Anda di halaman 1dari 5

Di antara konsekuensi dari tauhid atau syahadat 

laa ilaaha illallah adalah adanya cinta dan


loyalitas kepada orang-orang mukmin, dan berlepas diri dari orang-orang kafir. Ini di antara
prinsip yang wajib dimiliki oleh seorang mukmin, yaitu aqidah al-wala’ wal bara’. Sayangnya,
aqidah ini dianggap aqidah usang dan aqidah yang asing alias tidak dikenal di kalangan umat
Islam, seiring dengan semakin jauhnya mereka dari agama.

Pengertian al-wala’ wal bara’


Secara bahasa, al-wala’ berarti “mencintai, membela, dan dekat”. Dari sini, terdapat istilah al-
wali,  yang secara bahasa berarti orang yang dicintai, kawan (sahabat) atau penolong (pembela),
yaitu lawan dari “musuh” (al-‘aduww).
Secara istilah, al-wala’ artinya mencintai orang-orang beriman karena keimanan mereka, dalam
bentuk membela, menolong, memberikan nasihat, memberikan loyalitas, berkasih sayang, dan
berbagai hak-hak orang-orang beriman (hak-hak persaudaraan) lainnya yang wajib kita tunaikan.
Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ِإ َّن َما ْالمُْؤ ِم ُن‬


ٌ‫ون ِإ ْخ َوة‬
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10)

َ ‫ض َيْأ ُمر‬
ِ‫ُون ِب ْال َمعْ رُوف‬ ٍ ْ‫ض ُه ْم َأ ْولِ َيا ُء َبع‬ ُ ْ‫ات َبع‬ ُ ‫ون َو ْالمُْؤ ِم َن‬ َ ‫َو ْالمُْؤ ِم ُن‬
َ ‫ُون هَّللا‬ َّ ‫ون‬
َ ‫الز َكا َة َويُطِ يع‬ َ ‫صاَل َة َويُْؤ ُت‬ َّ ‫ُون ال‬ َ ‫َو َي ْن َه ْو َن َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َو ُيقِيم‬
َ ‫َو َرسُو َل ُه ُأو َل‬
‫ِئك َس َيرْ َح ُم ُه ُم هَّللا ُ ِإنَّ هَّللا َ َع ِزي ٌز َحكِي ٌم‬
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali
(penolong) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-
Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)
Sedangkan al-bara’,  secara bahasa berarti “menjauh dari sesuatu, memisahkan diri darinya, dan
berlepas diri”.
Secara istilah, al-bara’ berarti tidak memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Allah Ta’ala,
baik orang-orang munafik atau orang kafir secara umum, menjauhi mereka, dan memerangi
mereka ketika orang-orang kafir tersebut memerangi kaum muslimin, sesuai dengan
kemampuan kita.
Allah Ta’ala berfirman,

‫ِين َآ َم ُنوا اَل َت َّتخ ُِذوا َآ َبا َء ُك ْم َوِإ ْخ َوا َن ُك ْم َأ ْولِ َيا َء ِإ ِن اسْ َت َحبُّوا ْال ُك ْف َر‬
َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
‫ُون‬
_َ ‫الظالِم‬َّ ‫ك ُه ُم‬ َ ‫ان َو َمنْ َي َت َولَّ ُه ْم ِم ْن ُك ْم َفُأو َلِئ‬ِ ‫َع َلى اِإْلي َم‬
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-
saudaramu menjadi wali (kekasih), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan
siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 23)

‫ون َمنْ َحا َّد هَّللا َ َو َرسُو َل ُه‬َ ‫ون ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو ِم اَآْلخ ِِر ي َُوا ُّد‬ َ ‫اَل َت ِج ُد َق ْومًا يُْؤ ِم ُن‬
َ ِ‫َو َل ْو َكا ُنوا َآ َبا َء ُه ْم َأ ْو َأ ْب َنا َء ُه ْم َأ ْو ِإ ْخ َوا َن ُه ْم َأ ْو َعش‬
‫ير َت ُه ْم‬
”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga meraka.” (QS. Al-
Mujadilah [58]: 22)

