Anda di halaman 1dari 85

Serial al-Jaami’ Fii

Tholabil ‘Ilmisy

MACAM-MACAM

Penulis:
Syaikh ‘Abdul Qoodir Bin ‘Abdul ‘Aziiz

Penerjemah:
Abu Musa Ath Thoyyaar
I/108-
Jaami

142
Al

’:
2
MACAM-MACAM
ILMU FARDLU ‘AIN

Ilmu yang wajib dipelajari, ditinjau dari kadar


kebutuhan yang berupa perkataan dan perbuatan
dibagi menjadi 2 pokok:
Pertama, ilmu yang sejak awal wajib dipelajari
oleh setiap muslim supaya dia bisa melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang terus berulang-ulang,
dan supaya dia bisa melaksanakan muamalat yang
sering dibutuhkan. Ilmu yang semacam ini
mencakup 2 bagian:
A. Bagian yang umum yang wajib bagi
seluruh mukallafiin (orang-orang yang terkena
kewajiban/orang berakal yang telah baligh)
untuk mempelajarinya dimanapun dan
kapanpun. Dan yang ini akan kami sebut
sebagai “Ilmu Fardlu ‘Ain yang Bersifat
Umum”.
B. Bagian yang khusus, yang wajib
dipelajari oleh sebagian mukallafiin (orang
yang sudah dikenai kewajiban ibadah—ed)
dan tidak wajib dipelajari bagi sebagian yang
lainnya. Dalam hal ini kadarnya satu sama
yang lain berbeda sesuai kewajiban yang
diemban masing-masing dan yang ini akan
kami sebut sebagai “Ilmu Fardlu ‘Ain yang
Bersifat Khusus”.

3
Kedua, ilmu yang tidak wajib untuk dipelajari oleh
seorang muslim kecuali ketika terjadi sesuatu atau
hampir terjadi sesuatu, yang biasanya kejadian itu
tidak berulang-ulang, dan hal tersebut dinamakan
“An-Nawaazil” (kejadian yang bersifat temporer).
Bagian ini akan kami sebut sebagai “Ilmu
Tentang Ahkaamun Nawaazil (permasalahan-
permasalahan yang bersifat temporer)”.
Bagian ini juga berbeda-beda kadarnya antara
seseorang dengan yang lainnya sesuai dengan
kejadian yang dihadapinya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ilmu yang
fardlu ‘ain itu ada 3 bagian:
- Ilmu Fardlu ‘ain yang bersifat umum.
- Ilmu Fardlu ‘ain yang bersifat khusus.
- Ilmu tentang Ahkaamun Nawaazil.
Dan berikut ini akan kami sebutkan ciri-cirinya
masing-masing secara ringkas, insya Allah.

Pertama:
Ilmu Fardlu ‘Ain Yang Bersifat Umum

Bagian ini wajib dipelajari oleh seluruh mukallaf di


setiap tempat dan di sepanjang masa, sehingga
semua orang muslim wajib mempelajarinya. Di
antaranya adalah:
1. Memahami rukun Islam yang
5, yaitu kesaksian bahwa tidak ilaah kecuali
Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan

4
Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
shaum Ramadhan dan haji bagi orang yang
mampu menempuh perjalanannya.
Pada rukun yang pertama (2 kalimah
syahadah) tidak cukup hanya sekedar
mengucapkan saja, akan tetapi harus memahami
makna keduanya dan memenuhi syarat-syarat
syah syahadat laa ilaaha illallaah, sehingga ia tidak
terjerumus pada hal-hal yang membatalkan
keduanya.
Abu Haamid Al-Ghazaaliy v berkata:
“Maka apabila seseorang yang berakal telah baligh
dengan ihtilam (mimpi basah) atau karena telah
mencapai umur baligh pada pagi hari misalnya,
maka kewajiban dia pertama kali adalah
mempelajari 2 kalimah syahadah dan memahami
maknanya. Yaitu kalimat Laa ilaaha illallaah,
Muhammadur Rasulullaah.” (Ihayaa-u 'Uluumid
Diin I/25).
Adapun makna keduanya adalah: syahadat
laa ilaaha illallaah mengandung an-nafyu
(penafian) yaitu laa ilaaha, dan al-itsbaat
(penetapan) yaitu illallah, sehingga maksudnya
adalah meniadakan segala bentuk uluuhiyyah
(peribadatan) dari selain Allah dan meninggalkan
ibadah kepada selain-Nya, serta menetapkan
uluuhiyyah hanya untuk Allah, dengan cara
mengesakanNya, dalam bentuk atau berbagai
bentuk ibadah untuk-Nya semata seperti sholat,
do’a, nadzar, penyembelihan, al-khauf (rasa takut)
ar-rajaa’ (harapan) dan at-tahaakum (berhakim).
Barang siapa yang menyelewengkan salah satu
dari ibadah-ibadah tersebut, atau yang lainnya
5
kepada selain Allah, maka perbuatannya tersebut
telah membatalkan ucapannya dan dia belum
merealisasikan makna syahadat bahkan ia menjadi
kafir, karena ia melakukan hal-hal yang
membatalkan syahadat. Oleh karena itu supaya
syahadat itu syah harus terealisasikan makna yang
terkandung di dalamnya yang berupa an-nafyu
(peniadaan) dan al-itsbaat (penetapan). Ibadah itu
hakekatnya adalah at-tadzallul (merendah) dan al-
khudluu’ (tunduk). Hal ini terealisasikan dengan
menyesuaikannya hamba pada gerakan-
gerakannya, diamnya, pikiran-pikirannya, dan
betikan-betikan hatinya sesuai dengan kehendak
Allah dengan cara berpegang teguh pada perintah
dan larangan-Nya dalam setiap urusan.
Sebagaimana firman Allah kepada nabiNya:

‫قل إن صلتي ونسكي ومحياي ومماتي لله‬


‫رب العالمين ل شريك له وبذلك أمرت وأنا‬
‫أول المسلمين‬
“Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb
semesta alam, tidak ada sekutu bagiNya dan
begitulah aku diperintahkan dan aku adalah orang
yang pertama kali berserah diri”. (QS. al-An’aam:
162-163).
Inilah kemurnian ibadah. Oleh karena itu
sebagian ulama’ mendefinisikan bahwa ibadah itu
adalah “melaksanakan apa yang diperintahkan
Allah melalui lisan para RasulNya”.
Kemudian Allah menjadikan penyelewengan
terhadap perintah dan larangan itu bertingkat-

6
tingkat. Penyelewengan yang paling besar adalah
penyelewengan yang mencabut hakekat ibadah
dari pokoknya dan yang membatalkan syahadat
laa ilaaha illallaah. Dan ini adalah merupakan hal-
hal yang menyebabkan kekafiran yang mencakup
keyakinan perkataan dan perbuatan yang telah
dinyatakan oleh Syaari’ (Allah sang Pembuat
Syariat) atas kafirnya orang yang melakukannya.
Kemudian tingkatan setelah itu adalah dosa-dosa
besar yang tidak menyebabkan kekafiran dan yang
menjadikan pelakunya fasiq kemudian setelah itu
dosa-dosa kecil.
Adapun syahadat “Muhammadur Rasulullah”
artinya adalah mempercayai segala apa yang
diberitakannya dan mentaati segala perintahnya.
Kalimat ini juga berarti menjadikannya sebagai
satu-satunya yang diikuti. Dengan demikian dari
jalan Rasul SAW lah seorang hamba mengetahui
bagaimana cara beribadah kepada Rabbnya dan
bagaimana melaksanakan tuntutan-tuntutan
syahadat yang pertama yaitu syahadat “laa ilaaha
illallah” maka beribadah kepada Allah sesuai
dengan ajaran RasulNya SAW dan tidak sesuai
dengan apa yang dipandang baik oleh akal dan
hawa nafsunya atau akal dan hawa nafsu orang
lain. Oleh karena itu Allah berfirman:

ُ ُ ‫حب ِب ْك‬
‫م‬ ْ ُ ‫ه َفات ّب ُِعوِني ي‬
َ ‫ن الل‬ َ ‫حّبو‬ ِ ُ‫م ت‬ ُ ‫ل ِإن‬
ْ ُ ‫كنت‬ ْ ُ‫ق‬
‫م‬ُُ ‫حي‬
ِ ‫ه غَُفو ُُر ّر‬ ُ ‫م َوالل‬ ْ ُ ‫ه وَي َغِْفْر ل َك‬
ْ ُ ‫م ذ ُُنوب َك‬ ُ ‫الل‬
“Katakanlah jika kalian mencintai Allah maka
ikutilah aku (Muhammad) niscaya Allah mencintai
kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian dan

7
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Ali Imran:31).
Adapun syarat-syarat syah syahadat “Laa
ilaaha illallah” adalah :
 Al ‘Ilmu (mengetehui), kebalikannya adalah
al-jahlu (tidak mengetahui / bodoh), maksudnya
adalah mengetahui maknanya sebagaimana
yang telah disebut di atas.
 Al Yaqiin (yakin), kebalikannya adalah Asy
Syakk (ragu-ragu).
 Al Ikhlaash (ikhlas), kebalikannya adalah Asy
Syirku (syirik).
 Ash Shidqu (jujur, tulus), kebalikannya
adalah al-Kadzibu (dusta).
 Al Mahabbah (cinta), kebalikannya adalah al-
Bughdlu (benci).
 Al Inqiyaad (patuh), kebalikannya adalah At
Tarku (meninggalkan).
 Al Qobuul (menerima), kebalikannya adalah
Ar Radd (menolak).
 Kufur terhadap segala sesuatu yang
diibadahi selain Allah.
Inilah syarat-syarat agar iman seorang hamba
syah dan amalannya diterima di akhirat. Adapun
pada hukum dhohir di dunia kita tidak boleh
mengetes orang apakah ia telah memenuhi syarat
syah tersebut. Khususnya bagi diantara syarat-
syarat tersebut merupakan amalan hati yang tidak
mungkin manusia mengetahuinya. Akan tetapi

8
yang dituntut dari seorang hamba di dunia ini
hanyalah al-iqraor (mengikrarkan) dan al-inqiyaad
(taat). Maka apabila ia mengucapkan 2 kalimat
syahadat dan tidak melakukan salah satu dari
pembatal-pembatal Islam, maka dia seorang
muslim. Sedangkan al-yaqiin, al-ikhlaash, as
shidqu, dan al-mahabbah merupakan amalan dan
ibadah hati yang tidak ada cara untuk
mengetahuinya di dunia ini. Meskipun ia
mempunyai tanda-tanda. Permasalahan ini
diserahkan kepada Allah yang akan ia hisab pada
Hari Qiyamat. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:

‫فإذا قالوها عصموا مني دماءهم وأموالهم‬


‫إل بحق السلم و حسابهم على الله تعالى‬
“Apabila mereka telah mengucapkannya maka
terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali
dalam hak Islam, dan hisab mereka terserah
kepada Allah. Hadits ini muttafaqun ‘alaihi.
Peringatan:
Memahami makna 2 kalimat syahadat
bukanlah syarat untuk menentukan seseorang itu
Islam secara dhohir, namun ia merupakan syarat
syah hakekat Islam yang sebenarnya. Pembahasan
masalah ini ada 2 tingkatan:
C. Memahami makna 2 kalimat syahadat
bukanlah syarat untuk menentukan seseorang itu
sebagai orang Islam. Artinya kalau ada orang
masuk Islam maka tidak harus dites tentang
masalah ini untuk menentukan dia sebagai orang
Islam. Dan begitupun jika seseorang secara dhohir

9
Islam, maka tidak harus dites pemahamannya
tentang makna 2 kalimat syahadat untuk
menetapkan dia sebagai orang Islam. Dalil yang
menunjukkan tidak wajibnya mengetes
permasalahan ini adalah bahwa Nabi SAW
menerima Islamnya seseorang yang masuk Islam
tanpa harus mengetesnya dan beliau
memberlakukan kepada orang tersebut hukum-
hukum Islam kemudian mereka mempelajari apa
yang menjadi kewajiban mereka setelah itu. Hal ini
ditunjukkan dalam sabda beliau SAW kepada
Usaamah bin Zaid ra. :

‫أقتلته بعد ما قال ل إله إل الله‬


“Apakah kamu bunuh dia setelah dia
mengucapkan laa ilaaha illallah” (Hadits ini
Muttafaqun ‘alaihi).
Dengan demikian beliau menjadikan
seseorang itu terjaga hanya dengan mengucapkan
syahadat, dan ini menunjukkan beliau
menetapkannya sebagai orang Islam.
Adapun hadits dan Nabi SAW yang
menyebutkan bahwa beliau mengetes beberapa
orang, hal itu hanya pada keadaan-keadaan
tertentu saja yang tidak dianggap sebagai hukum
asal, karena beliau tidak mengetes terhadap
puluhan ribu yang masuk islam pada masa hidup
beliau SAW. Oleh karena itu beliau melakukan
pengetesan itu boleh jadi atau pasti karena sebab-
sebab tertentu. Adapun hadits tentang budak
perempuan yang Rasulullah SAW katakan :

‫أعتقها فإنها مؤمنة‬


10
“Merdekakan dia karena sesungguhnya dia adalah
mukminah” hadits ini diriwayatkan muslim.
Sebab pengetesannya adalah karena penetapan
iman seorang budak adalah syarat syah untuk
memerdekakannya. Karena sesungguhnya Allah
ta’ala telah mewajibkan dalam beberapa keadaan
untuk membebaskan budak yang beriman seperti
dalam firmannya :

‫فتحرير رقبة‬
“Maka bebaskanlah budak yang beriman”.
Pengetesan iman budak perempuan tersebut
adalah sebagaimana pengetesan seorang Qodhiy
atau hakim tentang keislaman dan ‘adaalah (bisa
dipercaya) nya para saksi, supaya kesaksian
mereka dapat diterima maka pengetesan
semacam ini hukumnya wajib. Pembahasan ini
disebutkan dalam firman Allah :
َ
‫ت‬
ُ ‫مَنا‬ ُ ْ ‫م ال‬
ِ ْ ‫مؤ‬ ُ ُ ‫جآَءك‬َ ‫ذا‬ َ ِ ‫مُنوا إ‬
َ ‫ن َءا‬ ِ ّ ‫َياأي َّها ال‬
َ ‫ذي‬
‫ن‬
ّ ُ‫حُنوه‬ ْ ‫ت َفا‬
ِ َ ‫مت‬ ٍ ‫جَرا‬ِ ‫مَها‬
ُ
“Wahai orang-orang yang beriman apabila datang
kepada kepada kalian wanita-wanita beriman yang
berhijrah maka ujilah mereka” (Al-Mumtahanah :
10).
Serta penjelasannya dalam tafsir ayat ini, pada
kondisi-kondisi semacam ini dan yang semisalnya
hukumnya wajib untuk menguji dan inilah yang
disebut “At tabayyun asy syar’iy” (klarifikasi yang
disyari’atkan).

11
Adapun yang mau masuk islam, atau orang
yang dhohirnya Islam (dan ini disebut sebagai
muslim mastuurul hal), orang semacam ini tidak
wajib diuji pemahamannya tentang makna dua
kalimt syahadah untuk menentukan status dia
sebagai orang Islam di dunia. Dan barangsiapa
yang berpendapat demikian dia adalah orang yang
berbuat bid’ah. Dan inilah yang disebut sebagai at
tabayyun al-bid’iy (klarifikasi yang bid’ah).
Menjadikan pemahaman semacam ini sebagai
orang Islam adalah mirip dengan orang-orang
mutakallimiin (orang-orang ahli filsafat) yang
menjadikan belajar dalil-dalil aqli sebagai syarat
syahnya iman. Dan ini adalah syarat yang bathil
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar
rahimahullah. al-Ghozaaliy berkata: “Sekelampok
orang berbuat melampau batas, mereka
mengkafirkan kaum muslimin yang awam, dan
mereka berpendapat bahwa orang yang tidak
memahami aqidah beserta dengan dalil-dalil yang
mereka uraikan adalah kafir, dengan demikian
mereka mempersempit rahmat Allah yang luas.
Dan mereka menjadikan Jannah itu hanya khusus
sebagai sekelampok kecil dari kalangan
mutakallimiin.Yang semacam ini juga dikatakan
oleh Abu Al-Mudhoffar bin as-sam’aaniy,
beliau membantah orang yang berpendapat
seperti diatas dengan panjang lebar dan beliau
menukil dari kebanyakan para imam fatwa bahwa
mereka mengatakan: tidak boleh membebankan
orang-orang awam untuk meyakini hal-hal yang
pokok berdasarkan dalil-dalilnya. Karena hal itu
lebih berat dari pada belajar cabang-cabang Fiqih.
--- Sampai Ibnu Hajar mengatakan --- dan

12
sebagian mereka mengatakan yang dituntut dari
mereka adalah kepercayaaan yang mantap yang
tidak ada keraguan padanya terhadap keberadaan
Allah ta’ala dan beriman kepada Rasul-Rasul-Nya
dan dengan ajaran-ajaran yang mereka bawa
dengan cara apapun ia sampai kepada keadaan
seperti itu meskipun dengan cara sekedar taqlid
jika yang demikian itu menjadikan dia bebas dari
kegoncangan. al-Qurthubiy berkata: “Inilah
pendapat yang dipegangi oleh para ‘Imam fatwa
dan imam-imam salaf sebelum mereka. Sebagian
mereka berhujjah dengan fitrah dasar manusia,
sebagaimana yang telah lalu, dan juga berhujjah
dengan riwayat yang mutawaatir (banyak sekali)
dari Nabi SAW kemudian juga dari sahabat
bahwasanya mereka menetapkan Islam orang-
orang Arab kolat yang sebelumnya mereka adalah
penyembah berhala. Mereka (Nabi & para sahabat)
menerima Islam mereka (orang-orang Arab kolat)
dengan mengikrarkan 2 kalimat syahadat dan
dengan mematuhi hukum-hukum Islam tanpa
mengharuskan mereka untuk mempelajari dalil-
dalil.” (Fat-hul Baariy XIII/349-353) An Nawawiy
juga mengatakan hal yang serupa dengan
perkataan tersebut. Dalam Shohiih Muslim Bi
Syarhin Nawawiy I/210-211 dan Ibnu Hajar
mengulangi perkataan yang semakna dengan
perkataan tersebut ketika menjelaskan hadits no.
20 dan 25. Nanti akan ada tambahan keterangan
dalam pembahasan masalah At tabayyun asy
syar’iy dan at tabayyun al-bid’iy pada akhir-akhir
pembahasan I’tiqood bab 7 dalam buku ini insya
Allah.

