Anda di halaman 1dari 5

Dampak Buruk Perbuatan Maksiat

Khutbah I

Hadirin rahimakumullah,

Marilah kita selalu meningkatkan kadar ketakwaan kita kepada Allah swt dengan
menjalankan perintah-perintah Allah swt dan menjauhi larangan-larangan-Nya, karena tidak
ada cara lain yang dapat membuat hidup kita bahagia di dunia maupun di akhirat kecuali
dengan takwa. Secara sederhana Ulama mendefinisikan takwa dengan menjalankan perintah-
perintah Allah swt dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dengan demikian status muttaqin
(orang yang bertakwa) tidak hanya sebatas jika seseorang telah menjalankan perintah-perinta
Allah swt saja, tetapi ia harus pula meninggalkan larangan-larangan Allah swt. Dalam
kehidupan sehari-hari menjalankan perintah-perintah Allah swt itu kita wujudkan dalam
bentuk perbuatan-perbuatan taat atau ibadah kepada Allah swt sedang menjauhi larangan-
larangan Allah swt itu kita wujudkan dengan menjauhi maksiat kepada Allah swt.

Hadirin rahimakumullah,

Bila kita bertanya, mana yang lebih berat untuk dilaksanakan apakah melaksanakan ketaatan
(ibadah) ataukah meninggalkan larangan (maksiat), maka imam al-Ghazali (Bidayah al-
Hidayah) menjawab sebagai berikut:

Ketahuilah bahwa agama itu mempunyai dua dasar: Pertama, meninggalkan larangan-
larangan Allah swt. Kedua, menjalankan ketaatan kepada Allah swt meninggalkan larangan-
larangan Allah swt lebih berat daripada menjalankan keta’atan kepada-Nya, karena setiap
orang mampu melaksanakan ketaatan kepada Allah swt sedang menjauhi larangan-larangan-
Nya hanya orang yang siddiqin saja yang mampu melakukannya. Lebih jauh Al-Ghazali
menyatakan bahwa lebih beratnya menjauhi larangan (maksiat) dibanding dengan
menjalankan ketaatan itu disebabkan karena perbuatan yang baik (ketaatan) yang bisa
menghantarkan seseorang masuk surga selalu diselimuti oleh hal-hal yang dibenci nafsu
manusia, sementara perbuatan jelek (maksiat) yang dapat menghantarkan seseorang masuk
neraka selalu diwarnai oleh hal-hal yang disenangi nafsu manusia,
hal ini sebagaimana hadis riwayat imam al-Tirmidzi:

Dari Anas ibn Malik bahwa Rasulullah saw bersabda: Surga itu diliputi dengan hal-hal yang
tidak disenangi (nafsu) sedangkan neraka selalu diselimuti oleh hal-hal yang disenangi
(nafsu) (HR. Tirmidzy). Yang dimaksud al-makarih dalam hadits ini adalah segala sesuatu
yang dibenci oleh nafsu manusia, yang mana nafsu memerlukan kerja keras untuk
melawannya, sedang yang dimaksud dengan al-Syahawat adalah segala sesuatu terkait
dengan masalah keduniaan yang disenangi nafsu, dan telah menjadi watak bagi manusia
selalu condong kepada perbuatan yang disenangi nafsunya. (Muhammad al-Mubarakafuri:
Tuhfah al-Ahwadi Syarakh Sunan al-Tirmidzi).
Hadirin rahimakumullah, Karena meninggalkan larangan Allah swt itu lebih berat dan
mengakibatkan keburukan dan siksa Allah swt maka tidak ada jalan keluar bagi kita untuk
terhindar dari hal-hal tersebut kecuali dengan cara menjaga semaksimal mungkin anggota
badan kita agar tidak melakukan maksiat kepada Allah swt demikian ini karena anggota
badan kita merupakan nikmat Allah swt yang seharusnya kita syukuri dengan cara
menggunakannya untuk beribadah kepada Allah swt bukan untuk maksiat kepada-Nya.
Imam Al-Ghazali menyatakan:

Ketahuilah! engkau melakukan maksiat itu dengan memakai anggota badanmu, yang itu
merupakan nikmat dan amanat bagimu. Penggunaanmu atas nikmat tersebut untuk maksiat
kepada Allah merupakan bentuk pengingkaran yang amat besar, sedang pengkhianatanmu
atas amanat yang dititipkan Allah kepadamu untuk maksiat kepada-Nya merupakan bentuk
pengkhianatan yang amat besar. Seluruh anggota badanmu adalah hal-hal yang harus kamu
pelihara, oleh sebab itu perhatikanlah bagaimana kamu menjaganya. Kalian semua adalah
pemimpin, dan masing-masing akan mempertangungjawabkan terhadap apa yang
dipimpinnya.
Hadirin rahimakumullah,

Selain merupakan bentuk pengingkaran atas nikmat Allah swt dan pengkhianatan atas
amanat-Nya, perbuatan maksiat akan berdampak (berakibat) buruk tidak hambanya pada
pelakunya saja tetapi bagi masyarakat di sekelilingnya. Di antara dampak (akibat) buruk yang
paling pokok dari perbuatan maksiat adalah: Pertama, mengurangi rezeki, menyulitkan
mencari kebutuhan hidup dan sandang-pangan pelaku maksiat tersebut.
Hal ini sebagaimana hadits riwayat Iman Ahmad dalam kitab musnadnya sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Tsauban, beliau berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya seorang
hamba itu terhalang rezekinya sebab dosa yang diperbuatnya” (HR. Ahmad Dalam
Musnadnya). Kedua, terjadinya musibah yang akan menimpa pelaku maksiat tersebut.
Musibah ini bisa berbentuk sakit, kecelakaan, keresahan, kesusahan, kerugian dalam usaha
dan lain sebagainya.
Hal ini sebagaimana hadits riwayat Muslim sebagai berikut:

Dari Abi Sa’id al-Khudri dan Abi Hurairah, bahwasanya keduanya mendengar Rasulullah
saw bersabda: “Tidaklah seorang Mukmin tertimpa musibah berupa sakit, payah, penyakit,
sedih hingga susah (memikirkan sesuatu yang akan dihadapinya) kecuali dengan musibah itu
dilebur dosa-dosanya.”
Dalam surat al-Ankabut: 40 Allah berfirman:

“Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka
ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa
suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi,
dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (al-
Ankabut: 40). Umat-umat terdahulu dianggap Allah swt melakukan kedzaliman atas diri
mereka disebabkan karena mereka melakukan kekufuran dan maksiat, padahal Allah telah
memberikan berbagai macam nikmat kepada mereka, perbuatan maksiat itulah yang
menyebabkan mereka mendapatkan siksa Allah. (Abi Su’ud: Irsyad al-Aql al-Salim ila
Mazaya al-Kitab al-Karim).

Hadirin rahimakumullah,
Kita sering melihat bahwa ada seseorang yang ahli maksiat, suka mengerjakan dosa, bahkan
semua dosa besar pun sudah dilakukannya, tetapi ternyata dia aman-aman saja, segar-bugar,
hidupnya bergelimang kesenangan harta dan kemewahan dunia, tidak pernah tertimpa
musibah, apa-apa yang menjadi keinginan hawa nafsunya selalu tercapai. Jika kita
menemukan seseorang seperti itu, maka ketahuilah bahwa orang seperti itu adalah hamba
yang sangat dibenci Allah swt, dia sengaja dibiarkan, apa yang menjadi maunya dituruti, agar
dia semakin jauh terjerumus dalam kubangan dosa dan kedzalimannya, agar semakin
congkak dan menyombongkan diri. Tetapi jika sudah tiba waktunya, maka Allah swt
mengambilnya dan menumpahkan siksa yang amat pedih dan amat menyakitkan, dan tidak
akan melepaskannya sekejap pun. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

