Secara bahasa, zalim atau azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Disebutkan dalam Lisaanul
Arab:
موضعه
ِ َوضْ ع الشيء في غير:الظ ْل ُم
ُّ
Dzalim diartikan juga sebagai perbuatan menguasai hak orang lain / merampas hak orang tanpa ijin.
Lawan dari zalim atau azh zhulmu adalah adil atau al ‘adl. Maka adil artinya menempatkan sesuatu sesuai pada
tempatnya dan berada dalam koridor kebenaran.
Larangan Berbuat Zalim
Perbuatan zalim sangat dilarang dalam Islam. Terdapat banyak sekali Dalil/ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mencela dan melarang perbuatan zalim.
Allah Ta’ala berfirman:
ََأالَ لَ ْعنَةُ هّللا ِ عَلَى الظَّالِ ِمين
“Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18).
َِإنَّهُ الَ ي ُْفلِ ُح الظَّالِ ُمون
“Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak akan mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21).
Beliau juga bersabda:
القيامة
ِ يوم ٌ
َ ظلمات فإن الظُّل َم
َّ . اتَّقوا الظُّل َم
“jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).
Beliau juga bersabda:
وال يسلمه، ال يظلمه،المسلم أخو المسلم
“Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh
menelantarkannya” (HR. Muslim no. 2564).
Dan dalil-dalil yang mencela dan melarang perbuatan Dzalim datang dalam bentuk muthlaq, sehingga perbuatan Dzalim
dalam bentuk apapun dan kepada siapa pun terlarang hukumnya. Bahkan kepada orang kafir dan kepada binatang
sekalipun, tidak diperkenankan berbuat zalim.
Adapun Akibat Perbuatan Zalim
Perbuatan zalim menyebabkan pelakunya mendapat keburukan di dunia dan di akhirat. Diantaranya:
1. Akan di-qishash pada hari kiamat
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya:
وصيام
ٍ بصالة
ٍ القيامة
ِ يوم
َ يأتي، أم تي
َّ المفلس من
َ َّ : فقال. متاع
إن َ المفلِسُ فينا من ال دره َم له وال: أتدرون ما المفلِسُ ؟ قالوا
فيُعطَى هذا من حسناتِه وهذا من حسناتِه. وضرب هذا، دم هذا َ وسفك، مال هذا َ وأكل، وقذف هذا، ويأتي قد شتم هذا، وزكاة ٍ
ارَّ ُ
ِ ثم ط ِرح في الن ُ ُ ْ
َّ . أخذ من خطاياهم فط ِرحت عليه، قبل أن يقض َي ما عليه، فإن فنِيَت حسناته. َ
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”. Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut menurut kami
adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda”. Nabi bersabda, ”Sesungguhnya orang yang
bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan
zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan
darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila
amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah
dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR.
Muslim no. 2581).
2. Mendapatkan laknat dari Allah
Allah Ta’ala berfirman:
ِ يَوْ َم ال يَنفَ ُع الظَّالِ ِمينَ َم ْع ِذ َرتُهُ ْم َولَهُ ُم اللَّ ْعنَةُ َولَه ُْم سُو ُء ال َّد
ار
“(yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat dan bagi
merekalah tempat tinggal yang buruk” (QS. Ghafir: 52). Laknat dari Allah artinya dijauhkan dari rahmat Allah.
3. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ام ِة ٌ الظ ْل ُم ظُلُ َم
َ َات يَوْ َم القِي ُّ
“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).
4. Terancam oleh doa orang yang dizhalimi
Doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah, termasuk jika orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi yang
menzaliminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ٌْس بَيْنَهَا َوبَ ْينَ هَّللا ِ ِح َجاب ْ ق د َْع َوةَ ْال َم
ِ ُظل
َ وم فَِإنَّهُ لَي ِ ََّوات
“Dan berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR.
Bukhari no.1496, Muslim no.19).
5. Jauh dari hidayah Allah
Allah Ta’ala berfirman:
َ ِإ َّن هّللا َ الَ يَ ْه ِدي ْالقَوْ َم الظَّالِ ِمين
“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al Maidah: 51).
6. Dijauhkan dari Al Falah
Allah Ta’ala berfirman:
َِإنَّهُ الَ ي ُْفلِ ُح الظَّالِ ُمون
“Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan mendapatkan al falah” (QS. Al An’am: 21).
Al falah artinya mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat
7. Kezaliman adalah sebab bencana dan petaka
Allah Ta’ala berfirman:
ٍ اويَةٌ َعلَى ُع ُرو ِشهَا َوبِْئ ٍر ُّم َعطَّلَ ٍة َوقَصْ ٍر َّم ِش
يد ِ َفَ َكَأيِّن ِّم ن قَرْ يَ ٍة َأ ْهلَ ْكنَاهَا َو ِه َي ظَالِ َمةٌ فَ ِه َي خ
“Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka
(tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan
istana yang tinggi” (QS. Al Hajj: 45).
