Anda di halaman 1dari 34

Pengaruh Makanan yang Haram

Jan 12, 2012Muhammad Abduh Tuasikal, MScUmum24

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
dan sahabatnya.
Sebagian muslim tidak mempedulikan apa yang masuk dalam perutnya. Asal enak dan ekonomis, akhirnya
disantap. Tidak tahu manakah yang halal, manakah yang haram. Padahal makanan, minuman dan hasil
nafkah dari yang haram sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan seorang muslim, bahkan untuk
kehidupan akhiratnya setelah kematian. Baik pada terkabulnya do’a, amalan sholehnya dan kesehatan
dirinya bisa dipengaruhi dari makanan yang ia konsumsi setiap harinya. Oleh karena itu, seorang muslim
begitu urgent untuk mempelajari halal dan haramnya makanan. Dan yang kita bahas kali ini adalah seputar
pengaruh makanan yang haram bagi diri kita. Moga bermanfaat.
Pertama: Makanan haram mempengaruhi do’a
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الرسل‬ُّ ‫سلِينَ فَقَا َل ( يَا أَيُّ َها‬َ ‫ّللاَ أ َ َم َر ْالمؤْ ِمنِينَ بِ َما أ َ َم َر بِ ِه ْالم ْر‬
َّ ‫طيِبًا َوإِ َّن‬َ َّ‫طيِب لَ يَ ْقبَل إِل‬
َ َ‫ّللا‬َّ ‫« أَيُّ َها النَّاس إِ َّن‬
‫ت َما‬ ِ ‫طيِبَا‬ َ ‫ع ِليم) َوقَا َل (يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا كلوا ِم ْن‬ َ َ‫صا ِل ًحا إِنِى بِ َما ت َ ْع َملون‬ َ ‫ت َوا ْع َملوا‬ َّ َ‫كلوا ِمن‬
ِ ‫الطيِبَا‬
‫طعَمه َح َرام‬ ْ ‫ب َو َم‬
ِ ‫ب يَا َر‬ ِ ‫اء يَا َر‬ ِ ‫س َم‬َّ ‫ث أ َ ْغبَ َر يَمدُّ يَدَ ْي ِه إِلَى ال‬ َ َ‫سفَ َر أ َ ْشع‬ َّ ‫ ث َّم ذَ َك َر‬.» )‫َرزَ ْقنَاك ْم‬
َّ ‫الرج َل ي ِطيل ال‬
.» َ‫ِى بِ ْال َح َر ِام فَأَنَّى ي ْست َ َجاب ِلذَلِك‬ َ ‫َو َم ْش َربه َح َرام َو َم ْلبَسه َح َرام َوغذ‬
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu
melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang
mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah
makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki
yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut,
masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai
Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya
dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan
do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Sa’ad,
‫أطب مطعمك تكن مستجاب الدعوة‬
“Perbaikilah makananmu, maka do’amu akan mustajab.” (HR. Thobroni dalam Ash Shoghir. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan sebagaimana dalam As Silsilah Adh Dho’ifah 1812)
Ada yang bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqosh,
‫ ما رفعت إلى فمي لقمةً إل‬: ‫تستجاب دعوتك من بين أصحاب رسول هللا – صلى هللا عليه وسلم – ؟ فقال‬
. ‫ ومن أين خرجت‬، ‫وأنا عالم من أين مجيئها‬
“Apa yang membuat do’amu mudah dikabulkan dibanding para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lainnya?” “Saya tidaklah memasukkan satu suapan ke dalam mulutku melainkan saya mengetahui
dari manakah datangnya dan dari mana akan keluar,” jawab Sa’ad.
Dari Wahb bin Munabbih, ia berkata,
ْ ‫سره‬
‫ فلي ِطب طعمته‬، ‫أن يستجيب هللا دعوته‬ َّ ‫من‬
“Siapa yang bahagia do’anya dikabulkan oleh Allah, maka perbaikilah makanannya.”
Dari Sahl bin ‘Abdillah, ia berkata,
‫من أكل الحالل أربعين يوما ً أجي َبت دعوته‬
“Barangsiapa memakan makanan halal selama 40 hari, maka do’anya akan mudah dikabulkan.”
Yusuf bin Asbath berkata,
. ‫بسوء المطعم‬
ِ َّ ‫بلغنا‬
‫أن دعا َء العبد يحبس عن السماوات‬
“Telah sampai pada kami bahwa do’a seorang hamba tertahan di langit karena sebab makanan jelek
(haram) yang ia konsumsi.”
Gemar melakukan ketaatan secara umum, sebenarnya adalah jalan mudah terkabulnya do’a. Sehingga
tidak terbatas pada mengonsumsi makanan yang halal, namun segala ketaatan akan memudahkan
terkabulnya do’a. Sebaliknya kemaksiatan menjadi sebab penghalang terkabulnya do’a.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan memudahkan terkabulnya do’a. Oleh
karenanya pada kisah tiga orang yang masuk dan tertutup dalam suatu goa, batu besar yang menutupi
mereka menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di mana mereka melakukan amalan
tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a pada Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut
sehingga doa mereka pun terkabul.”
Wahb bin Munabbih berkata,
َّ ‫الط ِيب َو ْال َع َمل ال‬
} ‫صا ِلح َي ْرفَعه‬ َّ ‫ص َعد ْال َك ِلم‬
ْ َ‫ { ِإلَ ْي ِه ي‬: ‫ ثم تال قوله تعالى‬، ‫العمل الصالح يبلغ الدعاء‬
“Amalan sholeh akan memudahkan tersampainya (terkabulnya) do’a. Lalu beliau membaca firman
Allah Ta’ala, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.”
(QS. Fathir: 10)
Dari ‘Umar, ia berkata,
‫حرم هللا يقبل هللا الدعاء والتسبي َح‬
َّ ‫بالورع عما‬
“Dengan sikap waro’ (hati-hati) terhadap larangan Allah, Dia akan mudah mengabulkan do’a dan
memperkanankan tasbih (dzikir subhanallah).”
Sebagian salaf berkata,
‫ وقد سددتَ طرقها بالمعاص‬، ‫ل تستبطئ اإلجابة‬
“Janganlah engkau memperlambat terkabulnya do’a dengan engkau menempuh jalan maksiat.” (Dinukil
dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 275-276)
Kedua: Rizki dan makanan halal mewariskan amalan sholeh
Rizki dan makanan yang halal adalah bekal dan sekaligus pengobar semangat untuk beramal shaleh.
Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,
َ َ‫صا ِل ًحا ِإنِي ِب َما ت َ ْع َملُون‬
‫ع ِليم‬ َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬ َّ َ‫س ُل ُكلُوا ِمن‬
ِ ‫الطيِ َبا‬ ُّ ‫َيا أَيُّ َها‬
ُ ‫الر‬
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu’minun: 51). Sa’id bin Jubair
dan Adh Dhohak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan yang thoyyib adalah makanan yang halal
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10: 126).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush
sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal sholeh. Penyandingan dua perintah
ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shaleh. Oleh karena itu, para Nabi benar-
benar memperhatikan bagaimana memperoleh yang halal. Para Nabi mencontohkan pada kita kebaikan
dengan perkataan, amalan, teladan dan nasehat. Semoga Allah memberi pada mereka balasan karena telah
member contoh yang baik pada para hamba.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 126).
Bila selama ini kita merasa malas dan berat untuk beramal? Alangkah baiknya bila kita mengoreksi
kembali makanan dan minuman yang masuk ke perut kita. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ِإ َّن ْال َخي َْر لَ يَأْتِى إِلَّ ِب َخيْر أ َ َو َخيْر ه َو‬
“Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan. Namun benarkah harta benda itu
kebaikan yang sejati?” (HR. Bukhari no. 2842 dan Muslim no. 1052)
Ketiga: Makanan halal bisa sebagai pencegah dan penawar berbagai penyakit
Allah Ta’ala berfirman,
ً ‫َيء ِم ْنه نَ ْف‬
‫سا فَكلوه َهنِيئًا َم ِريئًا‬ َ ‫صدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً فَإ ِ ْن ِطبْنَ لَك ْم‬
ْ ‫ع ْن ش‬ َ ِ‫َوآَتوا الن‬
َ ‫سا َء‬
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang hanii’ (baik) lagi marii-a (baik
akibatnya).” (QS. An Nisa’: 4).
Al Qurthubi menukilkan dari sebagian ulama’ tafsir bahwa maksud firman Allah Ta’ala “‫ ” َهنِيئًا َم ِريئًا‬adalah,
“Hanii’ ialah yang baik lagi enak dimakan dan tidak memiliki efek negatif. Sedangkan marii-a ialah yang
tidak menimbulkan efek samping pasca dimakan, mudah dicerna dan tidak menimbulkan peyakit atau
gangguan.” (Tafsir Al Qurthubi, 5:27). Tentu saja makanan yang haram menimbulkan efek samping ketika
dikonsumsi. Oleh karenanya, jika kita sering mengidap berbagai macam penyakit, koreksilah makanan
kita. Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.
Keempat: Di akhirat, neraka lebih pantas menyantap jasad yang tumbuh dari yang haram
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
‫ت فَالنَّار أ َ ْولَى بِ ِه‬
ِ ْ‫َم ْن نَبَتَ لَحْ مه ِمنَ السُّح‬
“Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.” (HR.
Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4: 141. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani
dalam Shahihul Jaami’ no. 4519)
Lihatlah begitu bahayanya mengonsumsi makanan haram dan dampak dari pekerjaan yang tidak halal
sehingga mempengaruhi do’a, kesehatan, amalan kebaikan, dan terakhir, mendapatkan siksaan di akhirat
dari daging yang berasal dari yang haram.
َ‫ع َّم ْن ِس َواك‬ ْ َ‫ع ْن َح َرامِكَ َوأ َ ْغنِنَا بِف‬
َ َ‫ضلِك‬ َ َ‫اللَّ ُه َّم ا ْك ِفنَا ِب َحالَلِك‬
[Allahummak-finaa bi halaalika ‘an haroomika, wa agh-ninaa bi fadh-lika ‘amman siwaak]
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang
Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-
Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563 dan Ahmad 1: 153. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.[1]

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 17 Shafar 1433 H


Artikel Kajian Umum di Dammam, KSA, Jum’at 19 Shafar 1433 H
www.rumaysho.com

Sumber : https://rumaysho.com/2185-pengaruh-makanan-yang-haram.html
Home » anak » Permata Hati » Pastikan Rizki Yang Halal Untuk Anakmu!

Pastikan Rizki Yang Halal Untuk Anakmu!


Kajian Salaf 5 years ago 2 No comments

Merupakan bentuk pendidikan orang tua kepada anak adalah dengan memberikan asupan yang
halal kepada sang anak. Karena itulah sumber kebaikannya sementara makanan yang haram
adalah faktor yang menyebabkan buruknya pribadi sang anak.

Sudah merupakan kewajiban orang tua untuk menafkahi sang anak baik untuk keperluan
makannya, minumnya, sekolah, dan segala hal yang sudah merupakan hak orang tua.

Namun terkadang tatkala orang tua ditimpa dengan kesulitan rizki setelah mereka peras keringat
dan banting tulang mulailah sebagian mereka termakan ucapan setan “Cari rejeki yang haram
aja susah mas apalagi cari rejeki yang halal”. Sehilngga deribu satu macam cara di tembuh agar
dapat mengais uang baik dengan cara yang haram atau yang halal. Wal’iyadzubillah.

