Anda di halaman 1dari 8

All about Amar Maruf Nahi Munkar

Amar maruf (menyuruh/mengajak pada kebaikan) dan nahi munkar melarang


kemunkaran) merupakan amalan yang sangat besar di sisi syariat. Allah taala telah
memerintahkan dua hal ini dalam firman-Nya (artinya) :
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung. [QS. Ali Imran : 104]
Oleh karena itu, Rasulullah shalallaahu alaihi wa sallam senantiasa berwasiat kepada
umatnya untuk ber-amar maruuf dan nahi munkar sebagaimana riwayat :
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul
Aziiz bin Muhammad, dari Amru bin Abi Amru, dari Abdullah Al-Anshaariy, dari
Hudzaifah bin Al-Yamaan, dari Nabi shalallaahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : Demi
Dzat yang jiwaku di tangan- Nya, hendaklah kalian menyuruh yang maruf dan mencegah
kemungkaran atau (kalau tidak kalian lakukan) maka pasti Allah akan menurunkan siksa
kepada kalian, hingga kalian berdoa kepada-Nya, tetapi tidak dikabulkan. [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi no. 2169, dan ia berkata : Hadits ini hasan]
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyaar, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abdurrahmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Sufyaan, dari Qais bin Muslim, dari Thaariq bin Syihaab, ia berkata : Telah berkata Abu
Said (Al- Khudriy) : Aku pernah mendengar Rasulullah shalallaahu alaihi wa sallam
bersabda : Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia cegah dengan
tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan
hatinya, dan itulah selemah-lemah iman. [Diriwayatkan oleh An-Nasai no. 5008; shahih]
Dalam riwayat lain, Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan
sebesar biji sawi (sedikitpun). Hadits ini adalah hadits yang jami (mencakup banyak
persoalan) dan sangat penting dalam syariat Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan,
Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syariat), karena amalan- amalan
syariat terbagi dua : maruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau
mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari. Maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah
separuh dari syariat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah :
Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan
sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan
hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya bahwa barang siapa yang .
tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu
Rasulullah bersabda, Tidaklah ada sesudah itu, maka Beliau menjadikan orang-orang yang
beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang
wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih
mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas
yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna
dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia
bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya
beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka. (Majmu Fatawa,7/427)
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar maruf dan
nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari
kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan :
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya,
sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat
suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu
melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap
istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, Bagaimana beramar
maruf dan nahi mungkar?
Beliau menjawab, Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,
saya (Al Marrudzy) bertanya lagi : Bagaimana dengan tangan ?
Beliau menjawab, Memisahkan di antara mereka,dan saya melihat beliau melewati
anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, Merubah (mengingkari) dengan tangan
bukanlah dengan pedang dan senjata. (Lihat Al Adabusy Syariyah, Ibnu Muflih,
1/185)
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara
sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar maruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan
menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat
(kerancuan) dan segala bentuk kebatilan. Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan
hati) artinya adalah membenci kemungkaran-kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban
yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang
siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati
dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu anhu tatkala ditanya,
Apakah kematian orang yang hidup ? Beliau menjawab : Orang yang tidak mengenal
kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya. (Riwayat
I bnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Amar maruuf dan nahi munkar merupakan keistimewaan dan ciri khas umat
Muhammad shalallaahu alaihi wa sallam sebagaimana difirmankan Allah taala (artinya) :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. [QS. Ali Imran :
110]

PRINSIP DASAR
Dalam Amar Maruf dan Nahi Mungkar ada Kaidah penting dan prinsip dasar yang harus
diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan
banyak, yaitu :
Mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadah.
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syariat Islam secara umum dan dalam beramar
maruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar maruf dan nahi
mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari
perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh
melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia
melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Taala,
sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan
melakukan yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Jika amar maruf dan nahi mungkar merupakan
kewajiban dan amalan sunnah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunnah
hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para Rasul diutus dan
Kitab- kitab diturunkan dengan membawa hal ini, dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak menyukai
kerusakan, bahkan setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji
kebaikan dan orang- orang yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, serta
mencela orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat.
Apabila mafsadat amar maruf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahatnya maka ia bukanlah
sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram,
sebab seorang mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia
tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah Ta'ala :
Wahai orang-orang yang beriman perhatikanlah dirimu, orang yang sesat tidak akan
membahayakanmu jika kamu mendapat petunjuk. (QS. Al-Maaidah : 105)
Imam Ibnu Qoyyim berkata, Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang
lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah
membenci pelaku kemungkaran dan mengutuknya. (Ilaamul Muwaqqiiin, 3/4)
Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam
bernahi mungkar berikut ini :
1. Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
2. Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
3. Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
4. Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua disyariatkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga
butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya. (Lihat, ibid, dan Syarh
Arbain Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal : 255)

