah) oleh ahli hadits.
‘Ali bin Al-Madini berkata :
ُ ‫يث َم ْع َم ٍر ع َْن ََثب ٍِت أَ َحا ِد‬
ٌ‫يث غَ َرائِ ٌب َو ُمنْ َك َرة‬ ِ ‫َو ِفي أَ َحا ِد‬
“Dan pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ma’mar
dari Tsabit terdapat hadits-hadits yang gharib dan
munkar.” ([Al ‘Ilal, Ibnu Al Madini, 1/72])
Ibnu Rajab berkata :

.‫ َو ُض ِّع َف َح ِديْثُ ُه ع َْن ََثب ٍِت خ ََّاص ًة‬.‫َو ِمنْه ُْم َم ْع َمر ْبن َر ِاش ٍد‬
“Dan di antara mereka adalah Ma’mar bin Rosyid. Dan
terkhusus hadits-haditsnya dari Tsabit, telah dinyatakan

[Date] 74
daif oleh para ahli hadits.” ([Syarh Al ‘Ilal Attirmidzi,
Ibnu Rojab, 2/804])
Demikian juga pernyataan Ibnu Ma’in ([Atta’dil Wa
Attajrih Liman Khorroja Lahu Al Bukhori, Abu Al Walid
Al Baji, 2/742]), Ibnu Asakir ([Tarikh Dimasyq, Ibnu
‘Asakir, 59/414]), Ibnu Rajab Al Hanbali ([Syarh Al ‘Ilal
Attirmidzi, Ibnu Rojab, 2/691 dengan lafazh: “Dan Ibnu
Abi Khoitsamah menyebutkan dari Ibnu Ma’in”]),
‘Alauddin Mughlathoy Al-Hanafi ([Ikmal Tahdzib Al
Kamal, Mughlathoy al Hanafi ‘Alauddin, 11/301]), dan
Ibnu Hajar Al-Asqalani. ([Tahdzib Attahdzib, Ibnu
Hajar, 10/245])
Kesimpulan:
Dengan dua alasan ini, yakni Hammad adalah perawi
terkuat dari Tsabit dan riwayat Ma’mar dari Tsabit
dipermasalahkan, dapat disimpulkan bahwa lafaz
“Ayahku dan ayahmu di neraka” sama sekali tidaklah
syadz, bahkan ia adalah riwayat yang sahih, dan justru
riwayat Ma’mar lah yang harus dinyatakan syadz.
Hal ini jika memang riwayat dari Ma’mar dari Tsabit
dengan lafazh yang disebutkan diatas memang ada.
Penulis sendiri sampai saat ini belum menemukan
riwayat tersebut.
Ketujuh: Meskipun telah sahih riwayat dari jalur
Ma’mar dari Az-Zuhri, yaitu dengan lafaz:

[Date] 75
‫ ََي َر ُسو َل الل َّ ِه إ َِّن‬:‫َجا َء أَع َْرابِىيٌّ ِإلَى النَّبِىيِّ َصلَّى الل ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم فَقَا َل‬
»‫ فَ َأ ْي َن ه َُو؟ قَا َل « ِفي النَّ ِار‬،‫ َو َك َان َو َك َان‬،‫أَبِىي َك َان ي َ ِص ُل َّالر ِح َم‬
‫ ََي َر ُسو َل الل َّ ِه فَ َأ ْي َن أَبُوكَ ؟ فَقَا َل‬:‫ فَقَا َل‬،‫ فَ َك َأن َّ ُه َو َج َد ِم ْن َذ ِل َك‬:‫قَا َل‬
‫ « َح ْيثُ َما َم َر ْر َت ِبقَبْ ِر م ُْش ِر ٍك‬:‫ول الل َّ ِه َصلَّى الل ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم‬ ُ ‫َر ُس‬
»‫فَب َِّش ْر ُه ِِبلنَّ ِار‬
“Pernah seorang arab badui datang menemui
Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam dan berkata:
‘Wahai Rosululloh! Sesungguhnya ayahku dahulu
adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, dan
dia melakukan ini dan itu (ia menyebutkan kebaikan-
kebaikannya). Di manakah ia?”
Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam menjawab:
“Ia di Neraka.”
Ia pun tampak sedih mendengar jawaban tersebut. Lalu
ia bertanya: “Kalau begitu, di manakah ayahmu wahai
Rosululloh?”
Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam pun
menjawab: “Setiap kali engkau melewati kuburan orang
musyrik, maka kabarkanlah padanya bahwa
kesudahannya di Neraka.” ([H.R. Ibnu Majah (no.1573),
dan Al-Bazzar (no.1089)])
Jawabannya :

[Date] 76
Lafaz hadits ini “Setiap kali engkau melewati kuburan
orang musyrik” bersifat umum, sehingga mencakup
setiap musyrik yang dilewati oleh orang tersebut,
termasuk ayah Nabi Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam,
sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Hammad bin
Salamah dengan lafaz (Ayahku dan ayahmu di neraka).
Dengan kata lain, kedua riwayat ini dapat
dikompromikan sehingga tidak saling bertentangan.
Jika seseorang ingin mengecualikan ayah Nabi
Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam dari keumuman lafaz
tersebut, maka ia harus membawakan dalil tentang itu.

📖 Ketiga,
Dari Buraidah -rodhiyallohu 'anhu-, ia berkata,

‫ في غزوة‬:‫ وفي رواية‬،‫كنا مع النبىي صلى الله عليه وسلم [ في سفر‬


‫ ثم أقبل‬،‫ فصلى ركعتين‬،‫فنزل بنا ونحن معه قريب من ألف راكب‬.] ‫الفتح‬
‫ ففداه ِبالب‬،‫ فقام إليه عمر بن الخطاب‬،‫علينا بوجهه وعيناه تذرفان‬
‫ إني سألت ربىي عز وجل في‬:‫ َي رسول لله مالك؟ قال‬:‫ يقول‬،‫واالم‬
،‫ فدمعت عيناي رحمة لها من النار‬،‫ فلم يأذن لي‬،‫االس تغفار المي‬
‫ وإني كنت نهيتكم عن زَيرة‬،] ‫[واس تأذنت ربىي في زَيرتها فأذن لي‬
.‫ ولتزدكم زَيرتها خيرا‬،‫القبور فزوروها‬
“Dahulu kami bersama Nabi -shollalloohu 'alaihi wa
sallam- (dalam suatu safar. Dalam riwayat lain, pada
Perang Penaklukan Kota Makkah). Kemudian beliau
pun singgah bersama kami. Sedang kami bersama

[Date] 77
beliau hampir seribu pengendara. Kemudian beliau
sholat dua rakaat, lalu menghadapkan wajahnya
kepada kami, sedang kedua matanya bercucuran. Lalu
berdirilah Umar bin Al-Khoththob kepada beliau,
seraya menebus beliau dengan ayah dan ibunya. Umar
berkata, “Wahai Rosululloh, kenapakah anda?” Beliau
bersabda, “Aku memohon kepada Robb-ku -Azza wa
Jalla- untuk memohonkan ampunan bagi ibuku.
Namun Dia (Alloh) tak mengizinkan aku. Karenanya,
kedua mataku bercucuran, karena kasihan kepadanya
terhadap neraka; dan aku meminta izin kepada Robb-
ku untuk menziarahinya. Lalu Dia (Alloh)
mengizinkan aku. Sesungguhnya aku dahulu melarang
kalian dari ziarah kubur. Ziarahilah (sekarang)
kuburan. Sungguh ziarah kubur akan memberikan
tambahan kebaikan kepada kalian”. [HR. Ahmad
dalam Al-Musnad (5/355, 357 dan 359), Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushonnaf (4/139), Al-Hakim
dalam Al-Mustadrok (1/376), Ibnu Hibban
dalam Shohih-nya (791) dan lainnya. Hadits ini
dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ahkam
Al-Jana’iz (hal. 188)]
Kematian orang tua Nabi -shollalloohu 'alaihi wa sallam-
di atas kekafiran menyebabkan ayah dan ibu beliau
masuk ke neraka. Mereka telah mati di atas kemusyrikan
dan tidak mengikuti agama Islam yang dibawa oleh para
nabi dan rosul.
Seorang ulama Syafi’iyyah yang masyhur, Al-Imam Abu
Bakr Al-Baihaqiy -rohimahulloh- berkata dalam

[Date] 78
menjelaskan sebab keduanya masuk neraka, usai
membawakan beberapa hadits di atas,

‫وكيف ال يكون أبواه وجده بهذه الصفة في اآلخرة وكانوا يعبدون‬


‫الوثن حتى ماتوا ولم يدينوا دين عيسى بن مريم عليه السالم‬
‫وأمرهم ال يقدح في نسب رسول الله ألن أنكحة الكفار صحيحة‬
‫أال تراهم يسلمون مع زوجاتهم فال يلزمهم تجديد العقد وال‬
‫مفارقتهن إذا كان مثله يجوز في اإلسالم وِبلله التوفيق‬
“Bagaimana tidak kedua orang tua beliau dalam
gambaran seperti ini di akhirat. Dahulu mereka (kaum
Quraisy) menyembah berhala dan tidak mengikuti agama
Isa bin Maryam –'alayhis salam-. Urusan mereka
(demikian halnya) tidaklah menodai nasab Rosululloh.
Karena, pernikahan orang kafir adalah sah. Tidakkah
kalian melihat mereka masuk Islam bersama istri-istri
mereka. Mereka tidaklah diharuskan memperbaharui
akad nikah dan tidak pula menceraikan mereka, jika
semisalnya boleh dalam Islam. Wa billahit
tawfiq”. [Lihat Dala’il An-Nubuwwah(1/192-193)]
Saudaraku sekalian, terlarangnya beliau mendoakan
ampunan bagi ibunya, disebabkan ibu beliau
kafir!! Andaikan tak kafir, maka tak mungkin beliau akan
dilarang memohonkan ampunan bagi sang ibu yang telah
melahirkannya.

[Date] 79
Al-Imam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harroniy Ad-
Dimasyqiy -rohimahulloh- berkata tentang tata cara
ziarah kubur, sebelum membawakan hadits di atas,

‫وإنما كانوا يزورونه إن كان مؤمنا للدعاء له واالس تغفار كما يصلون‬
‫على جنازته وإن كان غير مسلم زاروه رقة عليه كما زار النبىي‬
‫صلى الله عليه وسلم قبر أمه فبكى وأبكى من حوله‬
“Hanyalah mereka (para salaf) dahulu menziarahi kubur
–jika si mayit mukmin-, maka untuk mendoakan
kebaikan dan ampunan baginya, sebagaimana halnya
mereka menyolati jenazahnya. Jika ia bukan muslim,
maka mereka (para salaf) menziarahinya, karena kasihan
kepadanya, sebagaimana halnya Nabi -shollallohu 'alaihi
wa sallam- menziarahi kubur ibunya. Akhirnya, beliau
menangis dan membuat orang-orang yang ada di
sekitarnya jadi menangis”. [Lihat Ar-Rodd ala Al-
Akhna’iy (hal. 179), cet. Al-Mathba’ah As-Salafiyyah,
dengan tahqiq Al-Mu’allimiy]
Jadi, seorang muslim terlarang keras mendoakan
ampunan bagi kaum kafir, walaupun mereka adalah
orang tua dan kerabat kita.
Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman menjelaskan
larangan itu,

‫َما َك َان ِللنَّبِىيِّ َوال َّ ِذ َين َآ َمنُوا أَ ْن ي َْس َت ْغ ِف ُروا ِللْ ُم ْش ِر ِك َين َولَ ْو كَانُوا ُأو ِلي‬
‫) َو َما َك َان‬111( ‫ُق ْربَىى ِم ْن ب َ ْع ِد َما ت َ َبي ََّن لَه ُْم أَنَّه ُْم أَ ْص َح ُاب الْ َج ِحي ِم‬

[Date] 80
‫ْاس ِت ْغ َف ُار ِإ ْب َرا ِهي َم ِ َألبِي ِه ِإالَّ ع َْن َم ْو ِع َد ٍة َوعَ َدهَا إ ََِّي ُه فَلَ َّما ت َ َبي ََّن لَ ُه أَن َّ ُه‬
،111/‫) [التوبة‬114( ‫عَ ُد ٌّو ِلل َّ ِه تَبَ َّرأَ ِمنْ ُه إ َِّن ِإ ْب َرا ِهي َم َأل َّوا ٌه َح ِلي ٌم‬
]114
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman untuk memintakan ampunan (kepada Alloh)
bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas
bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka Jahanam. Dan permintaan
ampun dari Ibrahim (kepada Alloh) untuk bapaknya
tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah
diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas
bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Alloh,
maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi
Penyantun”. (QS. At-Taubah : 113-114)

📖 Keempat,
Dari Ibnu Umar -rodhiyallohu 'anhuma-, ia berkata,

‫جاء أعرابىي إلى النبىي صلى الله عليه و سلم فقال َي رسول الله‬
)‫ فأين هو ؟ قال (في النار‬. ‫إن أبىي كان يصل الرحم وكان وكان‬
‫ فقال َي رسول الله فأين أبوك ؟ فقال‬. ‫قال فكأنه وجد من ذلك‬
‫رسول الله صلى الله عليه و سلم (حيثما مررت بقبر مشرك‬

[Date] 81
‫ وقال لقد كلفني رسول‬. ‫فبشره ِبلنار) قال فأسلم األعرابىي بعد‬
‫ ما مررت بقبر كافر إال بشرته‬. ‫الله صلى الله عليه و سلم تعبا‬
‫ِبلنار‬
“Seorang badui pernah datang kepada Nabi -
shollallohu 'alaihi wa sallam- seraya berkata,
“Sesungguhnya bapakku dahulu menyambung
kekerabatan, begini dan begini. Nah, dimanakah ia?
Beliau bersabda, “Di neraka”. Ia (Ibnu Umar) berkata,
“Seakan-akan orang badui itu bersedih karena hal itu.
Kemudian orang itu bertanya lagi, “Wahai Rosululloh,
dimanakah bapakmu?” Rosululloh -Shollallohu 'alaihi
wa sallam- bersabda, “Dimana pun engkau melewati
kubur seorang musyrik, maka kabarilah ia dengan
neraka”. Ia (Ibnu Umar berkata, “Lalu orang badui itu
masuk Islam setelah itu seraya berkata, “Rosululloh -
shollallohu 'alaihi wa sallam- sungguh telah
membebaniku dengan kepayahan; tidaklah aku
melewati sebuah kubur orang kafir, kecuali aku kabari
dengan neraka”. [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya
(no. 1573). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-
Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 18)]
Ini merupakan dalil yang amat gamblang menerangkan
bahwa kaum kafir yang meninggal di atas kekafiran dan
kesyirikannya, maka ia akan disiksa dalam neraka,
walaupun ia tergolong kaum yang vakum dari kenabian,
sepanjang hujjah telah tegak diantara mereka!!

[Date] 82
Al-Hafizh Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rohimahulloh-
berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa barangsiapa
yang mati musyrik, maka ia di neraka, walaupun ia mati
sebelum diutusnya Nabi -shollallohu 'alaihi wa sallam-.
Karena, kaum musyrikin sungguh telah mengubah Al-
Hanifiyyah (Islam), agama Ibrahim, mereka
menggantinya dengan kesyirikan dan melakukannya,
sedang mereka tak ada hujjah yang mengiringinya dari
Alloh tentang hal itu.
Keburukan syirik dan ancaman atasnya dengan neraka,
senantiasa diketahui dari agama para rosul seluruhnya
dari orang yang paling diantara mereka sampai yang
terakhir. Berita-berita hukuman Alloh bagi pelakunya
telah tersebar di antara umat-umat dari suatu generasi ke
generasi lain. Alloh memiliki hujjah yang dalam atas
kaum musyrikin dalam setiap waktu”. [Lihat Zaadul
Ma’ad (3/599)]
Dari penjelasan Ibnul Qoyyim, nyatalah bagi anda
kebatilan sebagian orang yang menyangka bahwa ahlul
fatroh yang vakum dari kenabian adalah kaum yang tak
akan disiksa, walaupun masih ada ajaran para nabi!!
Kondisi Quraisy bukanlah seperti yang digambarkan oleh
sebagian orang bahwa mereka betul-betul kosong dari
hujjah dan risalah Islam yang pernah diajarkan oleh nabi
sebelumnya. Andaikan tak ada hujjah yang tersisa, maka
manusia tak akan mengenal “Kaum Hanifiyyah” atau

[Date] 83
“Hunafa'” yang masih mempertahankan ajaran Islam dari
nabi mereka!!!
Syaikh Al-Albaniy -rohimahulloh- berkata,
“Sesungguhnya orang-orang jahiliyah yang mati sebelum
diutusnya beliau –'alayhish sholatu was salam- akan
disiksa dengan sebab kesyirikan dan kekafiran mereka.
Hal itu menunjukkan bahwa mereka bukanlah termasuk
ahlul fatroh yang belum pernah dicapai oleh dakwah
seorang nabi, berbeda dengan sesuatu yang disangka oleh
sebagian orang belakangan”. [Lihat As-Silsilah Ash-
Shohihah (1/297)]

📖 Kelima,
Dari Abu Rozin Al-Uqoiliy -rodhiyallohu 'anhu-, ia
berkata,

‫ قلت فأين‬:‫ قال‬،‫ أمك في النار‬:‫ قال‬،‫ رسول الله أين أمي‬:‫قلت‬
‫ أما ترضى أن تكون أمك مع أمي‬:‫ قال‬،‫من مضى من أهلك‬
“Aku katakan, “Wahai Rosululloh, dimanakah
ibuku?” Beliau bersabda, “Ibumu di neraka”. Ia (Abu
Rozin) berkata, “Aku katakan, “Lalu dimanakah
keluargamu yang telah lalu?” Beliau bersabda,
“Tidakkah engkau ridho jika ibumu bersama
ibuku”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/11), Ath-
Thoyalisiy dalam Al-Musnad (1090), Ath-Thobroniy
dalam Al-Kabir (417), Ibnu Abi Ashim dalam As-

[Date] 84
Sunnah (638). Syaikh Al-Albaniy menyatakannya
shohih dalam Zhilal Al-Jannah (hal. 344)]

‫ وهما من‬- ‫عن ابن مسعود رضي الله عنه قال "جاء ابنا مليكة‬
‫ ََي َرسو َل الله َإن أ َمنَا كَان َت تحفظ عَلَى ال َبعل‬:‫ فقاال‬- ‫األنصار‬
‫ أمك َما‬:‫ َوقَد وئدت في ال َجاهل َية فَ َأ َين أمنَا؟ فَقَا َل‬،‫َوتكرم الضَ يف‬
‫ فَ َدعَاه َما َرسول الله َصلَى‬،‫ فَقَا َما َوقَد َشق َذ َلك عَلَيه َما‬.‫في النَار‬
‫ أَال أَ َن أمي َم َع أمك َما‬:‫ فَقَا َل‬،‫الله عَلَيه َو َسلَ َم فَ َر َج َعا‬
Dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu ia berkata :
Datang dua orang anak laki-laki Mulaikah – mereka
berdua dari kalangan Anshar – lalu berkata : “Wahai
Rosululloh, sesungguhnya ibu kami semasa hidupnya
memelihara onta dan memuliakan tamu. Dia dibunuh
di jaman Jahiliyyah. Dimana ibu kami sekarang berada
?”. Maka beliau shollallohu ‘alayhi wa sallam
menjawab : “Di neraka”. Lalu mereka berdiri dan
merasa berat mendengar perkataan beliau. Lalu
Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam memanggil
keduanya lalu berkata : “Bukankah ibuku bersama ibu
kalian berdua (di neraka) ?” [Lihat Tafsir Ad-Durrul-
Mantsur juz 4 halaman 298 – Diriwayatkan oleh
Ahmad no. 3787, Thabarani dalam Al-Kabiir 10/98-
99 no. 10017, Al-Bazzar 4/175 no. 3478, dan yang
lainnya; shohih].
Inilah sejumlah dalil yang menguatkan pendapat para
ulama yang menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi -

[Date] 85
shollallohu 'alaihi wa sallam- adalah kafir dan akan
masuk neraka.
Dengan sejumlah dalil ini, maka runtuhlah pendapat
yang menyatakan bahwa kedua orang tua beliau adalah
muslim dan akan masuk surga!!

5⃣ Meskipun telah jelas dalil-dalil di atas dan


penjelasan para ulama, masih ada saja sekelompok
orang yang berusaha menentangnya dengan berbagai
alasan yang jauh dari kebenaran, diantara alasan-
alasan tersebut;
Pertama, Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa
sallam adalah manusia pilihan Alloh yang diangkat
menjadi kholil (kekasih) dan utusan Alloh. Orang yang
demikian, tentunya berasal dari keluarga yang terbaik
pula, sehingga tidak mungkin Nabi Muhammad
dilahirkan dari orang tua yang kafir dan dibesarkan di
keluarga yang kafir pula.
Berangkat dari pemahaman ini, mereka pun
menyebutkan beberapa ayat dan hadits yang dijadikan
sebagai dalil untuk melegalkan pendapatnya, di
antaranya:

📖 Alloh berfirman:

﴾‫﴿ ِإن َّ َما ال ُم ْش ِر ُك ْو َن ن َ َج ٌس‬


“Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis.”
(QS. At-Taubah: 28)

[Date] 86
Jika anda mengatakan ibu Rosululloh Shollalloohu
‘alayhi Wa Sallam adalah seorang kafir, sama saja
anda mengatakan bahwa Rosululloh Shollalloohu
‘alayhi Wa Sallam terlahir dari rahim yang najis!
Berikut dalil-dalil yang menunjukkan bahwa
Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam dilahirkan
dari rahim yang suci:
Ibnu Abbas radhiAllohu’anhuma berkata :

‫أَ َّن ُق َري ًْشا كَان َْت ن ُ ًورا بَيْ َن ي َ َد ِي الل َّ ِه ع ََّز َو َج َّل قَ ْب َل أَ ْن ي َ ْخلُ َق آ َد َم‬
‫ فَلَ َّما َخلَ َق‬،‫ب َِألْفَ ْي عَا ٍم ي َُسبِّ ُح َذلِ َك النُّ ُور َوت ُ َسبِّ ُح الْ َم َالئِكَ ُة ِبت َ ْسبِي ِح ِه‬
ُ ‫ فَقَا َل َر ُس‬،‫الل َّ ُه ع ََّز َو َج َّل آ َد َم أَلْقَى َذلِ َك النُّ َور ِفي ُصلْ ِب ِه‬
‫ول الل َّ ِه‬
‫ فَ َأ ْه َب َطنِي الل َّ ُه ع ََّز َو َج َّل ِإلَى ْ َاأل ْر ِض ِفي‬:‫َصلَّى الل ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم‬
‫ َوقَ ْذ َف بِىي ِفي‬،‫ َو َج َعلَنِي ِفي ُصلْ ِب نُوح ٍ ِفي َس ِفينَ ِت ِه‬،‫ُصلْ ِب آ َد َم‬
‫ ث ُ َّم ل َ ْم يَ َز ْل ي َ ْن ُقلُ ِني ِفي‬،‫الس َال ُم‬َّ ‫النَّ ِار ِفي ُصلْ ِب ِإ ْب َرا ِهي َم عَلَ ْي ِه‬
‫ َحتَّى أَخ َْر َج ِني ِم ْن بَيْ َن‬،‫الطا ِه َر ِة‬ َّ ‫ْ َاأل ْص َال ِب ْالكَ ِري َم ِة ِإلَى ْ َاأل ْر َحا ِم‬
ُّ‫ ل َ ْم يَلْتَ ِق ِلي أَب َ َو ِان قَطُّ عَلَى ِسفَاح ٍ قَط‬،‫أَب َ َو َّي‬
“Dahulu kala, 2000 tahun sebelum penciptaan Adam,
suku Quraisy merupakan sebuah cahaya di hadapan
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Cahaya itu senantiasa
bertasbih, dan para malaikat bertasbih mengikutinya.