Memang kewajiban orang tua adalah memberikan nafkan kepada anak. Namun tak hanya
berhenti sampai disitu. Syariat Islam telah menjelaskan bahwa mencari nafkah untuk keluarga
adalah amalan yang mulia dan menghasilkan suatu pahala. Dan seorang tidak akan
memperoleh pahala kecuali apabila amalan yang ia tunaikan sejalan dengan aturan
syariat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

‫ت األ َ ْع َما ُل ِإنَّ َما‬ ِ ‫ ِب‬، ‫ن ََوى َما ْام ِرئ ِل ُك ِل َو ِإنَّ َما‬
ِ ‫النيَّا‬

“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan
mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [1]

Dan juga Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


‫أ َ ْه ِل ِه َعلَى نَفَقَةً ال ُم ْس ِل ُم أ َ ْنفَقَ إِذَا‬، ‫يَ ْحت َ ِسبُ َها َو ُه َو‬، ‫َت‬
ْ ‫صدَقَةً لَهُ َكان‬
َ

“Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya –yang dia inginkan
mendapatkan pahala dari nafkah itu untuk mengharapkan pahala dari Allah- maka itu akan
menjadi sedekah baginya.”[2]

Menerangkan hal ini Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengutip perkataan Al-Muhallab, bahwa
memberi nafkah kepada keluarga adalah kesepakatan menurut kaum muslimin. Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam menamakannya sebagai sedekah karena dikhawatirkan ada orang-
orang yang menyangka, pelaksanaan kewajiban ini tidak ada pahalanya. Sementara mereka
telah mengetahui bahwa memberikan sedekah itu berpahala. Maka beliua memberitahukan
bahwa nafkah ini adalah sedekah bagi mereka, agar mereka tidak mengeluarkan sedekah untuk
selain keluarga kecuali setelah mencukupi keluarganya. Hal ini sebagai hasungan bagi mereka
agar mendahulukan sedekah yang wajib dari pada sedekah yang thatawwu’ (sunnah).”[3]

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

َ ‫صدَقَ ِة أ َ ْف‬
‫ض ُل‬ ُّ ‫ال‬، ْ‫بِ َم ْن َوا ْبدَأ‬
َّ ‫ ِغنًى ت َ َر َك َما ال‬، ُ ‫س ْفلَى اليَ ِد ِمنَ َخيْر العُ ْليَا َواليَد‬
‫تَعُو ُل‬

“Sedekah yang paling utama adalah yang masih menyisakan kecukupan, dan tangan yang
diatas lebih baik dari pada tangan yang dibawah, dan mulailah (dalam berinfaq) dengan orang-
orang yang berada dibawah tanggunganmu.”[4]

Dari apa yang dijelaskan diatas sangatlah jelas bahwa menafkahi keluarga adalah amalan yang
mulia yang membuahkan pahala. Oleh karena itu dalam memberikan nafkah hal yang haruslah
kita perhatikan adalah kehalalan dari nafkah tersebut, karena Allah tidaklah menerima kecuali
sesuatu yang halal lagi baik. Oleh karena itu jangan kita suapkan makanan haram kedalam perut
mereka, menegukkan minuman yang haram, memakaikan pakaian yang haram kepada mereka,
atau segala kebutuhan anak yang didapat dari orang tua.

Jangan sampai karena kita belum memilki keluasan untuk memenuhi kebutuhan anak kemudian
kita melirik kepada praktek-praktek yang diharamkan walaupun menghasilkan sesuatu yang
menggiurkan. Baik itu korupsi, pungli, penggelapan dana, penipuan, paraktek ribawi, dan
propesi-propesi lainnya yang diharamkan oleh agama Islam yang mulia ini. Perlu kita sadari
segala sesuatu yang haram akan berpengaruh kepada diri anak. Karena sesuatu yang jelek
akan berdampak yang jelek pula, bisa jadi sang anak nanti akan menjadi anak nakal yang tidak
berbakti kepada orang tua yang justeru inilah yang akan merugikan orang tua. Maka inilah
balasan yang akan diterima oleh orang tua, sebagai mana dahulu ia mencari rizki dari jalan
haram dan manafkahi keluarganya dengan rizki tersebut, maka Allah akan jadikan rizki buruk
tersebut menjadi bumerang baginya.

Demikian juga rejeki yang haram adalah sebab tidak terkabulnya doa orang tua maupun sang
anak. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

‫اس أَيُّ َها‬


ُ َّ‫الن‬، ‫طيِب للاَ ِإ َّن‬ َ ‫طيِبًا إِ َّل يَ ْقبَ ُل َل‬َ ، ‫بِ ِه أ َ َم َر بِ َما ْال ُمؤْ ِمنِينَ أ َ َم َر للاَ َوإِ َّن‬
َ‫س ِلين‬ ْ ‫فَقَا َل‬: {‫س ُل أَيُّ َها يَا‬
َ ‫ال ُم ْر‬، ُّ ‫ت ِمنَ ُكلُوا‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫صا ِل ًحا َوا ْع َملُوا‬
ِ ‫الط ِيبَا‬ َ ، ‫ِب َما ِإنِي‬
َ‫وقَا َل } َع ِليم ت َ ْع َملُون‬:َ {‫ت ِم ْن ُكلُوا آ َمنُوا الَّذِينَ أَيُّ َها َيا‬ َ ‫َما‬
ِ ‫طيِ َبا‬
‫}رزَ ْقنَا ُك ْم‬ َ ‫الر ُج َل ذَ َك َر ث ُ َّم‬ َّ ‫سفَ َر يُ ِطي ُل‬ َّ ‫ث ال‬ َ َ‫أ َ ْغ َب َر أ َ ْشع‬، ُّ‫اء ِإلَى َيدَ ْي ِه َي ُمد‬ِ ‫س َم‬َّ ‫ال‬، ‫َيا‬
‫ب‬
ِ ‫ر‬، َ ‫ب يَا‬ ِ ‫ر‬، َ ُ‫طعَ ُمه‬ ْ ‫ َح َرام َو َم‬، ُ‫ َح َرام َو َم ْش َربُه‬، ُ‫سه‬ ُ َ‫ َح َرام َو َم ْلب‬، ‫ِي‬ َ ‫غذ‬ُ ‫بِ ْال َح َر ِام َو‬،
‫اب فَأَنَّى‬ ُ ‫ِلذَ ِل َك؟ يُ ْست َ َج‬

“Wahai manusia, sesunguhnya Allah itu maha suci dari segala kekurangan dan tidak menerima
kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan ke[pada orang-orang
yang beriman dengan apa yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah beriman, “Wahai para
rasul makanlah dari segala sesuatuyang baik, dan berbuatlah dengan amalan-amalan
yang shaleh, sesunguhnya aku mengetahui terhadap apa yang kalian perbuat.” Dan Allah
berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari segala sesuatu yang baik yang
telah kami rezekikan kepada kalian.’ Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
menyebutkan tentang seseorang yang melakukan [perjalanan yang jauh dalam keadaan kusut
masai rambutnya dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya kelangit, “Wahai Rabku,
wahai Rabku!, sementara makannnya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan
disuapi dengan sesuatu yang haram. Maka bagaimana akan dikabulkan doa orang yang seperti
ini?”[5]

Allah ta’ala telah memerintahkan para rasul untuk memakan dari segala sesuatu yang baik, yaitu
segala sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah dan didapat dari jalan yang dibenarkan oleh
syariat. Apabila tidak dihalalkan oleh Allah, seperti khamr misalnya, maka tidak boleh dimakan.
Demikian juga apabila makanan tersebut adalah makanan yang dihalalkan oleh Allah namun
didapat dari jalan yang haram, maka inipun tidak boleh untuk dimakan.[6]
Imam An-Nawawi juga mengatakan, “Hadits ini merupakan anjuran untuk memberikan nafkah
dari segala sesuatu yang halal dan larangan memberikan nafkah dari segala sesuatu yang
haram. (hadits diatas) juga menunjukan bahwa minuman, makanan, pakaian, dan semacamnya
haruslah berasal dari sesuatu yang halal, bersih, dan tidak mengandung syubhat (kesamaran).
Hadits ini juga menunjukan bahwa seseorang yang akan berdoa haruslah memperhatikan hal-
hal diatas yang dari pada yang lainnya.”[7]

Disini juga terdapat peringatan keras tentang memakan sesuatu yang haram, karena hal itu
adalah sebab tertolaknya doa, walaupun juga dia melakukan sebab-sebab yang merupakan
faktor terkabulnya doa[8]. Maka disini rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Maka
bagaimana akan dikabulkan doa orang yang seperti ini?”

Disamping itu memakan yang haram -wal’iyadzubillah- merupakan sebab seseorang


meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya, karena jasmaninya telah disuapi sesuatu yang
jelek. Segala suapan yang jelek akan berpengaruh kepada dirinya. Wallahul musta’an.”[9]

Contoh yang kita lihat dengan jelas adalah pribadi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang
begitu berhati-hati dan menjauhkan dirinya dari sesuatu yang dikhawatirkan berasal dari sesuatu
yang haram. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

ُ ‫أ َ ْه ِلي ِإلَى َأل َ ْنقَ ِل‬، ُ‫طةً الت َّ ْم َرة َ فَأ َ ِجد‬
‫ب ِإنِي‬ َ ‫فِ َرا ِشي َعلَى‬، ‫ِل ُكلَ َها فَأ َ ْرفَعُ َها‬،
َ ِ‫ساق‬ ِ ‫ث ُ َّم‬
َ ، ‫فَأ ُ ْل ِقي َها‬
‫صدَقَةً ت َ ُكونَ أ َ ْن أ َ ْخشَى‬

“Aku pernah datang menemui keluargaku. Kemudian aku mendapatkan sebutir korma jatuh
diatas tempat tidurku. Aku pun mengambilnya untuk aku makan. Lalu aku lhwatir jika kurma itu
adalah kurma sedekah, maka kuletakkan lagi kurma itu.”[10]

Beliau shallallahu’alaihi wasallam juga menjauhkan cucunya dari sesuatu yang diharamkan,
walaupun hanya sebutir korma yang berasal dari sedekah –yang beliau dan keluarganya
diharamkan dari sedekah-. Sebagaimana diceritakan oleh Abu Huraira radhiyallahu ‘anhu,

‫ ِك ْخ ِك ْخ‬، ‫ار ِم‬ َ ‫صدَقَةَ؟ نَأ ْ ُك ُل َل أَنَّا َع ِل ْم‬


ْ ‫بِ َها‬، ‫ت أ َ َما‬ َّ ‫ال‬

“Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu’anhuma memungut sebutir kurma dari korma sedekah, lalu dia
memasukkan korma itu kedalam mulutnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun
bersabda, “kikh, kikh”[11]! Buanglah korma itu! Apa kau tidak tahu, bahwa kita tidak
diperbolehkan untuk memakan sedekah.”[12]

Inilah suatu tauladan baik yang dipraktekkan oleh junjungan kita dan contoh yang baik bagi
setiap muslim yang menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi anak-anaknya. Kasih sayang
bukan berarti menuruti setiap tuntutan hingga melaumpaui batas. Wallahu a’lam bish Shawab.

Artikel : www.serambiyemen.com
Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:

Tak pernah merasa kekurangan sedikitpun karena Allah Maha Banyak Memberi rezeki
Sebagaimana sudah diketahui dari artikel sebelumnya, bahwa Allah Ta’ala adalah
ُ ‫لر َّز‬
‫اق‬ َّ َ ‫( ا‬Ar-Razzaq [Yang Banyak Memberi rezeqi]) karena ‫اق‬ ُ ‫لر َّز‬
َّ َ ‫ ا‬merupakan
َّ َ ‫( ا‬Pemberi rezeki), maka ini
bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata ‫لر ِاز ُق‬
menunjukkan kepada makna banyak. Yaitu menunjukkan banyaknya rezeki yang
Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya dan juga menunjukkan banyaknya
hamba-hamba-Nya yang mendapatkan rezeki tersebut.

ُ ‫لر َّز‬
Sehingga ‫اق‬ َّ َ ‫( ا‬Ar-Razzaq) artinya Yang Banyak Memberi rezeqi. Dia memberi
rezeki yang satu kemudian rezeki yang lain dalam jumlah yang sangat banyak
untuk seluruh makhluk-Nya.

Setiap makhluk yang berjalan di muka bumi ini pasti diberi rezeki, sebagaimana
firman Allah Ta’ala,

ِ ‫ّللا َعلَى َّإل ْاأل َ ْر‬


‫ض فِي دَابَّة ِم ْن َو َما‬ ِ َّ ‫ِر ْزقُ َها‬

“Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezkinya” (Huud: 6).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

‫أي‬: ‫األرض وجه على دب ما جميع‬، ‫آدمي من‬، ‫بحري أو بري حيوان أو‬، ‫بأرزاقهم تكفل قد تعالى فاهلل‬
‫وأقواتهم‬، ‫للا على فرزقهم‬

“Maksudnya, seluruh yang berjalan di muka bumi ini, baik dari kalangan manusia
(keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam), maupun binatang, baik binatang darat
maupun laut, maka Allah Ta’ala telah menjamin rezeki dan makanan mereka. Jadi,
rezeki mereka dijamin oleh Allah” (Tafsir As-Sa’di, hal. 422).