13
B. Memahami makna 2 kalimat syahadat
merupakan syarat syah hakekat Islam yang
sebenarnya, yaitu Islam yang berguna di sisi Allah
dan di akhirat kelak. Dalam masalah ini al-
Ghozaliy mengatakan --- pada perkataan beliau
yang tersebut di atas --- : “Sesungguhnya wajib
bagi seorang laki-laki apabila telah baligh untuk
memahami makna 2 kalimat syahadat. Hal ini
wajib karena beberapa sebab:
• Diantaranya karena suatu kewajiban yang
tidak sempurna kecuali dengan suatu hal maka
sesuatu tersebut menjadi wajib. Maka wajib bagi
seorang hamba untuk memahami 2 kalimat
syahadat yaitu tauhid uluuhiyyah dan menjauhi
syirik serta menjadikan Nabi SAW sebagai satu-
satunya orang yang diikuti. Karena sesungguhnya
inilah hakekat kewajiban seseorang hamba ---
bukan hanya sekedar mengucapkan 2 kalimat
syahadat --- Hal ini dalilnya adalah firman Allah :
َ َ ّ ُ ‫ول ََقد بعث ْنا في ك‬
‫دوا‬ ِ ‫سول ً أ‬
ُ ُ ‫ن اعْب‬ ُ ‫مةٍ ّر‬
ّ ‫لأ‬ ِ َ ََ ْ َ
‫ت‬ َ ‫غو‬ ّ ‫جت َن ُِبوا ال‬
ُ ‫طا‬ ْ ‫ه َوا‬
َ ‫الل‬
“Dan sesungguhnya telah kami utus seorang Rasul
pada setiap umat yang mengatakan beribadahlah
kalian kepada Allah dan jauhilah thoghut” (QS. An
Nahl:36).
Ayat ini merupakan tafsiran makna syahadat “Laa
ilaaha illallah”. Oleh karena itu dapat
melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang
merupakan hakekat kalimat tersebut.
Dan Rasulullah SAW bersabda:

14
‫حق الله على العباد أن يعبدوه ول يشرك‬
‫به شيئا‬
“Hak Allah atas hamba-hambanya adalah
hendaknya mereka beribadah kepadaNya dan
tidak mensekutukanNya dengan sesuatu apapun”
(Hadits ini Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits ini juga merupakan makna syahadat “Laa
ilaaha illallaah”.
• Bahwasanya syahadat (kesaksian) itu
tidak bisa dianggap kesaksian baik secara bahasa
maupun secara syar’iy kecuali jika memahami apa
yang disaksikan. Dalilnya adalah firman Allah:

‫إل من شهد بالحق وهم يعلمون‬


“Kecuali orang yang menyaksikan dengan benar
dan mereka mengetahui”(QS.Az-Zukhruf:86).
Oleh karena itu harus tahu ilmunya supaya
syah syahadatnya. Dan ada dalil-dalil lain yang
menunjukkan atas wajibnya memahami makna
syahadat, diantaranya firman Allah:
َ
‫و‬
َ ُ‫ما ه‬ ُ َ ‫س وَل ُِينذ َُروا ب ِهِ وَل ِي َعْل‬
َ ّ ‫موا أن‬ ِ ‫ذا ب َل َغٌ ّللّنا‬
َ َ‫ه‬
َ ُ
ِ ‫حد ٌ وَل ِي َذ ّك َّر أوُْلو ا ْلل َْبا‬
‫ب‬ ِ ‫ه َوا‬ ٌ َ ‫إ ِل‬
“Ini adalah penjelasan bagi manusia dan supaya
mereka diberi peringatan dengannya dan supaya
mereka mengetahui bahwa Dia adalah ilaah yang
satu” (QS. Ibrahim:52).
Dan sabda Rasulullah SAW:

15
‫من مات وهو يعلم أنه ل إله إل الله دخل‬
‫الجنة‬
“Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui
bahwasanya tidak ada ilaah kecuali Allah niscaya
ia masuk Jannah” (HR. Muslim dari sahabat
Utsman ra).
Dalam hadits ini beliau menjadikan pemahaman
terhadap makna syahadat merupakan syarat
masuk Jannah dan syarat bergunanya 2 kalimat
syahadat sesuai dengan hakekatnya. Karena
memahami maknanya merupakan kunci untuk
mengamalkan konsekuensi-konsekuensi wajib 2
kalimat syahadat.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
َ‫أ‬
ْ َ ‫مال‬
‫م‬ َ ‫ن‬
ِ ‫دي‬
ّ ‫ال‬ ‫ن‬
َ ‫م‬
ّ ‫هم‬ُ َ ‫عوا ل‬
ُ ‫ر‬
َ ‫ش‬َ ْ ‫كآؤُا‬
َ ‫ر‬
َ ُ
‫ش‬ ‫م‬
ْ ُ ‫ه‬َ‫م ل‬
ْ
‫ه‬
ُ ‫ذن ب ِهِ الل‬ َ ْ ‫ي َأ‬
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang
membuat syariat untuk mereka dari Dien yang
tidak diijinkan oleh Allah” (QS. Asy-Syura:21).
Sedangkan salah satu makna dien adalah
peraturan dan undang-undang hidup manusia baik
peraturan itu benar atau batil. Karena Allah
menamakan apa yang dilakukan oleh orang-orang
kafir yang berupa kekafiran dan kebatilan sebagai
dien.
Yaitu dalam firmanNya:

‫ن‬
ِ ‫ي ِدي‬
َ ِ ‫م وَل‬ ْ ُ ‫ل َك‬
ْ ُ ‫م ِدين ُك‬

16
“Bagi kalian dien kalian dan bagiku dienku” (QS.
al-Kaafiruun:5).
Dan diantara bentuk syirik pembuatan syariat
pada zaman ini adalah berkumpulnya beberapa
kelampok manusia sebagai pemegang hak untuk
membuat syariat untuk manusia. Diantaranya
adalah para pembuat undang-undang ciptaan
manusia tersebut yang terdiri dari para ahli
perundang-undangan, para anggota parlemen dan
para pemimpin negara. Mereka itulah yang pada
hakekatnya menjadi rabb-rabb yang membuat
syariat selain Allah.
Sedangkan kaum muslimin yang awam lalai
dari syirik akbar ini dan mereka ikut serta dalam
mengangkat mereka sebagai rabb-rabb dengan
cara mengikuti pemilu anggota parlemen dan ikut
serta dalam memberikan pendapat untuk menguji
para pemimpin negara. Ini semua adalah pembatal
kalimat “Laa ilaaha illallah”. Diantara orang awam
tersebut ada yang terjerumus ke dalam syirik ini
karena ketidak tahuannya terhadap makna laa
ilaaha illallaah.
Dan di antara mereka seandainya
mengetahui maknanya pasti ia berhati-hati.
Permasalahan inilah yang menyadarkan kamu
betapa pentingnya mengajarkan kaum muslimin,
secara umum akan makna 2 kalimah syahadat.
• Syirik dalam berhukum.
Yaitu berhukum dengan selain syariat Allah
yang berupa undang-undang ciptaan manusia dan
perangkat-perangkatnya. Dan ini adalah musibah
yang telah merata. Allah berfirman :
17
‫مُنوا‬ َ ‫أ َل َم ترإل ِى ال ّذين يزعُمو‬
َ ‫م َءا‬ ْ ُ‫ن أن ّه‬ َ ُ َْ َ ِ َ ََ ْ ُ
َ
‫ن أن‬ َ ِ ‫من قَب ْل‬ ُ
َ ِ‫مآأنز‬ َ ْ ‫ل إ ِل َي‬َ ِ‫مآأنز‬
َ ‫دو‬ُ ‫ري‬ ِ ُ‫ك ي‬ ِ ‫ل‬ َ َ‫ك و‬ َ ِ‫ب‬
َ ُ ّ ‫موا إ َِلى ال‬
‫مُروا أن‬ ِ ‫ت وَقَد ْ أ‬ ِ ‫غو‬ ُ ‫طا‬ ُ َ ‫ي ََتحا َك‬
َ ‫طا‬
ً ‫ضل َل‬َ ‫م‬ ْ ُ‫ضل ّه‬ ِ ُ ‫ن أن ي‬ ُ َ ْ ‫شي‬ ِ ُ ‫ي َك ُْفُروا ب ِهِ وَي‬
ّ ‫ريد ُ ال‬
‫دا‬
ً ‫ب َِعي‬
“Tidakkah kamu memperhatikan kepada orang-
orang yang menyangka bahwa mereka beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan
kepada orang yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhukum kepada thogut, padahal
mereka telah diperintahkan mengkufurinya. Dan
syetan ingin menyesatkan mereka dengan
kesesatan yang jauh” (QS. An Nisaa:60).
• Sesungguhnya orang-orang Arab yang
mana Nabi SAW diutus di tengah-tengah mereka
adalah para pemilik bangsa Arab yang fasih
berbicara dan faham dengan penjelasan. Bahkan
perkataan-perkataan mereka dijadikan landasan ---
dalil --- terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab,
sebagaimana juga dijadikan landasan dalam buku-
buku para ulama bahasa. Dan sungguh mereka itu
faham dengan makna 2 kalimat syahadat tersebut,
dan bahwasanya laa ilaaha illallaah itu maknanya
adalah tauhid uluuhiyah dan mengesakan Allah
dalam beribadah, dengan dalil bahwa Nabi SAW
ketika meminta mereka untuk mengucapkan 2
kalimat syahadat, orang-orang kafir diantara
mereka mengatakan --- sebagaimana yang
diceritakan oleh Allah:

‫أجعل اللهة إلها واحدا‬


18
“Apakah dia menjadikan ilah-ilah itu menjadi satu
ilah”.
Dengan demikian mereka mengetahui bahwa yang
dimaksud dengan syahadat adalah melepaskan
diri dari berbagai ilaah yang lain. Kalau
pemahaman orang Arab yang kafir saja demikian,
lalu bagaimana dengan mereka yang sudah masuk
Islam?
Semua ini menunjukkan atas wajibnya
memahami makna 2 kalimat syahadat supaya
dapat melaksanakan tuntutan keduanya dan tidak
terjerumus kepada hal-hal yang membatalkan
keduanya. Ini semua kembali kepada kepada apa
yang telah kami tetapkan di depan atas wajibnya
berilmu sebelum berucap dan berbuat.
Ini semua berkenaan dengan hakekat Islam
yang sebenarnya yang dapat berguna bagi
seorang hamba di sisi Allah. Adapun pada hukum
yang berlaku di dunia adalah barangsiapa yang
mengucapkan 2 kalimat syahadat maka dia adalah
seorang muslim selama tidak diketahui dia
melakukan sesuatu dari pembatal-pembatal Islam
sedangkan hisabnya dikembalikan kepada Allah.
Pada kesempatan ini saya ingin
mengingatkan dengan peringatan yang keras atas
wajibnya mengajari orang-orang awam dari kaum
muslimin tentang makna dua kalimat syahadat.
Khususnya pada zaman ini yang mana kesyirikan
yang membatalkan tauhid telah melanda berbagai
negeri kaum muslimin dalam berbagai bentuk.
Diantara yang paling berbahaya adalah sebagai
berikut:

19
• Syirik dalam membuat syariat atau
undang-undang.
Sesungguhnya pembuatan syariat untuk
manusia itu merupakan hak murni bagi Allah
Ta’ala. Sehingga tidak ada yang membuat syariat
kecuali Allah Ta’ala. Allah berfirman:
َ
‫دا‬
ً ‫ح‬ ِ ْ ‫حك‬
َ ‫مه ِ أ‬ ُ ِ‫شر‬
ُ ‫ك ِفي‬ ْ ُ ‫ي وَل َي‬
ّ ِ ‫وَل‬
“Tidak ada seorangpun yang bersekutu dengannya
dalam hukumnya” (QS. Al-Kahfi:26).
Maka barang siapa yang membuat syariat bagi
manusia dengan sesuatu yang tidak diijinkan Allah,
maka dia telah menjadikan dirinya sebagai rabb
bagi mereka dan menjadikan dirinya sebagai
sekutu bagi Allah dalam pembuatan syariat bagi
manusia.
Ibnul Qoyyim berkata: “Allah mengabarkan
bahwa orang yang berhukum kepada selain ajaran
yang dibawa oleh Rasul, maka dia telah berhukum
kepada thoghut.”
Sedangkan thoghut itu sebagaimana yang
didefinisikan oleh Ibnul Qoyyim, yaitu: “Segala
sesuatu yang seorang hamba itu melampaui batas
padanya yang berupa sesembahan atau panutan
atau sesuatu yang ditaati.
Dengan demikian thoghut itu adalah segala
sesuatu yang dijadikan tempat berhukum oleh
suatu kaum selain Allah dan RasulNya, atau yang
mereka ibadahi selain Allah atau yang mereka ikuti
tanpa ada keterangan dari Allah atau yang mereka
taati padahal mereka tidak mengetahui bahwa

20
ketaatan tersebut merupakan ketaatan kepada
Allah. Ini semua adalah thoghut-thoghut di dunia
ini yang jika anda perhatikan dan juga jika anda
perhatikan keadaan manusia bersamanya niscaya
anda melihat bahwa kebanyakan mereka
menyeleweng dari ibadah kepada Allah kepada
ibadah kepada thoghut dan menyeleweng dari
berhukum kepada Allah dan Rasul kepada
berhukum kepada thoghut dan menyeleweng dari
ketaatan kepadaNya dan dari mengikuti Rasul-Nya
kepada ketaatan dan mengikuti thoghut.”
(A’laamul Muwaqqi’iin I/ 50)
• Syirik perbuatan kepada orang-orang
yang telah mati. Selain Allah ta’ala dengan bentuk
berdo’a kepada mereka, beristighotsah kepada
mereka, bernadzar dan menyembelih korban
untuk mereka. Ini semua adalah syirik akbar yang
telah menyebar di sebagian besar negara-negara
kaum muslimin. Allah berfirman :

‫ن‬َ ‫عو‬ ُ ْ ‫ن ت َد‬َ ‫ذي‬ِ ّ ‫ك َوال‬ ُ ْ ‫مل‬ ُ ْ ‫ه ال‬ ُ َ‫م ل‬ ْ ُ ‫ه َرب ّك‬ُ ‫م الل‬ ُ ُ ‫ذ َل ِك‬
‫{ ِإن‬13} ٍ‫مير‬ ِ ْ ‫من قِط‬ ِ ‫ن‬ َ ‫كو‬ ُ ِ ‫مل‬ْ َ ‫ماي‬
َ ِ‫دون ِه‬ ُ ‫من‬ ِ
‫مُعوا‬ِ ‫س‬ َ ْ‫م وَل َو‬ ْ ُ ‫عآَءك‬ َ ُ ‫مُعوا د‬ َ ‫س‬ ْ َ ‫م ل َي‬ ْ ُ‫عوه‬ ُ ْ ‫ت َد‬
َ ‫مةِ ي َك ُْفُرو‬
‫ن‬ َ ‫م ال ِْقَيا‬ َ ْ‫م وَي َو‬ ْ ُ ‫جاُبوا ل َك‬ َ َ ‫ست‬
ْ ‫ماا‬ َ
‫ر‬
ٍ ‫خِبي‬
َ ‫ل‬ ُ ْ ‫مث‬ ِ ‫ك‬ َ ُ ‫م وَل َي ُن َب ّئ‬ ْ ُ ‫شْرك ِك‬ ِ ِ‫ب‬
“Itulah Allah Rabb kalian, Dialah yang memiliki
kekuasaan, sedangkan yang kalian seru (ibadahi)
selain Allah itu tidak berkuasa sedikitpun
meskipun setipis kulit ari. Jika kamu seru mereka,
mereka tidak mendengar seruan kamu, dan
seandainya mereka mendengar, mereka tidak

21
dapat menyahut. Dan pada hari qiyamat mereka
mengingkari atas perbuatan syirik kalian. Dan
tidak ada yang dapat memberimu keterangan
seperti yang Maha Mengetahui” (QS. Fathir:13-14)
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim
untuk memahami makna syahadat laa ilaaha
illallah dan Muhammad Rasulullah, agar dia bisa
menjaga diri dari kesyirikan.
Diantara kitab yang terpenting untuk
membantu hal ini adalah Fat-hul Majiid Syarhu
Kitaabit Tauhiid, karangan Syaikh ‘Abdur
Rahmaan bin Hasan bin Syaikhul Islaam
Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab. Semoga Allah
merahmati mereka semua. Dan ini adalah salah
satu kitab yang saya sarankan kepada setiap
muslim untuk membacanya, karena kitab ini
menerangkan dengan jelas makna laa ilaaha
illallah dan juga menerangkan pembatal-
pembatalnya yang banyak terjadi di mana-mana.
2. Memahami rukun Iman yang 6:
Yaitu beriman kepada Allah, para
malaikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, Hari
Akhir dan beriman kepada taqdir yang baik
maupun yang buruk. Dan inilah rukun iman yang
disebutkan dalam hadits Jibril ‘alaihis salaam.
Selain memahami rukun-rukun tersebut, ada
2 hal yang harus diperhatikan:
A. Sesungguhnya iman itu berupa
perkataan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang, perkataan hati dan perkataan lisan,
dan perbuatan hati dan perbuatan anggota badan.