[Date] 87
Tatkala Alloh Subhanahu Wa Ta’ala ciptakan Adam,
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala pun masukkan cahaya itu
kepada tulang sulbi Adam.
Kemudian Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam
bersabda: ‘Lalu Alloh Subhanahu Wa Ta’ala turunkan
aku ke bumi pada tulang sulbi Adam. Kemudian Alloh
Subhanahu Wa Ta’ala jadikan aku di tulang sulbi Nuh
ketika ia berada di bahteranya. Kemudian Alloh
Subhanahu Wa Ta’ala jadikan aku di tulang sulbi
Ibrahim ketika ia berada di dalam api. Demikianlah,
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala terus memindahkan aku
dari sulbi dan rahim yang mulia nan suci kepada sulbi
dan rahim mulia nan suci lainnya, hingga kemudian
Alloh mentakdirkan aku terlahir dari kedua orang
tuaku. Dan tidak seorang pun nenek moyangku yang
bertemu dengan hubungan zina.’” ([H.R. Al Ajurri,
Assyari’ah, No.960])

📖 Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:

َّ ‫﴿وتَقَل ُّ َب َك ِفي‬
﴾‫الس ِاج ِد َين‬ َ
“Dan (Dialah Yang Melihat) pergerakan badanmu
bersama orang-orang yang sujud.” ([Q.S.
Assyu’aro:219)

Yang dimaksud adalah perpindahanmu antara tulang


sulbi para nabi, hingga akhirnya engkau, wahai
Muhammad, dilahirkan oleh ibumu. Ini berarti orang

[Date] 88
tua Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam tidak
kafir, karena mereka termasuk orang-orang yang
sujud.
📖 Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam
bersabda:

‫«إ َِّن الل َّ َه ْاص َط َفى ِكنَان َ َة ِم ْن َول َ ِد إ ِْس َما ِعي َل َو ْاص َط َفى ُق َري ًْشا ِم ْن‬
»‫ِكنَان َ َة َو ْاص َطفَى ِم ْن ُق َري ٍْش ب َ ِنى ه َِاش ٍم َو ْاص َطفَا ِنى ِم ْن ب َ ِنى ه َِاش ٍم‬
“Sesungguhnya Alloh azza wa jalla memilih Kinanah
dari anak keturunan Isma’il, dan memilih Quraisy dari
anak keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim
dari keturunan Quraisy, dan Alloh azza wa jalla
memilihku dari Bani Hasyim.” ([H.R. Muslim,
No.2276])
Ini menunjukan bahwa semua orang tua Nabi dan
kakek Nabi adalah orang-orang pilihan Alloh, lantas
bagaimana mungkin pilihan Alloh namun kafir?

📝 Tanggapan: Tidak diragukan lagi bahwa para Nabi


dan Rosul merupakan orang pilihan Alloh dan manusia
yang terbaik di masanya. Begitu pula keluarga beliau
merupakan keluarga yang terpandang dan disegani di
kalangan bangsa Arab. Namun kelebihan mereka ini
adalah dalam hal sosial kemasyarakatan, bukan dalam
hal keimanan dan ibadah kepada Alloh. Buktinya ada
sebagian dari anggota keluarga Nabi
Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam yang

[Date] 89
menyembah berhala dan melakukan berbagai kesyirikan,
seperti kakek beliau (Abdul Muththolib),24 sebagian

24
Ada sebagian ‘ulama yang menyatakan bahwa kakek beliau itu
adalah ahli tauhid dengan alasan bahwa ketika Abrahah hendak
menghancurkan Ka’bah, beliau berlepas diri dari salib dan para
penyembahnya.”

Maka kita katakan:

1. Hal ini menyelisihi dalil yang sahih nan gamblang bahwa


agama kakek Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam adalah
agama yang dianut Abu Thalib dan Abu Jahl, yakni
Paganisme atau penyembahan terhadap berhala.

2. Bangsa Arab ketika itu memang tidak menyembah salib,


sehingga wajar saja jika ia berlepas diri dari salib. Sehingga
hal itu tidak bisa dijadikan landasan untuk mengatakan
bahwa Abdul Muththalib adalah seorang yang bertauhid.

3. Berlepas diri dari sesembahan yang dipersekutukan dengan


Alloh Subhanahu Wa Ta’ala pada keadaan genting tidak
menunjukkan seseorang itu bertauhid. Bukankah pada
beberapa ayat dalam Al-Qur’an, Alloh telah menjelaskan
bahwa musyrikin Quraisy pun berdoa tulus kepada Alloh
pada situasi genting nan membahayakan?! Namun ketika
mereka sudah diselamatkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala
dari kondisi tersebut, mereka kembali melakukan kesyirikan.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


ْ َ ُ َ َ َ َ ِّ ُ َ َ ْ َ َّ َ َ ُْْ َ َ
‫ين فل َّما ن َّجاه ْم ِإلى ال َب ِّر‬ ‫﴿ف ِإذا َ ِرك ُبوا ِفي الفل ِك دع ُوا الله ُمخ ِل ِصين له الد‬
َ ُ ْ ُ َ
﴾‫ِإذا ه ْم ُيش ِركون‬
{Dan ketika mereka menaiki bahtera di lautan, mereka berdoa
tulus-ikhlas kepada Alloh. Namun ketika Alloh telah selamatkan

[Date] 90
paman beliau (Abu Tholib dan Abu Lahab), dan kedua
orang tua beliau.
Bukti yang menunjukkan bahwa Abdul Muththolib dan
Abu Tholib mati dalam kemusyrikan adalah sebuah
hadits dari Al Musayyab bin Hazn rodhiyallohu 'anhu,
dia berkata:

‫ول الل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه‬ ُ ‫أَن َّ ُه لَ َّما َحضَ َر ْت أَ َِب َطا ِل ٍب الْ َوفَا ُة َجا َء ُه َر ُس‬
‫َو َسل َّ َم فَ َو َج َد ِع ْن َد ُه أَ َِب َجه ِْل ْب َن ِه َشا ٍم َو َع ْب َد الل َّ ِه ْب َن أَبِىي ُأ َميَّ َة ْب ِن‬
‫ول الل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم ِ َألبِىي َطا ِل ٍب ََي َع ِّم ُق ْل‬ ُ ‫الْ ُم ِغ َير ِة قَا َل َر ُس‬
‫َال ِإلَ َه إ َِّال الل َّ ُه َك ِل َم ًة أَ ْشه َُد ل َ َك ِبهَا ِع ْن َد الل َّ ِه فَقَا َل أَبُو َجه ٍْل َو َع ْب ُد الل َّ ِه‬
‫ْب ُن أَبِىي ُأ َميَّ َة ََي أَ َِب َطا ِل ٍب أَتَ ْرغَ ُب ع َْن ِمل َّ ِة َع ْب ِد الْ ُم َّط ِل ِب فَلَ ْم يَ َز ْل‬
‫َر ُسو ُل الل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم ي َ ْع ِر ُضهَا عَلَ ْي ِه َوي َ ُعود َِان ِب ِتلْ َك الْ َمقَالَ ِة‬
‫َحتَّى قَا َل أَبُو َطا ِل ٍب آ ِخ َر َما َكل َّ َمه ُْم ه َُو عَلَى ِمل َّ ِة َع ْب ِد الْ ُم َّط ِل ِب‬
‫ول الل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم‬ُ ‫َوأَبَىى أَ ْن ي َ ُقو َل َال ِإلَ َه إ َِّال الل َّ ُه فَقَا َل َر ُس‬
‫أَ َما َوالل َّ ِه َ َأل ْستَ ْغ ِف َر َّن ل َ َك َما لَ ْم ُأن ْ َه َع ْن َك‬
“Ketika Abu Tholib hampir meninggal, datanglah
Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam menjenguknya.
Beliau mendapati di sana telah hadir Abu Jahl bin
Hisyam dan 'Abdullah bin Abi Umayyah ibnul Mughirah.

mereka, ternyata mereka pun kembali mensekutukan Alloh dengan


sesembahan selainNya.} (Q.S. Al-‘Ankabut:65)

[Date] 91
Lalu Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam berkata
kepada Abu Tholib: “Wahai pamanku, ucapkanlah “Laa
ilaaha illalloh” agar aku dapat bersaksi dengan kalimat
tersebut di hadapan Alloh atas (keimanan) dirimu.” Abu
Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: “Wahai
Abu Tholib, apakah engkau memusuhi agamanya Abdul
Muththolib?” Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa
sallam berulangkali mengulangi perkataan beliau, dan
begitu pula mereka berdua terus mengulangi perkataan
mereka. Akhirnya perkataan terakhir yang diucapkan
Abu Tholib adalah dia tetap mengikuti agamanya Abdul
Muththolib dan enggan untuk mengucapkan “Laa ilaaha
illalloh”. Lalu Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa
sallam berkata: “Demi Alloh, aku benar-benar akan
memintakan ampun (kepada Alloh) untukmu sebelum aku
dilarang untuk melakukannya.”
Setelah itu, turunlah ayat yang melarang beliau untuk
memintakan ampun bagi pamannya. Ayat tersebut
adalah:

‫َما َك َان ِللنَّبِىيِّ َوال َّ ِذ َين آ َمنُوا أَ ْن ي َْستَ ْغ ِف ُروا ِللْ ُم ْش ِر ِك َين َولَ ْو كَانُوا ُأو ِلي‬
‫ُق ْربَىى ِم ْن ب َ ْع ِد َما ت َ َبي ََّن لَه ُْم أَنَّهُ ْم أَ ْص َح ُاب الْ َج ِحي ِم‬
“Tidaklah boleh bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Alloh) bagi orang-
orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka
bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni
neraka Jahanam.” [QS At Taubah: 113]

[Date] 92
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Al Bukhori (1360)
dan Muslim (24) di dalam kedua kitab Shohih mereka.
Di dalam hadits yang lain dari 'Abbas bin Abdil
Muththolib rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata:

‫ََي َر ُسو َل الل َّ ِه ه َْل ن َ َف ْع َت أَ َِب َطا ِل ٍب ب َِش ْي ٍء فَ ِإن َّ ُه َك َان ي َ ُح ُوط َك‬
‫َويَغْضَ ُب ل َ َك قَا َل ن َ َع ْم ه َُو ِفي ضَ ْحضَ اح ٍ ِم ْن ََن ٍر لَ ْو َال أَ ََن لَ َك َان ِفي‬
‫ال َّد َر ِك ْ َاأل ْس َف ِل ِم ْن النَّ ِار‬
“Wahai Rosululloh, apakah ada suatu manfaat yang
anda berikan kepada Abu Tholib, karena sesungguhnya
dia dahulu telah melindungi anda dan membela anda?”
Nabi menjawab: “Ya, ada. Dia berada di tempat yang
dangkal di dalam neraka. Kalau bukan karena (syafaat)
saya, pastilah dia berada di bagian yang paling bawah
dari neraka.” [HR Al Bukhori (6208) dan Muslim (209)]
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa Abu Lahab
adalah seorang kafir adalah firman Alloh di dalam surat
Al Lahab.
Kemudian dalil-dalil yang disebutkan di atas, berikut
tanggapannya:
Dalil pertama: Alloh berfirman:

﴾‫﴿ ِإن َّ َما ال ُم ْش ِر ُك ْو َن ن َ َج ٌس‬


“Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis.”
(QS. At-Taubah: 28)

[Date] 93
Ayat di atas yang dimaksudkan dengan najisnya orang-
orang musyrik terletak pada agama dan kepercayaannya,
bukan tubuh dan diri orang-orang musyrik tersebut, dan
ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana
disebutkan dalam kitab-kitab tafsir diantaranya tafsir
ibnu katsir.
Adapun hadits Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhumaa di
atas adalah hadits maudhu’ (hadits yang palsu),
sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Al Jauzi
(lihat: Al-Maudhuáat 1/281).
Demikianpun, yang dimaksud dengan “rahim yang suci”
dalam hadits Ibnu ‘Abbas tadi adalah rahim dari
pernikahan, bukan dari perzinahan. Terlebih di akhir
hadits tersebut Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa
Sallam telah menerangkan maksud tersebut dengan
bersabda: “Dan tidak seorang pun nenek moyangku yang
bertemu dengan hubungan zina”. Dan penafsiran ini juga
dikuatkan oleh lafaz-lafaz hadits lainnya, di antaranya :
Hadits Ibnu ‘Abbas radhiAllohu’anhuma:

‫ َما َولَ َد ِني إ َِّال ِن َك ٌاح‬.‫َما َولَ َد ِني ِم ْن ِس َفاح ِ أَه ِْل الْ َجا ِه ِل َّي ِة َش ْي ٌء‬
.‫ِك ِن َكاح ِ ْاإل ِْس َال ِم‬
“Tidaklah seorang pun dari nenek moyangku yang
terlahir dari hubungan zina ala Jahiliyyah. Semua nenek
moyangku terlahir dari pernikahan sah, layaknya
pernikahan dalam Islam.” ([H.R. Atthobaroni, Al
Mu’jam Al Kabir, No.10812, Al Baihaqi, No.14192.

[Date] 94
Didho’ifkan oleh Azzaila’I dalam Nashburroyah 3/213,
dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolani dalam kitab Talkhish Al
Habir 3/361, dan Ibnu ‘Abdil Hadi dalam kitab Tanqih
Attahqiq 4/360. Dan dihasankan oleh syaikh Al Albani
dalam kitab Irwa’ Al Gholil No.1914])
Hadits ‘Ali radhiAllohu’anhu:

‫ ِم ْن لَ ُد ْن آ َد َم ِإلَى أَ ْن‬،ٍ‫ َولَ ْم أَخ ُْر ْج ِم ْن ِس َفاح‬،ٍ‫خ ََر ْج ُت ِم ْن ِن َكاح‬


‫َولَ َد ِني أَبِىي َو ُأ ِّمي‬
“Aku terlahir melalui jalur nikah, bukan dari hasil zina,
dari masa Adam ‘alayhissalam, hingga aku terlahir dari
hubungan (nikah) ayah dan ibuku.” ([H.R. Atthobaroni,
Al Mu’jam Al Ausath, No.4728, Ibnu Abi Syaibah,
No.31641])
Jika yang dimaksud dengan rahim yang suci adalah
Islam, maka yang demikian menyelisihi Al-Qur’an yang
menyatakan bahwa Azar ayah Ibrahim adalah seorang
kafir, karena Nabi Muhammad Shollalloohu ‘alayhi Wa
Sallam adalah keturuanan Nabi Ibrahim álayhissalam
[Lihat penjelasan Ar-Razi dalam tafsirnya (13/33)], dan
juga menyelisihi dalil yang sahih nan gamblang bahwa
Abdul Muththalib kakek Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi
Wa Sallam adalah penyembah berhala, sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya pada kisah wafatnya
Abu Thalib paman beliau Shollalloohu ‘alayhi Wa
Sallam.

[Date] 95
Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam berkata
kepada Abu Tholib :

‫ََي َع ِّم! ُق ْل َال ِإلَ َه ِإالَّ الل َّ ُه َك ِل َم ًة أَ ْشه َُد ل َ َك ِبهَا ِع ْن َد الل ِه‬
“Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illAlloh, sebuah
kalimat yang dengannya aku akan menjadi saksi
pembelamu di hadapan Alloh kelak.”
Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah yang berada di
sampingnya pun menimpali:

!‫أَتَ ْرغَ ُب ع َْن ِمل َّ ِة َع ْب ِد الْ ُم َّط ِل ِب؟‬


“Wahai Abu Thalib! Apakah engkau sudi membenci dan
berpaling dari agama Abdul Muththalib?!”
Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam pun terus
mengulangi seruannya tersebut, namun mereka berdua
pun tak mau kalah mengulangi seruan mereka. Hingga
akhirnya Abu Thalib mengikrarkan kata terakhirnya,
bahwa ia tetap menganut agama Abdul Muththalib, dan
enggan untuk bersyahadat laa ilaaha illallaah.
Maka Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam
bersabda:

‫أَ َما َوالل َّ ِه َأل ْستَ ْغ ِف َر َّن ل َ َك َما لَ ْم ُأن ْ َه َع ْن َك‬


“Demi Alloh! Aku akan terus memintakan ampunan
untukmu selagi aku belum dilarang oleh Alloh
Subhanahu Wa Ta’ala.”

[Date] 96
Terkait peristiwa tersebut, Alloh Subhanahu Wa Ta’ala
pun menurunkan ayat: {tidaklah boleh bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun
untuk orang-orang musyrik}. ([H.R. Bukhori 1360,
Muslim 141, dan selainnya.])
Hadits ini sangat jelas menyebutkan bahwa Abu Thalib
wafat di atas agama ayahnya, yaitu Abdul Muththalib,
yang merupakan kakek Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi
Wa Sallam. Jikalau kakek beliau Shollalloohu ‘alayhi
Wa Sallam seorang muslim, tidak mungkin Abu Thalib
termasuk golongan musyrikin.
Perhatikan juga bahwa Abu Jahal dan Abdullah bin
Umayyah berusaha keras agar Abu Thalib tidak
meninggalkan agama Abdul Muththalib. Ini jelas sekali
menunjukkan bahwa agama Abu Jahal dan Abdul
Muththalib adalah sama, yakni kesyirikan kepada Alloh
Subhanahu Wa Ta’ala dengan penyembahan kepada
berhala.
Dalil kedua: Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:

َّ ‫﴿وتَقَل ُّ َب َك ِفي‬
﴾‫الس ِاج ِد َين‬ َ
“Dan (Dialah Yang Melihat) pergerakan badanmu
bersama orang-orang yang sujud.” ([Q.S. Assyu’aro:219)
Tentang ayat ini, maka penafsiran yang benar untuk ayat
ini adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Jarir
Ath-Thabari:

[Date] 97
،‫ال َّ ِذ ْي يَ َراكَ ِحيْ َن ت َ ُق ْو ُم ِإلَى َص َال ِت َك‬ ،‫َوت ََوكَّ ْل عَلَى ال َع ِزْي ِز َّالر ِح ْي ِم‬
‫ب َِك ِف ْيهَا بَيْ َن ِق َيا ٍم َو ُر ُك ْوع ٍ َو ُس ُج ْو ٍد‬ ‫َويَ َرى تَقَل ُّ َب َك ِف ْي ال ُم ْؤت َ ِّميْ َن‬
.‫َو ُجلُ ْو ٍس‬
“BertawakkAlloh kamu kepada Alloh Subhanahu Wa
Ta’ala Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana, Yang
Melihatmu tatkala engkau beranjak shalat, dan juga
melihat pergerakanmu bersama orang-orang yang
menjadi makmum-mu dalam shalat, mulai dari berdiri,
ruku’, sujud, dan duduk.” ([Tafsir Atthobari, 19/413])
Dalil ketiga: Sabda Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam,

‫إ َِّن الل َّ َه ْاص َط َفى ِكنَان َ َة ِم ْن َول َ ِد إ ِْس َما ِعي َل َو ْاص َط َفى ُق َري ًْشا ِم ْن ِكنَان َ َة‬
»‫َو ْاص َط َفى ِم ْن ُق َري ٍْش ب َ ِنى ه َِاش ٍم َو ْاص َط َفا ِنى ِم ْن ب َ ِنى ه َِاش ٍم‬
“Sesungguhnya Alloh azza wa jalla memilih Kinanah
dari anak keturunan Isma’il, dan memilih Quraisy dari
anak keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari
keturunan Quraisy, dan Alloh azza wa jalla memilihku
dari Bani Hasyim.” ([H.R. Muslim, No.2276])
Ini menunjukan bahwa semua orang tua Nabi dan kakek
Nabi adalah orang-orang pilihan Alloh, lantas
bagaimana mungkin pilihan Alloh namun kafir?
Apa maksud “pilihan” dalam hadits di atas? Maksud
“pilihan” pada hadits ini adalah bukan dari sisi agama.
Imam Al-Munawi rohimahulloh berkata:

[Date] 98
،‫االص ِط َفا ِء َوال َخيْ ِري َّ ِة ِف ْي َه ِذ ِه الْقَ َبائِ ِل لَيْ َس ِِب ْعتِ َبار الد ََِّين َ ِة‬
ْ ‫َو َم ْعنَى‬
‫ب َ ْل ِِب ْع ِت َب ِار الْ ِخ َصالِ ال َح ِم ْي َد ِة‬
“Al-ishthifaa’ wal khairiyyah (pemilihan yang terbaik)
dari suku-suku ini bukanlah dari sisi agama, akan tetapi
dari sisi perangai-perangai yang mulia.” (Faidh al-Qadiir
2/210)
Seandainya yang dimaksud dengan “pemilihan yang
terbaik” dalam hadits ini adalah ditinjau dari sisi agama,
dan bahwa yang dipilih Alloh pasti seorang muslim,
apalagi pasti masuk surga, maka konsekuensinya adalah
bahwa semua orang Quraisy adalah muslim dan pasti
masuk surga. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa para
pionir kekafiran yang telah divonis dengan Neraka,
seperti Abu Jahal, Al-Walid bin Al-Mughiroh, Umayyah
bin Kholaf, Abu Lahab, dan seterusnya, adalah bagian
dari Quraisy, bahkan termasuk kasta tertinggi dari suku
Quraisy.
Kedua, Mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi
Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam sebagai
orang kafir penghuni neraka merupakan bentuk
kelancangan dan penghinaan yang luar biasa terhadap
Nabi dan kedua orang tua beliau yang sangat beliau
cintai.
Dengan menukil pernyataan Qodhi Abu Bakar Ibn al-
Arabi ketika ditanya soal topik serupa. Tokoh
bermadzhab Maliki ini pun menjawab, bila soal itu

[Date] 99
direspons dengan jawaban bahwa keduanya masuk
neraka maka terlaknatlah orang yang menjawab
demikian. Menganggap keduanya ahli neraka adalah
bentuk melukai perasaan Rosul. “Tak ada penganiayan
lebih besar ketimbang menyebut kedua orang tua
Muhammad SAW penghuni neraka,” kata Ibn al-
Arabi”.