SYARAT??
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-Utsaimiin rahimahullah telah menjelaskan persyaratan yang
harus diperhatikan bagi orang yang hendak melakukan amar maruf dan nahi munkar dalam kitab
Syarh Al-Aqiidah Al-Waasithiyyah, 2/330-335, yaitu :
1. Pelaku mengetahui hukum syariy tentang sesuatu yang ia perintahkan atau yang ia
larang.
Oleh karena itu, ia tidak boleh memerintahkan sesuatu kecuali ia mengetahui bahwa
syariat memerintahkannya. Dan ia pun tidak boleh melarang dari sesuatu, kecuali syariat
memang melarang darinya.
Tidak boleh baginya berpegang dalam permasalahan tersebut berdasarkan perasaan dan
kebiasaan.
...Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu....
[QS. Al Maa-idah : 48]
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya. [QS. Al-Israa : 36]
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta
"Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. [QS. An-
Nahl : 116]
Seandainya ia melihat seseorang melakukan sesuatu yang pada asalnya dihalalkan
(diperbolehkan), maka tidak boleh baginya melarang hingga ia mengetahui apa yang diperbuat
orang tersebut diharamkan atau dilarang (oleh syariat). Begitu pula seandainya ia melihat
seseorang meninggalkan sesuatu yang menurut prasangkanya termasuk ibadah, maka tidak boleh
baginya memerintahkannya untuk beribadah dengannya hingga ia mengetahui bahwa syariat
memang memerintahkannya.
2. Pelaku mengetahui keadaan orang yang diperintah :
apakah ia termasuk orang yang dikenai perintah/larangan dimaksud ataukah tidak.
Seandainya ia melihat seseorang dalam keadaan ragu, apakah orang tersebut termasuk mukallaf
(orang yang dibebani suatu kewajiban) ataukah tidak, maka tidak boleh baginya memerintahkan
pada sesuatu yang tidak diperintahkan kepada orang tersebut, hingga ia memastikannya terlebih
dahulu.
3. Pelaku mengetahui keadaan orang yang diperintah pada saat pembebanannya :
apakah ia telah melakukan sesuatu yang diperintahkan/dilarang ataukah belum.
Seandainya ia melihat seseorang masuk masjid lalu duduk, dan ia ragu apakah orang
tersebut telah shalat (tahiyyatul-masjid) dua rakaat ataukah belum, maka tidak boleh baginya
mengingkarinya atau memerintahkannya hingga ia memastikan terlebih dahulu (apakah orang
tersebut sudah shalat ataukah belum).
Dalilnya adalah Nabi shalallaahu alaihi wa sallam pernah berkhuthbah pada hari
Jumat. Kemudian masuklah seorang laki-laki (ke dalam masjid), lalu ia duduk. Maka Nabi
shalallaahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya :
Apakah engkau sudah shalat ?.
Ia menjawab : Belum.
Beliau shalallaahu alaihi wa sallam bersabda : Berdirilah, lalu shalatlah dua rakaat yang
ringan.
4. Pelaku mampu untuk melakukan amar maruf dan nahi munkar tanpa menimbulkan
bahaya yang akan menimpanya.
Apabila pelaku menjumpai adanya bahaya yang akan menimpanya, tidak wajib
baginya melakukan amar maruf dan nahi munkar.
Namun jika ia bersabar dan melakukannya, hal itu lebih utama. Hal itu dikarenakan
seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan kesanggupan, berdasarkan firman
Allah taala :
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.... [QS. At-Taghaabun : 16]
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al-Baqarah :
286]
Apabila pelaku khawatir ketika memerintahkan perbuatan maruuf kepada seseorang,
orang tersebut akan membunuhnya, maka tidak wajib baginya untuk memerintahkan perbuatan
tersebut, karena ia tidak mampu melakukannya.
Bahkan kadang hukumnya bisa diharamkan pada waktu itu. Sebagian ulama berkata :
Bahkan wajib baginya untuk beramar maruf dan sabar meskipun ia ditimpa bahaya
dengannya sepanjang tidak mengakibatkan ia (pelaku) dibunuh. Akan tetapi pendapat pertama
lebih kuat, karena pelaku amar maruf nahi munkar apabila menemui bahaya dengan adanya
penahanan atau yang semisalnya, maka selain dirinya pun akan meninggalkan amar maruf nahi
munkar karena khawatir ditimpa bahaya yang semisal - bahkan, dalam keadaan dimana ia tidak
khawatir atas bahaya yang ditimbulkan. Hal ini berlaku selama perkaranya tidak termasuk amar