‫ِين آ َم ُنوا اَل َت َّتخ ُِذوا َع ُدوِّ ي َو َع ُدوَّ ُك ْم َأ ْولِ َيا َء‬
_َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia.“ (QS. Al-Mumtahanah [60]: 1)

‫ِين َم َع ُه ِإ ْذ َقالُوا لِ َق ْوم ِِه ْم ِإ َّنا‬ َ ‫ت َل ُك ْم ُأسْ َوةٌ َح َس َن ٌة فِي ِإب َْراهِي َم َوالَّذ‬ ْ ‫َق ْد َكا َن‬
‫ون هَّللا ِ َك َفرْ َنا ِب ُك ْم َو َبدَا َب ْي َن َنا_ َو َب ْي َن ُك ُم‬
ِ ‫ون ِمنْ ُد‬ َ ‫ب َُرآ ُء ِم ْن ُك ْم َو ِممَّا َتعْ ُب ُد‬
‫ضا ُء َأ َب ًدا َح َّتى ُتْؤ ِم ُنوا ِباهَّلل ِ َوحْ َدهُ ِإاَّل َق ْو َل ِإب َْراهِي َم َأِل ِبي ِه‬ َ ‫دَاوةُ َو ْال َب ْغ‬ َ ‫ْال َع‬
َ ‫ْك َت َو َّك ْل َنا َوِإ َل ْي‬
‫ك‬ _َ ‫ك م َِن هَّللا ِ ِمنْ َشيْ ٍء َر َّب َنا َع َلي‬ َ ‫ك َل‬ ُ ِ‫ك َو َما َأ ْمل‬ َ ‫َأَلسْ َت ْغف َِرنَّ َل‬
‫ْك ْال َمصِ ي ُر‬ َ ‫َأ َن ْب َنا_ َوِإ َلي‬
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya kami
berlepas diri darimu dan dari semua yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu
dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja.” Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, “Sesungguhnya
aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari
kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami
bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami
kembali.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah Ta’ala melarang kita untuk memberikan loyalitas kepada orang
kafir secara umum. Kemudian Allah Ta’ala tegaskan lagi di ayat yang lain adanya larangan untuk
memberikan loyalitas kepada orang Yahudi dan Nasrani secara khusus. Allah Ta’ala berfirman,

‫ض ُه ْم َأ ْولِيا ُء‬
ُ ْ‫ِين آ َم ُنوا ال َت َّتخ ُِذوا ْال َيهُو َد َوال َّنصارى َأ ْولِيا َء َبع‬ َ ‫يا َأ ُّي َها الَّذ‬
‫ِين‬
َ ‫الظالِم‬ َّ ‫ض َو َمنْ َي َت َولَّ ُه ْم ِم ْن ُك ْم َفِإ َّن ُه ِم ْن ُه ْم ِإنَّ هَّللا َ ال َي ْهدِي ْال َق ْو َم‬ ٍ ْ‫َبع‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51)

Hukum beraqidah al-wala’ wal bara’


Berdasarkan berbagai ayat di atas, tidak diragukan lagi bahwa aqidah al-wala’ wal bara’  adalah
di antara aqidah yang wajib dimiliki oleh setiap muslim. Bahkan aqidah al-wala’ wal
bara’ termasuk di antara pondasi penting dalam kita beragama dan termasuk di antara prinsip-
prinsip agama yang sangat agung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫أوثق عري اإليمان المواالة في هللا و المعاداة في هللا و الحب في هللا‬


‫و البغض في هللا‬
“Ikatan iman yang paling kuat adalah memberikan loyalitas karena Allah, memberikan sikap
permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah.” (HR. Al-
Baghawi dalam Syarhus Sunnah,  3: 429; dinilai hasan  oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 998)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ون هَّللا ُ َو َرسُولُ ُه َأ َحبَّ ِإ َل ْي ِه‬