📝 Tanggapan: Jika ucapan ini betul dari Ibnul 'Arabiy


Al-Malikiy -rohimahulloh-, maka ucapan ini kita tolak
karena menyelisihi hadits Rosululloh -shollallohu 'alaihi
wa sallam-. Dalam pembahasan seperti ini, seseorang tak
boleh berpegang dengan ro’yu (pendapat semata) dan
perasaannya. Intinya, ada tidak dalilnya. Jika ada
dalilnya, maka kita ambil pendapat yang didukung oleh
dalil.
Jika setiap orang menguatkan pendapat dengan perasaan,
maka hancurlah agama ini!!
Di dalam Islam juga, kita dilarang untuk mengatakan
seseorang adalah penghuni surga atau neraka dengan akal
dan perasaan. Untuk memastikan seseorang itu adalah
penghuni surga atau neraka, maka kita harus memiliki
bukti dan dalil yang shohih yang menerangkan demikian.
Dalam hal ini, yang mengatakan bahwa kedua orang tua
Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam adalah
penghuni neraka bukanlah kita. Akan tetapi, yang
menerangkan demikian adalah Nabi Muhammad sendiri
di dalam hadits yang shohih sebagaimana yang telah kita
sebutkan di atas. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk

[Date] 100
menerima perkataan beliau karena beliau tidak berbicara
dengan menggunakan hawa nafsu. Apa yang beliau
sampaikan merupakan wahyu dari Alloh. Alloh
berfirman:

‫) إ ِْن ه َُو إ َِّال‬1( ‫) َو َما ي َ ْن ِط ُق ع َِن الْه ََوى‬2( ‫َما ضَ َّل َصا ِح ُب ُك ْم َو َما غَ َوى‬
‫َو ْح ٌي يُو َحى‬
“Sahabat kalian itu (Muhammad) tidaklah sesat dan
tidak pula keliru. Dia tidak berbicara menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain merupakan
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS An Najm 2-
4]
Justru sebaliknya, jika kita menolak pernyataan
Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam dalam hal ini,
berarti sebenarnya kitalah yang telah melecehkan beliau
karena tidak mau mengikuti kebenaran dan kenyataan
yang beliau sampaikan kepada kita.
Beradab terhadap Rosululloh yang sebenarnya adalah
mengikuti perintahnya dan membenarkan haditsnya,
sedang kurang adab terhadap Rosululloh adalah apabila
menyelisihi petunjuknya dan menentang haditsnya. Alloh
berfirman:

‫يَـ ٰٓ َأيُّهَا ٱل َّ ِذ َين َءا َمنُو ۟ا َال تُقَ ِّد ُمو ۟ا بَيْ َن يَدَ ىِ ٱلل َّ ِه َو َر ُسو ِل ِۦه ۖ َوٱت َّ ُقو ۟ا ٱلل َّ َه ۚ إ َِّن ٱلل َّ َه‬
﴾١﴿ ‫َس ِمي ٌع عَ ِلي ٌٌۭم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Alloh dan Rosul-Nya dan bertakwalah

[Date] 101
kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Hujurât: 1)
Alangkah bagusnya perkataan Syaikh Abdurrohman al-
Yamani tatkala mengomentari hadits ini, “Seringkali
kecintaan seseorang tak dapat dikendalikan sehingga dia
menerjang hujjah serta memeranginya. Padahal orang
yang diberi taufik mengetahui bahwa hal 0itu berlawanan
dengan mahabbah (cinta) yang disyari’atkan. Wallo0hul
Musta’an.”
Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini berkata, “Termasuk
kegilaan, bila orang yang berpegang teguh dengan
hadits-hadits shohih disifati dengan kurang adab. Demi
Alloh, seandainya hadits tentang islamnya kedua
orangtua Nabi shohih, maka kami adalah orang yang
paling berbahagia dengannya. Bagaimana tidak,
sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat
dengan Nabi yang lebih saya cintai daripada diriku ini.
Alloh menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan. Tetapi
kita tidaklah membangun suatu ucapan yang tidak ada
dalilnya yang shohih. Sayangnya, banyak manusia yang
melangkahi dalil shohih dan menerjang hujjah. WAllohul
Musta’an.” [Lihat Majalah at-Tauhîd, Mesir, edisi
3/Rabi’ul Awal 1421 hlm. 37]
Apakah Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam tidak
bersedih akan fakta bahwa pamannya wafat dalam
keadaan kafir, serta turunnya ayat akan hal itu?!
Akan tetapi beliau tunduk dan patuh dengan takdir dan
syariat Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, beliau Shollalloohu

[Date] 102
‘alayhi Wa Sallam pun menyampaikan kabar itu kepada
para sahabatnya, dan melarang mereka dari memintakan
ampunan untuk orang yang wafat dalam keadaan kafir,
bagaimana pun kedudukannya.
Apakah Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam tidak
bersedih dengan turunnya ayat tentang larangan
memintakan ampun untuk ibunya?
Akan tetapi Rosululloh Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam
tetap menyampaikannya kepada para sahabat
radhiAllohu ‘anhum ajma’in.
Dan terakhir, tidak ada niatan menyakiti Rosululloh
Shollalloohu ‘alayhi Wa Sallam dengan pembahasan ini.
Melainkan hanya bertujuan untuk menjelaskan kebenaran
yang telah rancu dan disalahpahami oleh sebagian
kalangan.
Ketiga, Kedua orang tua Nabi Muhammad shollallohu
‘alayhi wa sallam adalah orang yang paling beliau
cintai di dalam hidupnya. Maka bagaimana mungkin
kedua orang yang paling dicintainya masuk ke dalam
neraka? Ini sungguh mustahil!

📝 Tanggapan: Sudah merupakan fitrah bahwa seorang


anak itu sangat mencintai kedua orang tuanya. Seorang
anak itu tentunya menginginkan kebaikan kepada kedua
orang tuanya. Terutama sekali adalah kebaikan yang
berupa keimanan. Namun hidayah kepada Islam itu
semata-mata merupakan pemberian dari Alloh.

[Date] 103
Keimanan itu tidak bisa diwariskan atau dibagi-bagi.
Alloh ta'ala berfirman:

‫َوالل َّ ُه يَهْ ِدي َم ْن ي ََشا ُء ِإلَى ِص َر ٍاط م ُْس َت ِقي ٍم‬


“Alloh memberikan hidayah bagi orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” [QS Al
Baqarah: 213]
Di antara orang yang paling beliau cintai dan yang paling
beliau harapkan keislamannya adalah paman beliau yang
selalu membelanya, yaitu Abu Tholib. Senantiasa beliau
mendakwahkan Islam kepada pamannya bahkan hingga
di akhir hayat dengan harapan agar beliau mau masuk
Islam. Namun kenyataannya Nabi tidak dapat
menyelamatkan pamannya dari kesyirikan. Nabi tidak
mampu untuk memberikan hidayah kepada pamannya
yang sangat dicintainya itu.
Dalam hal ini Alloh ta'ala berfirman:

‫ِإن ََّك َال تَهْ ِدي َم ْن أَ ْح َب ْب َت َولَ ِك َّن الل َّ َه يَهْ ِدي َم ْن ي ََشا ُء‬
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-
Nya.” [QS Al Qashash: 56]
Keempat: Pernyataan seorang Habib di youtube bahwa
Fakhurrazi (wafat 606 H) berpendapat bahwa kedua
orang tua Nabi shollalloohu álaihi wasalam wafat

[Date] 104
dalam kondisi Islam (pada menit : 4.00) adalah
kesalahan.

📝 Tanggapan: Yang benar justru


Fakhrurrazi/Fakhruddin Ar-Razi justru membantah
pendapat ini, dan justru menisbatkan pendapat yang
dinukil oleh sang Habib kepada sekte Syiáh. Sepertinya
sang Habib -hafizhahullah- tidak membaca secara
kesuluruhan pernyataan Ar-Razi, sehingga terluput
darinya bantahan beliau di akhir pembahasan. Ar-Razi
berkata :

‫الس َال ُم‬ َّ ‫ إ َِّن أَ َحدًا ِم ْن َآِب ِء َّالر ُسولِ عَلَ ْي ِه‬:‫الشي َع ُة‬
َّ ‫الص َال ُة َو‬ ِّ ‫قَالَ ِت‬
‫َوأَ ْج َدا ِد ِه َما َك َان َكا ِف ًرا َوأَ ْن َك ُروا أَ ْن يُقَا َل إ َِّن َوا ِل َد ِإ ْب َرا ِهي َم َك َان َكا ِف ًرا‬
َّ ‫َو َذ َك ُروا أَ َّن َآز َر َك َان َع َّم ِإ ْب َرا ِهي َم عَلَ ْي ِه‬
‫الس َال ُم‬
“Syiáh berkata, ‘Sesungguhnya tidak seorangpun dari
ayah dan kakek-kakek Nabi shollalloohu álaihi wa sallam
yang kafir.
Mereka (Syiáh) juga mengingkari bahwa bapak Nabi
Ibrahim álayhis salaam kafir, dan mereka berkata bahwa
Azar (yang disebutkan dalam Al-Qur’an) adalah paman
Nabi Ibrahim álayhis salaam (bukan bapaknya).” [Tafsir
Ar-Raazi (13/32)]
Ar-Razi kemudian mulai menyebutkan dalil-dalil kaum
Syiáh akan klaim mereka tersebut.

[Date] 105
Setelah itu beliau membantah argumentasi mereka.
[Lihat: Tafsir Ar-Raazi (13/33-34)]. Lalu di penghujung
bantahan ar-Razi berkata:

‫َوأَ َّما أَ ْص َحابُنَا فَقَدْ َز َع ُموا أَ َّن َوا ِل َد َر ُسولِ اللَّه َك َان َكا ِف ًرا َو َذ َك ُروا أَ َّن‬
‫ن ََّص ْال ِكتَ ِاب ِفي َه ِذ ِه ْاآلي َ ِة ت َُد ُّل عَلَى أَ َّن َآز َر َك َان َكا ِف ًرا َو َك َان َوا ِل َد‬
.‫الس َال ُم‬
َّ ‫ِإ ْب َرا ِهي َم عَلَ ْي ِه‬
“Adapun para ulama kami, maka mereka berpendapat
bahwa ayah Rosululloh shollalloohu álaihi wa sallam
adalah kafir. Mereka juga menyebutkan bahwa nas Al-
Qur’an dalam ayat ini menunjukkan bahwa Azar adalah
kafir, dan Azar adalah ayah Ibrahim ‘alayhis salam.”
[Tafsir Ar-Raazi (13/33)]

6⃣ Ada beberapa hadits-hadits palsu seputar


permasalahan ini yang bertentangan dengan hadits
shohih yang telah dikemukakan, tiada lain untuk
mengaburkan dan menyesatkan ummat tentang hal
ini. Akibatnya, mereka menolak hadits Nabi yang
shohih. Untuk itu, pentingnya mengembalikan setiap
permasalahan kepada ahlinya. Dalam hal ini para
ulama hadits.

⛔ Hadits-hadits palsu tersebut;

📖 Pertama,

[Date] 106
‫ «حج بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم حجة‬: ‫عن عائشة قالت‬
ٍ ‫فمر بىي على عقبة الحجون وهو‬
‫ِبك حزين مغتم فنزل‬ ّ ، ‫الوداع‬
: ‫ فقلت له فقال‬، ‫فمكث عني طوي ًال ثم عاد إلي وهو ف ِر ٌح مبتسم‬
‫ذهبت لقبر أمي فسألت الله أن يحييها فأحياها فآمنت بىي‬
» ‫وردها الله‬
Dari ‘Aisyah ia berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alayhi
wa sallam pernah melaksanakan haji bersama kami saat
haji wada’. Lalu beliau bersamaku melintasi tempat
yang bernama Hajuun25 dalam keadaan menangis dan
sedih. Beliau pun turun (dari kendaraannya) dan
menjauh dariku dalam waktu yang lama, kemudian
kembali kepadaku dalam keadaan gembira dan
tersenyum. Aku tanyakan kepada beliau (apa yang
terjadi), dan beliau menjawab : “Aku tadi pergi ke kubur
ibuku dan berdoa kepada Alloh agar Ia
menghidupkannya kembali hingga ia (ibuku) beriman
kepadaku. Maka Alloh pun mengembalikannya ke dunia
ini lagi”.

📋Hadits ini dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Al-


Haawiy lil-Fataawaa 2/278. Diriwayatkan oleh Al-
Jurqaaniy dalam Al-Abaathil wal-Manaakir (no. 207),

25
Ibu beliau tidak dikuburkan di Hajuun, akan tetapi di Abwa’. Ini
adalah kesalahan fatal berikutnya, yang semakin memperjelas
kepalsuan kisah ini.

[Date] 107
Ibnu Syaahin dalam An-Naasikh wal-Mansuukh (no.
656), dan Ibnul-Jauziy dalam Al-Maudluu’aat (1/283-
284) dari beberapa jalan, dari Muhammad bin Yahya Az-
Zuhriy Abu Ghaziyyah, dari ‘Abdul-Wahhaab bin Musa,
dari Abuz-Zinaad (dalam sanad lain : dari Ibnu Abiz-
Zinaad), dari Hisyaam bin ‘Urwah, (dari ayahnya), dari
‘Aisyah rodhiyallohu ‘anhaa.
Muhammad bin Yahya Az-Zuhriy. Ad-Daaruquthniy
berkata : “Matruk (ditinggalkan haditsnya)”. Ia juga
berkata : “Dari ‘Abdil-Wahhaab bin Musa, ia telah
memalsukan (hadits)”. Al-Azdiy berkata : “Dho’iif
(lemah)” [lihat Miizaanul-I’tidaal 4/62 no. 8299, Al-
Mughni fidl-Dlu’afaa’ 2/642 no. 6071, dan Adh-
Dhu’afaa wal-Matrukiin lid-Daaruquthniy hal. 219 no.
483].

🎙Berikut komentar para ulama tentang hadits tersebut :


- Imam Ibnul-Jauziy berkata : “Hadits palsu tanpa ada
keraguan” [Al-Maudhuu’aat, 1/283]. (bahkan beliau
menyatakan bahwa pengarang cerita ini tidak berilmu
dan kurang pemahamannya). ([Lihat Al Maudhu’at,
Ibnul Jauzi, 1/284])
- Imam Abul-Fadhl bin Naashir berkata : “Hadits ini
palsu” [idem].
- Imam Ad-Daaruquthniy berkata : “Isnad dan
matannya baathil” [Lisaanul-Miizaan, hal. 479 no. 5300
– biografi ‘Aliy bin Ahmad Al-Ka’biy].

[Date] 108
- Imam Al-Jurqaaniy berkata : “Hadits ini baathil” [Al-
Abaathil wal-Manaakir hal. 123 no. 207].
- Imam Adz-Dzahabiy berkata : “Hadits dusta”
[Miizaanul-I’tidaal, 2/684 no. 5326 – biografi ‘Abdul-
Wahhaab bin Musa].
- Imam Ibnu Katsir berkata : “Sangat munkar (munkarun
jiddan) para perawinya tidak diketahui (majhul)”
[Adillatul-Mu’taqad Abi Haniifah oleh ‘Ali Al-Qaariy –
yang dicetak dalam‘Aqiidatul-Muwahhidiin oleh
‘Abdullah bin Sa’diy Al-Ghaamidiy Al-‘Abdaliy hal.
481].
Selain daif, munkar, atau maudhu’, ia juga menyelisihi
dalil yang sahih nan gamblang, serta menyelisihi kaidah
umum yang masyhur nan disepakati oleh kaum
muslimin, yakni tidak ada taubat setelah kematian. Dalil
yang mengukuhkan kaidah ini terlalu banyak untuk
disebut satu-persatu.
Bahkan Imam Adz-Dahabi mengatakan:

‫هذا ال َح ِديْثض َك ِذ ٌب‬ َ ‫ فَإ َِّن‬،‫َال يُدْ َرى َم ْن َذا ال َح َي َو ُان ال َك َّذ ُاب‬
ْ ‫الس َال ُم ْاستَ ْأ َذ َن َرب َّ ُه ِف ْي‬
‫االس ِت ْغ َف ِار لَهَا فَلَ ْم‬ َّ ‫ُمخَا ِل ٌف ِل َما َص َّح أَن َّ ُه عَلَ ْي ِه‬
.‫ي َ ْأ َذ ْن لَ ُه‬
“Tidak diketahui siapa makhluk pendusta ini! Sungguh
hadits ini adalah kedustaan dan menyelisihi hadits yang
sahih periwayatannya dari Rosululloh Shollalloohu
‘alayhi Wa Sallam bahwa beliau meminta izin kepada

[Date] 109
Rabbnya untuk memintakan ampun untuk ibunya, akan
tetapi Rabbnya tidak mengizinkannya.”([Mizan Al
I’tidal, Adzzahabi, 2/684])

📖 Kedua,

« : ‫عن عمران بن حصين عن النّبىيّ صلى الله عليه وسلم قال‬


‫سألت ربّىي ّعزوجل أن ال يدخل أحداً من أهل بيتي النّار‬
»‫فأعطانيها‬
Dari ‘Imraan bin Hushain, dari Nabi shollallohu ‘alayhi
wa sallam, beliau bersabda : “Aku memohon kepada
Robb-ku ‘azza wa jalla untuk tidak memasukkan satupun
dari keluarga (ahlul-bait)-ku ke neraka. Maka Alloh pun
mengabulkannya”.

📋Diriwayatkan oleh Ibnu Basyraan dalam Al-


Amaaliy (56/1) : Telah mengkhabarkan kepada kami
Abu Sahl Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdillah bin
Ziyaad Al-Qaththaan : Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Yunus : Telah menceritakan kepada
kami Abu ‘Aliy Al-Hanafiy : Telah menceritakan kepada
kami Israaiil, dari Abu Hamzah Ats-Tsamaaliy, dari Abu
Rajaa’, dari ‘Imraan bin Hushain secara marfu’.
Abu Hamzah Ats-Tsamaaliy, ia bernama Tsaabit bin Abi
Shafiyyah. Ahmad dan Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak ada
apa-apanya (laisa bi-syai’)”. Abu Zur’ah berkata
: “Layyin (lemah)”. Abu Haatim berkata : “Layyinul-
hadiits (lemah haditsnya), ditulis haditsnya, namun tidak

[Date] 110
dipakai sebagai hujjah”. Al-Jauzajaaniy berkata :
“Waahiyul-hadiits (lemah haditsnya)”. An-Nasa’iy
berkata : “Tidak tsiqoh (tidak terpercaya)”. Ad-
Daaruquthniy berkata : “Matruk”. Ibnu Hajar berkata
: “Dho’iif, orang Raafidlah (syi'ah)”. [lihatSiyaru
A’laamin-Nubalaa’ 1/363 no. 1358, Tahdzibut-
Tahdziib 2/7-8 no. 10, dan Taqriibut-Tahdziib hal. 185
no. 826].
Muhammad bin Yunus, ia adalah Ibnu Musa bin
Sulaiman bin ‘Ubaid bin Rabii’ah bin Kudaim As-
Saamiy Al-Kudaimiy, Abul-‘Abbaas Al-Bashriy. Ad-
Daruquthniy memasukkan dalam kitabnya Adh-
Dhu’afaa. As-Sahmiy berkata : Aku mendengar Ad-
Daaruquthniy berkata : “Al-Kudaimiy dituduh
memalsukan hadits”. Al-Aajurriy berkata : “Aku
mendengar Abu Dawud membicarakan Muhammad bin
Sinan dan Muhammad bin Yunus, memutlakkan pada
(hadits)-nya kedustaan”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia
memalsukan hadits dari orang-orang tsiqah”. Adz-
Dzahabiy berkata : “Haalik (orang yang binasa)”. [lihat
selengkapnya padaAl-Mughniy fidl-Dhu’afaa 2/646 no.
6109, Adh-Dhu’afaa wal-Matruukiin hal. 221 no.
488, Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil 3/106-107 no. 4233,
dan Tahdzibut-Tahdziib 9/539-544 no. 886].

📖 Ketiga,

[Date] 111
‫عن ابن عمر رضي الله عنه عن النّبىيّ صلى الله عليه وسلم أن ّه‬
‫ « إذا كان يوم القيامة شفعت ألبىي وأ ّمي وع ّمي أبو طالب‬: ‫قال‬
»‫وأخ لي كان في الجاهل ّية‬
Dari Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu, dari
Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda :
“Pada hari kiamat nanti, aku akan memberi syafa’at
kepada ayahku, ibuku, pamanku Abu Tholib, dan
saudaraku semasa Jahiliyyah”.

📋Diriwayatkan oleh Tammaam dalam Fawaaid-nya


(2/45) : Telah menceritakan kepada kami Abul-Haarits
Ahmad bin Muhammad bin ‘Ammaarah bin Abil-
Khaththaab Al-Laitsiy dan Muhammad bin Harun bin
Syu’aib bin ‘Abdillah, mereka berdua berkata : Telah
memberitakan kepada kami Abu ‘Abdil-Malik Ahmad
bin Ibrahim Al-Qurasyiy : Telah menceritakan kepada
kami Abu Sulaiman Ayyuub Al-Mukattib : Telah
menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Salamah, dari
‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar
rodhiyalohu ‘anhuma, dari Nabi shollallohu ‘alayhi wa
sallam.
Al-Waliid bin Salamah, ia adalah Ath-Thabaraniy Al-
Ardaniy. Ad-Daaruquthniy berkata : “Matruukul-
hadiits”. Ia juga berkata : “Dzaahibul-hadiits (orang yang
ditingalkan haditsnya)”. Abu Haatim berkata
: “Dzaahibul-hadiits”. Al-Haakim berkata : “Ia
memalsukan hadits dari orang-orang tsiqah”. Adz-

[Date] 112
Dzahabiy berkata : “Al-Waliid bin Salamah Ath-
Thabaraniy Al-Ardaniy dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, telah
didustakan oleh Duhaim dan Al-Haakim”. [lihat Al-
Mughniy fidl-Dhu’afaa’ 3/772 no. 6857 dan Miizaanul-
I’tidaal 4/339 no. 9372].
Al-Kinaaniy berkata dalam Tanziihusy-Syarii’ah (1/322)
saat mengkritik Tammaam yanghanya mengomentari
status Al-Waliid dengan munkarul-hadiits : “Bahkan ia
(Al-Waliid bin Salamah) adalah pendusta (kadzdzaab)
sebagaimana dikatakan oleh banyak huffaadh. Dan aku
mengira ini termasuk dari kebathilannya”.

