Anda di halaman 1dari 321

http://mtaufiknt.wordpress.

com

Akidah

Syirik; Macam & Bahayanya


َ ‫َّللاَ ََل َي ْغ ِف ُر أ َ ْن يُش َْركَ ِب ِه َو َي ْغ ِف ُر َما د‬
‫ُون ذَ ِلكَ ِل َم ْن َيشَا ُء‬ َّ ‫ِإ َّن‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) syirik dan Dia
mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki”. (An-
Nisa[4]: 48,116).

Definisi

ِ – ُ‫ ش َِركَ – يَش َْرك‬yang berarti: menjadi


Syirk (‫ )شرك‬berasal dari kata ‫شركًا‬
sekutu baginya, memberikan bagian untuknya baik sedikit ataupun
banyak di dalam dzat, atau makna[1].

Syirik memiliki beberapa tingkatan, dan kesemuanya tercela, yakni syirk


al akbar (besar) & syirk al ashghor (kecil). Sedangkan dari sisi apakah
dapat diketahui manusia lain ada syirk adz dzôhir/jâliy (jelas), syirk al
khofy(tersembunyi) [2].

Syirk adz Dzôhir

Syirik yang terjadi dalam perbuatan secara jelas bisa dilihat manusia,
semisal menyembah berhala, menyembelih hewan untuk selain Allah
dll. Ini terkategori juga sebagai syirk al akbar (besar)

Syirk al Khofy

Yakni syirik yang manusia tidak mengetahuinya, karena tersembunyi


dalam hati. Seperti riya’ (pamer) dan sum’ah (ingin didengar org). Riya’
bisa masuk dalam kategori syirik al akbar jika amalnya hanya untuk
manusia, bukan untuk Allah, ia lakukan kalau dilihat manusia, kalau
tidak dilihat maka ia tidak lakukan. Namun jika amalnya untuk Allah
namun ia mengharap juga pujian manusia maka termasuk syirik al
ashghar[3]. Begitu juga bersumpah dengan selain nama Allah adalah
syirik ashghar, tetapi jika yang bersumpahnya itu dengan keyakinan
bahwa yang dia pakai untuk sumpah itu menyamai keagungan Allah
maka ini termasuk syirk al akbar.

Syirik al Akbar

Yakni menjadikan tandingan bagi Allah dalam hal ‘uluhiyyah atau


‘ibadah, inilah yang dimaksud dalam surah An-Nisa[4]: 48,116 diatas,
mengakibatkan pelakunya ke luar dari agama Islam, serta kekal selama-
lamanya dalam neraka bila tidak taubat darinya.

Syirik al Ashghar

Setiap ucapan atau perbuatan yang dinyatakan syirik oleh syara’ tetapi
tidak mengeluarkan dari agama, seperti riya’, yaitu seseorang yang
shalat karena Allah akan tetapi dia menghiasinya/membaguskanya
supaya dilihat manusia, atau seseorang berinfaq untuk taqarub kepada
Allah tetapi dia juga menginginkan pujian manusia.

Syirik ada dalam banyak hal, diantaranya adalah[4]:

1. Syirk al Istiqlâl, yakni menetapkan adanya dua Tuhan atau lebih yg


mereka saling bebas.

2. Syirk at Tab’idh, yakni menetapkan bahwa Tuhan terbagi-bagi.

3. Syirk at Taqrîb, yakni beribadah kepada selain Allah untuk


mendekatkan diri kepada Allah, seperti generasi awal zaman jahiliyyah.

4. Syirk at Taqlid, yakni beribadah kepada selain Allah karena ikut


orang lain.

5. Berhukum dengan selain yg diturunkan Allah dan


menghalalkannya. Karena firman Allah:

ِ‫َّللا‬ ِ ‫ار ُه ْم َو ُر ْه َبانَ ُه ْم أ َ ْربَابًا ِم ْن د‬


َّ ‫ُون‬ َ َ‫ات َّ َخذُوا أَحْ ب‬
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka
sebagai tuhan selain Allah (QS. At Taubah : 31)

Ady bin Hatim berkata:

‫يارسول هللا انهم لم يكونوا يعبدونهم‬

Wahai Rasulullah mereka (nashrany) tidaklah menyembah mereka


(rahib).

Maka Rasul menjawab:

‫اجل ولكن يحلون لهم ما حرم هللا فيستحلونه ويحرمون عليهم ما احل هللا فيحرمونه فتلك‬
‫عبادتهم لهم‬

Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-
apa yang diharamkan Allah maka mereka (nashrany) menghalalkannya,
dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah maka mereka
(nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan mereka
(nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi,
juga diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]

6. Syirk al Aghrôdh, yakni ber’amal untuk selain Allah.

7. Syirk al Asbâb, yakni menyandarkan akibat hanya kepada sebab-


sebab kebiasaan[5].

Bahaya Syirik

Semua jenis syirik diatas adalah haram, syirik pertama sampai kelima
menyebabkan kekufuran pelakunya tanpa ada khilafiyah[6]. Sedangkan
yang ke-6, yakni beramal untuk selain Allah maka merupakan
kemaksiyatan tanpa menyebabkan kekufuran, kecuali kalau berimannya
juga karena manusia. Adapun yang ke-7, jika ia menetapkan bahwa
akibat itu terjadi karena sebab alami (tanpa ketentuan Allah) maka
diceritakan (‫ ) ُح ِكي‬bahwa ijma’ menghukuminya kafir, adapun jika
ditetapkan bahwa Allah telah memberikan kekuatan kepada sebab
tersebut untuk menghasilkan akibat (yang sama sekali terlepas dari
Allah) maka ia fâsiq[7]. Namun ini bukan berarti kita harus
mengabaikan sebab-sebab dalam meraih hasil. Kewajiban kita adalah
seoptimal mungkin melakukan sebab-sebab yang biasanya
mengantarkan kepada hasil, dengan keyakinan dan sandaran bahwa
Allahlah yang memudahkan tercapainya hasil tersebut.

Mewaspadai Syirik Masa Kini

Tanpa bermaksud meninggalkan pembahasan jenis kesyirikan yang


lain[8], jenis kesyirikan ke-5 sekarang tersebar luas, bahkan banyak
yang bangga melaksanakannya. Ketika seseorang sudah tidak mau
berhukum dengan yg diturunkan Allah dan menetapkan bahwa ada
hukum yang lebih baik daripada hukum-Nya, sesungguhnya ia telah
menjadi hamba kepada selain-Nya[9].

Ada yang menjadi hamba hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah:

َ ‫أ َ َرأَيْتَ َم ِن ات َّ َخذَ إِلَ َههُ َه َواهُ أَفَأ َ ْنتَ تَكُو ُن‬


ً ‫علَ ْي ِه َو ِك‬
‫يل‬

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya


sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara
atasnya? (QS. Al Furqan: 43)

Tentang ayat ini Al Hasan berkata:

ُ‫ش ْيئ ًا ِإ ََّل اِتَّبَعَه‬


َ ‫ََل يَه َْوى‬

“ tidaklah mereka menyukai sesuatu melainkan mereka akan


mengikutinya”[10]

Bagi penghamba hawa nafsu, manfa’at dan kesenangan duniawi adalah


tolok ukurnya, sesuatu akan dipandang baik asalkan bermanfaat menurut
pandangannya. Bagi negara yang memakai tolok ukur ini lokalisasi
perjudian, pelacuran, menjamurnya pabrik miras dan pornografi
dianggap hal biasa.
Ada yang menghamba pada suara mayoritas, apa yang sudah menjadi
tradisi masyarakat akan dikatakan sebagai kebaikan. Suara mayoritas
dianggap sebagai suara ‘tuhan’, yang akibatnya justru firman Tuhan
banyak yang dilecehkan, aturan syari’at dipinggirkan hanya karena tidak
didukung suara mayoritas. Inilah yang oleh yahudi Barat disebut dengan
demokrasi.

Syirik apapun jenisnya merupakan musibah besar, musibah yang tidak


hanya mengancam kehidupan dunia, namun juga mencelakakan
pelakunya di kehidupan akhirat kelak. Bukan hanya mengancam
kehidupan muslim, namun juga umat manusia apapun keyakinannya.

Dalam kehidupan dunia, ketika menganggap aturan manusia lebih layak


diterapkan, kita menyaksikan hancurnya peradaban manusia saat ini. Di
Indonesia, jumlah orang stress terus meningkat, 26 juta penduduk
Indonesia menderita gangguan jiwa[11], 2,5 juta tertampung di rumah
sakit jiwa[12], 50 ribu orang Indonesia bunuh diri antara tahun 2005 –
2007, belum termasuk 40 orang tiap hari yg mati akibat overdosis
narkoba[13], jutaan bayi diaborsi tiap tahun, sementara di negeri lain
umat Islam juga masih banyak yang dibunuhi, dilecehkan
kehormatannya, dan dihina keyakinannya. Amerika, saat ini juga
mengalami nasib yg sama, negeri ini tenggelam dalam krisis utang besar
di atas 90% dari PDB[14], utang luar negeri Amerika sudah 13 trilyun
dolar AS[15], (= Rp. 117.000 trilyun, dengan kurs 1 dolar = 9 ribu),
sekitar 60 kali lipat utang Indonesia, kondisi yg lebih parah daripada apa
pun yang negara itu pernah alami sejak era The Great Depression
(malaise, 1930). Departemen Pertanian AS menyatakan bahwa sekitar
50 juta orang Amerika tidak mampu membayar makanan yang cukup di
tahun 2009.

Di akhirat, pelaku syirik jika tidak bertaubat sebelum mati, maka Allah
tidak akan mengampuninya (An-Nisa: 48,116). Dan tiada kecelakaan
yang lebih besar daripada kecelakaan diakhirat.

ِ ‫ض ُع فِي أ َ ْخ َم‬
ُ ‫ص قَ َد َم ْي ِه َج ْم َرةٌ يَ ْغ ِلي ِم ْن َها ِد َما‬
ُ‫غه‬ َ ‫ِإ َّن أ َ ْه َو َن أَ ْه ِل النَّ ِار‬
َ ‫عذَابًا يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة لَ َر ُج ٌل تُو‬
Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah
seseorang yang diletakkan bara di lekukan kedua telapak kakinya yg
otaknya mendidih karenanya (HR. Bukhory)

Hati-Hati Menuduh Syirik

Mengingat besarnya bahaya syirik, dan samarnya sebagian syirik, maka


kita patut berhati-hati, baik dari syirik yg besar yang mengakibatkan
kekal di neraka, maupun syirik kecil yang merusak amal kita.

Kita juga dituntut untuk merubah kemunkaran, dan ini Rasulullah


kaitkan dengan keimanan:

‫ف‬ ْ َ ‫ست َ ِط ْع فَبِقَ ْل ِب ِه َوذَ ِلكَ أ‬


ُ َ‫ضع‬ ْ َ‫سا ِن ِه فَ ِإ ْن لَ ْم ي‬ ْ َ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْنك ًَرا فَ ْليُغَيِ ْرهُ بِيَ ِد ِه فَ ِإ ْن لَ ْم ي‬
َ ‫ست َ ِط ْع فَبِ ِل‬
‫ان‬ ِْ
ِ ‫اْلي َم‬
"Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia
mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu,
hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga,
hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah
iman." (HR. Muslim)

Namun walaupun begitu perlu berhati-hati dalam menuduh orang lain


sebagai pelaku kemusyrikan, kemudian kita terapkan hadits diatas,
karena tuduhan itu bisa kembali kepada penuduh. Hudzaifah r.a berkata:
"Rasulullah SAW bersabda:
َ ،‫سلَ ِم‬
ُ‫غيَّ َره‬ ِ ‫َان ِردْئا ً ِل‬
ْ ‫إل‬ َ ‫ َوك‬،‫علَ ْي ِه‬ َ ُ‫آن َحتَّى إِذَا ُرئِيَتْ َب ْه َجتُه‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم َر ُج ٌل قَ َرأ َ ا ْلقُ ْر‬
َ ‫ف‬ُ ‫إِ َّن َما أَت َ َخ َّو‬
ُ‫ َو َر َماه‬،‫ف‬ ِ ‫س ْي‬َّ ‫َلى َج ِار ِه ِبال‬َ ‫س َعى ع‬ َ ‫ َو‬،‫ظه ِْر ِه‬ َ ‫سلَ َخ ِم ْنهُ َونَ َبذَهُ َو َرا َء‬ َ ‫ فَا ْن‬،ُ‫لى َما شَا َء هللا‬ َ ‫ِإ‬
‫ام ْي‬ َّ ‫ َب ِل‬: ‫ام ْي ؟ قَا َل‬
ِ ‫الر‬ َّ ‫ ا ْل َم ْر ِم ُّي أ َ ِم‬، ‫ش ْر ِك‬
ِ ‫الر‬ َ ‫ أَيُّ ُه َما أ َ ْو‬،ِ‫ َيا نَ ِب َّي هللا‬: ُ‫ قُ ْلت‬،‫ش ْر ِك‬
ِ ‫لى ِبال‬ ِ ‫ِبال‬
"Sesungguhnya sesuatu yang aku takutkan atas kalian adalah seorang
laki-laki yang membaca al-Qur’an, sehingga setelah ia kelihatan indah
karena al-Qur’an dan menjadi penolong agama Islam, ia merubahnya
pada apa yang telah menjadi kehendak Allah. Ia melepaskan dirinya
dari al-Qur’an, melemparnya ke belakang dan menyerang tetangganya
dengan pedang dengan alasan telah syirik." Aku bertanya: "Wahai Nabi
Allah, siapakah di antara keduanya yang lebih berhak menyandang
kesyirikan, yang dituduh syirik atau yang menuduh?" Beliau menjawab:
"Justru orang yang menuduh syirik [yang lebih berhak menyandang
kesyirikan]." (HR. Abu Nu’aim, Al Bazzar dengan sanad hasan, lihat
silsilah ash shahîhah). Allahu A’lam [https://mtaufiknt.wordpress.com]

[1] Bayan asy-Syirk wa Wasailihi, hal 9.

[2] Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaytiyyah, I’anatul Mustafid

[3] Diringkas dari I’anatul Mustafid bi Syarh Kitâbut Tauhid

[4] Diringkas dari Mausûah Al Fiqhiyyah, juz 5 hal 7 dst

[5] Al Kulliyyât li Abil Baqa’ 3/70, Syarh Aqidah At Tahawiyyah h. 85

[6] Al Mausû’ah al Fiqhiyyah, 5/8

[7] Al Kulliyyât li Abil Baqa’ 3/71

[8] Jenis kesyirikan yang lain sudah banyak & sering dibahas

[9] Adapun perbedaan pandangan dalam suatu hukum yg dalilnya tidak


qoth’iy, yang satu menghalalkan yang satu mengharamkan tidaklah
menjadikan salah satunya menjadi kafir.

[10] Al Qurthuby, Al Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’an

[11] Laporan WHO, tahun 2006

[13] http://www.polkam.go.id/polkam/berita.asp?nwid=108 , 16 Maret


2007

[15]
http://internasional.kompas.com/read/2010/10/22/11494356/Muka.Buru
k.Cermin.Dibelah
Perbedaan antara Aqidah dan Hukum Syara’

Aqidah menurut bahasa adalah sesuatu yang diikat (diyakini) dalam hati.
Makna dari sesuatu yang diyakini adalah menetapkannya, atau
membenarkannya secara yakin (pasti). Terminologi ini masih umum
mencakup pembenaran (tashdiq) terhadap segala sesuatu. Selain itu
pembenaran terhadap sesuatu harus melihat pada sesuatu yang akan
dibenarkan. Apabila perkaranya itu pokok atau cabang dari perkara
pokok maka hal itu sah disebut dengan aqidah, karena ia disahkan
dengan mengambil tolok ukur bagi yang lain. Pengaruhnya amat jelas
bagi sebuah pengakuan di dalam hati. Jika sesuatu yang akan dibenarkan
tadi bukan termasuk perkara pokok dan bukan pula sebagai cabang dari
perkara pokok maka ia tidak dapat digolongkan sebagai aqidah, karena
pengakuan hati terhadap perkara itu sama sekali tidak ada pengaruhnya
sedikitpun, sehingga tidak ada fakta dan faedah apapun dalam
meyakininya. Namun, jika pengakuan hati terhadap suatu perkara
mempunyai pengaruh yang dapat mendorong penentuan sikap (arahnya)
berupa pembenaran atau pendustaan, maka hal itu termasuk bagian dari
aqidah.

Aqidah adalah pemikiran (ide) yang bersifat menyeluruh tentang alam


semesta, manusia dan kehidupan, tentang hal-hal yang ada sebelum
kehidupan dunia dan sesudahnya, juga tentang hubungannya antara hal-
hal yang ada sebelumnya dengan hal-hal yang ada sesudahnya. Ini
adalah definisi untuk setiap aqidah termasuk aqidah Islam. Termasuk
dalam definisi aqidah adalah seluruh perkara-perkara ghaib. Iman
kepada Allah, para malaikatNya, seluruh kitabNya, para RasulNya, hari
akhir (kiamat) serta qadla dan qadar, baik dan buruknya dari Allah Swt
adalah aqidah Islam. Iman terhadap (adanya) surga, neraka, malaikat,
syaitan dan lain-lain merupakan bagian dari aqidah Islam. Seluruh
pemikiran dan perkara yang berhubungan dengan pemikiran tersebut,
segala berita dan perkara yang berhubungan dengan berita tersebut,
berupa perkara ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera, semuanya
dianggap sebagai bagian dari aqidah.
Hukum syara’ adalah khitab Syari’ (seruan Allah) yang berhubungan
dengan seluruh perbuatan hamba. Dengan kata lain seluruh pemikiran
yang berhubungan dengan perbuatan manusia, atau berhubungan dengan
sifat-sifatnya yang dapat dianggap sebagai bagian dari perbuatannya.
Misalnya ijarah (sewa-menyewa), baiy’ (jual beli), riba, kafalah
(tanggungan), wakalah (pemberian mandat), shalat, iqamatu khalifah
(mengangkat seorang Khalifah), iqamatu hududullah (menegakkan
segala ketentuan hudud Allah), seorang Khalifah harus beragama Islam,
seorang saksi harus adil, seorang hakim harus laki-laki, dan lain-lain,
semuanya dianggap sebagai bagian dari hukum-hukum syara’.
Sedangkan perkara tauhid, kerasulan, hari kebangkitan, kebenaran
Rasul, kema’shuman Rasul, keberadaan al-Quran sebagai kalamullah,
hari pembalasan, azab dan lain-lain, semuanya merupakan bagian dari
aqidah.

Aqidah adalah seluruh pemikiran yang dibenarkan. Dan hukum syara’


adalah seruan (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan manusia.
Misalnya, dua raka’at shalat fajar merupakan hukum syara’ ditinjau dari
segi shalatnya, sedangkan pembenaran terhadap (shalat subuh) dua
raka’at tersebut dari Allah merupakan aqidah. Dua raka’at sunnat fajar
adalah sebagai shalat sunnat, jika ia tidak melakukannya maka tidak
berdampak apapun terhadapnya, tetapi jika ia melakukannya maka ia
memperoleh pahala. Sama halnya dengan dua raka’at sunnat maghrib
yang ditinjau dari segi hukum syara’. Sedangkan dari sisi aqidah, maka
pembenaran terhadap (shalat) dua raka’at fajar (dari Allah) merupakan
perkara yang pasti dan mengingkarinya dianggap kafir, karena dua
raka’at (shalat) tersebut telah diriwayatkan berdasarkan riwayat yang
mutawatir. Adapun pembenaran terhadap dua raka’at (shalat sunnat)
maghrib maka hal itu termasuk perkara mathlub (dianjurkan), dan
pengingkaran terhadap dua raka’at tersebut tidak dianggap kafir, karena
dua raka’at tadi ditetapkan berdasarkan dalil yang bersifat dzanni, yaitu
khabar ahad. Sebaliknya khabar ahad tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah dalam persoalan aqidah. Potong tangan bagi pencuri merupakan
hukum syara’. Pembenaran terhadap keberadaan hukum tersebut dari
Allah termasuk perkara aqidah. Pengharaman riba adalah hukum syara’.
Dan pembenaran bahwa hukum tersebut dari Allah Swt termasuk
perkara aqidah. Begitulah seterusnya.

Berdasarkan paparan tadi terdapat perbedaan antara aqidah dengan


hukum syara’. Aqidah itu adalah keimanan, dan keimanan adalah
pembenaran yang bersifat pasti yang sesuai dengan fakta berdasarkan
pada dalil yang qath’i. Jadi, yang dibutuhkan disini adalah pasti dan
yakin. Sedangkan hukum syara’ adalah khitab Syari’ (seruan Allah)
yang berhubungan dengan seluruh perbuatan hamba. Yang diminta
disini cukup dengan dzan. Pemahaman pemikiran dan pembenaran
terhadap ada atau tidaknya suatu fakta termasuk perkara aqidah.
Pemahaman pemikiran dan menganggapnya sebagai solusi atau bukan
terhadap suatu perbuatan manusia termasuk ke dalam persoalan hukum
syara’. Untuk menggolongkan suatu pemikiran itu sebagai solusi cukup
dengan dalil dzanni. Sedangkan untuk pembenaran terhadap adanya
fakta sebuah pemikiran harus berdasarkan dalil qath’i. Allahu A’lam.
[terjemah secuil kitab Syakhsiyyah Islamiyyah juz I]
Metode Penetapan Aqidah

Perbedaan pendapat merupakan suatu kemestian dalam kehidupan


manusia. Namun kita perlu berhati ketika menyikapi perbedaan tersebut,
terutama dalam masalah ‘aqidah, yakni dalam masalah pengkafiran, juga
dlm masalah pen-sesat-an. Rasulullah saw bersabda:
ْ ‫الر ُج ُل أخاهُ فق ْد باء ِبها أحد ُ ُهما ِإ ْن كان كما قال و ِإ ََّّل رجع‬
‫ت عل ْي ِه‬ َّ ‫ِإذا كفَّر‬
“Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah
seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran
tersebut, jika benar maka seperti apa yg dikatakan, namun jika tidak
benar maka (tuduhan itu) kembali kepada dia (penuduh)” (HR. Bukhory
dan Muslim).

Imam Muslim juga meriwayatkan: “Siapa yang memanggil seorang


dengan kekufuran (menuduh kufur), atau ‘musuh Allah’, padahal yang
dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.
(HR. Muslim no 93)

Tulisan ini akan membahas tentang makna ‘aqidah dan metode


menetapkan ‘aqidah, sebagian besar merujuk pada kitab, Al Islam,
Aqidah wa Syari’ah, karya Syaikh Al Azhar, Prof. Dr. Mahmud Syaltut
(w. 1963).

Definisi ‘Aqidah

ٌ‫العقيدة هي الجانب النظري الذي يطلب اَليمان به اوَل و قبل كل شيئ ايمانا َل يرقِق اليه شك‬
ٌ‫وَل تؤثِر فيه شبهة‬

“Aqidah ialah segi pandang (keyakinan) yang harus dipercaya lebih


dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan kepercayaan yang
tidak dapat dilemahkan oleh keraguan dan tidak dipengaruhi oleh
kesamaran (syubhat).

Para ahli ushul mensyaratkan bahwa dalam aqidah kepercayaannya


harus sampai derajat al ‘ilmu/al yaqin, yakni keyakinan bahwa sesuatu
adalah demikian, dg keyakinan bahwa tidak mungkin kalau tidak
demikian, sesuai dg fakta dan tidak mungkin berubah[1].

Oleh karena itu, tema pembahasan ‘aqidah yang difahami oleh para ahli
ushul adalah tema yang memisahkan antara Iman dan Kafir tanpa ada
keraguan sedikitpun, dengan kata lain menolak satu perkara ‘aqidah
akan menyebabkan kekafiran.

Metode Penetapan Aqidah[2]

Para ‘ulama telah sepakat, bahwa dalil ‘aqliy akan menghasilkan


keyakinan jika selamat awalnya dan berujung dengan keputusan lewat
penginderaan.

Sedangkan dalil naqliy (penukilan), para ulama yang berpandangan


bahwa dalil naqly menghasilkan keyakinan, dan menjadikannya hujjah
untuk menetapkan masalah ‘aqidah, mereka mensyaratkan adanya
kepastian dalam sumber (qath’iy wurud) dan penunjukkan makna
(dalâlah)nya.

Yang dimaksud qath’iy wurud (pasti sumbernya) adalah bahwa dalil


tersebut pasti berasal dari Rasulullah saw tanpa ada kesamaran (syubhat)
sedikitpun. Dalil naqliy yang bisa memenuhi persyaratan ini hanyalah
dalil-dalil yang diriwayatkan secara mutawatir[3].

Yang dimaksud dengan qath’iy dalalah (kepastian dari sisi maknanya)


adalah bahwa makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut pasti
(muhkam), hanya menunjuk ke satu makna saja, dan tidak membuka
ruang adanya penafsiran atau takwil. Sebagai contoh Firman Allah:

‫لَ ْم يَ ِل ْد َولَ ْم يُولَ ْد‬

Dia (Allah) tidak beranak dan tidak diperanakkan (QS. Al Ikhlas:3).

Karena dalil ini diriwayatkan secara mutawatir (Al Qur’an), dan


penunjukan maknanya juga pasti, maka ini menjadi hujjah dalam
perkara aqidah yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan.
Adapun perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau
sumbernya qath’iy akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan
masih diperdebatkan oleh para ‘ulama, maka perkara-perkara tersebut
tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah yang membawa
implikasi kekufuran atau keimanan. Perkara-perkara semacam ini
banyak jumlahnya, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama.
Sebagai contoh Imam Ibn al-Khathib, dalam tafsirnya menyatakan,
bahwa para ‘ulama berbeda pendapat tentang surga yang dihuni Nabi
Adam dan Hawa. Ia terletak di langit ataukah di bumi? Sekiranya di
terletak di langit, apakah ia surga abadi yang disediakan sebagai balasan
amal? Atau, apakah ia surga yang lain? Abu al-Qasim al-Balkhi dan Abu
Muslim al-Ashbahani berkata, “Surga dihuni Adam ini terletak di
dunia”. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat
lain menyatakan, bahwa surga yang dihuni Nabi Adam as terletak di
langit tujuh. Sedangkan mayoritas ‘ulama berpendapat, bahwa surga
tersebut adalah negeri pembalasan (daar al-jazaa’)[4].

Permasalahan Khabar Ahad

Khabar (hadits) ahad adalah hadits yang tidak sampai kepada derajat
mutawatir. Adapun hadits mutawatir didefinisikan sebagai:

‫خبر عن محسوس رواه عددً ج ًّم يجب في العادة احالة اجتماعهم وتواطءهم على الكذب‬

“Suatu hadits hasil tanggapan panca indra, yang diriwayatkan oleh


sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan sepakat dusta”[5]

Mayoritas ulama ushuliyyin, para muhaditsin, dan imam madzhab yang


tiga (Imam As Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik r.a), Imam
Ahmad dalam satu riwayat, Imam Asnawy dan Imam Bazdawy (w. 482
H), mereka menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan ‘ilm
(kepastian) tetapi menghasilkan dzon, ini juga pendapat Imam Al-
Ghazali, Imam An Nawawy (w. 676 H), As Sarokhsyi (w. +- 490 H),
Khatib Al Baghdady, Ibnu Burhan, Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), Ibnu
Hajar Al Asqalany (w. 852H), Imam As Syairozi (w. 476 H), Imam As
Sam’ani (w. 489 H) [6] dll.

Pendapat yang berbeda dengan itu, yang menyatakan bahwa khabar


ahad “Yufiidul ‘Ilma” (menghasilkan keyakinan)–jika ada indikasi
yang memastikannya–dikemukakan oleh sebagian ahli hadits termasuk
Ibnu Hajar Al-Asqalany (w. 852H) menurut berita yang lain[7], Ibnu
Shalah[8], Ibnu Hazm[9], Ibnu Taimiyah[10], dll.

Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), dalam kitab ‫المسودة في أصول الفقه‬
menyatakan:

‫ هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل‬:‫اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل‬
‫ وهو قول‬،‫ والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم‬:‫دون العلم؟ قال‬
‫الشافعي وجمهور أهل الفقه‬

Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah
mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun
tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian
besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid
(yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah
perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh.

Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam Syarh
Shahih Muslim menyatakan:

… ‫ فم ْن ب ْعد ُه ْم ِم ْن‬، ‫صحابة والتَّا ِب ِعين‬ َّ ‫اخت ُ ِلف فِي ُح ْك ِم ِه ؛ فالَّذِي عل ْي ِه جما ِهير ْال ُم ْس ِل ِمين ِم ْن ال‬
ْ ‫و‬
‫ش ْرعِ ي ْلز ُم ْالعم ُل‬ ِ ‫ أ َّن خبر ْالو‬: ‫صو ِل‬
َّ ‫احد الثِق ِة ُح َّجةٌ ِم ْن ُحججِ ال‬ ُ ُ ‫ب ْاْل‬
ِ ‫صحا‬ْ ‫اء وأ‬ ِ ‫ْال ُمح ِدثِين و ْالفُقه‬
‫الظ َّن وَّل يُ ِفيدُ ْال ِع ْلم‬
َّ ُ ‫ ويُ ِفيد‬، ‫ِبها‬

“… dan dipertentangkan hukum khabarul ahad, pendapat yang


dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan
tabi’iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang datang
setelah para shahabat dan tabi’un adalah: khabar ahad yang tsiqoh
adalah hujjah syar’iy yang wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan
dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan).
As Sarokhsy[11] dalam Kitab Ushul nya menyatakan: “dan khabar ahad
(yg tsiqoh) mewajibkan amal … dan sesungguhnya tidaklah
diKAFIRKAN orang yang mengingkarinya karena dalilnya tidak
mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan wajib beramal dengannya karena dalilnya
mewajibkan untuk di’amalkan…mengingkari khabar ahad (yang tsiqoh)
tanpa dia mendatangkan takwil dihukumi sesat, jika ada takwil atas
pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar
wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.

Penutup

· Aqidah ditetapkan dengan dalil ‘aqli dan dalil naqly yg mutawatir.

· Terjadi ikhtilaf apakah khabar ahad menghasilkan ‘ilmu yaqin atau


tidak

· ‘Aqidah yg dimaksud mayoritas ahli ushul adalah pembatas antara


IMAN dan KAFIR, maka khabar ahad bukan hujjah dalam perkara
aqidah, tidak cukup untuk pembeda IMAN & KAFIR.

· Adapun ‘ulama yg menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam


perkara “‘aqidah”, sebenarnya “aqidah” yg mereka maksud bukanlah
‘aqidah seperti yg dibahas para ahli ushul. Mereka memahami aqidah
TIDAK MESTI JADI PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR, hal
ini jelas terlihat ketika mereka menyalahkan aqidah Al Hafidz Ibnu
Hajar Al Asqalani (w. 852 H), pihak ini tidak mengkafirkannya[12],
mereka juga menyalahkan aqidahnya Imam An Nawawi (w. 676 H)
dalam hal Asma’ was Shifat tanpa mengkafirkan beliau[13], juga
menyalahkan aqidahnya al Hafidz al Baihaqi (wafat 458 H) juga tanpa
mengkafirkannya[14].

· Khabar ahad yg tsiqoh harus diamalkan dan dibenarkan dg tingkat


kepercayaan yg tidak cukup menjadi hujjah untuk menyatakan kekafiran
seseorang. Allahu A’lam
[1] Al Jurjâni (w. 816 H), At Ta’rîfât

[2] Diambil dari bab Thorîqu Tsubûtil Aqidah dalam kitab Syaikh
Mahmud Syalthut, Islam ‘Aqidah wa Syari’ah

[3] Mahmud Syalthut, Idem, hal 35

[4] Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, al-Thariq Ila al-Jannah, ed.II, 1987,
Daar al-Jiil, Beirut, Libanon

[5] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, hal 78

[6] Mahmud Syaltut , idem, Hal 63 – 64

[7] Ahmad Syakir, Al Bahitsul Hadits, hal. 33-34

[8] As Suyuthy (wafat 911 H), Tadribur Rawy, Jld I, Hal. 105-106

[9] Al Amidy, Al Ahkam Fii Ushulil Ahkaam, Jld. I hal. 322, 332, 339

[10] Ibnu Taimiyyah, Al Fatâwâ, jld XVIII, hal : 41

[11] Pada masanya digelari al-Imam al-Ajall az-Zahid Syams al-


A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam),
Wafat +- 490 H

[12] Mereka menulis kitab At Tanbih ‘Ala Mukholafaatil Aqdiyyah Fi


Fathil Baariy (= peringatan atas penyimpangan aqidah dalam fathul
bari), yang ditulis oleh Syaikh Bin Baz, Syaikh Shalih Fauzan, dkk.

[13] sebagian mereka akhirnya menyatakan imam an Nawawi pada


akhirnya juga ‘tobat’ sehingga aqidahnya menjadi sama dengan aqidah
mereka.

[14]
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=833&bagian=0
Kedudukan Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah

Diskusi tentang khabar ahad apakah yufiidul ‘ilma (berfaedah


‘ilmu/yaqin) atau yufiidu adz dzon (berfaedah dzon/dugaan) sehingga
bisa diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah atau tidak, sebetulnya
merupakan perkara klasik yang memang terdapat perbedaan para ulama
dalam menyikapinya. Namun dikarenakan adanya kekaburan pada
sebagian kaum muslimin sehingga akhirnya mereka menyalahkan -
bahkan menganggap sesat- orang yang berbeda pendapat dengannya,
maka hal ini perlu kita kaji kembali. Pertanyaan-pertanyaan yang harus
terjawab dan dipahami dalam membahas tema ini antara lain:

1. Apa yang dimaksud dengan aqidah dan Iman?

2. Apa yang dimaksud dengan khabar ahad?

3. Apakah khabar ahad menghasilkan kepastian atau hanya dzan?

4. Bolehkah aqidah dibangun diatas hal yang dzanniy (tidak pasti)?

Tulisan ini berusaha menjelaskan hal-hal tersebut (insya Allah tidak


bermaksud fanatis terhadap salah satu pendapat saja dan menyatakan
pendapat yang lain sesat), semoga dapat memberikan pencerahan bagi
umat ini dalam menggalang persatuan mewujudkan cita-cita tegaknya
kalimatullah di muka bumi ini.

1. Pengertian Aqidah

Menurut Istilah, ‫( عقيده‬jamaknya, ‫ )عقا ئد‬memiliki beberapa rumusan yang


diajukan oleh beberapa ulama, diantaranya :

a. Syeikh Mahmud Syaltut

‫العقيده هي الجانب النظري الذي يطلب اَل يمان به اوَل وقبل كل شيئ ايما نا َل ير قق اليه شك‬
‫وَل تؤ ثر فيه شبهة‬
“Aqidah ialah segi pandang (keyakinan) yang harus dipercaya lebih
dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan kepercayaan yang
tidak dapat dilemahkan oleh keraguan dan tidak dipengaruhi oleh
kesamaran (syubhat) “[1]

b. Thahir Ibnu Shalih Al Jazairy mengatakan :

‫العقيدة اْلسلمية هي اَل مور التى يعتقد ها اهل اْل سلم ان يجزمون بمحتها‬

“Aqidah Islamiyah ialah sejumlah perkara yang diyakini kebenarannya


oleh umat Islam bahwa mereka memastikan dengan kuat (akan
kebenarannya)”[2]

c. Al Jurjani

‫ ما يقصد فيه نفس اَلعتقاد دون العمل‬: ‫العقاعد‬

Al aqaa’id : apa-apa yang dimaksud didalamnya adalah i’tiqad


(keyakinan) itu sendiri bukan amal /perbuatan[3].

Jadi meskipun dengan redaksi yang berbeda, pada dasarnya aqidah


Islamiyah ialah mempercayai dengan kepercayaan yang pasti akan
benarnya sejumlah perkara pokok

2. Pengertian Iman

Ada beberapa definisi Iman yang kesemuanya memiliki satu makna,


antara lain:

1. Hadits Riwayat Muslim dari Umar Ibnu Khattab ra.

… ‫ أن تؤمن باهلل ومل ئكته وكتبه ورسوله واليوم الخر وتؤمن‬: ‫ قال‬,‫فأخبرني عن اْليمان‬
‫بالقدر خيره وشره‬.

“Maka Kabarkanlah kepadaku tentang iman ? maka jawab Rasulullah :


(Iman Itu) ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-malaikatnya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari akhirat dan percaya kepada
qadar (kepastian Allah) yang baik dan yang buruk”.
2. Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Thabrani dari Ali ra.

‫اْليمان معرفة بالقلب وقول باللسان وعمل باألركان‬

“Iman itu adalah ma’rifat (mengenal dengan yakin) dalam hati dan
ucapan pengakuan dengan lisan serta mengamalkan segala rukunnya”.

3. Syekh Mahmud Syaltut

‫واْليمان هو اْلعتقاد الجازم المطابق للواقع عن دليل‬

“iman adalah I’tiqaad yang bersifat pasti yang sesuai dengan kenyataan
(yang di’Itiqodkan) yang muncul dari dalil” [4]

Jadi IMAN bukanlah sekedar pembenaran hati belaka; pembenaran itu


harus bersifat pasti, tanpa ada keraguan sedikitpun, dan melahirkan
ketundukan atau bukti yang nyata yang diwujudkan dalam amal-amal
shalih dan meninggalkan larangan Allah.

Sekali lagi, tentang masalah pendefinisian ini juga ada perbedaan sudut
pandang, kalau pakai hadits 1, maka kesimpulannya adalah seperti
definisi dari Syekh Mahmud Syaltut, sedangkan ada yang
mendefinisikan mutlak seperti riwayat ke-2. Namun ini hanya masalah
definisi, yang intinya –baik yang pertama maupun ke – 2, iman itu tetap
mewajibkan amal, amal adalah konsekuensi iman, dan amal akan
memperkuat pengaruh iman pada diri seseorang.

Dalam hal ini, sangat menyedihkan ketika sebagian orang mengatakan


pendapat lain sesat, kafir, jahmiyah, bahkan murji’ah dan zindiqah
hanya gara-gara masalah definisi, tanpa melihat kandungan makna apa
yang dimaksudkan oleh yang membuat definisi.

Ini juga menimpa imam Abu Hanifah yang dituduh murji’ah bahkan
zindiq gara-gara mengeluarkan ‘amal dari definisi iman, dan
menyatakan iman tidak bertambah dan berkurang. Salah satu ‘ulama
ahlul hadits yang membantah Abu Hanifah ini adalah Al Hafidz
Abdullah Bin Muhammad Bin Abi Syaibah Al Kufi (wafat pada tahun
235 H), terkenal dengan karyanya yang berjudul “Mushonnaf Ibnu Abi
Syaibah” dimana didalam karya tersebut beliau mengkritik Al Imam Al
Hanafi dengan kritikan tajam dalam satu bab khusus dengan judul
Kitabu Roddi ‘Ala Abi Hanifah (kumpulan bab-bab yang berisi tentang
bantahan terhadap Abu Hanifah). Kemudian Ibnu Abi Syaibah
menambahkan dalam sub judulnya “Ini adalah keterangan tentang
perkara dimana Abu Hanifah telah menyelisihi sunnah Nabi”. Juga Al
Hafidz Abu Bakr Ahmad Bin ‘Ali Al Khotib Al Baghdady (wafat pada
tahun 463 H). Dalam kitab karya beliau berjudul “Tarikh Baghdad” jilid
13, beliau membawakan riwayat hidup Imam Hanafi dan sekaligus
kritikan-kritikan tajam yang beliau sampaikan tentang penyimpangan-
penyimpangan Abu Hanifah. Abdullah Bin Ahmad Bin Hambal (putra
Imam Hambali) juga menulis dalam kitab beliau “As Sunnah” dengan
judul “Bantahan Terhadap Murji’ah”, padanya Imam Abdullah Bin
Ahmad Bin Hambal membawakan riwayat-riwayat kritikan para Ulama
terhadap Imam Hanafi dalam penyimpangannya tentang pemahaman
murji’ah ini.

Padahal ini adalah kesalahpahaman dalam memahami pendapat imam


Abu Hanifah, maksud perkataan Imam Abu Hanifah bahwa iman tidak
bertambah dan berkurang adalah dari segi banyaknya perkara yg
diimaninya, namun bertambah serta berkurang dari segi keyakinannnya.
Dan saya rasa semuanya akan sepakat dengan ini, karena kalau iman
berkurang, misalnya berkurang dengan tidak mengimani hari akhir saja
maka tidak akan disebut ber iman.(Syarah Fiqh Akbar Li Abi Hanifah).

Saya rasa kalau kita hanya memaksakan pendapat kita saja, tanpa
melihat bagaimana pendapat ‘ulama yang lain, hal inilah yang diidam
idamkan musuh Islam, dan ini merupakan strategi mereka untuk
memecah belah umat Islam, dengan atau tanpa kita sadari, kita telah
masuk dalam strategi Cheryl Benard dari Rand Corporation dalam
tulisannya: Civil Democratic Islam, Partners, Resources And Strategies.
3. Hubungan Pengertian Aqidah dan Iman

Menurut Mahmud Syaltut, Aqidah sama pengertiannya dengan iman.


Kalau aqidah mempunyai arti mempercayai sejumlah perkara yang
diyakini kebenarannya, yaitu perkara yang bertalian dengan ilaahiyah,
an-nubuwah, ar-ruhaaniyat dan sam’iyyat, sedangkan iman mempunyai
rukun-rukunnya yang enam (Arkaanul Iman) yang juga harus yakin
kebenarannya. Maka inti pengertiannya adalah sama.

Jadi perbedaannya hanya terletak pada Istilah dan sebutan. Yakni aqidah
adalah istilah dan sebutan yang dipergunakan oleh ulama Ushuluddin;
sedangkan Al-Qur’an menyebutnya dan mempergunakan kata iman.

‫وقد عبر القران عن العقيدة )باْليمان( وعن الشريعة )بالعمل الصالح‬

“Dan Al-qur’an telah menyebut aqidah dengan iman dan syari’at


dengan amal sholeh”[5]

4. Pengertian Khabar (Hadits) Ahad

Berdasarkan sanad (jalan sampainya hadits dari nabi ke penulisnya),


hadits dibagi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Berikut ini
beberapa definisi hadits mutawatir :

‫خبر عن محسوس رواه عد ًد ج ًّم يجب في العادة احالة اجتماعهم وتواطءهم على الكذب‬

“Suatu hadits hasil tanggapan panca indra, yang diriwayatkan oleh


sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan sepakat dusta”[6]

‫المتواتر هو خبر جماعة يفيد بنفسه العل َم بصدقه َلستحالة تَوافُقهم على الكذب‬

“(Khabar) mutawatir adalah khabar jama’ah (diriwayatkan dari


jama’ah ke jama’ah) yang dengannya mendatangkan kepastian (al ‘ilm)
tentang kebenarannya karena kemustahilan mereka bersepakat untuk
dusta”[7]
Kemudian para ahli hadits sepakat memberi istilah kepada hadits/khabar
yang tidak sampai kepada derajat mutawatir dengan sebutan
hadits/khabar ahad.

Jadi tema pembahasan khabar mutawatir dan ahad hanyalah: apakah


berita/khabar yang sampai kepada penulis hadits bisa dipastikan
bersumber dari Rasulullah SAW ataukah tidak dengan melihat jumlah
perowi di setiap tingkatan dan kemustahilan mereka bersepakat untuk
dusta.

5. Kehujjahan Khabar Ahad

Jumhur ulama ushuliyyin, para muhaditsin, dan imam madzhab yang


tiga (Syafi’i, Abu Hanifah dan Malik ra) serta imam Ahmad dalam satu
riwayat, Imam Asnawy dan Imam Bazdawy[8] menyatakan bahwa
khabar ahad tidak menghasilkan ‘ilm (kepastian) tetapi menghasilkan
“dzon”, dan beberapa ulama yang berpendapat seperti ini, Yaitu : Imam
Al-Ghazali, An Nawawy, As Sarkhasy, Khatib Al Baghdady, Ibnu
Burhan, Ibnu Abdil Barri, Ibnu Hajar Al Asqalany, Imam As Syairozi[9]
Imam As Sam’ani[10] dari kalangan ulama terdahulu; Al Qasimy dari
kalangan ulama kemudian[11].

Imamul Haramain Al Juwaini dari mazhab Syafi’i juga menulis dalam


kitabnya bahwa khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan/’ilm dalam
hal pokok[12]. Namun menghasilkan “kepastian dalam hal ‘amal”,
dengan kata lain khabar ahad yang shahih wajib diambil untuk
diamalkan.

Pendapat yang berbeda dengan itu, yang menyatakan bahwa khabar ahad
“Yufiidul ‘Ilma” (menghasilkan keyakinan)–jika ada indikasi yang
memastikannya–dikemukakan oleh sebagian ahli hadits termasuk Ibnu
Hajar Al-Asqalany (menurut berita yang lain)[13] dan Ibnu Shalah[14],
beberapa ulama besar lain, seperti Imam Dawud dan Ibnu Hazm[15],
Ibnu Taimiyah[16], dan lain-lain.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengklaim bahwa jumhur ulama
menyepakati bahwa khabar ahad mendatangkan “ilmu/kepastian”, beliau
mengatakan :

“ Adapun khabar wahid dapat mendatangkan ‘”ilmu/kepastian”,


menurut jumhur ulama dari ashab Hanafiah, Maliki, Syafi’iy, dan
Ahmad bin Hanbal. Pendapat itu juga merupakan pendapat mayoritas
ashab Asy’ary, walaupun sesungguhnya pada essensinya, hadits ahad
itu sendiri tidak memberi arti melainkan “dzon”. Tetapi manakala
hadits itu dibarengi dengan kesepakatan Ahli Ilmu dibidang Hadits[17]
tentang rangkaiannya dengan tashdiq (hadits yang menguatkan atau
membenarkan) maka khabar wahid itu berkedudukan sama seperti
halnya kesepakatan ahli ilmu dibidang Fiqh atas suatu hukum; mereka
berpegang kepada hukum tersebut menjadi qath’iy menurut para
jumhur. Dan jika keadaannya tidak disepakati oleh para ulama, maka
khabar wahid itu tidak menjadi qath’iy[18]

Kalau kita rujuk tulisan Ibnu Hajar Al Asqalani sendiri, sebetulnya


beliau malah membagi al ‘ilm /kepastian/keyakinan menjadi “‘ilmu
haqiqi/dharuri” (kepastian yang langsung bisa diterima karena sangat
jelas) dan “‘ilmu nadzari” (kepastian teoritis)[19], beliau tidak
mengatakan khabar ahad bisa menghasilkan ‘ilmu dharuri’, beliau hanya
menyatakan bahwa khabar ahad bisa menghasilkan ‘ilmu nadhari’,
itupun kalau didukung indikasi/qarinah lain yang menjamin
kepastiannya. Jadi pada esensinya khabar ahad itu sendiri –tanpa
indikasi lain[20]– tidak menghasilkan keyakinan (al ‘Ilm)

Dari semua hal diatas, sebetulnya dapat kita tarik benang merah
(kesimpulan saya) bahwa tidak ada pendapat yang mengatakan khabar
ahad bisa menghasilkan kepastian/ al ‘ilm, pendapat yang sering di
klaim bahwa khabar ahad menghasilkan kepastian/al ‘ilm sebetulnya
mengatakan bahwa khabar ahad akan mendatangkan kepastian jika
memang ada indikasi yang memastikannya, sehingga kalau demikian
maka pembahasannya bukanlah khabar ahad itu sendiri, tetapi
pembahasannya beralih pada indikasi/qarinah yang digunakan—
sejauhmana bisa menghasilkan kepastian.

Meskipun khabar ahad tidak menghasilkan al ‘ilm, namun khabar ahad


yang maqbul wajib digunakan sebagai hujjah untuk diamalkan.
Musthafa As Siba’iy menyatakan :

“Adapun khabar ahad, maka jumhur ulama menetapkan bahwa khabar


ahad itu hujjah yang mewajibkan untuk diambil/diamalkan meskipun ia
menghasilkan dzon.[21]

Jadi sangat aneh, kalau ada sebagian kaum muslim yang dengan gegabah
dan prematur telah menyesatkan sekelompok kaum muslim yang
berpendapat bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam
perkara ‘aqidah. Padahal pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad
tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan adalah pendapat
terkuat yang dipilih oleh jumhur ‘ulama. Walaupun disana juga ada
‘Ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan.

6. Bolehkah Aqidah dibangun Diatas Dalil Yang Dzanny?

Dari pendefinisian aqidah oleh para ahli ushuluddin, dengan mudah


dapat diketahui bahwa ‘aqidah Islam (masalah pokok/rukunnya)
menuntut suatu pembenaran yang bersifat pasti, dan kepastian tidak akan
diperoleh kecuali jika dalil yang digunakan juga pasti.

Banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an berkenaan dengan masalah aqidah


yang melarang manusia mengikuti “dzon” dalam beriman[22], atau
mengikuti sesuatu tanpa “ilmu” dan “burhan” Jadi aqidah hanya
didasarkan pada dalil yang sifatnya “Qath’iyyul wurud” (pasti
sumbernya) dan “Qath’iyyud Dalaalah” (pasti penunjukan maknanya).

Allah SWT berfirman :

‫ ومالـهم به من علم أن يتبعون اَل‬.‫ان الذين َليؤمنون باَلخرة ليسمون الملئكة تسمية اَلنـثى‬
‫الظن وان الظن َليغن من الحق شيئا‬
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada
kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu
dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu
pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran” (QS An Najm : 27-28)

Dalam surat yang lain Allah juga berfirman yang artinya :“Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk
mencapai kebenaran” (QS Yunus (10) : 36) (Lihat juga An Najm : 23,
Al An’am : 116, Yunus : 66, Shaad : 27, Al Jaatsiyah : 32, Fushilat : 22-
23, Al Jin : 7, Al Baqarah : 78. dst)

Ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya larangan mengikuti “dzon”


dalam masalah aqidah. Jelas sekali semua ayat itu berkaitan dengan
masalah aqidah. Meskipun asbabun nuzulnya bukan ditujukan kepada
orang-orang mukmin, tetapi perlu diingat bahwa makna suatu ayat tidak
dipersempit berdasarkan sebab turunnya ayat, karena menurut kaidah
ushul :

‫العبرة بـعموم اللفظ َل بـخصوص السبب‬

“‘Ibrah (pengertian/pelajaran) itu diambil berdasarkan umumnya


lafadz, bukan berdasarkan khususnya sebab (latar belakang turunnya
ayat) “

Jadi dalil-dalil untuk masalah aqidah harus bersifat Qath’iy dan dapat
memberikan keyakinan. Allah telah melarang hamba-Nya untuk
mengikuti bukti-bukti atau dalil –dalam bidang ushul aqidah– yang tidak
bersifat Qath’iy atau mengandung unsur “dzon”.

Menurut arti bahasa (lughawiy) makna “dzon” adalah :[23]

“Adz-dzon adalah adanya dua hal yang kedua-duanya mungkin, serta


mengunggulkan salah satu diantara keduanya. Dan dzon itu adalah
untuk membedakan arti kata syak (ragu) yang mempunyai kedudukan
sama antara dua kemungkinan itu “

“Adz dzon ialah nama atau istilah bagi suatu perkara yang dihasilkan
dari ciri-ciri/tanda-tanda yang mendukungnya. Manakala ciri yang
mendukung itu kuat ia akan sampai pada ilmu atau keyakinan. Dan
manakala ciri-ciri itu sangat lemah maka ia tidak akan melampaui batas
dugaan”.