22
Adapun yang dimaksud dengan perkataan
hati adalah: Pemahaman dan pembenarannya
yang kokoh yang mendorang untuk taat dan
patuh.
Sedangkan perkataan lisan adalah:
Mengucapkan 2 kalimat syahadat.
Sedangkan perkataan hati adalah: Ibadah-
ibadah hati seperti ikhlas, khasy-yah (takut), cinta
dan pasrah. – Dan kami akan membahas nanti.
Sedangkan perbuatan anggota badan
adalah: Pelaksanaan terhadap perintah dan
larangan syariat. Dan bahwasanya iman itu
bertambah dan berkurang. Bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan,
sampai ia tidak tersisa sedikitpun.
B. Sesungguhnya umat ini setelah
wafatnya Nabi SAW terpecah belah menjadi
banyak kelampok, dalam berbagai keyakinan dan
pendapat. Dan diantara kelampok-kelampok ini
hanya satu saja yang selamat, sedangkan
kelampok-kelampok lainnya binasa dan masuk
dalam ancaman. Adapun kelampok yang selamat
tersebut, selamat karena mengikuti ajaran Nabi
SAW dan para sahabatnya dan mereka itulah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
Adapun kelampok-kelampok yang binasa,
mereka tersesat karena membuat-buat pendapat
yang baru yang bertentangan dengan ajaran Nabi
SAW dan para sahabatnya.
Pemahaman tentang perpecahan semacam
ini, dan juga bagaimana yang benar, lebih

23
ditekankan lagi pada daerah yang di sana tersebar
kelampok-kelampok sesat dan bid’ah tersebut.
Yang semacam ini merupakan peringatan
yang wajib bagi kaum muslimin. Faedah
memahami perpecahan ini adalah wajib
mempelajari keyakinan-keyakinan yang
diperselisihkan itu sesuai dengan madzhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
3. Memahami bagian-bagian tauhid
Tauhid adalah iman kepada Allah SWT yaitu
rukun iman yang pertama. Dan tauhid itu ada 2
bagian:
A. Tauhid Rubuubiyyah.
Yaitu tauhid al-ma’rifah wal itsbat atau
tauhid al-ilmiy al-khabariy. Maksudnya adalah :
meyakini bahwa Allah itu Esa Dzatnya, perbuatan-
perbuatannya dan sifat-sifatnya dan tidak ada
sekutu bagiNya.

ْ ‫م ُيول َد‬
ْ َ ‫م ي َل ِد ْ وَل‬
ْ َ ‫{ ل‬2} ُ ‫مد‬
َ ‫ص‬ ُ ّ ‫الل‬
ّ ‫ه ال‬
“Tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak
ada seorangpun yang sama denganNya” (QS. Al-
Ikhlas:2-3).
Dan meyakini bahwa Allah itu berada di atas
langit bersemayam di atas ‘Arsy, terpisah dari
makhluk dan dia bersama mereka dengan
ilmuNya, kekuasaanNya, meliputiNya,
pendengaranNya, penglihatanNya. Dan meyakini
bahwa Dia Allah

‫ليس كمثله شيء وهو السميع البصير‬


24
“Tidak ada sesuatupun yang sama seperti Dia dan
Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Dan meyakini bahwasanya hanya Dialah
Rabb yang berkuasa, Yang mencipta, Yang
memberi rizqi, Yang memberi manfaat, Yang
mendatangkan bahaya, Yang menghidupkan, Yang
mematikan, Yang membuat syariat bagi
ciptaanNya dan tidak ada seorangpun yang
bersekutu denganNya dalam hal ini kecuali atas
ijinNya dan kehendakNya, sama saja sesuatu itu
yang Dia cintai dan ridhoi atau yang dia benci dan
tidak ia sukai. Dan meyakini bahwa Allah itu Maha
Kuasa atas segala sesuatu dan tidak ada
sesuatupun yang melemahkanNya.
Sebagian penulis memasukkan tauhid asma’
wa shifat dalam tauhid Rubuubiyah dan sebagian
yang lain menjadikan satu bagian tersendiri. Jika
tauhid asma’ wa shifat ini disendirikan maka
tauhid Rubuubiyyah hanya terbatas pada
mentauhidkan Allah pada Dzat dan perbuatan-
perbuatanNya.
Mau pakai pembagian yang manapun, saya
nasehatkan agar pelajaran Asma’ wa Shifat itu
hanya sekedar teori yang terbatas pada madzhab
Ahlus Sunnah dan madzhab-madzhab ahlu bid’ah.
Akan tetapi ketika mempelajarinya harus
dikaitkan dengan kehidupan seorang muslim dan
mu’amalat hariannya baik secara lahir maupun
batin. Sehingga pemahaman sifat-sifat al-
Ma’iyyah (kebersamaan Allah dengan hambaNya)
dapat menumbuhkan rasa malu terhadap Allah
Ta’ala, dan sangat berharap untuk mendapatkan

25
ma’iyyahNya yang khusus untuk orang-orang
yang bertaqwa sehingga ia sungguh-sungguh
untuk menjadi golangan orang-orang yang
bertaqwa.
Dan pemahaman terhadap sifat al-Bashor
(penglihatan Allah) dapat menumbuhkan rasa
malu jika Allah melihatnya sedang melakukan
perbuatan yang dilarangNya dan dia suka kalau
Allah melihat dia sedang taat kepadaNya.
Dan pemahaman terhadap As Sam’u
(pendengaran Allah) dapat mencegahnya dari
mengucap perkataan yang dapat mengakibatkan
hukuman Allah dan ia suka untuk mengucapkan
ucapan yang dapat membuat Allah ridho
kepadanya. Dan pemahaman terhadap Qudrah
(kekuasaan Allah) dapat menimbulkan sikap
tawakal (pasrah) kepada Allah dan tsiqqoh (yakin)
dengan janjiNya. Dan begitu seterusnya pada
nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya.
Karena sesungguhnya semua apa yang
berada di jagad raya ini baik berupa ciptaannya
atau permasalahan hanyalah merupakan
konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Karena tidak mungkin nama-nama dan sifat-
sifat tersebut tidak berkonsekwensi, dan
pemahaman tentang masalah ini adalah
merupakan pemahaman yang paling Agung dan
paling Mulia sebagaimana dikatakan oleh Ibnul
Qoyyim, dan buku-buku beliau penuh dengan
penjelasan masalah ini.
B. Tauhid Uluuhiyyah

26
Yaitu tauhid dalam beribadah dan
berkehendak atau At Tauhiid al-Iraodiy Ath
Tholabiy maksudnya adalah beribadah hanya
kepada Allah saja atau mengesakan Allah dalam
beribadah. Sebagaimana yang telah kami
sebutkan dalam makna syahadat laa ilaaha
illallah .
Dan situ dapat kita pahami bahwa tauhid
rubuubiyyah itu merupakan ILMU sedangkan
tauhid uluuhiyyah adalah AMAL, dan merupakan
dampak dari tauhid Rubuubiyyah pada amalan-
amalan seorang hamba. Dan keduanya harus ada
supaya syah tauhid dan imannya. Seorang hamba
tidaklah dikatakan beriman jika hanya bertauhid
Rubuubiyyah saja, karena sesungguhnya orang-
orang kafir yang diperangi oleh Nabi SAW dan
beliau halalkan darah dan harta mereka, mereka
mengakui tauhid Rubuubiyyah dan mengakui
bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, tidak
ada sekutu bagiNya, Yang mendatangkan manfaat
dan marabahaya, Yang mengatur segala urusan,
sebagaimana firman Allah kepada NabiNya SAW:

‫من‬ َ َ ْ ُ ُ‫من ي َْرُزق‬ ْ ُ‫ق‬


ّ ‫ضأ‬ ِ ‫مآِء وَالْر‬ َ ‫س‬ّ ‫ن ال‬ َ ‫م‬ ّ ‫كم‬ َ ‫ل‬
َ ْ ‫ج ال‬ َ
‫ن‬
َ ‫م‬ ِ ‫ي‬ ّ ‫ح‬ ُ ِ‫خر‬ ْ ُ ‫من ي‬ َ َ‫صاَر و‬ َ ْ ‫معَ وَا ْلب‬ ْ ‫س‬ ّ ‫ك ال‬ ُ ِ ‫مل‬ ْ َ‫ي‬
‫من ي ُد َب ُّر‬ َ َ‫ي و‬ ّ ‫ح‬ َ ْ ‫ن ال‬َ ‫م‬ ِ ‫ت‬َ ّ ‫مي‬ َ ْ ‫ج ال‬ُ ِ‫خر‬ ْ ُ ‫ت وَي‬ ِ ّ ‫مي‬ َ ْ ‫ال‬
َ ْ ‫ا ْل َمر فَسيُقوُلون الله فَُق‬
َ ‫ل أفَل َت َت ُّقو‬
‫ن‬ ُ َ َ َ َ ْ
“Katakanlah, siapakah Yang memberi rizki kalian
dari langit dan bumi atau siapakah Yang
menguasai pendengaran dan penglihatan dan
siapakah Yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan Yang mengeluarkan yang mati dari
27
yang hidup dan siapakah Yang mengatur urusan.
Maka mereka mengatakan: “Allah” maka
katakanlah “Apakah kalian tidak mau bertaqwa”
(QS. Yunus:31).
Pengakuan mereka ini tidak memasukkan mereka
ke dalam Islam karena mereka menyekutukan
Allah dalam uluuhiyyahNya karena mereka
beribadah kepada selain Allah dengan cara
berdoa, istighotsah, bernadzar, menyembelih
korban dan berhukum kepada selain syariat Allah
Ta’ala.
Oleh karena itu yang pertama kali
didakwahkan oleh para Rasul kepada kaumnya
adalah beribadah hanya kepada Allah saja dan
tidak ada sekutu bagiNya --- yaitu tauhid
uluuhiyyah sebagaimana firman Allah Ta’ala:
َ َ ّ ُ ‫ول ََقد بعث ْنا في ك‬
‫دوا‬ ِ ‫سول ً أ‬
ُ ُ ‫ن اعْب‬ ُ ‫مةٍ ّر‬
ّ ‫لأ‬ ِ َ ََ ْ َ
‫ت‬ َ ‫غو‬ ّ ‫جت َن ُِبوا ال‬
ُ ‫طا‬ ْ ‫ه َوا‬
َ ‫الل‬
“Dan telah kami utus pada setiap umat seorang
Rasul (yang menyerukan): “beribadahlah kalian
kepada Allah dan jauhilah thoghut”.
Dan ketika Nabi Muhammad SAW mengutus
Mu’aadz kepada penduduk Yaman, beliau
bersabda kepadanya:

‫إنك تقدم على قوم من أهل الكتاب فليكن‬


‫أول ما تدعوهم إلى أن يوحدوا الله تعالى‬
“Sesungguhnya engkau mendatangi kaum dari
ahli kitab, maka hendaknya yang pertama kali
kamu serukan kepada mereka adalah supaya

28
mereka mentauhidkan Allah” (HR. al-Bukhariy no.
7372).
Yang dimaksud adalah tauhid uluuhiyyah
berdasarkan riwayat-riwayat lain mengenai hadits
yang sama, diantaranya:

‫فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله‬


“Maka hendaknya yang pertama kali engkau
serukan kepada mereka adalah beribadah kepada
Allah” (HR. al-Bukhariy no. 1458)
dan diantaranya:

‫فإذا جئتهم فادعهم إلى إن يشهدوا أن ل‬


‫إله إل الله و أن محمدا رسول الله‬
“Maka apabila kamu mendatangi mereka, serulah
mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada ilaah
kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah.” (HR. al-Bukhariy no. 4347).
Semua ini menunjukkan bahwa tauhid adalah
kewajiban yang pertama kali dan semua ibadah
tidak diterima dan tidak syah kecuali dengannya.
Oleh karena itu Rasulullah SAW memerintahkan
rukun Islam yang lainnya --- dalam hadits
Mu’aadz --- setelah melaksanakan tauhid beliau
SAW bersabda:

‫فليكن أول ما تدعوهم إلى أن يوحدوا الله‬


‫تعالى فإذا عرفوا ذلك فأخبرهم أن الله‬
‫فرض عليهم خمس صلوات في يومهم‬
‫وليلتهم فإذا صلوا فأخبرهم أن الله افترض‬
29
‫عليهم زكاة أموالهم تؤخذ من غنيهم فترد‬
‫على فقيرهم فإذا أقروا بذلك فخذ منهم‬
‫وتوق كرائم أموال الناس‬
“Maka hendaklah pertama kali yang kamu serukan
kepada mereka agar mereka mentauhidkan Allah
Ta’ala. Apabila mereka telah mengetahui hal itu
maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan kepada mereka sholat 5 kali sehari
semalam, dan apabila mereka telah sholat maka
beritahukan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan zakat pada harta mereka, yang
diambil dari orang kaya diantara mereka dan
diberikan kepada orang miskin diantara mereka
dan hati-hatilah dengan kemuliaan harta manusia”
(Hadits ini Muttafaqun ‘alaihi dengan
menggunakan lafadz al-Bukhaoriy no. 7372).
Oleh karena itu wajib bagi setiap hamba untuk
memahami 2 macam tauhid tersebut, dan dia juga
harus memahami bahwa imannya tidak syah
kecuali dengan memenuhi keduanya dan
sesungguhnya ini merupakan kewajiban hamba
baik secara ilmu maupun secara amal.
4. Memahami pembatal-pembatal Islam.
Yaitu memahami apa itu kekafiran dan apa
saja yang dapat menyebabkan kafir. Memahami
hal ini wajib berdasarkan firman Allah:
َ َ ّ ُ ‫ول ََقد بعث ْنا في ك‬
‫دوا‬ ِ ‫سول ً أ‬
ُ ُ ‫ن اعْب‬ ُ ‫مةٍ ّر‬
ّ ‫لأ‬ ِ َ ََ ْ َ
‫ت‬ َ ‫غو‬ ّ ‫جت َن ُِبوا ال‬
ُ ‫طا‬ ْ ‫ه َوا‬
َ ‫الل‬

30
“Dan telah kami utus pada setiap umat seorang
rasul (yang menyerukan): “beribadahlah kalian
kepada Allah dan jauhilah thoghut” (QS. An-
Nahl:36).
Oleh karenanya seorang hamba wajib memahami
apa itu thoghut supaya dia dapat menjauhinya
berdasarkan ilmu. Karena imannya tidak akan syah
kecuali jika ia menjauhi thoghut dan
mengkufurinya, hal ini berdasarkan firman Allah:

ِ‫من ِباللهِ فََقد‬ ِ ْ‫ت وَي ُؤ‬


ِ ‫غو‬ُ ‫طا‬ّ ‫من ي َك ُْفْر ِبال‬ َ َ‫ف‬
‫م ل ََها‬ َ ‫ك ِبال ْعُْروَةِ ال ْوُث َْقى ل َ ان ِْف‬
َ ‫صا‬ َ ‫س‬َ ‫م‬ ْ َ ‫ست‬ْ ‫ا‬
‫م‬ٌ ‫ميعٌ عَِلي‬ ِ ‫س‬
َ ‫ه‬ ُ ‫َوالل‬
“Barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan
beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqorah:256).
Kufur kepada thoghut dalam ayat ini lebih
didahulukan daripada iman kepada Allah, karena
iman itu tidak akan syah kecuali dengan kufur
terhadap thoghut. Dan kufur terhadap thoghut
inilah yang dimaksud dengan “An nafyu”
(penafian) pada syahadat laa ilaaha illallah .