َ ‫ َأنْ َي ُك‬:‫ان‬ ٌ َ‫َثال‬
ِ ‫ث َمنْ ُكنَّ فِي ِه َو َجدَ َحالَ َو َة اِإلي َم‬
‫ َوَأنْ َي ْك َر َه َأنْ َيعُودَ فِي‬،ِ ‫ َوَأنْ ُيحِبَّ ال َمرْ َء الَ ُي ِح ُّب ُه ِإاَّل هَّلِل‬،‫ِممَّا سِ َوا ُه َما‬
ِ ‫ف فِي ال َّن‬
‫ار‬ َ ‫ال ُك ْف ِر َك َما َي ْك َرهُ َأنْ ُي ْق َذ‬
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang ketiganya ada pada dirinya niscaya dia akan merasakan
manisnya iman: (1) barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala
sesuatu selain keduanya, (2) barangsiapa yang mencintai seorang hamba dan tidaklah dia
mencintainya kecuali karena Allah, dan (3) barangsiapa yang benci kembali kepada kekafiran
setelah Allah menyelamatkan dirinya dari kekafiran itu sebagaimana dia tidak suka dilemparkan
ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

Kepada siapakah kita bersikap al-wala’ atau al-


bara’
Dilihat dari sisi al-wala’dan al-bara’,  terdapat tiga jenis golongan manusia, yaitu:
Pertama, adalah orang-orang yang wajib kita cintai secara mutlak, tidak boleh kita benci (rasa
tidak suka) sama sekali. Mereka adalah orang-orang beriman dari kalangan para Nabi, para
shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para ulama, dan orang-orang shalih secara umum. Yang
paling utama di antara mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Kecintaan kita
kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  haruslah lebih besar daripada kecintaan kita kepada
anak atau orang tua kita, bahkan diri kita sendiri.
Kedua, adalah orang-orang yang tidak boleh bagi kita untuk memberikan rasa cinta dan loyalitas
secara mutlak. Mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang
munafik. Allah Ta’ala berfirman,

ْ‫ت َل ُه ْم َأ ْنفُ ُس ُه ْم َأن‬ _َ ‫َت َرى َك ِثيرً ا ِم ْن ُه ْم َي َت َولَّ ْو َن الَّذ‬


_َ ‫ِين َك َفرُوا َل ِبْئ‬
ْ ‫س َما َق َّد َم‬
َ ‫ب ُه ْم َخالِ ُد‬
‫ون‬ ِ ‫ِط هَّللا ُ َع َلي ِْه ْم َوفِي ْال َع َذا‬
َ ‫َسخ‬
”Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir
(musyrik). Sungguh amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka sendiri, yaitu
kemurkaan Allah kepada mereka, dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (QS. Al-Maidah [5]:
80)
Ketiga, adalah orang-orang yang kita cintai dari satu sisi, namun juga kita benci (tidak suka) dari
sisi yang lain. Mereka adalah orang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan (dosa besar)
secara terus-menerus alias orang fasik. Sehingga terkumpul dalam diri kita rasa cinta sekaligus
rasa benci kepada mereka. Kita tidak boleh membenci mereka saja secara mutlak, dan tidak
mencintainya sama sekali, bahkan berlepas diri dari mereka. Namun, kita mencintai mereka
sesuai dengan kadar keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah Ta’ala, dan kita juga
membenci mereka (ada rasa tidak suka) sesuai dengan kadar maksiat yang mereka tampakkan.
Kecintaan kepada mereka menuntut kita untuk menasihati dan tidak tinggal diam atas maksiat
yang mereka kerjakan. Rasa cinta kepada mereka menuntut kita untuk mengingkarinya,
memerintahkan mereka untuk berbuat yang ma’ruf,  mencegah mereka dari
perbuatan munkar,  menasihati mereka untuk mengerjakan kebaikan dan meminta mereka untuk
menjauhi keburukan. Rasa cinta tersebut juga menuntut kita untuk menghukum mereka, apabila
memiliki kewenangan (seperti ulil amri), sehingga mereka berhenti dari melakukan maksiat
tersebut, bertaubat dari kesalahannya dan mencegah orang lain dari berbuat yang serupa.
Hukuman tersebut bisa jadi dalam bentuk mendiamkannya (hajr),  jika memang terdapat
kebaikan (maslahat) ketika didiamkan. Seperti hajr Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada tiga
orang sahabat yang tidak mengikuti perang Tabuk tanpa alasan, dan memerintahkan semua
sahabat beliau untuk mendiamkan tiga orang sahabat tersebut, sebagaimana dalam riwayat
Bukhari (no. 4418) dan Muslim (no. 2769) dari sahabat Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Bagaimana dengan seorang muslim yang