7. Sikap Shahabat Tentang Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah

Para sahabat dengan tegas telah menolak khabar ahad sebagai


hujjah/dalil masalah aqidah, contoh paling nyata adalah dalam hal
pengumpulan Al Qur’an- dimana kita maklumi bahwa iman pada Al
Qur’an adalah bagian dari aqidah- para sahabat hanya menganggap dan
menulis khabar mutawatir saja yang wajib kita yakini sebagai ayat-ayat
Al Qur’an dan disini tidak ada pertentangan ‘ulama, sebagaimana juga
ditulis oleh Al Hafidz Ibnu Katsir, dalam Tafsirnya 1/389, Maktabah
Syamilah:

‫وأما إن روي على أنه قرآن فإنه لم يتواتر فل يثبت بمثل خبر الواحد قرآن ولهذا لم يثبته أمير‬
‫المؤمنين عثمان بن عفان رضي هللا عنه في المصحف وَل قرأ بذلك أحد من القراء الذين تثبت‬
‫الحجة بقراءتهم َل من السبعة وَل من غيرهم‬

“adapun jika diriwayatkan bahwasanya ia adalah al Qur’an, maka


sesungguhnya (jika) ia tidak mutawatir maka tidak ditetapkan
bahwasanya ia al Qur’an dengan khabar wahid (ahad) seperti ini, oleh
karena itu amiirul mukminin ‘Utsman bin ‘Affan r.a tidak
menetapkannya dalam mushaf dan tidak membaca (al qur’an)
dengannya seorangpun dari para qari’ yang tsabit hujjah atas
qira’ahnya, tidak dari qira’ah sab’ah dan tidak dari selain mereka”

Tidak bisa kita katakan bahwa hal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan
karena yang kita bahas adalah hadits, bukan Al Qur’an[24]. Tidak bisa
dikatakan begitu karena sebetulnya tema yang kita bahas bukanlah
hadits, melainkan AQIDAH, DARI SEGI APAKAH BOLEH
DIDASARKAN PADA DALIL YANG DZONNY ATAU TIDAK?,
sedangkan keyakinan terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah bagian dari
aqidah, dan ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan
mutawatir, jadi temanya adalah sama.

Banyak khabar ahad yang shahih yang menyatakan bahwa khabar itu
adalah ayat Al Qur’an, namun sahabat tidak mencantumkannya dalam
Al Qur’an dikarenakan itu khabar ahad.

Sebagai contoh dalam Al Qur’an surat Al Lail menurut khabar


mutawatir berbunyi:

‫(و َما َخ َلقَ الذَّك ََر َو ْاأل ُ ْنثَى‬


َ 2)‫(والنَّ َه ِار ِإذَا ت َ َجلَّى‬
َ 1)‫َواللَّ ْي ِل ِإذَا يَ ْغشَى‬
Tetapi dalam sebuah hadits ahad :

‫وحدثن ا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب واللفظ ألبي بكر قاَل حدثنا أبو معاوية عن األعمش‬
‫عن إبراهيم عن علقمة قال قدمنا الشام فأتانا أبو الدرداء فقال أفيكم أحد يقرأ علي قراءة عبد‬
‫هللا فقلت نعم أنا قال فكيف سمعت عبد هللا يقرأ هذه اآلية والليل إذا يغشى قال سمعته يقرأ‬
‫)والليل إذا يغشى والذكر واألنثى( قال وأنا وهللا هكذا سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫يقرؤها‬

“Telah berkata kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah… aku(Al qamah)
mendengar Abdullah membaca nya (surat Al Lail) dengan bacaan :

‫ …والليل إذا يغشى والذكر واْلنثى‬demi Allah demikianlah aku mendengar


Rasulullah membacanya…[25]

Jadi walaupun hadits ini shahih, tidak bisa dijadikan dalil bahwa bunyi
surat al lail adalah ‫والليل إذا يغشى والذكر واْلنثى‬. Begitu juga ada riwayat
ahad yang shahih yang mengatakan bahwa An Naas dan Al Falaq
bukanlah surat dalam Al Qur’an. Riwayat lain mengatakan bahwa
hukum rajam ada dalam Al Qur’an (padahal tidak ada ayat yang
mutawatir yang mewajibkan hukum rajam). Namun karena keberadaan
riwayat hukum rajam ini shahih tetap wajib di amalkan, walaupun tidak
boleh di’itiqadkan sebagai ayat dari Al Qur’an.
Kalau kabar ahad dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tentunya harus
juga diyakini bahwa ayat –ayat Al Qur’an ada yang kurang atau
kelebihan, dan ini adalah mustahil. Akibat lainnya kita menyatakan
aqidahnya Siti Aisyah berbeda dengan Ibnu Umar (kalau aqidahnya
berbeda lantas siapa yang kafir? karena mereka berdua beda pendapat
dalam hal apakah mayat disiksa karena ratapan keluarganya). Jadi
pendapat yang kami ambil, khabar ahad berfaedah dlon dan tidak bisa
jadi dalil dalam masalah aqidah (untuk mengkafirkan orang lain).
Adapun dalam masalah hukum tidak ada perbedaan pendapat bahwa
khabar ahad wajib dijadikan dalil kalau khabar tersebut maqbul.

8. Khatimah

Masalah hadits ahad, apakah dapat menjadi dalil dalam aqidah atau
tidak, memang telah menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama-
ulama besar sejak zaman dahulu. Mereka telah mencurahkan segenap
kemampuan dan keikhlasan untuk berpendapat. Walaupun untuk
masalah Al Qur’an mereka bersepakat, namun mereka tidak bersepakat
dalam pernik-pernik lain dalam masalah ini hingga sekarang. Oleh
karena itu, kaum muslimin boleh saja mengikuti salah satu pendapat,
tentu saja dengan memperhatikan kekuatan hujjah dan dalilnya,
semuanya tetap muslim dan bersaudara. Allahu a’lam

Beberapa Syubhat

1. Ada yang mengatakan bahwa “Kalau anda mengatakan aqidah tidak


bisa dibangan kecuali dengan khabar mutawatir, kenapa anda tidak
mengajak kawan-kawan anda dalam tablig ini sehingga khabarnya
menjadi mutawatir?” Ini adalah pertanyaan yang salah kaprah yang
bertentangan dengan Ilmu Musthalahul Hadits, karena sekarang bukan
masa pentadwinan hadits lagi, dengan kata lain walaupun kita
menyampaikan hadits, kita bukanlah terhitung sebagai perawi hadits,
jadi khabar ahad jika disampaikan beramai-ramai juga tetap khabar-ahad
namanya. Begitu pula ayat Al Qur’an walaupun disampaikan hanya oleh
satu orang masih tetap khabar mutawatir namanya.
2. Ada yang mengatakan “Kenapa di amalkan apa yang tidak di
‘itiqadkan, bukankah ini munafik?”, Ini juga tidak berbeda dengan
pernyataan pertama. Dalam Islam aqidah berbeda dengan syari’ah
(walaupun tidak bisa dipisahkan). Dalam aqidah yang dituntut adalah
kepastian/keyakinan, dalam syari’ah yang dituntut adalah ‘amal. Oleh
karena itu para ‘ulama (kecuali ingkar sunnah) sepakat bahwa khabar
ahad -walaupun hanya menghasilkan dzan- dapat digunakan sebagai
dalil dalam masalah amal. Jika ‘amal = ‘itiqad ada satu pertanyaan yang
harus dijawab : si A harus meng i’tiqadkan bahwa batal wudlunya
karena menyentuh wanita, si B ber i’tiqad bahwa tidak batal wudlunya
karena menyentuh wanita. Bukankah kalau ini masalah ‘itiqad berarti
i’tiqad si A dengan si B berbeda, dengan kata lain si A dan si B
aqidahnya berbeda sehingga kalau aqidahnya berbeda, salah satunya ada
yang kafir?

3. Tidak menjadikan ‘itiqad berarti tidak percaya, ini juga ungkapan


yang tidak pas, karena pembenaran itu bermacam-macam tingkatannya.
Ada istilah syak (‫ )الشك‬yang berarti pembenaran tetapi masih ragu-ragu,
ada al wahm (‫ )الوهم‬yang berarti pembenaran yang lebih lemah dari syak,
ada dzan )‫[(الظن‬26] yang berarti pembenaran yang kuat karena ada bukti,
alasan dan indikasi yang membenarkannya, tapi belum sampai derajat
pasti, kalau bukti itu sampai derajat pasti maka disebut al ‘ilm atau al
yaqin (‫)العلم – اليقين‬, yang berarti pembenaran yang pasti bahwa sesuatu
adalah begitu dan tidak mungkin tidak begitu. Perhatikan surah An Nisa
: 157:

‫صلَبُوهُ َولَ ِك ْن شُبِ َه‬ َ ‫َّللاِ َو َما قَتَلُوهُ َو َما‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سى ا ْب َن َم ْريَ َم َر‬ َ ‫َوقَ ْو ِل ِه ْم إِنَّا قَت َ ْلنَا ا ْل َمسِي َح ِعي‬
‫ظ ِن َو َما قَتَلُوهُ يَ ِقينًا‬َّ ‫ع ال‬
َ ‫اختَلَفُوا فِي ِه لَ ِفي ش ٍَّك ِم ْنهُ َما لَ ُه ْم ِب ِه ِم ْن ِع ْل ٍّم ِإ ََّل ِاتبَا‬ َ ‫لَ ُه ْم َو ِإ َّن الَّذ‬
ْ ‫ِين‬

dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh Al


Masih, `Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh
ialah) orang yang diserupakan dengan `Isa bagi mereka. Sesungguhnya
orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-
benar dalam keragu-raguan (‫ )ل ِفي شك‬tentang yang dibunuh itu. Mereka
tidak mempunyai keyakinan (‫ )ما ل ُه ْم ِب ِه ِم ْن ِع ْلم‬tentang siapa yang dibunuh
itu, kecuali mengikuti persangkaan (‫الظ ِن‬ َّ ‫ ) اتِباع‬belaka, mereka tidak
(pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa.

Yang menimbulkan keraguan (syak) pada mereka adalah mereka


kehilangan satu orang yang mereka kepung dan tangkap, sehingga ada
kemungkinan yang tidak tertangkap itu adalah Isa. Kemudian mereka
punya bukti/alasan kuat bahwa orang yang mereka salib adalah Isa
karena wajahnya persis wajah Isa, dan karena wajah seseorang
hampir bisa dipastikan tidak akan berubah jauh, maka mereka menduga
kuat/hampir memastikan bahwa yang mereka salib adalah Isa. (Al
Qur’an menyebut ini dengan (dzan). Namun mereka masih tidak bisa
memastikannya karena walaupun wajahnya wajah Isa tetapi tubuhnya
bukan tubuh Isa, ditambah lagi ada satu orang yang tidak bisa mereka
tangkap[27].

[1] Mahmud Syaltut, Islam, ‘aqidah wa syariah, hal. 11

[2] Thahir Ibnu Shalih Al Jazairy, Al Jawahiru Al Kalamiyah, hal . 2

[3] Ali bin Muhammad bin Ali Al Jurjani (wafat 816 H), At Ta’riifaat,
hal 196 (maaf sebelumnya tertulis at ta’aarif, itu kitabnya al Manawy)

[4] Mahmud Syaltut , idem, Hal 56

[5] Mahmud Syaltut, idem, hal. 12

[6] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, hal 78

[7] Muhammad bin Ibrahim (wafat 733 H), Al Manhal Ar Rawiy, juz I
hal 31

[8] Mahmud Syaltut , idem, Hal 63 – 64


[9] Abu Ishak Ibrahim bin ‘Ali as Syairozi (wafat 476 H), Allumu fi
ushulil fiqh, hal 71 –72, pada hal 59 beliau menulis :

‫وكذلك يجوز نسخ السنة بالسنة كمايجوز نسخ الكتاب بالكتاب واَّلحاد باآلحاد والتواتر بالتواتر‬
‫واآلحاد بالتواتر فأما التواتر باآلحاد فال يجوزْلن التواتر يوجب العلم فال يجوز نسخة بما‬
‫يوجب الظن‬

(begitu juga boleh penasakhan sunnah dengan sunnah, sebagaimana


boleh menasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, khabar ahad dengan ahad,
mutawatir dengan mutawatir dan ahad dengan mutawatir, sedangkan
khabar mutawatir tidak boleh dinasakh dengan khabar ahad, karena
mutawatir mewajibkan (menghasilkan) ‘ilmu (keyakinan) sedangkan
khabar ahad mewajibkan dzan (dugaan).

[10] Abil Madzfar Mansur bin Muhammad bin Abdul Jabbar as Sam’ani
(wafat 489 H), Qawaathi’ul Adillati fil Ushul, hal 50 juz 1

[11] Fathy M Salim, Al Istidlal bidz dzonny fil Aqidah, hal 59, Juga
Lihat : Al Ghazaly, Al Mustashfaa, Jilid I Hal. 145; As Suyuthy,
Tadribur Rawy, jld I hal. 105-106; Sayyid Quthub, Fii Dhilalil Qur’an,
jld VIII, hal 710; dan Dr. Mahmud Ajaj Al Khatib, Ushul Hadits hal
302-303.

[12] Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini (wafat 478 H), Al
Burhaan fi Ushulil Fiqh, ,juz 1 hal 79

lihat juga Muhammad bin Ali bin Muhammad as Syaukani (wafat 1250
H), Irsyaadul Fuhul, hal 135 – 145

[13] Ahmad Syakir, Al Bahitsul Hadits, hal. 33-34

[14] As Suyuthy (wafat 911 H), Tadribur Rawy, Jld I, Hal. 105-106

[15] Al Amidy, Al Ahkam Fii Ushulil Ahkaam, Jld. I hal. 322, 332, 339

[16] Ibnu Taimiyyah, Al Fataawaa, jld XVIII, hal : 41


[17] Ibnu Hazm menukil dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bahwa
“adalah suatu kebohongan besar bila ada yang mengatakan mampu
terwujud kesepakatan (ijma’) setelah masa sahabat” Lihat Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushulil Fiqh, hal 62

[18] Ibnu Taimiyyah, idem, lihat juga Syarah Qashidah Ibnu Qayyim,
juz I hal 208 –210 (Ibnu Qayyim (lahir 691H) adalah murid dari Ibnu
Taimiyyah)

[19] sebagian ulama mengkritik penggunaan istilah ‘ilmu nadzari’


menurut mereka ‘ilmu nadzari’ masih merupakan dzon/ dugaan yang
sangat kuat (dalam bahasa penelitian mungkin dengan taraf signifikan
0,01 atau 99% penelitian tersebut adalah benar), sebagian lagi memilih
penggunaan istilah “menghasilkan ‘ilmu/kepastian dalam hal
amal/perbuatan” (lihat juga Mahmud Syaltut, idem)

[20] Ahmad bin Ali bin Hajar As Asqalaniy (Wafat 852 H), Nukhbatul
Fikri fi Mustalahi Ahlil Atsar, juz 1 hal 1. Naskah asli nya sebagai
berikut (tentang klasifikasi hadits):

… ‫فاْلول المتواتر المفيد للعلم اليقيني … وسوى اْلول آحاد وفيها المقبول وهو ما يجب العمل‬
‫به عند الجمهور وفيها المردود …وقد يقع فيها ما يفيد العلم النظري بالقرائن‬

“yg pertama adalah mutawatir, yakni yang menghasilkan


‘ilmu/kepastian…, dan selain yang pertama adalah (khabar) ahad yang
didalamnya ada yang maqbul (diterima) yaitu yang wajib
mengamalkannya menurut jumhur, ada pula yang mardud (ditolak)
karena … dan kadang-kadang dalam khabar ahad itu –dengan adanya
qarinah/indikasi –indikasi– ada yang menghasilkan “ ‘ilmu nadzari’”

[21] Musthafa As Siba’iy, AS Sunnah, hal 167.

[22] Walaupun di al qur’an ada juga penyebutan dzan yang bermakna


yaqin, semisal dalam surat Al Baqarah : 46; ‫ون أَنَّ ُه ْم ُم َلقُو َر ِب ِه ْم َوأَنَّ ُه ْم‬ ُ َ‫ِين ي‬
َ ُّ‫ظن‬ َ ‫الَّذ‬
ِ ‫إِلَ ْي ِه َر‬, namun dalam pembahasan ini yang dimaksud dg dzan
َ ُ‫اجع‬
‫ون‬
adalah yang tidak sampai derajat yaqin.
[23] Al Jurjani, idem hal 144, Fathi M Salim, idem hal 18 dan 59,
Raghib al Asfahani, ; Al Mufradaat fii Gharibil Qur’an, hal 317

[24] kalaupun yang dibahas hanya hadits, maka istilah khabar ahad dan
khabar mutawatir itu adalah istilah ahli hadits untuk mengelompokkan
hadist dari segi KEPASTIAN apa bersumber dari Rasulullah, atau belum
sampai derajat kepastian, kalau boleh dikatakan khabar ahad juga pasti
dari Rasulullah, ya tidak perlu ada klasifikasi hadits, masukkan saja
semuanya kedalam kategori mutawatir. Sebagaimana juga ada istilah
hasan dengan shahih, keduanya bisa diterima sebagai hujjah, namun
hasan tidak sama dengan shahih, ini kalau konsisten dengan musthalahul
hadits.

[25] Shahih Bukhari (Dar Ibn Katsir Yamamah, cet III, 1987, beirut) No
3532,3659, 5922, Shahih Muslim (Daar al Ihyait Turats al Aroby) No
824, Lihat juga (dengan sanad yang lain) shahih Ibnu Hibban no 6330,
6331,7127, cet III 1993 Sunan Tirmidzi Hadits No 2939

[26] walaupun dalam al Qur’an secara bahasa dzan juga digunakan


untuk menyatakan yang yaqin, namun dalam istilah ahli ushul dzan
digunakan untuk menyatakan pembenaran yang tidak sampai derajat
yaqin, sebagaimana shalat dalam Al Qur’an secara bahasa juga berarti
do’a namun ahli fiqh menggunakannya untuk istilah perbuatan
perbuatan shalat secara khusus.

[27] Dalam tafsir Qurthubi disebutkan salah satu keraguannya:

‫ إن كان هذا صاحبنا فأين عيسى ؟ ! وإن كان هذا عيسى فأين صاحبنا ؟‬:‫قالوا‬

Shahabat Isa berkata: « jika yang disalib ini adalah teman kami maka
dimana Isa ? dan kalau yang disalib ini Isa lalu dimana teman kami?”

Diskusi Khabar Ahad (Lanjutan I)


Karena banyak komentar/tanggapan tulisan ana di sini, sini, dan sini.
Dan ada salah satu tanggapan yang cukup panjang dari Abu Haura
Ahmad Junayd Ahmad Dzulkifli (48 halaman) disini, maka ana perlu
jelaskan beberapa hal disini (kalau di kolom komentar kurang sreg
rasanya), sebagian adalah komentar ana yang belum selesai di topik
tersebut, kalau kepanjangan bisa dibaca yang terakhir saja (yang ana
kasih warna biru).

Sebelumnya terima kasih atas 48 halaman tulisannya, ana berharap


antum juga merujuk kitab-kitab yang ana sampaikan, membaca dan
menyimaknya dengan seksama, perhatikan jelas-jelas apa yang
dikatakan para Ulama tersebut, bandingkan dengan yang antum kutip,
dan pahami tema pembahasan mereka.

1) Dari yang antum tulis, semakin jelas, bahwa yang antum maksud
“sebagai hujjah” disini memang bukan dalam tema pembahasan IMAN
DAN KAFIR di halaman 9 antum tulis:
“”"Dan kami tidak mengingkari terjadinya perbedaan pendapat antara
beberapa sahabat pada sebagian perkara aqidah seperti perbedaan
masalah apakah Nabi shalaullahu ’alaihi wasallam melihat Allah
Ta’ala dengan mata kepala ataukah tidak pada malam mi’rajnya”"”
Jawaban:
Kalau memang yang antum maksud demikian, sudah berulang-ulang ana
sampaikan–lihat diskusi dalam komentar sebelumnya–, ana sepakat
bahwa khabar mutawatir maupun ahad memang bisa dijadikan hujjah
dalam perkara apapun, baik “aqidah” maupun “‘amaliyah/syari’ah”.

Perhatikan kembali penjelasan Imam Abu Bakr Muhammad bin Abi


Sahl as-Sarokhsiy, pada masanya digelari al-Imam al-Ajall az-Zahid
Syams al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para
Imam), Wafat +- 490 H, bahwa tema yg mereka bahas adalah
pembedaan Iman dan Kafir berkaitan dengan penolakan suatu dalil:

‫ ويجب العمل به َلن دليله موجب‬،‫ َلن دليله َل يوجب علم اليقين‬،‫وهو أنه َل يكفر جاحده‬
‫ فإن كان متأوَل في ذلك مع‬،‫للعمل ويضلل جاحده إذا لم يكن متأوَل بل كان رادا لخبر الواحد‬
‫القول بوجوب العمل بخبر الواحد فحينئذ َل يضلل‬،
dan sesungguhnya tidaklah diKAFIRKAN orang yang mengingkarinya
(khabarul wahid) karena dalilnya tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan
wajib beramal dengannya karena dalilnya mewajibkan untuk
di’amalkan…mengingkari khabar ahad (yang shahih/hasan) tanpa dia
mendatangkan takwil dihukumi sesat, jika ada takwil atas
pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar
wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.
selengkapnya di: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-
ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/
Baca pula: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/04/30/perbedaan-
antara-aqidah-dan-hukum-syara/

2) Tidak ana komentarinya beberapa komentar antum sebelumnya


karena memang antum membahas tema yang tidak ana bahas.

3). di halaman 5, antum tulis: “”"Pertanyaan kita, apakah Ibnu Hazm


(384-456 H) dengan kitab-nya yang monumental dalam ilmu Ushul yang
berjudul Al-Ihkam Fii Ushulil Al-Ahkam tidak dikatakan sebagai salah
satu ulama Ahli Ushul? …. “”"
Jawaban:

Ana tidak pernah menyatakan Ibnu Hazm, apalagi Imam Syafi’i bukan
ulama ushul. Ketika Rasululah bersabda:

‫ َحتَّى ت َ ْلقَ ْوا َربَّ ُك ْم‬، ُ‫ان ِإَلَّ الَّذِى بَ ْع َدهُ ش ٌَّر ِم ْنه‬ َ ‫ فَ ِإنَّهُ َلَ يَأْتِى‬، ‫ص ِب ُروا‬
ٌ ‫علَ ْي ُك ْم َز َم‬ ْ ‫ا‬
Bersabarlah kalian semuanya, karena sesungguhnya tidak berlalu suatu
zaman atas kalian kecuali zaman setelahnya lebih buruk dari zaman
sebelumnya hingga kalian menjumpai Rabb kalian. (HR. Bukhory)
Mungkin orang yang tidak faham juga akan berkesimpulan bahwa masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih buruk dari pada masa Al Hajjaj bin
Yusuf yg terjadi sebelumnya. Ketika orang membaca di metrotv: “Kaum
Perempuan Tuntut LSF Cabut ‘Arwah Goyang Karawang’”, maka tidak
bisa difahami bahwa metro menuduh perempuan lain yg tidak menuntut
sebagai BUKAN PEREMPUAN. Pahamilah bagaimana menempatkan
pembahasan dalam istilah ushul disebut mafhum mukholafah, sehingga
tidak serampangan menarik kesimpulan dengan mafhum mukholafah
padahal tidak tepat.

4) Tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat (hal 10): Imam


Syafi’i dengan Imam Ahmad saja berbeda menyikapi hal ini, bukankah
sudah ana tulis di komentar sebelumnya saat diskusi dgn akhi Ridwan
(harap dibaca diskusi/komentar sebelumnya biar tidak mbolak-mbalik):
Dialog ini terdapat dalam Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubro, 2/48,
atau Fiqhus Sunnah 1/96 (Maktabah Syamilah)

‫ ذكر السبكي في طبقات الشافعية أن الشافعي وأحمد رضي هللا‬: ‫مناظرة في تارك الصلة‬
‫ إذا كان‬:‫ قال‬.‫ نعم‬:‫ إنه يكفر؟ قال‬:‫ يا أحمد أتقول‬:‫ قال الشافعي‬.‫عنهما تناظرا في تارك الصلة‬
‫ َل إله إَل هللا محمد رسول هللا‬:‫ يقول‬:‫كافرا فبم يسلم؟ قال‬.

‫ فالرجل مستديم لهذا القول لم يتركه‬:‫قال الشافعي‬.

‫ يسلم بأن يصلي‬:‫قال‬.

‫ وَل يحكم له باَلسلم بها‬،‫ صلة الكافر َل تصح‬:‫قال‬.

‫ رحمهما هللا تعالى‬،‫فسكت اَلمام أحمد‬.

،‫ على أنه َل يكفر‬،‫ والشافعي‬،‫ مالك‬،‫ منهم أبو حنيفة‬،‫و لكن كثيرا من علماء السلف والخلف‬
‫ َل‬:‫ وقال أبو حنيفة‬.‫ فإن لم يتب قتل حد أعند مالك والشافعي وغيرهما‬،‫بل يفسق ويستتاب‬
‫ وحملوا أحاديث التكفير على الجاحد أو المستحل للترك‬،‫يقتل بل يعزر ويحبس حتى يصلي‬

Walaupun Imam Ahmad diam, tidak menjawab hujjah Imam Syafi’i, dan
tetap pendapatnya tidak berubah, namun Imam Syafi’i tidak menuduh
macam-macam terhadap Imam Ahmad.

5). Hal 10: antum tulis : “””“Jika alasan anda tidak mau menggunakan
hadits ahad sebagai hujjah aqidah KARENA BISA TERJADI SALING
MENGKAFIRKAN…”””

Jawaban:
Seperti sebelumnya, ana lihat antum keliru memahami bahasa Indonesia
sehingga menarik kesimpulan yg keliru pula. Siapa yg tidak mau
menggunakan hadits ahad sebagai hujjah aqidah dg alasan KARENA
bisa terjadi saling mengkafirkan? Jelas saya tulis ““Akibat lainnya…”,
jadi bukan itu alasannya, namun terjadi mudahnya saling mengkafirkan
itu hanya salah satu akibat saja.

6) halaman 14 – 15 antum tulis: “”"””Karena pendapat Ulama tidak


dapat dijadikan hujjah akan tetapi dijadikan hujjah apa yang telah
mereka jadikan hujjah”
(Kami nukil dari perkataan Syaikh Abdul Qadir Abdil Aziz dalam
kitabnya Al-Jaami’ fii Thalab Al-Ilm Al-Syariif)”"”"
Jawaban:
Ana sepakat dengan ungkapannya, perkataan Ulama memang bukan
hujjah, namun perlu hati-hati memahami nash baik al Qur’an atau
Hadits, kalau ‘ufuq ilmunya rendah bisa salah memahami, lalu
memfonis orang lain sesat, bahkan kafir. Ana sendiri tidak cocok dengan
beberapa tulisan Syaikh Abdul Qadir Abdil Aziz, misalnya dalam
kitabnya “al irhaabu minal islam, fa man ankaro dzaalika faqad
kafaro”
beliau memahami bahwa terorisme adalah bagian dari islam, barang
siapa mengingkarinya maka ia telah kafir, beliau menafsirkan irhab
dalam ayat tersebut sebagai terorisme seperti makna sekarang, terus
menghukumi orang yang mengingkari hal tsb sebagai kafir.

7) Hal 17: “””Ustadz Taufik keliru menggunakan kaidah ushul pada


ayat tersebut dan ayat yang semisalnya. Karena bunyi dari kaidah
”Ibrah (pengertian) itu diambil berdasarkan umumnya lafadz….””””

Jawaban:

Tolong dibaca juga kaidah : “keumuman lafadz dalam kekhususan sebab


adalah keumuman dalam TEMA kejadian, bukan umum untuk semua
kejadian”. Juga sudah ana sampaikan bahwa “dzonn” dalam al Qur’an
itu digunakan juga untuk menyatakan yaqin, dan ini diluar tema
pembahasan ini, temanya juga bukan zhann marjuh seperti syak &
wahm, krn kalau yang di maksud adalah dzann marjuh, bagaimana
mungkin an Nawawi dan ulama lain menyatakan wajibnya amal dgnya?

8) Hal 33.: ditulis fatwa al azhar tentang khabar ahad, terus di katakan
keliru.

Jawaban:

Alhamdulillah antum mau nulis fatwa al Azhar tersebut, setidaknya


antum mendapat penjelasan yang gamblang bukan dari ana atau syaikh
Taqy, walaupun antum nyatakan fatwa tersebut salah.

Pernyataan dalam fatwa : “””Berkata ulama ushul : “hadits ahad wajib


diamalkan pada perkara hukum syari’ah amaliyah, yang disebut
sebagai perkara furu’(cabang), dan (hadits ahad-pen) tidak diamalkan
pada perkara aqidah, yang disebut sebagai perkara ushuluddin (dasar
agama)””” Ana rasa sudah jelas fatwa tersebut, walaupun antum coba
putar-putar maknanya. Memang amalan ada amalan hati seperti ikhlas,
ridlo, shabar, … siapa yang menolak itu bahkan amal pun juga disebut
dalam sebagian hadits sebagai iman, shalat dalam al Qur’an disebut juga
sebagai iman, tidak ada yg nolak hal tersebut. Coba fahami TEMA apa
yg dibahas dalam fatwa tersebut agar tidak salah berkesimpulan.

9). Hal 35: antum tulis: “””Anggapan Syaikh Jadulhaq bahwa Imam
nawawi tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah aqidah adalah
suatu kekeliruan karena di dalam kitab-kitabnya kita temukan
pernyataan Imam Nawawi seperti; Bab Dalil bahwasannya mencintai
kaum Anshar dan ‘Ali adalah bagian dari Iman (Syarh Shahih Muslim,
2/63), Bab Dalil bahwa orang yang mati tanpa menyekutukan Allah
dijamin masuk Surga (Syarh Shahih Muslim, 2/92) yang bersumber
dari hadits-hadits ahad. Dn bukti lainnya di dalam tulisan kami yang
berjudul“Antara Menolak dan Menerima Hadist Ahad Sebagai Hujjah
dalam Aqidah””””

Jawaban:
Dari awal tulisan antum, ‘afwan, ana lihat antum tidak mengerti TEMA
yang mereka bahas, sehingga pembahasan antum terpaksa sekali lagi ana
katakan campur aduk. Kalau mau membahas TEMA KEHUJJAHAN
KHABAR AHAD, Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
TELAH MEMBUAT PASAL TERSENDIRI TENTANG
PEMBAHASAN INI, BUKANNYA MALAH MEMBAHAS BAB
LAIN kemudian disimpulkan sendiri lalu di klaim bahwa pendapat
Imam Nawawi sesuai dengan pendapat antum. Sama seperti orang
membahas bab “tahanan” dalam tema elektronika yang maknanya
adalah komponen resistor, terus yang digunakan rujukan bab “tahanan”
dalam tema ilmu hukum, ya gak nyambung lah.

Lihatlah pernyataan beliau di Syarah Shahih Muslim juz 1 hal 19 s/d 21,
terbitan Dâru Ihyâit Turots Al ‘Araby. Dihalaman 20 jelas isinya: (kan
sudah ana tulis dg arabnya sekalian di
https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-
pandangan-ulama-ushul/ )harap dicermati lagi yang huruf kapital:

“Adapun khabar ahad, ia adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-


syarat mutawatir, sama saja apakah karena perawinya satu atau lebih.
Masih diperselisihkan hukum hadits ahad. PENDAPAT YANG
DIPEGANG OLEH MAYORITAS KAUM MUSLIM DARI KALANGAN
SHAHABAT DAN TABI’IIN, DAN KALANGAN AHLI HADITS,
FUKAHA, DAN ULAMA USHUL YANG DATANG SETELAH PARA
SHAHABAT DAN TABI’UN ADALAH: KHABAR AHAD (HADITS
AHAD) YANG TSIQAH ADALAH HUJJAH SYAR’IY YANG WAJIB
DIAMALKAN, DAN KHABAR AHAD HANYA MENGHASILKAN
DZANN, TIDAK MENGHASILKAN ILMU (KEYAKINAN). WAJIBNYA
MENGAMALKAN HADITS AHAD, KITA KETAHUI BERDASARKAN
SYARIAT, BUKAN KARENA AKAL….Sebagian ahli hadits berpendapat
bahwa hadits-hadits ahad yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan
Muslim menghasilkan ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadits-hadits
ahad lainnya. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan
kesalahan pendapat ini secara rinci. Semua pendapat selain pendapat
jumhur adalah bathil. Kebathilan orang yang berpendapat tanpa hujjah
dalam masalah ini telah tampak jelas….Adapun orang yang
berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya
orang itu terlalu berbaik sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadits
ahad menghasilkan keyakinan (ilmu), sedangkan hadits ahad masih
mungkin mengandung ghalath, wahm, dan kadzb?” Wallahu a’lam bish
shawab

Selanjutnya beliau (Imam Nawawi) membantah pendapat Ibnu Sholah :

Pendapat ini – yang disebutkan oleh Ibnu Sholah tentang (hadits)


Bukhory dan muslim dalam tema pembahasan ini – menyalahi pendapat
para ahli tahqiq dan jumhur ulama, mereka mengatakan: hadits – hadits
dalam kitab shohihain yang tidak mencapai derajat mutawatir
SESUNGGUHNYA HANYA MENGHASILKAN DZON, maka
sesungguhnya ia hadits ahad, dan hadits ahad sesungguhnya hanya
berfaedah dzon, tidak ada bedanya dalam masalah ini antara (hadits)
Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya.
SEDANGKAN APA YANG DIJUMPAI BAHWA UMAT MENERIMA
(KHABAR AHAD DALAM BUKHARI MUSLIM) SESUNGGUHNYA
HANYA BERFAEDAH AKAN WAJIBNYA ‘AMAL dengan apa –apa
yang ada dalam keduanya (yakni shahih Bukhory – Muslim)

Siapa sebetulnya yang keliru? Syaikh Jaadul Haq dari lembaga Fatwa Al
Azhar atau antum yang membahas tema lain?

Dengan cara mikir antum demikian, orang juga bisa berkesimpulan


bahwa HT menyatakan wajibnya menjadikan khabar ahad sebagai hujjah
dalam perkara ‘aqidah karena dalam kitab-kitabnya, khabar ahad juga
dipakai. Misalnya dalam kitab min muqowwimat… Bab 16. “Takut
kepada Allah dalam Kondisi Tersembunyi dan Terang-terangan”,
diwajibkan takut kepada Allah juga dengan banyak khabar ahad. Juga
Bab 13. “Merindukan Surga dan Berlomba Dalam Kebaikan”.

SEKALI LAGI ANA SAMPAIKAN, Sangat penting mengetahui tema


apa yang dibahas oleh mereka, tidak ada gunanya banyak berdalil,
memakai banyak nash, mengutip banyak pendapat ‘ulama kalau
ditempatkan pada tema yang keliru. Contoh lain, mari kita perhatikan
sabda Rasulullah s.a.w:

‫سأَلَ َها‬ َ ‫َاء الَّذِي يَأْتِي ِب‬


ْ ُ‫ش َها َدتِ ِه قَ ْب َل أ َ ْن ي‬ ُّ ‫أ َ ََل أ ُ ْخ ِب ُر ُك ْم ِب َخ ْي ِر ال‬
ِ ‫ش َهد‬
Hadits riwayat Muslim ini memuji orang yang bersaksi sebelum dia
diminta bersaksi. Bandingkan dengan hadits berikut:

َّ ‫علَى ال‬
‫ش َها َد ِة ََل‬ َ ‫الر ُج ُل‬ ُ ‫ِين يَلُونَ ُه ْم ث ُ َّم يَ ْفشُوا ا ْل َكذ‬
ْ َ‫ِب َحتَّى ي‬
َّ ‫ش َه َد‬ ْ َ ‫سنُوا إِلَى أ‬
َ ‫ص َحابِي ث ُ َّم الَّذ‬ ِ ْ‫أَح‬
‫سأَلُ َها‬
ْ ُ‫ي‬
Hadits riwayat Ibnu Majah dan Nasa’I diatas mencela orang yang
bersaksi padahal dia belum diminta bersaksi. Kedua hadits ini tidaklah
bertentangan karena temanya berbeda (bisa teliti sendiri).

Begitu juga pernyataan Imam Nawawi diatas, kalau mau membahas


kehujjahan khabar ahad ya jangan lari ke pasal atau bab lain lah, padahal
beliau sudah menempatkannya dalam pasal khusus.

Hal 40: antum nulis: “”Yang menjadi alasan mereka masih tetap
membenarkan adanya azab kubur ADALAH KETAKUTAN MEREKA
AKAN DINYATAKAN SESAT sebagaimana ungkapan sebagian ulama
mengenai hukum orang yang mengingkari hadits ahad :

”Khabar ahad mewajibkan ‘amal, tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin,


mengingkarinya (tanpa takwil/alasan) dipandang sesat, tidak kafir.”
(KITAB USHUL AL BAZDAWIY, karya Fakhrul Islam Al Bazdawi,
Wafat 482 H)

Jawaban:

Antum belajar dari mana untuk mengetahui isi hati orang lain? Lewat
internet lagi? Namun sayangnya tebakan antum itu keliru.

Tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah adalah
sangat berbeda dengan mengingkari hadis ahad seperti yang dilakukan
oleh Mu’tazilah. Mereka mengingkari kehujjahan hadis ahad karena
menurut mereka tidak rasional. Mereka mengatakan: “ Apakah kalian
menemukan di dalam kubur alat-alat untuk menyiksa seperti paku,
gergaji, palu dll ”, dan tentu mereka (Muta’zilah) tidak akan
menemukannya karena itu berkaitan dengan hal yang ghoib/ tidak dapat
diindera kemudian mereka mengingkari hadis ahad tentang adzab qubur
karena menurut mereka tidak rasional (Lihat Kitab Ar-Ruh Oleh Imam
Ibn Al-Qoyyim Al-Jauziyah).

Sebagai Ilustrasi (ini bukan hujjah lho), perhatikan gambar hasil test
kehamilan berikut (ana kasih ilustrasi ini karena antum orang
kesehatan):

Akan sangat aneh kalau orang tidak percaya bahwa yang di tes hamil,
karena hasil test dengan alat ini menunjukkan ia positif hamil, namun
juga sangat aneh orang yang menyatakan pasti, tidak mungkin tidak,
atau yaqin yang dites orangnya pasti hamil padahal akurasi alatnya
hanya 99%.

Adapun tentang adzab kubur,ana mempercayainya bukan karena takut


disebut sesat, ana mempercayainya KARENA HADITS-HADITS
DALAM MASALAH TERSEBUT ADALAH DZONN YANG ROJIH
(KUAT)/ghalabatudz dzon, yang oleh Imam As Syarokhsy disebut
sebagai ‘ilmu thuma’ninah (yang dipercaya dengan penuh ketenangan
hati), Syaikh Abu Zahroh menyebutnya ‘ilmu dzonny. Sedangkan
maksud “”bukan hujjah dalam perkara ‘aqidah”” krn ana tidak
menganggap mu’tazilah sebagai kafir (ini termasuk dalam fatwanya
Ibnu Taymiyah). SEKALI LAGI, Kafir yang saya maksud adalah kafir
diluar Islam, karena sebagian madzhab Imam Ahmad ada menggunakan
istilah kafir namun dimaksudkan kafir tidak keluar dari Islam.

Tambahan lagi setahu ana HT tidak mentabanny masalah azab kubur


sehingga diserahkan kepada masing-masing anggota memilih pendapat
yang mana, sehingga kalau ada yang menyematkan hal ini pada HT
adalah sebuah kedustaan.
‘afwan. Banyak hal yang tidak ana tanggapi, intinya ana lihat masalah
TEMA yang antum bahas lari kesana kemari, akibatnya masalah
penarikan kesimpulan antum dari nash maupun perkataan ‘ulama juga
bermasalah, juga antum memakai mafhum mukholafah dalam
memahami bahasa Indonesia tidak pada tempatnya (seperti no3). Sekali
lagi ‘afwan kalau tersinggung.

Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama Ushul

Walaupun sebenarnya perbedaan pandangan tentang khabar ahad ini


sudah dibahas oleh banyak ‘ulama terdahulu, namun sampai sekarang
masih ada sebagian da’i yang sering melontarkan tuduhan sesat kepada
sesama muslim gara-gara perbedaan pandangan tentang hal ini. Kalau
‘ulama – ulama dulu mereka bisa saling memahami perbedaan ini,
mereka mengedepankan hujjah dan memahami fakta/maksud dari orang
yang berbeda pendapat dengan mereka. Berbeda dengan sekarang seolah
– olah mereka menutup mata akan adanya perbedaan ini, tanpa mau
mengkaji benar-benar apa sebenarnya maksud dari orang yang berbeda
pendapat dengan mereka. Akibatnya mereka menuduhkan apa yang
tidak ada faktanya pada orang yang dituduh.

Dalam masalah wajibnya pengamalan khabar ahad, sebenarnya sudah


tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Akan tetapi penggunaannya
sebagai hujjah dalam masalah aqidah, inilah yang sering dijadikan
masalah.

Kalau diperhatikan, akar masalah dalam hal ini adalah dalah hal
PEMAKNAAN AQIDAH itu sendiri, bagi yang menyatakan khabar
ahad bukan sebagai hujjah dalam masalah aqidah, mereka memaksudkan
aqidah disini sebagai PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR,
sedangkan yang menyatakan khabar ahad adalah hujjah dalam masalah
aqidah, mereka memaksudkan aqidah disini TIDAK MESTI JADI
PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR, hal ini jelas terlihat ketika
pihak yang menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam masalah
aqidah (penulis bukan termasuk pihak ini), mereka menyalahkan aqidah
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852 H) dalam kitab
monumental beliau Fathul Bari, namun pihak ini tidak menyatakan Al
Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani sebagai kafir, (lihat kitab mereka : At
Tanbih ‘Ala Mukholafaatil Aqdiyyah Fi Fathil Baariy (= peringatan atas
penyimpangan aqidah dalam fathul bari), yang ditulis oleh Syaikh Bin
Baz, Shalih Fauzan dkk, kitabnya bisa di download disini), mereka juga
menyalahkan aqidahnya Imam An Nawawi (wafat 676 H) dalam hal
Asma’ was Shifat tanpa mengkafirkan beliau (walaupun sebagian
mereka akhirnya menyatakan imam an Nawawi pada akhirnya juga
‘tobat’ sehingga aqidahnya imam an Nawawi mereka klaim sebagai
aqidah ‘salafi’[1] juga), mereka juga menyalahkan aqidahnya al Hafidz
al Baihaqi (wafat 458 H) juga tanpa mengkafirkannya (lihat
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=833&bagian=0
), mereka juga menyalahkan aqidah imam al Bukhoriy (wafat 256 H)
ketika beliau men takwil wajah Allah sebagai kekuasaan/kerajaan Allah,
tanpa mengkafirkan imam Bukhoriy.
Walhasil sebenarnya yang menyatakan khabar ahad sebagai hujjah/dalil
dalam masalah aqidah, mereka membahas suatu tema tersendiri yang
berbeda dengan tema yang dibahas oleh ‘ulama ushul, dan dengan tema
yang berbeda tersebut kemudian mereka menghakimi ‘ulama yang
membahas tema yang lain. Saya tidak habis pikir, apakah mereka
memahami atau tidak tema apa yang dibahas oleh ‘ulama ushuluddin
sehingga susah sekali memberi penjelasan ini.

Kalau mengikuti tema pembahasan menurut mereka, yakni mereka


memaksudkan aqidah TIDAK MESTI JADI PEMBEDA ANTARA
IMAN DAN KAFIR, sebenarnya masalahnya selesai, yakni khabar ahad
yang hasan atau shahih harus jadi hujjah dalam masalah “aqidah”[2],
semua ‘ulama akan sepakat (kecuali memang ingkarus sunnah) – dan
ketika ada perbedaan pandangan ‘dalam hal ini, maka halnya seperti
perbedaan dalam masalah hukum syara’, yakni tidak mengeluarkan
seseorang dari keimanannya. [end].

Namun tulisan ini akan melihat bagaimana kehujjahan khabar ahad


dalam perkara ‘aqidah dalam makna yang disepakati oleh ahli
ushuluddin yakni sebagai garis batas yang memisahkan antara iman
dengan kafir (dan makna ini yang umum dikalangan ahli ushul, sehingga
Syaikh Mahmud Syaltut menyebut orang-orang yang masih menanyakan
hal-hal tersebut sebagai “orang yang tidak mengerti apa maksud
aqidah”).

Saya terlebih dulu akan menyajikan copy- paste dan sedikit isinya
(sisanya terjemahkan sendiri) dari beberapa bagian kitab Al Islam
Aqidah wa Syari’ah, karya Syaikh Al Azhar (th 1958), yakni Syaikh
Mahmud Syaltut (wafat 1963), sengaja saya pilih ini karena ini kitab
yang secara khusus membahas Islam dari sisi aqidah dan syari’ah dan
beliau bukan anggota gerakan yang sering dituduh sesat gara – gara
tidak menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah.
Kemudian baru akan saya copy paste beberapa pendapat Ulama
berkaitan dengan khabar ahad (bisa di lihat di Maktabah Syamilah, atau
Jami’ul Fiqh al Islamy atau Maktabah al Fiqh wa Ushuulihi, atau
Maktabah Alfiyyah li as Sunnah an Nabawiyyah atau di Maktabah Al
‘Aqoo’id Wal Milal, atau search di saaid.net).

Bagi yang berfikir ‘ilmiyyah, tidak taqlid, ana rasa perlu menelusuri
sendiri sumber – sumber yang ana sebutkan (sehingga kita dapat data
primernya), lihat konteks pembahasannya, dan silahkan berkomentar.

1. DARI KITAB AL ISLAM AQIDAH WA SYARI’AH

Syarat suatu dalil bisa digunakan untuk aqidah haruslah qath’iy


(pasti) sumbernya, dan pasti penunjukan maknanya.
Ayat al Qur’an (walaupun pasti sumbernya), yang penunjukan
maknanya dzon, sehingga para ‘ulama berbeda pendapat tentang
maknanya maka itu bukan (bagian) aqidah yang dibebankan agama
atas kita yang menjadi batas yang memisahkan antara orang
beriman dan tidak beriman.

Kalau dalilnya tidak qath’iy, sehingga ‘ulama berbeda pendapat,


maka tidak boleh dijadikan bagian dari aqidah [3] sehingga
pendapat suatu kelompok (dianggap) itu saja yang Haq, sedang
yang lain tidak.
Kalau maknanya lebih dari satu, tidak sah untuk dalil dalam
aqidah sehingga dihukumi orang yang mengingkarinya sebagai
kafir.

Tentang pendapat jumhur ‘ulama yang tidak menjadikan khabar


ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah, ini sudah saya sampaikan
di tulisan sebelumnya.

Ini pendapat ‘ulama yang menyatakan khabar ahad yufiidul ‘ilma


(berfaedah ‘ilmu/yaqin) – seperti pendapat Ibnu Hazm dalam al
Ihkam. (LIHATLAH BAGAIMANA ADABNYA ‘ULAMA,
BELIAU TETAP MENULIS PENDAPAT ‘ULAMA LAIN,
PADAHAL PENDAPAT ITU TIDAK SESUAI DENGAN
PENDAPATNYA). Maksud YUFIIDUL ‘ILMA di sini adalah AL
‘ILM BI MA’NA DZON (‘ilmu dengan makna dzon), atau ‘ILMU
YANG MEWAJIBKAN ‘AMAL. Adapun pembicaraan disini
‫‪hanyalah faedah ‘ilmu dari sisi penetapan aqidah dengan ‘ilmu‬‬
‫‪tersebut.‬‬

‫)‪2. KITAB AT TA’ RIIFAT (Al Jurjaani, wafat 816 H‬‬

‫الكتاب ‪ :‬التعريفات‬

‫المؤلف ‪ :‬علي بن محمد بن علي الجرجاني‬

‫الناشر ‪ :‬دار الكتاب العربي – بيروت‬

‫أما الخبر المتواتر فهو كلم يسمعه من رسول هللا جماعة ومنها جماعة أخرى إلى أن ينتهي‬
‫إلى المتمسك وأما الخبر المشهور فهو كلم يسمعه من رسول هللا ص – واحد ويسمعه من‬
‫الواحد جماعة ومن تلك الجماعة أيضا جماعة إلى أن ينتهي إلى المتمسك والفرق هو أن‬
‫جاحد الخبر المتواتر يكون كافرا باَلتفاق وجاحد الخبر المشهور مختلف فيه واألصح أن يكفر‬
‫وجاحد خبر الواحد َل يكون كافرا باَلتفاق‬

‫‪Semua (‘ulama) sepakat bahwa orang yang menolak khabar ahad‬‬


‫‪tidaklah kafir (khabar ahad bukan hujjah dalam aqidah yakni batasan‬‬
‫)‪antara iman dan kafir‬‬

‫‪3. KITAB USHUL AS SAROKHSY (Abu Bakr Muhammad bin Abi‬‬


‫‪Sahl as-Sarokhsi, pada masanya digelari al-Imam al-Ajall az-Zahid‬‬
‫‪Syams al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari‬‬
‫)‪Para Imam), Wafat +- 490 H‬‬

‫الكتاب ‪ :‬أصول السرخسي‬

‫مصدر الكتاب ‪ :‬موقع يعسوب‬

‫فإن خبر الواحد َل يوجب علم اليقين َلحتمال الغلط من الراوي وهو دليل موجب للعمل بحسن‬
‫الظن بالراوي وترجح جانب الصدق بظهور عدالته‪ ،‬فيثبت حكم هذا القسم بحسب دليله وهو‬
‫َلن دليله َل يوجب علم اليقين‪ ،‬ويجب العمل به َلن دليله موجب للعمل ‪،‬أنه َل يكفر جاحده‬
‫ويضلل جاحده إذا لم يكن متأوَل بل كان رادا لخبر الواحد‪ ،‬فإن كان متأوَل في ذلك مع القول‬
‫ ولوجوب العمل به يكون المؤدي مطيعا والتارك‬،‫بوجوب العمل بخبر الواحد فحينئذ َل يضلل‬
‫من غير تأويل عاصيا معاقبا‬

Intinya: Sesungguhnya khabar wahid tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin


karena mengandung ghalat (kesalahan, dalam bhs matematika = galat =
nilai error) dari perowi, dan dia (khabar ahad) mewajibkan amal dengan
husnudz dzon terhadap rowi (khabar ahad yg shahih/hasan), ….. dan
sesungguhnya tidaklah diKAFIRKAN orang yang mengingkarinya
karena dalilnya tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan wajib beramal
dengannya karena dalilnya mewajibkan untuk di’amalkan…mengingkari
khabar ahad (yang shahih/hasan) tanpa dia mendatangkan takwil
dihukumi sesat, jika ada takwil atas pengingkarannya dan ia
menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar wahid maka ia tidak
dinyatakan sesat.