‫ الطاغوت‬ini musytaq (pecahan kata) dari


‫ الطغيان‬yang artinya adalah segala sesuatu
yang mana seorang hamba melampaui batas
padanya yang berupa sesuatu yang diibadahi atau
diikuti atau ditaati atau segala sesuatu yang
mengeluarkan hamba dari iman ke dalam

31
kekafiran yang mana kekafiran itu merupakan
pokok dari segala yang melampaui batas.
Dan setelah disebutkan di atas definisi Ibnul
Qoyyim terhadap thoghut. Ibnu Hajar rh. berkata
“Berkata Ath Thobariy --- mengenai definisi
thoghut ---: Yang benar menurutku adalah: segala
sesuatu yang melampaui batas terhadap Allah,
yang diibadahi selain Allah, baik dengan paksaan
darinya terhadap orang yang beribadah
kepadanya, baik berupa manusia, atau syaithan,
atau hewan atau benda mati (Fat-hul Baariy
XI/448) penjelasan hadits no. 6573. Dan banyak
ulama yang mengatakan bahwa thoghut itu
aslinya adalah syaithan yang menghiasi segala
kekafiran kepada Allah untuk manusia,
sebagaimana firman Allah Ta’ala ketika bercerita
tentang Iblis:

‫ض‬ ‫ر‬ َ ‫ب بمآ أ َغْوي ْت َِني ل َُزي ّن َن ل َهم ِفي ا ْل‬ َ ‫َقا‬
ِ ْ ْ ُ ّ َ َ ِ ّ ‫ل َر‬
‫م‬ َ َ ‫عَباد‬ِ ّ ‫{ إ ِل‬39} ‫ن‬ َ ‫ول ُغْوينه‬
ُ ُ‫من ْه‬ِ ‫ك‬ َ ‫مِعي‬َ ‫ج‬ْ ‫مأ‬ ْ َُِّ َ
‫ن‬
َ ‫صي‬ َ
ِ ‫خل‬ْ ‫م‬ ْ
ُ ‫ال‬
“Dia berkata: “Wahai Rabbku, lantaran engkau
telah menyesatkan aku, maka aku pasti akan
menghiasi untuk menipu mereka di muka bumi,
dan pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya kecuali hamba-hambaMu, diatnara
mereka yang ikhlas. (Al Hijr: 39-40)
Dan wasiat Luqman yang pertama kali kepada
anaknya, sebagaimana firman Allah :

32
‫ي‬
ّ َ ‫َياب ُن‬ ُ ُ ‫ي َعِظ‬
‫ه‬ َ‫ن لب ْن ِهِ وَهُو‬ ُ ‫ما‬َ ‫ل ل ُْق‬
َ ‫وَإ ِذ َْقا‬
‫م‬
ٌ ‫ظي‬ِ َ‫ع‬ ‫م‬ٌ ْ ‫ل َظ ُل‬ َ ‫شْر‬
‫ك‬ ّ ‫ن ال‬ ّ ِ ‫ك ِباللهِ إ‬ ْ ِ‫شر‬ ْ ُ ‫ل َت‬
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepada
anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan (Allah), sesungguhnhya syirik
itu adalah kedholiman yang sangat besar
(QS.Luqman : 13).
Sedangkan syirik jika diungkapkan secara lepas
artinya sama dengan kekafiran. Oleh sebab itu
wajib bagi seorang hamba untuk memahami
kekafiran dan apa yang menyebabkan kekafiran
atau memahami pembatal-pembatal islam dan
pembatal-pembatal ini banyak sekali tidak
terbatas. Dan yang paling popular adalah 10 hal
yang dikumpulkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, kemudian pembatal-pembatal islam
yang terdapat pada bab-bab murtad dalam kitb-
kitab fiqih. Dan semua yang disebutkan ini
hanyalah contoh-contoh.
5. Memahami ibadah-ibadah wajib bagi
hati dan ini banyak dilalaikan manusia meskipun
hukumnya wajib, bahkan sebagiannya masuk
kedalam ashlul iman (pokok keimanan).
A. Seperti ikhlas berdasarkan firman Allah
:
ُ ‫و‬
‫ن‬
َ ‫دي‬
ّ ‫ه ال‬ ُ َ‫ن ل‬َ ‫صي‬
ِ ِ ‫خل‬
ْ ‫م‬ُ ‫ه‬ َ ّ ‫دوا الل‬ُ ُ ‫مُروا إ ِل ّ ل ِي َعْب‬ِ ‫مآأ‬ َ َ
َ ‫صل َةَ وَي ُؤُْتوا الّز‬
َ‫كاةَ وَذ َل ِك‬ ّ ‫موا ال‬ ُ ‫حن ََفآَء وَي ُِقي‬ُ
‫ة‬
ِ ‫م‬ ْ
َ ّ ‫ن الَقي‬ ُ ‫ِدي‬
33
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk
beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan
diin (agama) bagiNya” (QS.Al-Bayyinah : 5)
Oleh karena itu wajib atas setiap muslim
mengetahiu bahwa ikhlas itu wajib dan bahwa ia
merupakan syarat diterimanya amal di sisi Allah
Subhaanahu Wa ta’aala. Dan sesungguhnya
amalan-amalan itu, seperti sholat, zakat dan lain-
lain kadang kelihatannya didunia ini syah akan
tetapi tidak diterima disisi Allah dan pelakunya
tidak diberi pahala karena tidak terpenuhinya
syarat ikhlas ini. Dan ikhlas adalah beramal untuk
Allah semata. Dan ini merupakan amalan hati.
B. Al Khasy-yah (takut) berdasarkan
firman Allah :

‫ن‬ ِ ْ ‫مؤ‬
َ ‫مِني‬ ُ ‫شوْهُ ِإن‬
ّ ‫كنُتم‬ ْ َ ‫حقّ َأن ت‬
َ ‫خ‬ َ ‫َفالل‬
َ ‫هأ‬ُ
“Maka Allah itu lebih berhak untuk kalian takuti
jika kalian beriman” (QS.At-Taubah : 13)
C. Al Mahabbah (cinta)
Berdasarkan firman Allah :

‫ه‬
ِ ‫حّبا لل‬ َ َ ‫مُنوا أ‬
ُ ّ ‫شد‬ َ ‫ن َءا‬ ِ ّ ‫َوال‬
َ ‫ذي‬
“Dan orang-orang yang beriman sangat besar
cinta mereka kepada Allah” (QS.Al-Baqarah : 165)
Dan Rasulullah SAW bersabda :

‫ أن‬:‫ثلث من كن فيه وجد حلوة اليمان‬


،‫يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما‬
‫ وأن يكره‬،‫وأن يحب المرء ل يحبه إل لله‬
34
،‫أن يعود في الكفر بعد إذ أنقذه الله منه‬
‫كما يكره أن يقذف في النار‬
“Ada tiga hal jika ada pada seseorang maka dia
akan mendapatkan manisnya iman. Hendaknya
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain
keduanya, dan hendaknya ia mencintai seseorang
ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan
hendaknya ia benci untuk kembali kepada
kekafiran, setelah Allah menyelamatkannya
sebagaimana ia benci untuk dilemparkan kedalam
neraka. (Hadits ini muttafaqun ‘alaihi)
Cinta Allah dan Rasul-Nya bukanlah sekedar
ucapan yang tidak ada hakekatnya, akan tetapi
hakekatnya adalah merupakan ibadah hati yang
mendorang untuk menyesuaikan diri dengan apa
yang diinginkan oleh yang ia cintai dan membenci
apa yang dibenci oleh yang dicintai, bahkan
melaksanakan apa yang diperintahkan dan
meninggalkan apa yang dilarang.
Al Qoodhiy ‘Iyaadl berkata: “Tentang
kewajiban untuk mencintai Rasulullah SAW, Allah
berfirman :
َ
ْ ُ ‫وان ُك‬
‫م‬ َ ‫خ‬
ْ ِ ‫م وَإ‬ ْ ُ ‫م وَأب َْنآؤُك‬ ْ ُ ‫ن َءاَبآؤُك‬ َ ‫كا‬ َ ‫ل ِإن‬ ْ ُ‫ق‬
َ َ
‫ها‬َ ‫مو‬ ُ ُ ‫ل اقْت ََرفْت‬ ٌ ‫وا‬َ ‫م‬ ْ ‫م وَأ‬ ْ ُ ‫شيَرت ُك‬ ِ َ‫م وَع‬ ْ ُ ‫جك‬ ُ ‫وَأْزَوا‬
‫ضوْن ََهآ‬َ ‫ن ت َْر‬ ُ ِ ‫ساك‬ َ ‫م‬ َ َ‫ها و‬ َ َ ‫ساد‬ َ َ‫ن ك‬ َ ْ ‫شو‬ َ ‫خ‬ ْ َ ‫جاَرةٌ ت‬ َ ِ ‫وَت‬
‫جَهادٍ ِفي‬ ُ ْ ‫ب إ ِل َي‬ َ
ِ َ‫سول ِهِ و‬ ُ ‫ن اللهِ وََر‬ َ ‫م‬
ّ ‫كم‬ ّ ‫ح‬ َ ‫أ‬
َ ْ
‫ه‬
ُ ‫مرِهِ َوالل‬ ْ ‫ه ب ِأ‬ُ ‫ي الل‬ َ ِ ‫حّتى ي َأت‬ َ ‫صوا‬ ُ ّ ‫سِبيل ِهِ فَت ََرب‬ َ
‫ن‬
َ ‫سِقي‬ ِ ‫م ال َْفا‬ َ ْ‫دي ال َْقو‬ ِ ْ‫ل َي َه‬
35
“Katakanlah jika bapak-bapak kalian, anak-anak
kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian,
keluarga kalian, harta-harta yang kalian usahakan,
perdagangan yang kalian khawatir akan
kerusakannya dan tempat tinggal yang kalian
senangi lebih kalian cintai daripada Allah, Rasul-
Nya, dan jihad dijalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan urusan-Nya dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik” (QS.At-Taubah : 24)
Cukuplah hal ini menjadi motivasi, peringatan, dalil
dan alasan atas wajibnya untuk mencintai beliau
SAW. Dan besarnya masalah ini dan berhaknya
beliau untuk dicintai karena Allah mengancam
orang yang hartanya, keluarganya, dan anaknya
lebih ia cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya
dengan firman-Nya :
َ ْ
‫ه‬
ِ ِ‫مر‬
ْ ‫ه ب ِأ‬
ُ ‫ي الل‬
َ ِ ‫حّتى ي َأت‬ ُ ّ ‫فَت ََرب‬
َ ‫صوا‬
“Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
urusan-Nya”
Kemudian Allah menganggap mereka fasiq pada
terusan ayat tersebut. Dan Allah memberitahu
kepada mereka bahwa mereka termasuk orang
yang sesat dan tidak diberi petunjuk oleh Allah.”
(Asy Syifaa II/ 563).
Kemudian al-Qoodhiy ‘Iyaadl berkata:
“Pasal, tanda-tanda cinta kepada Rasul SAW,
ketahuilah bahwasanya orang yang mencintai
sesuatu itu pasti dia lebih mengutamakannya dan
lebih mengutamakan hal-hal yang sesuai dengan
sesuatu tersebut. Kalau tidak begitu maka

36
cintanya tidak tulus dan dia hanya mengaku-ngaku
saja. Dengan demikian orang yang tulus dalam
mencintai Nabi SAW, adalah orang yang terdapat
padanya tanda-tanda cinta itu pada orang
tersebut. Dan tanda yang paling pertama adalah
meneladani beliau SAW, mengamalkan sunnahnya,
mengikuti perkataan dan perbuatannya,
merealisasikan perintah-perintahnya, menjauhi
larangan-larangannya dan beradab dengan adab-
adabnya baik dalam keadaan susah atau senang,
dalam keadaan ringan atau berat, Dalilnya dalam
masalah ini adalah firman Allah :

ُ ُ ‫حب ِب ْك‬
‫م‬ ْ ُ ‫ه َفات ّب ُِعوِني ي‬
َ ‫ن الل‬ َ ‫حّبو‬ ِ ُ‫م ت‬ ُ ‫ل ِإن‬
ْ ُ ‫كنت‬ ْ ُ‫ق‬
‫م‬ُُ ‫حي‬
ِ ‫ه غَُفو ُُر ّر‬ ُ ‫م َوالل‬ ْ ُ ‫ه وَي َغِْفْر ل َك‬
ْ ُ ‫م ذ ُُنوب َك‬ ُ ‫الل‬
“Katakanlah jika kalian mencintai Allah maka
ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian”
(QS.Ali Imran : 31).
Ia juga mngutamakan apa-apa yang disyari’atkan
dan diajarkan daripada apa yang diinginkan dirinya
sendiri, serta hal-hal yang sesuai dengan hawa
nafsunya. Allah berfirman :

ْ ِ‫من قَب ْل ِه‬


‫م‬ ِ ‫ن‬ َ ‫ما‬ ِ ْ ‫داَر وَا‬
َ ‫لي‬ ّ ‫ن ت َب َوُّءو ال‬ َ ‫ذي‬ِ ّ ‫َوال‬
‫ن ِفي‬ َ ‫دو‬
ُ ‫ج‬ ِ َ ‫م وَل َي‬ ْ ِ‫جَر إ ِل َي ْه‬َ ‫ها‬َ ‫ن‬ ْ ‫م‬َ ‫ن‬ َ ‫حّبو‬ ِ ُ‫ي‬
‫ن عََلى‬ ُ
َ ‫مآ أوُتوا وَي ُؤْث ُِرو‬ ّ ‫م‬ّ ‫ة‬ً ‫ج‬َ ‫حا‬ َ ‫م‬ ْ ِ‫دورِه‬ ُ ‫ص‬
ُ
‫ة‬
ٌ ‫ص‬ َ ْ‫م وَل َو‬ َ
َ ‫صا‬
َ ‫خ‬ َ ‫م‬ ْ ِ‫ن ب ِه‬ َ ‫كا‬ ْ ِ ‫سه‬ِ ‫أنُف‬
“Dan orang-orang yang menempati kota dan telah
beriman sebelum (kedatangan) mereka (orang-
orang Muhajirin) mereka mencintai orang yang
berhijrah kepada mereka dan mereka tidak

37
membutuhkan apa-apa yang telah mereka berikan
kepada mereka (Muhajirin) dan mereka lebih
mengutamakan mereka (muhajirin) daripada diri
mereka sendiri meskipun mereka membutuhkan”
(QS.Al-Hasyr : 9)
Dan membenci orang lain dalam rangka mencari
ridho Allah --- sampai beliau mengatakan --- dan
diantaranya adalah membenci orang yang
membenci Allah dan RasulNya, memusuhi orang
yang memusuhinya, menjauhi orang yang
menyelisihi sunnahnya dan mengada-adakan
masalah-masalah pada diinnya, dan merasa
keberatan dengan segala hal yang menyelisihi
syariat. Allah SWT berfirman:

‫ر‬ َ َ ‫ن ِباللهِ َوال ْي َوْم ِ ا ْل‬


ِ ‫خ‬ َ ‫مُنو‬ ً ْ‫جد ُ قَو‬
ِ ْ‫ما ي ُؤ‬ ِ َ ‫ل ّت‬
ُ َ ‫سول‬
‫ه‬ ُ ‫ه وََر‬ َ ‫حآد ّ الل‬َ ‫ن‬ْ ‫م‬ َ ‫ن‬ َ ‫دو‬ ّ ‫وآ‬
َ ُ‫ي‬
“Kamu tidak akan mendapatkan orang-orang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, saling
mencintai dengan orang yang menentang Allah
dan RasulNya” (QS.Al Mujadalah:22).
Dan mereka para sahabat Nabi SAW telah
membunuh orang-orang yang mereka cintai dan
mereka telah memerangi bapak-bapak dan anak-
anak mereka untuk mendapatkan ridho Allah.”
(Asy Syifaa II/571-576, terbitan Ilsa Al-Halabiy).
Tujuan dan penukilan perkataan al-Qoodhiy
‘Iyaadl ini adalah untuk menjelaskan bahwasanya
meskipun cinta itu merupakan amalan hati yang
wajib, namun ia mempunyai konsekuensi-
konsekuensi yang berupa amalan-amalan anggota
badan yang harus dilaksanakan. Hal ini sama juga

38
dengan ibadah-ibadah hati yang lainnya seperti ar
ridho, at tasliim (pasrah) dan yang lainnya.
D. Al Khauf (takut) dan Ar Rajaa’
(harapan)
Berdasarkan firman Allah :

َ َ ‫خوًْفا وَط‬
‫مًعا‬ َ ُ‫عوه‬
ُ ْ ‫َواد‬
“Dan berdoalah kepadaNya dengan penuh rasa
takut dan harap. ” (QS. Al-A’raaf:56).
E. Bertawakkal kepada Allah
Berdasarkan firman Allah :

‫وعلى الله فليتوكل المؤمنون‬


“Dan hanya kepada Allahlah hendaknya
bertawakkal orang-orang yang bertawakkal” (QS.
Ali Imran:160).
F. Sabar dalam mentaati Allah dan dalam
menjauhi maksiat serta ketika tertimpa musibah.
Allah berfirman :

‫يا أيها الذين آمنوا استعينوا بالصبر والصلة‬


“Dan minta tolang dengan sabar dan sholat”
(QS.Al-Baqorah:153).
Syaikh ‘Izzud Diin Ibnu ‘Abdis Salaam
rahimahullah berkata: “Dan amalan-amalan hati
itu banyak, diantaranya:
 Husnudz-dznon (berbaik sangka)
kepada Allah.

39
 Bersedih terhadap ketaatan yang ia
lewatkan.
 Bergembira atas karunia dan rahmat
Allah.
 Cinta terhadap ketaatan dan iman
serta benci terhadap kekafiran, kefasikan dan
kemaksiatan, diantaranya adalah cinta karena
Allah dan benci karena Allah. Seperti mencintai
para Nabi dan membenci orang-orang yang
berbuat maksiat dan orang-orang celaka,
diantaranya adalah bersabar terhadap bencana
dan bersabar dalam menjalankan ketaatan, dan
bersabar untuk tidak melakukan kemaksiatan dan
penyelewengan, diantaranya merendahkan diri,
tunduk, khusyuu’, tadzakkur, (merenung),
tayaqqudz (membangun kesadaran), ini dengan
kebaikan orang-orang baik, dan ketaqwaan.
Orang-orang yang bertaqwa diantaranya adalah
menahan diri dan meninggalkan kebalikan dari
kewajiban-kewajiban diatas, diantaranya rindu
untuk berjumpa dengan Allah, diantaranya
mencintai orang-orang beriman sebagaimana
mencintai untuk diri sendiri diantaranya berusaha
dengan sungguh-sungguh melawan hawa nafsu
syetan apabila mengajak untuk melakukan
penyelewengan dan kemaksiatan, diantaranya
mengingat penghancur kesenangan (kematian)
dan berdiri di hadapan Rabb seluruh langit,
diantaranya adalah senang dengan mentaati Allah,
dan sedih dengan kemaksiatan kepada Allah,
karena sesungguhnya orang yang beriman itu
merasa senang dengan kebaikannya dan merasa
susah dengan kejelekannya, sebagaimana sabda

40
Rasulullah SAW, diantaranya beriman dengan
segala sesuatu yang diberikan oleh Allah dan
RasulNya baik yang telah berlalu atau yang akan
datang, diantaranya adalah An Nasiihah
(kesetiaan, nasehat) untuk setiap muslim,
diantaranya membayangkan hal-hal yang
menakutkan ketika hawa nafsu bangkit,
diantaranya jika ia beribadah kepada Rabbnya
hendaknya seolah-olah ia melihatnya supaya ia
dapat melakukan ibadah sesempurna mungkin,
jika ia tidak mampu hendaknya seolah-olah Allah
melihat dia, dan inilah yang disebut ihsan dalam
beribadah, sampai akhir apa yang beliau sebut
dalam kitabnya yang berbujul Qowaa’idul
Ahkaam Fii Mashoolihil Anaam I/89 terbitan
Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
Inilah contoh-contoh ibadah yang wajib bagi
hati. Dan keadaan seorang hamba itu tidak akan
lurus kecuali dengan itu semua. Dengan itu
semualah hatinya akan baik sehingga lurus seluruh
anggota badannya untuk taat kepada Allah.
Karena amalan-amalan hati itu merupakan pokok
dari amalan-amalan anggota badan dan juga
merupakan pendorangnya sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:

‫أل إن في الجسد لمضغة إذا صلحت صلح‬


‫سائر الجسد وإذا فسدت فسد سائر‬
‫الجسد‬
“Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh itu ada
segumpal daging, apabila ia baik baiklah seluruh
tubuh dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh

41
tubuh, ingatlah dia itu adalah hati” (HR.
Muttafaqun ‘alaihi).
6. Memahami tata cara thohaarah
(bersuci).
Karena ia merupakan syarat syah sholat,
diantaranya hukum-hukum thoharah yang wajib
dimengerti adalah:
a. Mengenal ciri-ciri air yang syah untuk
bersuci.
b. Mengenal benda-benda najis dan tata cara
menghilangkan.
c. Mengetahui wajibnya istinjaa’ (cebok).
d. Memahami mandi wajib, seperti mandi
janabat, haid dan nifas.
e. Mengetahui sunatul fithrah, seperti: khitan,
membiarkan jenggot , istihdaad (memotong
bulu kemaluan).
f. Mengetahui wudhu, syarat-syaratnya, hal-hal
yang wajib padanya, sunnah-sunnahnya dan
hal-hal yang membatalkannya.
g. Mengetahui tayamum, ketika apa ia
disyariatkan dan bagaimana caranya.
7. Menghafal surat al-fatihah.
Karena ia merupakan rukun sholat, dan
disunnahkan untuk menghafal beberapa surat
pendek, dan juga disunnahkan belajar hukum-
hukum tajwid supaya dapat membaca al-Quran
dengan bacaan yang benar.
8. Memahami tata cara sholat.