Berarti kita harus meyakini bahwa rezeki kita sudah dijamin oleh
Allah Ta’ala. Bahkan rezeki kita telah ditulis sebelum kita terlahir di dunia ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫الر ْو َح فِ ْي ِه فيَ ْنفُ ُخ ْال َملَكُ إِلَ ْي ِه ي ُْر‬،


‫س ُل ث ُ َّم‬ ُّ ‫ َك ِل َمات بِأ َ ْربَ ِع َويُؤْ َم ُر‬: ‫ب‬ ِ ‫وأ َ َج ِل ِه‬،
ِ ْ‫ر ْزقِ ِه بِ َكت‬، َ ‫و َع َم ِل ِه‬، َ ‫س ِعيْد أ َ ْو َو‬
َ ‫ش ِقي‬ َ

“Kemudian diutuslah Malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan


diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya,
amalnya, dan celaka atau bahagianya” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Rezeki yang telah ditulis untuk kita pasti akan sampai ke kita. Tidaklah mungkin
satu suap makanan yang sudah menjadi jatah kita akan masuk ke mulut orang lain.
Seseorang tidaklah akan mati jika masih ada satu butir nasi saja yang menjadi
jatahnya belum ia makan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اس أَيُّ َها‬ َّ ‫ب فِى َوأ َ ْج ِملُوا‬


ُ َّ‫ّللاَ اتَّقُوا الن‬ َّ ‫سا فَإِ َّن‬
ِ َ‫الطل‬ َ ِ‫طأ َ َو ِإ ْن ِر ْزقَ َها ت َ ْست َْوف‬
ً ‫ى َحتَّى ت َ ُموتَ لَ ْن نَ ْف‬ َ ‫ّللاَ فَاتَّقُوا َع ْن َها أ َ ْب‬
َّ
‫ب فِى َوأَجْ ِملُوا‬ َّ ‫عوا َح َّل َما ُخذُوا‬
ِ َ‫الطل‬ ُ َ‫َح ُر َم َما َود‬

“Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam
mencari rezeki, karena tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya,
walau lambat rezeki tersebut sampai kepadanya, maka bertakwalah kepada Allah
dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, ambillah rezeki yang halal dan
tinggalkanlah rezeki yang haram” (HR. Ibnu Majah, dan Syaikh Al-Albani
menshahihkannya).

Seandainya sekarang seluruh manusia bersepakat untuk menghalangi rezeki yang


yang telah Allah tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka akan gagal.
Sebaliknya, sekarang seandainya seluruh manusia bersepakat untuk memberi Anda
sesuatu yang tidak Allah tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka tidak akan
mampu melakukannya.

‫منعت لما معطي ل و أعطيت لما مانع ل اللهم‬

“Ya Allah, tidak ada satupun yang mampu mencegah apa yang Engkau berikan
dan tidak pula ada satupun yang mampu memberi sesuatu yang Engkau
cegah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, serta yang lainnya).

Jatah rezeki Anda sudah ditetapkan, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk
merasa kekurangan. Bukankah tidak ada satu pun dari makhluk yang mampu
mengurangi jatah rezeki Anda? Jika demikian, maka tidak mungkin jatah Anda
bisa berkurang. Mengapa harus merasa kekurangan?

Jika Anda mengatakan “Tapi, rezeki yang saya dapatkan sedikit, jadi saya
merasa kurang, cari rezeki halal sulit dan lama kayanya! Saya ingin cepat
kaya! Rezeki haram lebih cepat dan mudah didapat, apa boleh buat!” Maka
kami katakan kepada Anda “Mengapa harus menerjang yang haram padahal
rezeki telah dijatah?”
Ketahuilah! Bahwa orang yang merasa tidak puas dengan rezeki halal yang
didapatkannya selama ini dan merasa kurang, lalu mencarinya dengan cara yang
haram, ini setidaknya ada tiga kemungkinan:

1. Ia malas mencari rezeki dengan cara yang halal atau kurang sungguh-
sungguh dalam bekerja.
2. Ia sudah bekerja maksimal dalam mencari rezeki yang halal, tapi masih
merasa kurang.
3. Ia sudah kaya, tapi masih pula merasa kurang.
Nasihat untuk orang yang pertama, hakikatnya ia sangatlah tidak pantas merasa
kekurangan, karena ia belum berusaha dengan maksimal. Adapun untuk orang
yang kedua dan ketiga, maka setidaknya ada dua kemungkinan penyebabnya:

1. Ia sudah tahu sikap dan prinsip hidup seorang muslim yang benar dalam
masalah rezeki, lalu nekad melanggarnya.
2. Kurang atau tidak tahu sama sekali tentang sikap dan prinsip itu, sehingga ia
terjatuh kedalam pelanggaran.
Wabillaahi nasta’iin, penjelasan berikut, semoga bisa menjadi obatnya.

Sikap yang benar terhadap rezeki


1. Rezeki atas kehendak Allah ‘Azza wa Jalla
Sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim terhadap rezeki adalah Allah-lah
satu-satunya Sang Pemilik dan Pemberi rezeki hamba-hamba-Nya. Maka di dalam
membagikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya.
Allah memberi sebagian makhluk dan mencegah pemberian untuk sebagian yang
lain sesuai dengan ilmu, hikmah (kebijaksanaan), dan keadilan-Nya. Demikian
juga masalah banyaknya rezeki yang diberikan kepada para hamba-Nya, Allah
memberikan kepada sebagian mereka rezeki yang banyak, sedangkan kepada
sebagian yang lain sedikit saja. Semua terserah Allah Yang Maha Adil lagi Maha
Bijaksana, Allah tidak akan pernah zalim kepada mereka. Karena semuanya sesuai
dengan ilmu,hikmah (kebijaksanaan) dan keadilan-Nya. Oleh karena itu Allah
berfirman,

َّ ‫ساب بِغَي ِْر يَشَا ُء َم ْن يَ ْر ُز ُق َو‬


ُ‫ّللا‬ َ ‫ِح‬

“Dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa


batas” (Al-Baqarah: 212).

Syaikh Abdur Rahmân bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

َّ ‫َو‬
‫واألخروية الدنيوية األرزاق كانت ولما‬, ‫للا بتقدير إل تحصل ل‬, ‫للا بمشيئة إل تنال ولن‬، ‫تعالى قال‬: { ُ‫ّللا‬
‫ساب بِغَي ِْر يَشَا ُء َم ْن يَ ْر ُز ُق‬
َ ‫}ح‬
ِ
“Tatkala rezeki duniawi maupun rizki akhirat tidak akan dapat diperoleh kecuali
dengan takdir Allah dan tidak bisa didapatkan kecuali dengan kehendak Allah,
maka Allah pun berfirman {‫ساب‬ َ ‫ق َم ْن يَشَا ُء ِبغَ ْي ِر ِح‬
ُ ‫َّللاُ يَ ْر ُز‬
‫”}و ه‬َ (Tafsir As-Sa’di, hal. 95).

Allah Maha Mengetahui tentang orang yang jika dikayakan, maka kekayaannya
membuatnya melupakan Allah. Dan Allah pun Maha Mengetahui bahwa ada orang
yang jika dijadikan miskin, ia mampu bersabar dan beribadah kepada-Nya.

Jika ini dipahami, maka seorang hamba tidak protes terhadap jatah rezekinya,
bahkan qona’ah (menerima dan rela) atas jatah rezekinya sembari meyakini bahwa
hal ini adalah pilihan Allah yang terbaik baginya. Ia meyakini juga bahwa Allah
lebih mengetahui dan lebih sayang terhadap diri hamba-Nya daripada hamba itu
sendiri. Dengan demikian ia tidak nekad menerjang yang haram. Walaupun rezeki
halal yang diperolehnya sedikit, namun itu adalah yang terbaik bagi dirinya.

2. Tujuan penciptaan (tujuan hidup) dan tujuan pemberian rezeki


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

‫الخ َْلقَ للا َخلَقَ إنما‬، ‫ليَعبُدوه‬، ‫عبادته على به ليَ ْست َ ِعيُنوا لهم الرزقَ َخلَقَ وإنما‬

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk hanya untuk beribadah kepada-Nya


dan Allah menciptakan rezeki untuk mereka semata-mata agar mereka gunakan
rezeki tersebut untuk beribadah kepada-Nya” (Majmu’ul Fatawa Imam Ibnu
Taimiyyah, kitabul Iman, dari http://madrasato-mohammed.com/book232.htm).

Jika seseorang tahu tujuan hidupnya dan tujuan Allah memberinya rezeki, maka ia
akan membenci rezeki haram dan tidak mau mencari rezeki haram, karena rezeki
haram tidak bisa ia gunakan untuk beribadah kepada Rabbnya, bahkan
menyebabkan datangnya siksa Allah. Jika memperoleh rezeki yang halal pun ia
tidak gunakan secara berlebihan, sehingga ia merasa cukup dengan rezeki yang
halal dan tidak membutuhkan rezeki yang haram.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa sikap seorang mukmin


yang benar berbeda dengan sikap hidup orang-orang kafir:

‫الدنيا حياته في طيباته يذهب ول كله بنصيبه يستمتع ل فإنه وشهواتها الدنيا من نال وان فإنه المؤمن بخالف‬
‫لمعاده التزود على به ليتقوى منها ينال ما منها ينال بل‬

“Lain halnya dengan seorang mukmin, meskipun mendapatkan perolehan dunia


(yang halal) dan kesenangannya, namun tidak akan ia pergunakan untuk
bersenang-senang semata, dan tidak akan ia pergunakan untuk menghilangkan
kebaikan-kebaikannya selama hidup di dunia. Tetapi akan ia pergunakan perolehan
dunia (yang halal) itu untuk memperkuat diri dalam mencari bekal di akhiratnya
kelak” (Miftahu Daris Sa’adah, Ibnul Qoyyim, hal. 197).

Jadi, profil seorang mukmin adalah boro-boro mencari rezeki yang haram,
memperoleh rezeki yang halal saja, ia pergunakan dengan baik untuk
beribadah kepada Allah.

3. Memahami hakikat Allah memberi dan mencegah rezeki


Orang yang tidak puas dengan rezeki halal yang didapatkannya, padahal ia sudah
berusaha mencarinya dengan maksimal, lalu ia mengikuti hawa nafsunya dengan
mencari rezeki dengan cara yang haram, maka hakikatnya ia tidak memahami
hakikat perbuatan Allah memberi dan mencegah rezeki. Ketahuilah, bahwa Allah
tidaklah sama dengan makhluk-Nya, Allah berfirman:

َ ‫ش ْيء َك ِمثْ ِل ِه لَي‬


‫ْس‬ َ

“Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Dia” (Asy-Syuuraa:11).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang hakikat Allah memberi


dan mencegah rezeki,

“Demikianlah Ar-Rabb (Allah) Subhanahu, tidaklah mencegah hamba-Nya yang


beriman mendapatkan sesuatu dari dunia, melainkan memberinya rezeki yang lebih
utama dan lebih bermanfaat, dan hal itu tidaklah didapatkan oleh selain Mukmin.
Karena sesungguhnya, Allah mencegah seorang mukmin dari mendapatkan suatu
jatah rezeki yang rendah dan sepele dan tidak meridhoi itu untuknya dengan tujuan
untuk memberinya bagian rezeki yang lebih tinggi dan mahal. Sedangkan seorang
hamba, disebabkan ketidaktahuannya terhadap perkara yang bermanfaat bagi
dirinya dan terhadap kedermawanan, kebijaksanaan dan kelembutan Rabb nya,
maka ia tidak mengetahui perbedaan antara sesuatu yang ia tercegah dari
mendapatkannya, dengan sesuatu yang disimpan untuknya, bahkan ia sangat
tergiur dengan kenikmatan (duniawi) yang disegerakan walaupun rendah nilainya,
dan (sebaliknya) begitu rendahnya kecintaannya kepada kenikmatan (abadi/pahala)
yang ditunda walaupun tinggi nilainya. Kalau seandainya, seorang hamba itu
bersikap adil dalam memandang Rabb nya -namun, kapankah ia bisa bersikap
demikian?- tentu ia akan mengetahui bahwa karunia-Nya untuknya yang terdapat
di dalam pencegahan-Nya (kepadanya) dari (mendapatkan) dunia dan kelezatannya
serta kenikmatannya hakikatnya lebih agung daripada karunia-Nya untuknya yang
terdapat di dalam pemberian-Nya berupa dunia tersebut. Jadi, tidaklah Allah
mencegah hamba tersebut (dari mendapatkan sebagian dari dunia) kecuali untuk
memberinya (rezeki yang lebih tinggi), tidaklah menimpakan kepadanya cobaan
kecuali untuk menjaganya (dari keburukan), tidaklah mengujinya kecuali untuk
mensucikannya (dari dosa), tidaklah mematikannya (di dunia) kecuali untuk
menghidupkannya (di Surga)” (Fawaidul Fawaid , libnil Qoyyim, Syaikh Ali
Hasan Al-Halabi, hal. 83).