4. KITAB USHUL AL BAZDAWIY (Fakhrul Islam Al Bazdawi,


Wafat 482 H)

‫ أصول البزدوي – كنز الوصول الى معرفة األصول‬: ‫الكتاب‬

‫ علي بن محمد البزدوي الحنفيى‬: ‫المؤلف‬

‫ مطبعة جاويد بريس – كراتشي‬: ‫الناشر‬

‫بل المتواتر يوجب علم اليقين ضرورة بمنزلة العيان بالبصر والسمع باَلذن وصنعا‬
‫…وتحقيقا‬

‫… أن المشهور من األخبار يضلل جاحده وَل يكفر‬

‫باب خبر الواحد‬

‫وهو الفصل الثالث من القسم األول وهو كل خبر يرويه الواحد أو اَلثنان فصاعدا َل عبرة‬
‫للعدد فيه بعد أن يكون دون المشهور والمتواتر وهذا يوجب العمل وَل يوجب العلم يقينا عندنا‬
‫وقال بعض الناس َل يوجب العمل َلنه َل يوجب العلم وَل عمل إَل عن علم‬

Khabar ahad mewajibkan ‘amal, tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin,


mengingkarinya (tanpa takwil/alasan) dipandang sesat, tidak kafir.
‫‪5. KITAB USHUL ASY SYASYI‬‬

‫الكتاب ‪ :‬أصول الشاشي‬

‫المؤلف ‪ :‬أحمد بن محمد بن إسحاق الشاشي أبو علي‬

‫الناشر ‪ :‬دار الكتاب العربي – بيروت ‪1402 ،‬‬

‫ثم المتواتر يوجب العلم القطعي ويكون رده كفرا‬

‫والمشهور يوجب علم الطمأنينة ويكون رده بدعة‬

‫وَل خلف بين العلماء في لزوم العمل بهما وإنما الكلم في اآلحاد فنقول خبر الواحد هو ما‬
‫نقله واحد عن واحد أو واحد عن جماعة أو جماعة عن واحد وَل عبرة للعدد إذا لم تبلغ حد‬
‫المشهور وهو يوجب العمل به في األحكام الشرعية‬

‫‪6. KITAB USHUL IJAABATUS SAA’IL SYARH BUGHYATUL‬‬


‫)‪AAMAL (AS SHON’ANIY‬‬

‫الكتاب ‪ :‬أصول الفقه المسمى إجابة السائل شرح بغية اآلمل‬

‫المؤلف ‪ :‬محمد بن إسماعيل األمير الصنعاني‬

‫الناشر ‪ :‬مؤسسةالرسالة – بيروت‬

‫أن القراءة الخارجة عن السبع في حكمها كالخبر اآلحادي وحكمه وجوب العمل به فكذلك‬
‫الشاذة هذا مختار الجمهور قالوا فيعمل بقراءة ابن مسعود في قوله فصيام ثلثة أيام متتابعات‬
‫ويجب التتابع قالوا وإنما يعمل بها في األحكام العملية َل العلمية ألن اآلحاد َل تفيد العلم‬
‫واستدلوا على ذلك بأنه َل يخلو من أن يكون قرآنا أو سنة ألن الغرض أن نقلها عنه صلى هللا‬
‫عليه وسلم صحيح وترك شيء من صحيح القرآن أو السنة َل يجوز وخالف الشافعي وجماعة‬
‫…‬

‫‪7. KITAB IRSYAADUL FUHUL- IMAM ASY SYAUKANI‬‬

‫الكتاب ‪ :‬إرشاد الفحول الي تحقيق الحق من علم اَلصول– امام الشوكاني‬
‫القسم الثاني ‪ :‬اآلحاد وهو خبر َل يفيد بنفسه العلم سواء كان َل يفيد أصل أو يفيده بالقرائن‬
‫الخارجة عنه فل واسطة بين المتواتر واآلحاد وهذا قول الجمهور وقال أحمد بن حنبل إن خبر‬
‫الواحد يفيد بنفسه العلم وحكاه ابن حزم في كتاب األحكام عن داود الظاهري والحسين بن‬
‫علي الكرابيسي والحارث المحاسبي قال وبه نقول وحكاه ابن خوازمنداد عن مالك بن أنس‬
‫واختاره وأطال في تقريره ونقل الشيخ في التبصرة عن بعض أهل الحديث أنها منها ما يوجب‬
‫العلم‬

‫وإجماع من بعدهم بمنزلة المشهور من األحاديث واْلجماع الذي سبق فيه الخلف في العصر‬
‫السابق بمنزلة خبر الواحد واختار بعضهم في الكل أنه ما يوجب العمل َل العلم‬

‫‪Bagian kedua adalah aahaad, yakni khabar yang tidak berfaedah ‘ilmu‬‬
‫‪dari dirinya sendiri, baik berfaedah ‘ilmu dari asalnya, maupun‬‬
‫‪berfaedah ‘ilmu dengan adanya qarinah atau indikasi luar dari‬‬
‫‪khabar ahad tersebut, maka tidak ada perantara antara mutawatir‬‬
‫‪dengan aahaad, dan ini adalah pernyataan jumhur/mayoritas ‘ulama….‬‬

‫‪8. KITAB AL IHKAM‬‬

‫الكتاب ‪ :‬األحكام‬

‫مصدر الكتاب ‪ :‬موقع يعسوب‬

‫أن خبر الواحد بأمر َل يفيد العلم‬

‫‪9. KITAB AL BAKHRUL MUHIITH‬‬

‫الكتاب ‪ :‬البحر المحيط‬

‫مصدر الكتاب ‪ :‬موقع اْلسلم‬


‫اح ِد إذَا تَلَقَّتْهُ ْاأل ُ َّمةُ ِبا ْلقَبُو ِل أَفَا َد ا ْلقَ ْط َع‬
‫أ َ َّن َخبَ َر ا ْل َو ِ‬
‫إن قُ ْل َنا ‪ :‬يُ ِفي ُد ا ْلقَ ْط َع َكفَ َر ‪َ ،‬و ِإ ََّل فَ َل‬ ‫اح ُد َما ث َ َبتَ ِب َخ َب ِر ا ْل َو ِ‬
‫اح ِد ؟ ْ‬ ‫َه ْل َي ْكفُ ُر َج ِ‬
‫ت ؟ َف َم ْن َقا َل ‪ :‬يُ ِفي ُد ا ْل ِع ْل َم َق ِب َلهُ ‪َ ،‬و َم ْن َقا َل ‪ََ :‬ل يُ ِفي ُد لَ ْم‬ ‫الد َيانَا ِ‬ ‫اح ِد ِفي أ ُ ُ‬
‫صو ِل ِ‬ ‫َه ْل يُ ْق َب ُل َخ َب ُر ا ْل َو ِ‬
‫َيثْبُتْ ِب ُم َج َّر ِد ِه إ ْذ ا ْلعَ َم ُل ِبال َّ‬
‫ظ ِن فِي َما ُه َو َم َح ُّل ا ْلقَ ْط ِع ُم ْمت َ ِن ٌع‬

‫‪10. KITAB AL MAHSHUL FI USHUULIL FIQH (ABU BAKAR‬‬


‫‪IBNUL ARABY, Pakar hadits senior sekaligus ahli ushul, wafat 543‬‬
‫)‪H‬‬

‫الكتاب ‪ :‬المحصول في أصول الفقه‬

‫المؤلف ‪ :‬القاضي أبو بكر بن العربي المعافري المالكي‬

‫الناشر ‪ :‬دار البيارق – األردن‬

‫قال علماؤنا خبر الواحد على ضربين أحدهما يوجب العلم والعمل كالخبر المتواتر والثاني‬
‫يوجب العمل وَل يوجب العلم وإما األول فهو خبر هللا تعالى والثاني خير رسول هللا صلى هللا‬
‫عليه و سلم والثاني خبر رجل واحد بحضرة رسول هللا صلى هللا عليه و سلم والثالث خبر‬
‫رجل واح د بحضرة هللا صلى هللا عليه و سلم والرابع خبر رجل واحد ادعي فيه العلم مع‬
‫جماعة يستحيل عليهم التواطؤ على الكذب فل ينظرون عليه والخامس خبر واحد تلقته األمة‬
‫بالقبول فإما قالوا بظاهرة وإما تأولوه ولم يكن منهم نكير عليه فهذه األقسام الخمسة توجب‬
‫العلم وفي تعديدها تجاوز وتجوز تسامحنا به قصد البيان‬

‫وأما الثاني الذي يوجب العمل دون العلم فهو خبر الواحد المطلق‬

‫‪Telah berkata ‘ulama kami bahwa khabar wahid itu ada dua bagian:‬‬
‫‪yang pertama mewajibkan ‘ilmu dan ‘amal sebagaimana khabar‬‬
‫‪mutawatir, yang kedua mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan‬‬
‫‪‘ilmu, adapun yang pertama (khabar ahad/wahid yang mewajibkan ‘ilmu‬‬
‫‪dan amal) adalah 1) khabar dari Allah (al wahid) 2) Khabar dari‬‬
‫… ‪Rasulullah (sendirian), khabar seseorang bersama Rasulullah SAW‬‬
‫‪ADAPUN YANG KEDUA, YANG MEWAJIBKAN ‘AMAL NAMUN‬‬
‫‪TANPA MEWAJIBKAN ‘ILMU (YAQIN), ADALAH KHABAR‬‬
‫‪AHAD SECARA MUTLAK. Selanjutnya pada halaman 115, beliau‬‬
‫‪menjelaskan syubhat orang yang menyatakan khabar ahad menghasilkan‬‬
‫‪‘ilmu (yaqin):‬‬

‫وقال قوم‪ :‬إنه يوجب العلم والعمل كالخبر المتواتر‪ ،‬وهذا إنما صاروا اليه بشبهتين دخلتا‬
‫عليهم‪ ،‬إما لجهلهم بالعلم‪ ،‬وإما لجهلهم بخبر الواحد‪ ،‬فإنا بالضرورة نعلم امتناع حصول العلم‬
‫بخبر الواحد وجواز تطرق الكذب والسهو عليه‬

‫‪dan sekelompok orang berkata: sesungguhnya khabar ahad mewajibkan‬‬


‫‪‘ilmu (yaqin) dan ‘amal sebagaimana khabar mutawatir, dan hal ini‬‬
‫‪sesungguhnya hanyalah terjadi karena dua syubhat (kesamaran) masuk‬‬
‫‪kedalam (pemikiran) mereka, BISA JADI KARENA KE JAHILAN‬‬
‫‪MEREKA AKAN MAKNA AL ‘ILMU, DAN BISA JADI KARENA‬‬
‫‪KEJAHILAN MEREKA AKAN (MAKNA) KHABAR WAAHID‬‬
‫‪(KHABAR AHAD), maka sesungguhnya kami dengan sangat jelas‬‬
‫)‪mengetahui tidak akan tercapainya al ‘ilm (yaqin) dengan (hujjah‬‬
‫‪khabar waahid, dan boleh (mungkin)nya ada kebohongan dan kelupaan‬‬
‫‪pada nya (khabar ahad).‬‬

‫)‪11. Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H‬‬

‫احدًا أ َ ْو أ َ ْكث َ َر ‪.‬‬


‫الرا ِوي لَهُ َو ِ‬ ‫َان َّ‬‫س َواء ك َ‬ ‫احد ‪ :‬فَ ُه َو َما لَ ْم يُو َجد فِي ِه ش ُُرو ُ‬
‫ط ا ْل ُمت َ َواتِ ِر َ‬ ‫َوأ َ َّما َخبَر ا ْل َو ِ‬
‫ين ‪ ،‬فَ َم ْن بَ ْع َد ُه ْم ِم ْن‬ ‫ص َحا َبة َوالتَّا ِب ِع َ‬ ‫ين ِم ْن ال َّ‬ ‫س ِل ِم َ‬ ‫علَ ْي ِه َج َما ِهير ا ْل ُم ْ‬ ‫ف فِي ُحك ِْم ِه ؛ فَاَلَّذِي َ‬ ‫َو ْ‬
‫اخت ُ ِل َ‬
‫ٌ‬ ‫صو ِل ‪ :‬أ َ َّن َخبَر ا ْل َو ِ‬ ‫ب ْاأل ُ ُ‬ ‫اء َوأَ ْ‬ ‫ين َوا ْلفُقَ َه ِ‬ ‫ا ْل ُم َح ِدثِ َ‬
‫احد الثِقَ ِة ُح َّجة ِم ْن ُح َججِ الش َّْرعِ‬ ‫ص َحا ِ‬
‫ظ َّن َو ََل يُ ِفي ُد ا ْل ِع ْل َم ‪َ ،‬وأ َ َّن ُو ُجوب ا ْلعَ َمل بِ ِه ع ََر ْفنَاهُ بِالش َّْرعِ ََل‬ ‫يَ ْل َز ُم ا ْلعَ َم ُل بِ َها ‪َ ،‬ويُ ِفي ُد ال َّ‬
‫س ِلم‬ ‫ص ِحيح ُم ْ‬ ‫ص ِحيح ا ْلبُ َخ ِاري أ َ ْو َ‬ ‫ين ِإلَى أ َ َّن ْاآل َحا َد الَّ ِتي ِفي َ‬ ‫ض ا ْل ُم َح ِد ِث َ‬ ‫ب َب ْع ُ‬ ‫ِبا ْل َع ْق ِل… َوذَ َه َ‬
‫صول َو َه ِذ ِه ْاألَقَا ِويل‬ ‫طاله فِي ا ْلفُ ُ‬ ‫غ ْي ِر َها ِم ْن ْاآل َحاد ‪َ .‬وقَ ْد قَد َّْمنَا َهذَا ا ْلقَ ْول َوإِ ْب َ‬ ‫ُون َ‬ ‫ت ُ ِفي ُد ا ْل ِع ْل َم د َ‬
‫ب‬ ‫وج ُ‬ ‫ظا ِه ٌر ْ ‪َ ..‬وأ َ َّما َم ْن قَا َل يُ ِ‬ ‫طا ُل َم ْن َقا َل ََل ُح َّجةَ فِي ِه َ‬ ‫اطلَةٌ ‪َ ،‬وإِ ْب َ‬ ‫س َوى قَ ْو ِل ا ْل ُج ْم ُهور بَ ِ‬ ‫كُل َها ِ‬
‫غ ْي ِر ذَ ِلكَ ‪،‬‬ ‫ب َو َ‬ ‫ص ُل ا ْل ِع ْل ُم َواحْ تِ َما ُل ا ْلغَلَ ِط َوا ْل َو ْه ِم َوا ْل َك ِذ ِ‬
‫ف يَحْ ُ‬ ‫س ِن ‪َ .‬و َك ْي َ‬ ‫َ‬
‫ا ْل ِع ْل َم ‪ :‬ف ُه َو ُمكَا ِب ٌر ِل ْل َح َ‬
‫َّللا أ َ ْعلَ ُم‬
‫ق إِلَ ْي ِه ؟ َو َ َّ‬‫ط ِر ٌ‬ ‫‪ُ .‬مت َ َ‬

‫‪“Adapun khabar ahad, ia adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-‬‬


‫‪syarat mutawatir, sama saja apakah karena perawinya satu atau lebih.‬‬
Masih diperselisihkan hukum hadits ahad. Pendapat yang dipegang oleh
mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi’iin, dan
kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para
shahabat dan tabi’un adalah: khabar ahad (hadits ahad) yang tsiqah
adalah hujjah syar’iy yang wajib diamalkan, dan khabar ahad hanya
menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Wajibnya
mengamalkan hadits ahad, kita ketahui berdasarkan syariat, bukan
karena akal….Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa hadits-hadits
ahad yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim menghasilkan
ilmu (keyakinan), berbeda dengan hadits-hadits ahad lainnya. Pada
penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan kesalahan pendapat ini
secara rinci. Semua pendapat selain pendapat jumhur adalah bathil.
Kebathilan orang yang berpendapat tanpa hujjah dalam masalah ini
telah tampak jelas….Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits
ahad menghasilkan keyakinan, sesungguhnya orang itu terlalu berbaik
sangka. Bagaimana bisa dinyatakan hadits ahad menghasilkan
keyakinan (ilmu), sedangkan hadits ahad masih mungkin mengandung
ghalath, wahm, dan kadzb? Wallahu a’lam bish shawab”. [Imam An
Nawawiy, Syarah Shahih Muslim]

Beliau juga membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang


menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i, setelah menukil
pernyataan Ibn Sholah, beliau menegaskan :

‫وهذا الذي ذكره ابن الصلح في شأن صحيح البخاري ومسلم في هذه المواضع خلف ما قاله‬
‫ أحاديث الصحيحين التي ليست بمتواتره إنما تفيد الظن‬:‫المحققون واألكثرون فإنهم قالوا‬
‫ واآلحاد إنما تفيد الظن على ما تقرر وَل فرق بين البخاري ومسلم وغيرهما في‬،‫فإنها آحاد‬
‫ وتلقي األمة بالقبول إنما أفادنا وجوب العمل بما فيهما‬،‫ذلك‬

‘’Pendapat ini – yang disebutkan oleh Ibnu Sholah tentang (hadits)


Bukhory dan muslim dalam tema pembahasan ini – menyalahi pendapat
para ahli tahqiq dan jumhur ulama, mereka mengatakan: hadits – hadits
dalam kitab shohihain yang tidak mencapai derajat mutawatir
SESUNGGUHNYA HANYA MENGHASILKAN DZON, maka
sesungguhnya ia hadits ahad, dan hadits ahad sesungguhnya hanya
berfaedah dzon, tidak ada bedanya dalam masalah ini antara (hadits)
Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya.
SEDANGKAN APA YANG DIJUMPAI BAHWA UMAT
MENERIMA (KHABAR AHAD DALAM BUKHARI MUSLIM)
SESUNGGUHNYA HANYA BERFAEDAH AKAN WAJIBNYA
‘AMAL dengan apa –apa yang ada dalam keduanya (yakni shahih
Bukhory – Muslim)”

12. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany (wafat 852 H) mengutip Al


Hafidz al Karmaniy (wafat 796 H):

‫قَا َل ا ْلك َْر َمانِ ُّي ِليُ ْعلَم إِنَّ َما ُه َو فِي ا ْلعَ َم ِليَّات ََل فِي ِاَل ْعتِقَا ِديَّات‬

Telah berkata Al Karmaniy: agar diketahui, sesungguhnya dia


(diterimanya khabar ahad sebagai hujjah) HANYALAH DALAM HAL
‘AMALIYYAH BUKAN DALAM HAL I’TIQADIYYAH (Fathul Baariy Juz
13 bab ‫)ما جاء في إجازة خبر الواحد‬.

13. Syaikh Abu Zahroh, dalam kitabnya : Ushuulul Fiqh hal 108
menggunakan istilah ‘ilmu dzonny (untuk menyatakan ‘ilmu bi ma’na
dzonn):

‫ إذ اَلتصال بالنبي فيه شبهة‬،‫وحديث اآلحاد يفيد العلم الظني الراجح وَل يفيد العلم القطعي‬

Hadits Aahaad berfaedah ‘ilmu dzonny, bukan ‘ilmu qath’iy karena ada
syubhat sampainya ke Nabi SAW.

14. Syaikh Abdul Wahab Khallaf dalam kitab Ushulul Fiqh nya:

‫وسنة اآلحاد ظنية الورود عن الرسول ألن سندها َل يفيد القطع‬

dan sunnah aahaad adalah dzanniyyatul wurud dari rasulullah SAW


karena sanadnya tidak menghasilkan kepastian (qath’iy)

15. Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 341 H), dalam kitab ‫المسودة في‬
‫ أصول الفقه‬menyatakan:
‫ هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل‬:‫اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل‬
‫ وهو قول‬،‫ والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم‬:‫دون العلم؟ قال‬
‫الشافعي وجمهور أهل الفقه‬

Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah
mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun
tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian
besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid
(yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah
perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh.

Jadi jelaslah bahwa mayoritas ‘ulama ahli ushul memandang khabar


ahad – walaupun perowinya ‘adil – adalah mewajibkan ‘amal namun
tetap tidak mewajibkan ‘ilmu/ yaqin sehingga tidak cukup untuk sebagai
hujjah bagi pengkafiran orang lain, namun demikian mengingkari khabar
ahad (yang shahih/hasan) tanpa dia mendatangkan takwil, dihukumi
sesat, jika ada takwil atas pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya
‘amal dengan khabar wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.

Adapun pernyataan dalam pembahasan di beberapa kitab bahwa khabar


ahad YUFIIDUL ‘ILMA , maka yang dimaksud disitu adalah AL ‘ILM
BI MA’NA DZON (‘ilmu/yaqin dengan makna dzon – sebagaimana
orang melakukan test dengan alat yang akurasinya 99% lalu dia katakan
bahwa hasilnya meyakinkan), atau ‘ILMU YANG MEWAJIBKAN
‘AMAL, atau yang diistilahkan Syaikh Abu Zahroh dengan ‘ILMU
DZONNY’, walaupun tidak dipungkiri ada juga yang memaksudkannya
dengan ‘ilmu yaqin.

***

Saya rasa cukup segini dulu, mudah-mudahan bisa menjadi penyatu


umat baik yang menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam masalah
“aqidah”, maupun yang tidak menjadikannya sebagai hujjah dalam
masalah aqidah, mohon ma’af kalau bahasanya menyinggung salah satu
pihak, kalau mau lihat pendapat ulama yang menjadikan khabar ahad
mewajibkan yaqin sehingga layak sebagai dalil dalam masalah aqidah,
lihat kitabnya Ibnu Hazm, Ibnu Taymiyyah maupun Ibnu Qayyim al
Jauziyyah (sudah ana sebut di tulisan sebelumnya), serta kitab – kitab
madzhab dzahiri. Allahu Ta’ala A’lam.

[1] Saya kasih tanda petik, karena istilah ini sebenarnya bagus, yakni
mengikuti orang – orang terdahulu (Nabi, shahabat, Tabi’in dan orang
yang mengikuti manhaj mereka), namun yang patut dipertanyakan sikap
mengklaim orang lain yang berbeda dengan mereka sebagai bukan salafi
itu yang perlu diluruskan, saya tidak tahu apakah ada ulama nusantara
yang mereka akui ke ‘salaf’ annya, yang pernah ana dengar (ada bukti
rekamannya) bahwa Buya Hamka bukan termasuk salaf menurut
mereka, tidak tahu bagaimana pandangannya terhadap Syaikh Yasin
Padang, Syaikh Nawawi Banten dll – walaupun perbedaan ini, selama
dalam lingkup dalil yang dzonni, tidak mengeluarkan dari keimanan.

[2] Saya tulis “aqidah” dalam tanda petik, karena yang dibahas oleh ahli
ushul bukan tema ini.

[3] Aqidah dalam makna yang difahami ahli ushuluddin


Fatâwa Al Azhar Tentang Khabar Ahad

Melihat banyaknya yg masih samar dalam memahami kedudukan khabar


ahad, seperti dalam komentar pada tulisan ini dan ini, dan susahnya
memahami objek pembahasan aqidah seperti dalam tulisan ini, akibatnya
ada sebagian kalangan yg menyatakan suatu gerakan yang menyatakan
bahwa: “khabar ahad bukan hujjah dalam perkara ‘aqidah” mereka
anggap sebagai gerakan menyimpang, sesat dll, padahal dari kajian saya,
justru ini pendapat mayoritas ‘ulama. Berikut saya tambahkan secara
lengkap penjelasan dalam kitab Fatawa Al Azhar, dengan Mufti
Lembaga Fatwa Mesir (‫)دار اْلفتاء المصرية‬, tentang khabar ahad, yang juga
pendapatnya sama dengan pendapat dan penjelasan gerakan yang
menyatakan bahwa: “khabar ahad bukan hujjah dalam perkara
‘aqidah”.

‫العمل بأحاديث اآلحاد‬

‫السؤال‬
‫نقرأ فى بعض الكتب عند اَلستدَلل على بعض األحكام بحديث نبوى‪ ،‬أن هذا حديث آحاد يفيد‬
‫القطع ‪ ،‬فما هى أحاديث اآلحاد‪ ،‬وما هى منزلتها فى اَلستدَلل على أحكام الدين ؟‬

‫الجواب‬

‫أحاديث اآلحاد هى التى لم يبلغ رواتها حد التواتر الذى يفيد القطع واليقين ‪ ،‬والحديث‬
‫المتواتر هو الذى رواه جمع عن جمع يؤمن تواطؤهم على الكذب ‪ ،‬وأحاديث اآلحاد أنواع ‪،‬‬
‫منها المشهور الذى رواه ثلثة فأكثر‪ ،‬والعزيز الذى رواه اثنان ‪ ،‬والغريب الذى رواه واحد‬
‫فقط ‪ .‬وهى من أقسام الحديث الصحيح ‪ ،‬وهناك الحديث الحسن والحديث الضعيف والحديث‬
‫الموضوع ‪ ،‬وهناك تقسيمات لهذه األحاديث فى علم مصطلح الحديث ‪ ،‬ويهمنا اآلن الحديث‬
‫‪ .‬الصحيح بقسميه اآلحاد والمتواتر‬

‫يقول علماء األصول ‪ :‬إن أحاديث اآلحاد يجب العمل بها فى األحكام الشرعية العملية ‪،‬‬
‫باعتبارها فروعا ‪ ،‬وَل يعمل بها فى العقائد باعتبارها أصوَل للدين ‪ ،‬وهذا ما يفيده ما نقل عن‬
‫جمهور الصحابة والتابعين ‪ ،‬وأقوال علماء الفقه واألصول ‪ ،‬ولم يخالف فى ذلك سوى بعض‬
‫‪ .‬فقهاء أهل الظاهر وأحمد فى رواية عنه‬

‫فأحاديث اآلحاد مهما بلغت قوتها كالمشهور منها َل تفيد العلم اليقينى الذى يعتمد عليه فى‬
‫العقائد‪ ،‬بل تفيد الظن الذى يكفى فى وجوب العمل بها فى الفروع ‪ ،‬جاء ذلك فى كثير من‬
‫المراجع ‪ ،‬وصرح به النووى فى شرح صحيح مسلم "ج ‪ 1‬ص ‪ " 20‬وجعل منها ما رواه‬
‫البخارى ومسلم رادًا به على ابن الصلح الذى قال ‪ :‬إن ما روياه يفيد العلم النظرى‬

‫من هذا يعلم أن أحاديث اآلحاد الصحيحة َل تفيد إَل الظن ويجب العمل بها فى الفروع َل فى‬
‫العقائد‪ ،‬وإفادة الظن أو اليقين فى األحاديث قد تكون من جهة الرواية‪ ،‬فالمتواتر يفيد اليقين‬
‫واآلحاد َل تفيده ‪ ،‬وقد تكون من جهة الدَللة أى دَللة اللفظ على معناه ‪ ،‬وذلك مشترك بين‬
‫جميع األحاديث وبين القرآن الكريم ‪ ،‬فاللفظ إذا لم يحتمل إَل معنى واحدا كان قطعى الدَللة ‪،‬‬
‫وإذا احتمل أكثر من معنى كان ظنى الدَللة‪ ،‬كلفظ العين ‪ ،‬يطلق على العين الباصرة وعلى‬
‫عين الماء ‪ ،‬وعلى الذهب وعلى الجاسوس ‪ .‬ولفظ الفتنة يطلق على اَلمتحان وعلى الكفر‬
‫‪ .‬وعلى العذاب ‪ ،‬وعلى الوقيعة بين الناس ‪ ،‬والشواهد على ذلك كثيرة‬

‫وتفريعا على ذلك لو وقع خلف فى مسألة فرعية دليلها خبر آحاد وأنكر اْلنسان حجية هذا‬
‫الخبر َل يكون بذلك كافرا أو فاسقا وإَل لحكم بذلك على أئمة الفقه المختلفين فى بعض‬
‫المسائل ‪ ،‬مع األخذ فى اَلعتبار أن هذا اْلنكار له مسوغ شرعى ‪ ،‬فإذا تأيد هذا الخبر وما يدل‬
‫عليه من حكم باْلجماع عليه صار قويا ‪ ،‬ومن جحده كان مخطئا ‪ ،‬وإن كان َل يحكم عليه‬
‫" بالكفر " فتاوى معاصرة للشيخ جاد الحق على جاد الحق ص ‪60 – 49‬‬
Intinya (yg saya cetak merah):

“hadits-hadits ahad walau bagaimanapun kekuatannya, seperti hadits


masyhur, tidaklah berfaedah ‘ilmu yaqin yang aqidah disandarkan
kepadanya, akan tetapi berfaedah dzonn yang cukup untuk
mewajibkan ‘amal dalam hal furu’, hal ini disebutkan dalam banyak
rujukan..”

“jika terjadi ikhtilaf dalam masalah cabang yang dalilnya adalah


khabar ahad, dan manusia menolak atas kehujjahan khabar ini, maka
tidklah mereka dengan yg demikian itu menjadi kafir atau fasiq… jika
khabar ini menjadi kuat dan apa-apa yang menunjukkan kepadanya
(kekuatan khabar ini) seperti kesepakatan atas (kebenaran khabar ahad
ini) maka khabar ahad ini menjadi kuat, dan barang siapa
mengingkarinya adalah mukhti’ (salah), walaupun tidak bisa dihukumi
atas orang yang mengingkarinya sebagai kafir”

***

Dari hal diatas dan dalam tulisan Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama
Ushul, sebetulnya jelas kalau yg dimaksud “hujjah/dalil dalam aqidah”
adalah “hujjah/dalil yg cukup dengan dalil itu untuk menyatakan
seseorang beriman atau kafir”.

Jadi kalau ada orang yg menyatakan: “khabar ahad itu yufiidul


‘ilma/berfaedah ‘ilmu(yaqin), tapi seseorang tidak otomatis menjadi
kafir karena mengingkari khabar ahad”. Maka bisa disimpulkan bahwa
orang tersebut tidak mengerti objek pembahasan masalah ini.

Banyak juga yang karena salah faham kemudian menyatakan “tidak


menjadikan hujjah/dalil berarti tidak percaya”, padahal sebenarnya
khabar ahad kalau shahih, maka kita membenarkannya dengan
pembenaran yg sesuai dengan derajat kepastian hadits tersebut, “tidak
menjadikan hujjah/dalil dalam perkara aqidah” berarti “tidak
mengkafirkan seseorang karena berbeda pendapat dalam masalah
khabar ahad”, karena yg dimaksud aqidah dalam hal ini adalah aqidah
yg membedakan iman dan kafir, bisa dibaca di Perbedaan antara Aqidah
dan Hukum Syara’.

Yang lebih aneh lagi adalah tulisan yang berjudul : “Bantahan Ilmiyah
Atas Kesesatan Akidah HT” (lihat di :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=78), nampak sekali bahwa
penuduh tidak memahami tema pembahasan aqidah ini, nampak dari apa
yang dia tulis di bagian akhir artikelnya: “Meskipun para ulama ahli
fiqih menyatakan bahwa (hadits ahad) tidak mendatangkan ilmu yang
yakin (sebagaimana hadits mutawatir), akan tetapi mereka sepakat
tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad tersebut. (Maqaayiisu
Naqdi Mutuuni As Sunnah, karya DR. Musyfir Gharamullah Ad
Dumainiy, halaman 277)” Bukankah kalau yang dimaksud seperti ini
berarti tidak ada perbedaan dengan kelompok yang mereka tuduh? lalu
kenapa dipaksakan terus tuduhan tersebut?

***

Satu hal yang patut direnungkan, seandainya mereka tahu dan ikhlas
menyatakan kesesatan gerakan yang menyatakan bahwa: “khabar ahad
bukan hujjah dalam perkara ‘aqidah”, mengapa mereka tidak
menyatakan hal serupa terhadap Lembaga Fatwa Al Azhar, Imam
Nawawi, dan ‘ulama-ulama lain yang mayoritas mereka berpendapat
yang sama? Allahu Ta’ala A’lam.
Tawassul (Mencari Perantara/Wasilah Kepada Allah)
dalam Berdo’a

َ ‫سيلَةَ َو َجا ِهدُوا ِفي‬


َ ‫س ِبي ِل ِه َل َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح‬
‫ون‬ ِ ‫َّللاَ َوا ْبتَغُوا ِإلَ ْي ِه ا ْل َو‬ َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذ‬
َّ ‫ِين آ َمنُوا اتَّقُوا‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-
Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maa-idah 35)

Wasilah dalam ayat ini bermakna ‫ =( ما يُق ِرب ُك ْم إل ْي ِه ِم ْن طاعته‬apa-apa yang


mendekatkan dirimu kepada-Nya dengan jalan taat)[1]

Tawassul Yang Tidak Ada Pertentangan Kebolehannya:

1. Tawassul dengan Nama-Nama Agung Allah – (QS al-A’raf: 180)

2. Tawassul melalui Amal Saleh

3. Tawassul melalui do’a Rasulullah dan doa saudara mukmin yang


masih hidup.

4. Tawassul dengan minta do’a Rasulullah (syafa’at) pada hari kiamat

Tawassul Yang Dipertentangkan Kebolehannya:

1. Tawassul melalui Dzat (Diri) Para Nabi dan Hamba Saleh Setelah
wafatnya

2. Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Saleh


Beberapa Landasan Yg Difahami Berbeda

1. Tawassul Kepada Rasul Saat Masih Hidup: Dari Utsman bin


Hunaif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki
yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu
mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia
(Allah) menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau
menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik.
Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)”.
Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”.
Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian
ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian
ia membaca do’a berikut:

‫ ِإ ِني ت َ َو َّجهْتُ ِبكَ ِإ َلى َر ِبي ِفي‬،‫الرحْ َم ِة‬ َّ ِ ‫سأَلُكَ َوأَت َ َو َّجهُ ِإلَ ْيكَ ِبنَ ِب ِيكَ ُم َح َّم ٍّد نَ ِبي‬
ْ َ ‫اللَّ ُه َّم ِإ ِني أ‬
‫ اللَّ ُه َّم فَش َِف ْعهُ فِ َّي‬،‫ضى ِل َي‬
َ ‫َحا َجتِي َه ِذ ِه ِلت ُ ْق‬

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap


kepada-Mu dengan (perantaraan) nabi –Mu Muhammad, Nabi yang
penuh rahmat, ( Ya Muhammad) sesungguhnya aku telah datang
menghadap Tuhankudengan (perantaraan) engkau untuk meminta hajat-
ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya
untukku

[HR. at-Tirmidzi (no.3578), an-Nasa’i (no. 10495), Ibnu Majah (no.


1385), Ahmad (no. 16789), al-Hakim (1/313)]. At Tirmidzi menyatakan
hadits ini hasan shahih, Al Hakim menyatakanhadits ini shahih menurut
syarat Bukhory dan Muslim. Al A’dzomy menyatakan sanadnya shahih
dalam Ta’liq Shahih Ibnu Khuzaimah, Adz Dzahabi mensahihkannya,
Al Albani menyatakan hasan shahih dalam Misykâtul Mashâbîh]

2. Tawassul Kepada Orang Shaleh: Khalifah Umar bin Khattab


pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin
Abdul Muththalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:

ْ ُ‫ فَي‬:‫ قَا َل‬، ‫س ِقنَا‬


‫سقَ ْو َن‬ ْ ‫س ُل إِلَ ْيكَ بِعَ ِم َنبِيِنَا فَا‬ ْ َ ‫س ُل إِلَ ْيكَ بِنَبِيِنَا فَت‬
َّ ‫ َو ِإنَّا َنت َ َو‬،‫س ِقينَا‬ َّ ‫اللَّ ُه َّم إِنَّا ُكنَّا نَت َ َو‬
Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas
Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui
paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka
mereka diberi hujan. (HR. Bukhari 2/27)

3. Tawassul Kepada Rasul Setelah Beliau Wafat: Suatu saat seorang


lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar
memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya
dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Lalu lelaki itu pergi dan
ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang
dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif
mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian
pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka
katakanlah:

‫اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي‬
‫فتقضي لي حاجتي‬

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap


kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi kami Muhammad, Nabi
pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku
kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku
…. [HR. Ahmad ( 4/138), at-Tirmidzi (5/569), Ibnu Majah (1/441), Al
Hakim dalam Al Mustadrak (1/313) dia mengatakan hadis ini sanadnya
ِ ‫ت ْن ِبيهُ اله‬
sahih, dan disepakati oleh adz Dzahaby lihat ‫اج ْد إلى ما وقع ِمن النَّظ ِر‬
‫اج ِد‬ ِ ُ ‫( فى ُكت‬2/28)]
ِ ‫ب اْلم‬
Sedangkan yang tidak menggunakan tawassul kepada diri (dzat)
orang yang sudah meninggal dalam berdo’a, memahami lafadz ‫إِنِي‬
‫( أسْألُك وأتو َّجهُ ِإليْك ِبن ِب ِيك‬sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan
menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) nabi –Mu) dan yang
semakna dalam hadits-hadits tersebut dengan takwilan:

‫سأَلُك ِب ِإي َما ِني ِب ِه َو ِب َم َحبَّ ِت ِه‬


ْ َ ‫ِإ ِني أ‬
Sesungguhnya aku memohon kepada Engkau dengan (perantaraan)
imanku kepadanya dan kecintaanku kepadanya (Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah, 14/156). Sehingga mereka menolak dikatakan bertawassul
dengan dzat/diri Nabi setelah meninggal. Namun hal ini dibantah oleh
orang yang bertawassul kepada diri (dzat) orang yang sudah meninggal
dalam berdo’a dengan menyatakan bahwa: bertawassul kepada diri
(dzat) orang yang sudah meninggal pada dasarnya adalah karena
kecintaan mereka kepada orang yang sudah meninggal tersebut, dan
kecintaan ini adalah termasuk amal dari orang yang bertawassul,
sehingga masih termasuk dalam kategori bertawassul dengan amal
shalih sendiri[2]. Sehingga tidak ada bedanya menyatakan ُ‫ِإنِي أسْألُك وأتو َّجه‬
‫ إِليْك ِبن ِبيِك‬maupun ‫إِنِي أسْألُك بِإِيما ِني بِ ِه وبِمحبَّتِ ِه‬. Lebih lanjut, yang
membolehkan tawassul memberikan beberapa catatan, antara lain[3]:

a. Tawassul adalah salahsatu cara berdo’a, dan yang dituju asalnya


(hakikatnya) adalah Allah SWT, mengingkari hal ini berarti telah
musyrik.

b. Tidak boleh bertawassul kepada suatu wasilah kecuali karena


kecintaan kepada yg dia bertawassul dengannya dan kepercayaan bahwa
Allah mencintai orang yang jadi wasilah tersebut, walaupun dalam hal
ini memang ada ikhtilaf, dan sebagian sangat tidak menyukai hal ini.

c. Orang yang bertawassul jika ia mengi’tikadkan bahwa yang dia


jadikan wasilah mampu memberikan manfa’at atau mudlorot sendiri
maka telah musyrik.

d. Tawassul bukanlah perkara yang esensial dan penting, dan tidaklah


pengabulan do’a bergantung dengannya, bahkan hukum asal berdo’a
adalah langsung kepada Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam
surat Al Baqarah: [4]

ٌ ‫سأَلَكَ ِع َبادِي عَنِي َف ِإنِي قَ ِر‬


‫يب‬ َ ‫َوإِذَا‬
Dan jika hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku adalah dekat.
Kesimpulan

Ada Ikhtilaf mengenai tawassul dg orang yang sudah mati,


ringkasnya[5]:

a. Mayoritas Ahli Fiqh (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah yang


akhir, dan Hanabilah) membolehkan tawassul dg nabi saw, baik saat
beliau hidup maupun sesudah beliau wafat[6]. Al Qashtalani
meriwayatkan bahwa Imam Malik membolehkan juga, ketika ditanya
kemana menghadap saat berdo’a, ke kiblat atau ke kubur Rasulullah
SAW? Maka Imam Malik menjawab:

ِ َّ ‫س َل ُم ِإ َلى‬
‫َّللا ع ََّز َو َجل َي ْو َم‬ َ ‫سيلَةُ أ َ ِبيك آ َد َم‬
َّ ‫ع َل ْي ِه ال‬ ِ ‫سيلَتُك َو َو‬
ِ ‫ع ْنهُ َو ُه َو َو‬ ْ ‫َو ِل َم تَص ِْر‬
َ ‫ف َوجْ َهك‬
َّ ُ‫ش ِف ْع بِ ِه فَيُش َِفعُه‬
ُ‫َّللا‬ ْ ‫ستَ ْقبِ ْلهُ َوا‬
ْ َ ‫ست‬ ْ ‫ا ْل ِقيَا َم ِة؟ بَل ا‬
Mengapa (harus) engkau palingkan wajahmu darinya, sedangkan dia
adalah wasilahmu dan wasilah Adam bapakmu kepada Allah SWT pada
hari kiamat? Akan tetapi menghadaplah kepadanya (kubur Nabi), dan
mintalah dengannya (wasilah nabi saw, yakni wasilah kecintaan kepada
nabi saw) maka Allah akan menolong engkau[7]. Dan Imam Nawawi
juga berpandangan seperti ini[8].

b. Sebagian ulama Hanafiyyah, semisal Abu Yusuf memandang


tawassul dengan ucapan ‫س ِلك‬
ُ ‫ق ُر‬
ِ ‫( ِبح‬demi kebenaran Rasul-Mu) dan
ungkapan semisalnya, hukumnya makruh.

c. Ibnu Taymiyyah dan sebagian kalangan akhir madzhab Hanbali


menyatakan tidak boleh bertawassul dengan dzat nabi SAW. Akan tetapi
Ibnu Taymiyyah membolehkan jika dihadirkan makna tawassul dengan
keimanan dan kecintaan kepada nabi[9], dalam titik ini seharusnya
pendapat mereka bisa bertemu walaupun mungkin beda pengungkapan.

d. Adapun tawassul dengan selain nabi, pembahasannya sama dengan


diatas.

Saya menulis artikel ini bukan bermaksud ikut campur dalam perdebatan
sengit di beberapa blog, namun saya berharap baik yang pro maupun
yang kontra bisa melihat permasalahan umat yang jauh lebih besar yang
seharusnya mereka ikut berjibaku mengatasinya. Adapun ikhtilaf dalam
masalah ini tidak cukup untuk menganggap orang yang berbeda
pendapat telah keluar dari Islam, atau saling serang dengan predikat
telah musyrik, kafir atau sesat. Allahu Ta’ala A’lam.
[https://mtaufiknt.wordpress.com]

[1] Tafsir Jalalain, Tafsir Rûhul Ma’âniy, dan tafsir Al Qasimy

[2] Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, Mafâhim Yajibu An


Tushahhah, bab Mafhûmut Tawassul, (kitab ini memang juga dibantah
oleh kitab lain yang menentang tawassul, namun masalah ikhtilaf
walaupun sampai nanti juga senantiasa ada bantahan dan bantahan balik,
tidak akan ada habisnya)

[3] Diringkas dari Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, Mafâhim


Yajibu An Tushahhah, bab Mafhûmut Tawassul

[4] ‫أن التوسل ليس أمرا ً َّلزما ً أو ضروريا ً وليست اإلجابة متوقفة عليه بل اْلصل دعاء هللا‬
ٌ ‫ {وإِذا سألك ِعبادِي عنِي فإ ِ ِني ق ِر‬:‫ كما قال تعالى‬،ً‫تعالى مطلقا‬
‫يب‬

[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 14/157 dst

[6] ‫ وابن عابدين‬،‫ وما بعدها‬248 / 1 ‫ والمدخل‬274 / 8 ‫ والمجموع‬،304 / 8 ‫شرح المواهب‬


5 / 254، ‫ والفتوحات‬،498 – 497 / 8 ‫ وفتح القدير‬،318 / 5 ،266 / 1 ‫والفتاوى الهندية‬
36 / 5 ‫الربانية على اْلذكار النووية‬

[7] ‫ي ب ُْن فِ ْهر فِي ِكتا ِب ِه " فضائِل ما ِلك " ِبإِسْناد َّل بأْس‬ ُّ ‫صة أبُو ْالحس ِن ع ِل‬
َّ ‫وق ْد روى ه ِذ ِه ْال ِق‬
ِ ‫شيُوخ ِعدَّة ِم ْن ثِقا‬
‫ت مشا ِي ِخ ِه‬ ُ ‫اء ِم ْن ط ِري ِق ِه ع ْن‬
ِ ‫اض فِي الشِف‬
ٌ ‫اضي ِعي‬ ِ ‫بِ ِه وأ ْخرجها ْالق‬
[8] ‫الزائِ ُر ِإلى‬ َّ ‫ ث ُ َّم ي ْر ِج ُع‬:‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم‬
َّ ‫ب ِزيارةِ قب ِْر النَّ ِبي ِ صلَّى‬ِ ‫ان آدا‬ ُّ ‫وقال النَّو ِو‬
ِ ‫ي فِي بي‬
‫سل بِ ِه ويسْت ْش ِف ُع بِ ِه إِلى ربِ ِه‬ َّ ‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم فيتو‬
َّ ‫َّللاِ صلَّى‬
َّ ‫سول‬ ُ ‫م ْوقِف قُبالة و ْج ِه ر‬،
[9] ‫ِير‬ ِ ‫وز إِذا كان على ت ْقد‬ُ ‫سل بِل ْف ِظ " أسْألُك بِن ِبيِك ُمح َّمد " ي ُج‬ ُ ‫وي ْذه‬
ُّ ‫ب اب ُْن تي ِْميَّة إِلى أ َّن التَّو‬
‫ان ِب ِه ومحبَّتِ ِه وطاعتِ ِه على‬ ْ ‫سل ِبا‬
ِ ‫إل ِِيم‬ ُّ ‫ ِإذا كان التَّو‬:‫ فإ ِ ْن قِيل‬:‫ فيقُول فِي ذ ِلك‬،‫ُمضاف‬
‫سل بِذ ِلك‬َّ ‫َّللا وجنَّ ِت ِه )وهذا أعْظ ُم ْالوسائِل( وتارة ً يتو‬
ِ َّ ‫ب‬
ِ ‫سل بِذ ِلك ِإلى ثوا‬ َّ ‫ تارة ً يتو‬:‫و ْجهي ِْن‬
‫اء – كما ذك ْرت ُ ْم نظائِرهُ – في ُْحمل ق ْول ْالقائِل‪ :‬أسْألُك ِبن ِب ِيك ُمح َّمد على أنَّهُ أراد‪ِ :‬إ ِني‬ ‫فِي الدُّع ِ‬
‫سل إِليْك بِإِيما ِني بِ ِه ومحبَّتِ ِه ون ْح ِو ذ ِلك‪ ،‬وق ْد ذك ْرت ُ ْم أ َّن هذا‬ ‫أسْألُك بِإِيمانِي بِ ِه وبِمحبَّتِ ِه‪ ،‬وأتو َّ‬
‫يب ِفي ذ ِلك ِبال ِنزاع‪ ،‬و ِإذا ُح ِمل على هذا‬ ‫ص ٌ‬ ‫جا ِئ ٌز ِبال ِنزاع‪ِ .‬قيل‪ :‬م ْن أراد هذا ْالم ْعنى ف ُهو ُم ِ‬
‫ف‪ ،‬كما نُ ِقل ع ْن‬ ‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم ب ْعد مماتِ ِه ِمن ال َّ‬
‫سل ِ‬ ‫سل ِبالنَّ ِبي ِ صلَّى َّ‬ ‫ْالم ْعنى ِلكال ِم م ْن تو َّ‬
‫ون فِي‬ ‫إل ِِم ِام أ ْحمد وغي ِْرهِ‪ ،‬كان هذا حسنًا‪ ،‬و ِحينئِذ فال ي ُك ُ‬ ‫صحاب ِة والتَّا ِب ِعين‪ ،‬وع ْن ا ْ‬ ‫ض ال َّ‬ ‫ب ْع ِ‬
‫ْ‬ ‫َّ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫ير ِمن الع َّو ِام يُط ِلقُون هذا الل ْفظ‪ ،‬وَّل ي ُِريد ُون هذا الم ْعنى‬ ‫ْ‬
‫المسْأل ِة نِزاعٌ‪ ،‬ول ِك ْن ك ِث ٌ‬

‫‪Kemaksuman Nabi dan Rasul Sebelum Diutus‬‬

‫‪Dengan cara yang sama, penulis buku al-Gharrah juga menukil sebagian‬‬
‫‪pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian dia bantah, lalu‬‬
‫‪bantahan tersebut dia carikan pembenaran dengan pandangan ulama’:‬‬

‫إَل أن هذه العصمة لألنبياء والرسل‪ ،‬وإنما تكون بعد أن يصبح نبيا أو رسوَل بالوحي إليه‪ ،‬أما‬
‫قبل النبوة والرسالة فإنه يجوز عليهم ما يجوز على سائر البشر‪ ،‬ألن العصمة هي للنبوة‬
‫والرسالة‬

‫‪Hanya saja, kemaksuman ini berlaku untuk para Nabi dan Rasul setelah‬‬
‫‪menjadi Nabi atau Rasul berdasarkan wahyu yang disampaikan‬‬
‫‪kepadanya. Adapun sebelum menjadi Nabi dan Rasul, maka apa yang‬‬
‫‪berlaku pada manusia yang lain, bisa saja berlaku bagi mereka. Karena‬‬
‫‪kemaksuman tersebut berlaku karena kenabian dan kerasulan.‬‬

‫الرد‪ :‬اتفق أهل الحق على أنه يجب لألنبياء الصدق واألمانة والفطانة فعلم من هذا أن هللا‬
‫تعالى َليختار لهذا المنصب إَل من هو سالم من الرذالة والسفاهة والكذب والبلدة‪ ،‬فمن كانت‬
‫‪.‬له سوابق من هذا القبيل َل يصلح للنبوة ولو تخلى منها بعد‬

‫وتجب لألنبياء العصمة من الكفر والكبائر وصغائر الخسة والدناءة‪ ،‬وتجوز عليهم ما سوى‬
‫ذلك من الصغائر التي ليس فيه خسة‪ ،‬وهذا قول أكثر العلماء كما نقله غير واحد‪ ،‬وعليه أبو‬
‫‪.‬الحسن األشعري‬

‫فعلى قوله تصح النبوة لمن كان لصا سراقا نباشا للقبور ولوطيا إلى غير ذلك من الرذاَلت‬
‫تحصل من البشر‬
Sanggahan: Ahli Haq sepakat, bahwa para Nabi wajib mempunyai sifat
jujur, amanah dan cerdas. Dari sini diketahui, bahwa Allah SWT. tidak
memilih jabatan ini kecuali orang yang selamat dari sifat hina, khianat,
bodoh, dusta dan dungu. Maka, siapa saja yang mempunyai masa lalu
seperti ini, tidak layak menyandang jabatan kenabian, meski setelah itu
dia terbebas darinya.