42
Dan ini merupakan kewajiban yang sangat
ditekankan setelah 2 kalimat syahadat. Sholat
inilah yang pertama kali akan dihisab pada hari
kiamat dari seorang hamba dan ia merupakan
rukun Islam yang kedua. Barangsiapa
meninggalkannya maka ia kafir baik dia mengakui
atas wajibnya sholat atau ia mengingkarinya,
Inilah yang dijelaskan oleh al-Quran, As Sunnah
dan yang disepakati oleh para sahabat,
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim
di awal kitabnya yang berjudul Ash Sholaah. Hal
ini akan kami singgung pada pembahasan aqidah
(mabhatsul I’tiqood) pada bab ke 7 dalam kitab
ini insya Allah. Dan diantara hukum-hukum sholat
yang wajib diketahui adalah:
a. Memahami syarat-syarat wajibnya yaitu:
islam, berakal dan baligh, sedangkan anak yang
mumayyiz sholatnya syah dia harus
diperintahkan untuk melaksanakannya.
b. Memahami syarat-syarat syahnya, seperti
thoharah, menghadap qiblat, menutupi aurat,
masuk waktunya dan niat.
c. Memahami tata cara sholat, rukun-rukunnya,
hal-hal yang wajib padanya dan hal-hal yang
sunnah.
d. Memahami sujud sahwi: sebab-sebabnya apa
yang memulihkannya, dan bagaimana tata
caranya.
e. Memahami hal-hal yang membatalkan sholat
dan hal-hal yang dimakruhkan.

43
Selain memahami kewajiban-kewajiban
tersebut hendaknya juga memahami sholat-sholat
sunnah, juga yang sunnah mu-akkadah, seperti
witir, sholat fajar kemudian rawatib. Karena kalau
sunnah-sunnah tersebut terus-terus ditinggalkan
akan menjadi cacat “al ‘adaalah” (bisa dipercaya
sebagai saksi) pada seseorang, sebagaimana yang
akan kami terangkan pada bab 4 dan 5 dalam
kitab ini insya Allah.
Dan juga karena kekurangan pada sholat-
sholat wajib bisa ditutupi dengan sholat-sholat
sunnah pada hari qiyamat sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits shohih.
f. Memahami tata cara sholat jama’ah, sholat
jum’at dan 2 sholat ‘ied.
9. Memahami hukum-hukum yang
berkaitan dengan jenazah. Ini merupakan fardhu
kifayah namun kadang menjadi fardhu ‘ain pada
beberapa keadaan, seperti 2 orang yang
berpergian lalu salah satunya meninggal,
sedangkan tidak bisa berhubungan dengan
manusia. Oleh karenanya wajib memahami tata
cara memandikan, mengkafani, mensholatkan dan
menguburkan mayit.
10. Memahami hukum yang berkaitan
dengan zakat.
Ini merupakan salah satu rukun islam. Oleh
karena itu wajib bagi setiap muslim untuk
memahami beberapa hukum yang berkaitan
dengan zakat --- seperti syarat-syarat wajibnya ---
dan apabila ia telah memenuhi syarat wajib maka
ia wajib mempelajari hukum-hukumnya secara

44
terperinci. Dengan demikian memahami beberapa
hukum yang berkaitan dengan zakat --- seperti
syarat-syarat wajibnya – masuk ke dalam ilmu
fardhu ‘ain yang umum, sedangkan hukum-hukum
sisanya masuk ke dalam ilmu fardhu ‘ain yang
khusus bagi orang yang telah terkena kewajiban
zakat.
a. Adapun syarat-syarat wajib zakat adalah :
islam, merdeka, memenuhi nishob, kepemilikan
penuh terhadap nishob tersebut, dan mencapai
haul (satu tahun) nishob tersebut. Dan tidak
disyaratkan Al-Haul pada hal-hal yang keluar
dari bumi.
Dengan demikian zakat itu wajib dikeluarkan
dari harta anak kecil yang belum baligh, dan
orang yang gila yang tidak berakal, karena
tidak disyaratkan akal dan baligh.
Ini adalah pendapat mayoritas para ‘Ulama dan
Abu Hanifah menyelisihinya.
b. Memahami hal-hal yang wajib dizakati: yaitu
binatang ternak yang digembalakan, segala hal
yang keluar dari bumi, madu, harta benda, dan
barang-barang dagangan.
Dengan demikian maka wajib untuk memahami
berapa nishob dari masing-masing jenis zakat
tersebut.
c. Mengetahui siapa saja yang berhak
mendapat zakat dan siapa saja yang tidak
berhak.

45
d. Harus memahami syarat-syarat wajib zakat
fitrah, banyaknya dan kapan waktu
mengeluarkannya.
11. Memahami tata cara shoum (puasa) ini
salah satu rukun islam, oleh karena itu wajib bagi
setiap muslim untuk mengetahui bahwa Allah telah
mewajibkan dirinya shiyam pada bulan Ramadhan
setiap tahun.
Dan juga wajib mengetahuinya :
a. Syarat-ayarat wajibnya, shiyam itu wajib
atas setiap muslim yang baligh, berakal,
mampu, baik laki-laki atau perempuan baik
merdeka maupun budak.
b. Syarat-syarat syahnya, islam, mumayyiz,
berakal, tidak sedang haidh atau nifas dan niat.
c. Tata cara shiyam yaitu menahan diri dari
hal-hal yang membatalkan shiyam (seperti
makan, minum, jima’ dan lain-lain) sejak terbit
fajar sampai tenggelamnya matahari.
d. Haram berpuasa bagi orang yang sedang
haidh dan nifas, mereka wajib berbuka dan
mengqadha’ (menggantinya).
e. Dan setiap muslim wajib mengetahui hal-hal
yang membatalkan shiyam apa saja yang harus
diqodlao’ dan kafarah dan apa saja yang hanya
diqodlao’ saja.
f. Dan juga wajib mengetahui siapa saja yang
boleh tidak berpuasa seperti orang sakit, orang
tua yang tidak mampu shiyam, musafir dengan
beberapa syarat, dan siapakah diantara mereka

46
yang harus mengqodhoo’ dan siapa yang harus
mengganti dengan memberi makan fakir
miskin.
g. Dan diantara sunnah-sunnah bulan
Ramadhan adalah sholat tarawih, i’tikaf, banyak
membaca al-Qur’an dan banyak berbuat baik.
12. Memahami tata cara haji. Ini
merupakan salah satu rukun Islam, maka setiap
Muslim wajib mengetahui bahwa Allah mewajibkan
atas dirinya untuk melaksanakan haji sekali dalam
seumur hidupnya.
a. Syarat-syarat wajibnya yaitu Islam,
berakal, baligh, merdeka, mampu. Dan haji itu
syah jika dilakukan oleh anak kecil dan budak, dan
ia diberi pahala, namun hajinya itu tidak bisa
menggantikan haji dalam Islam, sehingga jika anak
itu telah dewasa dan budak tersebut telah
merdeka mereka harus melaksakan haji lagi.
Dan adapun umrah diperselisihkan apakah
wajib atau tidak.
b. Kemampuan: Ini merupakan salah satu
syarat wajib haji, yaitu hal-hal yang dapat
menyampaikan dia ke Baitullah untuk
melaksanakan haji kemudian kembali lagi tanpa
ada bahaya. Kemampuan itu berbeda-beda antara
satu orang dengan yang lainnya. Apa yang wajib
bagi orang yang jauh tidak wajib bagi orang yang
dekat dan apa yang wajib bagi perempuan tidak
wajib bagi laki-laki.
Secara umum haji itu merupakan ibadah
badaniyyah maaliyyah (badan dan harta). Dan

47
kemampuan ini berkaitan dengan badan dan harta
serta keamanan perjalanan.
Maka barangsiapa yang mampu untuk
melaksanakan haji, mempunyai harta untuk
ongkos perjalanan dan harta yang melebihi
kebutuhan pokoknya seperti tempat tinggal,
kendaraan, pembantu dan harta dan harta untuk
nafkah keluarganya maka orang seperti ini disebut
mampu dan wajib untuk melaksanakan haji. Dan
yang utama adalah menyegerakan haji ketika ia
telah mempunyai kemampuan.
Dan disyari’atkan bagi seorang perempuan
adanya suami atau mahram yang menyertainya.
Dan barangsiapa yang lemah dari sisi
badannya (fisiknya) dengan kelemahan yang
tetap, maka hendaknya dia mewakilkannya
dengan seseorang untuk menghajikannya.
c. Maka barangsiapa yang telah terkena
kewajiban haji dia wajib mempelajari hukum-
hukum yang berkaitan dengan haji, hal-hal yang
tersebut diatas merupakan bagian dari ilmu fardhu
‘ain yang umum, setiap muslim harus tahu kapan
dia wajib melaksanakan haji. Adapun mempelajari
hukum-hukum yang berkaitan dengan haji secara
detail merupakan bagian ilmu fardhu ‘ain yang
khusus, bagi yang telah terkena kewajiban haji dan
bertekad untuk melaksanakannya. Orang ini wajib
untuk mengetahui rukun-rukun, hal-hal yang
merusak haji dan hal-hal yang harus dibayar
fidyah.

48
d. Wajib memahami tata cara
menyembelih qurban karena hal ini diperselisihkan
para ‘Ulama madzhab atas kewajibannya..
13. Memahami hukum-hukum yang
berkaitan dengan jihad.
Setiap muslim harus mengetahui bahwa
Allah mewajibkan jihad --- yaitu memerangi orang-
orang kafir --- terhadap kaum muslimin. Allah
berfirman:

‫سى‬ َ َ‫م وَع‬ ْ ُ ‫ل وَهُوَ ك ُْرهُُ ل ّك‬ ُ ‫م ال ِْقَتا‬


ُ ُ ‫ب عَل َي ْك‬ َ ِ ‫ك ُت‬
‫سى َأن‬ َ َ‫م وَع‬ ْ ُ ‫خي ْ ُُر ل ّك‬
َ َ‫شي ًْئا وَهُو‬ َ ‫هوا‬ ُ ‫َأن ت َك َْر‬
َ
َ‫م ل‬ ُ َ ‫ه ي َعْل‬
ْ ُ ‫م وَأنت‬ ُ ‫م َوالل‬ ْ ُ ‫شّر ل ّك‬ َ َ‫شي ًْئا وَهُو‬ َ ‫حّبوا‬ ِ ُ‫ت‬
‫ن‬َ ‫مو‬ ُ َ ‫ت َعْل‬
“Telah diwjibkan berperang atas kalian padahal
perang itu kalian benci, dan bisa jadi kalian
membenci sesuatu padahal ia baik bagi kalian dan
bisa jadi kalian mencintai sesuatu padahal ia
buruk bagi kalian. Dan Allah mengetahui sedang
kalian tidak mengetahui. (QS.Al-Baqarah: 216)
Jihad adalah fardhu kifayah, apabila ia telah
dilaksanakan oleh sebagian kaum muslimin yang
mencukupi, maka mereka mendapat pahala dan
gugurlah dosa dari yang lainnya berdasarkan
firman Allah :

‫ن غَي ُْر أ ُوِْلى‬ َ ‫مِني‬ ُ ْ ‫ن ال‬


ِ ْ ‫مؤ‬ َ ‫م‬
ِ ‫ن‬ َ ‫دو‬ ُ ‫ع‬ ِ ‫وى ال َْقا‬ ْ َ‫ل َ ي‬
ِ َ ‫ست‬
‫ه‬
ِ ‫ل الل‬ ِ ‫سِبي‬ َ ‫ن ِفي‬ َ ‫دو‬ُ ِ‫جاه‬ َ ‫م‬ ُ ْ ‫ضَررِ َوال‬ّ ‫ال‬
َ َ
‫ن‬
َ ‫دي‬ ِ ِ‫جاه‬ َ ‫م‬ُ ْ ‫ه ال‬ُ ‫ل الل‬ َ ‫ض‬ّ َ‫م ف‬ ْ ِ ‫سه‬ِ ‫م وَأنُف‬ ْ ِ‫وال ِه‬َ ‫م‬
ْ ‫ب ِأ‬

49
َ َ
‫ة‬
ً ‫ج‬َ ‫ن د ََر‬
َ ‫دي‬ِ ‫ع‬ِ ‫م عََلى ال َْقا‬ ْ ِ ‫سه‬ِ ‫م وَأنُف‬ ْ ِ‫وال ِه‬َ ‫م‬ ْ ‫ب ِأ‬
‫ه‬
ُ ‫ل الل‬ َ ‫ض‬ّ َ‫سَنى وَف‬ ْ ‫ح‬ ُ ْ ‫ه ال‬ ُ ‫وَك ُل ّ وَعَد َ الل‬
َ ‫عدي‬
‫ما‬
ً ‫ظي‬ ِ َ‫جًرا ع‬ ْ ‫نأ‬َ ِ ِ ‫ن عََلى ال َْقا‬ َ ‫دي‬
ِ ِ‫جاه‬ َ ‫م‬ ُ ْ ‫ال‬
“Allah mengutamakan orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwa raga mereka diatas orang-
orang yang duduk (tidak berjihad) satu derajat.
Dan masing-masing Allah janjikan kebaikan, dan
Allah mengutamakan orang-orang yang berjihad
diatas orang-orang yang duduk pahala yang
sangat luas. (QS.An-Nisa’: 95)
Dalam kondisi semacam ini mempelajari hukum-
hukum yang berkaitan dengan jihad merupakan
fardhu ‘ain yang khusus.
Namun jihad terkadang menjadi fardhu ‘ain
pada beberapa keadaan oleh karena itu kami
masukkan kedalam ilmu fardhu ‘ain yang umum.
Yaitu dalam 3 keadaan sebagai berikut :
a. Jika Imam memerintahkan seseorang
atau sebuah kaum untuk berjihad maka mereka
wajib berangkat. Berdasarkan firman Allah :
َ
ُ ُ ‫ل ل َك‬
‫م‬ َ ‫ذا ِقي‬
َ ِ‫م إ‬ ْ ُ ‫مال َك‬
َ ‫مُنوا‬
َ ‫ن َءا‬ ِ ّ ‫َياأي َّها ال‬
َ ‫ذي‬
َ ْ َ
‫ض‬
ِ ‫م إ ِلى الْر‬ ْ ُ ‫ل اللهِ اّثاقَل ْت‬ ِ ‫سِبي‬
َ ‫ان ِْفُروا ِفي‬
“Kenapa jika kalian dikatakan: “berangkatlah
untuk berperang dijalan Allah”, kalian merasa
berat di bumi. (QS.At-Taubah : 38)
Dan berdasarkan sabda Nabi SAW :

‫وإذا استنفرتم فانفروا‬

50
“Dan jika kalian disuruh berangkat untuk berjihad,
maka berangkatlah (Hadits riwayat: Muttafaqun
‘Alaih).
Termasuk dalam pengertian hadits ini adalah
apabila pemimpin sebuah jama’ah yang berjihad
atau kelampok yang berjihad memerintahkan
kepada salah seorang pengikutnya maka ia wajib
untuk berangkat, jika diantara keduanya ada
ikatan bai’at yang mengharuskan untuk
mendengar dan ta’at dalam jihad fisabilillah.
b. Dan jihad fardhu ‘ain bagi orang yang
ikut keluar dalam sebuah peperangan yang fardhu
kifayah sehingga pasukan kaum muslimin bertemu
dengan musuh mereka. Maka haram bagi orang
yang berada dalam pertempuran itu untuk pergi,
dan dia wajib untuk bertahan, berdasarkan firman
Allah :
َ
‫ة َفاث ْب ُُتوا‬ ْ ُ ‫ذا ل َِقيت‬
ً َ ‫م فِئ‬ َ ِ ‫مُنوا إ‬
َ ‫ن َءا‬ ِ ّ ‫َياأي َّها ال‬
َ ‫ذي‬
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian
bertemu dengan sebuah kelampok (musuh dalam
berperang) maka bertahanlah” (QS.Al-Anfal : 45)
Dan juga berdasarkan firman Allah :
َ
‫ن ك ََفُروا‬ َ ‫ذي‬ ِ ّ ‫م ال‬ُ ُ ‫ذال َِقيت‬َ ِ ‫مُنوا إ‬ َ ‫ن َءا‬ َ ‫ذي‬ِ ّ ‫َياأي َّها ال‬
َ
ْ ِ‫من ي ُوَل ّه‬
‫م‬ َ َ‫{ و‬15} ‫م ا ْلد َْبار‬ ُ ُ‫حًفا فَل َ ت ُوَّلوه‬ ْ ‫َز‬
‫حي ًّزا إ َِلى‬ َ
َ َ ‫مت‬
ُ ْ ‫ل أو‬ ٍ ‫حّرًفا ل ِِقَتا‬ َ َ ‫مت‬ُ ّ ‫مئ ِذٍ د ُب َُرهُ إ ِل‬َ ْ‫ي َو‬
ْ
‫م‬
ُ ّ ‫جهَن‬َ ُ‫مأَواه‬ َ َ‫ن اللهِ و‬ َ ‫م‬ ّ ‫ب‬ ٍ ‫ض‬َ َ‫فِئ َةٍ فََقد ْ َبآَء ب ِغ‬
‫صيُر‬ ِ ‫م‬ َ ْ ‫س ال‬ َ ْ ‫وَب ِئ‬

