Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
dan sahabatnya.
Sebagian muslim tidak mempedulikan apa yang masuk dalam perutnya. Asal enak dan ekonomis, akhirnya
disantap. Tidak tahu manakah yang halal, manakah yang haram. Padahal makanan, minuman dan hasil
nafkah dari yang haram sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan seorang muslim, bahkan untuk
kehidupan akhiratnya setelah kematian. Baik pada terkabulnya do’a, amalan sholehnya dan kesehatan
dirinya bisa dipengaruhi dari makanan yang ia konsumsi setiap harinya. Oleh karena itu, seorang muslim
begitu urgent untuk mempelajari halal dan haramnya makanan. Dan yang kita bahas kali ini adalah seputar
pengaruh makanan yang haram bagi diri kita. Moga bermanfaat.
Pertama: Makanan haram mempengaruhi do’a
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرسلُّ سلِينَ فَقَا َل ( يَا أَيُّ َهاَ ّللاَ أ َ َم َر ْالمؤْ ِمنِينَ بِ َما أ َ َم َر بِ ِه ْالم ْر
َّ طيِبًا َوإِ َّنَ َّطيِب لَ يَ ْقبَل إِل
َ َّللاَّ « أَيُّ َها النَّاس إِ َّن
ت َما ِ طيِبَا َ ع ِليم) َوقَا َل (يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنوا كلوا ِم ْن َ َصا ِل ًحا إِنِى بِ َما ت َ ْع َملون َ ت َوا ْع َملوا َّ َكلوا ِمن
ِ الطيِبَا
طعَمه َح َرام ْ ب َو َم
ِ ب يَا َر ِ اء يَا َر ِ س َمَّ ث أ َ ْغبَ َر يَمدُّ يَدَ ْي ِه إِلَى ال َ َسفَ َر أ َ ْشع َّ ث َّم ذَ َك َر.» )َرزَ ْقنَاك ْم
َّ الرج َل ي ِطيل ال
.» َِى بِ ْال َح َر ِام فَأَنَّى ي ْست َ َجاب ِلذَلِك َ َو َم ْش َربه َح َرام َو َم ْلبَسه َح َرام َوغذ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu
melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang
mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah
makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki
yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut,
masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai
Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya
dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan
do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Sa’ad,
أطب مطعمك تكن مستجاب الدعوة
“Perbaikilah makananmu, maka do’amu akan mustajab.” (HR. Thobroni dalam Ash Shoghir. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan sebagaimana dalam As Silsilah Adh Dho’ifah 1812)
Ada yang bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqosh,
ما رفعت إلى فمي لقمةً إل: تستجاب دعوتك من بين أصحاب رسول هللا – صلى هللا عليه وسلم – ؟ فقال
. ومن أين خرجت، وأنا عالم من أين مجيئها
“Apa yang membuat do’amu mudah dikabulkan dibanding para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lainnya?” “Saya tidaklah memasukkan satu suapan ke dalam mulutku melainkan saya mengetahui
dari manakah datangnya dan dari mana akan keluar,” jawab Sa’ad.
Dari Wahb bin Munabbih, ia berkata,
ْ سره
فلي ِطب طعمته، أن يستجيب هللا دعوته َّ من
“Siapa yang bahagia do’anya dikabulkan oleh Allah, maka perbaikilah makanannya.”
Dari Sahl bin ‘Abdillah, ia berkata,
من أكل الحالل أربعين يوما ً أجي َبت دعوته
“Barangsiapa memakan makanan halal selama 40 hari, maka do’anya akan mudah dikabulkan.”
Yusuf bin Asbath berkata,
. بسوء المطعم
ِ َّ بلغنا
أن دعا َء العبد يحبس عن السماوات
“Telah sampai pada kami bahwa do’a seorang hamba tertahan di langit karena sebab makanan jelek
(haram) yang ia konsumsi.”
Gemar melakukan ketaatan secara umum, sebenarnya adalah jalan mudah terkabulnya do’a. Sehingga
tidak terbatas pada mengonsumsi makanan yang halal, namun segala ketaatan akan memudahkan
terkabulnya do’a. Sebaliknya kemaksiatan menjadi sebab penghalang terkabulnya do’a.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan memudahkan terkabulnya do’a. Oleh
karenanya pada kisah tiga orang yang masuk dan tertutup dalam suatu goa, batu besar yang menutupi
mereka menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di mana mereka melakukan amalan
tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a pada Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut
sehingga doa mereka pun terkabul.”
Wahb bin Munabbih berkata,
َّ الط ِيب َو ْال َع َمل ال
} صا ِلح َي ْرفَعه َّ ص َعد ْال َك ِلم
ْ َ { ِإلَ ْي ِه ي: ثم تال قوله تعالى، العمل الصالح يبلغ الدعاء
“Amalan sholeh akan memudahkan tersampainya (terkabulnya) do’a. Lalu beliau membaca firman
Allah Ta’ala, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.”
(QS. Fathir: 10)
Dari ‘Umar, ia berkata,
حرم هللا يقبل هللا الدعاء والتسبي َح
َّ بالورع عما
“Dengan sikap waro’ (hati-hati) terhadap larangan Allah, Dia akan mudah mengabulkan do’a dan
memperkanankan tasbih (dzikir subhanallah).”
Sebagian salaf berkata,
وقد سددتَ طرقها بالمعاص، ل تستبطئ اإلجابة
“Janganlah engkau memperlambat terkabulnya do’a dengan engkau menempuh jalan maksiat.” (Dinukil
dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 275-276)
Kedua: Rizki dan makanan halal mewariskan amalan sholeh
Rizki dan makanan yang halal adalah bekal dan sekaligus pengobar semangat untuk beramal shaleh.
Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,
َ َصا ِل ًحا ِإنِي ِب َما ت َ ْع َملُون
ع ِليم َ ت َوا ْع َملُوا َّ َس ُل ُكلُوا ِمن
ِ الطيِ َبا ُّ َيا أَيُّ َها
ُ الر
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu’minun: 51). Sa’id bin Jubair
dan Adh Dhohak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan yang thoyyib adalah makanan yang halal
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10: 126).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush
sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal sholeh. Penyandingan dua perintah
ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shaleh. Oleh karena itu, para Nabi benar-
benar memperhatikan bagaimana memperoleh yang halal. Para Nabi mencontohkan pada kita kebaikan
dengan perkataan, amalan, teladan dan nasehat. Semoga Allah memberi pada mereka balasan karena telah
member contoh yang baik pada para hamba.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 126).