📖 Keempat,

: ‫ سمعت النّبىيّ صلى الله عليه وسلم يقول‬: ‫عن ابن ع ّباس قال‬
‫ في أبىي وع ّمي أبىي طالب وأخي من‬: ‫«شفعت في هؤالء النّفر‬
»‫السعديّة ـ ليكونوا من بعد البعث هباء‬
ّ ‫ّالرضاعة ـ يعني ابن‬
Dari Ibnu ‘Abbaas ia berkata : Aku mendengar
Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda : “Aku
memberi syafa’at kepada beberapa orang ini : ayahku,
pamanku Abu Tholib, saudara sepersusuanku – yaitu
Ibnus-Sa’diyyah – dimana mereka akan menjadi debu
setelah hari kebangkitan”.

📋Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh


Baghdaad (4/271), Al-Jurqaaniy dalam Al-Abaathil wal-
Manaakir (hal. 128 no. 217), dan Ibnul-Jauziy dalam Al-
Maudhuu’aat (1/284-285), yang kesemuanya dari jalan :

[Date] 113
Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Faaris, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Khaththaab bin ‘Abdid-Daaim
Al-Arsuufiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa
bin Al-Mubaarak, dari Syariik, dari Manshuur, dari Laits,
dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.
Muhammad bin Faaris adalah Ibnu Hamdaan bin
‘Abdirrahman bin Muhammad bin Shabiih bin
Muhammad bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdirrazzaaq bin
Ma’bad, Abu Bakr Al-‘Athasyiy Al-Ma’badiy. Al-
Khathiib berkata : “Aku berkata kepada Abu Nu’aim
tentangnya, lalu ia berkata : ‘Ia seorang Rofidliy yang
ekstrim dalam bid’ah Rofidlahnya. Ia juga lemah dalam
hadits”. Al-Khathiib juga berkata : “Ia tidak tsiqah”.
Abul-Hasan Muhammad bin Al-‘Abbas bin Furaat
berkata : “Abu Bakr Muhammad bin Faaris bin Hamdaan
Al-Ma’badiy wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 361 H.
Ia bukan seorang yang tsiqoh, tidak pula terpuji
madzhabnya” [lihat Taariikh Baghdaad 4/271, Lisaanul-
Miizaan 7/436 no. 7298, Al-Maudluu’aat 1/284, dan Al-
Abaathil wal-Manaakir hal. 128-129].
Tentang Khaththaab bin ‘Abdid-Daaim Al-Arsuufiy, Al-
Jurqaaniy berkata : “Khaththaab ini, seorang yang lemah
(dho'iif) dan ma’ruf dengan riwayat-riwayat yang
diingkari dari Yahya bin Al-Mubaarak Asy-Syaamiy”
[lihat Al-Abaathil wal-Manaakir hal. 128]. Adz-
Dzahabiy memasukkannya dalam Adh-Dhu’afaa’ 1/210
no. 1917].

[Date] 114
Al-Jurqaaniy berkata : “Hadits ini baathil, tidak ada
asalnya. Laits bin Abi Sulaim adalah seorang yang lemah
haditsnya. Manshuur bin Mu’tamir tidak mendengar satu
pun riwayat dari Laits dan tidak pernah meriwayatkannya
darinya karena kedla’ifannya. Yahya bin Al-Mubaarak
ini adalah Syaamiy (orang Syaam) Shan’aaniy (orang
Shan’a, Yaman). Seorang yang majhuul” [Al-Abaathil
wal-Manaakir hal. 128].
Ibnul-Jauziy berkata : “Hadits ini maudlu’ (palsu) tanpa
keraguan. Adapun Laits, ia dho’iif. Manshuur tidak
meriwayatkan darinya satu riwayatpun karena
kedho'ifannya. Yahya bin Al-Mubaarak ini
adalah Syaamiy (orang Syaam) Shan’aaniy (orang
Shan’a, Yaman), majhuul. Dan Al-Khaththaab
adalah dho’iif” [Al-Maudhuu’aat, 1/284].

📖 Kelima,

‫ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم‬:‫عن علي بن أبىي طالب قال‬
‫ " هبط علي جبريل فقال َي محمد إن الله يقرئك السالم ويقول‬:
.‫إني حرمت النار على صلب أنزلك وبطن حملك وحجر كفلك‬
‫ فقال أما الصلب فعبد الله وأما البطن‬،‫فقال َي جبريل بين لى‬
‫ وأما الحجر فعبد يعنى عبدالمطلب وفاطمة‬،‫فآمنة بنت وهب‬
".‫بنت أسد‬
Dari ‘Aliy bin Abi Tholib, ia berkata : Telah bersabda
Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam : “Jibril turun

[Date] 115
kepadaku dan berkata : ‘Wahai Muhammad,
sesungguhnya Alloh mengucapkan salam kepadamu dan
berfirman : Sesungguhnya aku telah mengharamkan
neraka atas tulang sulbi yang telah mengeluarkanmu,
perut yang mengandungmu, dan pangkuan yang telah
memeliharamu’. Beliau shollallohu ‘alayhi wa
sallam bersabda :“Wahai Jibril, terangkanlah
kepadaku”. Ia (Jibril) berkata : “Adapun tulang sulbi,
maka ia adalah ‘Abdullah. Adapun perut, maka ia
adalah Aminah. Dan pangkuan, maka ia adalah ‘Abdul-
Muthallib dan Faathimah binti Asad”.

📋Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Al-


Maudluu’aat (1/283) dan Al-Jurqaaniy dalam Al-
Abaathil wal-Manaakir (hal. 121-122 no. 206) dari jalan
Abul-Husain Yahya bin Al-Husain bin Isma’il Al-
‘Alawiy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami
Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain Al-
Hasaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Zaid bin Haajib, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin ‘Ammaar Al-‘Aththaar, ia berkata :
Telah menceritakan kepadaku ‘Aliy bin Muhammad bin
Musa Al-Ghathaffaaniy, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Harun Al-‘Alawiy, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin
‘Aliy bin Hamzah Al-‘Abbaasiy, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Musa bin Ja’far, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari

[Date] 116
Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari ‘Aliy bin Abi
Thaalib secaramarfu’.
Al-Jurqaaniy berkata : “Hadits ini maudhu'
(palsu) lagi baathil. Pada sanadnya terdapat lebih dari
seorang perawi yang majhul. Telah berkata Abu Haatim
Muhammad bin Hibbaan bin Ahmad Al-Bustiy Al-
Haafidh : ‘Aliy bin Musa bin Ja’far Ar-Ridlaa
meriwayatkan dari ayahnya banyak hal yang
mengherankan (‘ajaaib). Meriwayatkan darinya Abush-
Shalt dan yang lainnya, seakan-akan dia ragu dan keliru.
Aku bertanya kepada Al-Imam Muhammad bin Al-
Hasan bin Muhammad perihal Abul-Husain Yahya bin
Al-Husain bin Isma’il Al-Hasaniy Al-‘Alawiy. Ia berkata
: ‘Ia seorang Rafidliy ekstrim…..” [Al-Abaathil wal-
Manaakir hal. 122].

7⃣ Telah kita lihat dan telaah permasalahan ini,


bahwasanya tidak ada ruang bagi kita untuk
menolak dengan alasan apapun tentang kufurnya
kedua orang tua Nabi. Karena shohihnya hadits yang
menyebutkan kufurnya kedua orang tua Nabi,
komentar para ulama tentangnya, bahkan sampai
tingkat ijma' (sepakat) pendapat para ulama yang
ada pada level ini.
Ketika suatu permasalahan telah ada dan shohih
haditsnya, maka seorangpun tidak berhak menolak.
Sebagai realisasi dari firman Alloh,

[Date] 117
َ ‫َو َما َك َان ِل ُم ْؤ ِم ٍن َو َال ُم ْؤ ِمنَ ٍة ِإ َذا قَضَ ى الل ُه َو َر ُسول َ ُه أَ ْم ًرا أَن يَ ُك‬
‫ون لَهُ ُم الْ ِخي ََر َة‬
‫ِم ْن َأ ْم ِر ِه ْم َو َمن ي َ ْع ِص الل َه َو َر ُسول َ ُه فَقَدْ ضَ َّل ضَ َال ًال ُّمبِينًا‬
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Alloh
dan RosulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Alloh dan
Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata”. [Al Ahzab : 36].
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Ayat ini umum
dalam segala perkara. Yaitu, jika Alloh dan RosulNya
telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi
siapapun menyelisihinya, dan tidak ada pilihan (yang
lain) bagi siapapun, tidak juga ada pendapat dan
perkataan”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Ahzaab : 36].
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahulloh
berkata : “Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara
keputusan Alloh dengan keputusan RosulNya. Orang
mukmin tidak ada pilihan untuk menyelisihi keduanya.
Dan maksiat kepada Rosul (sama artinya) seperti maksiat
kepada Alloh. Yang demikian itu merupakan kesesatan
yang nyata”. [Al Hadits Hujjatun Binafsihi, hlm. 33]
Begitupun, kebinasaan akan kita dapatkan, ketika kita
menyanggah atau menolak hadits Nabi dengan perasaan
atau pendapat siapapun, berdasarkan beberapa atsar di
bawah ini;

[Date] 118
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi berhaji tamattu’,
maka 'Urwah bin Az-Zubair berkata, “Abu Bakar dan
Umar melarang tamattu’”. Ibnu Abbas menimpali
perkataannya,

‫ نَهَىى أَبُو بَ ْك ٍر َو ُع َمر‬:‫ أَ ُق ْو ُل قَا َل النَّبِىيُّ َوي َ ُق ْولُ ْو َن‬،‫ُأ َراهُم َس َيهْلَ ُك ْو َن‬
ُِ"Aku melihat mereka akan binasa, aku menyampaikan
kepada mereka “Nabi shollallohu 'alihi wa sallam
bersabda demikian”, namun mereka berkata “Abu Bakar
dan Umar melarang.” [Jami’ bayan Al-‘Ilmi wa fadlihi
1/129 no 443, Musnad Ahmad no 3121]
Dalam riwayat yang lain beliau berkata,

َ ُ‫ أَ ُق ْو ُل قَا َل َر ُس ْو ُل الل ِه َوت َ ُق ْول‬،‫الس َما ِء‬


‫ون‬ َّ ‫يُ ْو ِش ُك أَ ْن تَنْ ِز َل ِح َج َارةٌ ِم َن‬
!‫قَا َل أَبُو بَ ْك ٍر َو ُع َم ُر؟؟‬
“Hampir saja menimpa kalian hujan batu dari langit,
aku berkata “Rosululloh shollallohu 'alihi wa sallam
berkata demikian” lantas kalian berkata, “Abu Bakar
dan Umar berkata demikian dan demikian”
[Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin
Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid]
Berkata Umar bin Abdil 'aziz,
ُ ‫الرْأ َي َأل َح ٍد مع س ن ٍة س نَّهَا‬
‫رسول الله‬

[Date] 119
“Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah
Nabi shollallohu 'alihi wa sallam” [HR.Ad-Darimi no
446 (1/401), berkata pentahqiq :”Isnadnya shohih”]
Imam As-Syafi’I berkata,

‫الناس على َّأن من استبا ْنت له س ن ٌة عن رسول الله لم‬ ُ ‫أَ ْجم َع‬
‫يكن له ْأن ي َ َدعَها ِلقول أحد من النَّاس‬
“Manusia telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang
telah jelas baginya suatu sunnah dari Nabi shollallohu
'alaihi wa sallam maka tidak boleh baginya untuk
meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti
perkataan (pendapat) seseorang”. Dan telah sah
bahwasanya beliau juga pernah berkata,

‫ال قول َأل َح ٍد مع س ن ِة رسولِ الله‬


“Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah
Nabi shollallohu 'alihi wa sallam” [I’lamul Muwaqqi’in
2/201]
Berkata Al-Humaidi, “Kami sedang bersama Imam Asy-
Syafi’i, lalu datanglah seseorang dan bertanya tentang
suatu permasalahan. Maka As-Syafi’i berkata,
“Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah
memutuskan permasalahan ini dengan hukum demikian
dan demikian”. Orang itu berkata kepada Imam As-
Syafi’i, “Bagaimana menurut pendapat Anda?”, maka
Imam As-Syafii berkata,

[Date] 120
‫س بحان الله!! تراني في كنيسة؟! تراني في بيعة؟! ترى على‬
‫ ما‬:‫وسطي زُ ََّن ًرا؟! أقول لك قضى فيها رسول الله وأنت تقول‬
! ‫تقول أنت؟‬
“Maha suci Alloh, apakah engkau sedang melihatku di
gereja?!, apakah engkau sedang melihatku di tempat
ibadah orang-orang yahudi?!, apakah engkau melihat di
pinggangku ada zunnar (yaitu sabuk yang dipakai oleh
orang-orang Nasrani)?!. Aku katakan kepadamu bahwa
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memutuskan
perkara ini dengan hukuman demikian dan demikian
lantas engkau berkata “Bagaimana menurut
pendapatmu?”?! [Siyar A’lam An-Nubala’ 10/34 dan
Hilyatul Auliya’ 9/106]

8⃣ Sebagaimana telah aku sampaikan, bahwa


permasalahan ini dipegangi oleh jumhur (mayoritas)
ulama dan mereka ijma' (sepakat) dalam hal ini,
bukan malah sebaliknya. Simaklah pernyataan
mereka di bawah ini,
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas. Jumlah ulama
yang menyatakan demikian hingga abad ke-9 atau awal
abad ke-10 (hingga wafatnya As-Suyuthi) adalah
berjumlah sekitar 40 orang, sementara yang berpendapat
dengan pendapat yang berlawanan -yang penulis
dapatkan- hanya 3 orang yaitu Al-Qurthubi (wafat 671
H), Ibnu Ruslan (wafat 844 H), dan As-Suyuthi (wafat

[Date] 121
911 H). Seandainya ada ulama lainnya, tetap saja ia
tergolong minoritas.
Al-Imam Ibnul-Jauzi rohimahulloh berkata :

‫وأما عبد الله فإنه مات ورسول الله صلى الله عليه وسلم حمل‬
‫ وكذلك آمنة ماتت ولرسول الله صلى‬،ً‫وال خالف أنه مات كافرا‬
‫الله عليه وسلم ست س نين‬
”Adapun ’Abdulloh (ayah Nabi), ia mati ketika
Rosululloh shollalloohu ’alaihi wa sallam masih berada
dalam kandungan, dan ia mati dalam keadaan kafir tanpa
ada khilaf (perbedaan pendapat). Begitu pula Aminah
(tentang kekafirannya tanpa ada khilaf), dimana ia mati
ketika Rosululloh shollalloohu ’alaihi wa sallam berusia
enam tahun” [Al-Maudlu’aat juz 1 hal. 283].
Al-’Allamah ’Ali bin Muhammad Sulthan Al-Qoori telah
menukil adanya ijma’ tentang kafirnya kedua orang tua
Rosululloh shollalloohu ’alaihi wa sallam dengan
perkataannya :

‫وأما اإلجماع فقد اتفق السلف والخلف من الصحابة والتابعين‬


‫واألئمة األربعة وسائر المجتهدين على ذلك من غير إظهار خالف‬
‫لما هنالك والخالف من الالحق ال يقدح في اإلجماع السابق‬
‫سواء يكون من جنس المخالف أو صنف الموافق‬

[Date] 122
”Adapun ijma’, maka sungguh ulama salaf (terdahulu)
dan khalaf (saat ini) dari kalangan shahabat, tabi’in,
imam empat, serta seluruh mujtahidin (para pakar ijtihad)
telah bersepakat tentang hal tersebut (kafirnya kedua
orang tua Nabi shollalloohu ’alaihi wa sallam) tanpa
adanya khilaf (perbedaan pendapat). Jika memang
terdapat khilaf setelah adanya ijma’, maka tidak
mengurangi nilai ijma’ yang telah terjadi sebelumnya.
Sama saja apakah hal itu terjadi pada orang-orang
menyelisihi ijma’ (di era setelahnya) atau dari orang-
orang yang telah bersepakat (yang kemudian ia berubah
pendapat menyelisihi ijma’) [Adilltaul-Mu’taqad Abi
Haniifah hal. 7 - download dari www.alsoufia.com].
Al-Imam Abu Hanifah rohimahulloh berkata :

‫ووالدا رسول الله مات على الكفر‬


”Dan kedua orang tua Rosululloh shollalloohu ’alaihi wa
sallam mati dalam keadaan kafir” [Al-Adillatul-
Mu’taqad Abi Haniifah hal. 1 – download
dari www.alsoufia.com].
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thobari rohimahulloh berkata
dalam Tafsirnya ketika menjelaskan QS. Al-Baqarah :
119 :

‫الشك من الرسول علـيه السالم فـي أن أهل‬ّ ‫فإن فـي استـحالة‬


‫ وأن أبويه كاَن منهم‬,‫الشرك من أهل الـجحيـم‬

[Date] 123
”Semua ini berdasar atas keyakinan dari
Rosululloh shollalloohu ’alaihi wa sallam bahwa orang-
orang musyrik itu akan masuk Neraka Jahim dan kedua
orang tua Rosululloh shollalloohu ’alaihi wa
sallam termasuk bagian dari mereka”.
Al-Imam Ibnul-Jauzi berkata ketika berhujjah dengan
hadits ”Sesungguhnya aku telah memohon ijin Robb-ku
untuk memintakan ampun ibuku” ; yaitu berdasarkan
kenyataan bahwa Aminah bukanlah seorang wanita
mukminah” [Al-Maudlu’aat juz 1 hal. 284].
Al-Qarafi al-Maliki (wafat 684 H), beliau berkata :

‫الس َال ُم َك َان ُمتَ َع َّبدً ا قَ ْب َل ن ُ ُب َّو ِت ِه‬ َّ ‫ِح َكاي َ ُة ال ِخ َال ِف ِف ْي أَن َّ ُه عَلَ ْي ِه‬
َّ ‫الص َال ُة َو‬
، ِ‫خْص ْو ًصا ِِبل ُف ُر ْوع ِ د ُْو َن ُاأل ُص ْول‬ ُ ‫ب َِش ْرع ِ َم ْن قَ ْبلَ ُه يَجِ ُب أَ ْن يَ ُك ْو َن َم‬
،‫فَإ َِّن قَ َوا ِع َد ال َعقَائِ ِد َك َان النَّ ُاس ِف ْي ال َجا ِه ِل َّي ِة ُم َكل َّ ِفيْ َن ِبهَا إ ِْج َماعًا‬
‫َو ِلذ ِل َك ان ْ َعقَ َد اإل ِْج َما ُع عَلَى أَ َّن َم ْوَتَ ه ُْم ِف ْي النَّ ِار يُ َع َّذبُ ْو َن عَلَى‬
‫الس َال ُم ُمتَ َّع َب ٌد‬ َّ ‫الص َال ُة َو‬ َّ ‫ فَه َُو عَلَ ْي ِه‬،‫ َولَ ْو َال التَّ ْك ِل ْي ُف لَ َما عُ ِّذبُ ْوا‬،‫ُك ْف ِر ِه ْم‬
‫ ِإن َّ َما‬،‫ ِب َم ْعنَى ُم َكل َّ ٌف َال ِم ْري َ َة ِف ْي ِه‬- ‫ ِب َف ْت ِح ال َبا ِء‬- ‫ب َِش ْرع ِ َم ْن قَ ْبلَ ُه‬
‫خْص ْو ٌص‬ ُ ‫ فَ ُع ُم ْو ُم إ ِْط َال ِق ال ُعلَ َما ِء َم‬،‫ال ِخ َال ُف ِف ْي ال ُف ُر ْوع ِ خ ََّاص ًة‬
.ِ ‫ِِبإل ِْج َماع‬
“Penyebutan khilaf tentang apakah Rosululloh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam dibebani sebelum
kenabiannya untuk mengikuti syariat Nabi sebelumnya,

[Date] 124
haruslah dikhususkan dengan menyebutkan bahwa khilaf
tersebut hanya pada masalah furu’ syariat saja, bukan
ushul-nya. Karena manusia pada masa Jahiliyyah
dibebani dengan pokok-pokok/ushul aqidah berdasarkan
ijmak ulama. Karenanya ulama sepakat bahwa mereka
(kaum Jahiliyyah) yang meninggal dunia (dalam keadaan
kafir) berada di Neraka dan diazab karena kekafiran
mereka. Seandainya tidak ada taklif (beban syariat) maka
tentu mereka tidak diazab.
Jadi kesimpulannya adalah, tidak diragukan lagi bahwa
Rosululloh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dibebani
dengan ushul syariat sebelum beliau (yakni ajaran
tauhid). Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama
hanyalah dalam furu’ syariat (seperti tata cara dan jenis
ibadah) saja. Demikianlah, keumuman ucapan para
ulama dikhususkan dengan ijmak.” ([Syarh Tanqih Al-
Fushul hlm. 297])
Beberapa imam ahli hadits pun memasukkan hadits-
hadits yang disebutkan di atas dalam Bab-Bab yang tegas
menunjukkan fiqh (pemahaman) dan i’tiqod (keyakinan)
mereka tentang kekafiran kedua orang tua
Nabi shollalloohu ’alaihi wa sallam. Misalnya, Al-Imam
Muslim memasukkannya dalam Bab [ ‫بيان أن من مات على الكفر‬
‫]فهو في النار وال تناله شفاعة وال تنفعه قرابة المقربين‬ “Penjelasan
bahwasannya siapa saja meninggal dalam kekafiran
maka ia berada di neraka dan ia tidak akan memperoleh
syafa’at dan tidak bermanfaat baginya hubungan
kekerabatan”. Al-Imam Ibnu Majah memasukkannya

[Date] 125
dalam Bab [‫المشركين‬ ‫]ما جاء في زَيرة قبور‬ ”Apa-Apa yang
Datang Mengenai Ziyarah ke Kubur Orang-Orang
Musyrik”. Al-Imam An-Nasa’i memasukkannya dalam
Bab [‫” ]زَيرة قبر المشرك‬Ziyarah ke Kubur Orang-Orang
Musyrik. Dan yang lainnya. Silahkan di cek di tempatnya
masing-masing, baarokalloohu fiikum...