4. Jenis rezeki yang terpenting


Dalam artikel Macam-macam rezeki dan Faidah dari mengimani Nama ‫ق‬ ُ ‫الر هزا‬
َ
(Ar-Razzaaq), telah disebutkan perbedaan antara rezeki umum dengan yang
khusus, sebagai berikut kesimpulannya:

1. Rezeki Allah terbagi dua umum dan khusus.


2. Rezeki umum terbagi dua, halal dan haram. Berarti orang kafir atau muslim
yang fasik, yang mencari atau memakan rezeki yang haram, ia dikatakan
telah terpenuhi jatah rezekinya, namun ia tetap dikatakan berdosa karena
mencari atau memakan rezeki yang haram.
3. Rezeki khusus terbagi dua, rezeki hati (ilmu dan amal) dan badan (rezeki
dunia yang halal).
4. Rezeki hati adalah tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki
badan adalah sarana menuju kepada tujuan terbesar tersebut, maka jangan
terlena dengan sarana dan lupa tujuan.
5. Barangsiapa diberi dua macam rezeki khusus sekaligus, berarti
kebutuhannya telah tercukupi dengan sempurna, baik kebutuhan beragama
Islam maupun kebutuhan jasmaninya. Dia menjadi hamba Allah yang
berbahagia di dunia dan Akhirat.
Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa rezeki hati, berupa ilmu dan amal
adalah tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki badan, berupa rezeki
dunia yang halal adalah sarana tercapainya tujuan terbesar itu, maka harusnya,

1. Yang menjadi perhatian utama seorang hamba adalah mendapatkan rizki


hati berupa ilmu, petunjuk,iman dan amal.
2. Mencari rezeki badan (duniawi) bagi seorang mukmin, tidak lepas dari
konteks mencari rezeki yang terpenting, yaitu rezeki hati (ilmu dan amal),
karena rezeki badan sarana bagi rezeki hati, ditambah lagi bahwa tujuan
pemberian rezeki adalah untuk digunakan beribadah kepada Allah ‘Azza wa
Jalla.
3. Tidak mencari rezeki yang haram, karena terdapat ancaman yang
keras bagi pelakunya.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang akibat pekerjaan yang haram, silahkan Anda
membaca tulisan Al-Ustadz Muhammad
Tausikal hafizhahullah di http://rumaysho.com/muamalah/mencari-pekerjaan-
yang-halal-9616

***

Referensi:
1. Al-Haqqul Waadhihul Mubiin, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, PDF
2. Fawaidul Fawaid ,libnil Qoyyim, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi.
3. Miftahu Daris Sa’adah, Ibnul Qoyyim
4. Tafsir Abdur Rahman As-Sa’di.
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.Or.Id
DAHSYATNYA BAHAYA MEMAKAN HARTA HARAM

DAHSYATNYA BAHAYA MEMAKAN HARTA HARAM


Oleh
Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib
Cinta dan tamak harta merupakan sifat, tabiat dan watak manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman
:
‫َوتُحِ بُّونَ ْال َما َل ُحبًّا َج ًّما‬
Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan [al-Fajr/89:20]
Usaha yang baik dan halal merupakan hal yang terpuji dalam agama Islam, karena Allâh Azza
wa Jalla memerintahkan manusia agar berkerja dan berusaha keras, sebagaimana firman-Nya :
ُ ‫امشُوا فِي َمنَا ِكبِ َها َو ُكلُوا مِ ْن ِر ْزقِ ِه ۖ َوإِلَ ْي ِه النُّش‬
‫ُور‬ َ ‫ه َُو الَّذِي َجعَ َل لَ ُك ُم ْاْل َ ْر‬
‫ض ذَلُ ا‬
ْ َ‫وًل ف‬
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya.Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin al-’Âs,‘Wahai Amr, Nikmat harta
yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih’(diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya
dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
‫ع َم ِل يَ ِد ِه‬ ْ ‫ي هللا َد ُاو َد – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ يَأ ُك ُل‬
َ ‫مِن‬ َّ ‫إن نَب‬ َ ‫أن يَأكُ َل مِ ْن‬
َّ ‫ َو‬، ‫ع َم ِل يَدِه‬ ُّ َ‫طعَاما ا ق‬
ْ ‫ط َخيْرا ا مِ ْن‬ َ ‫َما أ َك َل أ َ َح ٌد‬
‘Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada memakan hasil jerih
payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud Alaihissallam makan dari hasil jerih payahnya
sendiri’. [HR. al-Bukhâri]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
ْ
َ َّ‫أن يَسْأ َل الن‬
، ‫اس‬ ْ ‫ َخي ٌْر لَه ُ مِ ْن‬، ُ‫ف هللاُ بِ َها َوجْ َهه‬ َ ‫علَى‬
ّ ‫ فَي ُك‬، ‫ظ ْه ِر ِه فَيَبِيعَ َها‬ َ ‫ِي ب ُحز َم ٍة مِ ْن َح‬
َ ‫طب‬ َ ‫ْل َ ْن يَأ ُخذَ أ َح ُد ُك ْم أحبُلَهُ ث ُ َّم يَأت‬
َ ‫ فَيَأت‬، ‫ِي ال َجبَ َل‬
ُ ‫ط ْوهُ أ َ ْو َمنَعُوه‬
َ ‫أ ْع‬
Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian
pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian
dengan hasil itu Allâh mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta
kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak’[HR. al-Bukhâri]
Allâh Azza wa Jalla menjadikan rasa suka dan cinta terhadap harta sebagai cobaan dan ujian.
Karena, Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang Mahaagung yang telah menetapkan ketuhanan dan
keesaan-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’ân kemudian juga mengingatkan bahwa Dialah satu-
satunya yang mengatur hukum halal dan haram, satu-satunya Pencipta dan Pemberi rezeki,
yang berhak mengatur kehidupan dunia ini. Jadi hak untuk menetapan hukum halal dan haram
hanyalah milik-Nya semata.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
َ ‫ان ۚ إِنَّهُ لَ ُك ْم‬
ٌ‫عد ٌُّو ُمبِين‬ ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ت ال‬ ُ ‫ط ِيّباا َو ًَل تَتَّبِعُوا ُخ‬
ِ ‫ط َوا‬ َ ‫ض َح ََل اًل‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
ِ ‫اس ُكلُوا مِ َّما فِي ْاْل َ ْر‬
Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu”. [al-Baqarah/2:168]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
َ‫َّللا الَّذِي أ َ ْنت ُ ْم بِ ِه ُمؤْ مِ نُون‬
َ َّ ‫ط ِيّباا ۚ َواتَّقُوا‬ َّ ‫َو ُكلُوا مِ َّما َرزَ قَ ُك ُم‬
َ ‫َّللاُ َح ََل اًل‬
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah rezekikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya.[al-Mâidah/5:88]
Halalan thayyiban dalam ayat di atas sesuatu yang dihalakan bagi kalian dan bukan diperoleh
dengan cara yang diharamkan, seperti merampas, merampok, mencuri, riba, risywah atau
sogokan, korupsi, penipuan dan berbagai macam mu’âmalah haram lain.
Thayyiban maksudnya tidak al-khabîts, yakni tidak kotor atau najis, seperti bangkai, daging babi
atau anjing, minuman keras dan yang sejenisnya.
Orang-orang yang memiliki harta halal dan mata pencaharian yang halal adalah orang-orang
yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling
sukses kehidupannya. Kehormatan dan harga diri mereka bersih dan terjaga, rezeki mereka
penuh berkah dan citra mereka dimasyarakat selalu indah.
Mencari harta halal dengan cara yang halal adalah sifat mulia yang telah dicerminkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Mereka, para assalafus shâlih juga selalu
saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman dan mata
pencaharian.
Dari Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َ‫ َد َخ َل ْال َجنَّة‬، ُ‫الناس بَ َوائِقَه‬
ُ َ‫ َوأَمِن‬، ‫سنَّ ٍة‬
ُ ‫عمِ َل فِي‬ َ ‫َم ْن أ َك َل‬
َ ‫ و‬، ‫ط ِيّباا‬
Barangsiapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah dan masyarakat
sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia masuk surga’. [HR. Tirmidzi]
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ُ ‫ َو ِعفَّةٌ فِى‬،‫ َو ُح ْسنُ َخلِيقَ ٍة‬،ٍ‫صدْقُ َحدِيث‬
‫ط ْعمة‬ ِ ‫ َو‬،ٍ‫ظ أ َ َمانَة‬ َ َ‫ فََل‬، َ‫أ َ ْربَ ٌع ِإذَا ُك َّن فِيك‬
ُ ‫ حِ ْف‬:‫علَيْكَ َما فَاتَكَ مِنَ ال ُّد ْنيَا‬

Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu
tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik dan menjaga
urusan makanan’.
SIKAP ORANG-ORANG SHALIH
Banyak sekali potret orang-orang shalih terdahulu sebagai bukti kehati-hatian dan kewaspadaan
mereka dalam masalah ini. Diantaranya :
1. Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu . Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu
makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu
berkata, “Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu
menjawab, ‘Dari mana engkau dapat makanan ini?’ Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah
berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya
menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan
yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.” Mendengar hal itu Abu Bakar
Radhiyallahu anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan
semua makanan yang baru beliau makan.
2. Suatu ketika Umar Radhiyallahu anhu diberi minum susu dan beliau Radhiyallahu anhu begitu
senang. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu bertanya kepada orang yang memberinya minum,
“Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?” Orang itu menjawab, ‘Aku berjalan melewati
seekor unta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu aku
mengambil air susunya.’ Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar Radhiyallahu anhu
memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.
3. Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan ucapannya,
“Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allâh saat mencari rezeki untuk kami! Karena
sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan dahaga, akan tetepi kami tak akan mampu
menahan panas api neraka.”
Begitulah sikap wara’ orang-orang shalih, dalam rangka menjaga agama mereka, merealisasikan
ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak
jelas).
Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram untuk mengisi
perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫اس زَ َمانٌ ًَل يُبَالِي ْال َم ْر ُء بِ َما أ َ َخذَ ْال َما َل أَمِ ْن َح ََل ٍل أ َ ْم مِ ْن َح َر ٍام‬ َ ‫لَيَأْتِيَ َّن‬
ِ َّ‫علَى الن‬
Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi
dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram’. [HR. al-Bukhâri]
Rakus dan tamak terhadap dunia, mengekor kepada syahwat dan tamak akan rezeki serta
melupakan hari perhitungan menjadikan manusia terbuai untuk memburu angan-angan
gemerlap dan kelezatan dunia tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan usahanya.
Dari Khudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri
lalu berkata, “Kemarilah kalian semua!’ Kemudian para shahabat beliau menghampirinya dan
duduk menghadapnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Ini ada utusan Allâh
malaikat Jibril. Ia membisikkan ke dalam benakku bahwa satu jiwa tidak akan wafat sebelum
lengkap dan sempurna rezekinya sekalipun rezekinya terlambat datang kepadanya. Karena itu,
hendaklah kamu bertakwa kepada Allâh dan lakukanlah usaha dengan cara yang baik!
Janganlah kedatangan rezeki yang terlambat menyeretmu untuk bermaksiat kepada Allâh Azza
wa Jalla , karena apa yang ada di sisi Allâh hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.”
[HR. Bazzâr dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih]
Kalimat ‫( أجملوا في الطلب‬lakukanlah usaha dengan cara yang baik!) dalam hadits di atas maksudnya
adalah usaha mencari rezeki agar memperoleh pendapatan dunia.
PENGARUH MAKANAN HARAM
Adakalanya seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih akan tetapi ia
memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah mengkonsumsi harta yang haram,
padahal akibatnya sangat fatal. Orang seperti ini akan rugi di dunia dan di akhirat. Amal
ibadahnya tertolak, doanya tidak akan diijabahi (tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla) dan
harta serta usahanya tidak akan diberkahi.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla baik dan Dia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan
sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang telah
diperintahkan kepada para Rasul. sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :
َ َ‫صا ِل احا ۖ ِإنِّي ِب َما ت َ ْع َملُون‬
‫علِي ٌم‬ َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬ َّ َ‫س ُل ُكلُوا مِ ن‬
ِ ‫الط ِيّبَا‬ ُّ ‫يَا أَيُّ َها‬
ُ ‫الر‬
Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku
Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan [al-Mukminûn/23:51]
Allâh juga berfirman :
‫ت َما َرزَ ْقنَا ُك ْم‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكلُوا مِ ْن‬
ِ ‫ط ِيّبَا‬
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan
kepada kalian”[al-Baqarah/2:172].
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal seorang lelaki yang
sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang
menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan
makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan? [HR. Muslim]
Oleh sebab itu, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima. Dari Ibnu Umar
Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ُ ‫ص َدقَةا مِ ْن‬
‫غلُو ٍل‬ َ َ‫ َوًل‬، ‫ور‬ َ ‫صَلة ا بِغَي ِْر‬
ٍ ‫ط ُه‬ َّ ‫ًلَ يَ ْقبَ ُل‬
َ ُ‫َّللا‬
Allâh tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan tidak akan menerima
sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi) [HR. Muslim]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ُ‫صدَّقَ مِ ْنهُ لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ فِي ِه أَجْ ٌر َو َكانَ إِص ُْره‬
‫علَ ْي ِه‬ َ َ ‫اًل َح َرا اما ث ُ َّم ت‬
‫ َو َم ْن َج َم َع َم ا‬، َ‫علَيْك‬ َ َ‫إِذَا أ َ َّديْتَ زَ كَاة َ َما ِلكَ فَقَ ْد ق‬
َ ‫ضيْتَ َما‬
‘Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan
barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan
harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’.
[HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
ٍ ْ‫يَا َكعْبُ بْنَ عُجْ َرة َ ِإنَّهُ ًلَ يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ لَحْ ٌم نَبَتَ مِ ْن سُح‬
‫ت‬
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari
makanan haram. [HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya]
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdabda :
‫ار أَولَى بِ ِه‬ ِ َ‫ت إًلَّ كَان‬
ُ َّ‫ت الن‬ ٍ ‫سح‬ ْ َ‫يَا َكعْبُ بْنَ عُجْ َرة َ ًلَ يَ ْربُو لَحْ ٌم نَبَت‬
ُ ‫مِن‬
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka
lebih utama atasnya. [HR. Tirmidzi]
Kata ‫ السحت‬dalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam segala bentuk dan
macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil harta anak yatim dan hasil dari berbagai
bisnis yang diharamkan syari’at.
Hendaklah setiap individu Muslim selalu ingat, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan
menanyakan di hari Kiamat tentang harta masing-masing orang, dari mana ia memperolehnya
dan kemana ia infakkan? Sebuah pertanyaan untuk sebuah penegasan dan penghitungan, yang
kemudian diiringi balasan dah hukuman yang adil.
Maka barangsiapa melatih dirinya agar memiliki sifat takwa, wara’ (menahan dari yang haram),
‘iffah (menjaga kehormatan), qanâ’ah (merasa cukup dengan yang ada dan halal) serta menjadi
orang senantiasa melakukan introspeksi diri, maka sifat itu akan menjadi tabiat dan karakternya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ْ ُ ‫قُ ْل َمت َاعُ ال ُّد ْنيَا قَلِي ٌل َو ْاْلخِ َرة ُ َخي ٌْر ِل َم ِن اتَّقَ ٰى َو ًَل ت‬
‫ظلَ ُمونَ فَت ا‬
‫ِيَل‬
Katakanlah! “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-
orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” [an-Nisâ’/4:7]
Dari Khaulah al-Anshâriyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
‫ار يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬
ُ َّ‫ق فَلَ ُه ْم الن‬
ٍ ّ ‫َّللا ِبغَي ِْر َح‬ ‫ِإ َّن ِر َج ا‬
ِ ‫اًل يَتَخ ََّوضُونَ فِي َم‬
ِ َّ ‫ال‬
Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allâh bukan dengan cara yang
haq, sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat’ [HR. al-Bukhâri]
GHULUL, DOSA BESAR YANG DIREMEHKAN
Diantara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl. al-
Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau
memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya
bukan untuk kepentingan umum. Prilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa
menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini
terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat, sebagaimana termaktub dalam al-
Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
‫غ َّل يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬ ِ ْ ‫َو َم ْن يَ ْغلُ ْل يَأ‬
َ ‫ت بِ َما‬
Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [ali Imrân/3:161]
Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-
Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan.
Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda
:‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan,
‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah
ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allâh Azza wa Jalla , tidaklah
seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang
dengannya pada hari Kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah)
unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka
akan keluar suara kambing.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah
menyampaikannya?’[HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami
telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah
ghulûl (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]
Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini
merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak
yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulûl
(korupsi) dibiarkan, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu
yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar.
Jika ghulûl (mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya) sudah menjadi hal jamak atau
lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil
harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka.
Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga
terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan
menghancurkan moral serta membangkitkan egois. Semua ini akan menyeret seseorang untuk
berbuat zhalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan.
Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada
masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka
peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar,
banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah,
kezhaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam harits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’.
Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah
amanah.”
PENUTUP
Maka tiada jalan untuk selamat dari siksa Allâh Azza wa Jalla , kecuali dengan murâqabatullâh
(merasa selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla) disaat sepi atau ramai, selalu takut
kepada Allâh sebelum takut kepada manusia. Dan tidak ada jalan untuk membangkitkan umat
dan memajukannya serta melepaskannya dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan
kecuali dengan menegakkan keadilan, menghilangkan kezhaliman, mempekerjakan orang yang
amanat.
(Diangkat dari khutbah jum’ah di Masjidil Haram di Mekah yang disampaikan oleh Syaikh Shalih
bin Muhammad Alu Thalib pada tanggal 16/3/1435 dengan judul Khuthûratu Aklil Mâlil Harâm )
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 12/Tahun XVII/1435H/2014M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57773 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber: https://almanhaj.or.id/4178-dahsyatnya-bahaya-memakan-harta-haram.html
HARTA HARAM SUMBER PETAKA DUNIA DAN AKHIRAT

HARTA HARAM SUMBEF PETAKA DUNIA DAN AKHIRAT


Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Setiap insan tentu mendambakan kehidupan yang berbahagia, damai dan jauh dari berbagai
kesusahan. Untuk tujuan ini, orang rela mengorbankan harta, waktu dan tenaga yang mereka
miliki demi meraih apa yang mereka ungkapkan sebagai ‘kebahagian dan ketenangan hidup
yang sejati’.
Ironisnya, dalam upaya mencari kebahagiaan dan ketenangan hidup ini, di antara mereka ada
yang menempuh jalan yang keliru dan justru menjerumuskan mereka kedalam jurang
kesengsaraan dan malapetaka, dengan mengikuti godaan dan tipu daya setan yang selalu
menghiasi keburukan amal perbuatan manusia. Allah berfirman:
‫ُض ُّل َم ْن يَشَا ُء َويَ ْهدِي َم ْن يَشَا ُء‬ َ َّ ‫سناا ۖ فَإ ِ َّن‬
ِ ‫َّللا ي‬ َ ‫ع َم ِل ِه فَ َرآهُ َح‬ ُ ُ‫أَفَ َم ْن ُز ِيّنَ لَه‬
َ ‫سو ُء‬
Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap
perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka
sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. [Fathir/35:8]
Allah Yang Maha Menciptakan, Menguasai dan Mengatur alam semesta beserta semua makhluk
di dalamnya, Dialah yang memiliki dan menguasai segala bentuk kebaikan dan kebahagiaan
yang dibutuhkan oleh semua manusia, dan semua itu akan diberikan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ٌ ‫َيءٍ قَد‬
‫ِير‬ َ َ‫قُ ِل اللَّ ُه َّم َمالِكَ ْال ُم ْلكِ تُؤْ تِي ْال ُم ْلكَ َم ْن تَشَا ُء َوت َ ْن ِزعُ ْال ُم ْلكَ مِ َّم ْن تَشَا ُء َوتُع ُِّز َم ْن تَشَا ُء َوت ُ ِذ ُّل َم ْن تَشَا ُء ۖ بِيَدِكَ ْال َخي ُْر ۖ ِإنَّك‬
ْ ‫علَ ٰى ُك ِّل ش‬
Katakanlah,”Ya Allah Yang maha memiliki semua kerajaan (kekuasaan di alam semesta),
Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan
dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala kebaikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[Ali ‘Imran/3:26].
Dan orang-orang yang dikehendaki dan dipilih-Nya untuk meraih kebahagiaan hidup adalah
orang-orang beriman yang selalu berpegang teguh dengan petunjuk-Nya. Allah berfirman:
ْ
‫ض ُّل َو ًَل يَ ْشقَ ٰى‬ َ ‫فَإِ َّما يَأتِيَنَّ ُك ْم مِ نِّي هُداى فَ َم ِن اتَّبَ َع هُ َد‬
ِ َ‫اي فَ ََل ي‬
Maka jika datang kepadamu (wahai manusia) petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara (dalam hidupnya).
[Thaha/20:123].
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman:
َ‫س ِن َما كَانُوا يَ ْع َملُون‬ َ ‫صا ِل احا مِ ْن ذَك ٍَر أ َ ْو أ ُ ْنث َ ٰى َوه َُو ُمؤْ مِ نٌ فَلَنُحْ يِيَنَّهُ َحيَاة ا‬
َ ْ‫ط ِيّبَةا ۖ َولَنَجْ ِزيَنَّ ُه ْم أَجْ َرهُ ْم بِأَح‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫عمِ َل‬
Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik/bahagia (di
dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl/16:97].
KETENANGAN HIDUP DIRAIH DENGAN MATERI DUNIAWI?
Kebanyakan manusia menilai dengan kebodohannya bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup
diraih dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan menggapai kedudukan duniawi
setinggi-tingginya, sebagai akibat dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan sifat materialistis dalam
diri mereka. Allah Azza wa Jallaberfirman:
َ ‫ظاه اِرا مِ نَ ْال َحيَاةِ ال ُّد ْنيَا َوهُ ْم‬
َ‫ع ِن ْاْلخِ َرةِ هُ ْم غَافِلُون‬ َ َ‫يَ ْعلَ ُمون‬
Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedangkan tentang
(kehidupan) akhirat mereka lalai. [ar-Rum/30:7].
Artinya, mereka hanya memahami dan mengutamakan perhiasan duniawi yang tampak di mata
mereka, sementara mereka melalaikan balasan kebaikan yang kekal abadi di akhirat [1]
Oleh karena itu, mereka berusaha sekuat tenaga dan berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan
duniawi, tanpa mengenal lelah dan waktu. Sifat tamak ini, paling tidak akan menyeret mereka
kepada dua kerusakan dan keburukan besar:
1. Cinta kepada dunia/harta yang berlebihan.
2. Ambisi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa peduli halal atau haram.
Dua kerusakan besar ini sudah cukup menjadi awal malapetaka besar bagi seorang hamba dan
pada gilirannya akan membawa bencana-bencana besar lainnya, jika hamba dia tidak menyadari
bahaya ini dan bertobat kepada Allah.
Renungkanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
‫سو َوت ُ ْه ِل َككُ ْم َك َما‬ ُ َ‫ فَتَنَاف‬,‫علَى َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم‬
ُ َ‫سوهَا َك َما تَنَاف‬ َ ‫علَ ْي ُك ُم ال ُّد ْنيَا َك َما بُ ِس‬
ْ ‫ط‬
َ ‫ت‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم أ َ ْن ت ُ ْب‬
َ ‫س‬
َ ‫ط‬ َ ‫َوهللا ِ ًلَ ْالفَ ْق َر أ َ ْخشَى‬
َ ‫ َولَك ِْن أ َ ْخشَى‬,‫علَ ْيكُ ْم‬
‫أ َ ْهلَ َكتْ ُه ْم‬
Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi
yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah)
bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian,
maka kalian pun berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berlomba-lomba
mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia (harta) itu membinasakan kalian sebagaimana dunia
membinasakan mereka [2]
Arti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “… sehingga (akibatnya) dunia (harta) itu
membinasakan kalian”: dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan, disebabkan
persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya
serta kesibukan dalam mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wa
Ta’aladan balasan di akhirat [3].
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ َوفِتْنَةُ أ ُ َّمتِي ْال َما ُل‬,‫ِإ َّن ِل ُك ِّل أ ُ َّم ٍة فِتْنَةا‬
Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan
fitnah (pada) umatku adalah harta.
Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak
agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-
Nya:
َ ‫َّللاُ ِع ْن َدهُ أَجْ ٌر‬
‫عظِ ي ٌم‬ َّ ‫إِنَّ َما أ َ ْم َوالُ ُك ْم َوأ َ ْو ًَل ُدكُ ْم فِتْنَةٌ ۚ َو‬
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar. [at-Taghabun/64:15][4].
Dalam dua hadits di atas terdapat nasehat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-
pintu harta, hendaknya dia mewaspadai bahaya dan fitnah harta, dengan tidak berlebihan dalam
mencintainya dan terlalu berambisi dalam mengejarnya [5].
Maka mungkinkah seseorang akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya
kalau sifat yang merupakan sumber kebinasaan dan bencana ini selalu ada pada dirinya?.
Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa malapetaka dan bencana yang menimpa orang
yang memiliki sifat ini akan terus bertambah besar seiring dengan semakin rakusnya dia
mengejar harta benda duniawi dan banyaknya dia mengkonsumsi harta yang haram. Hal ini
dikarenakan secara tabiat, nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas dan cukup dengan
harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya [6], kecuali orang-
orang yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya
seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas, maka dia pasti akan
menginginkan lembah (harta) yang ketiga”[7].
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya
siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut dan tanpa
memperdulikan cara-cara yang halal atau haram. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus
terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar
bagi dirinya di dunia, sebelum siksaan yang lebih besar di akhirat nanti.
Imam Ibnul Qayyim berkata:”Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan
lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang,
keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada berakhir [8].
Dalam hal ini, seorang Ulama Salaf berkata: “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara
berlebihan), maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam
penderitaan”[9].
DAMPAK BURUK DAN BENCANA DARI HARTA YANG HARAM DALAM KEHIDUPAN
MANUSIA
Sebagaimana yang kami paparkan di atas bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup sejati
hanya Allah akan anugerahkan kepada orang-orang yang berpegang teguh dengan petunjuk-
Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam hal ini,
menjauhi harta haram dan segala sesuatu yang didapatkan dengan cara yang tidak dibenarkan
dalam Islam.
Allah enggan memberikan kebahagiaan dan ketenangan hidup bagi orang-orang yang berpaling
dari petunjuk-Nya, di dunia dan akhirat, sebagaimana firman-Nya:
‫﴾ قَا َل‬١٢٥﴿ ‫يرا‬ ‫ص ا‬ ِ َ‫﴾ قَا َل َربّ ِ ل َِم َحش َْرتَنِي أ َ ْع َم ٰى َوقَ ْد ُك ْنتُ ب‬١٢٤﴿ ‫ض ْن اكا َونَحْ ش ُُرهُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة أ َ ْع َم ٰى‬
َ ‫شةا‬
َ ‫ع ْن ِذ ْك ِري فَإِ َّن لَهُ َمعِي‬ َ ‫َو َم ْن أَع َْر‬
َ ‫ض‬
ْ ُ ْ َ ٰ ُ ْ َ
َ ‫َكذلِكَ أتَتكَ آيَاتنَا فَنَسِيت َ َها ۖ َو َكذلِكَ اليَ ْو َم تن‬
‫س ٰى‬ َ ٰ