Jenis-Jenis Perbuatan Zalim
Menurut Imam Hasan Al-Bashri dalam Kitab kitab Syarhu Sunnah ” Kezaliman itu ada tiga macam:
1) Kezaliman yang tidak diampuni Allah Swt; (AsSyirk)
kezaliman terbesar di dunia ini adalah mempersembahkan ibadah kepada selain Allah, atau perbuatan syirik. Kezaliman
mana lagi yang lebih besar dari menyekutukan Rabb yang telah menciptakan kita, memberi segala nikmat dan
keselamatan selama ini? Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: ‘dosa apa yang paling besar’,
beliau menjawab:
أن تجعل هلل نداً وهو خلقك
‘Engkau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakanmu’
Allah Ta’ala berfirman:
ٌ ك لَظُ ْل ٌم َع ِظ
يم َ ِْإ َّن ال ِّشر
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang terbesar” (QS. Luqman: 13).
Dalam ayat ini dijelaskan, “alasan mengapa syirik adalah kezaliman tersbesar , karena bahwasanya tidak ada yang lebih
parah dan lebih buruk dari orang yang menyetarakan makhluk dengan Sang Kholiq Pemilik semua makhluk di alam
semesta ini
Apa itu Syrik dia percaya/yakin ada kekuatan yang sebanding dengan Allah Swt. .........
Maka dari itu apabila diantara kita ada yang pernah berbuat Syirik, terjerumus kedalam bahayanya Kesyirikan, segeralah
bertaubat, sebelum ajal menjemput kita. Mudah-mudahan....
Maka saudaraku, jauhilah perbuatan syirik! Dan jauhilah semua bentuk perbuatan zalim!
2) Addhulum yagfirhullah / Kezaliman yang diampuni Allah Swt.
Dholim yg diampuni Allah SWT, Dholim Apa? Dhulmun Ibad. Anfusahum fima bainahu mina Robbihim. Yaitu dholim
perbuatan kita dengan Allah SWT, tdk Sholat.....puasa... zakat... kalau kita mau bertaubat dengan taubatan nasuha tidak
mengulangi lagi, Allah Akan Ampuni... maka dalam Al quran kita disuruh berdoa sbg mana doanya Nabi Adam AS..
Robbana...
3) Kezaliman yang tidak dibiarkan begitu saja oleh Allah Swt / Dhulmun Ibad, Ba’duhum Ba’dho.
Dholim kepada sesama manusia/ mengambil hak diantara kita manuasia. kalau kita bertaubat minta ampun kepada
Allah, tapi kita tidak minta maaf kepada orang yang kita dholimi, Maka Allah tidak akan ampuni dosa kita.
Seperti .....
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda : (hadist Qudsi)
وجعلته بينكم محر ًما؛ فال تظالموا، إني حرمت الظلم على نفسي، يا عبادي:قال هللا تبارك وتعالى
“Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman: ‘wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan kezaliman atas Diriku, dan aku
haramkan juga kezaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zalim’ ” (HR. Muslim no. 2577).
Pada masa ini, ketika arus informasi demikian mudahnya, seringkali tanpa berfikir panjang kita langsung menyebarkan
(men-share) semua berita dan informasi yang kita terima, tanpa terlebih dahulu meneliti kebenarannya. Kita dengan
sangat mudah men-share berita, entah dengan menggunakan media sosial semacam facebook, atau
aplikasi whatsapp, atau media yang lainnya. Akibatnya, muncullah berbagai macam kerusakan, seperti kekacauan,
provokasi, ketakutan, atau kebingungan di tengah-tengah masyarakat akibat penyebaran berita semacam ini.
Allah Ta’ala pun memerintahkan kepada kita untuk memeriksa suatu berita terlebih dahulu karena belum tentu semua
berita itu benar dan valid. Allah Ta’ala berfirman,
َصيبُوا قَوْ ًما بِ َجهَالَ ٍة فَتُصْ بِحُوا َعلَى َما فَ َع ْلتُ ْم نَا ِد ِمين
ِ ُق بِنَبٍَإ فَتَبَيَّنُوا َأ ْن ت
ٌ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ ْن َجا َء ُك ْم فَا ِس
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 6)
Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk memeriksa suatu berita dengan teliti, yaitu mencari bukti-bukti kebenaran berita
tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan menelusuri sumber berita, atau bertanya kepada orang yang lebih mengetahui hal
itu.