9⃣ Bukan cuma anda yang kaget ketika


mendengarkan fakta ini, namun kami pun cukup
tersentak dan terheran awal kali mengetahui
kebenaran ini dan kami pun menelitinya secara
mendalam. Dan -alhamdulillaah, atas karunia dan
taufiq dari Alloh- kami bisa menerimanya.
Adalah Al-'Allaamah Asy-Syaikh Al-Imam Nashiruddin
Al-Albani rohimahulloh salah seorang ulama besar abad
ini, sekaligus pakar hadits dari negeri Syam memberikan
nasehatnya kepada kita terkait fenomena yang kita lihat
akhir-akhir ini berkaitan dengan permasalahan ini.
Simaklah pernyataan beliau,

📜 “Ketahuilah –wahai saudaraku yang muslim- bahwa


sebagian orang pada hari ini dan sebelum hari ini, tak ada
kesiapan pada mereka untuk menerima hadits-hadits
yang shohih ini dan mengadopsi sesuatu yang ada di
dalamnya berupa hukum kafir bagi kedua orang tua
Rosululloh -shollallohu 'alaihi wa sallam-. Bahkan
sungguh diantara mereka ada yang dianggap termasuk
da'i (yang mengajak) kepada Islam, betul-betul ia
mengingkari dengan pengingkaran yang keras terhadap

[Date] 126
penyebutan hadits-hadits ini dan penunjukannya yang
benar!!
Menurut keyakinanku, pengingkaran ini dari mereka
hanyalah tertuju kepada Nabi -shollallohu 'alaihi wa
sallam- yang telah mengucapkannya, jika memang
mereka membenarkannya. Ini –sebagaimana telah
tampak- adalah kekafiran yang nyata; atau paling
minimal (pengingkaran itu) tertuju kepada para imam
yang telah meriwayatkan dan menyatakannya shohih. Ini
merupakan kefasikan atau kekafiran yang nyata. Karena
terharuskan darinya sikap yang membuat kaum muslimin
terhadap agamanya. Sebab, tak ada jalan bagi mereka
untuk mengenal dan mengimani agamanya, kecuali dari
jalur Nabi mereka -shollallohu 'alaihi wa sallam-
sebagaimana hal ini tak samar bagi setiap muslim yang
mengenal agamanya.
Jika mereka tidak membenarkannya, karena tidak
cocoknya hadits-hadits ini terhadap perasaan dan
keinginan mereka -sedangkan manusia dalam perkara
seperti itu berbeda dengan perbedaan yang amat
mencolok-[[ yakni, dalam hal perasaan!! Sebab perasaan
manusia bertingkat dan beragam, sehingga perasaan tak
boleh dijadikan tolok ukur dalam menetapkan suatu
perkara yang berkaitan dengan agama. Jika perasaan
dituruti, maka hancurlah agama ini!! ]], maka di dalam
seperti itu ada pembuka pintu besar sekali dalam
menolak hadits-hadits shohih. Ini adalah perkara yang
disaksikan pada hari dari kebanyakan penulis-penulis
yang kaum muslimin terkena bala (ujian) akibat tulisan-

[Date] 127
tulisan mereka, seperti Al-Ghozaliy, Al-Huwaidiy,
Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan dan semisalnya dari
kalangan orang-orang yang tidak memiliki timbangan
dalam men-shohih-kan hadits-hadits dan
melemahkannya, kecuali hawa nafsu mereka.
Ketahuilah wahai muslim –yang khawatir atas agamanya
karena dirobohkan dengan pena-pena sebagian orang
yang menisbahkan diri kepadanya — bahwa hadits-
hadits ini dan semisalnya yang di dalamnya terdapat
pengabaran tentang kafirnya beberapa person (pribadi)
dan keimanan mereka. Sesungguhnya hal itu termasuk
perkara-perkara gaib yang wajib diimani dan diterima
dengan pasrah, berdasarkan firman Alloh -Ta’ala-,

‫) ال َّ ِذ َين‬2( ‫) َذ ِل َك ْال ِكتَ ُاب ال َريْ َب ِفي ِه ُهدًى ِللْ ُمتَّ ِق َين‬1( ‫الم‬
]1-1/‫) [البقرة‬1( ‫ون ِِبلْغَ ْي ِب‬ َ ُ‫يُ ْؤ ِمن‬
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki
yang kami anugerahkan kepada mereka”. (QS. Al-
Baqoroh : 1-3),
dan firman-Nya,

َ ‫َو َما َك َان ِل ُم ْؤ ِم ٍن َو َال ُم ْؤ ِمنَ ٍة ِإ َذا قَضَ ى الل َّ ُه َو َر ُسولُ ُه أَ ْم ًرا أَ ْن يَ ُك‬
‫ون لَهُ ُم‬
]13/‫) [األحزاب‬13(… ‫الْ ِخي ََر ُة ِم ْن أَ ْم ِر ِه ْم‬

[Date] 128
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh
dan Rosul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka”. (QS. Al-Ahzab : 36)
Jadi, berpaling dari hadits-hadits itu dan tidak beriman
kepadanya, maka terharuskan darinya dua hal, tak ada
yang ketiganya. Yang paling manisnya adalah pahit:
entah pendustaan kepada Nabi -shollallohu 'alaihi wa
sallam- dan entah pendustaan terhadap rawi-rawinya
yang tsiqoh sebagaimana yang telah berlalu.
Ketika aku menulis ini, aku tahu bahwa sebagian orang-
orang yang mengingkari hadits-hadits ini atau
menakwilnya dengan takwil yang batil sebagaimana
yang dilakukan oleh As-Suyuthiy –semoga Alloh
memaafkan kami dan beliau- dalam sebagian risalah-
risalahnya. Yang menyeret mereka kepada hal itu
hanyalah ghuluw (sikap berlebihan)nya mereka dalam
mengagungkan dan mencintai Nabi -shollallohu 'alaihi
wa sallam-. Akhirnya, mereka mengingkari keberadaan
kedua orang tua Nabi -shollallohu 'alaihi wa sallam-–
sebagaimana yang dikabarkan oleh beliau sendiri tentang
keduanya–, sehingga seakan-akan mereka lebih sayang
atas keduanya dibandingkan Nabi -shollallohu 'alaihi wa
sallam-!!
Terkadang sebagian diantara tidak berhati-hati untuk
condong kepada sebuah hadits yang masyhur pada lisan
sebagian orang yang di dalamnya (dijelaskan) bahwa

[Date] 129
Nabi -shollallohu 'alaihi wa sallam- menghidupkan ibu
beliau. Dalam suatu riwayat, “…kedua orang tua beliau”.
Itu adalah hadits palsu lagi batil di sisi para ulama,
seperti Ad-Daruquthniy, Al-Jauroqoiy, Ibnu Asakir, Adz-
Dzahabiy, Al-Asqolaniy dan selainnya sebagaimana hal
ini telah dijelaskan pada tempatnya. Rujuklah –kalau
anda mau- “Kitab Al-Abathil wal Manakir” oleh Al-
Jauroqoniy dengan ta’liq (komentar) dari Doktor Abdur
Rahman Al-Furyawa’iy (1/222-229).
Ibnul Jawziy berkata dalam Al-Mawdhu’at (1/284), “Ini
adalah hadits palsu, tanpa ragu. Orang yang
memalsukannya adalah kurang pemahaman lagi tak
berilmu. Sebab, andaikan ia punya ilmu, maka ia akan
tahu bahwa barangsiapa yang mati kafir, maka
keimanannya tak akan berguna setelah ia dikembalikan
(ke dunia). Bahkan tidak pula andaikan ia beriman saat ia
melihat (malaikat maut). Cukuplah yang membantah
hadits (palsu) ini, firman Alloh -Ta’ala-,

]212/‫فَ َي ُم ْت َوه َُو َكا ِفر [البقرة‬


“…lalu dia mati dalam kekafiran…” (QS. Al-Baqoroh :
217)
dan sabda Nabi -Shollalloohu alaihi wa sallam-
dalam Kitab Shohih,

‫ْاستَ ْأ َذن ُْت َربِّىى أَ ْن أَ ْستَ ْغ ِف َر ُأل ِّمى فَلَ ْم ي َ ْأ َذ ْن ِلى‬

[Date] 130
“Aku meminta izin kepada Robb-ku untuk memohonkan
ampunan bagi ibuku. Namun Dia tak memberiku izin”.
[HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 976)]
Syaikh Abdur Rahman Al-Yamaniy -rahimahullah-
sungguh amat baik ucapan beliau mereka ini dengan
ungkapan yang terang lagi ringkas, dalam komentar
beliau terhadap Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-
Mawdhu’ah, karya Asy-Syaukaniy dengan . Beliau
berkata (hal. 322), “Seringkali rasa cinta mengalahkan
sebagian orang. Akhirnya, ia pun melangkahi hujjah dan
memeranginya. Barangsiapa yang diberi taufiq, niscaya
ia akan mengetahui bahwa hal itu menyalahi cinta yang
syar’i. WAllohul Musta’an”.
Aku katakan, “Diantara orang yang dikalahkan oleh rasa
cinta, As-Suyuthiy –semoga Alloh memaafkannya-.
Karena, ia cenderung men-shohih-kan hadits tentang
menghidupkan (ibu Nabi -Shollalloohu alaihi wa sallam-
) yang batil di sisi para ulama besar sebagaimana yang
telah berlalu.
Sungguh ia (As-Suyuthiy) berusaha dalam kitabnya Al-
La’ali (1/265-268) untuk mengompromikan antara hadits
ini dengan hadits permintaan izin ini dan yang semakna
dengannya bahwa ia (hadits tentang permintaan izin Nabi
-Shollalloohu alaihi wa sallam-) adalah mansukh
(terhapus hukumnya). Padahal ia tahu dari ilmu ushul
bahwa penghapusan hukum tak akan terjadi dalam berita-
berita, hanyalah dalam hukum-hukum. Demikian itu,
karena tak masuk akal kalau orang yang benar lagi

[Date] 131
dibenarkan (yakni, Nabi -Shollalloohu alaihi wa sallam-)
mengabarkan tentang seseorang bahwa ia di neraka, lalu
beliau menghapusnya lagi dengan sabdanya,
“Sesungguhnya ia di surga”, sebagaimana hal ini telah
jelas lagi dikenal di sisi para ulama.
Di antara kekalahan As-Suyuthiy dalam hal itu, ia
berpaling dari menyebutkan hadits Muslim dari Anas
yang cocok dengan hadits dalam judul dengan sikap
berpaling secara mutlak dan ia tak mengisyaratkan hadits
itu sedikitpun. Bahkan ia sungguh telah digelincirkan
oleh pena dan bersikap ekstrim. Akhirnya, ia pun
menghukumi hadits itu [ HR. Muslim dalam Shohih-nya
(no. 203). ]. Akhirnya ia hukumi hadits itu lemah dalam
keadaan ia bergantung (berpegang) dengan komentar
sebagian diantara mereka tentang riwayat Hammad bin
Salamah. Padahal ia tahu ia (Hammad) adalah termasuk
diantara para imam kaum muslimin dan orang tsiqoh
diantara mereka dan bahwa riwayat Hammad dari Tsabit
adalah shohih. Bahkan Ibnul Madini, Ahmad dan lainnya
berkata, “Murid-murid Tsabit yang paling kuat adalah
Hammad, lalu Sulaiman, lalu Hammad bin Zaid”.
Sedang ia (riwayat-riwayat itu) shohih.
Pelemahan As-Suyuthiy tersebut aku pernah
membacanya sejak dulu sekali dalam sebuah risalahnya
tentang hadits menghidupkan (ibu Nabi -Shollalloohu
alaihi wa sallam-), cetakan India. Tanganku tak mampu
menjangkaunya sekarang agar aku dapat menukil
ucapannya dan meneliti kesalahan-kesalahannya. Silakan
dirujuk risalah itu bagi orang yang mau mengecek.

[Date] 132
Sungguh diantara pengaruh pelemahannya terhadap
hadits itu, aku perhatikan ia berpaling dari menyebutkan
hadits itu juga dalam sesuatu diantara kitab-kitabnya
yang mencakup segala yang ada, seperti Al-Jami’ Ash-
Shoghier wa Ziyadatih dan Al-Jami’ Al-Kabir. Oleh
karena itu, Kanzul Ummal kosong dari hadits itu.
WAllohul Musta’an walaa haula walaa quwwata illa
billah.
Perhatikanlah perbedaan antara As-Suyuthiy dengan Al-
Hafizh Al-Baihaqiy yang telah mendahulukan keimanan
dan pembenaran atas perasaan dan hawa nafsu. Karena,
Al-Baihaqiy tatkala menyebutkan hadits,

ٍ ‫خ ََر ْج ُت ِم ْن ِن َكاح ٍ غَيْ ِر ِس َفاح‬


“Aku keluar (lahir) dari suatu pernikahan, bukan zina”.
[HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (7/190)]
Beliau (Al-Baihaqiy) berkata setelahnya, “Kedua orang
tua beliau (Nabi -Shollalloohu alaihi wa sallam-) adalah
musyrik berdasarkan (hadits) yang telah kami kabarkan”.
Kemudian beliau membawakan hadits Anas ini dan
hadits Abu Hurairah yang telah berlalu tentang ziarahnya
beliau ke kubur ibunya -Shollalloohu alaihi wa sallam-
“. [Lihat Ash-Shohihah (6/180-182) karya Al-Albaniy]

1⃣0 Untuk semakin memperjelas dan memperkuat


poin-poin sebelumnya, maka berikut ini kami
nukilkan perkataan para ulama yang menyatakan

[Date] 133
orang tua Nabi shollalloohu álaihi wa sallam wafat
dalam kondisi musyrik
 Ulama Hanafiyah
Pertama : Perkataan imam Abu Hanifah (wafat 150),

‫أَ َّن َوا ِل َديْ ِه – َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم – َماَتَ عَلَى ْال ُك ْف ِر‬
“Sesungguhnya kedua orang tua Nabi shollalloohu álaihi
wa sallam wafat dalam kekufuran”
Pernyataan Imam Abu Hanifah ini dinukil oleh para
ulama Hanafiyah, sebagaimana yang dibawakan oleh
Ibnu Abidin al-Hanafi, beliau berkata :

– ‫َو َال يُنَا ِفي أَيْضً ا َما قَالَ ُه ْ ِاإل َما ُم ِفي الْ ِف ْق ِه ْ َاأل ْكبَ ِر ِم ْن أَ َّن َوا ِل َديْ ِه‬
‫َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم – َماَتَ عَلَى ْال ُك ْف ِر‬
“Dan hal tersebut tidak menafikan perkataan Imam Abu
Hanifah dalam kitab al-fiqhu al-akbar bahwa kedua
orang tua Nya (Rosululloh) shollalloohu ‘alayhi wa
sallam meninggal di atas kekafiran.” ([Ar-Roddu Al-
Mukhtaar ‘Alaa Durril Mukhtar 3/185])
Hal serupa juga dinukilkan oleh Mula Ali Al-Qāri
tentang perkataan Imam Abu Hanifah:

‫ووالدا رسول الله صلى الله عليه وسلم ماَت على الكفر‬
“Dan kedua orang tua Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa
sallam meninggal di atas kekafiran.” ([Adillatu

[Date] 134
mu’taqodi abi hanifa al-‘azhomfii abawair rosuul
‘alayhis sholaatu was salaam 1/37])
Kedua : Dan Imam Ath-Thohawi (Wafat 321 H),
Dalam kitabnya Syarh Musykil al-Aatsaar beliau
membawakan suatu bab :

‫َِب ُب ب َ َي ِان م ُْش ِك ِل َما ُر ِو َي ع َْن َر ُسولِ الل ِه َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم‬
‫ِفي ِاال ْس ِت ْغ َف ِار ِللْ ُم ْش ِر ِك َين ِم ْن نَهْىيٍ أَ ْو إ َِِب َح ٍة‬
“Bab penjelasan tentang kekurang jelasan apa yang
diriwayatkan dari Rosululloh shollalloohu álaihi wa
sallam tentang memohon ampunan bagi orang-orang
musyrikin antara dilarang dan dibolehkan” (Syarh
Musykil al-Aatsaar 6/279)
Dan Ath-Thohawi berpendapat bahwa boleh memohon
ampunan bagi orang-orang musyrik selama mereka
masih hidup karena masih diharapkan keimanan mereka,
adapun jika mereka telah meninggal maka sudah tidak
bisa lagi diharapkan keimanan mereka maka tidak boleh
lagi memohon ampunan bagi mereka.
At-Thohawi berkata :

،‫َما َك َان ْاإلِي َم ُان َم ْر ُج ًّوا ِمنْه ُْم‬ ‫َو ِفي َذ ِل َك َما يُب ُِيح ِاال ْس ِت ْغ َف َار لَهُ ْم‬
ُ ‫ َو َذ ِل َك َال يَ ُك‬،ُ‫ِمنْه‬
‫ون إ َِّال ب َ ْع َد‬ ‫َو ُم َح َّر ًما َع ْنهُ ْم ب َ ْع َد أَ ْن يُ ْؤي ََس ِمنْهُ ْم‬
‫َم ْو ِته ِْم‬

[Date] 135
“Pada yang demikian itu dalil menunjukan akan
bolehnya beristighfar bagi orang-orang musyrik selama
iman mereka masih diharapkan, dan haram beristighfar
bagi mereka jika putus asa dari keimanan mereka, dan
hal itu tidaklah terjadi kecuali setelah wafatnya mereka”
(Syarh Musykil al-Aatsaar 6/280)
Lalu at-Thohawi menyebutkan tentang hadits-hadits yang
berkaitan dengan larangan istighfar kepada orang-orang
musyrik, diantaranya tentang hadits Ali bin Abi Tholib
yang mengingkari seseorang yang memohon ampunan
kepada kedua orang tuanya yang musyrik, demikian juga
hadits tentang Nabi ingin memohon ampunan bagi Abu
Tholib yang wafat dalam musyrik, dan terakhir beliau
menyebutkan tentang hadits Nabi shollalloohu álaihi wa
sallam menangis karena tidak diizinkan oleh Alloh untuk
memohon ampunan bagi ibunya . Beliau memandang
bahwa ayat 113 dari surat At-Taubah bisa jadi adalah
jawaban dari semua kejadian-kejadian tersebut. Beliau
berkata

ْ‫ غَيْ َر أَن َّ ُه قَد‬،‫ول َما قَدْ تَلَ ْو ََن‬ ُ ‫فَالل ُه أَ ْعلَ ُم ِِب َّلسبَ ِب ال َّ ِذي كَ َان ِفي ِه ُن ُز‬
‫ول َما قَدْ تَلَ ْو ََن ب َ ْع َد أَ ْن َك َان َج ِمي ُع َما َذ َك ْر ََن ِم ْن‬ ُ ‫ون ُن ُز‬ َ ‫ي َ ُجوزُ أَ ْن يَ ُك‬
‫ َو ِم ْن َسبَ ِب عَ ِل ٍّي َر ِض َي الل ُه َع ْن ُه ِفي َما كَ َان َس ِم َع ُه‬،‫َسبَ ِب أَبِىي َطا ِل ٍب‬
‫ َو ِم ْن ِز ََي َر ِة النَّبِىيِّ َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم قَ ْب َر‬،‫ِم َن الْ ُم ْس َت ْغ ِف ِر ِ َألب َ َويْ ِه‬
‫ َو ِم ْن ُس َؤالِ َرب ِّ ِه ع ََّز َو َج َّل ِع ْن َد َذ ِل َك ْ ِاإل ْذ َن لَ ُه ِفي ِاال ْس ِت ْغ َف ِار‬،‫ُأ ِّم ِه‬
.‫ول َما تَلَ ْو ََن َج َو ًاِب ع َْن َذ ِل َك ُكل ِّ ِه‬ ُ ‫ فَ َك َان ُن ُز‬،‫لَهَا‬

[Date] 136
Maka Alloh yang maha tahu dari sebab turunnya dari
yang telah kita baca (ayat at-taubah 113), akan tetapi bisa
jadi sebab turunnya ayat -setelah seluruh yang kami
sebutkan- karena sebab Abu Tholib, bisa juga karena
sebab Ali Bin Abu Tholib ketika mendengar ada orang
yang memohon ampunan untuk kedua orangtuanya, bisa
juga karena sebab ziyaroh Nabi kekuburan ibunya, bisa
juga karena sebab Nabi meminta kepada Alloh ketika
meminta izin untuk memohonkan ampunan kepada
ibunya, maka sebab turun ayat yang kita baca bisa untuk
semua yang kami jawab (sebutkan). ([Syarh Musykil
Atsar 6/285])
Ketiga : As-Sarokhsi (wafat 483 H)
Ketika menjelaskan tentang sahnya pernikahan orang-
orang kafir/musyrik diantara mereka, beliau berkata:

– ‫الص َّح ِة َّإال عَلَى قَ ْولِ َما ِل ٍك‬ ِّ ‫َو ِ َأل ْن ِك َح ِة ْال ُكفَّ ِار ِفي َما بَيْنَه ُْم ُح ْك ُم‬
‫ أَ ْن ِك َح ُتهُ ْم َِب ِطلَ ٌة؛ ِ َأل َّن الْ َج َو َاز ِن ْع َم ٌة‬:‫ول‬
ُ ‫َر ِح َم ُه الل َّ ُه ت َ َعالَى – فَ ِإن َّ ُه ي َ ُق‬
‫ َولَ ِكنَّا ن َ ْس َت ِد ُّل‬،‫َو َك َرا َم ٌة ََث ِب َت ٌة َش ْرعًا َو ْال َكا ِف ُر َال يُ ْج َع ُل أَه ًْال ِل ِمثْ ِل ِه‬
‫ َولَ ْو لَ ْم يَ ُك ْن لَه ُْم ِن َك ٌاح لَ َما‬،}‫ِبقَ ْو ِل ِه ت َ َعالَى َ{وا ْم َرأَت ُ ُه َح َّمالَ َة الْ َح َط ِب‬
‫ َوقَا َل – َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم – « ُو ِلدْ ُت ِم ْن‬،ُ‫َس َّماهَا ا ْم َرأَتَه‬
،»ٍ ‫ َولَ ْم ُأولَدْ ِم ْن ِس َفاح‬،ٍ‫ِن َكاح‬
“Dan pernikahan orang-orang kafir diantara mereka
hukumnya adalah sah, kecuali menurut pendapat Imam
Malik rahimahullah taála. Beliau berpendapat bahwa