Para Nabi wajib terbebas dari kekufuran, dosa besar dan kesalahan-
kesalahan kecil yang hina dan murahan. Mereka boleh berbuat dosa-
dosa kecil yang tidak mengandung kehinaan. Inilah pandangan
kebanyakan ulama’, sebagaimana yang dikatakan oleh lebih dari satu
ulama’. Inilah pendapat Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Dengan pandangannya ini, berarti menurut Hizb, kenabian itu juga


boleh diberikan kepada orang yang sebelumnya menjadi pencuri,
homoseks dan sejenis perbuatan tercela lainnya, yang bisa saja dialami
oleh manusia[1]

Penjelasan:

Pertama, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya, dari aspek kutipan;


penulis buku al-Gharrah juga hanya mengutip sebagian, dan sebagiannya
lagi merupakan kesimpulannya sendiri. Lebih parah lagi, karena
kesimpulan itu ternyata kesimpulan hipotetik (an-natijah al-fardhiyyah),
yang sebenarnya tidak ada, tetapi dinyatakan seolah-olah ada, kemudian
dituduhkan seolah-olah Hizbut Tahrir berpandangan seperti itu. Padahal,
itu merupakan kesimpulannya sendiri. Contohnya:

‫فعلى قوله تصح النبوة لمن كان لصا سراقا نباشا للقبور ولوطيا إلى غير ذلك من الرذاَلت‬
‫تحصل من البشر‬

Dengan pandangannya ini, berarti menurut Hizb, kenabian itu juga


boleh diberikan kepada orang yang sebelumnya menjadi pencuri,
homoseks dan sejenis perbuatan tercela lainnya, yang bisa saja dialami
oleh manusia[2]
Dengan cara seperti ini, penulis buku al-Gharrah tersebut telah
melakukan kebohogan ganda. Pertama, membuat kesimpulan yang fakta
sebenarnya tidak ada. Kedua, membuat tuduhan pihak lain
berkesimpulan seperti yang dia simpulkan, padahal pihak lain tidak
pernah menyatakan kesimpulan seperti itu. As-Syaikh Taqiyuddin an-
Nabhani sendiri menyatakan:

‫أما عصمة النبي والرسول عن األفعال المخالفة ألوامر هللا ونواهيه فالدليل العقلي قائم على‬
‫ فل يفعل كبيرة من الكبائر مطلقا ألن فعل الكبيرة يعني ارتكاب‬،‫أنه معصوم عن الكبائر حتما‬
‫ فإذا تطرقت المعصية إلى الفعل تطرقت إلى‬.‫ والطاعة َلتتجزأ والمعصية َلتتجزأ‬.‫المعصية‬
‫ ولذلك كان األنبياء والرسل معصومين عن الكبائر كما‬.‫ وهي تناقض الرسالة والنبوة‬،‫التبليغ‬
‫ فمنهم‬،‫ أما العصمة عن الصغائر فإنه قد اختلف العلماء فيها‬.‫هم معصومون بالتبليغ عن هللا‬
‫ ومنهم من قال إنهم معصومين عنها‬،‫من قال إنهم غير معصومين عنها ألنها ليست معصية‬
‫ والحق أن كل ما كان طلب فعله أو تركه جازما ــ أي جميع الفروض‬.‫ألنها معصية‬
‫ وعن فعل‬،‫ معصومون عن ترك الواجبات‬،‫والمحرمات ــ هم مع صومون بالنسبة لها‬
‫ ويصدق‬،‫ أي معصومون عن كل ما يسمى معصية‬،‫ سواء أكانت كبائر أم صغائر‬،‫المحرمات‬
‫عليه أنه معصية‬

Tentang kemaksuman Nabi dan Rasul dari perbuatan-perbuatan yang


menyalahi perintah dan larangan Allah, sebenarnya dalil ‘aqli telah
menyatakan, bahwa Nabi dan Rasul itu pasti maksum dari dosa-dosa
besar, sehingga secara mutlak tidak akan melakukan satu dosa besar
pun, karena melakukan satu dosa besar sama dengan melakukan
maksiat. Padahal, ketaatan tidak bisa dipilah, begitu juga kemaksiatan
tidak bisa dipilah. Jika kemaksiatan itu mewarnai perbuatan, maka hal
yang sama juga pasti mewarnai penyampaian (risalah), padahal itu
jelas bertentangan dengan kerasulan dan kenabian itu sendiri. Karena
itu, para Nabi dan Rasul harus maksum dari dosa besar. Sama halnya
mereka juga harus maksum ketika menyampaikan (risalah) dari Allah.
Adapun kemaksuman dari dosa-dosa kecil, para ulama’ telah berbeda
pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa mereka tidak
maksum dari dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu bukan maksiat.
Sebaliknya, ada juga yang berpendapat, bahwa mereka harus maksum
dari dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu adalah maksiat. Yang
benar, bahwa apa saja yang dituntut untuk dikerjakan atau ditinggalkan
dengan tegas —yaitu semua bentuk kewajiban atau keharaman, maka
terkait dengannya mereka jelas maksum; maksum dari meninggalkan
kewajiban, dan maksum dari melakukan keharaman, baik yang masuk
kategori dosa besar maupun kecil. Artinya, mereka semuanya maksum
dari apa saja yang disebut maksiat, dan memang layak disebut
maksiat[3]

Kedua, kebohongan penulis buku al-Gharrah dalam menukil pendapat


ulama’ untuk membenarkan pendapatnya. Pendapat penulis buku ini
jelas menyatakan, bahwa:

،‫أن هللا تعالى َليختار لهذا المنصب إَل من هو سالم من الرذالة والسفاهة والكذب والبلدة‬
‫فمن كانت له سوابق من هذا القبيل َل يصلح للنبوة ولو تخلى منها بعد‬

Allah SWT. tidak memilih jabatan ini kecuali orang yang selamat dari
sifat hina, khianat, bodoh, dusta dan dungu. Maka, siapa saja yang
mempunyai masa lalu seperti ini, tidak layak menyandang jabatan
kenabian, meski setelah itu dia terbebas darinya[4]

yang coba dicarikan pembenaran dengan pendapat Ahl Haq, khususnya


Abu al-Hasan al-Asy’ari, yang seolah-olah Abu al-Hasan al-Asy’ari
berpendapat seperti itu. Padahal, yang berpendapat bahwa Nabi dan
Rasul harus maksum sebelum menjadi Nabi dan Rasul adalah kalangan
Muktazilah dan Syi’ah.

al-Imam al-Mulla ‘Ali al-Qari al-Hanafi yang menyatakan:

‫صا فيما‬ً ‫وفي شرح العقائد أن األنبياء عليهم الصلة والسلم معصومون عن الكذب خصو‬
‫سهوا فعند األكثرين‬
ً ‫ وإما‬،‫يتعلق بأمر الشرع وتبليغ األحكام وإرشاد األمة أما عمدًا فباْلجماع‬
‫وفي عصمتهم عن سائر الذنوب تفصيل وهو أنهم معصومون عن الكفر قبل الوحي وبعده‬
،‫سهوا فجوزه األكثرون‬
ً ‫ وأما‬،‫ وكذا عن تعمد الكبائر عند الجمهور خلفًا للحشوية‬،‫باْلجماع‬
‫سهوا باتفاق إَل ما‬
ً ‫ وتجوز‬،‫وأما الصغائر فتجوز عمدًا عند الجمهور خلفًا للجبائي وأتباعه‬
‫ لكن المحققين اشترطوا أن ينبهوا عليه فينتهوا‬،‫يدل على الخسة كسرقة لقمة وتطفيف حبة‬
‫ وأما قبله فل دليل على امتناع صدور الكبيرة خلفًا للمعتزلة ومنع‬،‫عنه هكذا كله بعد الوحي‬
‫ صدور الصغيرة والكبيرة قبل الوحي وبعده‬،‫الشيعة‬.
Dalam kitab Syarh al-‘Aqa’id dinyatakan, bahwa para Nabi as. maksum
dari perbuatan dusta, khususnya dalam kaitannya dengan urusan
syariat, penyampaian hukum, dan bimbingan kepada umat. Mengenai
maksum dari perkara tersebut yang dilakukan secara sengaja telah
menjadi ijmak, adapun yang dilakukan karena lupa, menurut pendapat
mayoritas tetap maksum. Soal kemaksuman mereka dari dosa-dosa yang
lain dapat dirinci, bahwa menurut ijmak mereka maksum dari
kekufuran, sebelum dan setelah turunnya wahyu, begitu juga —menurut
pendapat jumhur— maksum dari dosa besar yang dilakukan secara
sengaja. Berbeda dengan pengikut Hasyawi. Namun, maksum darinya
karena lupa juga dibolehkan oleh kebanyakan ulama’. Soal dosa kecil,
menurut jumhur boleh saja. Ini berbeda dengan al-Juba’i dan para
pengikutnya (Muktazilah), dan telah menjadi ittifaq (kesepakatan),
bahwa itu boleh juga dilakukan karena lupa, kecuali apa yang
menunjukkan kehinaan, seperti mencuri sesuap makanan dan biji-bijian
yang dijemur. Namun, para muhaqqiq (‘ulama yg meneliti)
mensyaratkan bahwa perkara (dosa) tersebut harus
diperingatkan(diberitahukan kepada para nabi bahwa itu terlarang)
sehingga bisa mereka tinggalkan, semua ini berlaku setelah turunnya
wahyu. Adapun sebelumnya, pada dasarnya tidak ada satu dalil pun
yang melarang terjadinya dosa besar. Berbeda dengan Muktazilah, juga
Syi’ah yang menolak (terjadinya dosa besar), juga dosa kecil dan besar,
sebelum dan setelah turunnya wahyu[5]

Ini dikuatkan dengan keterangan Abu Manshur Abd al-Qahir al-


Baghdadi (w. 429 H), dalam kitabnya, Kitab Ushul ad-Din, yang
menyatakan:

‫ وأما السهو‬.‫أجمع أصحابنا على وجوب كون األنبياء معصومون بعد النبوة على الذنوب كلها‬
‫ وقد سهى نبينا في صلوته حتى سلم على‬.‫والخطأ فليسا من الذنوب فلذلك ساغا عليهم‬
‫ وتأولوا على ذلك كل‬،‫ وأجازوا الذنوب قبل النبوة‬.‫الركعتين نبى عليها وسجد سجدتي السهو‬
‫ وأجاز ابن كرام في كتابه الذنوب من األنبياء من غير تفصيل‬.‫ما حكي في القرآن من ذنوبهم‬
.‫ وألصحابه اليوم في ذلك تفصيل ويقولون يجوز عليهم الذنوب ما َليوجب حدا تفسيقا‬.‫منه‬
‫…وفيهم من يجيز الخطأ في التبليغ‬
Ashhabuna (para pengikut mazhab kami, yaitu Ahlussunnah) sepakat
tentang keharusan para Nabi maksum dari segala dosa setelah
kenabian. Soal lupa atau salah, keduanya bukanlah dosa, maka
keduanya boleh bagi mereka. Nabi kita (Muhammad) saw. pernah lupa
dalam shalatnya, hingga salam sementara beliau baru mengerjakan dua
rakaat, kemudian beliau diingatkan, lalu melakukan sujud sahwi
sebanyak dua kali. Mereka (ashhabuna) juga membolehkan terjadinya
dosa-dosa tersebut sebelum kenabian. Mereka kemudian menerangkan
berbagai kasus dosa (yang pernah menimpa mereka) yang telah
diceritakan dalam al-Qur’an.[6]

Dengan demikian, jelas bahwa pandangan penulis al-Gharrah yang


mengklaim dirinya Ahlussunnah nyata bukanlah pendapat Ahlussunnah,
melainkan pendapat Muktazilah dan Syi’ah. Bahkan, dalam kitab al-
Ibanah dan Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-Mushallin[7] sendiri,
yang merupakan dua karya outentik Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324
H), beliau sama sekali tidak pernah menyatakan seperti yang dinyatakan
oleh penulis al-Gharrah tersebut. Lalu dari mana dia menisbatkan
pendapat tersebut kepada al-Asy’ari?

Sumber: Bantahan Terhadap Kitab Al Gharral Al Imaniyyah…beberapa


terjemahan diedit.

[1] ‘Abdullah al-Harari, al-Gharrah al-Imaniyyah fi Mafasid at-


Tahririyyah, ed. ‘Abdul ‘Aziz Masyhuri al-Indunisi, al-Idarah al-
Markaziyyah li Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyyah Indonesia, 2001, hal.
17-18.

[2] Ibid, hal. 17 – 18

[3] As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah


al-Juz’ al-Awwal, Dar al-Ummah, Beirut, cetakan Muktamadah, 2003
M/1423 H, hal. 134-135.

[4] ‘Abdullah al-Harari, Ibid, hal. 17.


[5] al-Imam al-Mulla ‘Ali al-Qari al-Hanafi, Syarh Kitab al-Fiqh al-
Akbar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1995, hal. 104

[6] al-Imam Abu Manshur Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul ad-
Din, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1981 M/1401 H, hal.
167-168. Lihat juga, ‘Adhuddin al-Iji, al-Mawaqif fi ‘Ilm al-Kalam,
‘Alam al-Kutub, Beirut, t.t., hal. 358-359.

[7] al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘An Ushul ad-Diyanah,


ed. ‘Abdullah Mahmud Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
Beirut, cetakan I, 1998 M/1418 H, hal. 5-92; al-Imam Abu al-Hasan al-
Asy’ari, al-Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, ed.
Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
Beirut, cetakan 1990 M/1911 H, juz I, hal. 345-350.

*** catatan tambahan***

Memang ada sebagian ‘ulama syafi’iyyah yang berpandangan bahwa


Nabi dan Rasul itu maksum sejak sebelum diutus, seperti al-Imam
Muhammad bin Ahmad al-Dasuki (w. 1230 H) dalam kitabnya Hasyiah
Ummil Barahin:

ِ ‫ت و ْال ُمح َّرما‬


‫ت‬ ِ ‫اط ِن ِه ْم ِمن ْال ُوقُ ْوعِ فِي ْالم ْك ُر ْوها‬ ُ ‫ ْال ُمراد ُ ِبها ِح ْف‬: ُ‫ق ْولُهُ و ْاْلمانة‬
ِ ‫ظ ظوا ِه ِر ِه ْم وبو‬
، ‫صغا ِئ ُر صغا ِئر ِخسة كس ِرق ِة لُ ْقمة‬ َّ ‫ت ِت ْلك ال‬ ْ ‫ كان‬، ‫ت ْال ُمح َّرماتُ صغا ِئر أ ْم كبا ِئر‬ ِ ‫سوا ٌء كان‬
‫ت قبْل النُّب َُّوةِ أ ْو‬ْ ‫ كان‬، ‫ظر َِّل ْمرأة أ ْو ِْل ْمرد ِبش ْهوة‬ ْ ‫ أ ْو صغائِر غي ِْر ِخسة كن‬، ‫ْف كيْل‬ ْ ‫وت‬
ِ ‫ط ِفي‬
‫ ع ْمدًا أ ْو س ْه ًوا‬، ‫ ب ْعدها‬.
“Yang dimaksud dengan amanat mereka adalah keterjagaan lahir dan
batin mereka dari terjerumus dalam hal-hal yang makruh dan haram,
baik hal-hal yang haram itu berupa dosa kecil maupun dosa besar, baik
dosa-dosa kecil tersebut berupa dosa-dosa kecil yang hina seperti
mencuri sesuap nasi dan mengurangi takaran, atau dosa kecil yang
tidak hina seperti memandang (dengan sengaja dan menikmatinya)
perempuan atau amrad (laki-laki ganteng) dengan syahwat, baik
sebelum kenabian atau sesudahnya, baik disengaja atau lupa” (Hâsyiah
Ummil Barâhin. hal 173).
Namun mayoritas Ulama Syafi’iyyah, bahkan Mayoritas ‘ulama ahlus
sunnah menyatakan bahwa para nabi dan Rasul tidak maksum sebelum
diutus.
‫ير ِمن ْال ُم ْعت ِزل ِة ِإلى أنَّهُ َّل ي ْمتنِ ُع‬ ٌ ِ‫صحا ِبنا وكث‬ ْ ‫اضي أبُو ب ْكر وأ ْكث ُر أ‬ ِ ‫ فق ْد ذهب ْالق‬، ِ‫أ َّما قبْل النُّب َُّوة‬
‫ ب ْل وَّل ي ْمتنِ ُع ع ْق ًال إِ ْرسا ُل م ْن أسْلم وآمن ب ْعد ُك ْف ِر ِه‬، ً ‫ت أ ْو ص ِغيرة‬ ْ ‫صيةُ ك ِبيرة ً كان‬ ِ ‫ عل ْي ِه ُم ْالم ْع‬.
Adapun sebelum kenabian, maka al-Qadhi Abu Bakar (w. 403 H),
mayoritas sahabat kami (ulama Syafi’iyyah), dan banyak dari
kalangan muktazilah berpendapat bahwasannya tidak tertutup
kemungkinan bagi mereka melakukan kemaksiatan, baik dosa besar
maupun kecil. Bahkan secara logika tidak tertutup kemungkinan akan
diutusnya orang yang berislam dan beriman sebelum tadinya kafir.
[Imam al-Amidi (w. 631 H), al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1/169.
Maktabah Syamilah]
‫ض‬ ُ ‫ ب ْل قال ب ْع‬. ‫اإلسْال ِميَّ ِة‬ ِْ ‫ق‬ ِ ‫صمة النَّ ِب ِييْن غي ُْر ُمتَّفق عليْها ِع ْند ج ِميْعِ ْال ِفر‬ ْ ‫وَّل ي ْخفى أ َّن ِع‬
‫ص ْو ُم ْون ِم ْن ُهما‬ ُ ‫ ف ُه ْم م ْع‬، ِ‫ْف و ْال ِخيان ِة بِالت َّ ْب ِليْغ‬ ِ ‫صم ِت ِه ْم فِي ِسوى الت َّ ْح ِري‬ ْ ‫ْالخو ِارجِ و ْال ُم ْعت ِزل ِة ِبعد ِم ِع‬
‫ و ِإ ْن‬، ‫ب‬ ِ ‫ارتِكا ِب ِه ْم ب ْعض الذُّنُ ْو‬ ْ ‫ث ْالو ِاردةِ ِب‬ ِ ‫ت و ْاْلحا ِد ْي‬ ِ ‫هللا عل ْي ِه ْم ِلظوا ِه ِر ْاآليا‬ِ ُ‫اإل ْجماعِ صلوات‬ ِ ْ ‫ِب‬
‫صم ِت ِه ْم ِم ْن ج ِمي ِْع‬ ْ ‫ضا ُمت َّ ِف ِقيْن على ِع‬ ً ‫الشيْع ِة أ ْي‬ ِ ‫سنَّ ِة و‬ ِ ‫كان ْال ُمح ِققُ ْون ِم ْن أ ِئ َّم ِة ْالعُلم‬
ُّ ‫اء أ ْه ِل ال‬
. ‫ وأ َّولُ ْوا ج ِميْع ما ورد ِفي ح ِق ِه ْم ِم ْن ذ ِلك‬، ‫صغا ِئ ِر قبْل النُّب َُّو ِة وب ْعدها‬ َّ ‫ب ْالكبا ِئ ِر وال‬ ِ ‫الذُّنُ ْو‬
‫ وي ْح ِملُ ْون ُم ْعظم ما ورد‬، ِ‫ب قبْل النُّب َُّوة‬ ِ ‫صم ِت ِه ْم ِمن الذُّنُ ْو‬ْ ‫سنَّ ِة عد ُم ِع‬ُّ ‫ب ُج ْم ُه ْو ِر أ ْه ِل ال‬ ُ ‫نع ْم م ْذه‬
ِ‫ ِم ْن ذ ِلك فِي ح ِق ِه ْم على ُوقُ ْو ِع ِه ِم ْن ُه ْم قبْل النُّب َُّوة‬.
“Bukan hal yang rahasia bahwa perihal kemaksuman para nabi tidak
disepakati oleh seluruh kelompok-kelompok Islam. Melainkan sebagian
Khawarij dan Muktazilah berpendapat bahwa mereka tidak maksum
selain dalam hal pendistorsian dan pengkhianatan dalam penyampaian
risalah. Para nabi –shalawâtullâhi ‘alayhim– maksum dalam dua hal
tersebut secara ijmak, oleh karena adanya ayat dan hadits yang secara
zhahir menunjukkan mereka melakukan sejumlah dosa. Meski para
muhaqqiq dari para imam ulama Ahlussunnah dan juga Syi’ah
bersepakat akan kemaksuman mereka dari segala dosa, besar maupun
kecil, sebelum dan sesudah kenabian. Dan mereka menakwil semua dalil
yang berkenaan dengan mereka dalam hal tersebut. Ya, mayoritas
Ahlussunnah berpendapat mereka tidak maksum dari dosa sebelum
kenabian, dan mereka memahami kebanyakan dalil yang berkenaan
dengan hal tersebut bahwa itu mereka lakukan sebelum kenabian.”
[Yusuf bin Isma’il al-Nabhani. al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-
Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. hlm 177.]

Semua Agama Benar ?

“Yahudi dan Nasrani tidak termasuk orang-orang kafir. Mereka pun


mendapatkan pahala atas amal saleh yang mereka kerjakan.” Sekitar
itulah statemen yang pernah saya dengar langsung dari seorang doktor
universitas Islam Jakarta saat dia menyampaikan makalahnya di Unlam
beberapa tahun lalu. Ungkapan ini juga sering didengungkan oleh
sebagian kalangan, baik yang mengaku intelektual maupun awam.
Adapun Allah & Rasu-Nya menyampaikan:

‫وقل للذين أوتوا الكتاب واألميين أأسلمتم فإن أسلموا فقد اهتدوا وإن تولوا فإنما عليك البلغ‬

Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan


kepada orang-orang yang ummi (musyrik Arab),”Apakah kamu mau
masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah
mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu
hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah) (QS: Ali Imron: 19).

Telah menceritakan kepada kami Yunus bin Abdul A’la telah


mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab dia berkata, telah mengabarkan
kepadaku Amru bahwa Abu Yunus telah menceritakan kepadanya, dari
Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau
bersabda:

‫َو ََل َنص َْرا ِن ٌّي ث ُ َّم َي ُموتُ َولَ ْم‬ ٌّ ‫س َم ُع ِبي أ َ َح ٌد ِم ْن َه ِذ ِه ْاأل ُ َّم ِة َي ُهود‬
‫ِي‬ ُ ‫َوالَّذِي نَ ْف‬
ْ ‫س ُم َح َّم ٍّد ِب َي ِد ِه ََل َي‬
‫ب النَّ ِار‬ ْ َ ‫َان ِم ْن أ‬
ِ ‫ص َحا‬ َ ‫ِب ِه ِإ ََّل ك‬ ِ ‫يُ ْؤ ِم ْن ِبالَّذِي أ ُ ْر‬
ُ‫س ْلت‬
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah
seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nashrani mendengar
tentangku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama
yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni
neraka." (HR. Muslim no. 218, Ahmad no. 7856)
Rasulullah saw. juga pernah mengajak kaisar Romawi yang beragama
nashrani untuk masuk Islam, dalam suratnya Rasulullah menulis:

‫علَى َم ْن‬ َ ‫س َل ٌم‬ َ ‫وم‬ ِ ‫الر‬ ُّ ‫يم‬ ِ ‫سو ِل ِه إِلَى ِه َر ْق َل ع َِظ‬ ُ ‫َّللا َو َر‬ َ ‫يم ِم ْن ُم َح َّم ٍّد‬
ِ َّ ‫ع ْب ِد‬ ِ ‫الر ِح‬
َّ ‫الرحْ َم ِن‬ َّ ِ‫َّللا‬َّ ‫س ِم‬ ْ ‫ِب‬
‫َّللاُ أَجْ َركَ َم َّرت َ ْي ِن فَ ِإ ْن‬َّ َ‫سلَ ْم يُ ْؤتِك‬ ْ َ ‫س َل ِم أ‬
ْ َ ‫س ِل ْم ت‬ ْ ‫اْل‬ِ ْ ‫عوكَ بِ ِدعَايَ ِة‬ ُ ‫اتَّبَ َع ا ْل ُهدَى أ َ َّما بَ ْع ُد فَ ِإ ِني أ َ ْد‬
‫س َواءٍّ َب ْينَنَا َوبَ ْينَ ُك ْم أَ ْن ََل‬ َ ‫ب تَعَالَ ْوا ِإلَى َك ِل َم ٍّة‬ ِ ‫ين و َيا أَ ْه َل ا ْل ِكتَا‬ َ ‫علَ ْيكَ ِإثْ َم ْاألَ ِريس ِِي‬ َ ‫ت َ َولَّيْتَ فَ ِإ َّن‬
‫َّللاِ فَ ِإ ْن ت َ َولَّ ْوا فَقُولُوا‬ ِ ‫ض َنا بَ ْعضًا أ َ ْربَابًا ِم ْن د‬
َّ ‫ُون‬ ُ ‫ش ْيئ ًا َو ََل َيت َّ ِخذَ بَ ْع‬ َ ‫َّللاَ َو ََل نُش ِْركَ بِ ِه‬ َّ ‫نَ ْعبُ َد إِ ََّل‬
َ ‫س ِل ُم‬
‫ون‬ ْ ‫ش َهدُوا ِبأَنَّا ُم‬ ْ ‫ا‬

"Bismillahir rahmanir rahim. Dari Muhammad, hamba Allah dan


Rasul-Nya untuk Heraclius. Penguasa Romawi, Keselamatan bagi siapa
yang mengikuti petunjuk. Kemudian daripada itu, aku mengajakmu
dengan seruan Islam; masuk Islamlah kamu, maka kamu akan selamat,
Allah akan memberi pahala kepadamu dua kali. Namun jika kamu
berpaling, maka kamu menanggung dosa rakyat kamu, dan: Hai ahli
kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah
kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb
selain Allah". Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)." (HR. Bukhory no. 6, 2723, Muslim, Tirmidzi dan Abu
Dawud)

Kalau mereka (yahudi dan nashrani) dianggap “muslim” juga mengapa


Allah dan Rasul-Nya mengajak mereka masuk Islam?
Konsep Moderasi-Kompromi (al-Wasathiyah)

Dewasa ini, begitu banyak istilah-istilah yang dikeluarkan oleh Barat


yang dijadikan slogan untuk mengecam kaum Muslimin. Kaum
muslimin diklasifikasikan menurut kacamata Barat: ada Muslim yang
extremist dan terrorist, ada yang sekadar ‘Islamist’ ada pula yang
dinamakan ‘Moderat’ atau ‘Modern’ atau ‘Liberal’…. Bermacam-
macam! Kaum muslimin yang sepatutnya menyerang tanggapan-
tanggapan Barat yang bukan saja telah mengklasifikasikan mereka
dalam batas-batas negara, bangsa, suku, developing country/third world
country…. Justru memilih antara klasifikasi-klasifikasi ini…. Mana
yang paling sesuai untuk mereka lekatkan pada identiti mereka. Antara
yang telah mereka pilih ialah konsep moderasi ini….

Sumber Istilah Moderasi

Moderasi (moderation); compromising atau “al-wasathiyah” dalam


Bahasa Arabnya, ialah suatu konsep yang baru muncul di kalangan
kaum muslimin setelah jatuhnya kekhilafahan Islam. Yang dimaksudkan
dengan moderasi ialah mengambil sikap neutral (tidak berpihak) atau
jalan tengah dan tidak extreme.

Moderasi ialah istilah Barat, baik dari segi lafaz maupun maknanya.
Dilihat dari asal-usulnya, istilah ini bersumber dari ideologi
Kapitalis/Sekularis yang menjadikan jalan tengah sebagai konsep
sekaligus aqidah. Ketika berlaku pergolakan berdarah antara tokoh-
tokoh gereja dan para Raja di satu pihak dengan para cendikiawan dan
filosof Barat di pihak lainnya; mereka berkompromi (compromise) untuk
menyelesaikan masalah ini. Pihak gereja dan raja-raja berpendapat
bahwa agama Nasrani layak mengatur semua aspek kehidupan,
sedangkan pihak cendikiawan berkeyakinan bahwa agama ini tidak
layak lagi untuk mengatur manusia, bahkan ia menyebabkan berlakunya
kezaliman dan kemunduran. Mereka mengingkari kelayakannya sebagai
sistem negara dan beranggapan bahwa akal manusia lebih layak dan
mampu mengurus kemaslahatan manusia sendiri.

Untuk menyelesaikan masalah ini, mereka berkompromi. Jalan tengah


yang mereka ambil ialah: mengakui agama sebagai pengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, tetapi bukan pengatur antara manusia
dengan manusia lain dalam kehidupan dunia. Maka muncullah konsep
“fasluddeen ‘anil-hayah” (pemisahan agama dari kehidupan) dan konsep
ini menjadi asas atau mabda’ bagi ideologi yang dikenali dengan
Kapitalisme. Maka mereka berjaya bangkit sebagai sebuah tamaddun,
dan mengembangkan pemikiran fasluddeen ‘anil-hayah ini keseluruh
alam melalui cara imperialisme.

Apabila ditinjau dengan mendalam, kita dapati bahwa konsep “fasluddin


‘anil-hayah” ini sendiri merupakan konsep yang menyalahi logika akal.
Suatu solusi yang didapati dengan mengambil jalan tengah antara dua
pihak yang bertentangan tanpa melihat kebenaran argumen kedua-belah
pihak, tidak dapat dianggap sebagai solusi samasekali; terutama apabila
pertentangan yang berlaku ialah antara haq dan bathil. Maka konsep ini
yang mereka anggap moderasi/kompromi/adil samasekali tidak
berdasarkan akal dan tidak berdasarkan kebenaran.

Konsep ini sangat menonjol dalam setiap aturan ideologi Kapitalis.


Mereka menjadikan ‘undi’ sebagai penyelesaian dalam menerapkan
peraturan. Undang-undang yang mau diluluskan di parlimen contohnya,
dibahas dan didebatkan terlebih dahulu kemudian diundi pendapat.
Suara majoritilah yang menentukan keberlakuan undang-undang
tersebut, tanpa memperdulikan kebenaran argumen pihak minoriti. Di
negara-negara Kapitalis, kita dapati undang-undang yang merbahaya
untuk kelestarian manusia diberlakukan, semata-mata karena parlimen
meluluskannya. Sebagai contoh: mengakui hak-hak lesbian dan
homoseks dengan alasan pengakuan hak-hak asasi manusia, walaupun
implikasi dari pengakuan ini ialah berleluasanya penyebaran AIDS
misalnya. Alasan agama dalam masalah ini tidak akan diterima
samasekali walaupun benar dari segi akal dan fakta.

Dalam menyelesaikan masalah politik, mereka mengambil jalan tengah


tanpa melihat kebenarannya. Contohnya masalah Palestin. Kaum Arab
Muslimin menuntut seluruh tanah Palestin dan menganggapnya sebagai
tanah mereka; sedangkan kaum Yahudi mendakwa tanah Palestin ialah
tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka (the promised land). Maka
bersepakatlah negara-negara Barat yang kapitalistik itu pada 1947 untuk
menyelesaikan konflik Palestin dengan membuat dua struktur
pemerintahan di sana: satu untuk Arab dan satu lagi untuk Yahudi.
Begitu pula halnya dalam masalah Kasymir, Kosovo, Bosnia, Cyprus,
dan lain-lain.

Konsep ini mereka propagandakan seolah-olah ia membawa keadilan


bagi semua pihak. Hakikatnya, konsep yang mereka serukan ini
bersandar kepada dusta dan dalih-dalih. Mereka bukannya berusaha
mencapai kebenaran seluruhnya, tetapi mereka menggunakan konsep ini
sebagai dalih (excuse) dan tipudaya untuk memperolehi kesepakatan
yang dikehendaki. Oleh karena itu kita saksikan perundingan
berlangsung bertahun-tahun, bukan untuk memberikan hak yang
sepatutnya (karena menurut pandangan mereka hak seseorang itu tidak
ada batasnya), tetapi untuk mencapai persetujuan dengan cara
kompromi. Setiap pihak ingin memperolehi bahagian yang sebesar-
besarnya walaupun harus menanggung risiko kehilangan sebahagian dari
hak mereka. Hasilnya, besar kecilnya bahagian yang diperolehi tidak
tergantung kepada benar tidaknya suatu pihak, tetapi kuat atau lemahnya
posisi mereka. Maka yang kuat akan memperolehi apa yang mereka
ingini, sedangkan yang lemah harus mengalah dan berpuashati dengan
bargaining yang mereka dapati.

Posisi kaum muslimin yang begitu lemah dewasa ini, menjadikan


mereka mangsa konsep moderasi-kompromi ini. Masalah yang mereka
hadapi tidak pernah ada penyelesaiannya karena mereka tidak
dibenarkan untuk merujuk kepada hak mereka yang ditentukan oleh
Allah SWT, karena wahyu Allah itu tidak boleh dijadikan argumen
untuk mengatur hubungan mereka dengan manusia yang lain. Mereka
tidak boleh memperjuangkan aqidah mereka walaupun aqidah Islamlah
aqidah yang benar, karena memperjuangkannya berarti ‘memihak’ dan
ini merupakan extremisme – tidak semua manusia memeluk aqidah ini-
maka harus ada kompromi.

Alasan Kaum Muslimin Mengambil Konsep ‘Moderasi’

Kaum Muslimin yang seharusnya menyerang konsep ini dan


menjelaskan kepalsuannya, justru memperjuangkannya. Mereka malah
mendakwa bahwa ‘jalan tengah’ ini ialah bahagian dari Islam. Istilah-
istilah seperti tolak-ansur, kesederhanaan dikait-kaitkan dengan
moderasi-kompromi ini. Ulama-ulama umat ini kemudian mencari dalil-
dalil untuk membenarkan argumen ini. Mereka mengatakan Islam itu
berada antara ruhiyah dan materi, seimbang antara individu dan
masyarakat, antara realistis dan idealis, tidak ekstrim tidak pula longgar,
bukan ekstrim kiri bukan pula ekstrim kanan. Mereka mengatakan
bahwa setiap sesuatu itu memiliki dua hujung ekstrim dan wilayah
antara dua hujung tadi ialah wilayah yang aman. Sedangkan titik-titik
hujung ialah daerah berbahaya dan merosakkan. Sebaliknya, titik tengah
ialah pusat keseimbangan dan kekuatan. Oleh yang demikian, dalih
mereka, kita dapati Islam itu seimbang karena sentiasa berada di titik
tengah.

Diantara dalil yang digunakan untuk menguatkan pendapat di atas:

1) Qs. al-Baqarah [2]: 143

ِ ‫علَى ال َّن‬
‫اس‬ ُ ‫طا ِلتَكُونُوا‬
َ ‫ش َهدَا َء‬ َ ‫… َو َكذَ ِلكَ َجعَ ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
ً ‫س‬

“Dan demikian Kami jadikan kamu (umat Islam) ‘umatan wasatha’


supaya kamu menjadi saksi ke atas manusia…”

dengan mengartikan ‘wasatha’ sebagai moderat. Bahwa moderatnya


umat Islam itu karena moderatnya manhaj dan sistemnya. Ia tidak
ekstrim sebagaimana agama Yahudi dan tidak pula sebagaimana agama
Nasrani yang lemah. Ia seimbang antara dunia dan akhirat, akhlaq dan
syariah dan sebagainya. Al-wasatha juga berarti keadilan dan keadilan
itu berarti moderat atau kompromi antara dua pihak yang bersengketa,
maka jadilah keadilan itu bermakna perdamaian.

2) Qs. al-Furqaan [25]: 67

‫َان بَ ْي َن ذَ ِلكَ قَ َوا ًما‬ ْ ُ‫ِين إِذَا أ َ ْنفَقُوا لَ ْم ي‬


َ ‫س ِرفُوا َولَ ْم يَ ْقت ُ ُروا َوك‬ َ ‫َوالَّذ‬

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak


berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah mereka di antara yang
demikian itu.” Mereka mengatakan bahwa dalam berinfaq terdapat dua
ekstrim: boros dan kikir, dan yang dituntut oleh Allah SWT ialah antara
keduanya (al-qawaam). Mereka berdalih, jalan tengah disyariatkan oleh
Islam dalam membelanjakan harta.

Bantahan Terhadap Argumen Di Atas

Makna yang benar bagi Qs. al-Baqarah [2]: 143 ialah, bahwa umat
Islam ialah umat yang adil, dan adil ialah salah satu syarat seorang saksi
di dalam Islam. Maka umat Islam akan menjadi saksi yang adil terhadap
umat-umat yang lain karena Islam telah sampai kepada mereka.
Meskipun ayat ini datang dalam bentuk ‘khabar’, ia merupakan tuntutan
kepada umat Islam supaya menyampaikan risalah Islam kepada umat
yang lain, jikalau tidak mereka akan berdosa. Inilah yang ditunjukkan di
akhir ayat 143 ini, juga dalam Qs. al-Baqarah [2]:140,

َ ‫… َو َم ْن أ َ ْظلَ ُم ِم َّم ْن َكت َ َم‬


َّ ‫ش َها َدةً ِع ْن َدهُ ِم َن‬
… ِ‫َّللا‬

“Siapakah yang lebih zalim dari orang yang menyembunyikan


syahadahnya dari Allah…” Adapun Qs. al-Furqaan [25]: 67
menunjukkan bahwa ada tiga jenis jalan membelanjakan harta: 1) al-
Isrof; (2) at-Taqtier; (3) al-Qawaam. Al-Isrof ialah membelanjakan harta
dijalan yang haram, baik banyak atau sedikit. Walaupun seseorang
hanya mengeluarkan $1 untuk berjudi, itu sudah dianggap ‘isrof’. At-
Taqtier adalah tidak mau menafkahkan harta dalam perbelanjaan yang
wajib, seperti zakat dan nafkah. Sedangkan al-Qawaam berarti
menafkahkan harta sesuai dengan yang diminta oleh Islam, baik banyak
atau sedikit[1]. Contohnya: ketika Abu Bakar r.a membelanjakan
seluruh hartanya untuk Islam, atau Umar r.a mengeluarkan separuh dari
hartanya, atau Usman r.a membiayai perlengkapan jihad, mereka
radhiallahu ‘anhum tidak dianggap isrof. Begitu pula apabila kaum
munafiq menghina sebahagian kaum muslimin yang tidak memperolehi
kecuali sedikit untuk disedekahkan di jalan Allah, Allah justru mencela
kaum munafiq itu (Qs. at-Taubah [9]: 79). Allah SWT juga memuji
orang-orang yang beserta Rasulullah Saw di dalam senang dan susah:

َ ْ‫َّللاُ أَح‬
‫س َن َما‬ َّ ‫ب َل ُه ْم ِليَجْ ِز َي ُه ُم‬
َ ‫ون َوا ِديًا ِإ ََّل ُك ِت‬ َ ‫يرةً َو ََل َي ْق‬
َ ُ ‫طع‬ َ ‫يرةً َو ََل َك ِب‬ َ ً‫ون نَفَ َقة‬
َ ‫ص ِغ‬ َ ُ‫َو ََل يُ ْن ِفق‬
َ ُ‫كَانُوا يَ ْع َمل‬
‫ون‬

“…dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak
pula yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan
bagi mereka (amal saleh), supaya Allah membalas mereka dengan yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (Qs. at-Taubah [9]: 121).

Maka lafaz “wa kaana baina dzalika qawaama” tidak dapat diartikan
sebagai jalan tengah. Ia hanya menunjukkan bahwa ada 3 cara dalam
berinfak, dan hanya satu darinya yang sesuai dengan syara’. Allah SWT
tidak mengatakan: “baina dzalikuma..” yang berarti ‘di antara
keduanya’ sehingga perkataan qawaam dapat diartikan dengan
“wasathiyah” yaitu pertengahan.

Khatimah

Dengan yang demikian, tidak ada jalan tengah di dalam Islam dan tidak
pula kompromi. Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan Dia
mengetahui ciptaan-Nya dengan pemahaman yang tidak berdaya
dilampaui oleh manusia. Dia SWT-lah yang mampu dan berhak untuk
mengatur kehidupan manusia dengan suatu peraturan yang teliti dan
tepat. Dan tidak seorang manusiapun, bagaimana geniusnya beliau,
dapat mencapai kemampuan itu. Dimanakah konsep “wasathiyah” di
dalam ayat-ayat ini?

ِ ‫س َل ِم دِينًا فَلَ ْن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َو ُه َو فِي ْاآل ِخ َر ِة ِم َن ا ْل َخا‬


َ ‫س ِر‬
‫ين‬ ْ ‫اْل‬ َ ‫َو َم ْن يَ ْبت َ ِغ‬
ِ ْ ‫غ ْي َر‬
”Barangsiapa mencari selain Islam sebagai addeen, maka sekali-kali
tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.” (Qs. Ali-‘Imraan [3] : 85).

‫َّللاُ َو ََل تَت َّ ِب ْع أ َ ْه َوا َء ُه ْم‬


َّ ‫َوأ َ ِن احْ ُك ْم َب ْينَ ُه ْم ِب َما أ َ ْن َز َل‬
“Dan berhukumlah antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh
Allah (syari’at Islam) dan janganlah kamu mengikuti hawa mereka…”
(Qs. al-Maa’idah [5]: 49).

Ketika Rasulullah Saw meminta bantuan dari Bani Sha’sha’ah, mereka


meminta kepada beliau agar kepimpinan diserahkan kepada mereka
sepeninggalan Rasulullah Saw nanti, Rasulullah hanya mengatakan: “Al-
amru lillahi yadha’a hu haitsu yasyaa’…” yang berarti:
urusan/kekuasaan itu milik Allah, Dia meletakkannya di tempat yang
dikehendakiNya.

Juga tidak ada jalan tengah dalam penerapan hukum Islam, baik hukum
potong tangan atau zina atau murtad. Allah SWT telah menurunkan
syariat-Nya dengan lengkap dan terperinci, Rasulullah Saw serta
khalifah-khalifah selepas beliau telah menunjukkan kepada kita
bagaimana hukum Islam itu telah dinikmati oleh kaum Muslimin lebih
dari 14 abad lamanya. Istilah ‘wasathiyah’ ini telah disuntikkan kedalam
Islam oleh musuh-musuh Allah supaya kaum muslimin melekatkannya
ketubuh Islam dengan nama moderasi dan toleransi, serta memalingkan
kaum muslimin dari ketegasan dan kebijaksanaan hukum Allah SWT.
Hendaknya kaum Muslimin menyadari racun pemikiran yang
disuntikkan ke dalam pemikiran-pemikiran Islam, dan mulai menjadikan
hanya syariat sebagai tolak ukur mereka dalam penghidupan ini. Allah
SWT berfirman:
‫ض َل ُل‬ ِ ‫فَ َماذَا بَ ْع َد ا ْل َح‬
َّ ‫ق ِإ ََّل ال‬

“…tidak ada sesuatupun selepas Haq itu melainkan kesesatan…” (Qs.


Yunus [10]: 32).

Apakah Islam itu tidak cukup untuk kaum Muslimin, sehingga kita perlu
mencari istilah atau cara hidup yang lain selain Islam?

Sumber: hayatulislam.net Publikasi 30/05/2004 (tanpa arab dan catatan


kaki)

[1] Tafsir Ath Thabari (19/298), Maktabah Syamilah: ‫ ثنا‬:‫ قال‬،‫حدثني علي‬
‫ِين ِإذَا أ َ ْنفَقُوا لَ ْم‬
َ ‫) َوالَّذ‬:‫ قوله‬،‫ عن ابن عباس‬،‫ عن علي‬،‫ ثني معاوية‬:‫ قال‬،‫أبو صالح‬
‫ هم المؤمنون َل يسرفون فينفقون في‬:‫َان َب ْي َن ذَ ِلكَ قَ َوا ًما ( قال‬
َ ‫س ِرفُوا َولَ ْم يَ ْقت ُ ُروا َوك‬
ْ ُ‫ي‬
‫ وَل يُقترون فيمنعون حقوق هللا تعالى‬،‫معصية هللا‬..

Beri peringkat:
Sifat Allah

Sebelum munculnya para mutakallimin tidak dikenal perma-salahan


(pembahasan khusus-pen) tentang sifat-sifat Allah dan tidak pernah
persoalan ini muncul dalam setiap pembahasan. Di dalam al-Quran dan
hadits yang mulia tidak didapati kata mengenai sifat-sifat Allah, begitu
juga tidak ada seorang sahabatpun yang menyebutkan kata-kata tentang
sifat-sifat Allah atau membahas tentang sifat-sifat Allah. Apa yang telah
dikatakan oleh para mutakallimin tentang sifat-sifat Allah yang –
menurut mereka- terdapat dalam ayat-ayat al-Quran harus dipahami
berdasarkan konteks firman Allah Swt:

‫ون‬ َ ‫ب ا ْل ِع َّز ِة‬


َ ُ‫ع َّما َي ِصف‬ َ ‫س ْب َح‬
ِ ‫ان َر ِبكَ َر‬ ُ
Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang
mereka katakan. (TQS. ash-Shaaffat [37]: 180)

‫س ك َِمثْ ِل ِه ش َْي ٌء‬


َ ‫لَ ْي‬
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (TQS. asy-Syura [42]:
11)

‫ار‬
ُ ‫ص‬َ ‫ََل تُد ِْر ُكهُ ْاأل َ ْب‬
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (TQS. al-An’aam [6]:
103)

Pensifatan terhadap Allah harus diambil dari al-Quran saja. Seperti


misalnya di dalam al-Quran terdapat kata al-ilmu, maka harus diambil
dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:
‫ط ِم ْن َو َرقَ ٍّة ِإ ََّل‬ُ ُ‫سق‬ ْ َ ‫ب ََل يَ ْع َل ُم َها ِإ ََّل ُه َو َويَ ْع َل ُم َما فِي ا ْلبَ ِر َوا ْلبَحْ ِر َو َما ت‬ِ ‫َو ِع ْن َدهُ َمفَاتِ ُح ا ْلغَ ْي‬
‫ين‬
ٍّ ِ‫ب ُمب‬ ٍّ ‫ض َو ََل َر ْط‬
ٍّ ‫ب َو ََل يَابِ ٍّس إِ ََّل فِي ِكتَا‬ ِ ‫ت ْاأل َ ْر‬ ُ ‫يَ ْعلَ ُم َها َو ََل َحبَّ ٍّة فِي‬
ِ ‫ظلُ َما‬
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam
kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauhil mahfuz). (TQS. al-
An’aam [6]: 59)

Seperti al-hayat diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah
Swt:

‫َّللاُ ََل ِإ َلهَ ِإ ََّل ُه َو ا ْل َح ُّي ا ْل َقيُّو ُم‬


َّ
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). (TQS. al-
Baqarah [2]: 255)

‫ُه َو ا ْل َح ُّي ََل ِإلَهَ إِ ََّل ُه َو‬

Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah)


melainkan Dia. (TQS. al-Mukmin [40]: 65)

Seperti al-qudrah diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah
Swt:

‫شيَعًا‬ َ ‫ت أ َ ْر ُج ِل ُك ْم أَ ْو يَ ْل ِب‬
ِ ‫س ُك ْم‬ ِ ْ‫عذَابًا ِم ْن فَ ْو ِق ُك ْم أ َ ْو ِم ْن تَح‬
َ ‫ع َل ْي ُك ْم‬ َ َ‫علَى أ َ ْن يَ ْبع‬
َ ‫ث‬ َ ‫قُ ْل ُه َو ا ْلقَاد ُِر‬

Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu,


dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu
dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan). (TQS. al-
An’aam [6]: 65) …

Sifat-sifat tersebut terdapat di dalam al-Quran yang mulia. Juga dijumpai


pula sifat-sifat yang lain, seperti al-wahdaniyah, al-qidam dan lain-lain.
Kaum Muslim dimasa lalu tidak pernah berselisih pendapat bahwa Allah
itu satu dan bersifat azali lagi memiliki sifat hayyun, qadirun, sami’un,
bashirun, mutakallimun, ‘alimun serta muridun.

Lalu datang para mutakallimin yang menyebarkan pemikiran-pemikiran


filsafat. Maka muncul perselisihan pendapat dikalangan para
mutakallimin tentang sifat-sifat Allah tadi. Kelompok mu’tazilah
berkata, bahwa zat Allah dan sifat-sifatNya itu satu. Allah bersifat
‘alimun, hayyun dan qadirun itu pada zat-Nya, jadi ilmu, qudrah dan
hayat bukanlah tambahan pada zatNya, sebab jika ‘alimun dengan ilmu
dianggap sebagai tambahan pada zatNya, dan hayyun dengan hayat
sebagai tambahan pada zatNya, berarti keadaannya sama dengan
manusia. (Yaitu) mesti ada sifat dan mausuf (sesuatu yang disifati), juga
hamil (yang membawa) dan mahmul (sesuatu yang dibawa). Hal
semacam ini merupakan kondisi (yang bersifat) jasmani (fisik). Maha
suci Allah dari (sifat) penjasmanian. Seandainya kami mengatakan
setiap sifat itu berdiri dengan sendirinya sungguh yang kekal itu akan
berbilang (qudama). Dengan ungkapan lain akan terdapat banyak Tuhan.

Sementara itu (kelompok) ahli sunnah berkata, Allah Swt memiliki sifat-
sifat azaliyah yang bersatu dengan zatNya, yaitu (bukan Dia dan bukan
selainNya). Keberadaan-Nya memiliki sifat-sifat, maka mengapa harus
ditetapkan bahwa Allah itu ‘alimun, hayyun, qadirun dan seterusnya.
Dan telah diketahui bahwa masing-masing dari ilmu, hayat, qudrah dan
yang semisalnya, menunjukkan pengertian (adanya) tambahan terhadap
mafhum al-wajibul wujud (wajib keberadaannya). Semua itu bukan
kalimat sinonim. Jadi, tidak mungkin terjadi seperti yang dikatakan oleh
kelompok mu’tazilah, bahwa Dia itu ‘alimun la ilma lahu (‘alim tetapi
tidak memiliki ilmu), dan qadirun la qudrata lahu (qadir tidak memiliki
kekuasaan atau kemampuan) dan lain-lain sebagainya. Hal seperti itu
mustahil ada. Itu sama saja dengan menga-takan bahwa warna hitam
tetapi tidak ada hitamnya. Nash-nash telah menerangkan tentang
ketetapan ilmu, qudrah-Nya dan lain-lain. Dan hal itu telah ditunjukkan
oleh hasil perbuatan yang mutqinah (tepat) atas keberadaan ilmu dan
qudrah-Nya. Bukan sekedar dinamakan alim (berilmu) dan qadir
(berkuasa) saja. Keberadaan sifat Allah yang azali, berarti tidak mustahil
melakukan berbagai peristiwa dengan zatNya yang Maha tinggi.
Sifatnya yang qadim dan azali tidak mungkin melakukan sebuah
peristiwa saja. Mengenai keberadaan sifat-sifat-Nya yang menyatu
dengan zat-Nya yang Maha tinggi maka hal itu merupakan bagian
terpenting yang secara pasti harus ada, karena tidak ada maknanya
mensifati sesuatu kecuali apa yang ia lakukan. Tidak ada makna
(keberadaanNya) sebagai ‘aliman dengan melakukan sifat terhadap
perkara yang sudah diketahui. Tetapi makna (keberadaanNya) sebagai
‘aliman berarti menguasai sifat mengetahui. Adapun keberadaan sifat
(bukan Dia dan bukan selainNya) berarti sifat-sifat Allah bukanlah zat-
Nya itu sendiri, karena akal memastikan bahwa sifat bukanlah mausuf
(yang disifati). Artinya, sifat tersebut merupakan makna tambahan pada
zat. Hal itu merupakan sifat bagi Allah sehingga bukan selain Allah. Ia
bukanlah sesuatu, bukan pula berupa zat ataupun benda, melainkan sifat
bagi zat. Keberadaannya bukanlah zat Allah, bukan pula selain Allah, ia
merupakan sifat bagi Allah.

Tentang perkataan kelompok mu’tazilah, seandainya dijadikan seluruh


sifat berdiri tegak dengan sendirinya maka yang kekal itu akan berbilang
(qudama). Pernyataan semacam ini (bisa diterima) jika keberadaan sifat
itu sebagai zat. Kalau keberadaannya sebagai sifat bagi zat yang qadim
(terdahulu) maka tidak akan menjadikan zat tersebut berbilang. Boleh
saja sifat-sifat itu berbilang bagi satu zat, lagi pula yang demikian itu
tidak menghilangkan sifat wahdaniyah dan tidak akan terjadi
politheisme (banyak tuhan). Oleh karena itu ahli sunnah*) menetapkan -
secara akal- bahwa Allah memiliki sifat-sifat yaitu selain zatNya dan
bukan yang selainNya, karena sifat bukanlah mausuf (yang disifatkan),
dan ia tidak terpisah dari mausuf. Kemudian ahli sunnah menjelaskan
makna setiap sifat-sifat azali. Mereka berkata bahwa sifat ilmu adalah
sifat azali yang mampu menyingkap seluruh ma’lumat ketika sifat itu
berhubungan dengan ma’lumat tadi. Begitu pula sifat qudrah adalah
sifat azali yang berpengaruh dalam segala hal yang dapat dikuasai ketika
sifat qudrah ini berhubungan dengan hal yang dikuasainya tadi. Sifat
hayat adalah sifat azali yang mengharuskan kelayakan yang hidup. Sifat
qudrah merupakan kekuatan. Sifat mendengar (as-sam’u) adalah sifat
azali yang berhubungan dengan segala yang didengar. Sifat melihat (al-
bashar) adalah sifat azali yang berhubungan dengan segala yang dilihat.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut Allah mampu mengetahui secara
sempurna, bukan melalui jalan khayalan ataupun persangkaan, bahkan
bukan berdasarkan jalan yang dipengaruhi oleh perasaan maupun hawa
nafsu. Iradah dan masyi-ah, keduanya adalah ungkapan tentang sifat
yang terdapat pada hayyun (yang hidup), yang mengharuskan
pengkhususan salah satu yang dikuasai didalam satu waktu untuk
melakukan kejadian dengan kadar kemampuan terhadap keseluruhan
yang merata. Sifat kalam adalah sifat azali yang telah diungkapkan
secara teratur, dikenal dengan al-Quran. Allah Swt berbicara/berkata-
kata dengan kalam. Ia merupakan sifat bagi-Nya dan azali, bukan dari
jenis huruf-huruf maupun suara-suara. Yaitu sifat yang berlawanan
dengan sukut (diam) atau afat (wabah/bahaya). Allah Swt berkata-kata
dengan sifatNya sebagai ‘amirun (yang memerintah), nahin (yang
melarang), mukhbirun (pem-beri khabar). Atas seluruh (sifat) ‘amirun,
nahin dan mukhbirun menda-pati makna dari dirinya, kemudian ia akan
menunjuk kearahnya.

Itulah penjelasan ahli sunnah tentang sifat-sifat Allah, setelah mereka


menetapkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat azaliyah. Namun
kelompok mu’tazilah mengingkari keberadaan makna-makna ini bagi
sifat-sifat Allah, karena mereka (mu’tazilah) menegasikan bagi Allah
memiliki sifat-sifat (yang merupakan) tambahan bagi zatNya. Mereka
berpendapat apabila dipastikan bahwa Allah itu qadir, ‘alim, muhith
(maha meliputi segalanya), maka zat Allah dan sifat-sifatNya tidak bisa
diikuti oleh perubahan, karena perubahan itu merupakan sifat baharu
(muhdats). Maha suci Allah dari sifat-sifat baharu. Apabila keberadaan
sesuatu itu dijadikan setelah (sebelumnya) tidak ada, dan meniadakan
sesuatu setelah keberadaannya, dan qudrah serta iradah Allah
menguasai hal itu -sehingga qudrah dan iradahNya (mampu)
menjadikan sesuatu dari ketiadaannya dan meniadakannya setelah
sesuatu itu ada- maka bagaimana qudrah ketuhanan yang bersifat qadim
berhubungan dengan sesuatu yang baharu (muhdats) hingga qudrah
tersebut dapat mengadakannya? Dan mengapa qudrah tersebut
mengadakannya pada saat ini, bukan pada saat lainnya dan bukan pada
masa pertama? Qudrah yang secara langsung berjalan terhadap sesuatu
setelah sebelumnya tidak berhubungan secara langsung dengan sesuatu
tadi, menunjukkan adanya perubahan pada qudrah. Padahal sudah pasti
bahwa Allah tidak diikuti oleh perubahan. Keadaan-Nya adalah qadim
dan azali. Begitu pula pernyataan tentang iradah. Contoh seperti itu
dikatakan juga tentang ilmu. Ilmu adalah mengungkap sesuatu yang
ma’lum (diketahui) atas apa yang ada. Sementara ma’lum (yang
diketahui) tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu. Daun pepohonan
yang jatuh berguguran setelah keberadaan (sebelum)nya tidak
berguguran. Tanah yang lembab berubah menjadi tanah yang kering.
Kehidupan berubah menjadi kematian. Ilmu Allah mampu menyingkap
sesuatu berdasarkan penyandaran pada ilmuNya, sehingga Dia Maha
mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Dia Maha mengetahui
sesuatu bahwa keberadaannya itu benar-benar ada, dan Maha
mengetahui sesuatu bahwa keberadaannya itu benar-benar tidak ada.
Maka bagaimana ilmu Allah mengalami perubahan disebabkan (adanya)
perubahan terhadap segala sesuatu yang ada? Ilmu yang mengalami
perubahan yang disebabkan oleh (adanya) perubahan tentang berbagai
kejadian adalah ilmu yang bersifat baharu (muhdats). Dan Allah Swt
tidak melakukan sesuatu yang muhdats, karena setiap hal yang
berhubungan dengan sesuatu yang baharu berarti ia juga bersifat baharu
(muhdats).