Bila selama ini kita merasa malas dan berat untuk beramal? Alangkah baiknya bila kita mengoreksi
kembali makanan dan minuman yang masuk ke perut kita. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِإ َّن ْال َخي َْر لَ يَأْتِى إِلَّ ِب َخيْر أ َ َو َخيْر ه َو
“Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan. Namun benarkah harta benda itu
kebaikan yang sejati?” (HR. Bukhari no. 2842 dan Muslim no. 1052)
Ketiga: Makanan halal bisa sebagai pencegah dan penawar berbagai penyakit
Allah Ta’ala berfirman,
ً َيء ِم ْنه نَ ْف
سا فَكلوه َهنِيئًا َم ِريئًا َ صدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً فَإ ِ ْن ِطبْنَ لَك ْم
ْ ع ْن ش َ َِوآَتوا الن
َ سا َء
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang hanii’ (baik) lagi marii-a (baik
akibatnya).” (QS. An Nisa’: 4).
Al Qurthubi menukilkan dari sebagian ulama’ tafsir bahwa maksud firman Allah Ta’ala “ ” َهنِيئًا َم ِريئًاadalah,
“Hanii’ ialah yang baik lagi enak dimakan dan tidak memiliki efek negatif. Sedangkan marii-a ialah yang
tidak menimbulkan efek samping pasca dimakan, mudah dicerna dan tidak menimbulkan peyakit atau
gangguan.” (Tafsir Al Qurthubi, 5:27). Tentu saja makanan yang haram menimbulkan efek samping ketika
dikonsumsi. Oleh karenanya, jika kita sering mengidap berbagai macam penyakit, koreksilah makanan
kita. Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.
Keempat: Di akhirat, neraka lebih pantas menyantap jasad yang tumbuh dari yang haram
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ت فَالنَّار أ َ ْولَى بِ ِه
ِ َْم ْن نَبَتَ لَحْ مه ِمنَ السُّح
“Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.” (HR.
Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4: 141. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani
dalam Shahihul Jaami’ no. 4519)
Lihatlah begitu bahayanya mengonsumsi makanan haram dan dampak dari pekerjaan yang tidak halal
sehingga mempengaruhi do’a, kesehatan, amalan kebaikan, dan terakhir, mendapatkan siksaan di akhirat
dari daging yang berasal dari yang haram.
َع َّم ْن ِس َواك ْ َع ْن َح َرامِكَ َوأ َ ْغنِنَا بِف
َ َضلِك َ َاللَّ ُه َّم ا ْك ِفنَا ِب َحالَلِك
[Allahummak-finaa bi halaalika ‘an haroomika, wa agh-ninaa bi fadh-lika ‘amman siwaak]
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang
Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-
Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563 dan Ahmad 1: 153. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.[1]
Sumber : https://rumaysho.com/2185-pengaruh-makanan-yang-haram.html
Home » anak » Permata Hati » Pastikan Rizki Yang Halal Untuk Anakmu!
Merupakan bentuk pendidikan orang tua kepada anak adalah dengan memberikan asupan yang
halal kepada sang anak. Karena itulah sumber kebaikannya sementara makanan yang haram
adalah faktor yang menyebabkan buruknya pribadi sang anak.
Sudah merupakan kewajiban orang tua untuk menafkahi sang anak baik untuk keperluan
makannya, minumnya, sekolah, dan segala hal yang sudah merupakan hak orang tua.
Namun terkadang tatkala orang tua ditimpa dengan kesulitan rizki setelah mereka peras keringat
dan banting tulang mulailah sebagian mereka termakan ucapan setan “Cari rejeki yang haram
aja susah mas apalagi cari rejeki yang halal”. Sehilngga deribu satu macam cara di tembuh agar
dapat mengais uang baik dengan cara yang haram atau yang halal. Wal’iyadzubillah.
Memang kewajiban orang tua adalah memberikan nafkan kepada anak. Namun tak hanya
berhenti sampai disitu. Syariat Islam telah menjelaskan bahwa mencari nafkah untuk keluarga
adalah amalan yang mulia dan menghasilkan suatu pahala. Dan seorang tidak akan
memperoleh pahala kecuali apabila amalan yang ia tunaikan sejalan dengan aturan
syariat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
ت األ َ ْع َما ُل ِإنَّ َما ِ ِب، ن ََوى َما ْام ِرئ ِل ُك ِل َو ِإنَّ َما
ِ النيَّا
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan
mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [1]
“Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya –yang dia inginkan
mendapatkan pahala dari nafkah itu untuk mengharapkan pahala dari Allah- maka itu akan
menjadi sedekah baginya.”[2]
Menerangkan hal ini Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengutip perkataan Al-Muhallab, bahwa
memberi nafkah kepada keluarga adalah kesepakatan menurut kaum muslimin. Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam menamakannya sebagai sedekah karena dikhawatirkan ada orang-
orang yang menyangka, pelaksanaan kewajiban ini tidak ada pahalanya. Sementara mereka
telah mengetahui bahwa memberikan sedekah itu berpahala. Maka beliua memberitahukan
bahwa nafkah ini adalah sedekah bagi mereka, agar mereka tidak mengeluarkan sedekah untuk
selain keluarga kecuali setelah mencukupi keluarganya. Hal ini sebagai hasungan bagi mereka
agar mendahulukan sedekah yang wajib dari pada sedekah yang thatawwu’ (sunnah).”[3]
َ صدَقَ ِة أ َ ْف
ض ُل ُّ ال، ْبِ َم ْن َوا ْبدَأ
َّ ِغنًى ت َ َر َك َما ال، ُ س ْفلَى اليَ ِد ِمنَ َخيْر العُ ْليَا َواليَد
تَعُو ُل
“Sedekah yang paling utama adalah yang masih menyisakan kecukupan, dan tangan yang
diatas lebih baik dari pada tangan yang dibawah, dan mulailah (dalam berinfaq) dengan orang-
orang yang berada dibawah tanggunganmu.”[4]
Dari apa yang dijelaskan diatas sangatlah jelas bahwa menafkahi keluarga adalah amalan yang
mulia yang membuahkan pahala. Oleh karena itu dalam memberikan nafkah hal yang haruslah
kita perhatikan adalah kehalalan dari nafkah tersebut, karena Allah tidaklah menerima kecuali
sesuatu yang halal lagi baik. Oleh karena itu jangan kita suapkan makanan haram kedalam perut
mereka, menegukkan minuman yang haram, memakaikan pakaian yang haram kepada mereka,
atau segala kebutuhan anak yang didapat dari orang tua.