[Date] 137
pernikahan mereka (orang-orang kafir) adalah batil (tidak
sah), karena pernikahan adalah kenikmatan dan
kemuliaan yang ditetapkan secara syariát, sementara
orang kafir tidak diperkenankan berhak mendapatkan
semisal kenikmatan dan kemuliaan tersebut. Akan tetapi
kami (madzhab Hanafi) berdalil dengan firman Alloh :

‫َوا ْم َرأَت ُ ُه َح َّمالَ َة الْ َح َط ِب‬


“Dan (begitu pula) istrinya (istri Abu Lahab), pembawa
kayu bakar” (QS Al-Masad : 4)
Kalau bukan karena nikah mereka sah tentu Alloh tidak
akan menamakan wanita itu dengan “istri” Abu Lahab.
Nabi shollalloohu álaihi wa sallam bersabda, “Dan aku
lahir dari pernikahan dan bukan dari perzinahan”…”
([Al-Mabsuuth 4/224 dan lihat juga 30/289])
Perhatikanlah as-Sarokhsi berdalil tentang sahnya
pernikahan orang-orang kafir dengan sahnya pernikahan
Abu Lahab dengan istrinya, dan juga beliau berdalil
dengan lahirnya Nabi dari pernikahan bukan dari
perzinahan. Tentu ini menunjukan bahwa beliau
berpandangan bahwa orang tua Nabi shollalloohu álaihi
wa sallam adalah kafir, jika tidak kafir maka tentu
pendalilannya tidak pas.
Keempat : ‘Ala Ad-Din Al-Kaasani (wafat 587) :

‫ – َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم – « ُو ِلدْ ت ِم ْن ِن َكاح ٍ َولَ ْم‬:ُّ‫َوقَا َل النَّبِىي‬


‫ َوإ ِْن َك َان أَب َ َوا ُه َكا ِف َرْي ِن؛ َو ِ َأل َّن الْقَ ْو َل ِب َف َسا ِد‬،»ٍ ‫ُأولَدْ ِم ْن ِس َفاح‬

[Date] 138
‫الط ْع ُن ِفي ن َ َس ِب َكثِي ٍر ِم ْن‬ ٍ ‫أَ ْن ِك َح ِتهِ ْم يُ َؤدِّي إلَى أَ ْم ٍر قَب‬
َّ ‫ِيح َوه َُو‬
‫؛ ِ َأل َّن َك ِث ًيرا ِمنْه ُْم ُو ِل ُدوا ِم ْن‬- ‫الس َال ُم‬ َّ ‫ْ َاألن ْ ِب َيا ِء – عَلَ ْيهِ ْم‬
َّ ‫الص َال ُة َو‬
،‫أَب َ َو ْي ِن َكا ِف َرْي ِن‬
“Dan Nabi bersabda: “Aku dikahirkan dari pernikahan
dan aku tidak dilahirkan dari perzinaan” ([HR At-
Thobroni di al-Kabiir no 10812, al-Baihaqi di As-Sunan
7/190, dan dinyatakan dhoíf oleh Ibnu Hajar (lihat at-
Talkhiish no 1653)]), walalupun kedua orangtuanya
kafir, karena ucapan rusaknya pernikahan mereka (orang-
orang kafir) menghasilkan perkara yang buruk yaitu
mencela kebanyakan keturunan dari para Nabi ‘alahim
as-shollatu was salam, karena kebanyakan dari mereka
lahir dari kedua orang tua yang kafir. ([Badai’u Ash-
Shonai’ Fii Tartiibi Asy-Syarāi’ 2/272])
Kelima : Jamaluddin Abu Muhammad ‘Ali Bin Abu
Yahya Zakariya Bin Mas’ud Al-Anshory Al-Khozroji
Al-Manbaji (wafat 686), beliau berkata :

‫ َو ِإن ِّي َس َألت‬،‫إِن الْقَبْر ال َّ ِذي َرأَيْ ُت ُموِني ُأ ََن ِجي قبر آ ِمنَة بنت وهب‬
‫ { َما َك َان‬: )‫ فَنزل (عَ ّلي‬،‫االس ِت ْغ َفار لَهَا فَلم ي َ ْأ َذن لي‬
ْ ‫َربِّىي عز َوجل‬
‫ فأخذني َما‬.‫ ْاآليَة‬، }‫للنَّبِىي َوالَّذين آمنُوا أَن ي َْستَ ْغ ِف ُروا للْ ُم ْش ِركين‬
‫ أَال َو ِإن ِّي كنت‬،‫ فَ َذ ِلك ال َّ ِذي أبكاني‬،‫ي َ ْأخُذ الْ َولَد للوالد من الرقة‬

[Date] 139
‫نَهَ ْي ُت ُك ْم عَن ِز ََي َرة الْ ُق ُبور فزوروها فَ ِإنَّهَا تزهد ( ِفي ال ُّدن ْ َيا) وترغب‬
ْ ‫فَد َّل على أَن‬.“ ‫ِفي ْاآل ِخ َرة‬
‫االس ِت ْغ َفار ينفع الْ ُمؤم ِن َين‬
“sesungguhnya kuburan yang kalian melihatku
bermunajat Adalah kuburan Aminah Binti Wahb, dan
sungguh aku meminta Tuhanku Azza wa Jalla untuk
mengampuninya dan aku tidak mendapatkan idzin,
kemudian turun kepadaku sebuah ayat,
“tidak boleh bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
untuk memohonkan ampunan untuk orang-orang
musyrik” (At-Taubah: 113) dan ini menjadikan rasa
lembut sebagaimana lembutnya anak kepada
orangtuanya, dan itulah yang menyebabkan aku
menangis, ketahuilah dulu aku melarang kalian untuk
menziarahi kubur maka kalian ziarahlah karena hal
tersebut menyebabkan kalian zuhud dari dunia dan
memberi semangat di akhirat.
Maka hal ini menunjukkan bahwasanya memohon
ampunan bermanfaat untuk orang-orang yang beriman.
([Al-Lubab Fil Jam’i Baina As-Sunnati Wa Al-Kitab
2/133])
Bisa disimpulkan ketika dilarangnya memohon ampunan
kepada ibunya menunjukkan bahwa ibunya tersebut
bukan termasuk orang-orang yang beriman.
Keenam : Badruddin al-Áini (wafat 855 H).

[Date] 140
Ketika menjelaskan tentang sahnya pernikahan orang-
orang kafir/musyrik diantara mereka, beliau berkata:

‫ فإن‬.‫ إال على قول مالك‬،‫ألن أنكحة الكفار فيما بينهم صحيحة‬
‫ َ{وا ْم َرأَت ُ ُه َح َّمالَ َة‬:‫ ونحن نقول بقوله عز وجل‬،‫أنكحتهم ِبطلة عنده‬
‫ قال – َصلَّى‬.‫ ولو لم يكن لهم نكاح لما سماها امرأته‬،}‫الْ َح َط ِب‬
»‫ «ولدت من نكاح ال من سفاح‬:- ‫الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم‬
“Karena pernikahan orang-orang kafir diantara mereka
adalah sah kecuali pendapat Imam Malik, menurut beliau
pernikahan mereka (orang-orang kafir) tidaklah sah. Dan
Kami (menyatakan sah) berpendapat dengan dalil firman
Alloh :

‫َوا ْم َرأَت ُ ُه َح َّمالَ َة الْ َح َط ِب‬


“Dan (begitu pula) istrinya (istri Abu Lahab), pembawa
kayu bakar” (QS Al-Masad : 4)
Kalau bukan karena nikah mereka sah tentu Alloh tidak
akan menamakan wanita itu dengan “istri” Abu Lahab.
Nabi shollalloohu álaihi wa sallam bersabda, “Dan aku
lahir dari pernikahan dan bukan dari perzinahan”…”
([Al-Binaayah Syarh al-Hidaayah 5/101, lihat pula 7/282
dimana al-Áini kembali lagi berdalil dengan pendalilan
yang sama tentang sahnya pernikahan orang-orang
kafir])

[Date] 141
Perhatikanlah al-Áini berdalil tentang sahnya pernikahan
orang-orang kafir dengan sahnya pernikahan Abu Lahab
dengan istrinya, dan juga beliau berdalil dengan lahirnya
Nabi dari pernikahan bukan dari perzinahan. Tentu ini
menunjukan bahwa beliau berpandangan bahwa orang
tua Nabi shollalloohu álaihi wa sallam adalah kafir, jika
tidak kafir maka tentu pendalilannya tidak pas.
 Ulama Malikiyah
Pertama : Al-Qodhi Íyadh (544 H)

‫ ” فى‬:‫ فقال‬،‫ أين أبىى‬:‫وقوله َصلَّى الل ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم للذى سأله‬
‫ ” َّإن أبىى وأِبكَ فى النار ” من أعظم‬:‫ فلما ق َفا دَعا ُه فقال‬،“ ‫النار‬
‫أخبره بما‬ َ ‫ُح ْسن الخلق والمعاشرة والتسلي ِة؛ ألنه لما‬
َ ‫أخبره بما‬
‫ ليتأسى‬،‫عظم عليه أخبَ َره أن مصيبته بذلك كمصيبته‬ ُ ‫ُأخ ِبر ورآ ُه‬
‫به‬
“Dan sabda Nabi shollalloohu álaihi wa sallam kepada
orang yang bertanya kepada beliau, “Di manakah
ayahku?”, lalu Nabi menjawab, “Di neraka”. Tatkala
orang tersebut balik pergi maka Nabipun memanggilnya
lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di
neraka”, termasuk bentuk teragung dari akhlak yang
mulia, sikap dalam pergaulan, serta pelipur lara (bagi
orang tersebut), karena ketika orang tersebut
mengabarkan kepada Nabi apa yang ia kabarkan, dan
Nabi melihat bahwa musibah tersebut besar bagi orang

[Date] 142
tersebut, maka Nabipun mengabarkan bahwa musibah
beliau sama dengan musibah orang tersebut agar orang
tersebut mencontohi beliau” ([Ikmaalul Mu’lim 1/591])
Kedua : Abul ‘Abbas Al-Qurthubi (wafat 656 H)

‫جبر‬
ٌ )‫ ّإن أبىي وأِبك في النار‬:- ‫و(قوله – عليه الصالة والسالم‬
‫التأسي حتّى تهون عليه مصيبته‬
ّ ‫ وأحاله على‬،‫للرجل م ّما أصابه‬
‫بأبيه… وفائدة الحديث انقطاع الوالية بين المسلم والكافر وإن‬
‫كان قري ًبا حمي ًما‬
Dan sabda Nabi shalAllohu ‘alayhi wa sallam
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka” adalah
penghibur bagi orang tersebut atas musibah yang
dialaminya, dan Nabi mengarahkannya untuk bersabar
hingga musibah orang tersebut tentang ayahnya terasa
lebih ringan baginya…. Dan faidah hadits ini adalah
terputusnya perwalian antara seorang muslim dan kafir
meskipun kerabat dekat” (Al-Mufhim 1/460-461)
Ketiga : Al-Qaraafi (w 684 H) menerangkan:

‫حكاية الخالف في أنه عليه الصالة والسالم كان متعبدا قبل نبوته‬
،‫بشرع من قبله يجب أن يكون مخصوصا ِبلفروع دون األصول‬
،‫فإن قواعد العقائد كان الناس في الجاهلية مكلفين بها إجماعا‬
‫ولذلك انعقد اإلجماع على أن موَتهم في النار يعذبون على‬

[Date] 143
‫ فهو عليه الصالة والسالم متعبد‬،‫ ولوال التكليف لما عذبوا‬،‫كفرهم‬
‫ إنما‬،‫بمعنى مكلف ال مرية فيه‬- ‫بفتح الباء‬- ‫بشرع من قبله‬
‫ فعموم إطالق العلماء مخصوص‬،‫الخالف في الفروع خاصة‬
.‫ِبإلجماع‬
“Penyebutan khilaf tentang Rosululloh shallallāhu
‘alayhi wa sallam sebelum tiba kenabian beliau
beribadah dengan syariat nabi terdahulu maka hal ini
harus dikhususkan dalam furu’ saja bukan ushul. Karena
manusia pada masa jahiliyah dibebani dengan pokok-
pokok aqidah berdasarkan ijma’ ulama, karenanya telah
terjadi ijma’ yang menyatakan bahwa mereka yang
meninggal dunia berada di neraka dan diadzab karena
kekafiran mereka, seandainya tidak ada taklif (beban
syariat) maka mereka diadzab. Maka Rosululloh dibebani
dengan syariat sebelum beliau tanpa ada perselisihan,
yang diperselisihkan hanyalah dalam furu’ saja, maka
keumuman ucapan para ulama dikhususkan dengan
ijma’.” ([Syarh Tanqih Al-Fushul hlm. 297])
Isyarat bahwa kondisi seseorang di masa fatroh di zaman
jahiliyah tidak menjadikan mereka selamat jika mereka
terjerumus dalam kekufuran.
 Ulama Syafi’iyah
Pertama : al-Maawardi (wafat 450 H)
Beliau berdalil tentang sahnya pernikahan orang-orang
kafir dengan sabda Nabi

[Date] 144
»ٍ ‫ َولَ ْم ُأولَدْ ِم ْن ِس َفاح‬،ٍ‫« ُو ِلدْ ُت ِم ْن ِن َكاح‬
“Dan aku lahir dari pernikahan dan bukan dari
perzinahan”
Setelah itu beliau berkata :

‫َو َكان َْت مناكح آِبئه في الشرك تدل على صحتها‬


“Dan pernikahan bapak dan kakek Nabi shollalloohu
álaihi wa sallam dalam kesyirikan menunjukan akan
sahnya pernikahan tersebut” ([Al-Haawi al-Kabiir 9/301,
lihat juga 11/284])
Pendalilan yang sama juga dilakukan oleh para ulama
fikih madzhab Syafií lainnya, diantaranya :
Kedua : Al-Juwaini (wafat 478 H) ([Lihat Nihaayatul
Mathlab fi Dirooyatil Madzhab 12/289])
Ketiga : Abul Husain al-Ímroni al-Yamani (wafat 558
H) ([Lihat Al-Bayaan fi Madzhab al-Imaam Asy-
Syafií 9/329])
Keempat : Ar-Roofií (wafat 623 H) ([Lihat Al-Áziz
Syarh al-Wajiiz 8/97])
Kelima : Ibnu ar-Rifáh (wafat 710 H) ([Lihat
Kifaayatun Nabiih 13/210])
Keenam : Al-Baihaqi (wafat 458 H),
Beliau membawakan bab yang berjudul :

[Date] 145
‫َِب ُب ِذ ْك ِر َوفَا ِة َع ْب ِد الل ِه أَبِىي َر ُسولِ الل ِه َصلَّى الل ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم َو َوفَا ِة‬
‫ُأ ِّم ِه آ ِمنَ َة ِبن ْ ِت َوه ٍْب َو َوفَا ِة َج ِّد ِه َع ْب ِد الْ ُم َّط ِل ِب ْب ِن ه َِاش ٍم‬
“Bab penyebutan tentang wafatnya Abdullah ayah
Rosululloh shollalloohu álaihi wa sallam, wafatnya
ibunya Aminah binti Wahab, dan wafatnya kakeknya
Abdul Muthholib bin Hasyim”.
Setelah itu Al-Baihaqi membawakan hadits-hadits
tentang sabda Nabi “Ayahku dan ayahmu di neraka”, lalu
hadits tentang Nabi menangis karena dilarang
beristighfar untuk ibunya, dan terakhir tentang hadits
perkataan Nabi mengingkari Fatimah radhiAllohu ánhaa
dengan berkata,
ِ ‫لَ ْو بَلَغ ِْت َم َعه ُُم ْال ُك َدى َما َرأَيْ ِت الْ َجنَّ َة َحتَّى يَ َراهَا َج ُّد أَب‬
‫ِيك‬
“Kalau engkau ikut mereka sampai di kuburan maka
engkau tidak akan melihat surga hingga kakek ayahmu
melihat surga”
Setelah itu al-Baihaqi berkata :

‫ون أَب َ َوا ُه َو َج ُّد ُه ِبهَ ِذ ِه‬


ُ ‫ َع ْب ُد الْ ُم َّط ِل ِب ْب ُن ه َِاش ٍم َو َك ْي َف َال يَ ُك‬:‫َج ُّد أَبِيهَا‬
‫ َولَ ْم ي َ ِدي ُنوا ِد َين‬،‫ون الْ َوث ََن َحتَّى َماتُوا‬ َ ‫ َو َكانُوا ي َ ْع ُب ُد‬،‫الص َف ِة ِفي ْاآل ِخ َر ِة‬ ِّ
ِ‫الس َال ُم؟ َوأَ ْم ُره ُْم َال ي َ ْق َد ُح ِفي ن َ َس ِب َر ُسول‬ َّ ‫ِع َيسى ا ْب ِن َم ْري َ َم عَلَ ْي ِه‬
‫الل ِه َصلَّى الل ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم؛ ِ َأل َّن أَ ْن ِك َح َة ْال ُكفَّ ِار َص ِحي َح ٌة‬

[Date] 146
“Kakeek ayahnya adalah ‘Abdul Muttholib bin Hasyim.
Bagaimana tidak kedua orang tua Rosululloh
shollalloohu ‘alayhi wa sallam dan juga kakeknya tidak
dikatakan dengan sifat demikian (ayahnya di neraka,
ibunya tidak boleh dimononkan istighfar, dan kakeknya
tidak melihat surga)? Sedangkan mereka menyembah
berhala sampai mereka meninggal, dan mereka tidak
beragama dengan agama Isa bin Maryam ‘alayhissalam.
Kondisi mereka ini tidaklah menjadikan nasab
Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam tercela karena
pernikahan orang-orang kafir sah” ([Dalail An-
Nubuwwah, Al-Baihaqi, 1/192]).
Al-Baihaqi juga berkata :

‫َوأَب َ َوا ُه َك َاَن م ُْش ِر َك ْي ِن‬


“Kedua orang tua Nabi shollalloohu álaihi wa sallam
musyrik” ([As-Sunan al-Kubro 7/308]).
Lalu al-Baihaqi menyebutkan dalil sabda Nabi “Ayahku
dan ayahmu di neraka”, dan juga hadits tentang Nabi
dilarang memohon ampun untuk ibunya.
Ketujuh : Al-Halimi (wafat 403 H):
Akan tetapi pernyataan beliau tidak tegas dan jelas
terhadap kedua orang tua Nabi shollalloohu álaihi wa
sallam, akan tetapi beliu beliau mengisyaratkan bahwa
orang-orang di zaman Jahiliyah (di masa fatroh)
kemungkinan besar telah mendengar dakwah nabi-nabi
sebelumnya. Beliau membawakan sebuah bab :

[Date] 147
‫َِب ُب الْقَ ْول ِف ْي َم ْن لَ ْم ت َ ْبلُ ْغ ُه ال َّدع َْو ُة‬
“Bab pendapat tentang orang yang tidak sampai dakwah
kepadanya”
Kemudian beliau berkata :

‫ إذا رأى ونظر إال أنه ال يعتقد دينا فهو‬،‫إن كان منهم عاقل مميز‬
‫ فال‬،‫ ألنه وإن لم يكن يسمع دعوة نبينا صلى الله عليه وسلم‬،‫كافر‬
‫شك أنه سمع دعوة أحد األنبياء الذين كانوا قبله صلوات الله عليه‬
‫ ووفور عدد الذين آمنوا بهم‬،‫ وتطاول أزمان دعوتهم‬،‫على كثرتهم‬
‫ وخالفوهم فإن الخبر قد يبلغ على‬،‫ والذين كفروا بهم‬،‫واتبعوهم‬
‫ وإذا سمع أية دعوة كانت إلى الله فترك أن‬،‫لسان الموافق‬
‫ وهو من أهل االس تدالل والنظر كان‬،‫يس تدل بعقله على صحتها‬
.‫بذلك معرضا عن الدعوة فكفر والله أعلم‬
“Jika diantara mereka ada orang yang berakal dan
mumayyiz (bisa membedakan) jika ia mengamati dan
meneliti, hanya saja ia tidak meyakini suatu agama, maka
ia kafir. Karena sesungguhnya meskipun ia tidak
mendengar dakwah Nabi kita shollalloohu ‘alayhi wa
sallam maka tidak diragukan ia pasti telah mendengar
dakwah salah seorang dari nabi-nabi yang sebelum Nabi
shollalloohu ‘alayhi wa sallam karena jumlah nabi-nabi
tersebut banyak, serta lamanya masa dakwah mereka,
demikian juga banyaknya orang-orang yang beriman

[Date] 148
dengan mereka dan mengikuti mereka dan orang-orag
yang kafir kepada mereka dan menyelisihi mereka.
Karena khabar terkadang sampai kepada lisan orang yang
setuju.26 Dan jika ia mendengar tentang dakwah apapun
kepada Alloh lalu ia berdalil dengan akalnya untuk
menilai kebenaran dakwah tersebut, dan dia termasuk
orang yang mampu untuk beristidlal dan mengamati,
maka dengan demikian ia telah berpaling dari dakwah
maka ia telah kafir, wAllohu a’lam” ([al-Minhaaj fi
Syuáb al-Iman 1/175])
Kedelapan : An-Nawawi (wafat 676 H)
Beliau membari judul tentang hadits Nabi “Ayahku dan
ayahmu di neraka” dengan judul :

‫ات عَلَى الْ ُك ْف ِر فَه َُو ِفي النَّ ِار‬


َ ‫ِبب ب َ َي ِان أَ َّن َم ْن َم‬
“Bab penjelasan bahwasanya siapa yang mati dalam
kondisi kafir maka di neraka”.

26
Yang termaktub dalam kitab yang tercetak ‫فإن الخبر قد يبلغ على‬
‫“ لسان الموافق‬Sesungguhnya khabar terkadang sampai melalui lisan
orang yang setuju” (Al-Minhaaj fi Syuáb al-Iman 1/175). Namun
ُ diganti dengan ‫ْال ُم َخالف‬
wAllohu a’lam yang lebih tepat lafal ‫الم َو ِافق‬ ِ
“yang menyelisihi”. Karena maskud al-Halimi rahimahullah yaitu
orang yang hidup di masa fatroh sangat besar kemungkinan telah
sampai khabar tentang dakwah para nabi kepadanya, baik melalui
para pengikut nabi-nabi tersebut atau bisa jadi melalui orang-orang
yang menyelisihi para nabi tersebut yang membicarakan dakwah
para nabi. WAllohu a’lam. As-Sunan al-Kubro 7/308]).