Pernyataan ini telah ditentang oleh kelompok ahli sunnah yang berkata
bahwa qudrah memiliki dua ta’alluq (hubungan), yaitu azali yang tidak
menghasilkan adanya al-maqdur (kemampuan) secara nyata, dan
ta‘alluq hadits (hubungan yang bersifat baharu-pen) yang menghasilkan
adanya al-maqdur secara nyata. Qudrah tersebut berhubungan dengan
sesuatu hingga ia dapat mewujudkannya. Qudrah itu telah ada sebelum
terjadi hubungannya dengan sesuatu. Hubungannya dalam mewujudkan
sesuatu itu tidak membuat qudrah tersebut menjadi baharu. Dan
hubungannya secara langsung terhadap sesuatu setelah tidak adanya
hubungan tersebut, bukan berarti terjadi perubahan pada qudrah. Jadi,
qudrah adalah qudrah itu sendiri. Ia tidak mengalami perubahan, tetap
berhubungan dengan sesuatu sekaligus mewujudkannya. Al-maqdurlah
yang mengalami perubahan, sedangkan qudrah tidak berubah. Mengenai
ilmu, maka segala sesuatu yang mungkin berhubungan dengan ilmu
adalah ma’lum (sesuatu yang diketahui) secara nyata. Yang sesuai
dengan ‘alimiyah (sifat kemahatahuan) adalah zatNya Swt,. Dan yang
sesuai dengan ma’lumiyah (sifat yang diketahui) adalah zat-zat segala
sesuatu. Maka hubungan zat dengan keseluruhan zat-zat itu sama saja.
Ilmu tidak berubah sesuai dengan zat. Yang berubah hanyalah aspek
penam-bahannya. Dan ini boleh-boleh saja. Yang mustahil adalah
perubahan ilmu itu sendiri dan sifat-sifat yang qadim, seperti qudrah,
ilmu dan lain-lainnya. Jadi, tidak mesti sifat-sifat itu qadim sehingga
hubungannya harus bersifat qadim pula. Walhasil, bahwa zat yang
bersifat qadim berhubungan dengan zat-zat yang bersifat baharu
(muhdats).

Begitulah polemik itu berkecamuk antara kelompok mutakallimin


mu’tazilah disatu sisi dengan kelompok ahli sunnah disisi lain tentang
sifat-sifat Allah. Sama seperti (polemik mereka pada) masalah lain,
seperti qadla dan qadar. Anehnya ruang lingkup perdebatan yang
dikobarkan oleh para mutakallimin sama seperti yang telah dikobarkan
oleh para filosof Yunani sebelumnya. Para filosof Yunani mengobarkan
ruang lingkup tentang masalah sifat-sifat al-Khaliq, sehingga muncul
kelompok mu’tazilah yang menjawab tentang masalah itu. Meskipun
demikian jawaban mereka masih dalam batas-batas keimanan mereka
kepada Allah, dan masih dalam koridor pendapat-pendapat yang
bertumpu pada tauhid. Lalu muncul kelompok ahli sunnah yang
menentang pendapat mereka, untuk mengurangi tekanan filsafat Yunani,
dan dibalik apa yang menjadi teori keharusan maupun premis-premis
yang bersifat mantiq (logika). Merekapun terjatuh kedalam perangkap
yang sama dengan kelompok mu’tazilah sehingga kelompok mu’tazilah
menentang pendapat mereka (para ahli sunnah). Mereka menjadikan
akal sebagai asas/landasan dalam berdiskusi dan berpolemik tentang
perkara-perkara yang bisa dijangkau dan yang tidak bisa dijangkau oleh
akal, mengenai hal yang dapat diindera dan yang tidak dapat diindera
oleh manusia. Mereka menjadikan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagai
pendukung pendapatnya. Mereka mentakwil dalil ayat-ayat dan hadits-
hadits yang berbeda dengan arah pendapat mereka. Dengan demikian
seluruh kelompok mutakallimin baik itu kalangan mu’tazilah, ahli
sunnah maupun lainnya sama-sama men-jadikan akal sebagai
asas/landasan. Dan menjadikan ayat-ayat Allah sebagai pendukung arah
pandangan akal, atau ayat-ayat tersebut ditakwilkan agar dapat dipahami
sesuai dengan pandangan akal orang yang memahami diantara mereka.

Yang menghantarkan para mutakallimin hingga bersikap seperti ini


terkait dengan dua perkara berikut:

Pertama, kekaburan tentang definisi akal.

Kedua, mereka tidak bisa membedakan antara metode al-Quran dalam


memahami berbagai hakekat, dengan metode para filosof dalam
memahami hakekat.

Kekaburan mereka tentang definisi akal tampak jelas dari definisi


mereka mengenai akal. Telah diriwayatkan bahwa mereka mengatakan:
‘akal adalah kekuatan di dalam jiwa atau daya pemahaman’. Ini
merupakan makna dari perkataan mereka ‘watak/instink yang disertai
oleh ilmu mengenai perkara-perkara yang dianggap penting disaat
seluruh perangkatnya benar’. Mereka juga mengatakan: ‘akal adalah
jauhar (inti) yang dapat mengetahui segala perkara ghaib melalui
berbagai perantara atau mengetahui segala hal yang dapat disaksikan
melalui musyahadah (penginderaan)’. Mereka juga mengatakan: ‘akal
adalah jiwa itu sendiri’. Barangsiapa yang pemahamannya tentang akal
sesuai dengan pemahaman diatas maka bukan hal yang mengherankan
jika ia menyusun suatu teori terhadap berbagai premis yang ada, lalu
melahirkan kesimpulan yang sebenarnya tidak pernah ada. Ia
mengatakan tentang dirinya sendiri bahwa ia mengetahui kesimpulan ini
berdasarkan akal. Berdasarkan hal ini pembahasan yang bersifat aqli
pada mereka tidak memiliki batasan tertentu. (Bagi mereka) seluruh
topik layak dibahas, hingga sampai pada beberapa kesimpulan dan itu
dinamakan sebagai pembahasan yang bersifat aqli. Begitupun
kesimpulannya bersifat aqli. Tidak mengherankan jika kelompok
mu’tazilah mengatakan, bahwa ta’alluq qudrah Allah yang azali dengan
al-maqdur yang bersifat baharu menjadikan sifat qudrah sebagai sesuatu
yang baharu pula. Mereka menganggap bahwa hal itu adalah
pembahasan yang bersifat aqli dan kesimpulannya pun bersifat aqli pula.
Sementara ahli sunnah berkata -pada saat itu- bahwa ta’alluq qudrah
Allah dengan al-maqdur tidak menjadikan qudrah itu mengalami
perubahan, dan tidak menjadikannya sesuatu yang baharu, karena yang
membuat qudrah menjadi baharu adalah perubahan qudrah itu sendiri,
bukan perubahan al-maqdur. Mereka juga menganggap bahwa hal itu
merupakan pembahasan yang bersifat aqli, dan kesimpulannya pun
bersifat aqli. Sebab, akal menurut mereka adalah an-nafsu (jiwa) atau
watak atau instink yang disertai dengan ilmu mengenai hal-hal yang
dianggap perlu. Jadi, ia membahas tentang segala sesuatu. Kalau mereka
mengetahui makna akal yang sebenarnya tentu mereka tidak akan
terlibat dalam pembahasan hipotetis yang terlalu menduga-duga. Lagi
pula seluruh kesimpulan yang dihasilkannya tidak bersifat praktis, dan
hanya (berasal) dari sesuatu yang dihasilkan (dikaitkan dengan) sesuatu
yang lain lalu hal itu disebut dengan hakekat yang bersifat aqliyah.

Dewasa ini pengertian tentang akal sudah kita peroleh penje-lasannya,


sehingga kita dapat mengetahui bahwa jika segala sesuatu yang ada
tidak memadai untuk dibahas secara akal, maka tidak mungkin kita
namakan pembahasannya bersifat aqliyah, dan hal itu tidak mengizinkan
kita untuk membahasnya. Kita telah mengetahui bahwa definisi akal
adalah: ‘perpindahan fakta melalui perantaraan indera menuju otak dan
disertai dengan ma’lumat sabiqah (informasi-informasi terdahulu) yang
akan menafsirkan fakta tersebut’. Jadi, pembahasan yang bersifat aqliy
harus ada empat macam, yaitu: pertama adalah otak, kedua adalah
indera, ketiga adalah fakta, dan yang keempat adalah ma’lumat sabiqah
yang berhubungan dengan fakta tersebut. Jika satu unsur saja dari empat
perkara tadi tidak ada maka tidak mungkin terjadi pembahasan yang
bersifat aqliy secara mutlak, meski dimungkinkan adanya pembahasan
yang bersifat mantiqi (bersifat logika), dan mungkin pula adanya
pembahasan yang bersifat khayal atau angan-angan. Semua ini tidak ada
nilainya sama sekali karena hal itu tidak berada dibawah pemahaman
akal, atau sumbernya tidak berada dalam cakupan pemahaman akal.
Karena tidak adanya pengetahuan para mutakallimin tentang pengertian
akal, maka mereka disebut sebagai kelompok bebas pada seluruh
pembahasan yang tidak tercakup didalam indera, atau mereka tidak
memiliki ma’lumat sabiqah yang berkaitan dengan (segala sesuatu).

Para mutakallimin tidak mampu membedakan antara metode al-Quran


dengan metode para filosof mengenai pembahasan yang bersifat aqliyah.
Al-Quran membahas tentang ketuhanan, dan para filosof juga membahas
tentang ketuhanan. Pembahasan para filosof tentang ketuhanan
menganalisis wujud yang mutlak dan apa-apa yang harus ada
(dikehendaki) pada zatnya (tuhan). Mereka tidak membahas tentang
alam semesta. Mereka malah membahas perkara yang ada dibalik alam
semesta. Mereka menyusun bukti-bukti (argumentasi) yang dimulai
dengan premis-premis, hingga (dari susunan bukti-bukti tersebut)
sampai pada suatu kesimpulan. Dari kesimpulan ini mereka susun lagi
dengan kesimpulan lainnya hingga menjadi kesimpulan-kesimpulan
baru. Begitulah seterusnya hingga mereka sampai pada hal-hal yang
dianggapnya sebagai hakekat tentang suatu zat dan apa yang
dikehendaki oleh zat tersebut. Mereka berbeda-beda dalam
menghasilkan kesimpulan yang telah dicapainya. Jalan yang mereka
tempuh dalam pembahasan hanya satu, yaitu apa yang ada dibalik alam
semesta. Lalu mereka mengukuhkan setiap argumentasi yang
dihasilkannya, baik itu bertumpu pada asumsi-asumsi sebuah teori, atau
berdasarkan argumentasi yang lain, yang sampai pada kesimpulan-
kesimpulan yang dianggap oleh mereka sebagai kesimpulan yang qath’i
dan harus diyakini.

Metode pembahasan semacam ini bertentangan dengan metode al-


Quran, karena al-Quran hanya membahas tentang alam semesta,
mengenai benda-benda yang telah ada, tentang bumi, matahari, bulan,
bintang, binatang, manusia, segala makhluk melata, unta, gunung dan
lain-lain yang termasuk perkara yang dapat diindera. Dari situ mampu
menjadikan seseorang sadar tentang adanya Pencipta alam semesta,
adanya Pencipta segala yang ada, Pencipta matahari, unta, gunung,
manusia dan lain-lain sebagainya yang diperoleh melalui penginde-
raannya terhadap segala sesuatu yang ada. Tatkala membahas hal-hal
yang ada dibalik alam semesta -yang tidak dapat diindera dan tidak
dapat dijangkau melalui segala sesuatu yang ada-, maka al-Quran
mensifatinya sebagai fakta atau menetapkannya sebagai suatu fenomena
seraya memerintahkan (manusia) untuk mengimaninya dengan perintah
yang pasti. Dan al-Quran tidak memerintahkan untuk mengalihkan
pandangan manusia agar memikirkannya, demikian juga tidak
mengalihkan pandangan manusia kepada sesuatu hingga ia bisa
memikirkannya melalui sesuatu tadi. Seperti tentang sifat-sifat Allah,
surga, neraka, jin, syaitan dan yang semisalnya. Metode ini telah
dipahami oleh para sahabat, dan mereka berjalan sesuai metode tersebut.
Mereka terjun di negerinya dengan mengemban risalah Islam kepada
manusia untuk membahagiakan mereka dengan risalah Islam tadi,
sebagaimana mereka memperoleh kebahagiaan dengan risalah tersebut.
Keadaan seperti ini tetap berlangsung hingga berakhirnya abad pertama.
Lalu pemikiran-pemikiran filsafat Yunani mulai menyusup hingga
munculnya para mutakallimin. Maka metode pembahasan yang bersifat
aqliyah mengalami perubahan. Setelah itu terjadi polemik mengenai zat
Allah dan sifat-sifatNya. Bahkan polemik tersebut makin menjadi-jadi,
meski persoalan yang diperdebatkan tidak tergolong pembahasan yang
bersifat aqliyah sama sekali. Sebab, topik pemba-hasannya mengenai
sesuatu yang tidak tercakup dalam penginderaan, padahal segala sesuatu
yang tidak dapat diindera tidak memiliki ruang bagi akal untuk
membahasnya. Bagaimanapun, pembahasan tentang sifat-sifat Allah,
apakah zat itu sendiri ataupun bukan, sama saja dengan membahas
tentang zat. Dan secara prinsip pembahasan tentang zat itu dilarang,
malah mustahil untuk dibahas. Oleh karena itu seluruh pembahasan para
mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tidak pada tempatnya dan
termasuk kesalahan yang harus diluruskan. Sifat-sifat Allah bersifat
tauqifiyah (tidak bisa diganggu gugat). Apa yang terdapat dalam
beberapa nash-nash yang bersifat qath’i –seperti yang telah kita
sebutkan- itulah (yang kita pahami) apa adanya. Kita tidak boleh
menambahkan satu sifat pun yang tidak ditemukan di dalam nash. Dan
kita tidak boleh menjelaskan satu sifat pun kalau tidak terdapat
(penjelasan tersebut) di dalam nash-nash yang qath’i. Allahu A’lam
[secuil terjemahan kitab Syakhsiyyah Al Islamiyyah juz 1]

*) Ahlus sunnah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Asy’ariyyah,


karena beliaulah yang digelari oleh ulama sezamannya sebagai imam
ahlus sunnah wal jama’ah

Kesalahfahaman Tentang Qodlo & Qodar

Salah satu masalah dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan, adalah
adanya perbedaan pemahaman yang seharusnya kita tangkap secara
obyektif dari apa yang kita dengar atau kita baca, dengan pemahaman
kita sebelumnya tentang hal tersebut, sehingga tidak jarang ada
seseorang, misalkan si B menyatakan bahwa si A memiliki pemahaman
“x” dari apa yang si B baca atau dengar dari si A, padahal kesimpulan
“x” tersebut sebenarnya bukanlah pemahaman si A, namun kesimpulan
si B atas si A dari metode penarikan kesimpulan si B sendiri.

Banyak hal yang mempengaruhi kenapa pemahaman seseorang bisa


berbeda padahal yang dibaca/didengar objeknya sama. Diantaranya
adalah:

1) Keluasan pemahaman pembaca yang berbeda-beda tingkatnya.

2) Kemampuan mengaitkan dan menggabungkan berbagai macam


informasi, serta alur berpikir dalam penarikan kesimpulan.

3) Adanya persepsi awal yg sangat dominan terhadap sesuatu yg


dibaca/didengar (bisa negatif bisa positif).

4) Kemampuan pembaca untuk memilah tema (semesta pembicaraan)


apa sebenarnya yang dibaca/didengar, sehingga tidak jarang bisa terjadi
dua hal yang terkesan bertentangan padahal itu menyangkut dua tema
yang berbeda.

5) Keseriusan, kecermatan dan kecepatan berfikir yang berbeda-beda.


Sebagai contoh, ketika seorang wanita mengadukan kepada ‘Umar bin
Khattab r.a perihal suaminya yang shalat tahajjud sepanjang malam dan
puasa siang harinya, ‘Umar, walapuan sangat cerdas, namun karena
kurang cermat, beliau malah memuji suami wanita tersebut, hingga ada
shahabat lain yang menyampaikan bahwa wanita tersebut bukan sedang
memuji suaminya, namun sedang mengadukan suaminya yang tidak
memberikan “nafkah” kepadanya.

Tulisan berikut dan setelahnya memberikan beberapa contoh


kesalahpahaman dalam membaca beberapa kitab karya Syaikh
Taqiyuddin An Nabhani, namun sayangnya kesalahpahaman (bahasa
kasarnya fitnah) ini banyak dicopy paste para blogger, termasuk yang
mengatasnamakan suatu pesantren atau kelompok Islam, sehingga
memang perlu diluruskan.

***

Penulis buku al-Gharrah al-Imaniyah, ketika membantah pandangan


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab as-Syakhshiyyah al-
Islamiyyah juz I tentang qadha’ dan qadar, ketika menyatakan:

‫ ألن اْلنسان هو‬،‫ َل دخل لها بالقضاء وَلدخل للقضاء بها‬،‫ أي أفعال اْلنسان‬،‫وهذه األفعال‬
‫الذي قام بها بإرادته واختياره وعلى ذلك فإن األفعال اْلختيارية َلتدخل تحت القضاء‬

Perbuatan-perbuatan ini —maksudnya perbuatan manusia— tidak


termasuk dalam kategori qadha’, dan qadha’ pun tidak mempunyai
ruang di sana, karena manusialah yang melakukannya dengan kehendak
dan pilihannya. Karena itu, perbuatan yang bisa dipilih tidak termasuk
dalam wilayah qadha’

yang diikuti dengan kutipan berikutnya dari kitab Nidzam al-Islam, yang
menyatakan:

‫فتعليق المثوبة أو العقوبة بالهدي والضلل يدل على أن الهداية والضلل هما من فعل العبد‬
‫وليسا من هللا‬
Maka, dikaitkannya pahala dan dosa dengan petunjuk dan kesesatan,
membuktikan bahwa petunjuk dan kesesatan tersebut merupakan buah
dari perbuatan manusia, bukan dari Allah

dengan menyatakan:

‫ إلخ‬،‫ هذا الكلم مخالف للقرآن والحديث وصريح العقل‬:‫الرد‬

Sanggahan: Peryataan ini bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits


dan logika yang jelas, dan seterusnya[1]

Penjelasan:

Pertama, dari aspek penukilan, sengaja atau tidak, penulis buku tersebut
hanya mengutip sebagian dari penjelasan Syaikh Taqiyuddin an-
Nabhani, kemudian langsung memvonis sesat dan seolah-olah beliau
berpandangan seperti Mu’tazilah.[2] Padahal, konteks kalimat tersebut
tidak dapat dipisahkan dari kalimat sebelum dan setelahnya, yang secara
utuh justru memberikan pemahaman yang jernih dan cemerlang tentang
qadha’ dan qadar, demikian halnya dengan hidayah dan dhalalah.[3]

Kedua, dari aspek kesalahan penulis buku al-Gharrah dalam


menjelaskan masalah qadha’ dan qadar, yang justru mencampuradukkan
dengan masalah qadar. Dia dan para pengikutnya tidak bisa
membedakan antara qadar, yang berupa ilmu Allah yang bersifat azali
dan bahwasanya segala sesuatu itu telah tertulis di Lauh al-Mahfuzh dan
bahwa kewajiban seorang Muslim adalah mengimani qadar, baik
buruknya dari Allah Swt. Mereka tidak membedakan lagi antara (qadar)
ini dengan istilah qadha’ dan qadar yang telah diterjemahkan dari filsafat
Yunani; yang dalam istilah Yunani terkait dengan perbuatan dan
karakteristik sesuatu (benda); yang tidak ada kaitannya dengan manusia,
karena ia bersifat (jabran) memaksa. Karena itu, perbuatan yang bersifat
paksaan dan karakteristik benda tersebut tidak ada hubungannya dengan
manusia. Manusia juga tidak akan ditanya tentang perkara tersebut. Itu
juga bukanlah topik yang menyangkut ganjaran (pahala) dan siksaan. Itu
adalah fenomena yang ada pada wilayah qadha’ dan qadar menurut
terminologi istilah. Adapun ganjaran dan siksa yang menimpa manusia,
itu karena perbuatan-perbuatannya yang dijalankan berdasarkan
pilihannya. Jika manusia mendapatkan petunjuk untuk beriman, maka ia
memperoleh keridhaan Allah dan mendapatkan pahala. Namun jika
manusia itu tersesat dan memilih kekufuran, dia mendapatkan murka
dan sanksi dari Allah. Perbuatan-perbuatan yang bersifat pilihan,
maupun yang bersifat paksaan, serta sifat-sifat khas pada benda dan
segala sesuatu, semuanya itu tidak keluar dari qadar Allah; sebab qadar
itu adalah ilmu Allah dan (seluruhnya) tertulis di Lauh al-Mahfuzh yang
mencakup segala sesuatu.

Ini jelas berbeda dengan istilah qadha’ dan qadar yang diterjemahkan
pada masa Abbasiyah dan yang terkait dengan perbuatan-perbuatan
paksaan (af’âl jabariyah), juga dengan sifat-sifat khas pada benda.

Begitu pula mereka mencampuradukkan antara pelaksanaan


perbuatan dengan penciptaannya. Sebagian mereka mengatakan
bahwa siapa saja yang mengatakan seseorang yang menjalankan
perbuatannya berdasarkan pilihannya, berarti orang itu telah
menciptakan perbuatannya sendiri. Padahal tidak ada seorang Muslim
pun yang mengatakan, bahwa dia menciptakan sesuatu. Allah Swt-lah
satu-satunya yang menciptakan sesuatu dan mewujudkannya dari
(sebelumnya) tidak ada. Ini berbeda dengan orang yang menjalankan
perbuatan apapun berdasarkan pilihannya, seperti memperoleh petunjuk
atau kesesatan. Karena itu, mereka mencampuradukkan antara
penciptaan perbuatan dengan pelaksanaan perbuatan, lalu masyarakat
menyibukkan diri dengan perkara yang di masa Rasulullah saw sendiri
tidak pernah bergolak, bahkan di masa sahabat sekalipun. Mereka
mengacaukan benak banyak orang dan menyibukkan diri pada masalah
yang sebenarnya telah berakhir sejak ratusan tahun yang lalu.

Cukuplah kiranya seorang Muslim mengetahui dua perkara penting,


yaitu: mengetahui bahwa qadar adalah ilmu Allah seraya beriman
tentang baik dan buruknya, kemudian mengetahui bahwa perbuatan-
perbuatan yang dalam lingkup pilihannya sendiri (af’âl ikhtiyariyah)
itulah yang menjadi topik (diperolehnya) ganjaran pahala atau dosa; dan
perbuatan-perbuatan yang tidak tercakup pada perbuatan pilihan (af’âl
ikhtiyariyah) tidak akan dihisab oleh Allah. Sedangkan istilah qadha’
dan qadar itu berkaitan dengan perbuatan yang tercakup dalam
perbuatan yang dipaksa (af’al jabariyyah), serta menyangkut sifat-sifat
khas pada benda yang tidak ada kaitannya dengan manusia, dan manusia
tidak akan ditanya tentang perkara-perkara tersebut, bahkan tidak ada
kaitannya dengan masalah ganjaran dan sanksi.

Sumber: Bantahan Terhadap Kitab Al Gharral Al Imaniyyah


Tidak Ada Paksaan Untuk (Memasuki) Agama (Islam)

Sebagian orang menganggap ayat ke 256 dalam surat al Baqarah ini


menjadi dalil bahwa orang bebas berbuat maksiyat, jangan memaksa
orang lain untuk berbuat ta’at (misalnya dengan membuat peraturan),
dan bahwa syari’at Islam hanya untuk pemeluknya saja. tulisan ringkas
ini memberikan penjelasan ketidaktepatan anggapan tsb.

***

Oleh: M. Taufik N. T (disampaikan di Masjid Mujahidin Banjarmasin,


15 Oktober 2011)

ْ ‫اَّللِ فَقَ ِد ا‬
َ ‫ستَ ْم‬
َ‫سك‬ َّ ‫ت َويُ ْؤ ِم ْن ِب‬ِ ‫غو‬ َّ ‫ش ُد ِم َن ا ْل َغي ِ فَ َم ْن يَ ْكفُ ْر ِبال‬
ُ ‫طا‬ ُّ ‫ِين قَ ْد تَبَيَّ َن‬
ْ ‫الر‬ ِ ‫ََل إِك َْرا َه فِي الد‬
256 :‫ع ِلي ٌم – البقرة‬ َ ‫س ِمي ٌع‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫بِا ْلعُ ْر َو ِة ا ْل ُوثْقَى ََل ا ْن ِف‬
َّ ‫صا َم لَ َها َو‬
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui

Sebab Turunnya Ayat

Salah satu riwayat tentang sebab turun ayat ini dikemukakan Ibnu Jarir,
dari jalur Said atau Ikrimah dari Ibnu Abbas, katanya, “Tak ada paksaan
dalam agama.” Ayat itu turun mengenai seorang Ansar dari Bani Salim
bin Auf bernama Hushain, yang mempunyai dua orang anak beragama
Kristen, sedangkan ia sendiri beragama Islam. Maka katanya kepada
Nabi saw., “Tidakkah akan saya paksa mereka, karena mereka tak
hendak meninggalkan agama Kristen itu?” Maka Allah pun menurunkan
ayat tersebut.

Kandungan Ayat:

1. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)

Imam Al Qurthuby menyatakan bahwa yang dimaksud “ad diin” dalam


ayat ini adalah adalah I’tiqad (keyakinan) dan millah (agama), dengan
indikasi “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat”[1].

Seorang muslim, bahkan Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa


orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka. T.W.
Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan bahwa
Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal
yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma agama mereka tanpa
menerima intervensi apapun dari negara Khilafah saat itu.

Adapun berkaitan dengan hukum syari’at, kalau dalam hal makanan dan
pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka,
selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang
publik. Orang-orang Nasrani di Yaman pada zaman Nabi SAW, ketika
mereka minum khamr, mereka dibiarkan. Para Sahabat pun ketika
melakukan penaklukan ke berbagai negeri tidak melarang orang-orang
non-Muslim untuk minum khamr. Tentang tata cara pernikahan dan
perceraian sesama mereka Islam juga memberikan kebebasan untuk
mengikuti ajaran agama mereka sendiri.

Akan tetapi dalam masalah hubungan sosial kemasyarakatan selain


itu, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan,
ekonomi, dan kebijakan luar negeri, baik muslim maupun non-
muslim (ahludz dzimmah dan musta’min[2]) wajib mengikuti syariat
Islam.

Berkaitan dengan orang Yahudi, Allah menyatakan:


‫َّللاُ َو ََل تَت َّ ِب ْع أ َ ْه َوا َء ُه ْم‬
َّ ‫فَاحْ ُك ْم بَ ْينَ ُه ْم ِب َما أ َ ْن َز َل‬
Putuskanlah perkara diantara mereka dengan apa-apa yang diturunkan
Allah dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu mereka (QS. Al Maidah :
48)

Dalam kasus pidana, Anas ra. menuturkan:

َ ‫علَى أ َ ْو‬
‫ضاحٍّ لَ َها‬ َ ‫سلَّ َم قَت َ َل َي ُهو ِديًّا بِ َج ِاريَ ٍّة قَتَلَ َها‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫أ َ َّن النَّبِ َّي‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬

bahwasanya Nabi SAW pernah membunuh seorang yahudi karena


membunuh hamba sahaya yang ingin ia rampas anting-antingnya.. (HR
al-Bukhari).

Ibn Umar ra. juga berkata:

‫ام َرأَةً َزنَيَا‬ ِ ‫سلَّ َم َر َج َم فِي‬


ْ ‫الز َنى يَ ُهو ِديَّ ْي ِن َر ُج ًل َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬
… Sesungguhnya Nabi SAW pernah merajam dalam kasus zina, seorang
laki-laki dan seorang wanita Yahudi yang berzina… (HR Muslim).

Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Bila seorang Muslim


membunuh siapapun dari kalangan ahlu dzimmah, maka dia wajib
dihukum dengan dibunuh pula, ini berlaku baik pada perempuan
maupun lelaki.”

Dalam sistem peradilan, tidak ada perbedaan antara non-Muslim dengan


Muslim. Hakim (qadli) wajib mencermati pembuktian yang disyaratkan
menurut syariat semata, bukan menurut aturan lain. Ada banyak contoh
yang menunjukkan bagaimana non-Muslim dapat mengalahkan seorang
Muslim di pengadilan.

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sejumlah Muslim menyerobot


tanah yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas
tanah tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu
dzimmah. Umar kemudian memerintahkan agar masjid tersebut
dirubuhkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi
tersebut.

Dalam sistem ekonomi, Non-Muslim wajib membayar pungutan tahunan


yang disebut jizyah. Sebagai balasannya, Negara Khilafah berkewajiban
melindungi mereka. Ali menyatakan, “Dengan dibayarkannya jizyah,
maka harta mereka sama nilainya dengan harta kita, dan darah mereka
pun seperti darah kita.”

Jizyah diambil dari orang-orang dewasa yang sehat akalnya. Jizyah tidak
dikenakan pada anak kecil, orang gila, atau wanita. Besaran jizyah tidak
diatur secara pasti, namun diserahkan pada opini dan ijtihad Khalifah.
Khalifah wajib mempertimbangkan aspek-aspek kesejahteraan dan
kemiskinan, sehingga tidak memberatkan kaum dzimmi.

Pungutan ini tidak sama dengan pajak, seperti sistem perpajakan yang
amat menindas saat ini. Secara finansial, kesejahteraan ahlu dzimmah
terjaga di bawah Negara Islam, dan mereka pun berhak menggarap
berbagai bisnis dan melakukan perdagangan.

Non-Muslim juga dilarang melakukan aktifitas riba, Rasulullah menulis


surat kepada Nashrani Najran (yg merupakan rakyat Beliau SAW):

ُ‫الر َبا فَ َل ِذ َّمةَ َله‬


ِ ‫أ َ َّن َم ْن َبا َي َع ِم ْن ُك ْم ِب‬
“sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang berjual-beli dengan
riba, maka tidak ada lagi dzimmah (jaminan) baginya” (Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah, dari asy Sya’by).

Disisi lain, sebagai ahlud dzimmah, non-Muslim juga berhak


menyuarakan aspirasi mereka. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra.
berbincang dengan seorang Yahudi bernama Finhas yang diajaknya
untuk masuk Islam. Finhas kemudian menjawab, “Demi Allah Abu
Bakar, kita tidak memerlukan Allah sebagaimana Ia membutuhkan kita,
dan kita tak perlu meminta bantuan-Nya sebagaimana Ia meminta
bantuan pada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, sementara Dia
memerlukan kita. Bila Dia benar-benar Maha Kaya, Dia tak akan
meminta pinjaman uang pada kita sebagaimana yang dikatakan oleh
temanmu. Dia (Rasulullah saw) melarangmu melakukan riba, namun
membolehkan kami (Yahudi) melakukannya, dan bila Dia benar-benar
Maha Kaya, Dia tak akan membolehkan kami melakukannya.” Dalam
hal ini, Finhas mengomentari firman Allah:
ُ ‫س‬
‫ط و ِإل ْي ِه‬ ُ ‫َّمن ذا الَّذِي يُ ْق ِر‬
ُ ‫ض َّللا ق ْرضا ً حسنا ً فيُضا ِعفهُ لهُ أضْعافا ً كثِيرة ً وَّللاُ ي ْق ِب‬
ُ ‫ض وي ْب‬
‫ت ُ ْرجعُون‬

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang


baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah : 245)

Abu Bakar tidak terima dengan pelecehan tersebut. Ia memukul wajah


Finhas dengan keras sambil berkata, “Demi Allah, bila tidak ada ikatan
perjanjian antara engkau dan kami (umat Islam), aku akan
membunuhmu, engkau adalah musuh Allah!” Finhas kemudian pergi
dan mengadukan pemukulan yang dilakukan Abu Bakar kepada Nabi
saw. Nabi saw mendengarkan pengaduannya, lalu menanyai Abu Bakar
tentang insiden tersebut. Abu Bakar menceritakan pada Nabi saw
tentang apa yang terjadi, namun Finhas kemudian membantah bahwa dia
telah melakukan pelecehan. Segera setelah itu, Allah Swt menurunkan
wahyu QS. Ali Imran : 181 yang membongkar kebohongan Finhas.

Abu Bakar adalah salah seorang pembantu Rasulullah saw pada saat
insiden tersebut terjadi, dan Finhas adalah seorang dzimmi. Rasulullah
saw mendengarkan pengaduan Finhas atas Abu Bakar, sekalipun yang
diadukannya adalah dusta. Karena itu, bila pengaduan diajukan oleh
seseorang yang terikat perjanjian dengan negara, maka pengaduan
tersebut perlu didengarkan, karena dia terikat perjanjian sebagai ahlu
dzimmah.

2. Iman Menuntut Pengingkaran Terhadap Thâghut


Allah katakan: Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut
dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

Keimanan terhadap laa ilaaha illallah, menuntut nafy


(peniadaan/pengingkaran) dan sekaligus itsbat (penetapan); An-Nafyu
artinya meniadakan peribadahan, yakni dari thâghut, dan al-Itsbat
artinya menetapkan, yakni peribadahan hanya untuk Allah semata.

Imam ath Thabary (w. 310 H) mendefinisikan thâghut dengan:

،‫ وإما بطاعة ممن عبده له‬،‫ إما بقهر منه لمن عبده‬،‫ فعبد من دونه‬،‫كل ذي طغيان على هللا‬
‫ أو كائنا ما كان من شيء‬،‫ أو صنما‬،‫ أو وثنا‬،‫ أو شيطانا‬،‫[وإنسانا كان ذلك المعبود‬3]

“Setiap yang melampaui batas atas (perintah) Allah, dan kemudian


disembah selain Allah, baik dengan paksaan atau ketaatan yang
menyembahnya, baik yang disembah itu manusia atau syaithan, atau
berhala, patung atau apa saja yang ada”

Ibnu Qayyim Al Jauziyah (w. 751 H) menyatakan

‫غوتُ ُك ِل ق ْوم م ْن‬ ُ ‫ما تجاوز بِ ِه ْالع ْبد ُ حدَّهُ ِم ْن م ْعبُود أ ْو متْبُوع أ ْو ُمطاع؛ فطا‬ ‫ ُك ُّل‬: ُ‫غوت‬ َّ
ُ ‫الطا‬
‫صيرة ِم ْن‬ ِ ‫ أ ْو يتْبعُونهُ على غي ِْر ب‬،‫َّللا‬ ِ ‫ أ ْو ي ْعبُدُونهُ ِم ْن د‬،‫سو ِل ِه‬
ِ َّ ‫ُون‬ َّ ‫غيْر‬
ُ ‫َّللاِ ور‬ ‫يتحاك ُمون إل ْي ِه‬
ِ‫ أ ْو ي ُِطيعُونهُ فِيما َّل ي ْعل ُمون أنَّهُ طاعةٌ ِ َّلِل‬،ِ‫[َّللا‬4]
َّ

Thaghut : segala sesuatu yang mana seorang hamba itu melampaui


batas padanya, baik berupa sesuatu yang diibadahi atau diikuti atau
ditaati. Maka thaghut adalah segala sesuatu selain Allah dan rasul-Nya
yang dijadikan pemutus perkara oleh suatu kaum, atau mereka ibadahi
selain Allah, atau mereka ikuti tanpa berdasarkan petunjuk dari Allah,
atau mereka taati pada perkara yang mereka tidak tahu bahwa itu
ketaatan kepada Allah”

Selanjutnya beliau menyampaikan: “Inilah para thaghut didunia ini,


apabila engkau memperhatikan mereka dan keadaan manusia bersama
thaghut ini, engkau akan melihat mereka kebanyakan berpaling dari
ibadah kepada Allah menjadi ibadah kepada thaghut, dari berhukum
kepada Allah dan Rasul-Nya lalu berhukum kepada thaghut, dan
berpaling dari mentaati Allah dan mengikuti rasulNya lalu mentaati dan
mengikuti thaghut.” Allahu A’lam.

Catatan: Ayat lain yang berbicara tentang thaghut bisa dibaca di surat
An Nisaa’: 51, 60, 76, Al Mâidah: 60, An Nahl: 36, Az Zumar: 17.

[1] Al Qurthuby (w. 671 H), Al Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 3/279.

[2] Ahludz dzimmah = non muslim yg merupakan warga negara


khilafah, Musta’min = non muslim yang masuk ke dalam negeri dg
jaminan keamanan.

[3] At Thabary, Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’an, 5/419

[4] I’lâmul Muwaqi’in, 1/40


SYARAK DAN IKHTILAF

Memahami & Menyikapi Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)

Perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan hal yang pasti terjadi, bahkan


hal ini juga terjadi dikalangan sahabat pada masa Rasulullah saw. masih
hidup, seperti perbedaan pendapat saat Rasulullah memerintahkan
sahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau mengatakan:
َ‫ظة‬
َ ‫ص ِليَ َّن أ َ َح ٌد ا ْلعَص َْر إِ ََّل فِي بَنِي قُ َر ْي‬
َ ُ‫ََل ي‬
"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di
perkampungan Bani Quraizhah." Lalu tibalah waktu shalat ketika
mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan
shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan sebagian lain berkata, ‘Bahkan
kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud
demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi saw, dan
beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." (HR. Bukhory dari Ibnu
‘Umar r.a)

Hanya saja tatkala perbedaan pendapat tidak disikapi dengan benar,


maka hal ini menjadi pintu masuknya fitnah yang bisa dimanfaatkan
oleh musuh Islam untuk mengadu domba antar umat Islam sehingga
tidak ada lagi rasa pembelaan terhadap sesama saudara se’aqidah yang
berbeda pendapat dengannya. Tulisan ini mencoba mengurai secara
ringkas sebab-sebab perbedaan pendapat, memilah dan bagaimana
menyikapinya.

1) Sebab-Sebab Ikhtilaf
Ikhtilaf bisa muncul karena hawa nafsu, atau karena ijtihad yang
memang diizinkan syara’ (bagi yg layak untuk berijtihad). Ikhtilaf yang
disebabkan karena hawa nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena
berarti menjadikan hawa nafsu sebagai dalil syara’[1], dan ikhtilaf
karena hal ini tidak dianggap sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara’[2].

Adapun ikhtilaf karena ijtihad yang diizinkan syara’ terjadi karena


banyak sebab yang bisa dikembalikan kepada dua hal yakni: karena dalil
atau karena kaidah-kaidah ushul yang berkaitan dengan dalil.

1.1) Sebab Ikhtilaf karena Dalil

Al Bathlayusy (w. 521 H) dalam kitabnya Al Inshâf, ikhtilaf dalam


berdalil bisa karena beberapa hal, diantaranya:

1. Lafadz yg mengandung beberapa makna (musytarok) juga lafadz


yg mengandung penakwilan. Seperti:

‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء‬

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga


kali quru. (Al Baqarah : 228)

Quru’ diartikan suci oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh
orang-orang ‘Iraq.

2. Lafadz yang mengandung makna hakiki dan majazi (kiasan).


Semisal:

ْ ‫… أ َ ْو ََل َم‬
َ ِ‫ست ُ ُم الن‬
‫سا َء‬

Atau menyentuh perempuan. (QS. al-Maidah[5]: 6)

Yang dimaksud menyentuh di dalam ayat ini bisa berarti menyentuh


dengan tangan atau jima’. Sehingga terjadi perbedaan pendapat apakah
menyentuh dengan tangan membatalkan wudlu atau tidak.

3. Penggunaan dalil antara ‘umum dan khusus.


ِ ‫( َّل ِإ ْكراه فِي الد‬tidak ada paksaan dalam beragama (untuk
Semisal ayat ‫ِين‬
memeluk Islam)) apakah berlaku ‘umum untuk semua org kafir atau
khusus untuk ahli kitab yang membayar jizyah.

4. Perbedaan qira’at (bacaan) al Qur’an dan pandangan terhadap


periwayatan hadits. Semisal bacaan Al Qur’an:

‫سكم وأرجلكم‬
ِ ‫ وامسحوا برؤو‬..
Dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma’idah : 6).

Nafi’ dan Al Kisa’i membacanya dengan nashab (‫ )وأرجلَكم‬sedangkan


riwayat Al Walid bin Muslim bacaannya rofa’ (‫ )وأرجلُكم‬ini adalah
qira’atnya Al Hasan, adapun qira’atnya Abu ‘Amr, Ibnu Katsir dan
Hamzah dengan khafdl ‫))وأرج ِلكم‬. Sehingga bagi yg membaca nashob
maka mereka mengatakan yang wajib dalam wudlu adalah membasuh,
bukan mengusap – ini adalah pendapat jumhur, sebaliknya yang
membacanya khofdl menyatakan wajibnya adalah mengusap, bukan
membasuh[3].

Termasuk juga perbedaan bisa terjadi saat menilai hadits, semisal Imam
An Nawawi (w. 676 H), yang menilai hadits bahwa Rasul saw. tidak
meninggalkan qunut shubuh sebagai hadits shahih (dalam Al Majmu’),
sedangkan ahli hadits yang lain mendlo’ifkannya. Begitu juga semisal
mengusap tangan ke wajah setelah berdo’a, Ibnu Hajar Al Asqalany
menilainya hasan (dalam Bulughul Maram), sedang ahli hadits yang lain
banyak yang mendlo’ifkannya.

5. Adanya anggapan penghapusan hukum (nasakh) atau


ketiadaannya[4]. Seperti:

Aku telah melarang kalian berziarah kubur. (Akan tetapi sekarang)


silakan berziarah. (HR. Al Hakim dari Anas).

6. Terlupakan atau tidak terperhatikannya suatu hadits. Misalnya


saat para shahabat mau menuju syam saat melewati daerah yang
diserang wabah tha’un, sebagian ingin melewati saja dg alasan taqdir
Allah, sebagian ingin kembali ke Madinah, sampai Abdurrahman bin
‘Auf datang dan berkata:

ً ‫ض َوأ َ ْنت ُ ْم ِب َها فَ َل ت َ ْخ ُر ُجوا فِ َر‬


ُ‫ارا ِم ْنه‬ ٍّ ‫علَ ْي ِه َوإِذَا َوقَ َع ِبأ َ ْر‬ ٍّ ‫س ِم ْعت ُ ْم ِب ِه ِبأ َ ْر‬
َ ‫ض فَ َل ت َ ْق َد ُموا‬ َ ‫فَ ِإذَا‬
Maka itu jika kalian mendengar ada wabah tersebut (tha’un) di suatu
wilayah janganlah kalian memasuki wilayah tersebut dan jika kalian
sedang berada di wilayah yang terkena wabah tersebut janganlah kalian
mengungsi karena lari darinya (HR. Bukhory)

1.2) Sebab Ikhtilaf karena Kaidah-kaidah Ushul

Adalah sulit membatasi sebab-sebab ikhtilaf dalam hal ini, setiap kaidah
ushul yang berbeda bisa menghasilkan pendapat yang berbeda, bahkan
kaidah ushul yang sama pun bisa menghasilkan pendapat yang berbeda.

Termasuk dalam hal ini adalah memahami kata perintah dalam suatu
dalil apakah perintah tersebut menimbulkan hukum wajib atau tidak,
apakah berlaku mutlaq atau muqayyad (terikat), dll yang secara luas
dibahas dalam ilmu ushulul fiqh.

Sebagai contoh tentang Isbal (memakai kain melebihi mata kaki),


Rasulullah bersabda:

‫ما أسفل من الكعبين من اْلزار ففي النار‬

"Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu
tempatnya di neraka." [Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]

Sedang dalam hadits lain beliau saw. bersabda:

‫َّللاُ إِلَ ْي ِه يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة‬ ُ ‫َم ْن َج َّر ث َ ْو َبهُ ُخيَلَ َء لَ ْم يَ ْن‬


َّ ‫ظ ِر‬
"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan
melihatnya di hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Sebagian ‘ulama seperti syaikh Bin Baz[5] & Al Utsaimin memahami


bahwa Isbal mutlaq haram, baik tanpa sombong, apalagi dengan
sombong. Sedangkan mayoritas ‘ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan
Hanbali[6] memandang Isbal yang haram hanyalah kalau disertai sikap
sombong, termasuk Ibnu Taymiyyah (w. 728 H) dalam Syarh Al
‘Umdah hal. 366 menyatakan:

‫وألن األحاديث أكثرها مقيدة بالخيلء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على‬
‫اْلباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة‬

Dan karena hadits-hadits (tentang isbal) lebih banyak yang muqayyad


(terikat) dengan kesombongan, maka yang muthlaq itu mengandungnya
(muthlaq namun mengandung makna terikat yakni krn sombong), dan
selain hal itu (kalau tidak sombong) maka tetap hukumnya mubah, dan
hadits-hadits yang melarangnya dibangun atas dasar keumuman (al
gholib) dan sangkaan (madzonnah).

Selain itu perbedaan juga bisa terjadi karena perbedaan memahami


fakta, atau salah faham dalam memahami fakta, atau mendefinisikan
sesuatu. Sebagai contoh ada kalangan X yang menuduh bahwa kalangan
Y membolehkan melihat gambar porno karena kesalahan dalam
memahami apa yang dimaksud oleh kalangan Y sebagai gambar porno,
misalnya kalangan Y memahami bahwa melihat aurat secara langsung
berbeda hukumnya dengan melihat gambar aurat karena kaidah “hukum
asal benda adalah mubah”, melihat rambut/leher wanita non mahrom
adalah haram, baik tanpa syahwat, apalagi dengan syahwat. Namun
kalangan Y menjelaskan bahwa gambar aurat (semisal gambar kartini
dalam uang 10 ribuan, yg kelihatan rambutnya) boleh dilihat, bahkan di
simpan karena uang 10 ribuan adalah benda, bukan aurat wanita.
Adapun dalam kasus gambar – gambar porno “xxx” berlaku kaidah : “al
washilatu ila al haroomi haroomun” yakni wasilah yang mengantarkan
kepada yang haram maka hukumnya adalah haram.

2) Lapangan Ikhtilaf

Ikhtilaf yang dibenarkan syara’ hanya terjadi pada nash-nash yang


memang karakternya mempunyai beberapa makna (penunjukan
maknanya tidak pasti) atau nash-nash yang sumbernya dipertentangkan
(keshahihannya). Oleh karena itu, perbedaan pendapat dalam nash-nash
yang pasti (qoth’iy) sumber maupun penunjukan maknanya, maka
perbedaan seperti ini tidak dianggap sebagi ikhtilaf, namun lebih pantas
disebut penyimpangan.

3) Ikhtilaf Tidak Ada Lagi Ketika Penguasa Memutuskan

Dalam hal ini ada kaidah yang masyhur:

‫حكم الحاكم في مسائل اَلجتهاد يرفع الخلف‬

Ketetapan Al Hâkim dalam masalah ijtihad mengangkat perselisihan[7].

Khalifah Abu Bakar ra. menetapkan jatuhnya ucapan talak tiga (dalam
satu waktu) tetap sebagai talak satu, dan kaum muslim pada saat itu
mengikutinya. Akan tetapi, ketika Umar ra. berkuasa, beliau menetapkan
hukum yang berbeda dengan menyatakan ucapan talak tiga (dalam satu
waktu) sebagai tiga kali talak, dan kaum muslimin juga mengikutinya.

4) Menyikapi Ikhtilaf

Dalam menghadapi ikhtilaf, kita dituntut untuk hanya mengambil satu


pendapat diantara pendapat-pendapat tersebut. Bagi orang yang tidak
memenuhi syarat ijtihad, manakah pendapat yang harus diambil? dalam
hal inipun ternyata juga terjadi ikhtilaf, sebagian ‘ulama Syafi’iyyah dan
Hanabilah menyatakan dia boleh mengambil pendapat mujtahid
manapun, sedangkan mayoritas ulama Syafi’iyyah, Hanafiyyah,
Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ia harus mencari
pendapat yang terkuat (menurutnya). Juga ada yang lain menyatakan
hendaklah diambil pendapat yg paling berat, ada yg menyatakan paling
ringan, ada yg menyatakan ambil yang paling dia tahu[8]. Al Ghazali
menyatakan: hendaklah ia mengambil pendapat orang yang lebih afdlol
menurutnya, dan yang lebih benar menurut dugaan hatinya[9].

Setelah ia mantap mengambil pendapat yang dia pilih, maka hendaklah


ia tidak menganggap pendapat mujtahid lain sebagai sesat apalagi kafir,
atau dia menjauhi orang yang tidak sependapat dengannya, atau
memutuskan silah ukhuwwah dengan yang tidak sependapat dengannya.

Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi rahimahullah (salah


seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : ”
Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada
Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau,
lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng
tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita
tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah
(ijtihad) pun? [10].

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ”Seandainya setiap kali dua


orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling
menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan
ukhuwah diantara kaum muslimin” [11].

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah shalat shubuh di masjid dekat


makam Imam Abu Hanifah rahimahullah dan tidak melakukan qunut
(sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena
ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah
rahimahullah telah wafat tepat pada tahun Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah lahir (lihat: Al-Inshaf : 110).

Khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah berbekam lalu langsung


mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik).
Dan Imam Abu Yusuf rahimahullah (murid dan sahabat Abu Hanifah
rahimahullah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal
berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu
(Majmu Al-Fatawa : 20/364-366). Allahu Ta’ala A’lam.

[1] Al Ghazali (w. 505 H), Ihya’ ‘Ulumiddin, 1/42.

[2] Asy Syathibi (w. 790 H), Al Muwâfaqat, 4/222 – 224


[3] Al Qurthuby(w. 671 H), Al Jâmi’ li Ahkâmil Qur’an, 6/86

[4] Asy Syathibi (w. 790 H), Al Muwâfaqat, 4/213

[5] Majalah Ad Da’wah hal 218

[6] Al Muntaqa, 7/226, Al Fawâkih, 2/310 (Maliki), Asnal Matholib,


1/278, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/338 (Syafi’i), Kasyful Qina’,
1/277, Matholib ‘Ulin Nuha, 1/348

[7] ‫ المنثور في القواعد‬,3/334 , ‫أنوار البروق في أنواع الفروق‬

[8] At Taqrir Wat Tahbir, 3/249. Irsyâdul Fuhul, 271

[9] Al Qisthôsul Mustaqîm, hal 87

[10] Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17

[11] Majmu’ Al-Fatawa : 24/173


Bid’ah Terpuji/Tercela; Konsep, Realitas & Ikhtilaf

Perdebatan tentang tema bid’ah apakah ada yang terpuji atau semua
tercela, kemudian apa saja yg termasuk bid’ah yang tercela adalah tema
pembahasan dan perdebatan lama yang kalau kita kaji dengan teliti,
maka akan kita temukan berbagai pendapat yang tidak harus kita
pertentangkan, apalagi dijadikan alat untuk memutus tali ukhuwwah
sesama muslim.

Tulisan ini saya buat dengan harapan bisa mempererat tali ukhuwwah
sesama muslim – apapun organisasinya — dan agar kita bisa menyikapi
perbedaan ini sehingga kalaupun berbeda pendapat, maka masih dalam
lingkup perbedaan yang syar’iy, bukan perbedaan yg merupakan
penyimpangan dari syari’ah. Dan kalaupun masih ada perbedaan
pandangan maka kita bisa bersikap sebagimana para ‘ulama dulu ketika
mereka berbeda pandangan, yakni: “pendapat yang kami ambil adalah
pendapat yang benar, walaupun ada juga kemungkinan keliru,
sedangkan pendapat selain pendapat kami adalah keliru walaupun ada
kemungkinan benar”, bukan menyatakan pendapat selain pendapatnya
adalah sesat, tentunya kalau pendapat lain tersebut ada dalil ataupun
syubhat dalilnya juga.