Jangan sampai karena kita belum memilki keluasan untuk memenuhi kebutuhan anak kemudian
kita melirik kepada praktek-praktek yang diharamkan walaupun menghasilkan sesuatu yang
menggiurkan. Baik itu korupsi, pungli, penggelapan dana, penipuan, paraktek ribawi, dan
propesi-propesi lainnya yang diharamkan oleh agama Islam yang mulia ini. Perlu kita sadari
segala sesuatu yang haram akan berpengaruh kepada diri anak. Karena sesuatu yang jelek
akan berdampak yang jelek pula, bisa jadi sang anak nanti akan menjadi anak nakal yang tidak
berbakti kepada orang tua yang justeru inilah yang akan merugikan orang tua. Maka inilah
balasan yang akan diterima oleh orang tua, sebagai mana dahulu ia mencari rizki dari jalan
haram dan manafkahi keluarganya dengan rizki tersebut, maka Allah akan jadikan rizki buruk
tersebut menjadi bumerang baginya.
Demikian juga rejeki yang haram adalah sebab tidak terkabulnya doa orang tua maupun sang
anak. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Wahai manusia, sesunguhnya Allah itu maha suci dari segala kekurangan dan tidak menerima
kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan ke[pada orang-orang
yang beriman dengan apa yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah beriman, “Wahai para
rasul makanlah dari segala sesuatuyang baik, dan berbuatlah dengan amalan-amalan
yang shaleh, sesunguhnya aku mengetahui terhadap apa yang kalian perbuat.” Dan Allah
berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari segala sesuatu yang baik yang
telah kami rezekikan kepada kalian.’ Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
menyebutkan tentang seseorang yang melakukan [perjalanan yang jauh dalam keadaan kusut
masai rambutnya dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya kelangit, “Wahai Rabku,
wahai Rabku!, sementara makannnya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan
disuapi dengan sesuatu yang haram. Maka bagaimana akan dikabulkan doa orang yang seperti
ini?”[5]
Allah ta’ala telah memerintahkan para rasul untuk memakan dari segala sesuatu yang baik, yaitu
segala sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah dan didapat dari jalan yang dibenarkan oleh
syariat. Apabila tidak dihalalkan oleh Allah, seperti khamr misalnya, maka tidak boleh dimakan.
Demikian juga apabila makanan tersebut adalah makanan yang dihalalkan oleh Allah namun
didapat dari jalan yang haram, maka inipun tidak boleh untuk dimakan.[6]
Imam An-Nawawi juga mengatakan, “Hadits ini merupakan anjuran untuk memberikan nafkah
dari segala sesuatu yang halal dan larangan memberikan nafkah dari segala sesuatu yang
haram. (hadits diatas) juga menunjukan bahwa minuman, makanan, pakaian, dan semacamnya
haruslah berasal dari sesuatu yang halal, bersih, dan tidak mengandung syubhat (kesamaran).
Hadits ini juga menunjukan bahwa seseorang yang akan berdoa haruslah memperhatikan hal-
hal diatas yang dari pada yang lainnya.”[7]
Disini juga terdapat peringatan keras tentang memakan sesuatu yang haram, karena hal itu
adalah sebab tertolaknya doa, walaupun juga dia melakukan sebab-sebab yang merupakan
faktor terkabulnya doa[8]. Maka disini rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Maka
bagaimana akan dikabulkan doa orang yang seperti ini?”
Contoh yang kita lihat dengan jelas adalah pribadi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang
begitu berhati-hati dan menjauhkan dirinya dari sesuatu yang dikhawatirkan berasal dari sesuatu
yang haram. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
ُ أ َ ْه ِلي ِإلَى َأل َ ْنقَ ِل، ُطةً الت َّ ْم َرة َ فَأ َ ِجد
ب ِإنِي َ فِ َرا ِشي َعلَى، ِل ُكلَ َها فَأ َ ْرفَعُ َها،
َ ِساق ِ ث ُ َّم
َ ، فَأ ُ ْل ِقي َها
صدَقَةً ت َ ُكونَ أ َ ْن أ َ ْخشَى
“Aku pernah datang menemui keluargaku. Kemudian aku mendapatkan sebutir korma jatuh
diatas tempat tidurku. Aku pun mengambilnya untuk aku makan. Lalu aku lhwatir jika kurma itu
adalah kurma sedekah, maka kuletakkan lagi kurma itu.”[10]
Beliau shallallahu’alaihi wasallam juga menjauhkan cucunya dari sesuatu yang diharamkan,
walaupun hanya sebutir korma yang berasal dari sedekah –yang beliau dan keluarganya
diharamkan dari sedekah-. Sebagaimana diceritakan oleh Abu Huraira radhiyallahu ‘anhu,
“Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu’anhuma memungut sebutir kurma dari korma sedekah, lalu dia
memasukkan korma itu kedalam mulutnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun
bersabda, “kikh, kikh”[11]! Buanglah korma itu! Apa kau tidak tahu, bahwa kita tidak
diperbolehkan untuk memakan sedekah.”[12]
Inilah suatu tauladan baik yang dipraktekkan oleh junjungan kita dan contoh yang baik bagi
setiap muslim yang menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi anak-anaknya. Kasih sayang
bukan berarti menuruti setiap tuntutan hingga melaumpaui batas. Wallahu a’lam bish Shawab.