51
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian
bertemu dengan orang-orang kafir dalam medan
pertempuran maka janganlah kalian berbalik
membelakangi mereka. Dan barangsiapa yang
berbalik membelakangi mereka, kecuali untuk
mengatur pertempuran atau bergabung dengan
kelampok yang lain maka dia telah kembali
dengan kemurkaaan Allah. Dan tempat
kembalinya adalah jahannam, dan amat buruklah
tempat kembalinya. (QS.Al-Anfal : 15-16)
c. Apabila musuh menduduki sebuah
negeri maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas
penduduk negeri tersebut berdasarkan ayat-ayat
di atas (QS.Al Anfal: 15-16 dan 45) karena
keberadaan musuh di negeri kaum muslimin
berarti 2 pasukan telah bertemu, maksudnya
adalah pertemuan antara orang-orang kafir
dengan orang-orang Islam. Dan masuk dalam
pengertian ini: memerangi para penguasa murtad
yang berkuasa dinegeri-negeri kaum muslimin
dengan menjalankan undang-undang-undang
ciptaan manusia kafir, karena mereka adalah
musuh yang kafir dan menguasai negeri kaum
muslimin. Jihad melawan mereka adalah fardhu
‘ain terhadap setiap muslim yang tinggal di negeri
tersebut, dan barangsiapa yang tidak mampu
maka ia harus mempersiapkan kekuatan untuk
melaksanakan jihad, berdasarkan firman Allah :

ّ ‫ست َط َعُْتم‬
ٍ‫من قُوّة‬ ّ ‫دوا ل َُهم‬
ْ ‫ماا‬ ِ َ ‫وَأ‬
ّ ‫ع‬
“Dan persiapkanlah kekuatan semampu kalian
untuk menghadapi mereka.” (Al Anfaal: 60)
Inilah tiga keadaan yang jihad menjadi fardhu ‘ain.
52
Dan jihad adalah termasuk ibadah yang
tidak diterima disisi Allah kecuali niatnya ikhlas,
yaitu berperang dengan tujuan supaya
kalimatullah tinggi, untuk menolang dien Allah
ta’ala, untuk memenangkan diin Allah diatas
semua dien walaupun orang-orang musyrik
membenci.
Rasulullah SAW bersabda :

‫من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو‬


‫في سبيل الله‬
“Barangsiapa berperang supaya kalimatullah
tinggi maka dia di jalan Allah”. (Hadits muttfaqun
‘alaih).
Adapun syarat-syarat wajibnya jihad adalah:
Islam, baligh, berakal, laki-laki, merdeka,
mempunyai biaya yang diperlukan untuk berjihad,
fisik tidak cacat, izin kedua orang tuanya yang
muslim dan izin orang yang menghutangi bagi
yang berhutang, ini jika jihad fardhu kifayah.
Adapun apabila jihad itu menjadi fardhu ‘ain
maka syarat-syaratnya adalah: Islam, baligh,
berakal, laki-laki dan tidak cacat fisik, maka
tidakdisyaratkan untuk izin kedua orang tua atau
orang yang menghutangi, sebagaimana fardhu
‘ain-fardhu ‘ain yang lain.
Dengan demikian jihad ketika itu wajib atas
budak dan atas orang yang tidak mempunyai
biaya jika memungkinkan baginya untuk berjihad.
Dan sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa
perempuan juga wajib berjihad karena fardlu ‘ain

53
karena diqiyaskan dengan fardlu ‘ain-fardlu ‘ain
yang lain, dan yang benar adalah tidak wajib
sebagaimana yang telah saya teliti dalam kitabku
al-‘Umdah Fii I’daadil ‘Uddah. Dan jihad
seorang wanita itu syah meskipun tidak wajib
baginya.
14. Memahami kewajiban-kewajiban dan
adab-adab pribadi, diantaranya:
a. Berbakti kepada kedua orang tua meskipun
keduanya kafir dan mentaati keduanya selain
maksiat. Sesungguhnya Allah mensejajarkan
antara tauhid kepada Allah dan mentaati kedua
orang tua pada banyak ayat diantaranya,
seperti firman Allah:

‫شي ًْئا‬
َ ِ‫كوا ب ِه‬ُ ِ‫شر‬ ْ ُ ‫ه وَل َت‬ َ ‫دوا الل‬ ُ ُ ‫َواعْب‬
‫ساًنا‬
َ ‫ح‬ْ ِ‫ن إ‬ َ ْ ‫وَِبال‬
ِ ْ ‫وال ِد َي‬
“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah
kalian menyekutukanNya dengan
sesuatupun dan berbuat baiklah kepada
kedua orang tua” (QS.An-Nisaa’:36).
Dan ayat-ayat yang semacam ini, dan berbakti
kepada orang tua ini ditambah dengan
menyambung shilaturrahmi (hubungan
kerabat).
b. Selain itu seorang laki-laki harus memelihara
keluarga dan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, dia wajib memberi nafkah
kepada mereka, dan mengajari mereka tentang
berbagai permasalahan dien dan membawa
mereka untuk taat kepada Allah.

54
c. Menjaga hak-hak tetangga, ini termasuk
kewajiban.
d. Memuliakan tamu.
e. Memahami hak muslim atas muslim yang
lainnya dan melaksanakannya, khususnya pada
hal-hal yang wajib seperti menjawab salam,
menengok orang sakit, mengiringi jenazah,
membantu orang yang dalam kesulitan, dan
memberi nasehat.
f. Wajib mentaati para pemimpin kaum
muslimin pada hal-hal yang tidak maksiat,
memuliakan mereka, dam memuliakan ‘Ulama,
dan orang-orang yang mempunyai kebaikan
dan keutamaan.
g. Wajib meminta izin, menundukkan
pandangan dan menjaga pendengaran dari hal-
hal yang diharamkan.
h. Wajib makan makanan yang halal dan
menjaga diri dari yang haram.
i. Wajib jujur, amanah, menepati janji dan
kesepakatan.
j. Amar ma’ruf dan nahi mungkar khususnya
jika telah wajib.
k. Wanita wajib memakai hijab secara syar’i,
dan niqob yang menutupi wajahnya dan
menutupi diri dari orang-orang yang bukan
mahramnya. Nanti akan kami singgung
masalah niqob dan wajibnya bagi wanita untyuk
menutupi wajahnya di hadapan laki-laki yang

55
bukan mahramnya pada mabhats 8 bab 7
dalam kitab ini, insyaAllah.
l. Wanita wajib mentaati suaminya selama
bukan maksiat dan menjaga hak-haknya. Ini
semua adalah kewajiban dan disunnahkan
untuk memahami adab-adab syar’i yang lainnya
seperti adab makan, adab berteman, dan
bergaul dengan orang, dzikir-dzikir yang
disunnahkan dan akhlaq-akhlaq yang mulia.
15. Memahami hal-hal yang diharamkan.
Setiap muslim wajib memahami hal-hal yang
di haramkan oleh Allah yang pelakunya diancam
denagn hukuman, diantaranya adalah :
a. Kemaksiatan-kemaksitan hati.
Diantaranya adalah kufur dengan hati,
meskipun tidak dinampakkan dengan perkataan
atau perbuatan. Inilah yang disebut nifaaq akbar
(munafiq): seperti meyakini adanya sekutu-sekutu
bagi Allah, mengingkari hari kebangkitan
membenci dien dan hukum-hukum syar’i dan
mencintai kekafiran orang-orang kafir.
Dan diantara kemaksiatan hati adalah
sombong, iri, riya’, cinta dan senang dengan
kemaksiatan, mencintai orang-orang dholim dan
orang-orang fasiq, suu-udzon (berburuk sangka),
keras hati sehingga menghalangi untuk berbuat
baik, dan marah yang tercela.
b. Dosa-dosa besar yang bersifat
haddiyah (yang mengharuskan pelakasanaan
hukum huduud di dunia) yaitu: Murtad (dengan
perkataan atau perbuatan atau keyakinan yang

56
telah ditetapkan oleh dalil syar’i atas kafirnya
orang yang melakukannya), membunuh orang
yang Allah haramkan kecuali dengan hak, zina,
menuduh orang lain berzina (qodzaf), mencuri,
minum khamar, merampok ditengah jalan.
c. Kemaksiatan-kemaksiatan lisan.
Seperti dusta, ghibah, menadu domba,
kesaksian palsu qodzaf (menuduh orang
berzina),mencela, melaknat, mengolak-olak,
meremehkan, menghina muslim, dan memakinya
dan meratapi orang mati.
d. Kemaksiatan-kemaksiatan mata.
Seperti melihat wanita yang bukan
mahramnya, dan amrad (anak laki-laki yang belum
tumbuh bulu-bulunya) melihat kepada
kemungkaran pada pertunjukan-pertunjukan,
tempat-tempat hiburan, bioskop, televisi, dan lain-
lain. Melihat orang-orang dholim dan tempat-
tempat kedholiman.
e. Kemaksiatan-kemaksiatan telinga.
Seperti mendengar musik, hal-hal yang
melalaikan dan perkataan yang kotor dan
memata-matai.
f. Kemaksiatan-kemaksiatan kemaluan.
Seperti zina, liwaath (homo seks), sihaaq
(lesbi), onani, dan tidak khitan bagi laki-laki.
g. Makanan-makanan dan minuman yang
diharamkan.
Diantaranya bangkai, darah, daging babi,
khamer, rakok, dan lain-lain seperti daging keledai
57
jinak, binatang-binatang buas dan burung-burung
yang berkuku tajam.
Diharamkan makan dan minum di bejana
emas dan perak bagi laki-laki dan perempuan.
h. Harta-harta yang diharamkan.
Diantaranya mencuri, merampas (ghosob),
riba, suap, judi, memakan dan mengingkari hak
orang lain, makan harta anak yatim, menghianati
amanah, curang dalam jual beli, menimbun
berlebih-lebihan dan pelit dalam berinfaq,
menginfaqkan harta untuk hal-hal yang
diharamkan, dan jual beli hal-hal yang haram.
Dan setiap harta yang didapat dari usaha
yang haram maka haram untuk dimakan, dan
orang-orang yang makan harta haram itu.

‫إنما يأكلون في بطونهم نارا و سيصلون‬


‫سعيرا‬
“Mereka tidak lain hanyalah memakan api pada
perut mereka dan mereka akan masuk neraka.”
Dan yang masuk dalam usaha yang haram
adalah harta-harta haram yang tersebut diatas.
Juga upaya dari pekerjaan-pekerjaan haram dan ini
banyak.
Juga harta yang diambil dari orang-orang
kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin
dengan alasan sosialisme, dan keadilan sosial, baik
yang berapa tanah perkebunan atau bangunan
atau perabot rumah tangga atau uang, itu semua

58
haram dan sama saja dengan merampas (ghosob)
dan tidak halal meskipun telah lama.
Dan setiap orang yang memegang harta
haram ia wajib bertaubat dan diantara syaratnya
adalah mengembalikan harta tersebut kepada
yang berhak. Jika tidak memungkinkan atau tidak
ada pemiliknya (seperti upah dari pekerjaan
haram) maka jalan untuk menyelamatkan diri dari
harta haram tersebut adalah dengan
menyedekahkannya. Inilah penyalurannya
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim pada beberapa
tempat.
i. Kemaksiatan-kemaksiatan pakaian dan
penampilan.
Seperti membuka aurat, sama saja dengan
memakai pakaian sempit yang menonjolkan aurat,
atau pakaian-pakaian yang tipis yang
menampakkan aurat dari sela-selanya,
menampakkan perhiasan (tabarruj), isbal
(memanjangkan pakaian melebihi mata kaki),
memakai sutra dan emas bagi laki-laki, laki-laki
menyerupai wanita, dan sebaliknya, menyerupai
dengan orang-orang kafir (tasyabbuh), memotong
janggut, memotong dan menyambung rambut bagi
perempuan dan memperuncing gigi.
j. Kemaksiatan-kemaksiatan yang
berkaitan dengan bergaul dengan orang.
Seperti durhaka kepada orang tua,
memutuskan hubungan saudara, mendholimi
orang pada harta, darah dan kehormatannya,
membuka aib kaum muslimin dan tidak

59
menutupinya, mengganggu tetangga, membuat
makar, curang, membuat tipudaya, menolang
orang-orang dholim, memberantak kepada
penguasa kaum muslimin dengan alasan yang
tidak dibenarkan, menyepi dengan wanita yang
bukan mahramnya dan wanita berpergian dengan
tanpa mahram.
k. Kemaksiatan-kemaksiatan pada mayit
dan kuburan.
Seperti meratapi mayit, berkumpul untuk
berduka dengan cara yang bid’ah, meninggikan
bangunan kuburan melebihi batas yang
disyariatkan, membangun kuburan dan
memberinya lampu, duduk di atasnya, sholat
menghadap kepadanya, membangun masjid di
atasnya dan lain-lain dan telah disinggung di
depan tentang kesyirikan ibadah kepada penghuni
kuburan.
l. Haramnya sihir, perdukunan, nujum,
dan mendatangi tukang sihir, dukun, ahli nujum
atau mempercayai mereka, masuk dalam
pengertian ini membaca “nasib anda hari ini” yang
hampir terdapat pada majalah atau koran.
m. Haram menggambar benda-benda
yang bernyawa dan memajangnya (kecuali photo
untuk keperluan tertentu) dan haram membuat
patung dan memajangnya.
n. Haram berhukum kepada undang-
undang ciptaan manusia kafir, karena ia
merupakan berhukum kepada thoghut, haram
mengikuti pemilihan anggota wakil rakyat
(parlemen) sama saja apakah dengan cara

60
mendaftarkan diri atau memilih atau membantu.
Dan diharamkan berhidmat dengan menjadi
tentara para penguasa thoghut yang murtad atau
menjadi polisi mereka.
Ini semua adalah kemaksiatan-kemaksiatan
yang terpenting yang harus diketahui oleh setiap
muslim, karena banyaknya kebutuhan untuk itu
dan karena tersebarnya bencana-bencana dalam
masalah tersebut, dan sebagian besar merupakan
dosa besar yang ada ancamannya. Oleh karena itu
wajib bagi orang yang melakukannya untuk
meninggalkannya dan bertaubat.
16. Mengerti akan wajibnya taubat.
Setiap muslim wajib mengetahui tentang
wajibnya bertaubat dari kemaksiatan, berdasarkan
firman Allah:

ً َ ‫مُنوا ُتوُبوا إ َِلى اللهِ ت َوْب‬ َ


‫ة‬ َ ‫ن َءا‬ ِ ّ ‫َياأي َّها ال‬
َ ‫ذي‬
‫حا‬ً ‫صو‬ُ ّ‫ن‬
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”
(QS.At-Tahrim:8).
Dan firman Allah:
َ
ْ ُ ‫ن ل َعَل ّك‬
‫م‬ َ ‫مُنو‬ ُ ْ ‫ه ال‬
ِ ْ ‫مؤ‬ َ ّ ‫ميًعا أي‬ ِ ‫ج‬ َ ِ‫وَُتوُبوا إ َِلى الله‬
‫ن‬
َ ‫حو‬ ُ ِ ‫ت ُْفل‬
“Dan bertaubatlah kepada Allah kalian semua
wahai orang-orang yang beriman supaya kalian
beruntung” (QS.An-Nuur:31).
Dan firman Allah:

61
َ
ِ‫م ُتوُبوا إ ِل َي ْه‬ ْ ُ ‫ست َغِْفُروا َرب ّك‬
ّ ُ‫م ث‬ ْ ‫نا‬
ِ ‫وَأ‬
“Dan hendaknya kalian meminta ampun kepada
Rabb kalian kemudian bertaubat kepadanya” (QS.
Hud :3)
Dan firman Allah :

‫ن‬
َ ‫مو‬ ّ ‫م ال‬
ُ ِ ‫ظال‬ َ ِ ‫ب فَأ ُوْل َئ‬
ُ ُ‫ك ه‬ ْ ّ ‫من ل‬
ْ ُ ‫م ي َت‬ َ َ‫و‬
“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka
mereka adalah orang-orang dholim” (QS. Al-
Hujurat : 11)
Inilah beberapa dalil atas wajibnya bertaubat.
Syaikh As Safaarainiy al-Hambaliy –
rahimahullah (wafat 1188 H) berkata: “Ini
termasuk apa yang disepakati oleh Ulama’,
sesungguhnya mereka bersepakat bahwa
bertaubat dari segala dosa itu wajib dilakukan
dengan segera, dan tidak boleh di undur-undur
sama saja apakah dosa kecil atau dosa besar.
Dan sesungguhnya taubat itu termasuk
ajaran Islam yang penting dan termasuk dasar-
dasarnya yang kuat.” (Lawaami’ul Anwaar al-
Bahiyyah, karangan As Safaaraniy terbitan al-
Maktab al-Islaamiy, 1411 H I/ 372).
Adapun syarat-syarat taubat agar diterima
oleh Allah adalah :
a. Berhenti dari kemaksiatan, dalilnya
adalah :

‫ما فَعَُلوا‬
َ ‫صّروا عََلى‬ ْ َ ‫وَل‬
ِ ُ‫م ي‬

62
“Mereka tidak mereruskan apa yang mereka
lakukan” (QS. Al-Imran : 135)
b. Menyesali perbuatan tersebut. Dalil
adalah :