menampakkan kemunafikan?
Adapun terhadap orang-orang muslim yang tertuduh munafik (mungkin ada kemunafikan dalam
dirinya), karena mereka menampakkan berbagai perbuatan yang merupakan perbuatan orang-
orang munafik (nifak akbar), maka kita memberikan wala’ sesuai dengan kadar kebaikan yang
mereka tampakkan dan kita memusuhi mereka sesuai dengan kadar keburukan yang mereka
tunjukkan. Dan jika kita bisa memastikan kemunafikannya, maka status orang ini dalam
aqidah al-wal’ wal bara’ adalah disamakan dengan orang-orang kafir asli.
ewasa ini salah satu satu prinsip dasar keimanan yang sangat penting dan wajib bagi setiap
muslim melaksanakannya, namun sudah pudar dan bahkan hilang dalam diri seorang mukmin
adalah Al-wala’ wal-bara’ yaitu mencintai dan memberikan loyalitas (wala’) kepada kaum
mukminin, serta membenci dan memusuhi kekufuran serta berpaling (bara’) dari orang-
orangnya, baik dalam hal perkataan, perbuatan dan kepercayaan.
Berikut ini beberapa hal yang harus nampak dari seorang muslim dalam menerapkan aqidah al-
Wala’ dan al-Bara’, di antaranya:
1. Menolong dan membantu kaum muslimin dengan jiwa,
raga dan harta, baik dalam urusan agama maupun dunia
Memberikan pertolongan kepada sesorang muslim baik secara lahir ataupun bathin merupakan
keharusan bagi muslim lainnya. Allah Ta’ala berfirman (artinya):
”Dan orang-orang beriman lelaki dan wanita, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian
yang lainnya.” [QS At-Taubah: 71]
2. Ikut merasakan penderitaan mereka dan gembira dengan
kesenangan mereka
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, sehingga kebersamaan harus selalu
terjalin, baik dalam suasana suka ataupun duka. Sebuah kalimat hikmah
mengatakan: “Saudaramu yang sesungguhnya adalah yang ikut menangis bersamamu, bukan
yang hanya ikut tertawa bersamamu.”
Raulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Perumpamaan kaum muslimin dalam kasih sayangnya, belas kasihannya, dan sayang
menyayanginya bagaikan satu tubuh, apabila satu bagian tubuh merasa sakit (menderita) maka
seluruh tubuh menjadi demam dan tidak bisa tidur karenanya.” [Muttafaqun alaihi]
3. Mencintai sekaligus mendoakan kebaikan dan ampunan
bagi mereka.
Di antara tanda keimanan dan tanda eratnya persaudaraan antara seorang muslim dengan
muslim lainnya adalah mencintai dan mendoakan kebaikan bagi saudaranya.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
ُّ ‫ِب َأِل ِخ ْيه َما ُيح‬
‫ِب لِ َن ْفسِ ه‬ َّ ‫اَل ُيْؤ مِنُ َأ َح ُد ُك ْم َح َّتى ُيح‬
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia
cintai untuk dirinya sendiri.” [HR Bukhari dan Muslim]
Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“Dan mohonkanlah ampun bagi dosamu dan bagi dosa-dosa orang-orang mukmin laki-laki dan
wanita.” [QS Muhammad :19]
4. Menghormati dan memuliakan kaum muslimin, tidak
merendahkan dan mencela mereka serta tidak berkhianat
kepada mereka.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
“Orang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak mengkhianatinya, tidak
membohonginya, tidak merendahkannya, setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram
kehormatan, harta dan darahnya.” [HR Muslim]
5. Menghargai hak-hak kaum muslimin dan bersikap lemah
lembut terhadap mereka
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa di antara tanda kebaikan Islam
seseorang adalah menghargai dan menunaikan  hak-hak muslim lainnya dengan menghormati,
menyayangi dan bersikap lemah lembut kepada mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda:
‫ف ل َِعالِ ِم َنا َح َّق ُه‬
ْ ‫ص ِغ ْي َر َنا َواَل َي ْع ِر‬ َ ‫س ِم َّنا َمنْ لَ ْم ُي َو ِّقر َكبِ ْي َر َنا َو َي‬
َ ‫رح ْم‬ َ ‫َل ْي‬
“Bukanlah termasuk golongan kami siapa saja yang tidak menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak orang alim.” [HR Ahmad dan Hakim]
6.Tidak menyerupai orang kafir dalam penampilan dan
gaya bicara serta tidak berbangga dengan nama-nama
mereka
Allah Ta’ala mengharamkan penyerupaan terhadap orang kafir dalam hal yang menjadi ciri
khusus dan adat kebiasaan mereka, baik berupa penampilan, gaya bicara, terlebih lagi sifat
berbangga dengan nama-nama orang kafir. Allah taala juga mengancam akan mengumpulkan
mereka dengan orang-orang kafir yang mereka ikuti pada hari kiamat. Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda:
‫ش َّب َه ِب َق ْو ٍم َف ُه َو ِم ْن ُهم‬
َ ‫َمنْ َت‬
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” [HR. Abu
Daud]
7. Tidak mengutamakan negeri kafir untuk tujuan wisata
dan refreshing (menyegarkan jiwa)
Mengutamakan wisata ke negeri kafir diharamkan oleh syariat kecuali dalam keadaan terdesak
dan memang diperlukan seperti berobat, berdagang dan kebutuhan lainnya dan berusaha untuk
selalu menampakkan keislamannya.
8. Tidak membantu orang kafir dalam usaha melawan kaum
muslimin (bahkan ini termasuk perbuatan kufur), tidak
memberikan kekuasaan kepada mereka, serta tidak
menjadikan mereka sebagai sahabat dekat
Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin kalian, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain.” [al-Maidah: 51]
9. Tidak ikut berpartisipasi dalam hari raya dan adat istiadat
serta kebiasaan orang kafir, tidak memberikan
penghargaan dengan memberikan ucapan selamat
Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, ikut serta dalam perayaan
hari raya orang kafir apalagi sampai memberikan penghargaan atau ucapan selamat kepada
mereka karena hal itu merupakan bentuk keridhoan terhadap keyakinan mereka. Allah taala
berfirman (artinya):
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” [QS al-Kafirun : 6]
10. Tidak berdoa dan memohonkan ampunan bagi orang
kafir dan tidak bersikap kasih sayang terhadap mereka.
Allah Ta’ala berfirman (artinya):
 “Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun kepada
Alloh bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya,
sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahannam.” [QS at-Taubah : 11].
Adapun mendo’akan hidayah untuk orang kafir ketika masih hidup, maka ini diperbolehkan
apalagi jika disertai dengan ajakan pada islam
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/43163-aqidah-al-wala-wal-bara-aqidah-asing-yang-dianggap-usang-
bag-1.html

Anda mungkin juga menyukai