1. Hadits – Hadits Tentang Bid’ah

Sebelum membahas lebih lanjut, berikut beberapa hadits tentang bid’ah,


adapun penomoran hadits disini sesuai dengan software Kutubut Tis’ah
(kalau redaksi hadits cukup panjang, saya kutip sebagian saja yang
khusus berkaitan dengan tema ini):

1. Riwayat Muslim no 1435 dari Jabir bin ‘Abdullah:


… ‫ع ٍّة‬ ِ ‫َّللاِ َو َخ ْي ُر ا ْل ُهدَى ُهدَى ُم َح َّم ٍّد َوش َُّر ْاأل ُ ُم‬
َ ‫ور ُمحْ َدثَات ُ َها َو ُك ُّل ِب ْد‬ َّ ‫اب‬ ِ ‫فَ ِإ َّن َخ ْي َر ا ْل َحدِي‬
ُ َ ‫ث ِكت‬
ٌ‫ض َللَة‬
َ …

… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik


petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap
bid’ah adalah sesat…

2. Riwayat Abu Dawud no 3991 dari ‘Irbadh bin Sâriyah:


ٌ‫ض َل َلة‬ َ ‫ور فَ ِإ َّن ُك َّل ُمحْ َدث َ ٍّة ِب ْدعَةٌ َو ُك َّل ِب ْد‬
َ ‫ع ٍّة‬ ِ ‫ت ْاأل ُ ُم‬
ِ ‫َوإِيَّا ُك ْم َو ُمحْ َدثَا‬
… Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, sesungguhnya setiap
perkara yang baru adalah bid’ah dan setaip bid’ah adalah sesat…

3. Riwayat An Nasâ’i no 1560 dari Jabir bin ‘Abdullah:

ِ ‫ْي ُم َح َّم ٍّد َوش َُّر ْاأل ُ ُم‬


‫ور ُمحْ َدثَات ُ َها َو ُك ُّل ُمحْ َدث َ ٍّة‬ َ ْ‫َّللاِ َوأَح‬
ُ ‫س َن ا ْل َه ْدي ِ َهد‬ َّ ‫اب‬ ْ َ ‫إِ َّن أ‬
ِ ‫صدَقَ ا ْل َحدِي‬
ُ َ ‫ث ِكت‬
‫ض َللَ ٍّة ِفي النَّ ِار‬ َ ‫ض َل َلةٌ َو ُك ُّل‬
َ ‫ع ٍّة‬ َ ‫ِب ْدعَةٌ َو ُك ُّل ِب ْد‬

Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik


petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan
sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru
adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di
dalam neraka’…

4. Riwayat Ibnu Majah no 42 dari ‘Irbadh bin Sâriyah:


ٌ‫ض َللَة‬ َ ‫ت فَ ِإ َّن ُك َّل ِب ْد‬
َ ‫ع ٍّة‬ َ ‫َو ِإيَّا ُك ْم َو ْاأل ُ ُم‬
ِ ‫ور ا ْل ُمحْ َدثَا‬
…dan jangan sampai kalian mengikuti perkara-perkara yang dibuat-
buat, karena sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat…

Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan redaksi berbeda dari Jabir bin
Abdullah (no 44), dan juga dari Abdullah bin Mas’ud (no 45) dengan
redaksi:
ٌ‫ض َللَة‬ َ ‫ور ُمحْ َدثَات ُ َها َو ُك ُّل ُمحْ َدث َ ٍّة ِب ْدعَةٌ َو ُك ُّل ِب ْد‬
َ ‫ع ٍّة‬ ِ ‫ور فَ ِإ َّن ش ََّر ْاأل ُ ُم‬ ِ ‫أ َ ََل َو ِإيَّا ُك ْم َو ُمحْ ِدثَا‬
ِ ‫ت ْاأل ُ ُم‬
…Ingatlah, janganlah kalian membuat perkara-perkara baru.
Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (diada-
adakan), dan setiap hal baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat…

5. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah (no 13815),
dan dari ‘Irbadh bin Sâriyah (no 16521 dan 16522), dengan redaksi yang
kurang lebih sama diatas.

Adapun hadits dari ‘Irbadh bin Sâriyah [point 2 (dan 5)], Al Hafidz al
Bazzar menyatakan: hadîts tsâbit shahÎh”, Al Hafidz Ibnu Abdil Barr
menyatakan: hadîts tsâbit, Al Hâkim menyatakan : ‫صحيح ليس له علة‬
(Shahih tidak ada cacatnya)[1].

2. Pendapat Para Ulama berkaitan dengan Bid’ah

Dari kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, secara umum ada


dua pendapat berkaitan dengan bid’ah, yakni:

1. Ada Bid’ah Baik (Hasanah) Dan Buruk (Dlolalah)

Ini merupakan pendapat[2] Al-Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H),


Shulthonul ‘Ulama Al-‘Izz ibn Abdis Salam (wafat 660 H), Imam An-
Nawawi (676 H), Al Hafidz As Suyuthi ( w. 1505 M), Abu Syaamah
(wafat 665 H). Dari kalangan Malikiyah: Al-Qarafi (wafat 684 H) dan
Az-Zarqani (wafat 1122 H). Dari kalangan Al-Hanabilah : Al Hafidz
Ibnu Al-Jauzi (wafat 597 H) serta dari kalangan Dzahiri : Ibnu Hazm
(wafat 456 H).

2. Bid’ah Semuanya Sesaat, baik dalam adat maupun ibadah.

Ini merupakan pendapat [3]At-Thurthusy, Asy-Syathibi (wafat 790 H),


Imam Asy-Syumunni (wafat 821 H) dan Al-Aini dari kalangan Al-
Hanafiyah. Juga Al Hafidz Al-Baihaqi (wafat 458 H), Al Hafidz Ibnu
Hajar Al-‘Asqallany (wafat 852 H), serta Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat
974) dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili
oleh Ibnu Rajab (wafat 795 H) dan Ibnu Taymiyyah (w. 1328 M).
Termasuk pendapat Imam Malik, beliau berkata:

:‫ َلن هللا تعالي يقول‬،‫من ابتدع في اَلسلم بدعة يراها حسنة فقد زعم ان محمدا خان الرسالة‬
‫س َل َم دِينًا فما لم يكن يومئذ دينا‬
ْ ‫اْل‬ َ ُ‫ا ْليَ ْو َم أ َ ْك َم ْلتُ لَ ُك ْم دِينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْمت‬
ِ ْ ‫علَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر ِضيتُ لَ ُك ُم‬
‫فل يكن اليوم دينا‬

Barang siapa mengada-adakan didalam Islam suatu bid’ah yang dia


melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka ia telah menuduh Muhamad
SAW menghianati risalah, karena Allah telah berfirman: Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan
nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridhoi Islam menjadi agamamu”.
Maka sesuatu yang bukan termasuk ajaran agama pada hari itu (saat
hidup Rasul) bukan pula termasuk ajaran agama pada hari ini. (lihat
Abdul Muhsin bin Hammad dalam ‫فتح القوي المتين في شرح اْلربعين وتتمة‬
‫ الخمسين‬, hal 86, Maktabah Syâmilah)

3. Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat?

Dari apa yang saya kaji, sebenarnya perbedaan pandangan apakah ada
bid’ah hasanah atau tidak ada hanyalah perbedaan semu, dimana dua
kelompok ulama tersebut sebenarnya bermaksud sama dalam hal makna,
hanya berbeda dalam pengungkapan dan pendefinisian.

Kalangan pertama memaknai bid’ah hanya sebatas makna bahasa saja,


yakni:

‫ش ْي ُء الَّذِي‬
َّ ‫ ال‬: ‫ع‬ َ ُ‫شأَهُ َوبَ َدأَه‬
ُ ‫وا ْلبِ ْد‬. َ ‫ إِذَا أ َ ْن‬: ُ‫عه‬
َ ‫ َوا ْبتَ َد‬، ‫عهُ بَ ْدعًا‬ َ ‫ ِم ْن بَ َد‬: ً‫ا ْلبِ ْدعَةُ لُ َغة‬
ُ ‫ع الش َّْي َء يَ ْب َد‬
‫سل‬
ُ ‫الر‬ُّ ‫ قُل َما ُك ْنتُ ِب ْدعًا ِم َن‬: ‫ َو ِم ْنهُ قَ ْوله تَ َعالَى‬، ً‫َيكُو ُن أ َ َّوَل‬
Bid’ah secara bahasa: berasal dari ba-da-‘a asy-syai’ yabda’uhu
bad’an wa abtada’ahu: (yang artinya adalah) mengadakan dan
memulai. Dan Al Bid’u : (adalah) sesuatu yang ada pertama kali,
dengan makna ini allah berkata: Katakanlah (wahai Muhammad)aku
bukanlah utusan yang pertama kali (al Ahqaf : 9)[4]

Sedangkan makna hadits (yang baru):


‫ ك َْو ُن ش َْيءٍّ بَ ْع َد أ َ ْن لَ ْم يَك ُْن‬: ‫ُوث‬
ُ ‫ َوا ْل ُحد‬، ‫ِيم‬
ِ ‫يض ا ْلقَد‬ ُ ‫ا ْل َحد‬
ُ ‫ِيث نَ ِق‬
Al hadits (yang baru) itu adalah lawan dari qadiim (yang dahulu), dan
huduts: keberadaan sesuatu setelah sebelumnya tidak ada.[5]

Ini juga diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW (no 2):

… ٌ‫…فَ ِإ َّن ُك َّل ُمحْ َدث َ ٍّة ِب ْدعَة‬

… sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah…

Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:

… ٌ‫ض َل َلة‬
َ ‫ع ٍّة‬
َ ‫…و ُك َّل ِب ْد‬
َ
…dan setiap bid’ah adalah sesat…

Kata Kullu (setiap) dalam kullu bid’ah (setiap bid’ah) adalah


dimaksudkan untuk sebagian, yakni bid’ah yang buruk saja (dalam
bahasa Arab ada kaidah ithlaaqul kulli wa iraadatul juz’i (yang disebut
semua namun yang dimaksud adalah sebagian), kalau dalam bahasa
Indonesia kurang lebih sama dengan majaz totem pro parte (pelajaran
SMP dulu). Misalnya dalam Al Qur’an Allah menyatakan dalam Surah
Al Kahfi 79:

‫َان َو َرا َء ُه ْم َم ِلكٌ َيأ ْ ُخذُ ُك َّل‬


َ ‫ون ِفي ا ْلبَحْ ِر فَأ َ َر ْدتُ أ َ ْن أ َ ِعي َب َها َوك‬
َ ُ‫ين َي ْع َمل‬ َ ‫س ِفينَةُ فَكَانَتْ ِل َم‬
َ ‫سا ِك‬ َّ ‫أ َ َّما ال‬
‫صبًا‬ َ ‫س ِفينَ ٍّة‬
ْ ‫غ‬ َ
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja
di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan
mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

Kalimat “merampas tiap-tiap bahtera” (‫صبًا‬ ْ ‫ )يأ ْ ُخذ ُ ُك َّل س ِفينة غ‬maksudnya
bukan semua kapal, namun kapal yang baik-baik saja, oleh karena itu
dikatakan “aku bertujuan merusakkan bahtera itu” yakni agar tidak
dirampas raja. Jadi kata kullu (setiap) bisa digunakan untuk menyatakan
sebagian saja.
Adapun kelompok kedua, yang menyatakan bid’ah itu semuanya
adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat. Mereka memahami
sabda Rasulullah SAW (no 2):

… ٌ‫…فَ ِإ َّن ُك َّل ُمحْ َدث َ ٍّة بِ ْدعَة‬

… sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah…

Kata kullu disini maksudnya khusus, bukan semuanya, sehingga mereka


menggolongkan pesawat (walaupun di zaman Rasul tidak ada),
bangunan sekolah, komputer, adanya jam belajar tertentu di sekolah dll,
yang merupakan perkara baru namun tidak digolongkan bid’ah.

Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:

… ٌ‫ض َل َلة‬
َ ‫ع ٍّة‬
َ ‫…و ُك َّل بِ ْد‬
َ
…dan setiap bid’ah adalah sesat…

Kata kullu disini mereka maksudkan untuk menyatakan semua, tanpa


pengecualian, adapun pengecualiannya di masukkan dalam
pengkategorian apakah sesuatu itu bid’ah atau bukan, yakni mereka
menggunakan kata bid’ah dengan pendefinisian baru, antara lain:

Definisi Imam Asy Syatibi[6] , ada dua definisi bid’ah, yakni:

‫ع َل ْي َها ا ْل ُمبَالَ َغةُ فِي الت َّ َعبُّ ِد‬ ِ ُ‫سل‬


َ ‫وك‬ َ ‫ يُ ْق‬، ‫ضا ِهي الش َّْر ِع َّي َة‬
ُّ ‫ص ُد ِبال‬ َ ُ ‫ ت‬، ٌ‫ِين ُم ْخت َ َرعَة‬
ِ ‫ط ِريقَةٌ فِي الد‬
َ
ُ‫س ْب َحانَه‬ ُ ِ‫ِ ََّّلل‬
Sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada
sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah,
dan ketika melakukannya diniatkan untuk berlebihan dalam beribadah
kepada Allah SWT.

Definisi ini mengkhususkan bahwa bid’ah adalah khusus dalam ‘ibadah,


bukan ‘adat.

Definisi kedua dari Asy Syatibi:


َّ ‫ص ُد ِبال‬
‫ط ِري َق ِة‬ َ ‫علَ ْي َها َما يُ ْق‬ ِ ُ‫سل‬
َ ‫وك‬ َ ‫ضا ِهي الش َِّريعَةَ يُ ْق‬
ُّ ‫ص ُد ِبال‬ َ ُ ‫ِين ُم ْخت َ َرعَةٌ ت‬
ِ ‫ط ِريقَةٌ فِي الد‬
َ
‫الش َّْر ِعيَّ ِة‬

Sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada
sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah,
dan ketika melakukannya diniatkan sebagaimana apa yang dimaksud
oleh jalan (thoriqah) syar’iyyah.

Definisi yang kedua ini memasukkan ‘adat kedalam bid’ah jika


diserupakan dengan thariqah (jalan) syari’at.

Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul Ulum Wal Hikam menyatakan:

‫َان َلهُ أَصْل ِم ْن‬


َ ‫ َوأ َ َّما َما ك‬، ‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ِث ِم َّما َلَ أَصْل لَهُ فِي الش َِّريعَة يَدُل‬
َ ‫ع ِة َما أُحْ د‬
َ ‫َوا ْل ُم َراد بِا ْلبِ ْد‬
‫َان ِب ْدعَة لُغَة‬
َ ‫ع ٍّة ش َْرعًا َو ِإ ْن ك‬
َ ‫س ِب ِب ْد‬َ ‫علَ ْي ِه فَلَ ْي‬
َ ‫الش َّْرع يَدُل‬

Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa apa yang diadakan yang
tidak ada pokok (asal/dasar) nya dalam syari’ah yang menunjukkan
atasnya, adapun jika ada asal/pokok/dasar dari syari’ah maka itu bukan
termasuk bid’ah secara syar’i, walaupun itu bid’ah secara bahasa.

Oleh karena itu, sebenarnya perbedaan yang terjadi hanyalah perbedaan


dalam tema pembahasan (domain) bid’ah itu, kalangan pertama yang
menyatakan ada bid’ah baik dan buruk, domainnya adalah semua hal
baru yang tidak ada pada masa Rasulullah, sedangkan yang menyatakan
semua bid’ah adalah sesat, domainnya mereka sempitkan pada yg baru
dalam tema agama, yang baru tadi dianggap bagian dari syari’ah, dan
dimaksudkan sebagaimana yang dimaksudkan syari’ah.

4. Kenapa Masih dipertentangkan?

Seandainya saja mereka sepakat tentang domain pembahasan bid’ah,


tentu tidak perlu ada perbedaan yang berarti, dan sekiranya mereka mau
memahami makna yang dimaksud oleh masing masing pihak, niscaya
mereka tidak akan saling berselisih, (bahkan di Bogor pernah ada dua
radio FM berbantah-bantahan berulang – ulang tentang hal ini), seperti
ungkapan berikut:
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah
syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW :
"Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat". Karena
Rasulullah SAW telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah
sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap
bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !

Kemudian yang satunya menjawab: orang yang menyatakan setiap


bid’ah adalah sesat, namun menyatakan bahwa belajar nahwu, sharaf,
membangun madrasah, naik mobil dll bukanlah bid’ah adalah salah
dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW : "Artinya : Sesungguhnya
setiap yang baru adalah bid’ah". Rasulullah SAW telah menghukumi
bahwa semua yang baru sebagai bid’ah; dan orang ini (yang
menyatakan bahwa belajar nahwu, sharaf, membangun madrasah, naik
mobil dll bukanlah bid’ah) mengatakan tidak semua yang baru sebagai
bid’ah, tapi yang baru dg syarat- syarat tertentu, kalau mau konsisten,
seharusnya membuat syarat-syarat tertentu yg tidak dijelaskan
Rasulullah itu juga bid’ah!

Maasya Allah, kasihan umat kalau para da’i nya seperti ini, padahal
yang berbeda pendapat itu para ‘ulama besar yang sudah dikenal luas
oleh umat Islam sedunia, dan mereka tidak saling mencela seperti ini.

5. Bagaimana Menyikapinya

Seharusnya umat, apalagi da’i, ustadz, kyai, bisa memberi contoh


bagaimana seharusnya berbeda pendapat, dan mencerdaskan umat
bahwa perbedaan tersebut hanya terjadi dalam perbedaan pengungkapan,
bukan makna yang dikandung – walaupun dalam detil masalahnya
memang kadang terjadi perbedaan.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany (wafat 852 H), walaupun beliau


menyatakan “semua bid’ah adalah sesat”, tentunya “bid’ah” yang beliau
maksud adalah bid’ah dengan maksud khusus, beliau dalam kitabnya,
Fathul Bâry, masih mengakomodir pendapat – pendapat yang berbeda
dengan pendapatnya, beliau tidak menyalahkannya, apalagi menyatakan
sebagai sesat, beliau hanya menjelaskan bahwa pendapat yang berbeda
tersebut adalah bid’ah dalam domain makna bahasa, dan beliau tidak
memaksakan pendapatnya untuk mengikuti definisi bid’ah sebagaimana
yang didefinisikan oleh kelompok kedua.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany menulis[7]:

‫سنَّة فَ ُه َو َمحْ ُمود َو َما َخا َلفَ َها‬ ُّ ‫ فَ َما َوا َفقَ ال‬، ‫ َمحْ ُمودَة َو َم ْذ ُمو َمة‬: ‫ان‬ ِ َ ‫عت‬ َ ‫قَا َل الشَّافِ ِعي " ا ْل ِب ْدعَة ِب ْد‬
‫ َو َجا َء ع َْن‬، ‫ط ِريق إِ ْب َرا ِهيم ْبن ا ْل ُجنَ ْيد ع َْن الشَّافِ ِعي‬ َ ‫فَ ُه َو َم ْذ ُموم " أ َ ْخ َر َجهُ أَبُو نُعَ ْيم ِب َم ْعنَاهُ ِم ْن‬
‫ان َما أُحْ دِث يُ َخا ِلف‬ ِ ‫ض ْر َب‬ َ ‫الشَّا ِف ِعي أ َ ْيضًا َما أ َ ْخ َر َجهُ ا ْل َب ْي َه ِق ُّي ِفي َمنَا ِقبه قَا َل " ا ْل ُمحْ َدثَات‬
َ ‫ َو َما أُحْ دِث ِم ْن ا ْل َخ ْير َلَ يُ َخا ِلف‬، ‫ضلَل‬
‫ش ْيئ ًا‬ َّ ‫سنَّة أ َ ْو أَث َ ًرا أ َ ْو إِجْ َماعًا فَ َه ِذ ِه ِب ْدعَة ال‬
ُ ‫ِكتَابًا أ َ ْو‬
‫غ ْير َم ْذ ُمو َمة‬ َ ‫" ِم ْن ذَ ِلكَ فَ َه ِذ ِه ُمحْ َدثَة‬

Asy Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua: yang terpuji dan tercela, yang
sesuai sunnah maka ia terpuji, yang menyelisihi sunnah maka ia
tercela” dikeluarkan Abu Nu’aim dg maknanya dari jalan Ibrahim bin
Junaid dari Asy syafi’i, dan dari Asy Syafi’i juga yang dikeluarkan oleh
Al Baihaqi dalam manaqibnya berkata: “al muhdatsaat (yang diada
adakan) itu ada dua bagian, yang bertentangan dengan kitab, atau
sunnah, atau atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat, dan
apa yang diadakan berupa kebaikan tidak bertentangan dengan
sesuatupun dari yang demikian (kitab, atau sunnah, atau atsar atau
ijma), maka ini adalah muhdatsat yang tidak tercela”

Dibagian lain Al Hafidz Ibnu Hajar mengutip Al Izzu bin Abdissalaam


(wafat 660 H):

‫سام‬ َ ‫سة أ َ ْق‬ َ ‫اخر " ا ْلقَ َوا ِعد " ا ْل ِب ْدعَة َخ ْم‬ ِ ‫ ِفي أ َ َو‬: ‫سلَم‬ َّ ‫ع ْبد ال‬َ ‫شتِغَا ِل " َوقَا َل اِ ْبن‬ ْ ‫اجبَة " كَاَل‬ ِ ‫فَا ْل َو‬
‫ َوَلَ يَتَأَتَّى إَِلَ بِذَ ِلكَ فَيَكُون‬، ‫اجب‬ ِ ‫َلن ِح ْفظ الش َِّريعَة َو‬ َّ ‫سوله‬ َّ ‫بِالنَّحْ ِو الَّذِي يُ ْف َهم بِ ِه َكلَم‬
ُ ‫َّللا َو َر‬
‫ص ِحيح‬ َّ ‫صل ِإلَى ت َ ْم ِييز ال‬ ُّ ‫صول ا ْل ِف ْقه َوالت َّ َو‬ ُ ُ ‫ َو َكذَا ش َْرح ا ْلغَ ِريب َوت َ ْد ِوين أ‬، ‫اجب‬ ِ ‫ِم ْن ُمقَ َّد َمة ا ْل َو‬
" ‫سنَّة ِم ْن ا ْلقَد َِريَّة َوا ْل ُم ْر ِجئ َة َوا ْل ُمشَبِ َهة‬ ُّ ‫ف ال‬ َ َ‫س ِقيم " َوا ْل ُم َح َّر َمة " َما َرتَّبَهُ َم ْن َخال‬ َّ ‫َوال‬
‫علَى الت َّ َرا ِويح َو ِبنَاء‬ َ ِ‫ع ْينُهُ ِفي ا ْل َعهْد النَّ َب ِوي َكاَلجْ ِت َماع‬ َ ‫سان لَ ْم يُ ْع َهد‬ َ ْ‫َوا ْل َم ْندُو َبة " كُل ِإح‬
َّ ‫ظ َرة إِ ْن أ ُ ِري َد ِبذَ ِلكَ َوجْ ه‬
‫َّللا‬ َ ‫ع ْقد َم َجا ِلس ا ْل ُمنَا‬ َ ‫ص ُّوف ا ْل َمحْ ُمود َو‬
َ َّ ‫الربَط َوا ْل َكلَم فِي الت‬ ُّ ‫ا ْل َمد َِارس َو‬
" ‫ستَلَذَّات ِم ْن أَكْل‬ ْ ‫سع فِي ا ْل ُم‬ ُّ ‫ َوالت َّ َو‬، ‫ص ْبح َوا ْلعَصْر‬ ُّ ‫صلَة ال‬ َ ‫ع ِقب‬ َ ‫صافَ َح ِة‬
َ ‫َوا ْل ُمبَا َحة " كَا ْل ُم‬
‫َّللاُ أ َ ْعلَ ُم‬ ْ ‫ َوقَ ْد يَكُون بَ ْعض ذَ ِلكَ َمك ُْرو ًها أ َ ْو ِخلَف‬. ‫سكَن‬
َّ ‫اَلولَى َو‬ ْ ‫ َوش ُْرب َو َم ْلبَس َو َم‬.
Dan telah berkata Ibnu Abdissalaam dalam akhir kitab “al qawa’id”,
“Bid’ah itu ada lima bagian, yang wajib; seperti belajar ilmu nahwu
untuk memahami kitabullah dan sunnah rasul-Nya, karena menjaga
syari’ah itu wajib, dan tidak bisa terlaksana kecuali dengan nya
(nahwu) maka itu menjadi pembuka yang wajib…, yang haram;
(pemikiran) apa yang ditetapkan oleh yang menyelisihi sunnah, dari
kalangan Qadariyah, Murjiah dan Musyabbihat (yg menyerupakan
Allah dengan makhluq), yang mandub/sunnah; setiap kebaikan yang
tidak dilakukan pada masa nabi, seperti tarawih berjama’ah,
membangun madrasah, rubath, perkataan dalam hal tasawwuf yang
terpuji, mengadakan majelis diskusi/ceramah jika yang dikehendaki
adalah ridlo Allah, yang mubah/boleh; seperti bersalaman setelah
sholat subuh dan ashar, mencukupi diri dg yg lezat2 berupa makanan,
minuman, pakaian dan rumah, dan sebagiannya makruh atau khilaful
‘aula (menyelisihi yng utama)” Wallahu A’lam

6. Yang Saya Fahami

Karena domainnya berbeda, maka tidak bisa dicampurkan dalam satu


pembahasan, bisa kacau. Seperti ilustrasi yang pernah saya buat:

Suatu ketika ada 3 orang pelajar berselisih tentang Matematika, si A


berpendapat bahwa 1 + 2 = 11 namun si B menyalahkannya kata si B
yang benar itu 1 + 2 = 10 dan si C menyatakan A dan B tidak mengerti
Matematika karena yang benar menurutnya 1 + 2 = 3.

Perdebatan panjangpun terjadi, masing – masing mengemukakan


pendapatnya dan menyalahkan yang lainnya, namun mereka lupa
menanyakan tema pembahasan mereka masing – masing, sampai
akhirnya ada seseorang yang berusaha melerai, dan barulah mereka
sadar bahwa si A mengerjakan hitungan yang hasilnya dinyatakan dalam
basis 2, si B menyatakan hasilnya dalam basis 3, dan si C menyatakan
hasilnya dalam basis 10. Dan ketiganya, dalam konsep matematika,
ternyata benar dalam pengerjaan tersebut sesuai dengan basis bilangan
yang mereka maksud.
Kalau kita berada pada domain pendapat pertama sebenarnya sudah
selesai masalahnya, artinya semua hal yang baru—yg baru pasti bisa
baik atau buruk– maka harus dicari status hukum syari’ahnya, kalau
sesuai berarti bid’ah hasanah (menurut kelompok ke dua berarti bukan
bid’ah), kalau bertentangan berarti bid’ah madzmumah (tercela).

Kalau kita kita berada pada domain pendapat kedua, bahwa semua
“bid’ah” adalah sesat, maka yang saya fahami (dari literatur lain, agar
lebih mudah dicerna), “bid’ah” [8] adalah:

‫الفعل الذي يخالف ما جاء به الشرع‬

Perbuatan yang menyelisihi apa-apa yang dibawa oleh syara’[9]

Yang dimaksud dengan apa yang dibawa oleh syara adalah yang ada
dalilnya baik umum atau khusus. Apa saja yang tercakup dalam dalil
umum ini maka tidak disebut “bid’ah” seperti belajar kimia, biologi, dll
walaupun tidak ada pada masa Rasul namun tercakup dalam dalil
tentang menuntut ‘ilmu. Oleh karena itu tidak setiap yang tidak ada pada
masa Rasul dikatakan “bid’ah”.

Hanya perbuatan yang Allah telah menentukan secara khusus kayfiyat


nya maka melakukan perbuatan tersebut dg membuat kayfiyat sendiri
adalah “bid’ah”. Solat misalnya, jumlah raka’atnya sudah ditentukan,
waktunya telah dibatasi, arahnya sudah ditentukan, cara dan syarat-
syaratnya telah baku, wudlu’, berdiri, angkat tangan, niat, ruku’, sujud,
duduk dan seterusnya. Maka solat tergolong ibadah yang kayfiyatnya
sudah dibatasi dan dijelaskan, maka melakukannya dengan cara yang
bebas dari ketetapan-ketatapannya, misalnya : solat di luar waktunya,
membelakangi kiblat, sujud sebelum ruku’ dan seterusnya, maka dia
telah berbuat “bid’ah”. Mengangkat kedua tangan saat takbir dalam
shalat telah Allah atur dengan kayfiyat tertentu yang hukumnya sunnah,
tidak melakukannya berarti tidak berdosa, namun mengangkat tangan
saat sholat dengan membuat kayfiyat sendiri (misalnya dengan
mengepalkan jari dan mengangkat satu tangan saja – seperti takbir saat
masiroh) maka ini “bid’ah”.
Azan telah disyari’atkan dengan lafadz tertentu, maka azan dengan
lafadz yang lain, atau menambah, atau mengganti dg lafadz yang lain,
atau mengganti hurufnya, atau panjang pendeknya, semuanya terkategori
“bid’ah”, misalnya kata shalat dalam azan, walaupun shalat adalah amal
yang baik, tidak boleh diganti dengan “khairul ‘amal” sehingga hayya
‘alash shalat menjadi ‫حي على خير العمل‬. Adapun lagu/nada azan, karena
Allah tidak menentukan kayfiyat tertentu tentang lagunya, maka tidaklah
terkategori “bid’ah”.

Adapun perintah tentang dzikir dan berdo’a telah disepakati


kemutlakannya oleh semua ulama’, boleh berdiri, boleh duduk, boleh
berbaring dan seterusnya, intinya, syari’ tidak pernah membatas-
batasinya dengan menentukan metode khusus sebagaimana halnya solat,
haji dan ibadah-ibadah muqayyad (yang telah dibatasi kayfiyatnya)
lainnya.

Kalau dalam shalat dan haji Rasulullah bersabda:

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِى أ‬


‫ص ِلى‬ َ
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhory)

ِ ‫ُخذُوا عَنِي َمنَا‬


‫س َك ُك ْم‬

Ambillah dariku manasik haji kalian (HR Muslim)

Sedangkan dalam dzikir tidaklah demikian, tidak ada kayfiyyat dan


batasan khusus yg digariskan Allah berkaitan dengan do’a dan dzikir,
maka tidaklah dikatakan “bid’ah” kalau imam berdo’a dengan suara yg
terdengar jama’ah, dengan bahasa arab atau non arab, atau bersalaman
sambil berdo’a “taqabbalallahu…”. Ibadah zikir adalah ibadah mutlak
yang tidak boleh dibatas-batasi oleh seseorang, baik membatasinya
dengan cara tertentu misalnya harus bergerak-gerak, harus berjama’ah,
harus ini, harus itu dll, atau membatasinya dengan larangan tertentu,
misalnya tidak boleh bergerak-gerak, tidak boleh bersama orang lain,
tidak boleh dihitung, dll. Keduanya (membatasi dengan membuat
kayfiyat khusus yang harus begitu atau larangan tertentu tanpa dasar
syara’) sama sama dilarang. Jadi karena kemutlakan zikir itu maka
boleh-boleh saja dilakukan secara sendiri ataupun bersama orang lain, di
masjid ataupun di rumah, bergerak ataupun diam seperti patung, berdiri,
duduk ataupun berbaring, dihitung atau tidak, dan seterusnya.

Sama juga seperti membaca Al Qur’an, Allah tidak menentukan nada


tertentu untuk membaca Al Qur’an, ia boleh membacanya dengan nada
seperti suda’is, ghomidy, mu’ammar, dll dan tidak terkategori “bid’ah”
membaca dengan nada/gaya tersebut, adapun melarang orang untuk
mengikuti nada tertentu dalam membaca Al Qur’an, dengan alasan nada
tersebut tidak ada pada masa Rasul, maka justru larangan seperti ini
yang dilarang, karena ketiadaan sesuatu bukan dalil untuk menyatakan
adanya sesuatu. Sama seperti sedekah misalnya, boleh dengan uang,
boleh dengan mobil, boleh dengan komputer, dengan pesawat, dll, maka
tidak boleh dibatas-batasi dengan mengatakan : sedekah itu hanya sah
dengan uang saja dan tidak sah dengan komputer karena nabi tidak
mencontohkan yang demikian.

Berkaitan dengan ini, dalam kitabul manasik dikatakan:

‫ فليس لنا الحق – أيضا ً – أن نقيد ما أطلقه هللا‬،‫ليس لنا الحق أن نطلق ما قيده هللا‬

Kita tidak punya hak untuk memperluas(memutlakkan) apa yang sudah


dibatasi oleh Allah, maka kita juga tidak punya hak untuk membatas-
batasi yang telah diperluas (mutlakkan) oleh Allah[10].

7. Penutup

Sebenarnya, ada PR bagi kedua belah pihak, dan bagi umat Islam secara
umum:

 Bagi pihak yang mengatakan bid’ah ada yg baik dan buruk, ketika
ada sesuatu yang baru, maka wajib bagi mereka untuk mengkaji
apakah yang baru tersebut baik (wajib, sunnah, mubah, makruh)
atau buruk (haram)
 Bagi pihak yang menyatakan semua bid’ah sesat, dan tidak semua
yang baru adalah bid’ah, maka wajib bagi mereka ketika ada
sesuatu yang baru untuk mengkajinya apakah yang baru tersebut
bid’ah (sehingga sesat/haram) atau bukan bid’ah, kalau bukan
bid’ah lalu apa status hukumnya (wajib, sunnah, mubah atau
makruh?).

Jadi dari pada berpolemik sesuatu yang baru ini bid’ah atau bukan, lebih
baik mengkaji bagaimana status hukum sesuatu yang baru ini, wajib,
sunnah, mubah, makruh ataukah haram. Allahu Ta’ala A’lam.

[1] Lihat ‘Irwa’ul Ghalil, 8/107

[2] ‫ ط‬539 / 1 ‫ والحاوي للسيوطي‬، ‫ ط اَّلستقامة‬172 / 2 ‫قواعد اْلحكام للعز بن عبد السالم‬
‫ وتلبيس إبليس‬، ‫ القسم الثاني ط المنيرية‬22 / 1 ‫ وتهذيب اْلسماء واللغات للنووي‬، ‫محيي الدين‬
‫ والباعث على إنكار البدع‬، ‫ ط بوَّلق‬376 / 1 ‫ وابن عابدين‬، ‫ ط المنيرية‬16 ‫َّلبن الجوزي ص‬
‫ ط المطبعة العربية‬15 – 13 ‫ والحوادث ْلبي شامة‬.

(2) 219 / 4 ‫ والفروق‬، 172 / 2 ‫ قواعد اْلحكام‬.

[3] ‫ واَّلعتقاد على مذاهب السلف للبيهقي ص‬، ‫ ط التجارية‬19 ، 18 / / 1 ‫اَّلعتصام للشاطبي‬
114 ‫ واقتضاء‬، ‫ ط تونس‬8 ‫ والحوادث والبدع لإلمام الطرطوشي ص‬، ‫ط دار العهد الجديد‬
‫ وجامع بيان العلوم والحكم ص‬، ‫ ط المحمدية‬278 ، 228 ‫الصراط المستقيم َّلبن تيمية ص‬
160 ، ‫ ط المنيرية‬37 / / 25 ‫ وعمدة القاري‬، ‫ ط شقرون‬112 / / 1 ‫ وجواهر اإلكليل‬، ‫ط الهند‬
‫ ط الحلبي‬156 / / 5 ‫ وفتح الباري‬.

[4] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah

[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah

[6] ‫ ط التجارية‬19 / / 1 ‫اَّلعتصام للشاطبي‬

[7] Fathul Bâry, Juz 20 hal 330 dst, Maktabah Syamilah

[8] Saya kasih tanda petik untuk membedakan bahwa “bid’ah” disini
adalah yang semuanya sesat.
[9] Dari Dirosah Fiqhiyyah (kumpulan soal – jawab)

[10] ‫كتاب المناسك من الشرح الممتع‬

Mengoreksi Penguasa Dengan Terang-Terangan Merupakan


Cara Khowarij?

Sebagian kalangan ada yang menyatakan bahwa mengoreksi penguasa


wajib dengan sembunyi-sembunyi, diam-diam, dan tidak boleh terbuka.
Lebih dari itu mereka mencela orang-orang yang mengoreksi dengan
terang terangan, dan mengatakan bahwa ini adalah cara-cara khawârij[1].
Dalil yang dipakai adalah hadits riwayat Imam Ahmad berikut ini:

‫اض ب ُْن‬ُ ‫ي وغي ُْرهُ قال جلد ِعي‬ ُّ ‫عبيْد ْالحضْر ِم‬ ُ ‫شر ْي ُح ب ُْن‬ ُ ‫حدَّثنا أبُو ْال ُم ِغيرةِ حدَّثنا ص ْفو‬
ُ ‫ان حدَّث ِني‬
‫اض ث ُ َّم مكث‬ ٌ ‫ضب ِعي‬ ِ ‫ت فأ ْغلظ لهُ ِهشا ُم ب ُْن ح ِكيم ْالق ْول حتَّى غ‬ ْ ‫احب د ِاريا ِحين فُتِح‬ ِ ‫غ ْنم ص‬
َّ ‫ي صلَّى‬
‫َّللاُ عل ْي ِه‬ َّ ِ‫ليا ِلي فأتاهُ ِهشا ُم ب ُْن ح ِكيم فاعْتذر ِإل ْي ِه ث ُ َّم قال ِهشا ٌم ِل ِعياض أل ْم تسْم ْع النَّب‬
‫اض ب ُْن غ ْنم يا‬ ُ ‫اس فقال ِعي‬ ِ َّ‫اس عذابًا أشدَّ ُه ْم عذابًا ِفي الدُّ ْنيا ِللن‬ ِ َّ‫وسلَّم يقُو ُل ِإ َّن ِم ْن أش ِد الن‬
‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم‬
َّ ‫َّللا صلَّى‬ ِ َّ ‫سول‬ُ ‫ِهشا ُم بْن ح ِكيم ق ْد س ِم ْعنا ما س ِم ْعت ورأيْنا ما رأيْت أول ْم تسْم ْع ر‬
‫يقُو ُل‬

ُ‫س ْلطان بِأ ْمر فال يُ ْب ِد لهُ عالنِيةً ول ِك ْن ِليأ ْ ُخ ْذ ِبي ِد ِه في ْخلُو بِ ِه فإ ِ ْن قبِل ِم ْنه‬
ُ ‫م ْن أراد أ ْن ي ْنصح ِل‬
ِ ‫س ْلط‬
،ِ‫ان هللا‬ ُ ‫ئ على‬ ُ ‫ ِإ ْذ ت ْجت ِر‬،‫فذاك و ِإ ََّّل كان ق ْد أدَّى الَّذِي عل ْي ِه لهُ و ِإنَّك يا ِهشا ُم ْل ْنت ْالج ِري ُء‬
‫ان هللاِ تبارك وتعالى‬ ِ ‫س ْلط‬ُ ‫ فت ُكون قتِيل‬،‫ان‬ ُ ‫س ْلط‬
ُّ ‫فه َّال خشِيت أ ْن ي ْقتُلك ال‬
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughiroh telah menceritakan
kepada kami Shafwan telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid
Al Hadlromi dan yang lainnya berkata; ‘Iyâdl bin Ghanm mencambuk
orang Dariya ketika ditaklukkan[2]. Hisyâm bin Hakim meninggikan
suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyâdl marah. (‘Iyâdl r.a)
tinggal (menetap) beberapa hari, lalu Hisyâm bin Hakim mendatanginya,
memberikan alasan. Hisyâm berkata kepada ‘Iyâdl: Tidakkah kau
mendengar Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: ” Orang yang
paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras
menyiksa manusia di dunia” ‘Iyâdl bin Ghanm berkata; Wahai Hisyâm
bin Hakim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga
melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:

“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu


perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi
gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima
memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya”
dan sesungguhnya engkau wahai Hisyâm, kamu sungguh orang yang
berani, jika kamu berani kepada penguasa Allah, tidakkah engkau takut
dibunuh penguasa, maka kau menjadi korban penguasa Allah Tabâroka
wa Ta’âla? (HR. Ahmad, hadits no. 15333) [3]

Sanad Hadits

Hadits ini diriwayatkan dengan dua jalur periwayatan sebagai berikut:

1. ‘Iyâdl bin Ghanm adalah shahabat. Dia termasuk orang yang


berbaiat di Baiat Ar-Ridwan, meninggal tahun 20 H di Syam.

2. Hisyâm bin Hakim bin Hizam bin Khuwailid al Qurasyi al Asadi.


Meninggal pada awal masa kekhilafahan Mu’awiyah. Al Hâfidz Ibnu
Hajar menyebutnya sebagai shahabat anak seorang sahabat, disebutkan
dalam shahihayn.[4] (Taqribu At Tahdzib hal 572, Maktabah Syamilah)
3. Syuraih bin ’Ubaid adalah tabi’in. Al Hâfidz Ibnu Hajar Al Asqalani
menilai Syuraih dengan : tsiqah banyak memursalkan[5] hadits[6]
(Taqribu At Tahdzib hal 265, Maktabah Syamilah).

4. Shafwan bin ‘Amru bin Harim (Abu ‘Amru) adalah tabi’in kalangan
biasa, meninggal pada tahun 155 H. Al Hâfidz Ibnu Hajar Al Asqalani
mentsiqahkannya.

5. Abdul Quddus bin Al Hajjaj (Abu Al Mughirah) adalah tabi’ut


tabi’in kalangan biasa, meninggal pada tahun 212 H. Al Hâfidz Ibnu
Hajar Al Asqalani mentsiqahkannya.

Penilaian Para ‘Ulama

Sanad hadits ini adalah dho’if karena Syuraih bin ‘Ubaid bin Syuraih al
Hadlromiy tidak mendengar hadits tersebut dari Hisyâm bin Hakim bin
Hizam, Syuraih juga tidak mendengarnya dari Iyâdl bin Ghanm jadi
kedua jalur periwayatan tersebut adalah dho’if, termasuk hadits
Munqathi’. Ini sebagaimana ta’liq Syaikh Syu’aib al Arna’uth yang
menyatakan:

‫ شريح بن عبيد الحضرمي لم يذكروا له سماعا ً من عياض وَّل‬،‫وهذا إسناد ضعيف َّلنقطاعه‬
‫من هشام‬

Dan ini adalah sanad yg dho’if karena terputusnya, Syuraikh bin ‘Ubaid
Al Hadlromy tidak menuturkan lewat pendengaran (simâ’an) dari ‘Iyâdl
dan tidak juga dari Hisyâm.

Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya, Al Marâsîl[7] menyatakan:

‫ارث وَّل‬ ِ ‫ي ل ْم يد ِْر ْك أبا أُمامة وَّل ْالح‬


ِ ‫ارث بْن ْالح‬ ُّ ‫عبيْد ْالحضْر ِم‬ ُ ‫س ِم ْعتُ أ ِبي يقُو ُل‬
ُ ‫شر ْي ُح ب ُْن‬
‫ْال ُمقدم‬

Aku mendengar ayahku berkata: Syuraih tidak berjumpa dengan abu


Umâmah, tidak pula al Hârist bin al Hârist dan tidak pula Miqdam.
Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak mendapati (masa) Abu Umâmah r.a yang
meninggal tahun 86 H, juga tidak menemui al Miqdam bin Ma’di Karb
r.a yang meninggal tahun 87 H, maka tidaklah mungkin dia bertemu
dengan Hisyâm bin al Hakim yang meninggal pada awal masa
kekhilafahan Mu’awiyah, lebih-lebih dengan ‘Iyâdl bin Ghanm yang
meninggal pada tahun 20 H yaitu pada masa amirul mukminin Umar bin
Khaththab r.a, oleh karena itu mestilah hadist ini, dengan kedua sanad
ini termasuk hadits munqathi’ (terputus sanadnya).

Adakah Riwayat Lain Yang Memperkuat Hadits Ini?

ِ َّ‫ِإ َّن ِم ْن أش ِد الن‬


Riwayat hadits tersebut sampai redaksi : ‫اس عذابًا أشدَّ ُه ْم عذابًا فِي‬
ِ َّ‫( الدُّ ْنيا ِللن‬artinya: “Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-
‫اس‬
orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia“) adalah shahih
lighairihi[8]. Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan
ahli hadits lain, seperti hadits :

‫ أ َّن‬،‫الزبي ِْر‬ُّ ‫ع ْروة ب ِْن‬


ُ ‫ ع ْن‬،‫ ع ِن اب ِْن ِشهاب‬،‫س‬ َّ ‫حدَّثنِي أبُو‬
ُ ُ‫ أ ْخبر ِني يُون‬،‫ أ ْخبرنا اب ُْن و ْهب‬،‫الطا ِه ِر‬
،‫اء ْال ِج ْزي ِة‬ ِ ‫سا ِمن النَّب ِْط ِفي أد‬
ً ‫س نا‬ ُ ‫ وجد ر ُج ًال و ُهو على ِح ْمص يُش ِم‬،‫ِهشام بْن ح ِكيم‬
‫ِب الَّذِين‬ ُ ‫ « ِإ َّن هللا يُعذ‬:ُ‫ يقُول‬،‫سول هللاِ صلَّى هللاُ عل ْي ِه وسلَّم‬ ُ ‫ ما هذا؟ ِإنِي س ِم ْعتُ ر‬:‫فقال‬
‫»يُع ِذبُون النَّاس فِي الدُّ ْنيا‬

Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir; Telah mengabarkan


kepada kami Ibnu Wahb; Telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu
Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair bahwa Hisyâm bin Hakim pernah
melewati orang di Syam sedang menjemur beberapa orang petani di
terik matahari karena tidak membayar pajak. Kemudian Hisyâm
bertanya; ‘Mengapa mereka ini dihukum? ‘ ‘Sesungguhnya saya pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‘Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang
lain di dunia”. (HR. Muslim)

Adapun redaksi ً‫س ْلطان بِأ ْمر فال يُ ْب ِد لهُ عال ِنية‬
ُ ‫… م ْن أراد أ ْن ي ْنصح ِل‬
(“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu
perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan…”), dalam
hal ini terjadi ikhtilaf:
· Syaikh Syu’aib al Arna’uth (lahir 1928 M) menilai tambahan ini hasan
lighairihi. Bahkan al Albani menshahihkannya[9]. Berikut ringkasan
alasan penerimaan tambahan ini:

Hadits ‘Iyâdl bin Ghanm sebagaimana tersebut sebelumnya, sanadnya


lemah karena inqithaa’ (keterputusan) antara Syuraih dengan ‘Iyâdl dan
Hisyaam.

Akan tetapi inqithâ’ ini disambung oleh Jubair bin Nufair dalam riwayat
Ibnu Abi ‘Âshim (no. 1097) [10], namun sanad riwayat ini juga lemah
karena kelemahan Muhammad bin Ismâ’îl bin ‘Ayyâsy. Al-Hafizh Ibnu
Hajar sempat menyebut riwayatnya lalu melemahkannya dengan
menyatakan, ”Tapi Muhammad (bin Ismail ini) dha’if jiddan (sangat
lemah)”.[11]

Syuraih juga mempunyai mutâba’ah[12] dari ‘Abdurrahmân bin ‘Âidz


Al-Azdiy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi ‘Âshim (no. 1098),
namun sanad riwayat ini juga lemah karena ‘Abdul-Hamîd bin Ibrâhîm
setelah kitab-kitabnya hilang hafalannya buruk. [13]

Tetapi ‘Abdul-Hamîd bin Ibrâhîm mempunyai mutâba’ah dari ‘Amru


bin Al-Hârits Al-Himshiy dari jalan Ishâq bin Ibrâhîm bin Zibrîq, dari
‘Amru bin Al-Haarits Al-Himshiy, dari ‘Abdullah bin Sâlim. Sanad
hadits ini juga lemah karena Ishâq bin Ibrâhîm bin Zibrîq, an Nasa’i
menyatakannya “tidak tsiqah”, al Albani sendiri menyatakan sebagai
sangat lemah (dho’if jiddan).[14]

Mereka menyatakan walaupun semua hadits tersebut lemah, namun


menurut penilaian mereka dalam setiap thabaqah sanad saling
menguatkan satu dengan yang lainnya.

· Syaikh Muqbil menilai tambahan bahwa mengoreksi penguasa harus


secara diam-diam adalah tambahan yang dho’if karena syadz, dalam
Tuhfât Al Mujîb, menulis:
“Telah tetap dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, “Jihad yang paling
utama adalah mengucapkan kebenaran di sisi penguasa yang zalim”,
dan kata-kata “di sisi” (‘indiyyah) tidaklah mesti bermakna rahasia
dan harus bersama penguasa saja (rahasia).

Adapun hadits : “Siapa yang memiliki nasehat untuk penguasa maka


hendaknya dia menasehatinya secara rahasia”, hadits ini asalnya ada di
Shahih Muslim tanpa tambahan ini. redaksi hadits tersebut yang ada di
Shahih Muslim adalah “Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang yang
menyiksa manusia di dunia” dan tidak disebutkan tambahan ini. Maka
haruslah ditelaah tambahan ini (yakni tambahan menasehati harus secara
rahasia), jika para perawi yang meriwayatkan tambahan itu semisal
dengan para perawi yang tidak membawakan tambahan maka tambahan
tersebut adalah tambahan yang bisa diterima. Demikian pula, jika perawi
yang membawakan tambahan itu punya nilai lebih dari pada perawi
yang tidak membawakan tambahan maka tambahan tersebut adalah juga
tambahan yang diterima, adapun jika tambahan tersebut adalah
tambahan yang kurang kuat maka status tambahan tersebut adalah
tambahan yang syadz, dan (tambahan) redaksi di atas adalah
(tambahan) yang syadz. (Tuhfât Al Mujîb, hal 164)

Penilaian tentang kelemahan hadits sirriyyatun nashîhat (nasehat dg


rahasia) di atas juga dinyatakan oleh Dr. Muhammad bin Abdullah al
Mas’ary, beliau menjelaskan panjang lebar kelemahan hadits ini dari
berbagai segi dalam kitabnya, Muhâsabatul Hukkâm, hal 261 – 299.
Pemahaman Hadits: Cara Menasehati Penguasa

Hadits ini menjelaskan salah satu adab dan uslub/cara menasehati


penguasa, yakni hendaklah tidak mengungkap aibnya ditengah
masyarakat, hal ini juga berlaku untuk menasehati individu, termasuk
orang tua dalam mendidik anak-anaknya dan guru terhadap murid-
muridnya.

‫ ومن وعظه عالنية فقد فضحه وخانه‬، ‫ من وعظ أخاه سرا فقد نصحه وزانه‬:‫وقال الشافعي‬

Imam Asy Syafi’i berkata : barang siapa menasehati saudaranya secara


rahasia maka sungguh ia telah menasehati dan menghiasi saudaranya,
dan barang siapa menasehatinya secara terang terangan (didepan
publik) maka sesungguhnya ia telah membuka kejelekannya dan
menghianatinya. [Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya, 9/140]

Terlepas dari ikhtilaf kesahihan hadits tersebut, walaupun penulis lebih


memilih pendapat yang mendho’ifkan, dan penulis mengambil
pandangan bahwa hadits dho’if boleh digunakan untuk sekedar
menjelaskan fadhilah amal, bukan untuk menentukan status
halal/haramnya perbuatan, jika hadits ini dipakai dengan konteks yang
benar, dalam perkara yang tepat, maka bisa memberikan kebaikan pada
umat dan negara dan menjaga stabilitas negara. Disisi lain, kalau dipakai
bukan pada tempatnya, hadits ini bisa dijadikan senjata oleh bangsa
penjajah dan kaki tangannya untuk membodohi umat agar penjajahan
mereka ‘stabil’ dan kekuasaan mereka berjalan dengan aman, lancar dan
terkendali untuk senantiasa melakukan berbagai kemaksiatan dan
pengingkaran terhadap hukum-hukum Allah SWT.