Oleh karena itu, sungguh saat ini kita sangat perlu memperhatikan ayat ini. Suatu zaman di mana kita mudah untuk men-
share suatu link berita, entah berita dari status facebook teman, entah berita online, dan sejenisnya, lebih-lebih jika berita
tersebut berkaitan dengan kehormatan saudara muslim atau berita yang menyangkut kepentingan masyarakat secara
luas. Betapa sering kita jumpai, suatu berita yang dengan cepat menjadi viral di media sosial, di- share oleh
ribuan netizen, namun belakangan diketahui bahwa berita tersebut tidak benar.
Bagi kita yang suka asal dan tergesa-gesa dalam menyebarkan berita, maka hukuman di akhirat kelak telah menanti kita.
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan mimpi beliau,
ورجل قائم على، فمرا بي على رجل، أو أرض مستوية، فأخرجاني إلى أرض فضاء، فأخذا بيدي،رأيت الليلة رجلين أتياني
فهو يفعل، ويلتئم هذا الشدق، ثم يخرجه فيدخله في شدقه اآلخر، حتى يبلغ قفاه، فيشقه، فيدخله في شدقه،رأسه بيده كلوب من حديد
ذلك به
“Tadi malam aku bermimpi melihat ada dua orang yang mendatangiku, lalu mereka memegang tanganku, kemudian
mengajakku keluar ke tanah lapang. Kemudian kami melewati dua orang, yang satu berdiri di dekat kepala temannya
dengan membawa gancu dari besi. Gancu itu dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian ditarik hingga robek pipinya
sampai ke tengkuk. Dia tarik kembali, lalu dia masukkan lagi ke dalam mulut dan dia tarik hingga robek pipi sisi satunya.
Kemudian bekas pipi robek tadi kembali pulih dan dirobek lagi, dan begitu seterusnya.”
Di akhir hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat penjelasan dari malaikat, apa maksud kejadian yang
beliau lihat,
ثم، فهو يصنع به ما رأيت إلى يوم القيامة، يكذب الكذبة فتحمل عنه في اآلفاق،أما الرجل األول الذي رأيت فإنه رجل كذاب
يصنع هللا به ما شاء
“Orang pertama yang kamu lihat, dia adalah seorang pendusta. Dia membuat kedustaan dan dia sebarkan ke seluruh
penjuru dunia. Dia dihukum seperti itu sampai hari kiamat, kemudian Allah memperlakukan orang tersebut sesuai yang
Dia kehendaki.” (HR. Ahmad no. 20165) [2]
Apabila kita sudah berusaha meneliti, namun kita belum bisa memastikan kebenarannya, maka diam tentu lebih selamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ “ َم ْنBarangsiapa yang diam, dia selamat.” (HR. Tirmidzi no. 2501) [3]
ص َمتَ نَ َجا
Bertanyalah, Adakah Manfaat Menyebarkan suatu Berita Tertentu?
Lalu, apabila kita sudah memastikan keberannya, apakah berita tersebut akan kita sebarkan begitu saja? Jawabannya
tentu saja tidak. Akan tetapi, kita lihat terlebih dahulu apakah ada manfaat dari menyebarkan berita (yang terbukti benar)
tersebut? Jika tidak ada manfaatnya atau bahkan justru berpotensi menimbulkan salah paham, keresahan atau kekacauan
di tengah-tengah masyarakat dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya, maka hendaknya tidak langsung disebarkan (diam)
atau minimal menunggu waktu dan kondisi dan tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ َو َم ْن َكانَ يُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َواليَوْ ِم اآل ِخ ِر فَ ْليَقُلْ َخ ْي ًرا َأوْ لِيَصْ ُم
ت
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan
Muslim no. 74)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk menyebarkan ilmu
yang dia peroleh karena khawatir akan menimbulkan salah paham di tengah-tengah kaum muslimin. Diriwayatkan dari
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,
ق هللاِ َعلَىَّ «فَِإ َّن َح: قَا َل، هللا ُ َو َرسُولُهُ َأ ْعلَ ُم:ت ُ قُ ْل:ق ْال ِعبَا ِد َعلَى هللاِ؟» قَا َل ُّ ق هللاِ َعلَى ْال ِعبَا ِد؟ َو َما َح ُّ تَ ْد ِري َما َح، «يَا ُم َعا ُذ: فَقَا َل
يَا َرسُو َل:تُ قُ ْل: قَا َل، »ك بِ ِه َش ْيًئا ُ ب َم ْن اَل يُ ْش ِرَ ق ْال ِعبَا ِد َعلَى هللاِ َع َّز َو َج َّل َأ ْن اَل يُ َع ِّذَّ َو َح، َواَل يُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيًئا،َْال ِعبَا ِد َأ ْن يَ ْعبُدُوا هللا
«اَل تُبَ ِّشرْ هُ ْم فَيَتَّ ِكلُوا:ال َ َّ َأفَاَل ُأبَ ِّش ُر الن،ِ»هللا
َ َ ق،اس
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’adz, apakah kamu tahu apa hak Allah yang wajib
dipenuhi oleh para hamba dan apa hak hamba yang wajib dipenuhi oleh Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-nya yang
lebih mengetahui.’ Beliau pun bersabda, ‘Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka
beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya. Adapun hak hamba yang wajib dipenuhi oleh
Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka yang tidak berbuat syirik kepada-Nya.’