Artikel : www.serambiyemen.com
Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:
Tak pernah merasa kekurangan sedikitpun karena Allah Maha Banyak Memberi rezeki
Sebagaimana sudah diketahui dari artikel sebelumnya, bahwa Allah Ta’ala adalah
ُ لر َّز
اق َّ َ ( اAr-Razzaq [Yang Banyak Memberi rezeqi]) karena اق ُ لر َّز
َّ َ اmerupakan
َّ َ ( اPemberi rezeki), maka ini
bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata لر ِاز ُق
menunjukkan kepada makna banyak. Yaitu menunjukkan banyaknya rezeki yang
Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya dan juga menunjukkan banyaknya
hamba-hamba-Nya yang mendapatkan rezeki tersebut.
ُ لر َّز
Sehingga اق َّ َ ( اAr-Razzaq) artinya Yang Banyak Memberi rezeqi. Dia memberi
rezeki yang satu kemudian rezeki yang lain dalam jumlah yang sangat banyak
untuk seluruh makhluk-Nya.
Setiap makhluk yang berjalan di muka bumi ini pasti diberi rezeki, sebagaimana
firman Allah Ta’ala,
“Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezkinya” (Huud: 6).
أي: األرض وجه على دب ما جميع، آدمي من، بحري أو بري حيوان أو، بأرزاقهم تكفل قد تعالى فاهلل
وأقواتهم، للا على فرزقهم
“Maksudnya, seluruh yang berjalan di muka bumi ini, baik dari kalangan manusia
(keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam), maupun binatang, baik binatang darat
maupun laut, maka Allah Ta’ala telah menjamin rezeki dan makanan mereka. Jadi,
rezeki mereka dijamin oleh Allah” (Tafsir As-Sa’di, hal. 422).
Berarti kita harus meyakini bahwa rezeki kita sudah dijamin oleh
Allah Ta’ala. Bahkan rezeki kita telah ditulis sebelum kita terlahir di dunia ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam
mencari rezeki, karena tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya,
walau lambat rezeki tersebut sampai kepadanya, maka bertakwalah kepada Allah
dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, ambillah rezeki yang halal dan
tinggalkanlah rezeki yang haram” (HR. Ibnu Majah, dan Syaikh Al-Albani
menshahihkannya).
“Ya Allah, tidak ada satupun yang mampu mencegah apa yang Engkau berikan
dan tidak pula ada satupun yang mampu memberi sesuatu yang Engkau
cegah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, serta yang lainnya).
Jatah rezeki Anda sudah ditetapkan, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk
merasa kekurangan. Bukankah tidak ada satu pun dari makhluk yang mampu
mengurangi jatah rezeki Anda? Jika demikian, maka tidak mungkin jatah Anda
bisa berkurang. Mengapa harus merasa kekurangan?
Jika Anda mengatakan “Tapi, rezeki yang saya dapatkan sedikit, jadi saya
merasa kurang, cari rezeki halal sulit dan lama kayanya! Saya ingin cepat
kaya! Rezeki haram lebih cepat dan mudah didapat, apa boleh buat!” Maka
kami katakan kepada Anda “Mengapa harus menerjang yang haram padahal
rezeki telah dijatah?”
Ketahuilah! Bahwa orang yang merasa tidak puas dengan rezeki halal yang
didapatkannya selama ini dan merasa kurang, lalu mencarinya dengan cara yang
haram, ini setidaknya ada tiga kemungkinan:
1. Ia malas mencari rezeki dengan cara yang halal atau kurang sungguh-
sungguh dalam bekerja.
2. Ia sudah bekerja maksimal dalam mencari rezeki yang halal, tapi masih
merasa kurang.
3. Ia sudah kaya, tapi masih pula merasa kurang.
Nasihat untuk orang yang pertama, hakikatnya ia sangatlah tidak pantas merasa
kekurangan, karena ia belum berusaha dengan maksimal. Adapun untuk orang
yang kedua dan ketiga, maka setidaknya ada dua kemungkinan penyebabnya:
1. Ia sudah tahu sikap dan prinsip hidup seorang muslim yang benar dalam
masalah rezeki, lalu nekad melanggarnya.
2. Kurang atau tidak tahu sama sekali tentang sikap dan prinsip itu, sehingga ia
terjatuh kedalam pelanggaran.
Wabillaahi nasta’iin, penjelasan berikut, semoga bisa menjadi obatnya.
َّ َو
واألخروية الدنيوية األرزاق كانت ولما, للا بتقدير إل تحصل ل, للا بمشيئة إل تنال ولن، تعالى قال: { ُّللا
ساب بِغَي ِْر يَشَا ُء َم ْن يَ ْر ُز ُق
َ }ح
ِ
“Tatkala rezeki duniawi maupun rizki akhirat tidak akan dapat diperoleh kecuali
dengan takdir Allah dan tidak bisa didapatkan kecuali dengan kehendak Allah,
maka Allah pun berfirman {ساب َ ق َم ْن يَشَا ُء ِبغَ ْي ِر ِح
ُ َّللاُ يَ ْر ُز
”}و هَ (Tafsir As-Sa’di, hal. 95).
Allah Maha Mengetahui tentang orang yang jika dikayakan, maka kekayaannya
membuatnya melupakan Allah. Dan Allah pun Maha Mengetahui bahwa ada orang
yang jika dijadikan miskin, ia mampu bersabar dan beribadah kepada-Nya.
Jika ini dipahami, maka seorang hamba tidak protes terhadap jatah rezekinya,
bahkan qona’ah (menerima dan rela) atas jatah rezekinya sembari meyakini bahwa
hal ini adalah pilihan Allah yang terbaik baginya. Ia meyakini juga bahwa Allah
lebih mengetahui dan lebih sayang terhadap diri hamba-Nya daripada hamba itu
sendiri. Dengan demikian ia tidak nekad menerjang yang haram. Walaupun rezeki
halal yang diperolehnya sedikit, namun itu adalah yang terbaik bagi dirinya.