‫ن‬
َ ‫مي‬ ْ ُ ‫مافَعَل ْت‬
ِ ِ‫م َناد‬ َ ‫حوا عََلى‬ ْ ُ ‫فَت‬
ُ ِ ‫صب‬
“Maka kalianpun menyesal terhadap apa
yang kalian lakukan”(QS.Al-Hujurat : 6)
Dan juga firman Allah :
ّ ‫م إل‬
ِ ْ ِ‫ة ِفي قُُلوب ِه‬ ً َ ‫وا ِريب‬ ِ ّ ‫م ال‬
ْ َ ‫ذي ب َن‬
َ
ُ ‫ل َي ََزا‬
ُ ُ‫ل ب ُن َْيان ُه‬
ْ ُ‫أن ت ََقط ّعَ قُُلوب ُه‬
‫م‬
“Bangunan yang mereka bangun itu akan
senantiasa menjadi keraguan dalam hati mereka
kecuali hati mereka telah hancur” (QS.At-Taubah :
110)
Yang dimaksud dengan hancurnya hati
adalah menyesal menurut beberapa ahli tafsir, hal
ini disebutkan oleh al-Qurthubiy.
Ibnul Qoyyim mengatakan: “Adapun
tentang penyesalan: Sesungguhnya taubat itu
tidak akan terealisasi kecuali dengannya, karena
orang yang tidak menyesal dengan amalan yang
buruk itu menunjukkan dia senang dengannya dan
dia tidak mau berhenti dari perbuatan tersebut
dan disebutkan dalam kitab al-Musnad:

‫الندم توبة‬
“Penyesalan itu taubat”
(Madaarijus Saalikiin I/ 202)

63
c. Beristighfar dengan lisan.
Sebagian ulama’ menjadikan ini sebagai
syarat, berdasarkan firman Allah:
َ
ِ ْ ‫م ُتوُبوا إ ِل َي‬
‫ه‬ ْ ُ ‫ست َغِْفُروا َرب ّك‬
ّ ُ‫م ث‬ ْ ‫نا‬
ِ ‫وَأ‬
“Dan hendaklah kalian memohon ampun kepada
Rabb kalian kemudian bertaubatlah kepadanya”
(QS. Huud : 3)
Dan juga firman Allah :
َ ً ‫ش‬
‫موا‬ ُ َ ‫ة أوْ ظ َل‬ َ ‫ح‬ ِ ‫ذا فَعَُلوا َفا‬َ ِ‫ن إ‬َ ‫ذي‬ِ ّ ‫َوال‬
َ
ْ ِ‫ست َغَْفُروا ل ِذ ُُنوب ِه‬
‫م‬ ْ ‫ه َفا‬ َ ‫م ذ َك َُروا الل‬ ْ ُ ‫سه‬
َ ‫أنُف‬
‫صّروا عََلى‬ ِ ُ‫م ي‬ ْ َ ‫ه وَل‬ ُ ‫ب إ ِل ّ الل‬
َ ‫من ي َغِْفُر الذ ُّنو‬ َ َ‫و‬
‫ن‬َ ‫مو‬ ُ َ ‫م ي َعْل‬ْ ُ‫ما فَعَُلوا وَه‬َ
“Dan orang-orang yang apabila melakukan
perbuatan keji atau menganiaya diri mereka
sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka
memohon ampun atas dosa-dosa mereka, dan
siapakah yang mengampuni dosa kecuali Allah,
dan mereka tidak meneruskan apa yang mereka
kerjakan sedang mereka mengetahui (QS. Ali-
Imran : 135).
d. Bertekat untuk tidak mengulangi
kemaksiatan selama-lamanya, dalilnya adalah
firman Allah :

ِ ‫ب إ َِلى الل‬
‫ه‬ ُ ّ ‫حا فَإ ِن‬
ُ ‫ه ي َُتو‬ ً ِ ‫صال‬ َ ‫م‬
َ ‫ل‬ ِ َ‫ب وَع‬
َ ‫من َتا‬
َ َ‫و‬
‫مَتاًبا‬َ
“Dan barangsiapa yang bertaubat dan beramal
shalih maka sesungguhnya ia bertaubat kepada
64
Allah dengan sebenar-benarnya” (QS. Al-Furqon :
71)
Dan firman Allah :
َ
‫ه‬
َ ‫ن الل‬ َ َ ‫صل‬
ّ ِ ‫ح فَإ‬ ْ ‫مهِ وَأ‬ ِ ْ ‫من ب َعْدِ ظ ُل‬
ِ ‫ب‬ َ َ‫ف‬
َ ‫من َتا‬
ِ ْ ‫ب عَل َي‬
‫ه‬ ُ ‫ي َُتو‬
“Maka barangsiapa yang bertaubat setelah
berbuat dholim, dan berbuat baik maka
sesungguhnya Allah menerima taubatnya” (QS. Al-
Maidah : 39)
e. Taubat dilakukan pada waktu
diterimanya taubat, yaitu sebelum sakaratul maut
dalilnya adalah :

َ‫حت ّى‬ َ ‫ت‬ ِ ‫سي َّئا‬ ّ ‫ن ال‬ َ ‫مُلو‬َ ْ‫ن ي َع‬َ ‫ذي‬ ِ ّ ‫ة ل ِل‬
ُ َ ‫ت الت ّوْب‬ ِ ‫س‬ َ ْ ‫ل َي‬
َ
َ ‫ت ال َْئا‬
‫ن‬ ُ ْ ‫ل إ ِّني ت ُب‬ َ ‫ت َقا‬ ُ ْ ‫مو‬َ ْ ‫م ال‬ ُ ُ‫حد َه‬ َ ‫ضَر أ‬ َ ‫ح‬ َ ‫ذا‬ َ ِ‫إ‬
َ ُ
‫ك أعْت َد َْنا‬ َ ِ ‫م ك ُّفاٌر أوْل َئ‬ ْ ُ‫ن وَه‬ َ ‫موُتو‬ ُ َ‫ن ي‬ َ ‫ذي‬ِ ّ ‫لال‬
َ َ‫و‬
َ
‫ما‬
ً ‫ذاًبا أِلي‬ َ َ‫م ع‬ ْ ُ‫ل َه‬
“Dan taubat itu tidak diterima dari orang-orang
yang mengerjakan amalan-amalan buruk sampai
apabila kematian menjemputnya dia mengatakan
“sesungguhnya aku sekarang bertaubat” (QS. An-
Nisa’ : 18)
Dan bersabda Nabi SAW :

‫إن الله عز وجل يقبل توبة العبد ما لم‬


‫يغرغر‬
“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang
hamba selama belum sekarat”

65
(HR. At Tirmidziy dan dia mengatakan hadits ini
hasan dari Ibnu ‘Umar ra).
f. Melakukan hak-hak, dan kemaksiatan
yang dilakukan hamba itu ada 2 macam :
 Kemaksiatan-kemaksiatan yang berkaitan
dengan hak Allah subhaanahu wa ta’ala. Dan ini
ada 2 macam :
Pertama : Kemaksiatan yang tidak
mengharuskan untuk melaksanakan hak akan
tetapi cukup dengan memenuhi syarat-syarat
taubat di atas, hal ini seperti minum khamer.
Kedua : Adalah kemaksiatan yang
mengharuskan untuk melaksanakan hak seperti,
keteledoran dalam puasa atau zakat atau
membayar kafarah atau fidyah atau nadzar dan
lain-lain. Dan dalam hal ini wajib membayar apa
yang dai langgar.
 Kemaksiatan-kemaksiatan yang berkaitan
dengan hak manusia seperti: Mendholimi
kehormatan atau harta atau fisik orang lain. Oleh
karena itu orang yang mendholimi kehormatan
orang lain ia harus meminta maaf, jika mendholimi
hartanya ia harus mengembalikannya jika
memungkinkan, dan kalau tidak maka sebagai
gantinya, harus ia sedekahkan dan jika ia
mendholimi fisiknya maka ia harus diqishosh, atau
membayar diyat atau al-arasy (diyat luka-luka)
sesuai dengan kondisinya.
Sebagaian ulama’ ada yang menjadikan
syarat taubah itu 4 saja seperti An-Nadawiy, dan
sebagian yang lain ada yang menjadikan lebih dari

66
10 seperti Ibnu Hajar al-Haitsamiy dalam
kitabnya Az Zawaajir. Dari semua ini aku memilih
6 di atas. Sebagian ulama’ mengatakan: “Orang
yang menunda taubat harus bertaubat dari
penundaan yang ia lakukan.”
Wa ba’du.
Ini semua adalah poin-poin penting dari ilmu
fadhu ‘ain yang umum yang wajib dipelajari oleh
setiap muslim.
Setiap muslim harus mengerti tentang rukun
Islam, rukun iman, makna tauhid, makna syirik,
dan kufur, supaya imannya syah dan tidak rusak
lantaran ia terjerumus pada hal-hal yang
membatalkannya.
Dan dia wajib mempelajari hukum-hukum
thoharah (bersuci), sholat, zakat, shoum, haji dan
jihad supaya ibadahnya syah.
Dan dia wajib mempelajari kewajiban-
kewajiban dan adab-adab syar’i, hal-hal yang
dihalalkan dan diharamkan supaya mu’amalahnya
benar.
Dan tidak wajib bagi setiap muslim untuk
mengetahui dalil-dalinya secara terperinci untuk
segala permasalahan yang kami sebutkan diatas.
Akan tetapi cukup dia mengetahui bahwa hukum-
hukum tersebut adalah ketentuan Allah pada
masalah-masalah tersebut. Meskipun dia tidak
mengetahui dalilnya secara detail. Masalah ini
akan kami paparkan pada pembahasan “Al Ittiba’
Wa Taqlid” pada bab 5 insya Allah.

67
Dan dalil-dalil mengenai apa yang kami
sebutkan di atas terdapat dalam berbagai kitab,
dan kami akan menunjukkan buku-buku yang kami
sarankan untuk dibaca dari setiap bab ilmu pada
bab yang ke 7 pada akhir kitab ini insya Allah, bagi
yang ingin tambahan.
Dan wajib bagi setiap muslim untuk
mempelajari semua apa yang telah kami
disebutkan di atas kemudian mengajarkannya
kepada keluarga dan anak-anaknya serta siapa
saja yang menjadi tanggung jawabnya.
Dan wajib bagi para ulama dan orang-orang
yang mempunyai kemampuan untuk menyebarkan
ilmu yang wajib dipelajari tersebut kepada
manusia.
Dan wajib bagi para pemimpin kaum
muslimin untuk mengarahkan agar manusia
mempelajari ilmu-ilmu tersebut dan mewajibkan
mereka untuk mempelajarinya.
Dan kami akan menyebutkan pada bab 3
“Tata Cara Mencari Ilmu”. Kewajiban semua
orang yang kami sebutkan di atas (yaitu para
pemimpin, ulama dan orang umum) untuk
menyebarkan ilmu, insya Allah.

(Tambahan)
Saya mendapatkan dalam kitab “Al Ibaanah
‘An Syarii’atil Firqoh An Naajiyah”, karangan
Abu ‘Abdullah Ibnu Bathoh (wafat 387 H), dia
termasuk imam ahlussunnah yang sering disebut
oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawanya.

68
Saya dapatkan ia menukil dari Adh Dhohaak
Ibnu Muzaahim, beliau termasuk tabiit tabi’iin
yang terkenal di Khurasan, wafat th. 105 H.
Ringkasan dari syariat iman yang baik untuk
dijadikan ringkasan ilmu fardhu ‘ain yang umum.
Dan di sini saya nukilkan supaya bermanfaat bagi
saudara-saudaraku muslimin.
Abu ‘Abdullah Ibnu Bathoh meriwayatkan
dari Adh Dhohaak dengan sanadnya ia
mengatakan: “Sesungguhnya yang paling benar
jika seorang hamba memulai pembicaraan adalah
dengan memuji Allah. Dengan segala puji bagi
Allah, kita memujiNya lantaran apa yang telah ia
lakukan kepada kita, yaitu menunjukan kita Islam,
mengajarkan kita Al-Quran dan menganugrahkan
kepada kita dengan Muhammad SAW dan
bahwasanya Diin Allah yang dibawa oleh nabinya
SAW adalah iman, dan iman adalah Islam. Dengan
itu pulalah, para rasul sebelumnya diutus. Allah
berfirman:
َ ‫و‬
ِ ‫ل إ ِل ُّنو‬
‫حي‬ ٍ ‫سو‬ ُ ‫من ّر‬ ِ ‫ك‬ َ ِ ‫من قَب ْل‬ ِ ‫سل َْنا‬ َ ‫مآأْر‬
َ َ
َ َ َ َ
‫ن‬
ِ ‫دو‬ ُ ُ ‫ه ِإل أَنا َفاعْب‬َ ‫ه ل إ ِل‬ ُ ّ ‫إ ِلي ْهِ أن‬
“Dan tidaklah kami mengutus seorang Rasulpun
kecuali kami wahyukan bahwasanya tidak ada
ilaah kecuali Aku, maka sembahlah Aku” (QS.Al-
Anbiya’:25).
Yaitu beriman kepada Allah, Hari Akhir, para
Malaikat, dan para Nabi, dan membenarkan apa
saja yang datang dari Allah, dan pasrah terhadap
qodho dan hukumNya, dan ridho dengan
qodarnya, inilah yang disebut dengan iman,

69
barangsiapa yang keadaannya seperti itu maka ia
telah sempurtna imannya, dan barangsiapa yang
beriman maka Allah telah mengharamkan
hartanya dan darahnya, dan dia mempunyai
kewajiban sebagaimana kewajiban kaum muslimin.
Akan tetapi ia tidak mendapatkan pahala dan tidak
mencapai kemuliaan kecuali dengan
mengamalkannya dan untuk mendapatkan pahala
iman adalah dengan mengamalkannya.
Pengalamannya adalah dengan cara
mentaati Allah Ta’ala dengan melaksanakan hal-
hal yang diwajibkan, menjauhi hal-hal yang
diharamkan, meneladani orang-orang sholih,
menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, shiyam
Ramadhon, melaksanakan haji bagi yang mampu
menempuh perjalanannya, menjaga pelaksanaan
Jum’at dan jihad fii sabilillah, mandi janabat,
bersuci dengan baik, berwudhu dengan baik untuk
melaksanakan sholat dan melakukan kebersihan.
Dan juga berbakti kepada orang tua,
menyambung hubungan kekeluargaan
(shilaturrahmi), menyambung hubungan dengan
orang yang diperintahkan oleh Allah untuk
menyambung, berakhlaq baik dengan teman,
berbuat baik kepada kerabat, memahami hak
setiap orang-orang yang mempunyai hak seperti
bapak lalu ibu, lalu kerabat, lalu anak yatim, lalu
orang miskin, lalu ibnu sabiil (orang yang sedang
dalam berpergian), lalu orang yang meminta, lalu
orang yang mempunyai hutang, lalu mukaatib
(budak yang ingin merdeka dengan menebus
dirinya sendiri), lalu tetangga, lalu teman, lalu
budak.

70
Dan melakukan amar ma’ruf, nahi mungkar,
cinta karena Allah, benci karena Allah, berwala’
(layal) kepada para wali Allah dan memusuhi
musuh-musuhnya, berhukum dengan hukum Allah,
mentaati para pemimpin, marah, ridho, menepati
janji, berkata benar, melaksanakan nadzar,
melaksanakan janji, menjaga amanat yang berupa
menyimpan rahasia atau harta, menyampaikan
amanah kepada yang berhak, mencatat hutang
yang bertempo dengan saksi 2 orang yang ‘aadil
(mempunyai sifat ‘adaalah / dapat dipercaya)
mempersaksikan terhadap transaksi jual beli,
memenuhi permohonan orang untuk menjadi
saksi, mencatat dengan cara yang adil
sebagaimana yang telah diajarkan Allah,
memberikan kesaksian sesuai dengan sebenarnya
dengan adil meskipun terhadap diri sendiri atau
kedua orang tua atau kerabat, memenuhi takaran
dan timbangan dengan adil, berdzikir (menyebut)
kepada Allah pada saat-saat yang penting, dan
berdzikir kepada Allah setiap saat, menjaga diri,
menundukkan pandangan, menjaga kemaluan ,
dan menjaga seluruh anggota badan dari hal-hal
yang haram, menahan marah, membalas
kejahatan dengan kebaikan, bersabar terhadap
musibah sedang dalam ridho dan marah, biasa-
biasa dalam berjalan, dan beramal, bertaubat
kepada Allah dengan segera, memohon ampun
dari dosa, mengetahui kebenaran dan para
pelakunya, mengetahui keadilan ketika melihat
pelakunya, dan mengetahui kedholiman apabila
melihat pelakunya sebagaimana orang
mengetahui dirinya jika ia mengerjakannya,
menjaga hukum-hukum Allah, mengembalikan hal-

71
hal yang diperselisihkan seperti hukum atau yang
lainnya kepada orang yang mengetahuinya dan
menjalankan apa-apa yang tidak diperselisihkan
yang berupa al-Quran yang diwahyukan dan
sunnah yang telah berjalan karena itu merupakan
kebenaran yang tidak ada keraguan padanya
mengembalikan permasalahan yang meragukan
kepada ulil amri (pemimpin) yang darinya
diputuskan perkara, meninggalkan perkara yang
meragukan kepada yang tidak meragukan,
meminta ijin kalau mau masuk rumah, sehingga ia
tidak masuk rumah sampai dia minta ijin dan
mengucapkan salam kepada penghuninya
sebelum dia melihat kedalam rumah atau
mendengarnya, kalau dia tidak mendapatkan
seorangpun di dalamnya maka janganlah ia masuk
tanpa ijin penghuninya, jika dikatakan pulanglah,
maka lebih baik pulang jika mereka mengijinkan
maka diperbolehkan masuk, adapun rumah-rumah
yang tidak ada penghuninya dan di dalamnya ada
yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang
berpergian atau yang lainnya dan bersenang-
senang di dalamnya maka tidak harus ijin, dan
budak kecil atau besar dan mahram penghuni
rumah yang belum baligh harus meminta ijin pada
3 waktu dari malam dan siang atau akhir malam
sebelum fajar dan ketika qoiluulah (tidur siang)
ketika pemilik rumah sedang menyendiri dengan
keluarganya dan setelah sholat isya’ ketika pemilik
rumah kembali ke tempat tidurnya, dan apabila
anak-anak yang merupakan mahram pemilik
rumah tersebut telah baligh maka ia wajib
meminta ijin setiap saat.