maruuf dalam jenis jihad - sebagaimana jika ia menyuruh pada perbuatan sunnah dan melarang
dari perbuatan bidah yang seandainya ia diam, niscaya ahlul- bidah akan melanggar
kehormatan Ahlus-Sunnah, karena perbuatan itu termasuk jihad fii sabiilillah.
Pada keadaan ini, wajib untuk menampakkan sunnah dan menjelaskan kebidahan,
karena perbuatan tersebut termasuk jihad fii sabiilillah. Tidak ada udzur dengan alasan khawatir
terhadap dirinyanya sendiri.
5. Amar maruf dan nahi munkar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada
meninggalkannya.
Seandainya amar maruf dan nahi munkar menimbulkan kerusakan yang lebih besar,
maka perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan, dan bahkan tidak boleh melakukannya.
Oleh karena itu para ulama berkata, 'Sesungguhnya mengingkari kemunkaran
menghasilkan salah satu dari empat hal :
a. hilangnya kemunkaran,
b. berubah menjadi kemunkaran yang lebih ringan,
c. berubah menjadi kemunkaran yang semisalnya, atau
d. berubah menjadi kemunkaran yang lebih besar.
Jika yang terjadi adalah keadaan pertama dan kedua, maka perbuatan mengingkari
kemunkaran hukumnya wajib. Keadaan ketiga, perlu pertimbangan.
Adapun keadaan keempat, tidak boleh dilakukan, karena tujuan dari mengingkari
kemunkaran adalah untuk menghilangkannya atau untuk meringankannya/ mengecilkannya.
Contohnya : Apabila ada seseorang ingin menyuruh orang lain melakukan kebaikan, akan tetapi
perbuatan tersebut mengkonsekuensikan orang bersangkutan tidak shalat berjamaah, maka di
sini tidak diperbolehkan melakukan amar maruf, karena mengakibatkan ditinggalkannya satu
kewajiban demi suatu yang sifatnya sunnah saja. Begitu juga dengan perbuatan nahi munkar.
Seandainya ada seseorang ingin melarang kemunkaran yang kemudian menghasilkan
pelakunya melakukan kemunkaran yang lebih besar, maka dalam keadaan ini tidak boleh
melakukan pelarangan terhadap kemunkaran tersebut untuk mencegah kerusakan yang lebih
besar dengan membiarkan kerusakan yang lebih kecil.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa taala (artinya) : Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan..... [QS. Al-Anam : 108]
6. Pelaku amar maruuf dan nahi munkar melakukan apa yang ia perintahkan atau yang ia
larang.
Ini adalah pendapat sebagian ulama. Seandainya pelakunya tidak melakukannya, maka ia
tidak boleh melakukan amar maruf dan nahi munkar, karena Allah taala telah berfirman kepada
Bani Israail (artinya) :
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat) ? Maka tidakkah kamu
berpikir ?. [QS. Al-Baqarah : 44]
Jika orang yang bersangkutan tidak shalat, maka ia tidak boleh memerintahkan orang
lain untuk shalat. Seandainya ia minum khamr, maka ia tidak boleh melarang orang lain minum
khamr. Oleh karena itu berkatalah seorang penyair : Janganlah engkau melarang satu tabiat,
namun engkau melakukannya juga Adalah aib besar bagimu jika engkau melakukannya. Mereka
(para ulama yang memegang pendapat ini) berdalil dengan atsar dan akal.
Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi mereka. Mereka berkata : Tetap wajib untuk
beramar maruuf meskipun ia tidak melakukannya, dan (tetap wajib) nahi munkar meskipun ia
melakukan kemunkaran itu.
Allah taala hanyalah mencela Bani Israil bukan karena mereka mengerjakan kebaikan,
namun karena mereka memerintahkan kebaikan dan melupakan diri mereka sendiri. Inilah
pendapat yang benar.

Kita katakan, Engkau sekarang diperintahkan pada dua hal :
1. Pertama, melakukan kebaikan; dan
2. Kedua, memerintahkan kebaikan.
Dan engkau pun dilarang dari dua hal :
1. Pertama, melakukan kemunkaran; dan
2. Kedua, meninggalkan perbuatan melarang kemunkaran.
Maka, janganlah engkau menggabungkan antara meninggalkan dua hal yang diperintahkan dan
mengerjakan dua hal yang dilarang.
Seandainya ditinggalkan salah satu di antara keduanya, tidaklah mengkonsekuensikan gugurnya yang
lain.
Inilah 6 syarat ber-amar maruf nahi munkar yang dijelaskan para ulama

Anda mungkin juga menyukai