Sesungguhnya Allah swt memberikan tempo kepada seorang dzalim (dibiarkan dalam
kedzalimannya, tidak diperingatkan dengan bala atau musibah) tetapi jika (sudah tiba
waktunya) maka Allah mengadzabnya, dan tidak akan melepaskannya”. Kemudian Nabi
membaca surat Hud: 102; “Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengadzab penduduk
negeri-negeri yang berbuat dzalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi
keras”. (HR. al-Bukhary, Muslim dan al-Tirmidzi). Sebaliknya kita juga sering menemukan
seseorang yang amalnya baik, tidak pernah berbuat maksiat, tetapi orang tersebut selalu
mendapatkan musibah. Ketahuilah bahwa musibah yang mengenai orang yang tidak punya
dosa bukanlah siksa atau adzab tetapi semata-mata ujian untuk menambah dan meningkatkan
derajat dan kemuliaannya di sisi Allah swt.
Inilah yang dimaksud hadits riwayat al-Bukhary dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah
bersabda:

“Barang siapa dikehendaki Allah baik, maka Allah akan memberikan ujian kepadanya” (HR,
al-Bukhari), maksud hadits adalah barang siapa dikehendaki Allah baik maka Allah akan
mengujinya dengan beberapa musibah, demikian ini agar ia mendapatkan pahala dari
musibah tersebut” (Badruddin al-Aini: Umdah al-Qari Syarakh Shahih al-Bukhari).
Hadirin rahimakumullah,

Dampak buruk perbuatan maksiat, bukan hanya akan menimpa pelaku maksiat itu saja.
Bahkan akibat buruk itu bisa juga menimpa orang dan masyarakat di sekitarnya. Hal ini
sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan al-Thabrani:
Dari Umi Salamah, istri Rasulullah saw, bahwasanya ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Apabila maksiat telah melanda umatku secara merata, maka Allah meratakan adzab kepada
mereka, “Saya bertanya: “Ya Rasulullah tidakkah di antara mereka saat itu masih ada orang-
orang yang baik?” Rasul menjawab :”Ya”, saya bertanya: ”Apa yang mereka lakukan?“
Rasulullah menjawab: “Adzab itu menimpa kepada mereka sebagaimana yang menimpa
manusia (pada umumnya), tetapi (di akhirat nanti orang yang baik yang tidak ikut maksiat)
akan mendapat maghfirah dan ridha dari Allah” (HR. Ahmad dan al-Thabrany). Hadits di
atas dengan jelas menunjukan bahwa akibat buruk perbuatan maksiat yakni berupa adzab
dunia tidak hanya menimpa pelaku maksiat itu saja, tetapi juga menimpa orang-orang yang
tidak berdosa.
Hadirin rahimakumullah,

Dampak buruk perbuatan maksiat tidak hanya menimpa manusia di dunia saja, di akhirat ia
akan dimasukkan ke neraka selama ia belum bertaubat kepada Allah swt.
Dalam surat al-Jin: 23 Allah berfirman:

“Barang siapa bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya ia akan mendapat
(adzab) neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” (al-Jin: 23). Jika
maksiat merajalela dan adzab Allah telah turun maka tidak ada seorangpun yang akan bisa
menahannya, sebagai seorang Muslim kita berkewajiban untuk menjaga diri kita, mengajak
keluarga dan masyarakat sekitar untuk meninggalkan maksiat semaksimal mungkin. Marilah
kita menyadari bahwa salah satu sebab turunnya siksaan Allah swt itu akibat dari perbuatan
maksiat yang kita lakukan. Semoga Allah swt selalu memberikan kekuatan kita untuk dapat
melaksanakan ketaatan dan meninggalkan maksiat dan apa-apa yang dilarang Allah swt.
Amin (3x)

Anda mungkin juga menyukai