Lalu aku berkata, ’Wahai Rasulullah, bagaimana kalau aku mengabarkan berita gembira ini kepada banyak
orang?’ Rasulullah menjawab, ’Jangan, nanti mereka bisa bersandar.’” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 154)
Mari kita perhatikan baik-baik hadits ini. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan suatu
berita (ilmu) kepada Mu’adz bin Jabal, namun beliau melarang Mu’adz bin Jabal untuk menyampaikannya kepada sahabat
lain, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kalau mereka salah paham terhadap kandungan hadits ini.
Artinya, ada suatu kondisi sehingga kita hanya menyampaikan suatu berita kepada orang tertentu saja. Dengan kata lain,
terkadang ada suatu maslahat (kebaikan) ketika menyembunyikan atau tidak menyampaikan suatu ilmu pada waktu dan
kondisi tertentu, atau tidak menyampaikan suatu ilmu kepada orang tertentu. [4]
Mu’adz bin Jabal akhirnya menyampaikan hadits ini ketika beliau hendak wafat karena beliau khawatir ketika beliau wafat,
namun masih ada hadits yang belum beliau sampaikan kepada manusia. Mu’adz bin Jabal juga menyampaikan
kekhawatiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu, agar manusia tidak salah paham dengan hadits
tersebut. [5]
Semoga tulisan singkat ini menjadi panduan kita di zaman penuh fitnah dan kerusakan seperti sekarang ini, yang salah
satunya disebabkan oleh penyebaran berita yang tidak jelas asal-usul dan kebenarannya. [6]
Islam mencintai pola hidup bersih
Hidup bersih dan sehat sebenarnya menjadi perhatian utama dalam Islam. Apabila membaca kitab-kitab fiqih, bahasan
pertama selalu dimulai dengan bab thaharah (bersuci). Hal ini menandakan begitu pentingnya bersuci dalam Islam yang
berarti pentingnya hidup bersihdan sehat dalam Islam.
Thaharah sendiri sebetulnya bukan sekedar untuk membersihkan jasmani, tetapi rohani sekaligus. Maka, bersuci atau
thaharah tidak lain dimaksudkan untuk memelihara bersihnya badan dan pakaian sebagai sarana sahnya ibadah, seperti
shalat, dan juga untuk menjaga kebersihan rohani. Khusus kebersihan rohani ini, para ulama kemudian menerangkan
rahasia-rahasia thaharah (asrar al Thaharah).
Dalam al Qur’an, dengan jelas disebutkan pentingnya hidup bersih dan sehat. Anjuran untuk senantiasa menjaga kebersihan
dan menjauhi perilaku hidup kotor dan tidak sehat menjadi. Lebih dari itu, Allah memberikan apresiasi kepada seseorang
yang senantiasa menjaga kebersihan dengan predikat hamba yang dicintaiNya. (QS. al Baqarah: 222).
ُّ ِني َو حُي
َ ب الْ ُم تَ طَ ِّه ِر
ين َ ِالت َّو اب
َّ بُّ ِِإ َّن اللَّ هَ حُي
“Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”
Sementara Nabi Muhammad SAW Mengapresiasi untuk mereka yang selalu menjaga kebersihan. sabda beliau,
ٌﻻسْ اَل ُم َنظِ يْفٌ َف َت َن َّظفُ ْوا َف ِا َّن ُه ﻻَ َي ْد ُح ُل ْال َج َّن َة اﻻَّ َنظِ يْف
ِ َا
“Agama Islam itu (agama) yang bersih, maka hendaklah kamu menjaga kebersihan, karena sesungguhnya tidak akan masuk
surga kecuali orang-orang yang bersih” (HR al-Baihaqi).
Bersih sudah pasti sehat. Jadi pola hidup bersih dan sehat sesungguhnya menjadi topik para ulama sejak dulu. Dan saat ini
menjadi topik utama pembahasan di dunia karena mewabahnya virus Corona. Bila demikian, maka sebagai umat Islam
tentu merasa malu bila pola hidup bersih dan sehat baru dijiwai setelah kemunculan Virus yang pertama kali muncul di
Wuhan China ini. Karena hal tersebut menandakan kita bukan penghayat dan pengamal ajaran Islam itu sendiri.