[Date] 149
Setelah itu beliau berkata :

‫ات ِفي الْفَتْ َر ِة عَلَى َما َكان َْت عَلَ ْي ِه الْ َع َر ُب ِم ْن ِع َبا َد ِة‬ َ ‫َو ِفي ِه أَ َّن َم ْن َم‬
‫ْ َاأل ْو ََث ِن فَه َُو ِم ْن أَه ِْل النَّ ِار َولَيْ َس ه ََذا ُم َؤاخ ََذ ٌة قَ ْب َل بُلُوغ ِ ال َّدع َْو ِة‬
‫فَإ َِّن َهؤُ َال ِء َكان َْت قَدْ بَلَغَ ْته ُْم َدع َْو ُة ِإ ْب َرا ِهي َم َوغَيْ ِر ِه ِم َن ْ َاألن ْ ِب َيا ِء‬
‫َصلَ َو ُات الل َّ ِه ت َ َعالَى َو َس َال ُم ُه عَلَ ْيه ِْم‬
“Dan di dalam hadits ini terdapat faedah: bahwa siapa
saja yang meninggal di masa fatroh (kosong dari nabi)
sedang dia berada di atas apa yang orang-orang arab
lakukan, dari menyembah berhala, maka dia termasuk
penduduk neraka. Dan yang demikian tidak termasuk
mengadzab sebelum sampainya dakwah. Karena mereka
itu adalah orang-orang yang telah sampai kepada mereka
dakwah nabi Ibrahim ‘alayhissalam dan para nabi-nabi
yang lainnya semoga shalawat dan salam tercurahkan
kepada mereka semua”. ([Syarh Shohih Muslim,
Annawawi, 3/79])
An-Nawawi juga mengomentari hadits tentang Nabi
dilarang beristighfar kepada ibunya dengan berkata :

‫ورهم ب َ ْعد الْ َوفَاة؛ ِ َألن َّ ُه ِإ َذا‬


ْ ‫ َو ُق ُب‬،‫ِفي ِه َج َواز ِز ََي َرة الْ ُم ْش ِر ِك َين ِفي الْ َح َياة‬
:‫ َوقَدْ قَا َل اللَّه ت َ َعالَى‬،‫َج َاز ْت ِز ََي َر ْتهم ب َ ْعد الْ َوفَاة فَ ِفي الْ َح َياة أَ ْولَى‬
.‫ النَّهْىي ع َْن ِاال ْس ِت ْغ َفار ِل ْل ُكفَّ ِار‬:‫َ{و َصا ِح ْبهُ َما ِفي ال ُّدن ْ َيا َم ْع ُروفًا} َو ِفي ِه‬
“Diantara faidah hadits ini: bolehnya menziarahi orang
musyrik tatkala mereka masih hidup, dan boleh

[Date] 150
menziarahi kuburan mereka setelah mereka meninggal.
Karena jika boleh menziarahi sepeninggal mereka maka
tatkala masih hidup lebih boleh, dan Alloh azza wa jalla
berfirman : (dan bergaullah dengan mereka berdua
(orang tua yang kafir) dengan baik). Dan di antara faidah
hadits ini : dilarangnya memintakan ampun untuk orang
kafir” ([Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim, An-Nawawi,
7/45])
Kesembilan : Adz-Dzahabi (wafat 748 H)
Beliau berkata :

‫ عن ابن عبدالرحمن بن أبىى الزَند‬،‫عبد الوهاب بن موسى‬


‫ ال يدري‬،‫ فآمنت بىى… الحديث‬،‫ إن الله أحيىى لى أمي‬:‫بحديث‬
‫ فإن هذا الحديث كذب مخالف لما صح‬،‫من ذا الحيوان الكذاب‬
.‫أنه عليه السالم اس تأذن ربه في االس تغفار لها فلم يأذن له‬
“Abdul Wahhab bin Musa dari ibnu ‘Abdirrahman bin
Abi Azzinad meriwayatkan hadits: sesungguhnya Alloh
azza wa jalla menghidupkan ibuku untukku, lalu ia
beriman kepadaku….. al hadits.
Tidakkah si hewan pendusta ini tahu?, sesungguhnya
hadits ini adalah dusta yang menyelisihi hadits yang
shohih bahwa Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam
meminta izin kepada Alloh azza wa jalla untuk
memintakan ampun untuk ibunya maka Alloh azza wa
jalla tidak mengizinkannya ([Mizan Al-I’tidal, Adz-
Dzahabi, 2/684]).

[Date] 151
Yaitu Adz-Dzahabi mendustakan hadits ini karena
kontennya menyatakan ibu Nabi beriman, sementara
hadits yang shohih menyatakan ibu Nabi musyrik
sehingga Nabi dilarang memohon ampunan untuknya.
Kesepuluh : Ibnu Katsir (wafat 774 H):

‫وإخباره صلى الله عليه وسلم عن أبويه وجده عبد المطلب بأنهم‬
‫من أهل النار ال ينافي الحديث الوارد عنه من طرق متعددة أن‬
‫أهل الفترة واالطفال والمجانين والصم يمتحنون في العرصات يوم‬
‫ (وما‬:‫ كما بسطناه س ندا ومتنا في تفسيرَن عند قوله تعالى‬،‫القيامة‬
‫كنا معذبين حتى نبعث رسوال) فيكون منهم من يجيب ومنهم من‬
‫ فيكون هؤالء من جملة من ال يجيب فال منافاة ولله‬،‫ال يجيب‬
.‫الحمد والمنة‬
“Adapun pengkhabaran Rosululloh shollalloohu ‘alayhi
wa sallam tentang kedua orang tua beliau dan kakek
beliau ‘Abdul Muttholib, bahwa mereka semua di neraka,
maka tidak ada pertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan dari beberapa jalur bahwa ahlu fatroh dan
anak-anak dan orang gila dan bisu, mereka semua akan
di uji pada hari kiamat, sebagaimana yang sudah kami
paparkan dari segi sanad dan matan dalam kitab tafsir
kami tatkala menafsirkan ayat (dan tidaklah kami
mengadzab suatu kaum sampai kami mengutus kepada
mereka seorang Rosul), maka mereka ada yang
menerima ada yang menolak.

[Date] 152
Dan mereka (orang tua Rosululloh shollalloohu ‘alayhi
wa sallam dan kakek beliau) termasuk orang yang tidak
menerima, maka tidak ada pertentangan alhamdulillah
([Al Bidayah Wa Annihayah, Ibnu Katsir, 2/342]).

]‫وأخبر عنهما أنهما من أهل النار [كما ثبت ذلك في الصحيح‬


“Dan Rosululloh shollalloohun álaihi wa sallam telah
mengkhabarkan telah mengabarkan tentang kedua orang
tua beliau bahwasanya mereka adalah penduduk neraka,
sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits shohih”
([Tafsir Ibnu Katsir, 1/401]).
Kesebelas : Ibnu al-Khothiib al-Yamani (Ibn
Nuuruddiin As-Syafií) wafat 825 H. Beliau berkata :

‫بعث للنبىيِّ – صلى الله‬ َ ‫ َّإن الله س بحانه‬:‫علمت َّأن قو َل َم ْن قا َل‬ َ


ِ ‫ غُلُ ٌّو في‬،‫اإليمان‬
‫الدين‬ ِ ‫ ثم ماَت على‬،‫ فآمنا به‬،‫عليه وسلم – أَ َبويْ ِه‬
‫ أو َش َّك أَ َّن َم ْن‬،‫ فمن َظ َّن‬، ِ‫بغي ِر ال َح ِّق ُم َؤ ٍّد إلى الكف ِر والضالل‬
ٍ‫ ونعو ُذ ِبلل ِه من قول‬،‫ فقد َك َف َر‬،‫مات على ال ُك ْف ِر يَدْ خ ُُل الجن َة‬ َ
‫ أَلَ ْم َير هذا القائِ ُل إلى قَ ْولِ النبىيِّ – صلى الله‬. ٍ‫يؤدِّي إلى ضالل‬
:‫ وقو ِله في ُأ ِّم ِه‬،”‫ “ َّإن أَبىي وأِبكَ في النّار‬:- ‫عليه وسلم‬
‫ واس تأ َذن ْ ُت ُه في أن‬،‫ فلم ي َ ْأ َذ ْن لي‬،‫تغفر لَها‬
َ ‫“ ْاس َت ْأ َذن ُْت َربِّىي أَ ْن أس‬
‫ فلله س بحانه أن يفع َل في‬،‫ أو كما قال‬،”‫ فَ َأ ِذ َن لي‬،‫أزور َقبرها‬ َ
‫كان نبيُّه – صلى الله‬ َ ‫ وإن‬،‫يقضي فيهم ما ير ُيد‬ َ ‫ و‬،‫خل ِقه ما يشا ُء‬

[Date] 153
ُ ‫ فال ي ُْس َأ ُل َع َّما‬،‫ وعز ًيزا لديه‬،‫عند ُه‬
‫ وهم‬،‫يفعل‬ َ ‫عليه وسلم – كري ًما‬
‫يسألون‬
“Engkau mengetahui bahwasanya perkataan orang yang
berkata, “Sesungguhnya Alloh membangkitkan kedua
orang tua Nabi kepada Nabi, lalu mereka berdua beriman
kepadanya, kemudian mereka berdua wafat dalam
kondisi beriman” merupakan sikap berlebih-lebihan
(ekstrim) dalam agama tanpa hak, dan mengantarkan
kepada kekufuran dan kesesatan. Barang siapa yang
menyangka atau ragu bahwa orang yang mati di atas
kekufuran masuk surga maka ia telah kafir, dan kita
berlindung kepada Alloh dari keyakinan yang
mengantarkan kepada kesesatan. Tidakkah orang yang
beperndapat demikian melihat kepada sabda Nabi
shollalloohu álaihi wa sallam, “Sesungguhnya ayahku
dan ayahmu di neraka”, dan sabda Nabi tentang ibunya,
“Aku meminta izin kepada Alloh untuk beristighfar bagi
ibuku namun Alloh tidak mengizinkan aku, dan aku
minta izin untuk menziarahi kuburannya maka Alloh
mengizinkan aku”, atau sebagaimana sabda beliau. Alloh
-yang maha suci- bebas melakukan apa saja pada
makhluqNya yang Dia kehendaki, Dia memutuskan apa
yang Dia kehendaki pada mereka, dan meskipun
NabiNya shollalloohu álaihi wa sallam adalah sangat
mulia di sisiNya maka DIa tidak ditanya tentang apa
yang Dia lakukan, dan merekalah yang akan ditanya”
([Taisiir al-Bayaan li Ahkaamil Qurán 3/382])

[Date] 154
Kedua belas : Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (wafat 852 H)
Adapun Ibnu Hajar, beliau memilih pendapat bahwa Ibu
Nabi wafat dalam kondisi musyrik. Akan tetapi untuk
kakek Nabi dan ayahnya maka Ibnu Hajar tidak
menyatakan mereka wafat dalam kondisi Islam, akan
tetapi beliau memandang bahwa kakek Nabi wafat di
masa fatroh sehingga akan diuji di kemudian hari.
Berikut pernyataan-pernyataan beliau.
Pertama: Adapun tentang Ibu Nabi, maka Ibnu Hajar
membenarkan bahwa salah satu sebab turunnya firman
Alloh :

‫َما َك َان ِللنَّبِىيِّ َوال َّ ِذ َين آ َمنُوا أَ ْن ي َْستَ ْغ ِف ُروا ِللْ ُم ْش ِر ِك َين َولَ ْو كَانُوا ُأو ِلي‬
‫ُق ْربَىى ِم ْن ب َ ْع ِد َما ت َ َبي ََّن لَه ُْم أَنَّهُ ْم أَ ْص َح ُاب الْ َج ِحي ِم‬
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Alloh) bagi orang-
orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni
neraka jahanam” (QS 9 : 113)
adalah tentang tidak dizinkannya Nabi shollalloohu álaihi
wa sallam memohon ampunan bagi ibunya. Berikut
perkataan beliau :

‫ويكون لنزولها سببان متقدم وهو أمر أبىي طالب ومتأخر وهو‬
‫أمر آمنة‬

[Date] 155
“Dan jadinya ada dua sebab turunnya ayat tersebut (QS
At-Taubah : 113), yang satu sudah terdahulu yaitu
tentang Abu Thalib dan yang satunya lagi datang
kemudian yaitu tentang Aminah (ibunda Nabi)” ([Fath
Al-Bari, Ibnu Hajar, 8/508]).
Ini menunjukkan bahwa beliau memilih pendapat bahwa
ibu Nabi wafat dalam kondisi musyrik.
Adapun berkaitan dengan ayah dan kakek Nabi
shollalloohu álaihi wa sallam maka Ibnu Hajar
memandang mereka termasuk ahli fatroh dan akan diuji,
dan beliau berharap mereka lulus dalam ujian tersebut.
(Yaitu beliau tidak memandang mereka wafat dalam
kondisi Islam, karenanya beliau menukil bantahan Ibnu
Katsir terhadap al-Qurthubi, dimana Ibnu Katsir
menjelaskan dhoífnya hadits tentang Nabi menghidupkan
kembali kedua orang tuanya untuk beriman. ([Lihat al-
‘Ujaab fi Bayaan al-Asbaab 1/372]))
Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Ishoobah (tentang biografi
Abu Tholib paman Nabi), beliau membantah periwayatan
Syiáh Rofidhoh yang menyatakan bahwa Abu Tholib
wafat dalam kondisi Islam, demikian juga riwayat yang
menyatakan bahwa Abdul Muttholib kakek Nabi di
surga. Setelah itu beliau berkata :

‫والحديث األخير ورد من عدة طرق في حق الش يخ الهرم ومن‬


‫ ومن ولد مجنوَن أو‬،‫ ومن ولد أكمه أعمى أصم‬،‫مات في الفترة‬
‫طرأ عليه الجنون قبل أن يبلغ ونحو ذلك…وقد جمعت طرقه في‬

[Date] 156
‫ ونحن نرجو أن يدخل عبد المطلب وآل بيته في‬،‫جزء مفرد‬
‫ لكن ورد في أبىي طالب ما يدفع‬،‫جملة من يدخلها طائعا فينجو‬
‫ وهو ما تقدم من آية براءة‬،‫ذلك‬
“Dan hadits yang terakhir (tentang ujian bagi bagi orang
tua dan anak kecil yang wafat sebelum sampai dakwah
kepadanya) telah datang dari banyak jalur yaitu yang
berkaitan dengan orang tua yang pikun, dan orang yang
wafat di masa fatroh serta seseorang yang dilahirkan
dalam kondisi buta dan tuli, dan yang dilahirkan dalam
kondisi gila atau ia ditimpa gila sebelum baligh…dan
aku telah mengumpulkan jalur-jalur periwayatannya di
satu tulisan tersendiri, dan kami berharap bahwasanya
Abdul Muttholib dan ahlu baitnya termasuk dari orang-
orang yang masuk ke dalamnya (ketika diuji Alloh)
dalam kondisi taát lalu selamat. Akan tetapi telah datang
dalil yang menunjukan bahwa Abu Tholib tidak selamat
yaitu ayat 113 dari surat at-Taubah” ([Al-Ishoobah ibnu
hajar 7/201])
Ketiga belas : Al-Biqooí (wafat 885 H):
Setelah beliau menjelaskan tentang hadits-hadits yang
menyebutkan Ámr bin Luhay al-Khuzaí yang divonis
masuk neraka oleh Nabi padahal ia mati di masa fatroh,
maka al-Biqooí berkata :

[Date] 157
،‫فبطل ما يقال من أن أهل الفترة جهلوا جه ًال أسقط عنهم اللوم‬
‫ َي‬:‫ويؤيده ما في الصحيح عن أنس رضي الله عنه أن رج ًال قال‬
‫ إن‬:‫ فلما قفى دعاه فقال‬،‫ «في النار‬:‫رسول الله! أين أبىي؟ قال‬
»‫أبىي وأِبك في النار‬
“Maka batal-lah apa yang dikatakan bahwa ahlul fatroh
jahil (tidak tahu) dengan kejahilan yang menjadikan
mereka tidak tercela. Dan hal ini di dukung dengan yang
ada pada shohih Muslim dari Anas radhiAllohu ánhu
bahwasanya ada seseorang yang berkata, “Wahai
Rosululloh di manakah ayahku?”. Nabi berkata, “Di
neraka”. Tatkala orang itu pergi maka Nabipun
memanggilnya lalu berkata kepadanya, “Sesungguhnya
ayahku dan ayahmu di neraka” ([Nazhm Ad-duror fi
Tanaasub Al-Ayaat Wa as-Suwar 16/332])
 Ulama Hanabilah
Pertama : Abul Mudzoffar yahya bin Hubairoh
(wafat 560 H)
Beliau berkata tentang hadits “Ayahku dan ayahmu di
nerkata” :

‫فلما ولى عنه أراد – صلى الله عليه وسلم – أن يلقنه أن يتأسى‬
‫ وأبىي أَن‬:‫به في الرضا بأمر الله س بحانه عنه في أقضيته فقال له‬
‫ فيكون هذا الجواب كافيًا لكل من يختلج من‬،‫أيضً ا في النار‬

[Date] 158
‫ فإنه لو كان ولد ينفع والدً ا مشركًا لكان‬،‫ذلك في صدره أمر بعده‬
‫ فلما صرح بأن‬،- ‫األولى بذلك رسول الله – صلى الله عليه وسلم‬
.‫أِبه في النار قطع بهذه الكلمة ظنون الظانين إلى يوم القيامة‬
“Tatkala si penanya berpaling maka Nabi shollalloohu
álaihi wa sallam ingin mengajarkan kepadanya agar ia
mencontohi Nabi shollalloohu álaihi wa sallam dalam hal
ridho kepada keputusan Alloh, maka Nabi berkata
kepadanya, “Dan ayahku juga di neraka”. Maka jawaban
ini cukup bagi siapa saja -setelah Nabi- yang di dadanya
ada kegelisahan. Karena jika memang seorang anak bisa
memberi manfaat kepada ayahnya yang musyrik tentu
Nabi shollalloohu álaihiw asallam yang paling utama.
Ketika Nabi menegaskan bahwa ayahnya di nereka maka
perkataan Nabi ini memutuskan persangkaan-
persangkaan orang-orang yang berprasangka hingga hari
kiamat” ([Al-Ifshooh án maáani as-Shihaah 5/355-356])
Kedua : Ibnul Jauzi (wafat 597 H)

‫ات َو َر ُسول الله َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم حمل‬


َ ‫َوأما عبد الله فَ ِإن َّ ُه َم‬
‫ َو َك َذ ِل َك آ ِمنَة َمات َت ولرسول الله َصلَّى‬،‫ات َكا ِف ًرا‬ َ ‫َو َال خالف أَنه َم‬
.‫الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم ِستّ ِسنِين‬
“Abdullah, yakni ayah Nabi shollalloohu ‘alayhi wa
sallam meninggal ketika Nabi shollalloohu ‘alayhi wa
sallam masih dalam kandungan. Dan tidak ada khilaf
(perselisihan) bahwasanya ia (ayah Nabi) mati dalam

[Date] 159
keadaan kafir, begitu juga Aminah meninggal dunia
sedangkan Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam berumur
enam tahun.”
Lalu Ibnul Jauzi menyebutkan hadits tentang Alloh
membangkitkan kembali Aminah lalu Aminah beriman,
hadits tersebut adalah :

‫ول الل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم َح َّج ُة‬ ُ ‫ ” َح َّج ِبنَا َر ُس‬:‫ع َْن عَائِ َش َة قَال َ ْت‬
‫ فَ َب َك ْي ُت‬.‫ون َوه َُو َِب ٍك َح ِز ٌين ُم ْغتَ ٌّم‬ ِ ‫الْ َودَاع ِ فَ َم َّر بِىي عَلَى َعقَبَ ِة الْ َح ُج‬
‫ ََي ُح َميْ ُر‬:‫ ث ُ َّم ِإن َّ ُه نَ َز َل فَقَا َل‬،‫ِل ُب َكا ِء َر ُسولِ الل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه عَلَ ْي ِه َو َسل َّ َم‬
‫ا ْستَ ْم ِس ِكي فَ ْاستَنَدْ ُت ِإلَى َجنْ ِب الْ َب ِعي ِر فَ َمكَ َث َعنِّي َط ِويال ث ُ َّم ِإن َّ ُه‬
‫ فَ ُقلْ ُت لَ ُه ب َِأبِىي أَن َْت َو ُأ ِّمي ََي َر ُسو َل الل َّ ِه‬،‫عَا َد ِإلَى َوه َُو فرج ُم ْبت َ ِس ٌم‬
‫نَ َزلْ َت من ِع ْن ِدي َوأَنت َِب ٍك َح ِزي ٌن ُم ْغ َت ٌّم فَ َبكَ ْي ُت ِل ُب َكائِ َك ث ُ َّم ِإن ََّك‬
‫ُعدْ َت ِإلَ َّي َوأَن َْت فَ ِر ٌح ُم ْبت َ ِس ٌم فَ َع َّم َذا ََي َر ُسو َل الل َّ ِه؟ فَقَا َل َذ َه ْب ُت‬
‫ِلقَبْ ِر أَت َى آ ِمنَ َة فَ َس َألْ ُت الل َّ َه أَ ْن يُ ْح ِي َيهَا فَ َأ ْحيَاهَا فَآ َمنَ ْت بِىي َو َر َّدهَا‬
‫الل َّ ُه عزوجل‬
Dari ‘Aisyah berkata: Kami melaksanakan haji wada’
bersama Rosululloh shollalloohu ‘alayhi wa sallam
melewati ‘aqabah Al-Hajun’ (tempat dimakamkan
ibunda Nabi shallallAllohu ‘alayhi wa sallam) sedangkan
beliau menangis merasakan kesedihan yang berat.
Akupun ikut menangis karenanya, kemudian beliau turun
seraya berkata: Wahai Humairah (‘Aisyah) tunggulah,