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan/petunjuk-Ku, maka sesungguhnya baginya


penghidupan yang sempit (sengsara) (di dunia), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari
Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan
aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah berfirman:
“Demikianlah, dulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan
begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan. [Thaha/20:124-126].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menyelisihi perintah-Ku dan
ketentuan syariat yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, (dengan) berpaling darinya,
melupakannya dan mengambil selain petunjuknya, maka baginya penghidupan yang
sempit/sengsara, yaitu di dunia, sehingga dia tidak akan merasakan ketenangan (hidup) dan
tidak ada kelapangan dalam hatinya. Bahkan hatinya sempit dan sesak karena
penyimpangannya, meskipun (terlihat) secara lahir (hidupnya) senang, berpakaian, makan dan
bertempat tinggal sesukanya, akan tetapi hatinya selalu diliputi kegundahan, keguncangan dan
keraguan, karena dirinya jauh dari kebenaran dan petunjuk-Nya”[10].
Maka orang yang menimbun harta yang haram tidak mungkin merasakan kebahagiaan dan
ketenangan sejati dalam hidupnya, berapapun banyaknya harta dan kemewahan duniawi yang
dimilikinya, bahkan ini justru akan membawa penderitaan yang berkepanjangan dalam hidupnya.
Oleh karena itu, secara khusus, beberapa ulama ahli tafsir menafsirkan ‘penghidupan yang
sempit/sengsara’ dalam ayat ini dengan kasbul haram (penghasilan/harta yang haram)[11], yang
menandakan bahwa harta haram merupakan salah satu faktor utama yang menjadikan manusia
selalu ditimpa bencana dan kesulitan dalam hidupnya.
Imam Ibnul Jauzi menukil ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu
anhuma, bahwa beliau berkata:”Penghidupan yang sempit (artinya) disempitkan baginya pintu-
pintu kebaikan (penghasilan yang halal), sehingga dia tidak mendapatkan petunjuk kepada
kebaikan dan dia mempunyai pengahasilan yang haram sebagai usahanya”.
Semakna dengan itu, Imam adh-Dhahhak dan ‘Ikrimah berkata, “Penghidupan yang sempit ini
yaitu al-kasbul khabits (usaha/penghasilan yang buruk/haram)[12].
Berikut ini, beberapa keburukan dan kerusakan akibat harta yang didapatkan dengan cara
haram, sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam :
1. Mengkonsumsi harta yang haram adalah perbuatan maksiat kepada Allah dan mengikuti
langkah-langkah setat/Iblis. Allah berfirman:
‫﴾ ِإنَّ َما يَأ ْ ُم ُر ُك ْم بِالسُّوءِ َو ْالفَحْ شَاءِ َوأ َ ْن‬١٦٨﴿ ٌ‫عد ٌُّو ُمبِين‬
َ ‫ان ۚ إِنَّهُ لَ ُك ْم‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ت ال‬ ُ ‫ط ِيّباا َو ًَل تَتَّبِعُوا ُخ‬
ِ ‫ط َوا‬ َ ‫ض َح ََل اًل‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
ِ ‫اس ُكلُوا مِ َّما فِي ْاْل َ ْر‬
َ َ
َ‫َّللا َما ًل ت َ ْعل ُمون‬ َ
ِ َّ ‫على‬ َ ‫تَقولوا‬ُ ُ
Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata
bagimu. Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, serta
mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui. [al-Baqarah/2:168-169].
Mengikuti langkah-langkah syaithan adalah dengan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh
Allah dan mengahalalkan apa yang diharamkan-Nya, termasuk dalam hal ini memakan harta
yang haram.[13]
2. Ancaman adzab Neraka bagi orang yang mengkonsumsi harta haram. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:”Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang
haram (dan) neraka lebih layak baginya”[14]
3. Mengkonsumsi harta haram adalah termasuk sebab utama tidak dikabulkannya doa dan ini
adalah sebesar-besar bencana bagi hamba.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda menceritakan tentang seorang laki-laki
yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, tubuhnya dipenuhi debu, ketika
itu lelaki tersebut berdoa dengan mengangkat kedua tangannya ke langit dan menyebut nama
Allah : Wahai Rabb, wahai Rabb…, lalu beliau bersabda:
(Sedangkan) laki-laki tersebut mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal,
pakaiannya pun tidak halal dan selalu diberi (makanan) yang tidak halal, maka bagaimana
mungkin permohonannya akan dikabulkan (oleh Allah)?[15].
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang tersebut
sebenarnya telah menghimpun banyak faktor yang seharusnya memudahkan terkabulnya
permohonan dan doanya, akan tetapi karena perbuatan maksiat yang dilakukannya, yaitu
mengkonsumsi harta yang haram, sehingga dikabulkannya doa tersebut terhalangi.[16].
Inilah makna firman Allah Azza wa Jalla :
ُ ‫ان ۖ فَ ْليَ ْست َِجيبُوا لِي َو ْليُؤْ مِ نُوا ِبي لَعَلَّ ُه ْم يَ ْر‬ َ ‫َّاع ِإذَا َد‬ ُ َ ‫سأَلَكَ ِعبَادِي‬
َ ‫َو ِإذَا‬
َ‫شدُون‬ ِ ‫ع‬ ِ ‫عنِّي فَإِنِّي قَ ِريبٌ ۖ أ ِجيبُ َدع َْوة َ الد‬
Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah) bahwa sesungguhnya Aku
Maha Dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-
Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam petunjuk [al-Baqarah/2:186].
Salah seorang ulama terdahulu, Yahya bin Mu’adz ar-Razi [17], mengungkapkan hal ini dalam
ucapan beliau: “Janganlah sekali-kali kamu merasa (permohonanmu) terlalu lama tidak
dikabulkan ketika kamu berdoa (kepada Allah), karena sungguh kamu (sendiri) yang telah
menutup pintu-pintu pengabulan (doamu) dengan dosa-dosamu”.[18].
Musibah apa yang lebih besar bagi hamba jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah? Bukankah
setiap saat dia punya kebutuhan dalam urusan dunia maupun agama? Lalu siapakah yang dapat
memenuhi kebutuhan dan memudahkan urusannya selain Allah? Siapakah yang dapat
mengabulkan permohonannya jika Allah berpaling darinya?
Maha benar Allah Azza wa Jalla yang berfirman:
‫ي ْال َحمِ ي ُد‬
ُّ ِ‫َّللاُ ه َُو ْالغَن‬ ِ َّ ‫اس أ َ ْنت ُ ُم ْالفُقَ َرا ُء إِلَى‬
َّ ‫َّللا ۖ َو‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
Hai manusia, kamulah yang butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya
(tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji. [Fathir/35:15]
Bahkan karena doa merupakan inti dari ibadah shalat, maka dikhawatirkan shalat seorang yang
mengkonsumsi harta yang haram tidak diterma oleh Allah. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma
berkata: “Allah tidak menerima shalat seorang yang di dalam perutnya ada (makanan) yang
haram, sampai dia bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut”[19].
4. Tidak diterimanya harta yang haram meskipun diinfakkan/dibelanjakan dalam ketaatan
kepada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Sesungguhnya Allah Maha Baik
dan Dia tidak menerima kecuali yang baik (halal)”[20].
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,”Barangsiapa yang menginfakkan (harta) yang
haram dalam ketaatan (kepada Allah), maka dia seperti orang yang membersihkan (mencuci)
pakaian dengan air kencing, padahal pakaian tidak dapat dibersihkan kecuali dengan air (yang
bersih dan suci), (sebagaimana) dosa tidak dihapuskan kecuali dengan (harta) yang halal”[21].
5. Mengkonsumsi harta yang haram merupakan sebab terhalangnya seseorang dari melakukan
amal shaleh, sebagaimana mengkonsumsi harta yang halal merupakan sebab yang memotivasi
manusia untuk beramal shaleh.
Allah mengisyaratkan eratnya keterkaitan antara mengkonsumsi makanan yang halal dengan
semangat beramal shaleh, dalam firman-Nya:
َ َ‫صا ِل احا ۖ ِإ ِنّي ِب َما ت َ ْع َملُون‬
‫علِي ٌم‬ َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬ َّ َ‫س ُل ُكلُوا مِ ن‬
ِ ‫الط ِيّبَا‬ ُّ ‫يَا أَيُّ َها‬
ُ ‫الر‬
Wahai rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan kerjakanlah amal yang shaleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[al-Mukminun/23:51].
Ayat ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal merupakan sebab yang
mendorong manusia untuk beramal shaleh dan sebab diterimanya amal shaleh tersebut [22].
6. Mengkonsumsi harta yang haram termasuk sifat mayoritas orang-orang dimurkai oleh Allah
Azza wa Jalla (orang-orang Yahudi). Allah Azza wa Jalla berfirman:

ِ ‫اْلثْ ِم َو ْالعُد َْو‬


َ ْ‫ان َوأ َ ْك ِل ِه ُم السُّحْ تَ ۚ لَبِئ‬
َ‫س َما كَانُوا يَ ْع َملُون‬ ِ ْ ‫ارعُونَ فِي‬
ِ ‫س‬َ ُ‫ِيرا مِ ْن ُه ْم ي‬
‫َوت ََر ٰى َكث ا‬
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera berbuat dosa,
permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah
kerjakan itu. [al-Maidah/5:62]
Maka melakukan perbuatan ini berarti meniru dan menyerupai sifat mereka, padahal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk golongan mereka [23].
7. Tersebarnya harta yang haram merupakan sebab turunnya bencana dan azab dari Allah Azza
wa Jalla kepada masyarakat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,”Apabila perbuatan zina dan riba telah tampak
(tersebar) di suatu desa, maka sungguh mereka telah mengundang azab (dari) Allah untuk
menimpa mereka [24].
Inilah makna firman Allah Azza wa Jalla :
َ‫عمِ لُوا لَعَلَّ ُه ْم يَ ْر ِجعُون‬
َ ‫ض الَّذِي‬ ِ َّ‫ت أ َ ْيدِي الن‬
َ ‫اس ِليُذِيقَ ُه ْم بَ ْع‬ َ ‫سا ُد فِي ْالبَ ِ ّر َو ْالبَحْ ِر بِ َما َك‬
ْ َ‫سب‬ َ َ‫ظ َه َر ْالف‬
َ
Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan
(maksia)[25] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [ar-Rum/30:41].
Demikian juga firman-Nya:
َ ‫ت أ َ ْيدِي ُك ْم َويَ ْعفُو‬
ٍ ‫ع ْن َكث‬
‫ِير‬ ْ َ‫سب‬
َ ‫صيبَ ٍة فَبِ َما َك‬ َ َ ‫َو َما أ‬
ِ ‫صابَ ُك ْم مِ ْن ُم‬
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).[asy-Syura/42:30].
Oleh karena keburukan dan kerusakan ini, Imam adz-Dzahabi memasukkan perbuatan
mengkonsumsi harta yang haram dengan cara apapun termasuk dosa-dosa yang sangat besar
dalam kitab al-Kabair (hlm.118).
HARTA HALAL SEBAB KECUKUPAN, KELAPANGAN HATI DAN KETENANGAN HIDUP
Dalam doa masyhur yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali bin
Abi Thalib Radhiyallahu anhu.
َ‫ع َّم ْن س َِوك‬ ْ َ‫ع ْن َح َرامِ كَ َوأ َ ْغنِنِى بِف‬
َ َ‫ضلِك‬ َ َ‫اَللَّ ُه َّم ا ْك ِفنِى بِ َحَلَلِك‬
Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezeki-Mu yang halal (dan jauhkanlah aku) dari
yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karunia-Mu (sehingga aku tidak butuh) kepada
selain-Mu [26].
Hadits yang agung ini memuat petunjuk bahwa rezeki yang halal adalah sebab kecukupan dan
limpahan karunia dari Allah kepada manusia, dan jika Allah telah mencukupi seorang hamba
dengan karunia-Nya maka siapakah yang dapat mencelakakan dan menghinakan hamba
tersebut? Allah berfirman yang artinya: Bukankah Allah maka mencukupi hamba-Nya (dalam
semua keperluannya)? [az-Zumar/39:36].
Dengan demikian, kecukupan, kelapangan hati dan ketenangan hidup manusia hanya dapat
diraih dengan mengikuti petunjuk Allah dan mengikuti ketentuan syariat-Nya, termasuk dalam hal
ini mencukupkan diri dengan harta yang halal dan menjauhi yang haram.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
َ‫س ِن َما كَانُوا يَ ْع َملُون‬ َ ‫صا ِل احا مِ ْن ذَك ٍَر أ َ ْو أ ُ ْنث َ ٰى َوه َُو ُمؤْ مِ نٌ فَلَنُحْ ِييَنَّهُ َحيَاة ا‬
َ ْ‫ط ِيّبَةا ۖ َولَنَجْ ِزيَنَّ ُه ْم أَجْ َرهُ ْم ِبأَح‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫عمِ َل‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia),
dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97].
Para Ulama Salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas denga
“kebahagiaan hidup” atau “rezeki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya [27].
Dalam ayat lain, Allah menjanjikan kemudahan dan terbukanya pintu rezeki bagi orang yang
selalu berpegang teguh dengan syariat-Nya, tidak terkecuali dalam hal mencari penghasilan
yang baik dan halal.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ُ ‫﴾ويَ ْر ُز ْقهُ مِ ْن َحي‬
ُ‫ْث ًَل يَحْ تَسِب‬ َ ٢﴿‫َّللا يَجْ عَ ْل لَهُ َم ْخ َر اجا‬
َ َّ ‫ق‬ِ َّ ‫َو َم ْن يَت‬
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar
(dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya. [ath-Thalaq/65:2-3].
Dalam ayat berikutnya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
‫َّللا يَجْ عَ ْل لَهُ مِ ْن أ َ ْم ِر ِه يُس اْرا‬
َ َّ ‫ق‬ِ َّ ‫َو َم ْن يَت‬
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan
dalam (semua) urusannya. [ath-Thalaq/65:4].
Artinya, Allah Azza wa Jalla akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta
mengadakan jalan keluar dan solusi yang segera baginya (untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya) [28].
SIFAT QANA’AH (SELALU MERASA CUKUP) ADALAH KEKAYAAN YANG PALING
BERHARGA
Sifat rakus dan ambisi besar untuk mengejar perhiasan dunia menyeret seorang manusia untuk
tidak pernah merasa puas sehingga dia selalu merasa hidup dalam kekurangan dan
ketidakbahagiaan, bagaimanapun berlimpahnya harta yang dimilikinya, dan cukuplah ini sebagai
bencana besar yang selalu menyertai hidupnya.
Renungkanlah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut: Dari Zaid bin Tsabit
Radhiyallahu anhu, ia berkata,”Kami mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan
urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) dihadapannya,
padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah
tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya, maka
Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam
hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya)”[29].
Oleh karena itu, yang menentukan kebahagiaan hidup dan ketenangan hati seorang hamba,
dengan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat qana’ah (merasa cukup dan puas
dengan rezeki halal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan) yang akan melahirkan sikap ridha
dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan
(yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[30].
Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang,
karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang terhadap segala ketentuan dan takdir Allah Azza
wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Akan merasakan manisnya (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad sebagai
rasul-nya”. [HR. Muslim no.34].
Arti “ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada ketentuan
dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[31].
Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan
kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak
banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang
secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas)
dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya” [HR. Muslim no.1054].
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia
menganugerahkan kepada kita semua rezki yang halal dan menjauhkan kita dari harta yang
haram, serta memudahkan kita memiliki sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-
Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/560 dan Taisir karimir Rahman halm. 636.
[2]. HSR al-Bukhari no.2988 dan Muslim no.2961.
[3]. Lihat catatan kaki Shahihul Bukhari 3/1152.
[4]. Lihat Faidhul Qadir 2/507.
[5]. Nasehat Imam Ibnu Baththal yang dinukil dalam Fathul Bari 11/245.
[6]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (hlm. 84 – Mawridul AmanI).
[7]. HR. Al-Bukhari no 6075 dan Muslim no.116.
[8]. Ighatsatul Lahfan (hlm. 83-84, Mawaridul Aman).
[9]. Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (hlm. 83, Mawaridul Aman).
[10]. Tafsir Ibnu Katsir 3/227.
[11]. Lihat penjelasan Imam Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir 5/331.
[12]. Zadul Masir 5/332.
[13]. Lihat Zadul Msir 1/172 dan Taisir Karimir Rahman hlm.80.
[14]. HR. Ahmad 3/321, ad-Darimi no.2776 dan al-Hakim 4/468, dishahihkan oleh al-Hakim,
disepakati oleh adz-Dzahabi dan al-Albani dalam Ash-Shahihah 6/108.
[15]. HR. Muslim no.1015.
[16]. Lihat Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.105-107.
[17]. Biografi beliau dalam Siyaru A’lamin Nubala 13/15.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 1154) dan dinukil oleh Imam
Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.108.
[19]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118 dan Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul
‘Ulumi wal Hikam hlm.101.
[20]. HR. Muslim no.1015.
[21]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118.
[22]. Lihat Taisirul Karimir Rahman hlm.81.
[23]. HR. Ahmad 2/50 dan Abu Dawud no.4031, berderajat hasan shahih menurut al-Albani.
[24]. HR. Al-Hakim 2/43 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir 1/178, dinyatakan shahih oleh
al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir no.679.
[25]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/576.
[26]. HR. Ahmad 1/153, at-Tirmidzi 5/560 dan al-Hakim 4/468. Hadits ini dishahihkan oleh al-
Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini berderajat hasan menurut al-Albani. Lihat ash-
Sahihah no.266.
[27]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/772.
[28]. Tafsir Ibnu Katsir 4/489.
[29]. HR. Ibnu Majah no.4105, Ahmad 5/183, ad-Darimi no.229, Ibnu Hibban no.680 dan lain-lain
dengan sanad yang shahih. Hadits ini berderajat shahih menurut Ibnu Hibban, al-Bushiri dan al-
Albani.
[29].HR. Al-Bukhari no.6081 dan Muslim no.120.
[31]. Lihat Fiqhul Asmail Husna hlm.81.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3853-harta-haram-sumber-petaka-dunia-dan-akhirat.html
Seorang pemuda bernama Idris berjalan menyusuri sungai. Tiba-tiba ia melihat buah delima yang hanyut
terbawa air. Ia ambil buah itu dan tanpa pikir panjang langsung memakannya.<>

Ketika Idris sudah menghabiskan setengah buah delima itu, baru terpikir olehnya, apakah yang
dimakannya itu halal? Buah delima yang dimakan itu bukan miliknya.

Idris berhenti makan. Ia kemudian berjalan ke arah yang berlawanan dengan aliran sungai, mencari dimana
ada pohon delima. Sampailah ia di bawah pohon delima yang lebat buahnya, persis di pinggir sungai. Dia
yakin, buah yang dimakannya jatuh dari pohon ini.

Idris lantas mencari tahu siapa pemilik pohon delima itu, dan bertemulah dia dengan sang pemilik, seorang
lelaki setengah baya.

“Saya telah memakan buah delima anda. Apakah ini halal buat saya? Apakah anda mengihlaskannya?”
kata Idris.

Orang tua itu, terdiam sebentar, lalu menatap tajam. “Tidak bisa semudah itu. Kamu harus bekerja menjaga
dan membersihkan kebun saya selama sebulan tanpa gaji,” katanya kepada Idris.

Demi memelihara perutnya dari makanan yang tidak halal, Idris pun langsung menyanggupinya.

Sebulan berlalu begitu saja. Idris kemudian menemui pemilik kebun.

“Tuan, saya sudah menjaga dan membersihkan kebun anda selama sebulan. Apakah tuan sudah
menghalalkan delima yang sudah saya makan?”

“Tidak bisa, ada satu syarat lagi. Kamu harus menikahi putri saya; Seorang gadis buta, tuli, bisu dan
lumpuh.”