Bila anjuran-anjuran tersebut dikerjakan secara utuh, tentu dengan sendirinya tubuh dan rohani menjadi bersih. Ada
banyak hal yang tercecer dan lalai dikerjakan oleh sebagian besar umat Islam, yakni, anjuran melakukan sesuatu yang
dihukumi Sunnah oleh fiqih untuk menjaga keberhasihan dan kesehatan. Amalan-amalan sunnah tersebut misalnya
berkumur sebelum wudhu, membersihkan tangan, menghirup air ke hidung hingga selalu melakukan siwak atau gosok gigi.
Sunnah dalam konteks fiqih adalah pekerjaan yang mendapat pahala bila kerjakan dan meninggalkannya tidak diancam
dosa atau siksa. Apabila sunnah ini dijalankan sejatinya bukan sekedar pahala, tetapi ada faedah kesehatan yang bisa
diambil.
Sejatinya, pola hidup islami sejak awal adalah pola hidup pencegahan dari berbagai penyakit. Hidup dengan diawali bersuci
setiap saat mengandung tindakan kebersihan. Jika hal-hal sunnah rutin ini dilakukan sudah menjadi penangkal awal
berbagai penyakit, termasuk virus corona. Dan, terpenting sebagai umat beriman tentu tidak perlu mengalami kecemasan
yang berlebihan. Terpenting telah melakukan ikhtiar yang maksimal.
Hadist dari Rasulullah, "Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi dan kedua tangan
dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudu" (HR Bukhari).
“Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, kemudian dia membasuh wajahnya maka akan
keluar dari wajahnya bersama air itu -atau bersama tetesan air yang terakhir- segala kesalahan yang dia
lakukan dengan pandangan kedua matanya. Apabila dia membasuh kedua tangannya maka akan keluar dari
kedua tangannya bersama air itu -atau bersama tetesan air yang terakhir- segala kesalahan yang dia lakukan
dengan kedua tangannya. Apabila dia membasuh kedua kakinya maka akan keluar bersama air -atau
bersama tetesan air yang terakhir- segala kesalahan yang dia lakukan dengan kedua kakinya, sampai
akhirnya dia akan keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosa.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah
KEDISIPLINAN DALAM ISLAM
Disiplin merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk taat dan bisa mengendalikan diri, agar
tetap mematuhi aturan yang telah dibuat atau disepakati.
Disiplin telah menjadi satu ilmu yang diajarkan dalam ajaran agama Islam. Disiplin sangat diperlukan
dalam kehidupan sehari-hari, apalagi sikap tersebut sangat berpengaruh pada kesuksesan kita di masa
depan.
Disiplin biasanya dikaitkan dengan pemenuhan aturan dan pemanfaatan waktu.
Islam mengajarkan bahwa menghargai waktu lebih utama sebagaimana firman Allah SWT dalam
Surat Al-Ashr 1-3.
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran."
Dalam ajaran Islam, banyak ayat Alquran dan hadist, yang memerintahkan kita untuk disiplin dalam
arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Islam adalah agama yang mengajarkan kelembutan sekaligus kedisiplinan. Sebagai contoh, waktu
sholat fardhu yang mempunyai batasan waktu awal dan akhir sehingga setiap Muslim harus sholat dengan
waktu yang telah ditentukan, Puasa Pun begitu, ada batasan waktu dimana kita disunnahkan bersahur dan
diwajibkannya berbuka.
MANFAAT DAN KEUTAMAAN DISIPLIN DALAM AJARAN ISLAM
Disiplin merupakan sifat orang yang bertakwa dan bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT
1.
Allah SWt berfirman:
ِ ل َوُأ ۟ولِى ٱَأْلم ِْر مِن ُك ْم ۖ َفِإن َت ٰ َن َزعْ ُت ْم فِى َشىْ ٍء َف ُر ُّدوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱلرَّ سUَ ُوا ٱلرَّ سُو
Uَ ُول ِإن ُكن ُت ْم ُتْؤ ِم ُن
ون U۟ ُوا ٱهَّلل َ َوَأطِ يع
U۟ ِين َءا َم ُن ٓو ۟ا َأطِ يعَ ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱلَّذ
ك َخ ْي ٌر َوَأحْ َسنُ َتْأ ِوياًل َ ِِبٱهَّلل ِ َو ْٱل َي ْو ِم ٱ ْل َءاخ ِِر ۚ ٰ َذل
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(Q.S.An-Nisa:59)
5. Hidup menjadi lebih teratur dan derajatnya ditinggikan oleh Allah SWT
Al-Quran yang merupakan kalam Allah yang juga pedoman hidup kita telah mengajarkan kedisiplinan agar
membuat hidup menjadi lebih teratur.