[Date] 160
lalu aku bersandar pada sisi unta dan menunggu lama.
Kemudian beliau kembali dalam keadaan tersenyum
gembira. Lantas aku berkata: Demi bapak dan ibuku
sebagai jaminan, engkau turun dalam keadaan menangis
sedih dan aku ikut menangis karenamu, kemudian
engkau kembali dalam keadaan tersenyum gembira, ada
apa wahai Rosululloh? Kemudian beliau bersabda: “Aku
pergi ke tempat dimakamkan Aminah, lalu aku meminta
kepada Alloh agar menghidupkannya, lantas dia
menghidupkannya dan beriman kepadaku, lalu Alloh
mengembalikan Aminah ke kuburannya lagi”.
Setelah itu Ibnul Jauzi mengomentari hadits tersebut
dengan berkata :

‫يث َم ْو ُضو ٌع بِال َش ٍّك َوال َّ ِذي َوضعه قَ ِليل الْ َفهم عديم الْعلم‬ ٌ ‫ه ََذا َح ِد‬
‫ات َكا ِف ًرا َال ي َ ْن َفع ُه أَن يُؤمن بعد‬ َ ‫ِإ ْذ لَو َك َان لَ ُه علم لعلم أَن من َم‬
‫ َويَ ْك ِفي ِفي رد ه ََذا‬،‫ّالر ْج َعة َال بل لَو آمن ِع ْند المعاينة لم ينْتَفع‬
)‫ (فَ َي ُم ْت َوه َُو َكا ِف ٌر‬:‫ال َح ِديث قَ ْوله ت َ َعالَى‬
“Tidak diragukan lagi, ini adalah hadits palsu. Yang
memalsukannya adalah orang yang tidak paham, tidak
memiliki ilmu. Seandainya dia berilmu pasti tahu bahwa
orang yang mati dalam keadaan kafir, imannya sama
sekali tidak bermanfaat ketika dibangkitkan kembali.
Bahkan jika dia beriman ketika dalam kondisi mu’ayanah
(yaitu dalam kondisi sakaratul maut dan telah melihat
malaikat-pen) maka imannnya tidaklah bermanfaat.
Cukuplah hadits palsu ini dibantah dengan firman Alloh

[Date] 161
‫فَ َي ُم ْت َوه َُو َكا ِف ٌر فَ ُأولَ ِئ َك َحب َِط ْت أَ ْع َمالُهُ ْم ِفي ال ُّدن ْ َيا َو ْاآل ِخ َر ِة‬
َ ‫َو ُأولَ ِئ َك أَ ْص َح ُاب النَّ ِار ه ُْم ِفيهَا خَا ِل ُد‬
‫ون‬
Lalu dia meninggal dalam keadaan kafir, maka amal-
amalnya di dunia dan akhirat akan tertutup. Mereka
itulah penduduk neraka sedangkan mereka kekal di
dalamnya. (Al-Baqarah: 217)” ([Al-Maudhuáat 1/283]).
Ketiga : Najmuddin, Sulaiman bin Abdil Qowiy
(wafat 716 H)
Setelah menyebutkan tentang hadits tentang kedua orang
tua nabi musyrik, maka beliau berkata :

‫ كان‬-‫ صلوات الله عليه‬-‫ فإن إبراهيم الخليل‬،‫وال محذور في هذا‬


‫ وألن من قاعدة اإلسالم وغيره من األدَين أن الكفار‬،‫أبوه كافرا‬
‫ وأبوا النبىي كاَن كافرين فحكم لهما بحكم الله فيهما‬،‫في النار‬
“Tidak ada pelanggaran syariát dalam hal ini, karena
ayah Nabi Ibrahim ‘alayhissalam adalah kafir. Dan
karena dalam kaidah agama islam bahwa orang kafir di
dalam neraka. Kedua orang tua Nabi shollalloohu ‘alayhi
wa sallam kafir maka keduanya dihukumi sesuai dengan
hukum Alloh” ([al-Intishooroot al-Islaamiyyah fi kasyf
Syubahi an-Nashroniyah 2/714])
Keempat : Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H)
Ibnu Taimiyyah ditanya tentang hadits Sesungguhnya
Alloh tabaaraka wa ta’ala menghidupkan kedua orang tua

[Date] 162
Nabi kemudian memeluk agama islam karenanya,
kemudian meninggal dunia setalah itu. Beliau menjawab
:

‫يث؛ ب َ ْل أَه ُْل الْ َم ْع ِرفَ ِة‬ ِ ‫لَ ْم ي َ ِص َّح َذ ِل َك ع َْن أَ َح ٍد ِم ْن أَه ِْل الْ َح ِد‬
‫ون عَلَى أَ َّن َذ ِل َك َك ِذ ٌب ُمخْ َتلَقٌ َوإ ِْن َك َان قَدْ َر َوى ِفي َذ ِل َك‬ َ ‫ُمتَّ ِف ُق‬
” ‫الساب ِِق َو َّالال ِح ِق‬ َّ ” ‫يب – ِفي ِكتَا ِب ِه‬ َ ‫أَبُو بَ ْك ٍر – ي َ ْع ِني الْخ َِط‬
‫الس َير ِة ” ِبإ ِْسنَا ِد ِفي ِه‬ ِّ ِ ‫َو َذ َك َر ُه أَبُو الْقَ ِاس ِم السهيلي ِفي ” َش ْرح‬
‫يل َو َذ َك َر ُه أَبُو َع ْب ِد الل َّ ِه الْ ُق ْر ُطبِىيُّ ِفي ” التَّ ْذ ِك َر ِة ” َوأَ ْمث َالِ َه ِذ ِه‬ ُ ‫َم َجا ِه‬
‫ات َك ِذ ًِب‬ ِ َ‫الْ َم َو ِاضع ِ فَ َال ِن َزا َع بَيْ َن أَه ِْل الْ َم ْع ِرفَ ِة أَن َّ ُه ِم ْن أَ ْظهَر الْ َم ْو ُضوع‬
‫َك َما ن ََّص عَلَ ْي ِه أَه ُْل الْ ِعلْ ِم‬
“Hadits tersebut tidak seorangpun ahli hadits yang
menshohihkannya. Bahkan mereka sepakat bahwa hadits
tersebut bohong dan dibuat-buat, meskipun Al-Khathib
Abu Bakar dalam kitabnya ‘As-Sabiq Wa Al-Lahiq’, dan
disebutkan oleh Abu Al-Qashim As-Suhailiy di dalam
‘Syarhu As-Sirah’ dengan sanad yang banyak para
perawi majhulnya, dan disebutkan pula oleh Al-
Qurthubiy menyebutkan semua hadits palsu ini di dalam
‘At-Tadzkirah’, dan semisal buku-buku seperti ini, maka
tidak ada perselisihan pada ahli ilmu bahwa hadits ini
merupakan hadits yang paling nyata kepalsuan dan
kebohongannya sebagaimana dinyatakan oleh para
ulama.

[Date] 163
‫الص ِحي ِح َو َال‬ َّ ‫يث؛ َال ِفي‬ ِ ‫َولَيْ َس َذ ِل َك ِفي ْال ُك ُت ِب الْ ُم ْعتَ َم َد ِة ِفي الْ َح ِد‬
‫يث‬ ِ ‫السن َ ِن َو َال ِفي الْ َم َسا ِني ِد َون َ ْح ِو َذ ِل َك ِم ْن ُك ُت ِب الْ َح ِد‬ ُّ ‫ِفي‬
ْ‫الْ َم ْع ُروفَ ِة َو َال َذ َك َر ُه أَه ُْل ُك ُت ِب الْ َمغ َِازي َوالتَّ ْف ِسي ِر َوإ ِْن َكانُوا قَد‬
‫ ِ َأل َّن ُظه َُور َك ِذ ِب َذ ِل َك َال ي َ ْخ َفى عَلَى‬.‫الص ِحي ِح‬ َّ ‫ون الضَّ ِع َيف َم َع‬ َ ‫يَ ْر ُو‬
‫ُمتَ َديِّ ٍن فَإ َِّن ِمثْ َل ه ََذا لَ ْو َوقَ َع لَ َك َان ِم َّما تَتَ َوافَ ُر الْهِ َم ُم َوال َّد َوا ِعي عَلَى‬
‫ ِم ْن ِجهَ ِة ْإح َيا ِء‬:‫ن َ ْق ِل ِه فَ ِإن َّ ُه ِم ْن أَع َْظ ِم ْ ُاأل ُم ِور خ َْرقًا ِللْ َعا َد ِة ِم ْن َو ْجهَيْ ِن‬
‫ َو ِم ْن ِجهَ ِة ْاإلِي َم ِان ب َ ْع َد الْ َم ْو ِت‬:‫الْ َم ْوت َى‬
Hadits ini juga sama sekali tidak disebutkan di dalam
kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan. Tidak dalam
Shohihain, Kutubus Sittah, Kitab-kitab Musnad dan
kitab-kitab hadits yang dikenal. Tidak juga disebutkan
oleh para penulis buku-buku sirah Nabi dan juga para
penulis tafsir padahal mereka juga terkadang
meriwayatkan hadits yang dhaíf. Hal ini karena
kedustaannya sangat nampak dan tidak samar bagi orang
yang beragama. Karena khabar seperti ini kalau benar
terjadi tentu orang-orang termotivai untuk
meriwayatkannya, karena ini termasuk mukjizat yang
terbesar dari dua sisi, (1) dari sisi menghidupkan mayat,
dan (2) dari sisi bisa beriman setelah kematian”
([Majmu’ al-Fatawa 4/324-325, setelah itu Ibnu
Taimiyyah menyebutkan hadits-hadits yang menjelaskan
bahwa kedua orang tua Nabi wafat dalam kondisi
syirik]).

[Date] 164
‫)‪Kelima : Ibnul Qoyyim (wafat 751 H‬‬
‫‪Beliau berkata :‬‬

‫َوقَ ْولُ ُه ( « َح ْيثُ َما َم َر ْر َت ِبقَ ْب ِر َكا ِف ٍر فَ ُق ْل أَ ْر َسلَ ِني ِإلَ ْي َك ُم َح َّم ٌد» )…‬
‫ات قَ ْب َل‬ ‫ات م ُْش ِركًا فَه َُو ِفي النَّ ِار‪َ ،‬وإ ِْن َم َ‬ ‫َد ِلي ٌل عَلَى أَ َّن َم ْن َم َ‬
‫الْ ِب ْعثَ ِة؛ ِ َأل َّن الْ ُم ْش ِر ِك َين َكانُوا قَدْ غَي َُّروا الْ َح ِني ِفيَّ َة ِد َين ِإ ْب َرا ِهي َم‬
‫الش ْركَ َو ْارتَ َك ُبو ُه‪َ ،‬ولَيْ َس َم َعه ُْم ُح َّج ٌة ِم َن الل َّ ِه ِب ِه‪،‬‬ ‫َو ْاست َ ْب َدلُوا ِبهَا ِّ‬
‫َو ُق ْب ُح ُه َوالْ َو ِع ُيد عَلَ ْي ِه ِِبلنَّ ِار لَ ْم يَ َز ْل َم ْعلُو ًما ِم ْن ِد ِين ُّالر ُس ِل ُكلِّه ِْم ِم ْن‬
‫أَ َّو ِله ِْم ِإلَى آ ِخ ِر ِه ْم‪َ ،‬وأَ ْخ َب ُار ُع ُق َوِب ِت الل َّ ِه ِ َأل ْه ِل ِه ُمتَ َد َاولَ ٌة ب َ ْي َن ْ ُاأل َم ِم‬
‫قَ ْر ًَن ب َ ْع َد قَ ْر ٍن‪ ،‬فَ ِلل َّ ِه الْ ُح َّج ُة الْ َبا ِلغ َُة عَلَى الْ ُم ْش ِر ِك َين ِفي ُك ِّل َو ْق ٍت‪،‬‬
‫َولَ ْو لَ ْم يَ ُك ْن إ َِّال َما فَ َط َر ِع َبا َد ُه عَلَ ْي ِه ِم ْن ت َْو ِحي ِد ُربُو ِبي َّ ِت ِه الْ ُم ْستَلْ ِز ِم‬
‫ون َم َع ُه‬ ‫يل ِفي ُك ِّل ِف ْط َر ٍة َو َع ْق ٍل أَ ْن يَ ُك َ‬ ‫ِلتَ ْو ِحي ِد ِإلَهِيَّ ِت ِه‪َ ،‬وأَن َّ ُه ي َْستَ ِح ُ‬
‫ِإلَ ٌه آخ َُر‪َ ،‬وإ ِْن َك َان ُس ْب َحان َ ُه َال يُ َع ِّذ ُب ِب ُم ْقتَضَ ى َه ِذ ِه الْ ِف ْط َر ِة َو ْح َدهَا‪،‬‬
‫فَلَ ْم تَ َز ْل َدع َْو ُة ُّالر ُس ِل ِإلَى التَّ ْو ِحي ِد ِفي ْ َاأل ْر ِض َم ْعلُو َم ًة ِ َأل ْه ِلهَا‪،‬‬
‫فَالْ ُم ْش ِركُ ي َْستَ ِح ُّق الْ َع َذ َاب ِب ُمخَالَ َف ِت ِه َدع َْو َة ُّالر ُس ِل َوالل َّ ُه أَ ْعلَ ُم‪.‬‬
‫‪“Dan sabda beliau: “Setiap kali engkau melewati‬‬
‫‪kuburan orang kafir, maka katakanlah Muhammad‬‬
‫‪mengutusku kepadamu”… dalil bahwa siapa saja yang‬‬
‫‪mati dalam keadaan musyrik maka ia di neraka,‬‬
‫‪meskipun ia mati sebelum diangkat Rosululloh‬‬
‫‪shollalloohu ‘alayhi wa sallam menjadi nabi. Karena‬‬

‫]‪[Date‬‬ ‫‪165‬‬
orang-orang musyrik sejatinya mereka itu merubah
agama yang lurus, agama Ibrahim ‘alayhissalam, dan
mereka menggantinya dengan kesyirikan dan mereka
melanggarnya, dan tidak ada alasan bagi mereka
dihadapan Alloh dengannya. Buruknya kesyirikan dan
ancaman akan adzab neraka atas kesyirikan senantiasa
diketahui dari agama-agama para Rosul semuanya dari
awal sampai akhir. Dan adalah cerita-cerita adzab Alloh
atas pelaku kesyirikan tersebar dan masyhur di kalangan
semua ummat pada setiap zamannya. Maka dari itu
sungguh telah tegak hujjah Alloh yang nyata bagi orang-
orang musyrik setiap waktu. Kalaupun seandainya tidak
ada hujjah kecuali apa yang Alloh fitrahkan kepada
hambanya dari tauhid rububiyyahnya yang
mengharuskan mentauhidkan Alloh pada tauhid
uluhiyyahnya, dan dikarenakan mustahil menurut fitrah
dan akal yang bersih bahwa ada tuhan selain Alloh.
Meskipun Alloh ‘Azza wa Jalla tidak mengadzab dengan
konseksuensi dari fitrah ini semata, akan tetapi dakwah
para Rosul untuk mentauhidkan Alloh ‘Azza wa Jalla
benar-benar diketahui oleh penduduk bumi, dan orang
yang musyrik itu diadzab karena ia menyelisihi dakwah
Rosul” ([Zad Al Ma’ad, Ibnu Al Qoyyim, 3/599])
Keenam : Ibnu ‘Adil, wafat 775 H,
Beliau berkata :

ِّ ‫ كان ابنه حقيقة‬:‫اختلفوا في أنه هل كان ابناً له؟ فقيل‬


‫لنص‬
ُ ،‫القرآن‬
‫ فأطلق عليه اسم االبن‬،‫وصرف هذا اللفظ إلى أن َّ ُه رِبه‬

[Date] 166
‫ صرف للكالم عن حقيقته إلى مجازه من غير‬،‫السبب‬ َّ ‫لهذا‬
‫الظاهر إن َّما خالف ُه استبعاداً ألن يكون ولد‬
َّ ‫المخالف لهذا‬ ُ ‫ و‬،‫ضرورة‬
ِّ ‫ وهذا ليس ببعيد؛ فإن َّه قد ثبت‬،ً‫الرسول كافرا‬
‫بنص القرآن َّأن‬
‫ فكذلك ههنا‬،ً‫الس َالم ُ – كان كافرا‬ َّ ‫الص َالة َو‬
َّ ‫والد الرسول – عَلَ ْي ِه‬
“Para ulama berselisih tentang apakah yang tenggelam
itu adalah anaknya Nabi Nuh?. Dikatakan itu adalah
benar-benar putranya nabi Nuh berdasarkan nash al-
Qurán. Dan memalingkan lafal (yang jelas) ini kepada
“anak didikan” (bukan anak asli)…merupakan
pemalingan dari makna hakiki kepada makna majaz
tanpa ada darurat. Dan yang menyelisihi dzhahir ayat ini
hanyalah menyelisihinya karena memandang tidak
mungkin anak seorang Rosul adalah kafir. Namun hal ini
tidaklah mustahil, karena telah valid bahwa orang tua
Rosululloh adalah kafir ([Mungkin maksud beliau ibunda
Nabi shollalloohu álaihi wa sallam kafir berdasarkan QS
at-Taubah ayat 113, sebagaimana telah lalu]), maka
demikian pula di sini” ([Al-Lubab fii ‘Uluumil Kitab
10/494])
Selain itu banyak ulama fikih Hanbali yang berdalil
tentang sahnya pernikahan orang kafir dengan sabda
Nabi shollalloohu álaihi wa sallam

»ٍ ‫ َولَ ْم ُأولَدْ ِم ْن ِس َفاح‬،ٍ‫« ُو ِلدْ ُت ِم ْن ِن َكاح‬

[Date] 167
“Dan aku lahir dari pernikahan dan bukan dari
perzinahan”
Tentu ini menunjukan bahwa mereka (para ulama fikih
Hanbali) berpandangan bahwa orang tua Nabi
shollalloohu álaihi wa sallam adalah kafir, jika tidak kafir
maka tentu pendalilannya tidak pas. Diantara para ulama
fikih Hanbali tersebut adalah ;
Ketujuh : Abu Ali al-Hasyimi al-Baghdaadi (wafat
428 H) ([Lihat al-Irsyaad ilaa Sabiil ar-Rosyaad hal
285])
Kedelapan : Abu Muhammad, Ibnu Qudamah (wafat
620 H) ([Lihat al-Mughni 7/172])
Kesembilan : Abul Faroj Ibnu Qudamah (wafat 682
H) ([Lihat Asy-Syarh al-Kabiir 7/587])
Kesepuluh : Burhaanuddin, Ibnu Muflih (wafat 884
H) ([Lihat al-Mubdi’ fi Syarh al-Muqni’ 6/176])
 Ulama Hadits
Pertama : Ibnu Majah (wafat 273 H),
Dalam kitabnya “as-Sunan” beliau membawakan hadits
Nabi menziarahi kuburan ibunya no 1572 dalam bab ‫َِب ُب‬
‫ َما َجا َء ِفي ِز ََي َر ِة ُق ُب ِور الْ ُم ْش ِر ِك َين‬: “Tentang menziarahi kuburan
orang-orang musyrik”
Kedua : An-Nasaí (wafat 303 H)

[Date] 168
Dalam kitab al-Mujtaba dan as-Sunan al-Kubro, beliau
memberi judul tentang hadits Nabi menziarahi kuburan
ibunya dengan judul : ‫“ ِز ََي َر ُة قَبْ ِر الْ ُم ْش ِر ِك‬Ziarah kuburan
orang musyrik”
 Ulama Tafsir
Adapun para ahli tafsir yang berpendapat orang tua nabi
meninggal dalam kondisi musyrik sangatlah banyak.
Silahkan merujuk perkataan mereka ketika menafsirkan
firman Alloh :

‫َما َك َان ِللنَّبِىيِّ َوال َّ ِذ َين آ َمنُوا أَ ْن ي َْستَ ْغ ِف ُروا ِللْ ُم ْش ِر ِك َين َولَ ْو كَانُوا ُأو ِلي‬
‫ُق ْربَىى ِم ْن ب َ ْع ِد َما ت َ َبي ََّن لَه ُْم أَنَّهُ ْم أَ ْص َح ُاب الْ َج ِحي ِم‬
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Alloh) bagi orang-
orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni
neraka jahanam” (QS at-Taubah : 113)
Mereka semua menyebutkan sebab nuzul ayat ini adalah
tentang Nabi tidak diizinkan untuk memohon ampunan
bagi ibunya. Hal ini karena ibunda beliau wafat dalam
kondisi musyrik.
Para ahli tafsir tersebut :
• Muqotil bin Sulaiman 150 H (Tafsir Muqotil bin
Sulaiman 2/199)

[Date] 169
• At-Thobari 310 H (Tafsir at-Thobari 14/512 dan
2/560)
• Abu al-Laits As-Samarqondi 373 H (Barul Úluum
2/91)
• Abu Ishaaq ats-Tsa’labi 427 H (al-Kasy wa al-Bayaan
án Tafsiir al-Qurán 5/100-101)
• Abu Muhammad al-Andalusi Al-Qurthubi 437 H (al-
Hidaayah ilaa Buluug an-Nihaayah 4/3171-3172)
• Al-Mawardi 450 H (An-Nukat wa al-Úyuun 2/409)
• Al-Wahidi 468 H (Al-Wasiith fi tafsiir al-Qur’an al-
Majiid 2/528)
• Abul Mudzoffar as-Samáani 489 H (Tafsiir al-Qurán
2/352-353)
• Al-Baghowi 510 H (Maáalim at-Tanziil fi Tafsiir al-
Qurán 2/394)
• Az-Zamakhsyari 538 H (Al-Kassyaaf 2/315)
• Ibnu Áthiyyah 542 H (Al-Muharror al-Wajiiz 3/90)
• Ibnul Árobi 543 H (Ahkamul Qurán 2/592)
• Fakhr ar-Raazi 606 H (Mafaatiih al-Ghoib / at-Tafsiir
al-Kabiir 17/350)
• Al-Baidhowi 685 H (Anwaar at-Tanziil wa Asroor at-
Ta’wiil 3/99)

[Date] 170
• Abu Hayyaan al-Andalusi 745 H (al-Bahr al-Muhiith
5/512)
• Ibnu Katsir 774 H (Tafsiir al-Qurán al-Ádziim 4/222)
• Abu Hafsh Ali bin ‘Adil Al-Hanbali 775 H ( Al-Lubab
fii ‘Uluumil Kitab 10/494)
• Nidzoomuddin an-Naisaaburi 850 H (Ghoroibul Qurán
wa Roghoibul Furqon 3/538)
Alhamdulillaah, demikianlah pembahasan kita ini, kami
cukupkan sampai di sini. Semoga bermanfaat,
baarokalloohu fiikum...

[Date] 171

Anda mungkin juga menyukai