Adapun bagi orang yang menganggap tambahan hadits tersebut


shahih/hasan, maka tidak bisa kemudian otomatis difahami bahwa
larangan tersebut hukumnya haram, apalagi sampai menyematkan label
‘khawarij’ atau label tidak layak lainnya, sebab:

1) Tidak semua kalimat yang berbentuk larangan/nahyu (di dalam al


Quran dan Sunnah) pasti berimplikasi hukum haram. Sighat nahyu bisa
saja berimplikasi tahrim (haram), karahah(tidak disukai), al-
irsyad(penjelasan) dan lain-lain. Larangan yang tersebut di dalam hadits
Imam Ahmad hanya menunjukkan makna al-irsyad dan rukhshah
belaka, ini ditunjukkan beberapa hal antara lain:

a. Kalimat “Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah
melaksakan kewajibannya” menunjukkan rukhsoh (keringanan) bahwa
menyampaikan dengan rahasia sudah cukup untuk melepaskan diri dari
dosa, baik nasehatnya diterima atau ditolak.

b. Perkataan ‘Iyâdl bin Ghanm, “… tidakkah engkau takut dibunuh oleh


penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh
penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”, menunjukkan bahwa beliau
sedang mengingatkan saudaranya, Hisyâm bin Hakim, tentang resiko
yang bisa terjadi jika menasehati penguasa dengan terang-terangan,
bukan mengingatkan atas kemaksiyatan yang dilakukan oleh Hisyâm bin
Hakim. Ditambah lagi Hisyâm juga mengoreksi pejabat lain, seperti
Umair bin Sa’ad dengan terang-terangan, bahkan Iyâdl sendiri juga
mengoreksi dengan terang-terangan (riwayatnya di point berikutnya)

2) Banyak riwayat yang menjelaskan keharusan berkata benar dimana


saja, tidak harus rahasia, baik kepada penguasa atau bukan, semisal
hadits dari ’Ubaidah bin Ash-Shamit radliyallaahu ’anhu ia berkata :

ُ ‫ َّل نخ‬،‫ق ح ْيثُما ُكنَّا‬


ِ َّ ‫اف فِي‬
… ‫َّللا ل ْومة َّلئِم‬ ِ ‫وأ ْن نقُوم أ ْو نقُول ِبالح‬
”… dan agar kami selalu berbuat dan berkata dengan kebenaran
dimanapun kami berada tanpa takut celaan dan hinaan dalam
menjalankan perintah Allah” (HR. Bukhari no. 7199, Dâru Thûqi an
Najâh, Maktabah Syâmilah)

3) Menyembunyikan apa yang seharusnya disampaikan adalah salah satu


ciri sifat nifâq. Imam Bukhariy meriwayatkan:

‫س ْلطا ِننا فنقُو ُل ل ُه ْم ِخالف ما نتكلَّ ُم إِذا خر ْجنا ِم ْن ِع ْن ِد ِه ْم‬


ُ ‫عمر إِنَّا ن ْد ُخ ُل على‬ ٌ ‫قال أُن‬
ُ ‫اس َِّلب ِْن‬
‫قال ُكنَّا نعُدُّها ِنفاقًا‬
Manusia berkata kepada Ibnu ‘Umar, Kami memasuki (rumah) penguasa
kami, kemudian kami mengatakan kepada mereka berbeda dengan apa
yang kami katakan tatkala kami keluar dari (rumah) mereka (
penguasa). Ibu ‘Umar berkata: adalah kami menghitungnya sebagai
(sikap) nifaq (munafiq). [Shahih Bukhari, 23/421, Maktabah Syâmilah]

Hadits ini menunjukkan bahwa mereka tidak harus datang sendirian,


bisa di fahami dari lafadz inna nadkhulu (sesungguhnya kami
memasuki…) dan pengingkaran Ibnu ‘Umar r.a akan sikap mereka yakni
: “kemudian kami mengatakan kepada mereka berbeda dengan apa yang
kami katakan tatkala kami keluar” menunjukkan bahwa dalam kondisi
tidak sendirianpun tetap dituntut berkata haq didepan penguasa, artinya
ketika penguasanya berbuat melanggar syara’ maka harus juga
dinyatakan sebagai melanggar syara’, bukan malah dicarikan alasan,
hujjah atau udzur untuk membenarkan penguasa, namun tetap perlu
diperhatikan bahwa perkara tersebut adalah benar-benar pelanggaran
syara’ bukan sekedar masalah khilafiyyah –yang kebetulan pendapat
penguasa berbeda dengan pendapat dirinya.

4) Dalam riwayat lain, Imam Ahmad meriwayatkan dari jalur ‘Urwah


bin Zubair bahwa ‘Iyâdl bin Ghanm justru pihak yang mengingkari
penyiksaan karena masalah jizyah, tanpa ada tambahan harus rahasia,
bandingkan dengan hadits yang ada tambahan menyuruh menasehati
secara rahasia (no. 15333), justru Iyâdl adalah pihak yang menyiksa.

‫ أنَّهُ بلغهُ أ َّن ِعياض بْن‬،‫ع ْروة‬ ُّ ‫ ع ِن‬،‫س‬


ُ ‫ ع ْن‬،ِ‫الز ْه ِري‬ ُ ُ‫ أ ْخبرنا يُون‬:‫ قال‬،‫عمر‬ ُ ‫عثْم‬
ُ ‫ان ب ُْن‬ ُ ‫حدَّثنا‬
:ُ‫هللا صلَّى هللاُ عل ْي ِه وسلَّم يقُول‬ِ ‫سول‬ ُ ‫ ِإ ِني س ِم ْعتُ ر‬:‫ فقال‬،‫سون ِفي ْال ِج ْزي ِة‬
ُ ‫طا يُش َّم‬ً ‫غ ْنم رأى نب‬
“‫ِب الَّذِين يُع ِذبُون النَّاس فِي الدُّ ْنيا‬
ُ ‫ِإ َّن هللا تبارك وتعالى يُعذ‬
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin ‘Umar berkata; telah
mengabarkan kepada kami Yunus dari Az-Zuhri dari ‘Urwah telah
sampai kepadanya dari seseorang bahwa, ‘Iyâdl bin Ghanm melihat
rakyat jelata yang dijemur karena masalah jizyah. Lalu berkata; saya
telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: ”
Allah subhanahu wata’ala menyiksa orang yang menyiksa manusia di
dunia.” (HR. Ahmad, No 15334, Syu’aib Arna’uth menyatakan marfu’
shahih lighairihi)

Hadits di bawah ini juga bicara mengoreksi pejabat dengan terang-


terangan, tanpa tambahan yang dipermasalahkan.
ُ ‫ع ْروة‬ ُ ‫ أ ْخبرنِي‬:‫ قال‬،‫ ع ْن ع ِم ِه‬،‫ حدَّثنا اب ُْن أ ِخي اب ِْن ِشهاب‬،‫وب ب ُْن إِبْرا ِهيم ب ِْن س ْعد‬ ُ ُ‫حدَّثنا ي ْعق‬
‫س‬ ُ ‫ام ِل ِح ْمص و ُهو يُش ِم‬ ِ ‫ م َّرا ِبع‬،‫ و ِهشام بْن ح ِك ِيم ْب ِن ِحزام‬،‫ أ َّن ِعياض بْن غ ْنم‬،‫الزبي ِْر‬ ُّ ‫ب ُْن‬
‫سول هللاِ صلَّى هللاُ عل ْي ِه‬ ُ ‫ ما هذا يا فُال ُن؟ إِ ِني س ِم ْعتُ ر‬:‫ام ِل‬ِ ‫ فقال أحد ُ ُهما ِل ْلع‬،‫ش ْم ِس‬
َّ ‫طا فِي ال‬ ً ‫أ ْنبا‬
‫ِب الَّ ِذين يُع ِذبُون النَّاس فِي الدُّ ْنيا‬
ُ ‫ “ ِإ َّن هللا تبارك وتعالى يُعذ‬:ُ‫”وسلَّم يقُول‬
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d telah
menceritakan kepada kami anak saudara Ibnu Syihab dari pamannya
berkata; telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair ‘Iyâdl bin
Ghanm dan Hisyâm bin Hakim bin Hizam melewati pejabat Himsh yang
sedang menjemur rakyat jelata di matahari, lalu salah satunya berkata
kepada pejabat tadi, kenapa itu wahai fulan saya telah mendengar
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah subhanahu
wata’ala akan menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia.”
(HR. Ahmad, No 15336, Syu’aib Arna’uth menyatakan marfu’ shahih)

‫ ق ْد‬،‫ أنَّهُ م َّر ِبأُناس ِم ْن أ ْه ِل ا ِلذ َّم ِة‬،‫ ع ِن اب ِْن ِحزام‬،‫ ع ْن أ ِبي ِه‬،‫ع ْروة‬ُ ‫ حدَّثنا ِهشا ُم ب ُْن‬،‫حدَّثنا و ِكي ٌع‬
ُ ‫ أ ْشهد‬:‫ فقال‬،ِ‫ ب ِقي عل ْي ِه ْم ش ْي ٌء ِمن ْالخراج‬:‫ ما هؤَُّل ِء؟ قالُوا‬:‫ فقال‬،‫ش ِام‬ َّ ‫أُقِي ُموا فِي ال‬
َّ ‫ش ْم ِس ِبال‬
‫ِب ي ْوم ْال ِقيام ِة الَّذِين‬ ُ ‫ “إِ َّن هللا ع َّز وج َّل يُعذ‬:ُ‫سول هللاِ صلَّى هللاُ عل ْي ِه وسلَّم يقُول‬ ُ ‫أنِي س ِم ْعتُ ر‬
،‫ فدخل عل ْي ِه‬:‫ قال‬،‫ْطين‬ ِ ‫عمي ُْر ب ُْن س ْعد على فِلس‬ ُ ‫اس ي ْومئِذ‬ ِ َّ‫ير الن‬
ُ ‫ وأ ِم‬:‫يُع ِذبُون النَّاس” قال‬
‫فحدَّثهُ فخلَّى س ِبيل ُه ْم‬

Telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami


Hisyâm bin ‘Urwah dari bapaknya dari Ibnu Hizam dia pernah
melewati orang-orang dzimmi yang dijemur di bawah matahari di Syam.
Lalu dia bertanya, ada apa dengan mereka? Mereka menjawab, mereka
masih memiliki tanggungan khoroj (pajak yang dibebankan kepada para
orang kafir yang berada di bawah kekuasaan Islam). Lalu (Hakim bin
Hizam Radliyallahu’anhuma) berkata; saya bersaksi saya telah
mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: ” Allah
‘Azzawajalla pada Hari Kiamat menyiksa orang-orang yang menyiksa
manusia” (Hisyâm Radliyallahu’anhu) berkata; Amir mereka di
Palestina pada waktu itu adalah ‘Umair bin Sa’ad. Hisyâm berkata;
lalu (Hakim Radliyallahu’anhu) menemuinya (‘Umair) dan berbicara
kepadanya maka dia (‘Umair) melepaskan mereka(yakni orang yang
dijemur). (HR. Ahmad, No 15330, Syu’aib Arna’uth menyatakan
sanadnya shahih menurut syarat Muslim)

Dari riwayat-riwayat tersebut, sebenarnya bisa dirinci sebagai berikut:

a. Hisyâm bin Hakim telah mengingkari dan mengingatkan secara


terang-terangan Iyâdl bin Ghanm ketika Iyâdl menyiksa orang di Dariya
karena tidak membayar jizyah (hadits no. 15333), dan Iyâdl mengambil
faedah dari Hisyâm sehingga setelah itu Iyâdl termasuk orang yang
mengingkari penyiksaan terhadap manusia, bahkan dengan terag-
terangan, hal ini bisa dilihat dalam hadits no. 15334 dan hadits no
15336.

b. Pengingkaran Ibnu Hizam terhadap ‘Umair bin Sa’ad ketika menjadi


pejabat Palestina, yang menjemur ahludz dzimmah dalam masalah jizyah
(riwayat no. 15330), beliau melakukan pengingkaran terang-terangan,
baru kemudian masuk menemui ‘Umair dan membahas persoalan
tersebut.

c. Hadits-hadits tersebut di atas, semua itu diriwayatkan ‘Urwah bin


Zubair yang menjumpai Hisyâm dan mendengarnya secara langsung
sebagaimana dalam Shahih Muslim, akan tetapi memang ‘Urwah tidak
berjumpa dengan Iyâdl yang wafat pada masa ‘Umar, namun dia
mendengar kisah selengkapnya dari Hisyâm yang menyaksikan langsung
kejadian, dan saat itu Hisyâm beserta Iyâdl. Lalu ‘Urwah menyampaikan
kisah tersebut, dan dalam banyak riwayat hanya menyebut Hisyâm (no.
15330) karena Hisyâm adalah gurunya langsung, adakalanya juga
menyebut Iyâdl sendiri, seperti hadits no. 15334, atau Iyâdl beserta
Hisyâm (hadits no. 15336).

Bagaimana bisa difahami haram menasehati penguasa dengan


terang-terangan dengan alasan hadits Iyâdl (yang dho’if atau
minimal dipertentangkan) yakni hadits no. 15333, sementara Iyâdl
sendiri (atau Hisyâm bersama Iyâdl) justru menasehati penguasa,
yakni ‘Umair bin Sa’ad, dengan terang terangan, dalam kasus dan
tema yang sama (hadits no. 15336). Lihat pula ‘Umair bin Sa’ad, tidak
mempermasalahkan cara shahabat tersebut mengingkari apa yang
dilakukannya dengan terang-terangan sebelum menemuinya, namun
beliau langsung melepaskan orang yang dijemur tersebut.

Yang lebih ajaib, Syaikh Abdus Salam bin Barjas dalam Mu’âmalatul
Hukkâm fi Dhau’i Al-Kitâb wa As-Sunnah, setelah menguatkan hadits
tsb dengan merujuk al Albani, dengan menyatakannya shahih, bukan
hasan sebagaimana diduga orang, apalagi dho’if, beliau menyatakan
bahwa hadits ini adalah pokok dalam hal merahasiakan nasehat
terhadap penguasa[15]. Bagaimana bisa hal yang pokok dibangun di
atas hadits yang diperselisihkan keshahihannya?

5) Banyak juga riwayat lain yang menunjukkan bahwa para shahabat


tidaklah mengharamkan menasehati penguasa dengan terang-terangan,
ada pula sahabat yang memilih menasehati dengan rahasia, ini
menunjukkan bahwa menasehati penguasa, baik dengan terang-terangan
atau rahasia adalah hal yang diperbolehkan syara’. Diantara riwayat
tersebut adalah:

a. Ubadah bin Shamit r.a menasehati Mu’awiyyah dengan terang-


terangan dalam kasus riba fadhl

‫ش ِام‬ َّ ‫ي حدَّثنا ح َّماد ُ ب ُْن زيْد ع ْن أيُّوب ع ْن أ ِبي ِقالبة قال ُك ْنتُ ِبال‬ ُّ ‫ير‬ ِ ‫عمر ْالقو ِار‬ُ ‫َّللاِ ب ُْن‬
َّ ُ ‫عب ْيد‬
ُ ‫حدَّثنا‬
ُ‫ث فجلس فقُ ْلتُ له‬ ِ ‫ث أبُو ْاْل ْشع‬ ِ ‫ث قال قالُوا أبُو ْاْل ْشع‬ ِ ‫فِي ح ْلقة فِيها ُم ْس ِل ُم ب ُْن يسار فجاء أبُو ْاْل ْشع‬
‫اس ُمعا ِويةُ فغنِ ْمنا غنائِم‬ ِ َّ‫ت قال نع ْم غز ْونا غزاة ً وعلى الن‬ ِ ‫ام‬ ِ ‫ص‬ َّ ‫عبادة ب ِْن ال‬ُ ‫ِث أخانا حدِيث‬ ْ ‫حد‬
‫اس‬ ِ َّ‫ت الن‬ ِ ‫ْطيا‬ ِ ‫ك ِثيرة ً فكان فِيما غ ِن ْمنا آنِيةٌ ِم ْن فِضَّة فأمر ُمعا ِويةُ ر ُج ًال أ ْن ي ِبيعها فِي أع‬
َّ ‫َّللاِ صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َّ ‫سول‬ ُ ‫ت فقام فقال إِنِي س ِم ْعتُ ر‬ ِ ‫ام‬ ِ ‫ص‬َّ ‫عبادة بْن ال‬ ُ ‫اس فِي ذ ِلك فبلغ‬ ُ َّ‫فتسارع الن‬
‫ير والت َّ ْم ِر‬ِ ‫ش ِع‬َّ ‫ير ِبال‬ َّ ‫ض ِة و ْالب ُِر ِب ْالب ُِر وال‬
ِ ‫ش ِع‬ َّ ‫ض ِة ِب ْال ِف‬َّ ‫ب و ْال ِف‬ ِ ‫ب ِبالذَّه‬ ِ ‫عل ْي ِه وسلَّم ي ْنهى ع ْن بيْعِ الذَّه‬
‫اس ما أخذُوا‬ ُ َّ‫ازداد فق ْد أ ْربى فردَّ الن‬ ْ ‫ِبالت َّ ْم ِر و ْال ِم ْلحِ ِب ْال ِم ْلحِ ِإ ََّّل سوا ًء ِبسواء ع ْينًا ِبعيْن فم ْن زاد أ ْو‬
‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم‬ َّ ‫َّللاِ صلَّى‬َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫فبلغ ذ ِلك ُمعا ِوية فقام خ ِطيبًا فقال أَّل ما با ُل ِرجال يتحدَّثُون ع ْن ر‬
‫صة ث ُ َّم قال‬ َّ ‫ت فأعاد ْال ِق‬ ِ ‫ام‬
ِ ‫ص‬ َّ ‫عبادة ُ ب ُْن ال‬ ُ ‫صحبُهُ فل ْم نسْم ْعها ِم ْنهُ فقام‬ ْ ‫أحادِيث ق ْد ُكنَّا ن ْشهدُهُ ون‬
‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم وإِ ْن ك ِره ُمعا ِويةُ أ ْو قال وإِ ْن ر ِغم ما أُبا ِلي‬ َّ ‫َّللاِ صلَّى‬ ُ ‫لنُحدِث َّن ِبما س ِم ْعنا ِم ْن ر‬
َّ ‫سو ِل‬
‫صحبهُ فِي ُج ْن ِد ِه ليْلةً س ْوداء قال ح َّماد ٌ هذا أ ْو ن ْحوهُ حدَّثنا ِإسْح ُق ب ُْن ِإبْرا ِهيم واب ُْن أ ِبي‬
ْ ‫أ ْن َّل أ‬
ُ‫اإل ْسنا ِد ن ْحوه‬ ِ ‫عمر ج ِميعًا ع ْن ع ْب ِد ْالو َّها‬
ِ ْ ‫ب الثَّق ِفي ِ ع ْن أيُّوب ِبهذا‬ ُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Umar Al Qawariri
telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu
Qilabah dia berkata, “Ketika di negeri Syam, saya mengikuti suatu
halaqah (majlis ilmu), ternyata di situ juga ada Muslim bin Yasar. Tidak
lama kemudian Abu Al Asy’ats datang.” Abu Qilabah melanjutkan,
“Lalu orang-orang yang ikut bermajlis berkata, “Abu Al ‘Asy’ats telah
datang, Abu Al ‘Asy’ats telah datang!” Ketika ia telah duduk, maka aku
pun berkata kepadanya, “Riwayatkanlah hadits kepada saudara kami,
yaitu hadits Ubadah bin Shamit.” Dia menjawab, “Baiklah. Suatu ketika
kami mengikuti suatu peperangan, dan dalam peperangan tersebut ada
juga Mu’awiyah, lalu kami mendapatkan ghanimah yang melimpah ruah
yang di antaranya adalah wadah yang terbuat dari perak. Mu’awiyah
kemudian menyuruh seseorang untuk menjual wadah tersebut ketika
orang-orang menerima pembagian harta ghanimah, maka mereka
beramai-ramai menawarnya, ternyata hal itu sampai di telinga ‘Ubadah
bin Shamit, maka ia pun berdiri dan berkata, “Sesungguhnya saya
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam
dengan garam kecuali jika dengan takaran yang sama dan tunai,
barangsiapa melebihkan, maka dia telah melakukan praktek riba.”
Lantas mereka menolak dan tidak jadi mengambilnya. Dan hal itu
sampai ke telinga Mu’awiyah, maka dia berdiri dan berkhutbah, dia
berkata, “Kenapa ada beberapa lelaki mereka menyampaikan hadits
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal kami telah
bersama beliau dan kami tidak pernah mendengar hal itu dari beliau?”
lantas Ubadah bin Shamit berdiri dan mengulangmi ceritanya.
Kemudian dia berkata, “Sungguh, kami akan senantiasa
meriwayatkan apa yang kami dengar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, walaupun Mu’awiyah tidak menyukainya.” Atau dia
berkata, “Saya tidak peduli padanya walau harus dipecat dari
tentaranya ketika berada di malam hari yang sangat gelap gulita.”
Hammad mengatakan, “Ini, atau seperti itu.” Telah menceritakan
kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Ibnu Abu Umar semuanya dari
Abdul Wahhab Ats Tsaqafi dari Ayyub dengan isnad seperti ini.” (HR.
Muslim).

b. Abu Said Al Khudri r.a mengoreksi Marwan (Amir Madinah)


dengan terang-terangan dalam kasus shalat ‘Ied

Dalam Shahih Bukhory (no. 956), Abu Said al Khudri berkata:

… ‫طر‬ ْ ِ‫ض ًحى أ ْو ف‬


ْ ‫ير ْالمدِين ِة فِي أ‬ ُ ‫اس على ذ ِلك حتَّى خر ْجتُ مع م ْروان و ُهو أ ِم‬ ُ َّ‫فل ْم يز ْل الن‬
‫ان ي ُِريدُ أ ْن ي ْرت ِقيهُ ق ْبل أ ْن يُص ِلي‬ ُ ‫ت فإِذا م ْرو‬ ِ ‫ص ْل‬ ُ ‫فل َّما أتيْنا ْال ُمصلَّى ِإذا ِم ْنب ٌر بناهُ ك ِث‬
َّ ‫ير ب ُْن ال‬
‫َّللاِ فقال أبا س ِعيد ق ْد ذهب‬ َّ ‫صالةِ فقُ ْلتُ لهُ غي َّْرت ُ ْم و‬ َّ ‫ارتفع فخطب قبْل ال‬ ْ ‫فجب ْذتُ ِبث ْو ِب ِه فجبذ ِني ف‬
ِ‫صالة‬ َّ ‫سون لنا ب ْعد ال‬ َّ ‫ما ت ْعل ُم فقُ ْلتُ ما أعْل ُم و‬
ُ ‫َّللاِ خي ٌْر ِم َّما َّل أعْل ُم فقال إِ َّن النَّاس ل ْم ي ُكونُوا ي ْج ِل‬
ِ‫صالة‬ َّ ‫فجع ْلتُها قبْل ال‬
“…Manusia senantiasa melaksanakan (tata cara shalat hari raya)
seperti apa yang beliau (Nabi saw) laksanakan, hingga pada suatu hari
aku keluar bersama Marwan -yang saat itu sebagai Amir di Madinah-
pada hari raya Adlha atau Fithri. Ketika kami sampai di tempat shalat,
ternyata di sana sudah ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Ash
Shalt. Ketika Marwan hendak menaiki mimbar sebelum pelaksanaan
shalat, aku tarik pakaiannya dan dia balik menariknya, kemudian ia
naik dan khuthbah sebelum shalat. Maka aku katakan kepadanya,
“Demi Allah, kamu telah merubah (sunnah)!” Lalu dia menjawab,
“Wahai Abu Sa’id. Apa yang engkau ketahui itu telah berlalu.” Aku
katakan, “Demi Allah, apa yang aku ketahui lebih baik dari apa yang
tidak aku ketahui.” Lalu dia berkata, “Sesungguhnya orang-orang tidak
akan duduk (mendengarkan khutbah kami) setelah shalat. Maka aku
buat (khutbah) sebelum shalat.”

c. Umar Bin Khattab r.a dikoreksi secara terang-terangan


Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/243 – 244, Dâru
Thayyibah Lin Nasyri wat Tawzî’, Cet. II, Maktabah Syâmilah,
menceritakan bahwa ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar
hendak membatasi mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang
lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini
diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu,
dengan perkataannya:

.‫ نع ْم‬:‫ نهيْت النَّاس أ ْن ي ِزيدُوا ال ِنساء صداق ُه ْم على أ ْرب ِع ِمائ ِة د ِْرهم؟ قال‬،‫يا أ ِمير ْال ُمؤْ ِم ِنين‬
:ُ‫َّللا يقُول‬ َّ ‫ أما س ِم ْعت‬:‫ت‬ ْ ‫ي ذ ِلك؟ فقال‬ ُّ ‫ وأ‬:‫آن؟ قال‬ ِ ‫َّللاُ ِفي ْالقُ ْر‬
َّ ‫ أما س ِم ْعت ما أ ْنزل‬:‫ت‬ ْ ‫فقال‬
:‫[ قال‬20 :‫ارا فال تأ ْ ُخذُوا ِم ْنهُ ش ْيئًا أتأ ْ ُخذُونهُ بُ ْهتانًا و ِإثْ ًما ُم ِبينًا ]النساء‬ ً ‫وآت ْيت ُ ْم ِإ ْحدا ُه َّن قِ ْنط‬
‫ ِإنِي ُك ْنتُ نه ْيت ُ ُك ْم أ ْن‬:‫ ث ُ َّم رجع فر ِكب ْال ِم ْنبر فقال‬.‫عمر‬ ِ َّ‫ ُك ُّل الن‬،‫ اللَّ ُه َّم غ ْف ًرا‬:‫فقال‬
ُ ‫اس أ ْفقهُ ِم ْن‬
َّ‫ فم ْن شاء أ ْن يُ ْع ِطي ِم ْن ما ِل ِه ما أحب‬،‫النساء ِفي صدا ِق ِه َّن على أ ْرب ِع ِمائ ِة د ِْرهم‬ ِ ‫ت ِزيدُوا‬
“Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang manusia dari memberi
mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.”
Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah: “ ….
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali
dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang
nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20) Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah,
semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Kemudia Umar pun
meralat keputusannya. Kemudian naik ke mimbar dan berkata: “dahulu
aku melarang kalian untuk membayar mahar wanita lebih dari 400
dirham, maka (sekarang) barang siapa yang mau (silakan) memberi
dari hartanya sebanyak yang dia suka”. Mengutip Al Hâfidz Abu Ya’la,
Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawiy (baik lagi
kuat)[16].

Dalam riwayat tersebut Umar r.a tidak mengingkari cara wanita tersebut
menasehatinya dengan terang-terangan, begitu pula sahabat yang lain.
Jika menasehati dg terang-terangan mereka fahami haram, tentulah para
sahabat r.a tidak akan membiarkan peristiwa itu tanpa memberi nasehat
pada wanita tersebut, minimal mereka akan menyatakan: “wahai ibu,
ibu memang benar, namun cara ibu itu haram dilakukan”. [M. Taufik
N.T]

Download selengkapnya di <<sini>>

***

Tambahan: Hasil Bahtsul Masail FMPP 1995 Ploso Kediri

Unjuk rasa (upaya melahirkan rasa kekecewaan serta tuntutan hak )


apabila hak tersebut dibenarkan syara’, dan dengan cara yang juga
dibenarkan syara’, hukumnya boleh dan bahkan bisa wajib.

Referensi :

1. Is’adurrofiq juz 2 hal. 139


2. Ihya’ Ulumuddin juz 2 hal. 347 – 348
3. Tafsir Al Qur’anil ‘Adzim juz 1 hal. 229
4. Al Majalisus Saniyah hal. 99
5. Tafsir Ibnu Katsir juz 1 hal. 229
6. Mafrohul Qulubil Mahzun hal. 63

***

[1] Khawârij, secara harfiah berarti “mereka yang keluar” , sebutan


untuk kelompok yang muncul pada pertengahan abad ke 7, yang
menganggap kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir.

[2] Dalam riwayat lain hal tersebut dilakukan terhadap orang yang
enggan membayar jizyah: .. ‘Iyadl bin Ghanm melihat rakyat jelata yang
dijemur karena masalah jizyah. Lalu ia berkata; saya telah mendengar
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah SWT menyiksa
orang yang menyiksa manusia di dunia.” (HR. Ahmad, No. 14793)
[3] Musnad Imam Ahmad dengan Tahqîq Syua’ib al Arna’uth,
Mu’assasah Ar Risâlah, Cet. I. 1421 H, Maktabah Syâmilah

[4] ‫هشام ابن حكيم ابن حزام ابن خويلد ابن أسد القرشي اْلسدي صحابي ابن صحابي له ذكر‬
‫في الصحيحين في حديث عمر حيث سمعه يقرأ سورة الفرقان مات قبل أبيه ووهم من زعم أنه‬
‫استشهد بأجنادين‬

[5] Mursal artinya yang dilepaskan, yang dilangsungkan. Menurut


Musthalahul Hadits, mursal adalah istilah bagi satu hadits yang
diriwayatkan oleh seorang tabi’in langsung dari Nabi saw dengan tidak
menyebut nama orang (sahabat) yang menceritakan kepadanya.

[6] ‫شريح ابن عبيد ابن شريح الحضرمي الحمصي ثقة من الثالثة وكان يرسل كثيرا‬

[7] hal. 90, Maktabah Syamilah

[8] Dinamakan dengan Shahih Ligahairihi karena shahihnya hadits


tersebut bukan karena sanad hadits tersebut, namun karena
bergabungnya hadits-hadits yang lain kepadanya

[9] 522 ‫ ص‬2 ‫ ج‬-‫السنةَّلبن أبي عاصم ومعه ظالل الجنة في تخريج السنة‬

[10] Yakni pada hadits dalam As Sunnah Li Ibni Aby ‘Ashim no 1097:

‫شر ْيحِ ب ِْن‬ ُ ‫ ع ْن‬،‫ ع ْن ض ْمض ِم ب ِْن ُز ْرعة‬،‫ ثنا أبِي‬،‫ حدَّثنا ُمح َّمد ُ ب ُْن إِسْما ِعيل‬،‫حدَّثنا ُمح َّمد ُ ب ُْن ع ْوف‬
ِ َّ ‫سول‬
‫َّللا‬ ُ ‫ أو ل ْم تسْم ْع ر‬:‫اض ب ُْن غ ْنم ِل ِهش ِام ب ِْن ح ِكيم‬ ُ ‫ قال ِعي‬،‫ قال ُج َب ْي ُر ْب ُن نُفَ ْي ٍّر‬:‫ قال‬،‫عبيْد‬
ُ
ْ‫ ول ِك ْن ِليأ ْ ُخذ‬،ً‫س ْلطان فِي أ ْمر فال يُ ْب ِد ِه عالنِية‬ ُ َّ
ُ ‫ م ْن أراد أ ْن ي ْنصح ِلذِي‬:ُ‫صلى هللاُ عل ْي ِه وسلم يقول‬ َّ
ُ‫ و ِإ ََّّل كان ق ْد أدَّى الَّذِي عل ْي ِه له‬،‫ فإ ِ ْن ق ِبل ِم ْنهُ فذاك‬،‫ في ْخلُو ِب ِه‬،ِ‫ِبي ِده‬

[11] Al-Ishabah 4/510

[12] mutaba’ah atau mutabi’ adalah suatu riwayat yang mengikuti


periwayatan orang lain dari guru yang terdekat atau gurunya guru (hadis
yang diriwayatkan oleh periwayat lebih dari satu orang dan terletak
bukan pada tingkat sahabat Nabi, namun tabi’in).
‫عبد الحميد ابن ‪[13] Ibnu Hajar Al Asqalany, Taqrîbu at Tahdzîb, hal 332:‬‬
‫إبراهيم الحضرمي أبو تقي بفتح المثناة ثم قاف مكسورة الحمصي صدوق إَّل أنه ذهبت كتبه‬
‫‪.‬فساء حفظه‬

‫‪[14] Al-Albani dalam Silsilah al Ahâdîtsu adh Dha’îfah, 2/181‬‬


‫‪menyatakan:‬‬

‫‪ :‬وأبوه إسحاق بن إبراهيم بن زبريق ضعيف جدا ‪ ،‬قال النسائي ‪ ” :‬ليس بثقة ” ‪ .‬وقال أبو داود‬
‫‪ (“Dan‬ليس بشيء ” وكذبه محدث حمص محمد بن عوف الطائي وهو أعرف بأهل بلده ا ”‬
‫‪ayahnya (ayah Amr) yaitu Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq adalah dhaif‬‬
‫‪jiddan. An-Nasa`iy mengatakannya, tidak tsiqah, Abu Daud‬‬
‫‪mengatakannya, “Bukan apa-apa”, bahkan muhaddits daerah Hims yaitu‬‬
‫‪Muhammad bin Auf Ath-Tha`iy yang merupakan orang yang paling tahu‬‬
‫)‪tentang penduduk negerinya sendiri menganggapnya pendusta.‬‬

‫وهذا الحديث أصل في إخفاء نصيحة السلطان‪ ،‬وأن الناصح إذا قام بالنصح على هذا ]‪[15‬‬
‫… الوجه‪ ،‬فقد برىء وخلت ذمته من التبعة‬

‫)‪[16] Walaupun Syaikh al Albany dalam Irwa’ul Ghalil (6/348‬‬


‫‪mendho’ifkannya, namun pendho’ifan al Albani tidak kemudian‬‬
‫‪memastikan bahwa Al Hâfidz Abu Ya’la keliru dalam menilai sanad‬‬
‫‪riwayat ini.‬‬

‫‪ (=peringatan (untuk) pembaca‬تنبيه القارئ لتقوية ما ضعفه اْللباني ‪Dalam kitab‬‬


‫‪untuk menguatkan apa-apa yang di dho’ifkan Al Albany), dinyatakan:‬‬
‫هذا فيه أما ادعاؤه أنه منقطع فهو بحسب ما وقف عليه وإَّل فقد رواه أبو يعلى متصالً‪ ،‬فقال‪:‬‬
‫حدثنا أبو خيثمة ثنا يعقوب بن إبراهيم حدثنا أبي عن ابن إسحاق حدثني محمد بن عبد الرحمن‬
‫عن مجالد بن سعيد عن الشعبي عن مسروق قال‪ :‬ركب عمر منبر رسول هللا – صلى هللا عليه‬
‫وسلم – فذكره‪ .‬راجع تفسير ابن كثير‪ .‬وأما ما ادعاه من ضعف مجالد فإنه يتقوى بالطريق‬
‫اآلخر الذي ذكره من رواية قيس بن الربيع عن أبي حصين عن أبي عبد الرحمن السلمي عن‬
‫‪.‬عمر ولهذا قال ابن كثير في تفسيره ‪ 467 :1‬لما ذكر رواية أبي يعلى إسناده جيد قوي‬
‫وأما ما ادعاه من نكارته فليس كما قال؛ فإن اآلية تدل على جواز المغاَّلة في المهر‪ ،‬وكالم‬
‫عمر يدل على النهى عنه فعارضته المرأة باآلية الدالة على جوازه فرجع إلى قولها‪ .‬قال‬
‫القرطبي في تفسيره ‪ 99 :5‬اآلية دليل على جواز المغاَّلة في المهور ْلن هللا تعالى َّل يمثل إَّل‬
‫‪.‬بمباح وهكذا قال ابن كثير نحوه وابن عطية في تفسيره ‪ ،65 :4‬وابن العربي في أحكام القرآن‬
Imam Al Hafidz Ibnu Katsir juga menerima penilaian Al Hafidz Abu
Ya’la.

Bahkan Syaikh Musthafa Al ‘Adawy (salafy Mesir) juga


menyatakan riwayat Umar ini hasan lighairihi, lihat di Kitab Jami’
Ahkam an Nisa’ juz 3 hal 301, menjelaskan 4 syawahid yang
menguatkan atsar ini, bukan hanya atsar penguat yang dipakai
syaikh al Albany. dibagian akhir pembahasan syaikh musthafa al
adawy menulis:
‫ وإن لم يكن مطوَل فهو يشهد ألصل‬، ‫وبالجملة فاألثر بهذه الشواهد – وخاصة الشاهد الثاني‬
‫ وهللا تعالى أعلم‬، ‫ وكذلك الشاهد الثالث إذا صح إلى مسروق – يرتقي إلى الحسن‬، ‫ القصة‬.
‫ ولكنه ما أشار إلى‬، (6/348) ‫هذا وقد ضعف الشيخ ناصر األلباني – رحمه هللا – هذا األثر‬
‫ وَل نوافقه على‬، ‫ ووصف المتن بالنكارة‬، ‫الشاهد الثاني وَل الثالث وَل الرابع التي ذكرناها‬
‫ وهللا تعالى أعلم‬. ‫ ذلك‬.)

Menjauhi Zina

‫سبِيل‬ َ ‫احشَةً َو‬


َ ‫سا َء‬ ِ َ‫َان ف‬ ِ ‫َوَل ت َ ْق َربُوا‬
َ ‫الزنَا إِنَّهُ ك‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah


suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” ( QS. Al Isra’:
32 ).

Ayat ini mengharamkan mendekati zina, larangan untuk melakukan zina


jelas lebih keras lagi. Zina disebut sebagai “fâhisyah” yakni perbuatan
keji atau kotor yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dan diakui
kekejiannya oleh setiap orang yang berakal, bahkan oleh sebagian
banyak binatang, sebagaimana riwayat ‘Amru bin Maimun r. a ia
berkata:

َ ‫َرأَيْتُ فِي ا ْل َجا ِه ِليَّ ِة قِ ْر َدةً اجْ ت َ َم َع‬


‫ع َل ْي َها قِ َر َدةٌ قَ ْد َزنَتْ فَ َر َج ُمو َها فَ َر َج ْمت ُ َها َم َع ُه ْم‬

"Aku pernah melihat di zaman jahiliyyah seekor monyet sedang


dikerumuni oleh monyet-monyet lainnya. Monyet itu telah berzina lalu
monyet-monyet lain merajamnya (melempari dengan batu) dan aku ikut
merajamnya bersama mereka". [HR. Bukhari, No. 3560].

‫الز َنا فَأ َ ْقبَ َل ا ْلقَ ْو ُم‬ ِ ‫َّللاِ ائْذَ ْن ِلي ِب‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سلَّ َم فَقَا َل يَا َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ِإ َّن فَتًى شَابًّا أَتَى النَّ ِب َّي‬
ِ َّ ‫س قَا َل أَت ُ ِحبُّهُ ِأل ُ ِمكَ قَا َل ََل َو‬
‫َّللا‬ َ َ‫علَ ْي ِه فَ َز َج ُروهُ قَالُوا َم ْه َم ْه فَقَا َل ا ْدنُ ْه فَ َدنَا ِم ْنهُ قَ ِريبًا قَا َل فَ َجل‬ َ
‫سو َل‬ ُ ‫َّللاِ َيا َر‬ َّ ‫اس يُ ِحبُّونَهُ ِأل ُ َّم َها ِت ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ َِل ْبنَ ِتكَ قَا َل ََل َو‬ ُ َّ‫َّللاُ ِفدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن‬ َّ ‫َج َعلَ ِني‬
ُ‫َّللا‬ َّ ‫َّللا َجعَلَنِي‬ ِ َّ ‫اس يُ ِحبُّونَهُ ِلبَ َناتِ ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ ِأل ُ ْختِكَ قَا َل ََل َو‬ُ َّ‫َّللاُ فِدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن‬ َّ ‫َّللاِ َجعَلَنِي‬ َّ
‫َّللاُ فِدَا َءكَ قَا َل‬ ِ َّ ‫اس يُ ِحبُّونَهُ ِأل َ َخ َواتِ ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ ِل َع َّمتِكَ قَا َل ََل َو‬
َّ ‫َّللا َجعَلَنِي‬ ُ َّ‫فِدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن‬
‫اس‬ ُ َّ‫َّللاُ ِفدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن‬ َّ ‫َّللاِ َجعَ َلنِي‬ َّ ‫اس يُ ِحبُّو َنهُ ِلعَ َّما ِت ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ ِل َخالَ ِتكَ قَا َل ََل َو‬ ُ َّ‫َو ََل الن‬
‫ط ِه ْر قَ ْلبَهُ َو َح ِص ْن فَ ْر َجهُ فَلَ ْم‬ َ ‫علَ ْي ِه َوقَا َل اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ذَ ْنبَهُ َو‬ َ ُ‫ض َع يَ َده‬ َ ‫يُ ِحبُّونَهُ ِل َخ َاَل ِت ِه ْم قَا َل فَ َو‬
ٍّ‫َيك ُْن َب ْع ُد ذَ ِلكَ ا ْلفَتَى َي ْلتَفِتُ ِإلَى ش َْيء‬
Dari Abu Umamah: Sesungguhnya seorang pemuda mendatangi Nabi
Saw lalu berkata; Wahai Rasulullah! Izinkan aku untuk berzina. Orang-
orang mendatanginya lalu melarangnya, mereka berkata; diamlah!.
Rasulullah Saw bersabda; "Mendekatlah." Ia mendekat lalu duduk
kemudian Rasulullah Saw bersabda; "Apa kau menyukainya (orang lain)
berzina dengan ibumu?" pemuda itu menjawab; Tidak, demi Allah
wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikanku sebagai penebus tuan.
Nabi saw bersabda; Orang-orang juga tidak menyukainya berzina
dengan ibu-ibu mereka." Rasulullah Saw bersabda; "Apa kau
menyukainya berzina dengan putrimu?" Tidak, demi Allah wahai
Rasulullah semoga Allah menjadikanku sebagai penebus Tuan. Nabi
saw bersabda; Orang-orang juga tidak menyukai berzina dengan putri-
putri mereka." … Kemudian Rasulullah Saw meletakkan tangan beliau
pada pemuda itu dan berdoa;

ُ‫ط ِه ْر َق ْلبَهُ َو َح ِص ْن فَ ْر َجه‬


َ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ذَ ْن َبهُ َو‬

"Ya Allah! Ampunilah dosanya, bersihkan hatinya, jagalah


kemaluannya." Setelah itu pemuda itu tidak pernah melirik apa pun.
[HR. Ahmad, No. 21185]

Maraknya pornografi-pornoaksi dan perzinaan di negeri ini tidak bisa


dilepaskan dari sistem kehidupan yang melingkupi, yakni Sekularisme-
Kapitalisme. Ketika kebebasan dilepaskan tanpa kendali agama, maka
kenikmatan jasadiah dan materi akhirnya menjadi parameter
kebahagiaan sekaligus priotas utama. Bagaimana tidak menggiurkan,
omset dari pornografi dan pornoaksi di Indonesia sekitar Rp 48
trilyun/tahun lebih besar dari omzet BUMN (Muammar Emka, pada MU
edisi 39, hal 5). Menurut PBB, perdagangan manusia (wanita)
memberikan omzet USD 12 Milyar pertahun. Seorang mucikari di
Albania mengaku membeli seorang wanita seharga USD 2.500, dan
dalam beberapa hari sudah balik modal. Deplu AS (2003) menyatakan
bahwa antara 800 ribu sampai 900 ribu orang diperdagangkan melintasi
batas-batas negara. [Victor Malarek (2006), The Natashas: The New
Global Sex Trade (terj.), hal 24 -25]

Islam dengan keseluruhan hukum-hukumnya menutup rapat-rapat pintu


perzinaan. Itu bukan berarti Islam melenyapkan sama sekali naluri
seksual. Namun Islam membatasinya hanya dalam pernikahan dan
perbudakan (QS al-Mukminun [24]: 5). Pemuasan naluri seksual selain
dengan cara itu terkategori sebagai perbuatan dosa besar.

Jika ditelisik, perbuatan zina sesungguhnya merupakan perbuatan


lanjutan. Sebelum zina terjadi, ada sejumlah aktivitas yang menjadi
pintu pembukanya. Oleh Islam, semua pintu pembuka zina ditutup rapat.
Hal ini terlihat antara lain oleh:

1. Perintah untuk menjaga pandangan


‫ظوا فُ ُرو َج ُه ْم‬ َ ‫ضوا ِم ْن أ َ ْب‬
ُ َ‫ص ِار ِه ْم َويَحْ ف‬ َ ِ‫قُ ْل ِل ْل ُم ْؤ ِمن‬
ُّ ُ‫ين يَغ‬

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka


menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; (QS al-Nur [24]:
30).

َ ‫ض َن ِم ْن أ َ ْب‬
‫ص ِار ِه َّن َويَحْ فَ ْظ َن فُ ُرو َج ُه َّن‬ ِ ‫َوقُ ْل ِل ْل ُم ْؤ ِمنَا‬
ُ ‫ت يَ ْغ‬
ْ ‫ض‬

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan


pandanganya, dan memelihara kemaluannya … (QS al-Nur [24]: 31).
ُ‫اآلخ َرة‬
ِ َ ‫ع ِل ُّى َلَ تُتْ ِب ِع النَّ ْظ َرةَ النَّ ْظ َرةَ فَ ِإنَّ َما لَكَ األُولَى َولَ ْي‬
َ‫ستْ لَك‬ َ ‫َيا‬

Wahai Ali, jangan engkau ikuti pandangan dengan pandangan


berikutnya, karena bagi engkau adalah pandangan yg pertama, dan
bukan hak engkau pandangan berikutnya. (HR. At Tirmidzi, Abu
Dawud, Ahmad, Al Baihaqi dan Al Hakim, hadits hasan).

Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi SAW pada saat
haji, lalu datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas
memandang wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka
Rasulullah memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain. (HR. al-
Bukhârî dari Ibn Abbas)

“Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar masuk ke rumah Nabi SAW


dengan menggunakan pakaian yang tipis, maka Rasulullah berpaling
daripadanya dan berkata :

َ ‫ َوأَش‬, ‫صلُ ْح أ َ ْن يُ َرى ِم ْن َها إَلَ َهذَا َو َهذَا‬


‫َار إلَى َوجْ ِه ِه‬ َ ‫إن ا ْل َم ْرأَةَ إذَا َبلَغَتْ ا ْل َم ِح‬
ْ َ ‫يض لَ ْم ت‬ ْ َ ‫يَا أ‬
َّ ‫س َما ُء‬
‫َو َكفَّ ْي ِه‬

‘Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita telah menginjak dewasa


(haid), maka tak boleh terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil
beliau menunjuk muka dan telapak tangannya”. (HR. Abu Dawud,
Hadits Hasan Lighairihi, mempunyai saksi yang dikeluarkan oleh Al
Baihaqi dari jalan Ibnu Lahi’ah dari ‘Iyadl bin ‘Abdillah)
2. Perintah untuk menutup aurat.
َ ‫ِين ِزينَتَ ُه َّن إَلَ َما‬
‫ظ َه َر ِم ْن َها‬ َ ‫َوَلَ يُ ْبد‬

.. dan janganlah mereka (wanita yg beriman) menampakkan


perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya. (QS al-Nur [24]: 31).

Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan ‘sesuatu


yang biasa nampak’ adalah muka dan kedua telapak tangan, ini juga
pendapat Ibnu ‘Umar, ‘Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu Sya’tsa,
Adl Dhahhak, Ibrahim An Nakha’i dll[1]

Aurat lelaki terhadap lelaki adalah antara pusat dan lutut

‫اذا زوج احدكم عبده او اماته او اجيره فل ينظر الى شيئ من عورته فانما تحت السرة الى‬
‫الركبة عورة‬

“Jika salah seorang diantara kamu menikahkan hamba sahaya atau


pembantunya, maka jangan melihat sesuatu yang termasuk aurat.
Adapun apa-apa yang ada dibawah pusar hingga lutut adalah aurat”.
(HR. Ahmad, Abi Dawud, Daruquthni, dan Baihaqi, di hasankan oleh Al
Albani).

3. Larangan berkhalwat dg wanita asing tanpa mahram.

‫ام َرأ َ ٍّة ِإَلَ َم َع ذِي َمحْ َر ٍّم‬


ْ ‫َلَ َي ْخلُ َو َّن َر ُج ٌل ِب‬
”Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita
(asing) kecuali bersama mahramnya”.(HR. Bukhari dari Ibn ‘Abbas).

4. Larangan ikhtilath (campur-baur laki laki dan perempuan, tanpa ada


hal syar’iy yg mengharuskan bercampur baur, semisal saat haji, dll).

Rasulullah saw bersabda:

‫آخ ُر َها َوش َُّر َها أ َ َّولُ َها‬


ِ ‫اء‬
ِ ‫س‬ ِ ُ‫صف‬
َ ِ‫وف الن‬ ِ ‫الر َجا ِل أ َ َّولُ َها َوش َُّر َها‬
ُ ‫آخ ُر َها َو َخ ْي ُر‬ ِ ‫وف‬ِ ُ‫صف‬
ُ ‫َخ ْي ُر‬
"Sebaik baik shaf laki laki adalah shaf yang pertama dan sejelek
jeleknya adalah shaf yang terakhir. Sebaik baik shaf wanita adalah yang
terakhir dan sejelek jeleknya adalah shaf yang pertama."[HR. Abu
Daud, Muslim, Ahmad, Darimi, Nasa’i]

َ ‫س ْي ٍّد ْاأل َ ْن‬


‫ص ِاري ِ ع َْن أ َ ِبي ِه‬ َ ُ ‫ع َْن َح ْم َزةَ ْب ِن أ َ ِبي أ‬
‫الر َجا ُل َم َع‬ ِ ‫ط‬ ْ َ‫س ِج ِد ف‬
َ ‫اخت َ َل‬ ْ ‫ج ِم ْن ا ْل َم‬ ٌ ‫سلَّ َم يَقُو ُل َو ُه َو َخ ِار‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِم َع َر‬َ ُ‫أَنَّه‬
‫س لَك َُّن أ َ ْن‬ َ ‫ستَأ ْ ِخ ْر َن فَ ِإنَّهُ َل ْي‬
ْ ‫اء ا‬ َ ِ‫سلَّ َم ِللن‬
ِ ‫س‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫يق فَقَا َل َر‬ َّ ‫اء فِي ال‬
ِ ‫ط ِر‬ ِ ‫س‬َ ِ‫الن‬
‫ق ِبا ْل ِجد َِار َحتَّى ِإ َّن ث َ ْو َب َها‬ ُ ‫يق فَكَا َنتْ ا ْل َم ْرأَةُ ت َ ْلت َ ِص‬ ِ ‫ط ِر‬َّ ‫ت ال‬ ِ ‫ع َل ْيك َُّن ِب َحافَّا‬ َ َ‫ط ِريق‬ َّ ‫تَحْ قُ ْق َن ال‬
‫صوقِ َها ِب ِه‬ ُ ُ‫ق ِبا ْل ِجد َِار ِم ْن ل‬ ُ َّ‫لَيَتَعَل‬
Dari Hamzah bin Abu Usaid Al Anshari dari Bapaknya Bahwasanya ia
pernah mendengar Rasulullah saw berbicara saat berada di luar masjid,
sehingga banyak laki-laki dan perempuan bercampur baur di jalan. Maka
Rasulullah saw pun bersabda kepada kaum wanita:

‫يق‬
ِ ‫ط ِر‬ ِ ‫علَ ْيك َُّن ِب َحافَّا‬
َّ ‫ت ال‬ َ َ‫ط ِريق‬ َ ‫ستَأ ْ ِخ ْر َن فَ ِإنَّهُ َل ْي‬
َّ ‫س لَك َُّن أ َ ْن تَحْ قُ ْق َن ال‬ ْ ‫ا‬
"Hendaklah kalian memperlambat dalam berjalan (terakhir), sebab
kalian tidak berhak untuk memenuhi jalan. Hendaklah kalian berjalan di
pinggiran jalan." Sehingga ada seorang wanita yang berjalan dengan
menempel tembok, hingga bajunya menggantung tembok karena ia
mendempel tembok." [HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani]

5. Perintah untuk segera menikah jika sudah mampu, dan berpuasa


jika belum mampu.

‫ص ُن ِل ْل َف ْرجِ َو َم ْن‬ َ ْ‫ص ِر َوأَح‬ َ ‫ض ِل ْل َب‬ ُّ ‫غ‬ َ َ ‫ع ِم ْن ُك ْم ا ْل َبا َءةَ فَ ْل َيتَ َز َّوجْ فَ ِإنَّهُ أ‬ َ َ ‫ست‬
َ ‫طا‬ ْ ‫ب َم ْن ا‬
ِ ‫ش َبا‬
َّ ‫َيا َم ْعش ََر ال‬
‫ص ْو ِم فَ ِإنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬
َّ ‫ست َ ِط ْع فَعَلَ ْي ِه ِبال‬
ْ َ‫لَ ْم ي‬
"Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memiliki ba`ah
(kemampuan) hendaklah menikah, sebab itu lebih dapat menjaga
pandangan dan kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaklah
berpuasa, sebab ia bisa menjadi tameng baginya."[HR. Ibnu Majah,
Bukhory, Ahmad, Abu Dawud]
6. Dibolehkannya poligami.