Sebagaimana firman Allah SWT:
َ وا َوَأن ُت ُم ٱَأْلعْ لَ ْو َن ِإن ُكن ُتم مُّْؤ ِمن
ِين U۟ وا َواَل َتحْ َز ُن
۟ َواَل َت ِه ُن
Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-
orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”(Q.S. Ali Imran:139)
Sebagaimana Sabda rosulullah SAW, dalam sebuah riwayat Imam Malik: “Aku tinggalkan dalam kalangan
kamu dua perkara yang kamu tidak sekali-kali akan sesat selagi kamu berpegang teguh kepada keduanya,
yaitu kitab Allah dan sunnah Rasulullah,”
8. Menjadi pribadi yang mandiri dan tidak bergantung kepada siapapun selain Allah
Kedisiplinan akan mengasah seseorang menjadi pribadi yang jauh lebih mandiri. Disiplin menuntut
seseorang harus terus berjuang dalam mencapai kesuksesan.
Dari Abu Ubaid, hamba Abdurrahman bin Auf. Ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW
bersabda, ‘Sungguh, pikulan seikat kayu bakar di atas punggung salah seorang kamu (lantas dijual) lebih
baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, entah itu diberi atau tidak diberi,’” (HR Bukhari).
Secara kwantitas, kita perlu melakukan banyak kalkulasi ulang. Misalnya tentang shalat wajib lima waktu
secara berjama’ah di masjid; berapa kali kita menjadi ma’mum masbuq? Berapa kali kita luput dari shalat
berjama’ah di masjid? Berapa kali kita mendapatkan shaf pertama, shaf kedua, shaf ketiga dan seterusnya?
Lalu tentang shalat sunnah, misalnya; berapa kali kita luput mengerjakan shalat sunnah rawatib qabliyah
maupun ba’diyah? Sudah rutinkah shalat Dhuha kita di bulan mulia ini? Berapa kali kita tidak menyelesaikan
shalat tarawih dan witir bersama imam di masjid?
Lalu tentang tadarus Al-Qur’an, misalnya; Berapa juz dalam sehari yang bisa kita baca secara rutin? Berapa
kali kita khatam membacanya dalam sebulan ini? Berapa ayat yang kita kaji dan pelajari tafsirnya dalam
sehari?
Tentang shalat, misalnya: Sudah mampukah kita menghadirkan kekhusyu’an dalam shalat-shalat kita? Sudah
mampukah kita mendapatkan shaf-shaf awal dalam shalat berjama’ah di masjid? Sudah mampukah kita
memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, sunnah-sunnah dan adab-adab dalam shalat kita? Sudah mampukah
kita menjaga dzikir dan dosa setelah shalat kita?
Jika diurai satu per satu, niscaya daftarnya akan sangat panjang. Namun itulah sebenarnya yang disebut
dengan muhasabah. Merenungi, meneliti dan mencari-cari kekurangan dari amal-amal yang telah kita kerjakan,
semata-mata demi memperbaiki dan meningkatan amal tersebut pada masa setelahnya, baik secara kwalitas
maupun kwantitas.
Muhasabah setelah beramal adalah sifat mulia kaum beriman. Mereka beramal shalih, namun mereka tidak
merasa bangga, kagum dan sombong dengan amal shalih mereka. Mereka bahkan dilanda oleh kekhawatiran
jika amal yang telah mereka lakukan ditolak oleh Allah Ta’ala. Sebab amal shalih bisa saja ditolak Allah karena
secara lahiriah (ilmu fiqih = ittiba’ sunnah) belum memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, sunnah-sunnah dan
adab-adabnya; atau karena secara bathiniah (faktor niat dan hati) mengandung unsur kesombongan, riya’,
sum’ah, ujub, dan virus-virus perusak amal lainnya.
Jama’ah Sholat tarawih Rochimaqumullah, aku mewasiatkan diriku dan anda untuk bertakwa pada Allah
dan introspeksi diri. Karena dengan muhasabah, maka jiwa akan menjadi istiqamah, sempurna dan bahagia.
Allah Ta'ala berfirman: Alquran surah al-Hasyr ayat 18.
ت لِغَ ٍد َو َّات ُقوا اللَّهَ ِإ َّن اللَّهَ َخبِريٌ مِب َا َت ْع َملُو َن
ْ َّم َّ
ٌ ين َآمنُوا َّات ُقوا اللهَ َولْتَنظُْر َن ْف
َ س َّما قَد
ِ َّ
َ يَا َأيُّ َها الذ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akherat), dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan"
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya: "Firman Allah ت لِ َغ ٍدْ َو ْلتَنظُ رْ نَ ْفسٌ َّما قَ َّد َم , maksudnya
introspeksilah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan perhatikan amalan sholeh yang telah kalian persiapkan
untuk hari kemudian dan pertanggung jawaban di hadapan Allah.