الخ َْلقَ للا َخلَقَ إنما، ليَعبُدوه، عبادته على به ليَ ْست َ ِعيُنوا لهم الرزقَ َخلَقَ وإنما
Jika seseorang tahu tujuan hidupnya dan tujuan Allah memberinya rezeki, maka ia
akan membenci rezeki haram dan tidak mau mencari rezeki haram, karena rezeki
haram tidak bisa ia gunakan untuk beribadah kepada Rabbnya, bahkan
menyebabkan datangnya siksa Allah. Jika memperoleh rezeki yang halal pun ia
tidak gunakan secara berlebihan, sehingga ia merasa cukup dengan rezeki yang
halal dan tidak membutuhkan rezeki yang haram.
الدنيا حياته في طيباته يذهب ول كله بنصيبه يستمتع ل فإنه وشهواتها الدنيا من نال وان فإنه المؤمن بخالف
لمعاده التزود على به ليتقوى منها ينال ما منها ينال بل
Jadi, profil seorang mukmin adalah boro-boro mencari rezeki yang haram,
memperoleh rezeki yang halal saja, ia pergunakan dengan baik untuk
beribadah kepada Allah.
***
Referensi:
1. Al-Haqqul Waadhihul Mubiin, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, PDF
2. Fawaidul Fawaid ,libnil Qoyyim, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi.
3. Miftahu Daris Sa’adah, Ibnul Qoyyim
4. Tafsir Abdur Rahman As-Sa’di.
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.Or.Id
DAHSYATNYA BAHAYA MEMAKAN HARTA HARAM
Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu
tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik dan menjaga
urusan makanan’.
SIKAP ORANG-ORANG SHALIH
Banyak sekali potret orang-orang shalih terdahulu sebagai bukti kehati-hatian dan kewaspadaan
mereka dalam masalah ini. Diantaranya :
1. Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu . Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu
makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu
berkata, “Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu
menjawab, ‘Dari mana engkau dapat makanan ini?’ Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah
berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya
menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan
yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.” Mendengar hal itu Abu Bakar
Radhiyallahu anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan
semua makanan yang baru beliau makan.
2. Suatu ketika Umar Radhiyallahu anhu diberi minum susu dan beliau Radhiyallahu anhu begitu
senang. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu bertanya kepada orang yang memberinya minum,
“Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?” Orang itu menjawab, ‘Aku berjalan melewati
seekor unta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu aku
mengambil air susunya.’ Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar Radhiyallahu anhu
memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.
3. Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan ucapannya,
“Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allâh saat mencari rezeki untuk kami! Karena
sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan dahaga, akan tetepi kami tak akan mampu
menahan panas api neraka.”
Begitulah sikap wara’ orang-orang shalih, dalam rangka menjaga agama mereka, merealisasikan
ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak
jelas).
Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram untuk mengisi
perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اس زَ َمانٌ ًَل يُبَالِي ْال َم ْر ُء بِ َما أ َ َخذَ ْال َما َل أَمِ ْن َح ََل ٍل أ َ ْم مِ ْن َح َر ٍام َ لَيَأْتِيَ َّن
ِ َّعلَى الن
Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi
dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang haram’. [HR. al-Bukhâri]
Rakus dan tamak terhadap dunia, mengekor kepada syahwat dan tamak akan rezeki serta
melupakan hari perhitungan menjadikan manusia terbuai untuk memburu angan-angan
gemerlap dan kelezatan dunia tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan usahanya.
Dari Khudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri
lalu berkata, “Kemarilah kalian semua!’ Kemudian para shahabat beliau menghampirinya dan
duduk menghadapnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Ini ada utusan Allâh
malaikat Jibril. Ia membisikkan ke dalam benakku bahwa satu jiwa tidak akan wafat sebelum
lengkap dan sempurna rezekinya sekalipun rezekinya terlambat datang kepadanya. Karena itu,
hendaklah kamu bertakwa kepada Allâh dan lakukanlah usaha dengan cara yang baik!
Janganlah kedatangan rezeki yang terlambat menyeretmu untuk bermaksiat kepada Allâh Azza
wa Jalla , karena apa yang ada di sisi Allâh hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.”
[HR. Bazzâr dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih]
Kalimat ( أجملوا في الطلبlakukanlah usaha dengan cara yang baik!) dalam hadits di atas maksudnya
adalah usaha mencari rezeki agar memperoleh pendapatan dunia.
PENGARUH MAKANAN HARAM
Adakalanya seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih akan tetapi ia
memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah mengkonsumsi harta yang haram,
padahal akibatnya sangat fatal. Orang seperti ini akan rugi di dunia dan di akhirat. Amal
ibadahnya tertolak, doanya tidak akan diijabahi (tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla) dan
harta serta usahanya tidak akan diberkahi.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla baik dan Dia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan
sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang telah
diperintahkan kepada para Rasul. sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :
َ َصا ِل احا ۖ ِإنِّي ِب َما ت َ ْع َملُون
علِي ٌم َ ت َوا ْع َملُوا َّ َس ُل ُكلُوا مِ ن
ِ الط ِيّبَا ُّ يَا أَيُّ َها
ُ الر
Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku
Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan [al-Mukminûn/23:51]
Allâh juga berfirman :
ت َما َرزَ ْقنَا ُك ْم َ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكلُوا مِ ْن
ِ ط ِيّبَا
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan
kepada kalian”[al-Baqarah/2:172].
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal seorang lelaki yang
sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang berambut kusut, kusam dan berdebu, yang
menadahkan tangan ke langit lalu berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!… Sementara
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan
makanan yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan? [HR. Muslim]
Oleh sebab itu, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima. Dari Ibnu Umar
Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ُ ص َدقَةا مِ ْن
غلُو ٍل َ َ َوًل، ور َ صَلة ا بِغَي ِْر
ٍ ط ُه َّ ًلَ يَ ْقبَ ُل
َ َُّللا
Allâh tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan tidak akan menerima
sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi) [HR. Muslim]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ُصدَّقَ مِ ْنهُ لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ فِي ِه أَجْ ٌر َو َكانَ إِص ُْره
علَ ْي ِه َ َ اًل َح َرا اما ث ُ َّم ت
َو َم ْن َج َم َع َم ا، َعلَيْك َ َإِذَا أ َ َّديْتَ زَ كَاة َ َما ِلكَ فَقَ ْد ق
َ ضيْتَ َما
‘Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan
barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan
harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’.
[HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
ٍ ْيَا َكعْبُ بْنَ عُجْ َرة َ ِإنَّهُ ًلَ يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ لَحْ ٌم نَبَتَ مِ ْن سُح
ت
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari
makanan haram. [HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya]
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdabda :
ار أَولَى بِ ِه ِ َت إًلَّ كَان
ُ َّت الن ٍ سح ْ َيَا َكعْبُ بْنَ عُجْ َرة َ ًلَ يَ ْربُو لَحْ ٌم نَبَت
ُ مِن
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka
lebih utama atasnya. [HR. Tirmidzi]
Kata السحتdalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam segala bentuk dan
macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil harta anak yatim dan hasil dari berbagai
bisnis yang diharamkan syari’at.
Hendaklah setiap individu Muslim selalu ingat, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan
menanyakan di hari Kiamat tentang harta masing-masing orang, dari mana ia memperolehnya
dan kemana ia infakkan? Sebuah pertanyaan untuk sebuah penegasan dan penghitungan, yang
kemudian diiringi balasan dah hukuman yang adil.
Maka barangsiapa melatih dirinya agar memiliki sifat takwa, wara’ (menahan dari yang haram),
‘iffah (menjaga kehormatan), qanâ’ah (merasa cukup dengan yang ada dan halal) serta menjadi
orang senantiasa melakukan introspeksi diri, maka sifat itu akan menjadi tabiat dan karakternya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ْ ُ قُ ْل َمت َاعُ ال ُّد ْنيَا قَلِي ٌل َو ْاْلخِ َرة ُ َخي ٌْر ِل َم ِن اتَّقَ ٰى َو ًَل ت
ظلَ ُمونَ فَت ا
ِيَل
Katakanlah! “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-
orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” [an-Nisâ’/4:7]
Dari Khaulah al-Anshâriyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
ار يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة
ُ َّق فَلَ ُه ْم الن
ٍ ّ َّللا ِبغَي ِْر َح ِإ َّن ِر َج ا
ِ اًل يَتَخ ََّوضُونَ فِي َم
ِ َّ ال
Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allâh bukan dengan cara yang
haq, sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari Kiamat’ [HR. al-Bukhâri]
GHULUL, DOSA BESAR YANG DIREMEHKAN
Diantara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl. al-
Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau
memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya
bukan untuk kepentingan umum. Prilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang berat bisa
menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezhaliman ini
terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat, sebagaimana termaktub dalam al-
Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
غ َّل يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة ِ ْ َو َم ْن يَ ْغلُ ْل يَأ
َ ت بِ َما
Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [ali Imrân/3:161]
Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-
Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan.
Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda
:‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan,
‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah
ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allâh Azza wa Jalla , tidaklah
seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang
dengannya pada hari Kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah)
unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka
akan keluar suara kambing.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah
menyampaikannya?’[HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami
telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah
ghulûl (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]
Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini
merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak
yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulûl
(korupsi) dibiarkan, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu
yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar.
Jika ghulûl (mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya) sudah menjadi hal jamak atau
lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil
harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka.
Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga
terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan
menghancurkan moral serta membangkitkan egois. Semua ini akan menyeret seseorang untuk
berbuat zhalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan.
Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada
masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka
peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar,
banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah,
kezhaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam harits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’.
Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah
amanah.”
PENUTUP
Maka tiada jalan untuk selamat dari siksa Allâh Azza wa Jalla , kecuali dengan murâqabatullâh
(merasa selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla) disaat sepi atau ramai, selalu takut
kepada Allâh sebelum takut kepada manusia. Dan tidak ada jalan untuk membangkitkan umat
dan memajukannya serta melepaskannya dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan
kecuali dengan menegakkan keadilan, menghilangkan kezhaliman, mempekerjakan orang yang
amanat.
(Diangkat dari khutbah jum’ah di Masjidil Haram di Mekah yang disampaikan oleh Syaikh Shalih
bin Muhammad Alu Thalib pada tanggal 16/3/1435 dengan judul Khuthûratu Aklil Mâlil Harâm )
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 12/Tahun XVII/1435H/2014M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57773 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Sumber: https://almanhaj.or.id/4178-dahsyatnya-bahaya-memakan-harta-haram.html
HARTA HARAM SUMBER PETAKA DUNIA DAN AKHIRAT
Sumber: https://almanhaj.or.id/3853-harta-haram-sumber-petaka-dunia-dan-akhirat.html
Seorang pemuda bernama Idris berjalan menyusuri sungai. Tiba-tiba ia melihat buah delima yang hanyut
terbawa air. Ia ambil buah itu dan tanpa pikir panjang langsung memakannya.<>
Ketika Idris sudah menghabiskan setengah buah delima itu, baru terpikir olehnya, apakah yang
dimakannya itu halal? Buah delima yang dimakan itu bukan miliknya.
Idris berhenti makan. Ia kemudian berjalan ke arah yang berlawanan dengan aliran sungai, mencari dimana
ada pohon delima. Sampailah ia di bawah pohon delima yang lebat buahnya, persis di pinggir sungai. Dia
yakin, buah yang dimakannya jatuh dari pohon ini.
Idris lantas mencari tahu siapa pemilik pohon delima itu, dan bertemulah dia dengan sang pemilik, seorang
lelaki setengah baya.
“Saya telah memakan buah delima anda. Apakah ini halal buat saya? Apakah anda mengihlaskannya?”
kata Idris.
Orang tua itu, terdiam sebentar, lalu menatap tajam. “Tidak bisa semudah itu. Kamu harus bekerja menjaga
dan membersihkan kebun saya selama sebulan tanpa gaji,” katanya kepada Idris.
Demi memelihara perutnya dari makanan yang tidak halal, Idris pun langsung menyanggupinya.
“Tuan, saya sudah menjaga dan membersihkan kebun anda selama sebulan. Apakah tuan sudah
menghalalkan delima yang sudah saya makan?”
