وَإِنََّ اللهَ َأمَرَ المُ ْؤمِنِيْنَ بِمَا،ً إِ ََّن اللهَ طَيَِّبٌ لاَ َيقْبَلُ إِلاََّ طَيَِّبا:َ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ وَسََّلَم:َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَال
َأمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ َفقَالَ {يَا َأَّيُهَا الرَُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطََّيَِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا َأَّيُهَا ال َّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيَِّبَاتِ مَا
ِ َومَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَام،َِّ يَا رَبَِّ يَا رَب:ِ أَغْبَرَ يَمُدَُّ يَ َديْهِ إِلَى السََّمَاء1َسفَرَ أَشْعَث
ََّ رَزَقْنَا ُكمْ} ُثمََّ ذَكَرَ الرََّجُلَ يُطِيْلُ ال
2
ُفَأنََّى يُسْتَجَابُ لَه
“Allah Swt itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Dan sungguh
Allah Swt telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana dia
telah memerintahkan kepada para Rasul. Maka Allah berfirman: “Wahai para Rasul
makanlah dari yang baik-baik dan beramallah yang shalih”. Sementara kepada
orang-orang yang beriman Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman
makanlah dari kebaikan apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebagai rezeki.”
Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan ada seorang
pria yang melakukan perjalanan jauh, pakaiannya kusut, kusam dan berdebu. Dia
mengangkat tangannya ke langit mengatakan, ‘Wahai Tuhanku, Wahai Tuhanku.’
Sementara makanannya haram, minumannya haram, makanan tambahannya juga
haram. Maka bagaimana orang tersebut bisa dikabulkan doanya.” (H.R. Imam Muslim)
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud Ibnu, Majah dan Tirmidzi, Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ََّدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ َودَعْوَةُ الْمُسَافِرِ َودَعْوَةُ الْ َوالِدِلِولَدِهِ ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ َلهُنََّ لاَ شَكََّ فِيهِن
“Ada tiga doa yang mustajab tanpa ada keraguan di dalamnya, Doanya orang yang
terdzalimi, doanya orang musafir (sedang melakukan perjalanan jauh), dan yang
ketiga adalah doa orang tua untuk anaknya.”
Sedikitnya ada empat bahaya yang ditimbulkan dari makanan yang tak halal:
Pertama, energi tubuh yang lahir dari makanan haram cenderung untuk dipakai
maksiat. Sahabat Sahl radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
من أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى
“Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya,
mau tidak mau”.3
Tak heran jika para ulama akhlak mempersyaratkan diterimanya suatu amal ditopang
dengan makanan yang halal. Hal ini dianalogikan kepada hadits tentang sedekah, di mana
sedekah tidak diterima kecuali yang berasal dari usaha yang halal.
Allah (H.R. Imam al Thabrani), Cerita Abu Bakar al Shiddiq dengan pelayannya, Cerita Idris ayahnya Muhammad
ibn Idris (Imam al Syafi;i), dll.
3 Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid 2, hal. 91
ٍإِنَ اللهَ تَبَا َركَ َوتَعَالَى لَا َيقْبَلُ صَلَاةً بِغَيْرِ ُطهُورٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُول
“Sesungguhnya Allah Swt. tidak menerima suatu shalat tanpa bersuci dan tidak menerima
sebuah sedekah yang berasal dari ghulul (khianat/curang).” (HR Abu Dawud).
Kedua, terhalangnya doa. Hal itu berdasarkan pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam kepada sahabat Sa‘d radliyallahu ‘anhu.
ُ إِنَ اْلعَبْدَ لََيقْذِفُ اللَُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يَُتقَبَل،ِ َوالََّذِي َن ْفسُ مُحَمَدٍ بِيَدِه،ِيَا سَعْدُ أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَعْوَة
Ketiga, sulitnya menerima ilmu Allah. Ketahuilah ilmu adalah cahaya, sedangkan
cahaya tidak akan diberikan kepada ahli maksiat. Itu pula yang pernah dikeluhkan oleh al-
Syafi‘i kepada gurunya Imam Waki‘,
شكوت إلى وكيع سوء حفظي * فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور * ونور الله لا يؤتاه عاصي
Aku mengeluhkan buruknya hapalanku kepada Imam Waki‘ Beliau menyarankan kepadaku
untuk meninggalkan maksiat Dan beliau berkata, ketahuilah ilmu ialah cahaya Sedangkan
cahaya Allah tak diberikan kepada ahli maksiat5
ًإِنَ الََّ ِذينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً ِإنََّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُوِنِهمْ ناراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka), (QS al-Nisa’ [4]: 10).