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah ^ bersabda: "Orang yang pandai adalah orang
yang mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk setelah kematian, sedang orang yang lemah adalah orang
yang jiwanya selalu tunduk pada nafsunya dan mengharap pada Allah dengan berbagai angan-angan" (H.R
Ahmad dan Tirmidzi)
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Kitab Az-Zuhd dari Umar bin Khattab bahwa beliau
berkata: "Perhitungkanlah diri kalian sebelum kalian diperhitungkan, timbanglah diri kalian sebelum kalian
ditimbang, karena itu lebih memudahkan penghisaban bagi kalian kelak, Berhiaslah untuk menghadapi hari
perhitungan
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah: Muhasabah ada dua macam, Muhasabah sebelum beramal
dan muhasabah sesudahnya.
* Jenis yang pertama: Sebelum beramal, yaitu dengan berfikir sejenak ketika hendak berbuat sesuatu, dan
jangan langsung mengerjakan sampai nyata baginya kemaslahatan untuk melakukan atau tidaknya. Beliau
berkata: "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berdiam sejenak ketika terdetik dalam fikirannya suatu
hal, jika itu adalah amalan ketaatan pada Allah, maka ia melakukannya, sebaliknya jika bukan, maka ia
tinggalkan".
Introspeksi diri terhadap setiap perbuatan yang mana meninggalkannya adalah lebih baik dari melakukannya.
Introspeksi diri tentang perkara yang mubah atau sudah menjadi kebiasaan, mengapa mesti ia lakukan?
Apakah ia mengharapkan Ridho Allah dan negeri akherat? Sehingga (dengan demikian) ia akan beruntung, atau
ia ingin dunia yang fana? Sehingga iapun merugi dan tidak mendapat keberuntungan.
Dengan bermuhasabah, seorang hamba yang beriman akan memperhitungkan diri sendiri, Apakah
dirinya sudah pantas sebagai hamba Allah SWT yang baik? Apakah amalan-amalannya bernilai dan
diterima/tidak di sisi Allah Ta'ala? Hidup di dunia ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan
untuk mengumpulkan bekal bagi perjalanan di akhirat kelak.
Kedua, muhasabah merupakan tolok ukur keimanan. Artinya, keimanan seorang hamba Allah
ditentukan oleh sejauh mana dia dapat menerapkan muhasabah dalam kehidupannya.
Ketiga, muhasabah merupakan karakteristik seseorang yang bertakwa. Rasanya, tidak mungkin derajat
takwa dapat dicapai oleh orang yang menghindari bermuhasabah. Dengan menghisab diri sendiri,
seseorang dapat sadar diri. Pada akhirnya, dia akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kualitas
amalan-amalan ibadah demi mendapatkan ridha-Nya.
Keempat, muhasabah adalah kunci sukses manusia, baik di dunia maupun akhirat. Dengan
bermuhasabah, ada dorongan dari diri sendiri untuk melakukan yang lebih baik daripada hari kemarin.
Demikian pula, hari esok diproyeksikan lebih baik daripada hari ini. Sebab kita meyakini adanya Hari
Perhitungan (Yaumul Hisab), yakni ketika Allah SWT menunjukkan dan membalas setiap amal baik dan
buruk, sekecil apa pun itu.
mari dipenghujung bulan ramadhan ini yang sebentar lagi akan meninggalkan kita, kita ber Muhasabah
diri, sudah pantaskah kita dengan amalan2 kita ini mendapat predikat dari Allah SWT sbg orang2 yang
bertaqwa setelah menjalani tarbiyah dibulan romadhan.
Mudah2an Allah SWT menerima dan ridho atas Semua amal ibadah kita, melipatgandakan pahalanya,
dan mengampuni segala kesalahan2 kita. Sehingga Allah SWT berkenan memasukkan kita pada derajat
yang Muttaqin.. amin...
PENTINGNYA ILMU
Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam
dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Dan untuk
melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari pengakuan bahwa kita sudah berIslam, itu membutuhkan ilmu.
Seorang Muslim dalam kehidupannya boleh jadi melakukan banyak dosa. Sebagian mereka mungkin
pernah terjatuh dalam perbuatan dosa besar seperti membunuh, berzina, memakan riba, mabuk,
mencuri/merampas harta orang lain, dll.