72
Dan juga menjauhkan diri dari membunuh
orang yang diharamkan Allah kecuali dengan
alasan yang benar, menjauhi untuk mengambil
harta orang dengan cara batil, kecuali dengan cara
jual beli atas dasar saling rela diantara mereka,
menjauhkan diri dari memakan harta anak yatim
dengan cara yang dholim, menjauhi minum
khamer, menjauhi minuman dan makanan haram,
menjauhi makan riba dan haram, menjauhi makan
dari perjudian, suap dan rampasan, menjauhi an
najsy (menawarkan harga yang tinggi bukan untuk
membeli tetapi agar orang lain membelinya
dengan harga yang tinggi) dan kedholiman,
menjauhi mencari harta dengan cara yang tidak
benar, menjauhi tabdziir dan membelanjakan harta
pada sesuatu yang tidak benar, menghindari
curang dalam timbangan dan takaran,
menghindari pengurangan pada takaran dan
timbangan, menghindari pembatalan bai’at dan
menggulingkan para pemimpin, menjauhi
pengkhianatan dan maksiat, menjauhi sumpah
yang jahat dan menjauhi pelaksanaan sumpah
untuk berbuat maksiat, menjauhi dusta dan
berlebihan dalam berbicara, menjauhi kesaksian
dusta, menjauhi menuduh, menjauhi menuduh
wanita baik-baik berbuat zina, menjauhi
mengumpat dan mencela, menjauhi saling
mencela dengan laqob (sebutan-sebutan)
menjauhi namiimah (mengadu domba) dan ghibah
menjauhi tajassus (memata-matai), menjauhi
buruk sangka kepada orang sholih (baik laki-laki
maupun perempuan), menjauhi berbuat maksiat
secara terus menerus dan meremehkannya,
berhati-hati agar tidak menahan untuk melakukan

73
kebenaran, dan terus-terusan dalam kesesatan
dan tidak serius dalam kebenaran, berhati-hati
dengan perbuatan dosa dan berlamba-lamba
untuk berbuat jahat dan hati-hati dengan bangga
terhadap diri sendiri, berhati-hati dengan gembira
dan sombong, menjauhkan diri dari kata-kata yang
jelek, membersihkan diri dari kata-kata yang kotor,
menjauhkan diri dari berburuk sangka, dan
membersihkan diri dari kencing dan buang air
besar semuanya.
Inilah diin Allah yaitu iman dan apa yang
disyariatkan di dalamnya yang berupa
membenarkan terhadap apa-apa yang datang dari
sisi Allah, dan apa-apa yang diterangkan berupa
yang halal, yang haram, sunnah-sunnah dan
kewajiban-kewajiban.
Ia telah menyebutkan apa-apa yang
bermanfaat bagi orang-orang yang berakal, dan di
atas setiap orang-orang yang berilmu itu ada yang
Maha Tahu. Dan semua itu terkumpul dalam
taqwa, maka bertaqwalah kalian kepada Allah dan
berpeganglah dengan taliNya, dan tidak ada daya
dan kekuatan kecuali dengan Allah. Saya
memohon kepada Allah agar menunjukkan kami
dan juga kalian kepada hal-hal yang
menyampaikan kami kepada kerihoan dan jannah
(syurga) Nya.” Sampai disini perkataan Adh
Dhohaak Ibnu Muzaahim.
Berkata Syaikh Abu ‘Abdillah Ibnu
Bathoh: “Wahai saudara-saudaraku inilah syariat-
syariat iman dan cabang-cabangnya dan akhlaq
orang-orang yang beriman yang barangsiapa
diantara mereka melaksanakan dengan sempurna
74
maka mereka diatas hakekat iman, petunjuk yang
nyata dan tanda-tanda ketaqwaan.
Maka setiap kali iman setiap hamba itu kuat,
maka bertambahlah pandangannya dalam diinnya,
kekuatan keyakinannya dan bertambahlah akhlaq-
akhlaq tersebut dan dari hal-hal yang sejenisnya,
dan memancarlah tanda-tandanya pada ucapan
dan perbuatannya, semacam itu telah dijelaskan
dalam al-Quran dan As-Sunnah dan diterima
kebenarannya oleh akal yang telah Allah tinggikan
kedudukannya dan menang hujjahnya. Dan sesuai
dengan kadar kurangnya iman seorang hamba dan
melemahnya keyakinannya, semakin sedikitlah
akhlaq-akhlaq tersebut di atas dan hilanglah dari
perbuatannya dan pribadinya. Semoga Allah
memberi petunjuk kami dan kalian untuk
melakukan hal-hal yang dapat meraih
keridhoanNya dan terhindar dari segala bencana di
dua alam, yaitu (dunia dan akhirat).” dari Kitab (Al
Ibaanah ‘An Syariiatil Firqoh An Naajiyah
tulisan Abu ‘Abdillah Ibnu Bathah II/650-653,
cetakan Daarur Raoyah 1409 H).
Inilah penjelasan singkat tentang Ilmu
Fardhu ‘Ain Yang Bersifat Umum dari Adh
Dhohaak Ibnu Muzaahim yang meninggal awal
abad ke 2 Hijriyah yang memuat penjelasan
tentang rukun iman, rukun Islam, hal-hal yang
diwajibkan, adab-adab syar’iy, hal-hal yang
diharamkan, ditambah dengan beberapa adab
yang disunnahkan dan akhlaq-akhlaq yang mulia.
Kemudian kita berpindah ke penjelasan
tentang bagian ke-2 dari macam-macam ilmu yang

75
fardhu ‘ain yaitu Ilmu Fardhu ‘Ain Bersifat
Khusus.

Kedua:
Ilmu Fardhu ‘Ain Yang Bersifat Khusus

Yaitu : Kewajiban bagi sebagian mukallaf


saja. Dan menjadi kewajiban seseorang pada saat-
saat tertentu saja ---- setiap orang yang terkena
kewajiban syar’i (seperti zakat dan haji) --- dan
setiap orang yang melakukan perkara yang mubah
(seperti dagang dan nikah) maka ia wajib
mempelajari hukum-hukumnya karena wajibnya
berilmu sebelum mengatakan dan sebelum
berbuat.
Contohnya adalah: seperti yang dikatakan
Ibnu Hazm rahimahullah: “Kemudian wajib bagi
orang yang mempunyai harta untuk mempelajari
hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat yang
harus dia keluarkan, dan sama saja laki-laki atau
perempuan atau budak atau orang-orang
merdeka. Namun bagi orang yang tidak memiliki
harta maka dia tidak wajib untuk mempelajari
hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat.
Kemudian orang yang terkena kewajiban
bagi ia wajib mempelajari hukum-hukum haji dan
umrah, dan hal ini tidak wajib bagi orang yang
fisiknya tidak sehat dan tidak punya harta.

76
Kemudian bagi para komandan pasukan
wajib memahami pertempuran, hukum-hukum
jihad dan pembagian ghoniimah dan fai’.
Kemudian bagi para penguasa dan qodhi
(hakim) wajib mempelajari berbagai hukum
permasalahan dan huduud, dan hal ini wajib bagi
orang lain.
Kemudian bagi para pedagang dan setiap
orang yang menjual hasil buminya wajib
mempelajari hukum-hukum jual beli, apa-apa saja
yang yang dihalalkan dan apa saja yang
diharamkan, dan hal ini tidak di wajibkan bagi
orang yang tidak menjual dan tidak membeli.” (Al
Ihkaam V/ 122)
Termasuk dalam permasalahan ini juga
adalah orang yang tinggal disebuah negeri yang
terdapat beberapa bid’ah atau beberapa kelampok
sesat seperti syi’ah atau khawaarij atau
qodariyyah atau bahaa-iyyah atau shuufiyyah
dan lain-lain.Wajib bagi orang tersebut
mempelajari hal-hal yang dapat menyelamatkan
dirinya dari bid’ah-id’ah tersebut supaya imannya
terjaga dari ketergelinciran, maka ia wajib untuk
beriman secara terperinci yang tidak diwajibkan
kepada orang lain yang tidak menghadapi apa
yang ia hadapi. Inilah maksud dari perkataan Abu
Haamid al-Ghozaaliy yang berbunyi: “Adapun
tentang keyakinan-keyakinan dan amalan-amalan
hati, maka wajib diketahui sesuai dengan hal-hal
yang terbetik dalam hati. Jika terbetik dalam
hatinya sesuatu yang keraguan tentang makna-
makna dua kalimah syahadat, maka ia wajib

77
mempelajari hal-hal yang dapat menghilangkan
keraguan tersebut.
Namun jika hal itu belum terbetik dalam
hatinya dan ia mati sebelum ia meyakini bahwa
Kalaamullah (firman Allah) itu Qodiim (Maha
Terdahulu) dan bahwasanya ia dapat dilihat dan
bahwa ia bukanlah tempat untuk para makhluq
dan sebagainya yang termasuk dalam keyakinan,
maka dia mati dalam keadaan Islam secara ijma’.
Akan tetapi hal-hal yang terbetik di dalam
hati yang berdampak terhadap keyakinan
tersebut. Sebagiannya muncul secara alami, dan
sebagiannya muncul karena mendengar dari
penduduk setempat. Jika di negeri setempat
tersebar ilmu kalaam (filsafat) dan bid’ah-bid’ah
maka hendaknya ia menjaga diri dari hal-hal
tersebut. Sejak pertama ia baligh dengan
mempelajari kebenaran karena seandainya timbul
kebathilan padanya maka ia wajib
menghilangkannya dari dalam hatinya dan kadang
hal itu sulit dilakukan sebagaimana jika seorang
muslim tersebut sebagai pedagang, sedangkan
telah tersebar dalam negerinya praktek riba, maka
ia wajib mempelajari bagaimana menyelamatkan
diri dari riba. Inilah kebenaran yang termasuk ilmu
yang fadhu ‘ain, yang artinya adalah ilmu tentang
tata cara mengamalkan kewajiban.
Maka barangsiapa yang telah mengetahui
kewajiban dan kapan kewajiban tersebut
dilaksanakan maka ia telah memahami Islam yang
fardhu ‘ain.” (Ihyaa-u ‘Uluumid Diin I/ 26).
Tentang perkataan al-Ghozaaliy “Sesungguhnya
Kalaamullah (firman Allah) itu qodiim” ada
78
perinciannya. Kalau mau silahkan lihat dalam
Lawaami’ul Anwaar al-Bahiyah karangan As
Safaarainiy. Cet. al-Maktab al-Islaamiy 1411 H, I/
27,112 dan 130 pada catatan kakinya.
Begitulah, setiap orang yang mau
mengerjakan sebuah pekerjaan maka ia harus
bertanya tentang tentang hukumnya, sehingga ia
beramal berdasarkan ilmu. Hendaknya ia bertanya
boleh atau tidak dia mengerjakannya? Seperti
orang yang ingin melakukan sebuah pekerjaan
atau prapesi, atau ingin bermu’amalah dengan
uang dan lain-lain, ia wajib bertanya tentang
syari’atnya.
Dan, jika pada pekerjaan yang akan ia
lakukan itu ada perincian hukumnya, maka ia
wajib mempelajari hukumnya, secara terperinci. Ini
semua berdasarkan atas wajibnya berilmu
sebelum mengatakan dan berbuat.
Kemudian kita berpindah kebagian ke 3 dari
macam-macam ilmu yang fardhu ‘ain.

Ketiga: Ilmu Tentang Ahkaamun Nawaazil


(Permasalahan-Permasalahan Yang Bersifat
Temporer)

Ilmu fardhu ‘ain baik yang bersifat umum


maupun yang bersifat khusus adalah ilmu tentang
hal-hal yang berulang kali kejadiannya dan tidak
terpisahkan dari seorang hamba. Adapun yang
jarang terjadi maka ia tidak wajib mempelajarinya

79
sejak awal, akan tetapi barangsiapa menghadapi
sebuah permasalahan maka ia wajib mengetahui
hukumnya supaya ia tidak mengatakan dan
melakukan sesuatu tanpa berdasarkan ilmu.
Ilmu inilah yang dimaksud oleh An Nawawiy
dalam ucapannya: “Kemudian, itu semua yang
wajib adalah yang menjadi kunci dari pelaksanaan
kewajiban dirinya yang sering terjadi dan bukan
yang jarang terjadi, namun jika terjadi maka wajib
ia mempelajarinya ketika itu.” (Al Majmuu’ I/ 25).
An nawaazil adalah apa yang dikatakan oleh An
Nawawiy sebagai apa-apa yang terjadi.
An Nawawiy juga mengatakan: “… ia wajib
meminta fatwa apabila ia menghadapi suatu
kejadian yang harus ia ketahui hukumnya. Jika di
negerinya tidak ia dapatkan orang yang dapat
memberi fatwa kepadanya, meskipun jauh dari
rumahnya. Dan sungguh sekelampok salaf telah
melakukan perjalanan untuk satu permasalahan
selama berhari-hari.” (Al Majmuu’ I/ 54).
Begitulah, dan kami akan menjabarkan
hukum-hukum orang yang meminta fatwa secara
detail pada bab ke 5 dalam kitab ini insya Allah.
Al Khathiib al-Baghdaadiy dan Ibnu
‘Abdil al-Barr keduanya meriwayatkan dari
‘Abdullah Ibnul Mubaarak, semoga Allah
merahmatinya mereka semua. Ia berkata: “Wajib
bagi orang yang menghadapi suatu permasalahan
pada urusan agamanya untuk bertanya sampai ia
mengetahuinya.” (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/
45 dan Jaami’ul Bayaanil ‘Ilmi I/ 10).

80
Abu Haamid al-Ghozaaliy mengatakan ---
tentang an nawaazil --- : “Sesungguhnya yang
dilalui oleh seorang hamba pada siang dan
malamnya tidaklah lepas pada kejadian-kejadian
pada ibadah-ibadahnya dan muamalat-
muamalatnya dari hal-hal yang baru, maka ia
harus bertanya tentang segala sesuatu yang
jarang terjadi tersebut. Dan dia harus juga
mempelajari apa-apa yang diperkirakan akan
terjadi dalam waktu dekat.” (Ihyaa-u Uluumid
Diin I/ 27).
Dan diantara an nawaazil yang menimpa
kaum muslimin secara umum di berbagai negri
adalah berhukumnya mereka dengan selain
syariat Islam, yaitu dengan undang-undang
ciptaan manusia yang mereka buat sendiri.
Oleh karena itu semua kaum muslimin yang
mukallaf baik laki-laki maupun perempuan wajib
untuk memahami peristiwa ini karena berlakunya
hukum buatan manusia ini menimbulkan
kewajiban-kewajiban terhadap setiap individu
mereka. Dan akan kami singgung hukum tentang
kejadian ini pada mabhats pertama dan ke
delapan dalam bab 7 dalam kitab ini insya Allah.
Dan diantaranya juga adalah ajakan untuk
berdemokrasi dan hal-hal yang menjadi
konsekuensinya, seperti mendirikan partai politik
dan parlemen perundang-undangan dan hal-hal
yang menyertainya seperti mencalankan diri dan
pemilihan semua ini termasuk syirik yang tidak
boleh seorang muslimpun terjerumus kepadanya
dan wajib bagi setiap muslim untuk
mewaspadainya dan mengingatkan orang lain
81
tentang hal ini. Hal ini akan kami singgung pada
awal bab 4 dan mabhats 8 pada bab 7 dalam kitab
ini insya Allah.
Sampai di sini kami tutup pembahasan
tentang ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap
muslim yang tujuannya adalah menjelaskan bahwa
tidak boleh bagi seorang muslim untuk
mengatakan atau melakukan sesuatu sampai dia
mengetahui hukum Allah tentang sesuatu
tersebut. Dan setiap muslim wajib mengetahui
bahwa tidak ada sesuatupun di dunia ini kecuali
ada hukumnya dalam syariat Allah Subhaanahu
wata’aala.
Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman:

‫ىٍء‬ ّ ُ ‫ب ت ِب َْياًنا ل ّك‬


َ ‫ل‬
ْ ‫ش‬ َ ‫ك ال ْك َِتا‬
َ ْ ‫وَن َّزل َْنا عَل َي‬
“Dan kami turunkan kitab kepadamu sebagai
penjelas segala sesuatu” (QS.An-Nahl:89)
Maka tidak ada sesuatupun kecuali masuk ke
dalam salah satu hukum taklif yang lima, yaitu:
wajib atau sunnah atau mubah atau makruh atau
haram. Baik hal itu dijelaskan secara nash dalam
al-Quran dan As Sunnah atau merupakan
kesimpulan para ulama dengan menyamakan
hukumnya dengan sesuatu yang ada nashnya.
Dan hal ini telah kami singgung dalam
pembahasan Syariat Memenuhi Kebutuhan
Manusia Sampai Hari Kiamat.

82
Diterjemahkan dari al-Jaami’ Fii Tholabil ‘Ilmisy Syariif,
Syaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul Aziiz I/108-142.
MABES POLRI, 3 Ramadhon 1425 H

83
84
Perhatian:
Dipersilahkan kepada siapa saja untuk
memperbanyak atau menukil isi buku ini baik
sebagian maupun secara keseluruhan dengan
cara apapun, tanpa merabah isinya. Semoga
Allah memberi balasan kepada siapa saja yang
membantu tersebarnya buku ini

85

Anda mungkin juga menyukai