Idris terdiam. Tapi dia harus memenuhi persyaratan itu.

Idris pun dinikahkan dengan gadis yang disebutkan. Pemilik menikahkan sendiri anak gadisnya dengan
disaksikan beberapa orang, tanpa perantara penghulu.

Setelah akad nikah berlangsung, tuan pemilik kebun memerintahkan Idris menemui putrinya di kamarnya.
Ternyata, bukan gadis buta, tulis, bisu dan lumpuh yang ditemui, namun seorang gadis cantik yang nyaris
sempurna. Namanya Ruqoyyah.

Sang pemilik kebun tidak rela melepas Idris begitu saja; Seorang pemuda yang jujur dan menjaga diri dari
makanan yang tidak halal. Ia ambil Idris sebagai menantu, yang kelak memberinya cucu bernama Syafi’i,
seorang ulama besar, guru dan panutan bagi jutaan kaum muslimin di dunia. (A. Khoirul Anam)
Imam Syafi’i, tentu kita tak asing lagi dengan sosok ini, seorang ulama mazhab yang memiliki
khazanah keilmuan yang begitu tinggi, bahkan negeri kita Indonesia mayoritas memilih pendapat
ulama ini sebagai mazhab utamanya. Imam Syafi’i telah mengkhatamkan hafal Al-quran sejak
usia 7 tahun, menghafal banyak hadits semenjak berusia 9 tahun dan telah menjadi mufti sejak
usia 14 tahun. Bahkan pada suatu ketika disaat ia mengajar di bulan puasa, Ia pernah minum
disaat sedang mengajar dan ketika murid-muridnya menegurnya ia menjelaskan kalau dirinya
belum baligh dan belum wajib berpuasa, Maa syaa Allah.
“Ia ibarat matahari bagi bumi, dan kesehatan bagi badan..Adakah yang bisa menggantikan
keduanya..?” .Begitulah Imam Ahmad bin Hambal memberikan sanjungan pada gurunya yang
satu ini. Imam Asy-Syaf’i, memiliki keluasan ilmu, kecerdasan yang luar biasa dan kekuatannya
dalam hafalan, Allah anugerahkan juga padanya kefasihan lisan dalam bahasa arab. Jika kita
bertanya, apa rahasia sukses dari seorang Imam Syafi’i maka tak terlepas dari seorang wanita
yang selalu ada dibelakangnya, selalu berjuang dan berkorban untuknya, selalu memberikan
pendidikan terbaik dan memfasilitasi pendidikan terbaik untuknya. Ya, wanita itu adalah ibunda
imam syafi’i ; Fathimah binti Ubeidillah.
Memilihkan ayah terbaik untuknya.
Idris, ayah dari Imam syafi’i adalah laki-laki pilihan dari ayahnya fathimah bin Ubeidillah karena
kejujurannya. Dikisahkan suatu saat Idris menemukan buah delima dipinggir sungai dalam
perjalanannya, dan disebabkan oleh rasa lapar ia memakan buah tersebut. Namun setelah Ia
memakan buah tersebut, ia teringat jikalau buah tersebut bukanlah haknya. Khawatir ada
makanan yang tidak halal masuk kedalam perutnya, iapun menyusuri sungai tersebut berusaha
menemui yang punya kebun dan meminta izin agar di ikhlaskan buah yang termakan olehnya.
Singkat cerita akhirnya yang empunya kebun memberikan syarat kepada si pemuda tersebut
agar menjaga kebunnya selama 1 bulan lalu juga dengan menikahi putrinya.
Itulah kisah pertemuan ayah-ibundanya Imam Syafi’i. Seorang pemuda yang jujur dan sangat
menjaga dirinya dengan seorang wanita yang terjaga pandangannya, terjaga pendengarannya
dan juga terjaga dirinya dari maksiat.
Menjaga setiap makanan yang masuk dalam perut Imam Syafi’i
Pernah suatu ketika Imam syafi’i kecil ditinggal dirumah sendiri oleh ibunya ke pasar. Ketika
sendirian dirumah, Imam syafi’i kecilpun menangis melihat hal ini tetangga Imam Syafi’i yang
kebetulan juga sedang menyusui merasa iba dan iapun menyusui Imam syafi’i kecil. Sesampai
ibundanya dirumah, setelah mengetahui kalau anaknya disusui oleh tetangganya, ia merasa
khawatir kalau ada hal yang tidak halal masuk ke tubuh anaknya melalui susu tetangganya
tersebut. Ibu Imam Syafi’i pun mengangkat tubuh Imam Syafi’i terbalik dan mengguncang-
guncang perutnya sampai semua yang masuk kedalam perutnya tadi keluar lagi.
Begitulah, ibunda Imam Syafi’i menjaga anaknya dari hal-hal yang tidak halal akan masuk ke
perutnya. Dari sini kita juga bisa melihat, ibunda Imam Syaf’i paham kalau ASI (Air Susu Ibu) ibu
sangat berpengaruh terhadap watak, karakter dan kepribadian anaknya kelak. Makanya ia
sangat berhati-hati terhadap air susu atau makanan yang masuk kedalam perut putranya.
Memberikan dan memfasilitasi tempat belajar terbaik bersama dengan ulama-ulama
terbaik.
Pada usia 10 tahun, sang ibunda telah melepas Imam Syafi’i untuk belajar ke Mekkah, belajar
lansung dengan para ulama di sini, menghafal hadits serta berbagai masalah ilmiah lainnya.
Pada akhirnya Ia menjadi seorang ‘alim ulama besar yang namanya, yang karyanya tetap
menyejarah sampai saat ini.
Mekkah adalah tempat terbaik, disini berkumpul ulama-ulama terbaik pula. Sang ibu ridho
melepas anaknya meski masih sangat kecil untuk belajar di kota ini, bahkan dengan pembiayaan
yang sangat minim sekalipun sebagaimana dituturkan oleh Imam Syafi’i sendiri : “Aku terlahir
sebagai anak yatim dalam asuhan ibuku, Ibu tak memiliki uang sedikitpun yang bisa diberikan
kepada guruku. Sebagai gantinya aku harus mengurus anak-anak didiknya ketika ia absen, dan
meringankan sebagian tugasnya. Seringkali aku harus mencari potongan-potongan tulang
sebagai media menulis…”
Jelaslah disini ketika kita mengingat petuah seorang ulama Hasan al banna, “Wanita adalah
tiang negara, jika baik wanita dalam suatu negara maka baik pulalah negara tersebut, namun
jika buruk wanitanya maka buruk jugalah negaranya”. Fathimah binti Ubeidillah telah
membuktikannya, Ia tak hanya melahirkan dan membesarkan putra yang besar pada zamannya,
namun juga seorang ulama yang sampai hari ini masih bersinar namanya dan bahkan makin
bersinar diasah masa.
Sumber foto : www.satujam.com
Alkisah ada seorang pemuda yang pergi menuntut ilmu. Di tengah perjalanan dia haus dan singgah
sebentar di sungai yang airnya jernih. Saat meminum airnya. terlihat sebuah apel yang terbawa
arus sungai, dia pun mengambilnya dan segera memakannya. Setelah tergigit apel itu, tersadar
dirinya dan berkata “Astagfirullah”.

Dirinya diliputi rasa bersalah karena telah memakan apel yang bukan miliknya. Dia
bergumam: “Apel ini pasti punya pemiliknya, lancang sekali aku sudah memakannya. Aku harus
menemui pemiliknya dan menebus apel ini”. Akhirnya dia menunda perjalanannya menuntut ilmu
dan pergi menemui sang pemilik apel dengan menyusuri bantaran sungai. Tak lama kemudian dia
sudah pada kebun apel yang tumbuh dengan lebat dan diyakini disitulah pemilik apel berada.

“Assalamualaikum….”ucap pemuda .”Waalaikumsalam wr.wb.”. Jawab seorang lelaki tua dari dalam
rumahnya. Pemuda itu dipersilahkan duduk dan dia pun langsung menyampaikan maksud dirinya
menemui orang tua itu atas kelancangan memakan buah apale yang bukan miliknya.

“Berapa harus kutebus harga apel ini agar kau ridha apel ini aku makan pak tua”. tanya pemuda
itu. Lalu pak tua itu menjawab. “Tak usah kau bayar apel itu, tapi kau harus bekerja di kebunku
selama 3 tahun tanpa dibayar, apakah kau mau?”

Pemuda itu tampak berfikir, kaget karena untuk segigit apel saja dia harus membayar dengan
bekerja di rumah bapak itu selama tiga tahun tanpa digaji, tapi hanya itu satu-satunya pilihan yang
harus diambilnya agar bapak itu ridha apelnya ia makan.”Baiklah pak, saya mau.”

Alhasil pemuda itu bekerja di kebun sang pemilik apel tanpa dibayar. Hari berganti hari, minggu,
bulan dan tahun pun berlalu. Tak terasa sudah tiga tahun dia bekerja dikebun itu. Dan hari terakhir
dia ingin pamit kepada pemilik kebun.

“Pak tua, sekarang waktuku bekerja di tempatmu sudah berakhir, apakah sekarang kau ridha atas
apel yang sudah aku makan?”.Pak tua itu diam sejenak. “Belum.” Pemuda itu terhenyak. “Kenapa
pak tua, bukankah aku sudah bekerja selama tiga tahun di kebunmu.””Ya, tapi aku tetap tidak ridha
jika kau belum melakukan satu permintaanku lagi.””Apa itu pak tua?”.”Kau harus menikahi putriku,
apakah kau mau?”

“Ya, aku mau.” jawab pemuda itu. Bapak tua itu mengatakan lebih lanjut. “Tapi, putriku buta, tuli,
bisu dan lumpuh, apakah kau mau?”. Pemuda itu tampak berfikir, bagaimana kalau dia harus
menikah dengan gadis yang tidak dikenalnya dan gadis itu cacat, buta, tuli, dan lumpuh.

Bagaimana dia bisa berkomunikasi nantinya? Tapi diapun ingat kembali dengan segigit apel yang
telah dimakannya. Dan dia pun menyetujui untuk menikah dengan anak pemilik kebun apel itu untuk
mencari ridha atas apel yang sudah dimakannya.

“Baiklah pak, aku mau.”.Segera pernikahan pun dilaksanakan. Setelah ijab kabul sang pemuda
itupun masuk kamar pengantin. Dia mengucapkan salam dan betapa kagetnya ketika dia mendengar
salamnya dibalas dari dalam kamarnya. Seketika itupun dia berlari mencari sang bapak pemilik apel
yang sudah menjadi mertuanya.

“Ayahanda…siapakah wanita yang ada didalam kamar pengantinku? Kenapa aku tidak menemukan
istriku?”.Pak tua itu tersenyum dan menjawab. “Masuklah nak, itu kamarmu dan yang di dalam sana
adalah istrimu.”Pemuda itu tampak bingung. “Tapi ayahanda, bukankah istriku buta, tuli tapi kenapa
dia bisa mendengar salamku?.Bukankah dia bisu tapi kenapa dia bisa menjawab salamku?”

Pak tua itu tersenyum lagi dan menjelaskan. “Ya, memang dia buta, buta dari segala hal yang
dilarang Allah. Dia tuli, tuli dari hal-hal yang tidak pantas didengarnya dan dilarang Allah. Dia
memang bisu, bisu dari hal yang sifatnya sia-sia dan dilarang Allah, dan dia lumpuh, karena tidak
bisa berjalan ke tempat-tempat yang maksiat.”
Pemuda itu hanya terdiam dan mengucap lirih: “Subhanallah…..”.Dan merekapun hidup berbahagia
dengan cinta dari Allah.

Dari pasangan suami-istri yang terjaga dari dosa dan maksiat, haram dan kemungkaran ini,
kemudian lahir seorang anak shaleh teladan, yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal Al-
Quran. Dialah Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam Syafi’i. Itulah buah
kesabaran dari ayah seorang ulama besar sepanjang masa ini. Sang ayah begitu sabar dalam
menahan dan menghindari makanan yang haram, ibu yang selalu menjaga kesuciannya.

Wallahu a’lam

(Kisah ini diambil dari facebook Islam n Kisah inspiratif)

Anda mungkin juga menyukai