Meski demikian, Allah SWT sesungguhnya Maha Pengampun bagi siapa saja yang ingin bertobat, tentu
dengan tawbat[an] nashuha (tobat yang sungguh-sungguh), dengan memenuhi sejumlah syarat: memohon
ampunan kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh (dengan banyak ber-istighfar); menyesal dengan
penyesalan yang mendalam; bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan; rela
menerima hukuman (jika terkait dosa besar seperti mencuri, berzina, membunuh, dll); meminta maaf dan
mengembalikan hak (jika terkait dosa kepada-atau melanggar hak-orang lain).
Karena itu, sebetulnya tidak selayaknya seorang Muslim berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah
SWT, karena Allah SWT sendiri berfirman (yang artinya): Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui
batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS az-Zumar
[39]: 53).
Allah SWT pun berfirman (yang artinya): Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu (TQS al-A’raf [7]: 157).
Selain banyak ayat yang serupa, juga terdapat sejumlah hadits yang sejatinya memberikan harapan kepada setiap
Muslim karena begitu luasnya rahmat Allah SWT. Baginda Rasulullah SAW, misalnya, bersabda, “Siapa saja yang
bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka Allah mengharamkan
neraka atas dirinya.” (HR Muslim).
Bagaimana luasnya rahmat Allah SWT juga tersirat dalam sabda Baginda Rasulullah SAW dalam sebuah
hadits qudsi yang berbunyi, “Allah SWT berfirman: “Siapa saja yang datang membawa kebajikan, bagi dirinya
pahala sepuluh kali lipat atau lebih banyak. Siapa saja yang datang membawa keburukan, maka balasan
keburukan itu adalah keburukan yang serupa atau Aku ampuni.” (HR Muslim).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah menjadikan rahmat-Nya menjadi seratus bagian.
Allah menetapkan rahmat itu tetap di sisi-Nya sebanyak 99 bagian dan menurunkan rahmat itu ke bumi satu
bagian saja. Dengan sebab satu bagian itu berbagai makhluk bisa saling menyayangi…”
Dalam riwayat lain dinyatakan, “Sesungguhnya Allah SWT memiliki seratus rahmat. Satu di antaranya diturunkan
di tengah-tengah jin, manusia, binatang…” (HR Mutaffaq ‘alaih).
Dalam hadits lain juga dinyatakan, “Allah SWT memiliki seratus rahmat. Satu rahmat di antaranya
menjadikan berbagai makhluk menyayangi satu sama lain, sementara 99 rahmat (diberikan) pada Hari
Kiamat.” (HR Muslim).
Sebagaimana rahmat Allah SWT begitu luas, demikian pula ampunan-Nya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW
bersabda, “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya. Seandainya kalian tidak berbuat dosa, Allah pasti
melenyapkan kalian, lalu mendatangkan kaum yang lain yang berbuat dosa, kemudian mereka meminta
ampunan kepada Allah, lalu Allah pun mengampuni mereka.” (HR Muslim).
Rasulullah SAW makhluk yang berbuat dosa, lalu mereka memohon ampunan kepada-Nya, kemudian Allah
mengampuni mereka.” (HR Muslim).
Menurut Ibn Malik, hadits ini tidak berarti mendorong manusia untuk berbuat dosa, tetapi untuk
meluaskan dada sebagian sahabat Nabi SAW yang merasa sempit karena begitu besarnya rasa takut mereka akan
dosa-dosa mereka hingga sebagian mereka ada yang lari ke puncak-puncak gunung untuk fokus hanya beribadah
dan sebagian lain menjauhi (tidak mau menikahi) kaum wanita (Muhammad bin ‘Allan, Dalil al-Falihin, II/265).
Intinya, hadits ini menyadarkan kita betapa luasnya ampunan Allah SWT sehingga mendorong kita untuk selalu
berharap ampunan-Nya tanpa harus berputus-asa.
Begitu luasnya ampunan Allah SWT, juga tergambar dalam sabda Baginda Rasulullah SAW yang
berbunyi, “Sesungguhnya Allah senantiasa membentangkan tangan-Nya sepanjang malam untuk mengampuni
para pendosa pada siang harinya; Allah pun membentangkan tangan-Nya sepanjang siang untuk mengampuni
para pendosa pada waktu malamnya; (hal ini berlangsung) hingga matahari terbit dari tempat
terbenamnya.” (HR Muslim).
Karena itu, tak ada alasan bagi siapapun untuk berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah SWT.
Sebaliknya, hendaknya setiap diri kita senantiasa bersungguh-sungguh mengharap rahmat dan ampunan Allah
SWT. Hanya saja, rahmat dan ampunan Allah SWT tentu hanya akan Allah SWT berikan kepada mereka yang
senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah SWT dengan berusaha menjalankan semua perintah-Nyaq dan
menjauhi segala larangan-Nya.