“Tidak bisa, ada satu syarat lagi. Kamu harus menikahi putri saya; Seorang gadis buta, tuli, bisu dan
lumpuh.”
Idris pun dinikahkan dengan gadis yang disebutkan. Pemilik menikahkan sendiri anak gadisnya dengan
disaksikan beberapa orang, tanpa perantara penghulu.
Setelah akad nikah berlangsung, tuan pemilik kebun memerintahkan Idris menemui putrinya di kamarnya.
Ternyata, bukan gadis buta, tulis, bisu dan lumpuh yang ditemui, namun seorang gadis cantik yang nyaris
sempurna. Namanya Ruqoyyah.
Sang pemilik kebun tidak rela melepas Idris begitu saja; Seorang pemuda yang jujur dan menjaga diri dari
makanan yang tidak halal. Ia ambil Idris sebagai menantu, yang kelak memberinya cucu bernama Syafi’i,
seorang ulama besar, guru dan panutan bagi jutaan kaum muslimin di dunia. (A. Khoirul Anam)
Imam Syafi’i, tentu kita tak asing lagi dengan sosok ini, seorang ulama mazhab yang memiliki
khazanah keilmuan yang begitu tinggi, bahkan negeri kita Indonesia mayoritas memilih pendapat
ulama ini sebagai mazhab utamanya. Imam Syafi’i telah mengkhatamkan hafal Al-quran sejak
usia 7 tahun, menghafal banyak hadits semenjak berusia 9 tahun dan telah menjadi mufti sejak
usia 14 tahun. Bahkan pada suatu ketika disaat ia mengajar di bulan puasa, Ia pernah minum
disaat sedang mengajar dan ketika murid-muridnya menegurnya ia menjelaskan kalau dirinya
belum baligh dan belum wajib berpuasa, Maa syaa Allah.
“Ia ibarat matahari bagi bumi, dan kesehatan bagi badan..Adakah yang bisa menggantikan
keduanya..?” .Begitulah Imam Ahmad bin Hambal memberikan sanjungan pada gurunya yang
satu ini. Imam Asy-Syaf’i, memiliki keluasan ilmu, kecerdasan yang luar biasa dan kekuatannya
dalam hafalan, Allah anugerahkan juga padanya kefasihan lisan dalam bahasa arab. Jika kita
bertanya, apa rahasia sukses dari seorang Imam Syafi’i maka tak terlepas dari seorang wanita
yang selalu ada dibelakangnya, selalu berjuang dan berkorban untuknya, selalu memberikan
pendidikan terbaik dan memfasilitasi pendidikan terbaik untuknya. Ya, wanita itu adalah ibunda
imam syafi’i ; Fathimah binti Ubeidillah.
Memilihkan ayah terbaik untuknya.
Idris, ayah dari Imam syafi’i adalah laki-laki pilihan dari ayahnya fathimah bin Ubeidillah karena
kejujurannya. Dikisahkan suatu saat Idris menemukan buah delima dipinggir sungai dalam
perjalanannya, dan disebabkan oleh rasa lapar ia memakan buah tersebut. Namun setelah Ia
memakan buah tersebut, ia teringat jikalau buah tersebut bukanlah haknya. Khawatir ada
makanan yang tidak halal masuk kedalam perutnya, iapun menyusuri sungai tersebut berusaha
menemui yang punya kebun dan meminta izin agar di ikhlaskan buah yang termakan olehnya.
Singkat cerita akhirnya yang empunya kebun memberikan syarat kepada si pemuda tersebut
agar menjaga kebunnya selama 1 bulan lalu juga dengan menikahi putrinya.
Itulah kisah pertemuan ayah-ibundanya Imam Syafi’i. Seorang pemuda yang jujur dan sangat
menjaga dirinya dengan seorang wanita yang terjaga pandangannya, terjaga pendengarannya
dan juga terjaga dirinya dari maksiat.
Menjaga setiap makanan yang masuk dalam perut Imam Syafi’i
Pernah suatu ketika Imam syafi’i kecil ditinggal dirumah sendiri oleh ibunya ke pasar. Ketika
sendirian dirumah, Imam syafi’i kecilpun menangis melihat hal ini tetangga Imam Syafi’i yang
kebetulan juga sedang menyusui merasa iba dan iapun menyusui Imam syafi’i kecil. Sesampai
ibundanya dirumah, setelah mengetahui kalau anaknya disusui oleh tetangganya, ia merasa
khawatir kalau ada hal yang tidak halal masuk ke tubuh anaknya melalui susu tetangganya
tersebut. Ibu Imam Syafi’i pun mengangkat tubuh Imam Syafi’i terbalik dan mengguncang-
guncang perutnya sampai semua yang masuk kedalam perutnya tadi keluar lagi.
Begitulah, ibunda Imam Syafi’i menjaga anaknya dari hal-hal yang tidak halal akan masuk ke
perutnya. Dari sini kita juga bisa melihat, ibunda Imam Syaf’i paham kalau ASI (Air Susu Ibu) ibu
sangat berpengaruh terhadap watak, karakter dan kepribadian anaknya kelak. Makanya ia
sangat berhati-hati terhadap air susu atau makanan yang masuk kedalam perut putranya.
Memberikan dan memfasilitasi tempat belajar terbaik bersama dengan ulama-ulama
terbaik.
Pada usia 10 tahun, sang ibunda telah melepas Imam Syafi’i untuk belajar ke Mekkah, belajar
lansung dengan para ulama di sini, menghafal hadits serta berbagai masalah ilmiah lainnya.
Pada akhirnya Ia menjadi seorang ‘alim ulama besar yang namanya, yang karyanya tetap
menyejarah sampai saat ini.
Mekkah adalah tempat terbaik, disini berkumpul ulama-ulama terbaik pula. Sang ibu ridho
melepas anaknya meski masih sangat kecil untuk belajar di kota ini, bahkan dengan pembiayaan
yang sangat minim sekalipun sebagaimana dituturkan oleh Imam Syafi’i sendiri : “Aku terlahir
sebagai anak yatim dalam asuhan ibuku, Ibu tak memiliki uang sedikitpun yang bisa diberikan
kepada guruku. Sebagai gantinya aku harus mengurus anak-anak didiknya ketika ia absen, dan
meringankan sebagian tugasnya. Seringkali aku harus mencari potongan-potongan tulang
sebagai media menulis…”
Jelaslah disini ketika kita mengingat petuah seorang ulama Hasan al banna, “Wanita adalah
tiang negara, jika baik wanita dalam suatu negara maka baik pulalah negara tersebut, namun
jika buruk wanitanya maka buruk jugalah negaranya”. Fathimah binti Ubeidillah telah
membuktikannya, Ia tak hanya melahirkan dan membesarkan putra yang besar pada zamannya,
namun juga seorang ulama yang sampai hari ini masih bersinar namanya dan bahkan makin
bersinar diasah masa.
Sumber foto : www.satujam.com
Alkisah ada seorang pemuda yang pergi menuntut ilmu. Di tengah perjalanan dia haus dan singgah
sebentar di sungai yang airnya jernih. Saat meminum airnya. terlihat sebuah apel yang terbawa
arus sungai, dia pun mengambilnya dan segera memakannya. Setelah tergigit apel itu, tersadar
dirinya dan berkata “Astagfirullah”.
Dirinya diliputi rasa bersalah karena telah memakan apel yang bukan miliknya. Dia
bergumam: “Apel ini pasti punya pemiliknya, lancang sekali aku sudah memakannya. Aku harus
menemui pemiliknya dan menebus apel ini”. Akhirnya dia menunda perjalanannya menuntut ilmu
dan pergi menemui sang pemilik apel dengan menyusuri bantaran sungai. Tak lama kemudian dia
sudah pada kebun apel yang tumbuh dengan lebat dan diyakini disitulah pemilik apel berada.
“Assalamualaikum….”ucap pemuda .”Waalaikumsalam wr.wb.”. Jawab seorang lelaki tua dari dalam
rumahnya. Pemuda itu dipersilahkan duduk dan dia pun langsung menyampaikan maksud dirinya
menemui orang tua itu atas kelancangan memakan buah apale yang bukan miliknya.
“Berapa harus kutebus harga apel ini agar kau ridha apel ini aku makan pak tua”. tanya pemuda
itu. Lalu pak tua itu menjawab. “Tak usah kau bayar apel itu, tapi kau harus bekerja di kebunku
selama 3 tahun tanpa dibayar, apakah kau mau?”
Pemuda itu tampak berfikir, kaget karena untuk segigit apel saja dia harus membayar dengan
bekerja di rumah bapak itu selama tiga tahun tanpa digaji, tapi hanya itu satu-satunya pilihan yang
harus diambilnya agar bapak itu ridha apelnya ia makan.”Baiklah pak, saya mau.”
Alhasil pemuda itu bekerja di kebun sang pemilik apel tanpa dibayar. Hari berganti hari, minggu,
bulan dan tahun pun berlalu. Tak terasa sudah tiga tahun dia bekerja dikebun itu. Dan hari terakhir
dia ingin pamit kepada pemilik kebun.
“Pak tua, sekarang waktuku bekerja di tempatmu sudah berakhir, apakah sekarang kau ridha atas
apel yang sudah aku makan?”.Pak tua itu diam sejenak. “Belum.” Pemuda itu terhenyak. “Kenapa
pak tua, bukankah aku sudah bekerja selama tiga tahun di kebunmu.””Ya, tapi aku tetap tidak ridha
jika kau belum melakukan satu permintaanku lagi.””Apa itu pak tua?”.”Kau harus menikahi putriku,
apakah kau mau?”
“Ya, aku mau.” jawab pemuda itu. Bapak tua itu mengatakan lebih lanjut. “Tapi, putriku buta, tuli,
bisu dan lumpuh, apakah kau mau?”. Pemuda itu tampak berfikir, bagaimana kalau dia harus
menikah dengan gadis yang tidak dikenalnya dan gadis itu cacat, buta, tuli, dan lumpuh.
Bagaimana dia bisa berkomunikasi nantinya? Tapi diapun ingat kembali dengan segigit apel yang
telah dimakannya. Dan dia pun menyetujui untuk menikah dengan anak pemilik kebun apel itu untuk
mencari ridha atas apel yang sudah dimakannya.
“Baiklah pak, aku mau.”.Segera pernikahan pun dilaksanakan. Setelah ijab kabul sang pemuda
itupun masuk kamar pengantin. Dia mengucapkan salam dan betapa kagetnya ketika dia mendengar
salamnya dibalas dari dalam kamarnya. Seketika itupun dia berlari mencari sang bapak pemilik apel
yang sudah menjadi mertuanya.
“Ayahanda…siapakah wanita yang ada didalam kamar pengantinku? Kenapa aku tidak menemukan
istriku?”.Pak tua itu tersenyum dan menjawab. “Masuklah nak, itu kamarmu dan yang di dalam sana
adalah istrimu.”Pemuda itu tampak bingung. “Tapi ayahanda, bukankah istriku buta, tuli tapi kenapa
dia bisa mendengar salamku?.Bukankah dia bisu tapi kenapa dia bisa menjawab salamku?”
Pak tua itu tersenyum lagi dan menjelaskan. “Ya, memang dia buta, buta dari segala hal yang
dilarang Allah. Dia tuli, tuli dari hal-hal yang tidak pantas didengarnya dan dilarang Allah. Dia
memang bisu, bisu dari hal yang sifatnya sia-sia dan dilarang Allah, dan dia lumpuh, karena tidak
bisa berjalan ke tempat-tempat yang maksiat.”
Pemuda itu hanya terdiam dan mengucap lirih: “Subhanallah…..”.Dan merekapun hidup berbahagia
dengan cinta dari Allah.
Dari pasangan suami-istri yang terjaga dari dosa dan maksiat, haram dan kemungkaran ini,
kemudian lahir seorang anak shaleh teladan, yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal Al-
Quran. Dialah Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam Syafi’i. Itulah buah
kesabaran dari ayah seorang ulama besar sepanjang masa ini. Sang ayah begitu sabar dalam
menahan dan menghindari makanan yang haram, ibu yang selalu menjaga kesuciannya.
Wallahu a’lam