‫ع فَ ِإ ْن‬
َ ‫ث َو ُر َبا‬َ ‫اء َم ْثنَى َوث ُ َل‬ ِ ‫س‬ ِ ‫اب لَ ُك ْم ِم َن‬
َ ‫الن‬ َ ‫ط‬ َ ‫طوا ِفي ا ْل َيتَا َمى َفا ْن ِك ُحوا َما‬ ِ ‫َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّل ت ُ ْق‬
ُ ‫س‬
‫اح َدةً أ َ ْو َما َملَكَتْ أ َ ْي َمانُ ُك ْم ذَ ِلكَ أَ ْدنَى أ َ ََّل تَعُولُوا‬
ِ ‫ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّل ت َ ْع ِدلُوا فَ َو‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [QS. An
Nisa : 3]

7. Dimudahkannya urusan nikah.

‫ب َلكَ نَ ْفسِي‬ ُ ‫َّللاِ ِجئْتُ أ َ َه‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سلَّ َم فَقَا َلتْ يَا َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ام َرأَةٌ إِلَى َر‬ ْ ْ‫َجا َءت‬
‫سو ُل‬ ُ ‫طأ ْ َطأ َ َر‬َ ‫ص َّو َبهُ ث ُ َّم‬
َ ‫ظ َر ِفي َها َو‬ َ َّ‫صعَّ َد الن‬ َ َ‫سلَّ َم ف‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ظ َر ِإلَ ْي َها َر‬ َ َ‫قَا َل فَن‬
‫ستْ فَقَا َم‬ َ َ‫ش ْيئ ًا َجل‬ َ ‫ض فِي َها‬ ِ ‫سهُ فَ َل َّما َرأَتْ ا ْل َم ْرأَةُ أَنَّهُ لَ ْم يَ ْق‬ َ ْ‫سلَّ َم َرأ‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ
‫َّللاِ إِ ْن لَ ْم يَك ُْن لَكَ بِ َها َحا َجةٌ فَ َز ِوجْ نِي َها فَقَا َل َو َه ْل ِع ْن َدكَ ِم ْن‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ص َحابِ ِه فَقَا َل يَا َر‬ ْ َ ‫َر ُج ٌل ِم ْن أ‬
‫ش ْيئ ًا فَذَ َه َب ث ُ َّم َر َج َع‬ َ ‫ظ ْر َه ْل ت َ ِج ُد‬ ُ ‫َّللاِ فَقَا َل ا ْذ َه ْب ِإ َلى أ َ ْه ِلكَ فَا ْن‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫َّللاِ يَا َر‬ َّ ‫ش َْيءٍّ قَا َل ََل َو‬
‫ظ ْر َولَ ْو َخات َ ًما ِم ْن َحدِي ٍّد‬ ُ ‫سلَّ َم ا ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ش ْيئ ًا فَقَا َل َر‬ َ ُ‫َّللا َما َو َج ْدت‬ ِ َّ ‫فَقَا َل ََل َو‬
‫س ْه ٌل َما‬ َ ‫َّللاِ َو ََل َخات َ ًما ِم ْن َحدِي ٍّد َولَ ِك ْن َهذَا ِإ َز ِاري قَا َل‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫َّللاِ َيا َر‬ َّ ‫ب ث ُ َّم َر َج َع فَقَا َل ََل َو‬ َ ‫فَذَ َه‬
‫ست َهُ لَ ْم يَك ُْن‬ ْ ‫ص َن ُع ِب ِإ َز ِاركَ إِ ْن لَ ِب‬ ْ َ ‫سلَّ َم َما ت‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫صفُهُ فَقَا َل َر‬ ْ ِ‫لَهُ ِردَا ٌء فَلَ َها ن‬
ُ‫سه‬ ُ ‫طا َل َمجْ ِل‬ َ ‫الر ُج ُل َحتَّى إِذَا‬ َّ ‫س‬ َ َ‫علَ ْيكَ ِم ْنهُ ش َْي ٌء فَ َجل‬ َ ‫ستْهُ لَ ْم يَك ُْن‬ َ ِ‫علَ ْي َها ِم ْنهُ ش َْي ٌء َوإِ ْن َلب‬ َ
َ َ َ
َ‫سلَّ َم ُم َو ِليًا فأ َم َر ِب ِه ف ُد ِع َي فلَ َّما َجا َء قَا َل َماذَا َمعَك‬َ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ َ
ُ ‫قَا َم ف َرآهُ َر‬
‫ظه ِْر قَ ْلبِكَ قَا َل نَعَ ْم قَا َل‬ َ ‫ع َّد َد َها فَقَا َل ت َ ْق َر ُؤ ُه َّن ع َْن‬ َ ‫ورةُ َكذَا‬ َ ‫س‬ ُ ‫ورةُ َكذَا َو‬ َ ‫س‬ ُ ‫آن قَا َل َم ِعي‬ ِ ‫ِم ْن ا ْلقُ ْر‬
‫آن‬ ِ ‫ا ْذ َه ْب فَقَ ْد َملَّ ْكت ُ َك َها ِب َما َم َعكَ ِم ْن ا ْلقُ ْر‬
Seorang wanita datang menemui Rasulullah saw dan berkata, "Wahai
Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku untuk Anda." Lalu
Rasulullah saw memandangi wanita itu, beliau arahkan pandangannya
ke atas dan kebawah lalu beliau menundukkkan kepalanya. Maka wanita
itu melihat bahwa Rasulullah saw tidak memberi putusan apa-apa terkait
dengan dirinya, maka ia pun duduk. Tiba-tiba seorang sahabat berdiri
dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat kepada
wanita itu maka nikahkanlah aku dengannya." Maka beliau pun
bertanya: "Apakah kamu mempunyai sesuatu (untuk dijadikan mahar)?"
sahabat itu menjawab, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah." Beliau
bersabda: "Pergilah kepada keluargamu, dan lihatlah apakah ada
sesuatu." Laki-laki itu pun pergi dan kembali seraya berkata, "Tidak,
demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan sesuatu." Beliau
bersabda lagi: "Lihatlah, meskipun yang ada hanyalah cincin dari besi."
Laki-laki itu pergi laki kemudian kembali dan berkata, "Tidak, demi
Allah wahai Rasulullah meskipun hanya cincin besi. Akan tetapi aku
mempunya kain ini." Sahl berkata; Ia tidak memiliki kain kecuali
setengah. Maka Rasulullah saw pun bersabda: "Apa yang dapat kamu
lakukan dengan kainmu itu. Jika kamu memakainya maka ia tidak akan
kebagian, dan jika ia memakainya maka tidak akan kebagian." Akhirnya
laki-laki itu duduk hingga lama, lalu ia beranjak. Kemudian Rasulullah
saw pun melihatnya hendak pulang. Maka beliau memerintahkan
seseorang agar memanggilnya. Ketika laki-laki itu datang, beliau
bertanya: "Surat apa yang kamu hafal dari Al Qur`an." Ia berkata, "Yaitu
surat ini." Ia menghitungnya. Beliau bersabda: "Apakah kamu
menghafalnya dengan baik?" laki-laki itu menjawab, "Ya." Akhirnya
beliau bersabda: "Sesungguhnya aku telah menikahkanmu dengan
wanita itu dengan mahar hafalan Al Qur`anmu." [HR. Bukhory]
ً‫س ُرهُ ُم ْؤنَة‬
َ ‫َاح بَ َركَةً أ َ ْي‬ َ ‫إِ َّن أ َ ْع‬
ِ ‫ظ َم النِك‬
Sesungguhnya nikah yang paling besar berkahnya adalah yang paling
ringan maharnya [HR. Ahmad, An Nasa’i, didalam sanadnya ada Isa bin
Maimun, ia di dlo’ifkan oleh Ibn Hajar]

8. Negara bertanggung jawab untuk mendidik masyarakat menjadi


pribadi yang pola pikir dan pola sikapnya Islamy, dan ini adalah tujuan
pertama dalam sistem pendidikan.

9. Memberikan ‘reward’ bagi yang mampu menahan diri dari


berzina dalam situasi yg kondusif untuk berzina.

Tentang 7 golongan yang akan mendapatkan naungan Allah, Rasul


bersabda: …Seorang lelaki yang diajak seorang perempuan cantik dan
berkedudukan untuk berzina tetapi dia berkata, “Aku takut kepada
Allah!”… (Mutafaq ‘alaih)

10. Sanksi yang keras untuk pelaku zina.

‫َّللا إِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬ ِ ‫اح ٍّد ِم ْن ُه َما ِمائ ََة َج ْل َد ٍّة َو ََل تَأ ْ ُخ ْذ ُك ْم ِب ِه َما َرأْفَةٌ فِي د‬
ِ َّ ‫ِين‬ َّ ‫الزانِيَةُ َو‬
ِ ‫الزانِي فَاجْ ِلدُوا ُك َّل َو‬ َّ
‫ين‬َ ِ‫طائِ َفةٌ ِم َن ا ْل ُم ْؤ ِمن‬
َ ‫عذَابَ ُه َما‬ ْ َ‫اَّللِ َوا ْليَ ْو ِم ْاآل ِخ ِر َو ْلي‬
َ ‫ش َه ْد‬ َ ُ‫ت ُ ْؤ ِمن‬
َّ ِ‫ون ب‬
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-
orang yang beriman. [QS. An Nûr : 2]

‫ام َرأ َ ٍّة َزنَيَا فَأ َ َم َر بِ ِه َما فَ ُر ِج َما‬


ْ ‫سلَّ َم بِ َر ُج ٍّل ِم ْن ُه ْم َو‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫أ َ َّن ا ْليَ ُهو َد َجا ُءوا إِلَى النَّبِي‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬
ْ ‫قَ ِريبًا ِم ْن َم ْو ِض ِع ا ْل َجنَا ِئ ِز ِع ْن َد ا ْل َم‬
‫س ِج ِد‬

“Orang-orang Yahudi datang kepada Nabi Shallallahu’alaihiwasallam


dengan membawa seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
keduanya berzina. Maka Beliau memerintahkan untuk merajam
keduanya di tempat biasa untuk menyolatkan jenazah, disamping Masjid
Nabawi". [HR Bukhory]

Demikianlah aturan-aturan Islam, yang apabila diterapkan secara


sempurna maka penyakit masyarakat ini dengan mudah bisa diatasi.
Namun bila tidak, maka sama artinya mereka menghalalkan diri mereka
untuk diadzab oleh Allah SWT.

Rasulullah bersabda:

‫إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب هللا‬

Jika telah nampak dengan jelas zina dan riba dalam suatu kota, maka
sesungguhnya mereka telah menghalalkan adzab Allah atas mereka
(HR. Al Hakim dalam al Mustadrak, ia mengatakan hadits ini sanadnya
sahih menurut Bukhari dan Muslim dan mereka berdua tidak
mengeluarkannya, Adz Dzahabi juga men sahihkannya). Allahu Ta’ala
A’lam.

Penentuan Awal & Akhir Ramadhan; Ikhtilaf, Hujjah & Realitas

Walaupun sebenarnya ada perbedaan pendapat para ‘Ulama tentang


bagaimana menentukan awal & akhir Ramadhan, namun tetap terasa
kurang sreg ketika menyaksikan perbedaan ini semakin jauh hingga bisa
terjadi 3 hari yang berbeda bagi umat Islam untuk memulai dan
mengakhiri Ramadhan, padahal sehari semalam hanya 24 jam, rembulan
hanya ada satu buah, buminya satu buah, serta matahari untuk bumi ini
juga satu buah. Orang yang berfikir tentunya bisa melihat bahwa pasti
ada yg kurang tepat dalam hal ini. Tulisan ini berupaya mengajak
pembaca melihat perbedaan pendapat para ‘ulama dalam masalah ini,
melihat hujjah/alasan mereka, dan melihat realitas yg mereka bahas
(manâth al hukm) yakni realitas terjadinya bulan baru (hilal) dari aspek
astronomi.

Tulisan ini bukan bermaksud mengecilkan yg berbeda pendapat, namun


kami tulis karena kami merasa perlu menulisnya, dg harapan semoga
bermanfa’at bagi yang sedang mengkajinya, untuk kemudian mengambil
pendapat yang dianggap kuat, tanpa meremehkan apalagi melecehkan
pihak lain.

I. Perbedaan Pandangan tentang Pengaruh Mathla’[1]

Garis besarnya ada dua pendapat ‘ulama yang berbeda dalam menyikapi
mathla’ (tempat terbitnya hilal).

Pertama, tidak ada pengaruh perbedaan mathla’ dalam penentuan awal


akhir Ramadhan. Maksudnya, jika pada suatu wilayah penduduknya
sudah melihat hilal (Ramadhan), maka wajib hukumnya wilayah yang
lain yang belum melihat hilal mengikuti hasil ru’yah negara tersebut,
baik wilayah tersebut dekat atau jauh. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama, yakni pendapat yang mu’tamad dari kalangan Hanafiyyah[2],
Imam Malik[3] (wafat 179 H), Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H), Imam
As Syafi’i[4](wafat 204 H), sebagian kecil kalangan Syafi’yyah seperti
Abu Thayyib[5], Imam Ahmad (wafat 241 H), juga pendapat Ibnu
Taymiyyah (wafat 728 H) dan Imam Asy Syaukany (wafat 1250 H) dari
kalangan ahli tahqiq.

Kedua, perbedaan mathla’ dianggap berpengaruh terhadap perbedaan


penentuan awal-akhir Ramadhan. Tiap wilayah bisa bersandar kepada
hasil ru’yah wilayahnya sendiri dan tidak harus mengikuti hasil ru’yah
wilayah yang lain. ‘Ulama yang berpandangan seperti ini antara lain
Ibnu Abbas, Ibnul Mubarak, Imam Malik[6], sebagian besar kalangan
Syafi’iyyah seperti Imam As Syairozi (wafat 476 H, penulis kitab al
Muhadzdzab) dan Ar Rofi’i (wafat 623 H), dan az Zayla’i (wafat 743 H)
dari kalangan Hanafiyyah[7]. Diantara mereka juga terjadi perbedaan
tajam dalam menentukan kriteria apa yang membolehkan beda awal-
akhir Ramadhan, sebagian menyatakan boleh beda secara muthlaq
berdasarkan ru’yat masing-masing, baik dekat ataupun jauh, sebagian
menyatakan boleh berbeda kalau berjauhan, kalau dekat dianggap satu
kesatuan. Yang membolehkan berbeda kalau berjauhan juga terjadi
perbedaan dalam menentukan kriteria “jauh” seperti apa yang
membolehkan berbeda awal-akhir Ramadhan.

Kenapa Terjadi Perbedaan?

Perbedaan terjadi bisa karena berbeda dalam memahami nash, ditambah


objek yang dihukumi (manâthul hukm), yakni ilmu astronomi tentang
munculnya hilal (bulan baru) yang masih kurang difahami.

Berikut nash yang di perselisihkan pemahamannya:

a. Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, dan hadits lain yg


semakna, dg redaksi yg berbeda seperti riwayat Muslim, dll.

َ ‫ان ثَلَ ِث‬


‫ين‬ َ َ‫علَ ْي ُك ْم فَأَك ِْملُوا ِع َّدة‬
َ َ‫ش ْعب‬ ُ ‫صو ُموا ِل ُر ْؤيَ ِت ِه َوأ َ ْف ِط ُروا ِل ُر ْؤيَتِ ِه فَ ِإ ْن‬
َ ‫غ ِب َي‬ ُ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian
karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar
(terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30
hari. (HR. Bukhory)

b. Hadits yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-


Nasa’i, & Ahmad dari Kuraib:

‫علَ َّي‬ َ ‫ست ُ ِه َّل‬ْ ‫ضيْتُ َحا َجت َ َها َوا‬ َ َ‫ فَقَد ِْمتُ الشَّا َم فَق‬: ‫ض ِل بَعَثَتْهُ إلَى ُمعَا ِويَ َة بِالش َِّام فَقَا َل‬ ْ َ‫أ َ َّن أ ُ َّم ا ْلف‬
َ ‫سأَلَنِي‬
‫ع ْب ُد‬ َ َ‫شه ِْر ف‬ َّ ‫آخ ِر ال‬ ِ ‫ضا ُن َوأَنَا ِبالش َِّام فَ َرأَيْتُ ا ْل ِه َل َل لَ ْي َلةَ ا ْل ُج ُمعَ ِة ث ُ َّم قَد ِْمتُ ا ْل َمدِي َنةَ فِي‬ َ ‫َر َم‬
َ‫ أ َ ْنت‬:‫ فَقَا َل‬،‫ َرأ َ ْينَاهُ لَ ْي َلةَ ا ْل ُج ُم َع ِة‬: ُ‫ َمتَى َرأ َ ْيت ُ ْم ا ْل ِه َل َل؟ فَقُ ْلت‬:‫ ث ُ َّم ذَك ََر ا ْل ِه َل َل فَقَا َل‬،‫اس‬ َ ‫َّللاِ ْب ُن‬
ٍّ َّ‫عب‬ َّ
‫ت فَ َل‬ ِ ‫س ْب‬ َ
َّ ‫ لَ ِكنَّا َرأ َ ْينَاهُ لَ ْيلَة ال‬:‫ فَ َقا َل‬،ُ‫صا َم ُم َعا ِو َية‬ َ ‫صا ُموا َو‬ َ ‫اس َو‬ ُ َّ‫ َو َرآهُ الن‬،‫ نَ َع ْم‬: ُ‫َرأ َ ْيتَهُ؟ فَقُ ْلت‬
،‫ ََل‬: ‫ام ِه؟ فَ َقا َل‬ ِ َ‫ أ َ ََل ت َ ْكت َ ِفي ِب ُر ْؤيَ ِة ُمعَا ِويَةَ َو ِصي‬: ُ‫ فَقُ ْلت‬،ُ‫ين أ َ ْو نَ َراه‬
َ ِ‫صو ُم َحتَّى نُك ِْم َل ث َ َلث‬
ُ َ‫نَ َزا ُل ن‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َه َكذَا أ َ َم َرنَا َر‬
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di
Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan
Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih
berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku
memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu
bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya,
‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada
malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’
Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka
berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di
Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa
hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga
kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah engkau
berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab,
‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan
kepada kami.

Berkaitan dengan 2 nash ini dan nash lain yang semakna, muncul
persoalan:

1. Bolehkah keumuman khithab (seruan) untuk seluruh mukallaf di


takhsis dengan dalil aqliy (akal)? Bolehkah kemutlakan ru’yat di taqyid
dengan dalil aqliy?

2. Tentang kemutlakan mathla’ hilal dan kenisbiannya.

3. Tentang pertentangan nash (hadits) dengan atsar, apakah pendapat


Ibnu Abbas dalam kisah “Kuraib” dibangun atas hadits yang marfu’ atau
ijtihad Ibnu Abbas sendiri? Apakah riwayat “Kuraib” membatasi
kemutlakan “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan
berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)” ataukah merupakan
penerapan dari pemahaman Ibnu Abbas atas sabda Rasul “Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena
melihatnya (hilal)”?.

Pihak Pertama, yakni para ‘ulama yang berpendapat bahwa ru’yat di


satu wilayah berlaku juga di wilayah lain menggunakan dalil keumuman
nash point a) yakni bahwa perintah dalam hadits ini adalah untuk umat
(Islam) secara keseluruhan, baik yang ada di timur ataupun di barat
(namun penerapannya pada saat itu memang tidak semudah sekarang).
Perintah puasa karena melihat bulan dalam hadits ini jelas berlaku untuk
yang melihat langsung, maupun yang tidak melihat langsung, yakni yang
mendapat berita bahwa hilal telah terlihat. Dari Ibnu Abbas diriwayatkan
bahwa:

َّ ‫ش َه ُد أ َ ْن ََل إِلَهَ إِ ََّل‬


ُ‫َّللا‬ ْ َ ‫سلَّ َم فَقَا َل إِنِي َرأَيْتُ ا ْل ِه َل َل قَا َل أَت‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫َجا َء أَع َْرابِ ٌّي إِلَى النَّبِي‬
‫غدًا‬َ ‫صو ُموا‬ ُ ‫اس أ َ ْن َي‬ ِ َّ‫َّللاِ قَا َل َن َع ْم قَا َل َيا ِب َل ُل أَذ ِْن ِفي الن‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ش َه ُد أ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
ْ َ ‫أَت‬

Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw


kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal. Rasulullah
bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan
bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang
tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal,
umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.”
(HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

Hadits ini menjelaskan bahwa yang tidak melihat hilal secara


langsungpun wajib berpuasa berdasarkan ru’yat orang lain yang melihat
hilal. Hadits ini juga tidak dibatasi dg asal daerah orang badui tersebut
atau batasan jarak, dan lainnya.

Adapun Pihak Kedua, yakni para ‘ulama yang menyatakan bahwa tiap
wilayah menggunakan ru’yatnya sendiri-sendiri menggunakan dalil
point b). Selanjutnya mereka berselisih tentang berapa ukuran jauh/dekat
yang membolehkan berbeda, padahal tidak ada nash yang menyatakan
hal tersebut. Mereka juga menyatakan akal bisa mentakhsis keumuman
dalil ru’yat hilal diqiyaskan dengan mathla’ matahari dimana perputaran
matahari menyebabkan perbedaan waktu shalat. Begitu juga mereka
memandang apa yang dinyatakan Ibnu Abbas dalam pernyataan pada
dalil b) ketika ditanya:

‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ ِ َ‫أ َ ََل ت َ ْكت َ ِفي ِب ُر ْؤ َي ِة ُم َعا ِويَ َة َو ِصي‬
ُ ‫ َه َكذَا أ َ َم َرنَا َر‬، ‫ ََل‬: ‫ام ِه ؟ فَقَا َل‬
‘Tidak cukupkah engkau berpedoman pada ru’yat dan puasa
Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah
Saw telah memerintahkan kepada kami

PernyataanIbnu Abbas “demikianlah Rasulullah Saw telah


memerintahkan kepada kami” mereka anggap marfu’ sampai kepada
Rasulullah bahwa Ibnu abbas mengetahui dalilnya dari Rasulullah
walaupun Ibnu Abbas tidak menjelaskan bagaimana perintah Rasul yang
dimaksud.

Adapun Pihak Pertama memahami bahwa riwayat Ibnu Abbas itu


mauquf pada Ibnu Abbas, dan merupakan ijtihad Ibnu Abbas sendiri.
Jika dicermati, perkataan ‫َّللاِ صلَّى الل‬ ُ ‫ هكذا أمرنا ر‬،‫هُ عل ْي ِه وسلَّمَِِّل‬
َّ ‫سو ُل‬
merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon
suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya
perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam
mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat,
sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika
kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk
Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian
keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.

Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an hadits ini yang


dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada
masa Rasulullah saw kemudian demikianlah keputusan beliau saw
dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan
Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan
akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan
hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?

Dalam hal ini Imam As Syaukani menjelaskan:


ُ‫ع ْنه‬ َ ‫اس ََل فِي اجْ تِ َها ِد ِه الَّذِي فَ ِه َم‬ َ ‫َوا ْعلَ ْم أ َ َّن ا ْل ُح َّجةَ إنَّ َما ِه َي فِي ا ْل َم ْرفُوعِ ِم ْن ِر َوايَ ِة ا ْب ِن‬
ٍّ َّ‫عب‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ – ِ‫َّللا‬ ُ ‫ ” َه َكذَا أ َ َم َرنَا َر‬:‫َار إلَ ْي ِه بِ َق ْو ِل ِه‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫اس َوا ْل ُمش‬
ُ َّ‫[ الن‬8]
“Ketahuilah, bahwa yang layak menjadi hujjah itu tidak lain adalah
riwayat yang marfu’ dari Ibnu Abbas, bukan Ijtihad Ibnu Abbas itu
sendiri yang difahami manusia dan dirujuk yakni perkataannya (Ibnu
Abbas): “demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada
kami”.

Beliau lalu menambahkan (yakni riwayat yang marfu’, yang difahami


Ibnu Abbas untuk menjawab pertanyaan Kuraib) :

َ ِ‫علَ ْي ُك ْم فَأَك ِْملُوا ا ْل ِع َّدةَ ث َ َلث‬


‫ين‬ ُ ‫ َو ََل ت ُ ْف ِط ُروا َحتَّى تَ َر ْوهُ فَ ِإ ْن‬،‫صو ُموا َحتَّى ت َ َر ْوا ا ْل ِه َل َل‬
َ ‫غ َّم‬ ُ َ ‫ََل ت‬
“Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal. Dan janganlah
kalian berbuka puasa (mengakhiri Ramadhan) hingga kalian melihatnya
pula. Maka jika (pandangan) kalian terhalang, sempurnakanlah
bilangan sebanyak tiga puluh hari.”

‫صلُ ُح َلهُ ِم ْن‬ ْ َ‫اب ِلك ُِل َم ْن ي‬


ٌ ‫ط‬َ ‫علَى ِج َه ِة ِاَل ْن ِف َرا ِد بَ ْل ُه َو ِخ‬ ِ َ‫ص ِبأ َ ْه ِل ن‬
َ ‫احيَ ٍّة‬ ُّ َ ‫َو َهذَا ََل يَ ْخت‬
ْ ‫ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ِم‬
‫ين‬

Dan (Sabda beliau SAW) ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk suatu
daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda
beliau ini merupakan Khitab (seruan) yang tertuju kepada siapa saja di
antara kaum muslimin”

Di sinilah letak syubhat hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf.
Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan hadits ini dengan hadits lain
yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan
ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang
berkata:

‫ص َل ِة‬ ِ َّ‫سلَّ َم ِب َزكَا ِة ا ْل ِف ْط ِر أ َ ْن ت ُ َؤدَّى قَ ْب َل ُخ ُروجِ الن‬


َّ ‫اس ِإلَى ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫أ َ َم َرنَا َر‬
َّ ‫سو ُل‬
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan
sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud)
Hadits ini tidak diragukan sebagai hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi
sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan
Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu
kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas
tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi
pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian
ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai
ijtihad Ibnu Abbas

Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada


ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’,
yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan.
Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak
termasuk dalam dalil syara’.

Kesimpulan Penulis

1. Penulis lebih cenderung kepada pendapat yang pertama, bahwa


dimanapun hilal (1 Ramadhan) terlihat, maka itu menjadi patokan untuk
berpuasa bagi umat Islam seluruhnya, begitu juga untuk Syawwal,
dengan berbagai alasan:

a) Konteks hadits pertama (berpuasalah kalian karena melihat hilal …)


mencakup seluruh kaum muslimin tanpa memperhatikan adanya
persamaan atau perbedaan mathla’, sementara menggunakan aqal untuk
mengqiyaskan dengan perputaran matahari untuk waktu shalat adalah
kurang tepat, karena kalau toh dianalogikan dg shalat, bahwa waktu
shalat berbeda-beda, bukankah walaupun patokannya satu ru’yat waktu
sahurnya juga berbeda-beda, waktu mulai puasanya juga beda-beda,
waktu berbukanya juga berbeda-beda, tidak berarti bahwa setelah hilal
terlihat lalu langsung puasa, kan nunggu fajar dulu, (memang akan
masih muncul permasalahan fiqh misal di daerah A waktu maghrib
melihat hilal, pada saat bersamaan di daerah Z pas detik pertama fajar
atau sudah masuk waktu subuh, atau waktu dhuha, bagaimana
hukumnya daerah Z tersebut? Ini pembahasan lain, termasuk adanya
garis batas penanggalan sehingga melewati garis tsb bisa beda hari, ini
juga pembahasan lain, yang penulis renungkan masih mungkin beda hari
(nama harinya), walau dengan patokan pendapat pertama, termasuk
masih memungkinkan di belahan dunia yg satu puasanya 29 hari dan di
belahan lain puasanya 30 hari walau dg patokan pendapat pertama).

b) Hadits kedua (tentang cerita Kuraib bahwa Syam dengan Madinah


beda akhir Ramadhan) telah dijelaskan Imam As Syaukani bahwa itu
ijtihad Ibnu Abbas sendiri yang memang harus kita hormati. Namun bagi
(orang sekarang) yang mengambil pendapat bolehnya berbeda dengan
alasan riwayat ini, saya lihat tidak konsekuen menggunakan dalil ini,
seharusnya kalau konsekuen dengan hadits tersebut, sedangkan jarak
Madinah (24o28’ N 39o36’ E ) dengan Syam (33°30′N 36°18′E)
hanya berkisar 1.044 km[9], perbedaan waktu antara Madinah
dengan Syam hanya 13 menit 12 detik[10], sedangkan Syam dan
Madinah saat itu satu negara, maka kalau konsekuen dengan riwayat ini,
seharusnya setiap beda waktu 13 menit 12 detik juga memungkinkan
beda hari puasa/idul fithrinya.

c) Pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin dan mengurangi


perbedaan, akan terasa tidak sreg kalau hanya beda 13 menit 12 detik
sudah beda hari raya (walaupun untuk zaman dahulu mungkin mereka
bisa saling tidak tahu kalau berbeda).

2) Bagi yang bermadzhab Syafi’i, tidak perlu berpindah madzhab untuk


mengikuti pendapat pertama, walaupun pendapat pertama (dimanapun
hilal terlihat, itu jadi patokan semua umat Islam) merupakan pendapat
minoritas di kalangan Syafi’iyyah, namun pendapat ini juga nisbahnya
ke Syafi’iyyah bahkan ke Imam Syafi’i sendiri.

Allahu Ta’ala A’lam (insya Allah bersambung tentang ikhitilaf ‘Ulama


dalam hisab atau ru’yat).

[1] Mathla’ = tempat terbitnya hilal (bulan baru)


‫‪ :‬ابن عابدين‪ :‬رسائل ابن عابدين ‪[2] 229 ،228 / 1‬‬

‫ف ْالمطا ِلعِ فإِذا ثبت ْال ِهالل فِي ِم ْ‬


‫صر ل ِزم‬ ‫اختِال ِ‬‫اج ُح ِع ْند ْالحن ِفيَّ ِة أنَّهُ َّل ا ْع ِتبار ِب ْ‬ ‫و ْال ُم ْعتمد ُ َّ‬
‫الر ِ‬
‫ب فِي ظا ِه ِر ْالم ْذه ِ‬
‫ب‬ ‫ق بِ ُرؤْ ي ِة أ ْهل ْالم ْغ ِر ِ‬
‫اس في ُْلز ُم أ ْهل ْالم ْش ِر ِ‬
‫سائِر النَّ ِ‬
‫‪[3] Yakni dalam riwayat Ibnul Qasim dan orang-orang Mesir‬‬

‫)‪[4] Ini menurut keterangan al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H‬‬
‫‪dalam Kitabnya, Al Istidzkâr (3/282), beliau menulis:‬‬

‫اختلف ْالعُلما ُء فِي ُح ْك ِم ِهال ِل رمضان أ ْو ش َّوال يراهُ أ ْه ُل بلد دُون غي ِْر ِه ْم فكان ما ِلكٌ فِيما‬ ‫و ْ‬
‫اس أ َّن أ ْهل بلد رأ ْوهُ فعل ْي ِه ُم ْالقضا ُء ِلذ ِلك‬ ‫رواهُ عنه بن ْالقا ِس ِم و ْال ِم ْ‬
‫ص ِريُّون ِإذا ثبت ِع ْند النَّ ِ‬
‫شافِ ِعي ِ و ْال ُكوفِ ِيين‬ ‫ْالي ْو ِم الذي أفطروه وصيامه غي ِْر ِه ْم ِب ُرؤْ ية ص ِحيحة و ُهو ق ْو ُل اللَّ ْي ِ‬
‫ث وال َّ‬
‫وأ ْحمد‬

‫‪al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany (wafat 852 H) dalam Fathul Bâry‬‬
‫‪(4/123) juga menulis :‬‬

‫ب ِع ْند‬ ‫ان َّل ي ِج ُ‬‫ت فو ْجه ِ‬ ‫ت ْال ِبالد ُ كان ْال ُح ْك ُم و ِ‬


‫احدًا و ِإ ْن تباعد ْ‬ ‫شا ِف ِعيَّ ِة ِإ ْن تقارب ِ‬
‫وقال ب ْعض ال َّ‬
‫ي ع ِن ال َّ‬
‫شافِ ِعي ِ‬ ‫ب وطائِفةٌ ْال ُو ُجوب وحكاهُ ْالبغ ِو ُّ‬ ‫اختار أبُو َّ‬
‫الط ِي ِ‬ ‫ْاْل ْكث ِر و ْ‬

‫اعتبار اختالف المطالع في ثبوت ‪Syaikh Muhammad Ali Farkus al Jazairi dalam‬‬
‫‪ menulis:‬اْلهلة و آراء الفقهاء فيه‬

‫فاْلول‪ :‬يذهب إلى القول بتوحيد الرؤية وَّل يعتبر اختالف مطالع القمر في ثبوت اْلهلة‪ ،‬وبهذا‬
‫قال الجمهور‪ ،‬وهو المعتمد عند الحنفية‪ ،‬ونسبه ابن عبد البر إلى اإلمام مالك فيما رواه عنه ابن‬
‫القاسم والمصريون‪ ،‬كما عزاه إلى الليث والشافعي والكوفيين وأحمد‪ ،‬وبه قال ابن تيمية‬
‫والشوكاني وغيرهم من أهل التحقيق‪ ،‬ويترتب على هذا القول وجوب القضاء إذا بدأ أهل بلد‬
‫‪.‬صومهم اليوم الذي يلي رؤية الهالل في بلد آخر‬

‫فتح الباري َّلبن حجر ‪[5] 4/123‬‬

‫‪[6] Dalam riwayat orang-orang Madinah, yakni perkataan Al Mughiroh,‬‬


‫‪Ibnu Dinar dan Ibnu Majisyun‬‬

‫اعتبار اختالف المطالع في ثبوت اْلهلة و آراء الفقهاء فيه للشيخ محمد علي فركوس ]‪[7‬‬
‫الجزائري‬
[8] Naylul Authar, 4/230

[9] Dihitung dg software Mawaaqit v. 2.3, bandingkan dengan jarak


Banda Aceh (5°33′N 95°19′E) dengan Papua (4°46′ LS 137°48′ BT)
yakni 4.662 km, kalau konsekuen dengan hadits Kuraib ini ada
kemungkinan 4 kombinasi waktu awal-akhir Ramadhan yang berbeda di
Indonesia.

[10] Beda 1 jam dalam derajat garis Bujur = 360o/24 jam = 15o/jam.
Selisih garis bujur Madinah dg Syam = 3o18’ = 3,3o. Selisih waktu
Madinah dg Syam = 3,3o/15o jam = 0,22 jam = 13 menit 12 detik

Penentuan Awal & Akhir Ramadhan; Ikhtilaf, Hujjah & Realitas


(II), Antara Hisab dg Rukyat

II. Perbedaan Karena Metode; Hisab[1] Atau Ru’yat

Permasalahan ini baru muncul setelah akhir abad pertama hijriyah,


setelah salah seorang tabi’in mengisyaratkan hal tersebut, dan setelah itu
dibahas oleh para ahli fiqh. Pembahasan ini terjadi karena ada lafadz
dari hadits nabi SAW yang memang difahami berbeda oleh para
pensyarah hadits. Hadits tsb adalah :

ُ‫علَ ْي ُك ْم فَا ْقد ُُروا لَه‬ ُ ‫ َوَلَ ت ُ ْف ِط ُروا َحتَّى تَ َر ْوهُ فَ ِإ ْن‬،‫صو ُموا َحتَّى ت َ َر ُوا ا ْل ِهلَل‬
َ ‫غ َّم‬ ُ َ ‫َلَ ت‬
Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat bulan dan janganlah
kamu berbuka sampai kamu melihatnya. Jika (hilalnya) tertutup awan
maka perkirakanlah (HR. Bukhory), dalam riwayat Muslim ada
tambahan sebelumnya:
ً‫ون لَ ْيلَة‬
َ ‫س ٌع َو ِعش ُْر‬
ْ ِ‫شه ُْر ت‬
َّ ‫… ال‬
satu bulan itu dua puluh sembilan malam …

Adapun ‘Ulama yang menggunakan hisab, menyatakan bahwa kata


“faqduruulah” (perkirakanlah), mengisyaratkan disuruhnya menghitung
dg hisab, ru’yat dilakukan karena pada saat itu umat belum mahir
berhitung (astronomi). Mereka memperkuat dg hadits:

َ ‫س َعةً َو ِعش ِْر‬


ً‫ َو َم َّرة‬،‫ين‬ ْ ‫ يَ ْعنِي َم َّرةً ِت‬-‫شه ُْر َه َكذَا َو َه َكذَا‬
َّ ‫ ال‬،‫ب‬ ُ ُ ‫ َلَ َن ْكت‬،ٌ‫ِإنَّا أ ُ َّمةٌ أ ُ ِميَّة‬
ُ ْ‫ب َوَلَ نَح‬
ُ ‫س‬
َ ِ‫ثَلَث‬
‫ين‬

“Sesungguhnya kami ini segolongan umat yang ummi, kami tidak


pandai menulis dan tidak pandai menghitung, sebulan itu ada yang
begini dan begini- yaitu kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30
hari”. (HR. Bukhari).

‘Ulama yang membolehkan hisab antara lain: Mutharrif bin ‘Abdillah


bin Syikhkhir (kalangan tabi’in), Abil Abbas bin Syuraij (kalangan
Syafi’iyyah), Al Qarafiy [2] (kalangan Malikiyyah), Ibnu Quthaibah
(kalangan ahli hadits)[3], juga sebagian kalangan Hanafiyyah[4]. Namun
Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) menyatakan bahwa tidak benar
Mutharrif berpendapat seperti itu, dan di nafikan menisbatkan Ibnu
Syuraij ke Syafi’iyyah karena berbeda dengan pendapat jumhur[5].
Adapun dari Mutharrif dinyatakan bahwa orang yang ‘alim dalam
masalah hisab, ia bisa/boleh beramal dengan hisabnya[6] pernyataan ini
di nisbahkan kepada Ibnu Rusyd.

Adapun yang menolak hisab untuk menentukan awal Ramadhan dan


Syawwal adalah mayoritas ‘ulama kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah,
Malikiyyah dan Hanabilah[7]. Imam Malik menyatakan :
‫ َوَلَ يُت َّ َب ُع‬،‫ب َلَ يُ ْقتَدَى ِب ِه‬ َ ‫علَى ا ْل ِح‬
ِ ‫سا‬ َ ‫[ ِإ َّن ا ْْل َما َم الَّذِي يَ ْعت َ ِم ُد‬8]

Sesungguhnya Imam (kepala negara) yang bersandar pada hisab (untuk


penentuan awal puasa dan syawwal) tidak diteladani dan tidak diikuti

Imam An Nawawi menyatakan:


ُ ‫ان َّإَل ِب ُد ُخو ِل ِه َويُ ْعلَ ُم ُد ُخولُهُ ِب ُر ْؤيَ ِة ا ْل ِه َل ِل فَ ِإ ْن‬
‫غ َّم‬ َ ‫ض‬َ ‫ص ْو ُم َر َم‬
َ ‫ب‬ ْ َ ‫قَا َل أ‬
َ ‫ص َحابُنَا َو‬
ُ ‫غ ْي ُر ُه ْم َو ََل يَ ِج‬
‫ين‬ َ ِ‫ان ثَ َلث‬
َ َ‫ش ْعب‬
َ ‫ستِ ْك َما ُل‬ ْ ‫با‬ َ ‫َو َج‬
Telah berkata shahabat-shahabat kami (yakni kalangan syafi’iyyah) dan
selain mereka, dan tidak wajib puasa ramadhan kecuali dg masuknya
(bulan ramadhan), dan diketahui masuknya (bulan ramadhan) adalah
dengan ru’yatul hilal (melihat hilal), maka jika hilal terlindung (awan),
wajib menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari[9]

Alasan penolakan metode hisab adalah hadits yang sama, yang


penafsiran lafadz “faqduruulah” ada dua, yakni:

1) yang dimaksud “faqduruulah” adalah sempurnakanlah bulan sya’ban


menjadi 30 hari[10], inilah penafsiran Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’iy dan mayoritas ‘ulama salaf dan khalaf. Ini diperkuat
dengan hadits lain Riwayat Imam Bukhory:

‫علَ ْي ُك ْم فَأَك ِْملُوا ا ْل ِع َّدةَ ثَلَثِي َن‬


َ ‫غ َّم‬ ُ َ ‫ون لَ ْيلَةً فَلَ ت‬
ُ ‫ فَ ِإ ْن‬،ُ‫صو ُموا َحتَّى ت َ َر ْوه‬ َ ‫س ٌع َو ِعش ُْر‬
ْ ِ‫شه ُْر ت‬
َّ ‫ال‬

Satu bulan itu dua puluh sembilan malam, maka janganlah kamu
berpuasa sampai kamu melihat hilal, jika (hilalnya) tertutup awan maka
sempurnakanlah hitungan (sya’ban) 30 hari.

Juga hadits Riwayat Imam Bukhory yg semakna:

َ ‫ان ثَلَ ِث‬


‫ين‬ َ َ‫علَ ْي ُك ْم فَأَك ِْملُوا ِع َّدة‬
َ ‫ش ْع َب‬ ُ ‫ َوأ َ ْف ِط ُروا ِل ُر ْؤ َي ِت ِه فَ ِإ ْن‬،‫صو ُموا ِل ُر ْؤ َي ِت ِه‬
َ ‫غ ِب َي‬ ُ
2) yang dimaksud “faqduruulah” adalah “dhayyiqû lah” yakni
sempitkanlah – maksudnya jika cuaca mendung sehingga tidak terlihat
hilal, maka bulan sya’ban dihitung 29 hari[11], penafsiran ini diambil
dari surat at Thalaq ayat 7:

ُ‫علَ ْي ِه ِر ْزقُه‬
َ ‫َو َم ْن قُد َِر‬

Barang siapa yang disempitkan rizkinya … (yakni lafadz qudira


bermakna disempitkan).

Yang menafsirkan seperti ini adalah imam Ahmad bin Hanbal dan yang
lainnya yang membolehkan puasa di hari syak[12] jika hari mendung
sehingga hilal tidak terlihat[13].

Adapun pendapat lain, Al Qalyuby menukil perkataan Al ‘Abbâdy :

‫ َوت ُ َر ُّد‬،‫عد َِم ُر ْؤ َي ِة ا ْل ِهلَل لَ ْم يُ ْقبَل قَ ْول ا ْلعُدُول ِب ُر ْؤيَتِ ِه‬ َ ‫اب ا ْلقَ ْط ِع ُّي‬
َ ‫علَى‬ ُ ‫س‬َ ‫ِإذَا دَل ا ْل ِح‬
‫ش َها َدت ُ ُه ْم‬
َ [14]

Jika hisab yg qath’iy menunjukkan akan ketiadaan (kemungkinan)


melihat hilal maka tidaklah diterima perkataan orang yang adil (bahwa
ia) telah melihat hilal dan ditolak kesaksian mereka.

Imkanur Rukyat MABIMS

Merupakan Penanggalan Hijriyah Standard Empat Negara Asean, yang


ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS)
merumuskan kriteria yang disebut “imkanur rukyah” dan dipakai secara
resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi
Pemerintah yang menyatakan:

“Hilal dianggap terlihat dan keesokannya


ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah
berikutnya apabila memenuhi salah satu
syarat-syarat berikut: (1)· Ketika matahari
terbenam, ketinggian bulan di atas horison
tidak kurang daripada 2° dan jarak
lengkung bulan-matahari (sudut elongasi)
tidak kurang daripada 3°. Atau (2)· Ketika bulan terbenam, umur bulan
tidak kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku”
[MUTOHA AR. Modul Pelatihan RUKYATUL HILAL]

Imkaanur rukyat sebenarnya sama dengan hisab ditambah pemberian


kriteria seperti di atas (berbeda dengan kriteria wujudul hilal yakni :
“Jika pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) telah memenuhi 2 (dua)
kondisi, yaitu:
(1) Konjungsi (ijtimak) telah terjadi sebelum Matahari tenggelam,
(2) Bulan tenggelam setelah Matahari,
Maka keesokan harinya dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah.

Adapun standar 2 derajat, secara ilmiyah masih diperdebatkan hingga


sekarang.

Penulis berpandangan bahwa sebenarnya tidak perlu ada pertentangan


tajam antara hisab dg rukyat (kadang saya tulis ru’yat, arabnya : ‫)رأية‬,
asalkan metode hisabnya akurat (bisa dibuktikan dengan rukyat juga,
sederhananya kalau cuaca mendukung, ketinggian hilal sangat mungkin
terlihat, petugas yg merukyat sudah ahli, dan arah sudut pandangan tepat
sesuai perhitungan, ternyata tidak terlihat hilalnya, berarti metode
hisabnya tidak akurat). Hisab saat ini bisa digunakan untuk membantu
kemana dan dimana rukyat harus dilakukan. Hanya saja satu masalah
yang sulit disatukan adalah tatkala mendung, sedangkan menurut hisab
hilal sangat mungkin terlihat (misalnya ketinggiannya 8 derajat), dalam
hadits jelas-jelas Rasulullah menyuruh menggenapkan bulan menjadi 30
hari, akibatnya akan tetap berbeda dg hisab. Hal ini bisa dipersempit
perbedaannya jika menggunakan rukyat global (lihat bagian pertama
tulisan ini), jika disuatu wilayah mendung, kemungkinan wilayah lain
bisa cerah, kecuali jika seluruh dunia ternyata mendung. Jika hal ini
terjadi maka untuk penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal penulis
merasa lebih tentram memilih menggenapkan bulan menjadi 30 hari
berdasarkan dalil-dalil diatas. Sedangkan penetapan bulan yang lain bisa
tetap menggunakan hisab saja tanpa rukyat. Adapun untuk bulan
Dzulhijjah (bulan Haji) pembahasannya berbeda dengan Ramadhan dan
Syawwal. Allahu Ta’ala A’lam.

[1] Hisab berasal dari bahasa Arab “hasiba” yang memiliki


artimenghitung, memperkirakan atau juga membilang, sedangkan ru’yat
yakni melihat dengan mata kepala.

[2] 102 ‫ الفرق‬،178 / 2 ‫الفروق‬

[3] Al ‘Aini, ‘Umdatul Qâri, 10/261 (dikutip dari Mausû’ah Al


Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah)

[4] 225 – 244 / 1 ‫رسائل ابن عابدين‬

[5] 122 / 1 ‫فتح الباري‬

[6] ‫ وقد نسب القول إلى ابن رشد‬،388 / 2 ‫ مواهب الجليل‬:‫الحطاب‬.

[7] ،270 / 6 ‫ المجموع شرح المهذب‬،‫ – النووي‬225 – 244 / 1 ‫رسائل ابن عابدين‬
(‫ بيروت‬،‫ )دار الفكر‬356 / 3 ‫ إرشاد الساري‬:‫ والقسطالني‬،154 / 2 ‫والزرقاني شرح الموطأ‬
.

[8] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaytiyyah, 22/33

[9] 6/270 – ‫المجموع شرح المهذب‬

[10] 189 – 187 / 1 ‫ المقدمات‬،‫ابن رشد‬

[11] / 3 ‫ وشرح مسلم‬،270 / 6 ‫ المجموع شرح المهذب‬،‫ والنووي‬،90 / 3 ‫ المغني‬،‫ابن قدامة‬


53

[12] ragu sudah ramadhan atau belum

[13] 53 / 3 ‫ وشرح مسلم‬،270 / 6 ‫ المجموع شرح المهذب‬،‫النووي‬, juga perkataan


Nâfi’ dalam al Mughni bahwa Ibnu ‘Umar bila hilal tidak terlihat karena
terhalang awan (pada malam ke 30 sya’ban) maka ia besoknya puasa
(yakni sya’ban jadi 29 hari saja): ‫عمر إذا مضى ِم ْن ش ْعبان‬ ُ ‫َّللاِ ب ُْن‬
َّ ُ ‫ كان ع ْبد‬:‫قال نا ِف ٌع‬
‫ و ِإ ْن ل ْم ير ول ْم ي ُح ْل دُون‬،‫ فإ ِ ْن رأى فذاك‬،‫ظ ُر لهُ ْال ِهالل‬
ُ ‫ بعث م ْن ي ْن‬،‫تِسْعةٌ و ِع ْش ُرون ي ْو ًما‬
.‫صبح صائِ ًما‬ ٌ ‫ و ِإ ْن حال د ُون م ْنظ ِر ِه سح‬،‫صبح ُم ْف ِط ًرا‬
ْ ‫اب أ ْو قت ٌر أ‬ ٌ ‫م ْنظ ِر ِه سح‬
ْ ‫اب وَّل قت ٌر أ‬
‫رواهُ أبُو د ُاود‬

[14] 49 / 2 ‫القليوبي‬.

Bid’ahkah Mengadzankan Bayi yang Baru Lahir?

Masalah ini merupakan masalah furu’ yang tidak berkaitan langsung


dengan kebangkitan umat, namun karena ada sebagian orang, bahkan
da’i, yang membid’ahkan (dan menurut da’i tsb semua bid’ah sesat),
maka tulisan ini saya maksudkan untuk mendudukkan masalah ini sesuai
tempatnya, bagi yang mengangap bid’ah ya silakan, namun harapan saya
bisa mentolerir orang yang melaksanakannya dengan anggapan sunnah,
harapan saya umat bisa saing menghargai dalam masalah khilafiyyah ini
dan menyatukan langkah mereka untuk hal lain yang lebih penting,
yakni upaya penerapan seluruh syari’ah Allah dalam setiap aspek
kehidupan.

Hadits-Hadits Berkaitan dengan Mengadzankan Bayi yg Baru


Lahir

1. Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau
berkata,
ُ‫اط َمة‬ ِ َ‫ين َولَ َدتْهُ ف‬
َ ‫ع ِلي ٍّ ِح‬ َ ‫سلَّ َم أَذَّ َن فِي أُذُ ِن ا ْل َح‬
َ ‫س ِن ْب ِن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬
‫ص َل ِة‬
َّ ‫بِال‬
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah
melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan
Tirmidzi) – At Tirmidzi mengatakan : ini adalah hadits hasan shahih. Al
Hakim juga meriwayatkan hadits ini tanpa lafadz “bish shalât” dan
beliau menyatakan bahwa hadits ini shahih menurut syarat Bukhary dan
Muslim walaupun mereka berdua tidak mengeluarkannya, namun
pernyataan al Hakim ini diberi catatan oleh adz Dzahabi bahwa ‘Âsim
bin ‘Ubaidillah (salah satu perowi hadits ini) adalah dlo’if. Dalam
catatan kaki Sunan Abi Dawud, juga Sunan At Tirmidzi Al Albani
menilai hadits ini hasan[1], namun mendlo’ifkannya di kitabnya Silsilah
Adh Dho’ifah no. 321.

2. Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

‫س َرى لَ ْم تَض َُّرهُ أ ُ ُّم‬ َّ ‫َم ْن ُو ِل َد َلهُ َم ْولُو ٌد فَأَذَّ َن فِي أُذُنِ ِه ا ْليُ ْمنَى َوأَقَا َم ال‬
ْ ُ‫ص َلةَ فِي أُذُنِ ِه ا ْلي‬
‫ان‬ ِ َ‫الص ْبي‬
ِ
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan
dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan[2] tidak
akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam
musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Al Haitsami
berkata dalam kitabnya Majma’uz Zawa’id bahwa dalam sanadnya ada
Marwan bin Sâlim al Ghifari dan dia adalah matrûk (perawi yang
ditinggalkan). Al Hafidz Al Iraqi (w. 806 H) menyatakan bahwa hadits
ini dlo’if.

3. Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,

ْ ُ‫ َوأَقَا َم فِي أُذُنِ ِه ا ْلي‬،‫ فَأَذَّ َن فِي أُذُنِ ِه ا ْليُ ْمنَى‬،َ‫ع ِلي ٍّ يَ ْو َم ُو ِلد‬
‫س َرى‬ َ ‫أَذَّ َن فِي أُذُ ِن ا ْل َح‬
َ ‫س ِن ْب ِن‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali


pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan
iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul
Iman, beliau menyatakan sanadnya dlo’if).

Intinya: ada perbedaan pendapat para ahli hadits dalam menilai hadits
tentang adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir, ini merupakan
ijtihad para ‘ulama, yang mana suatu ijtihad tidak menggugurkan
hasil ijtihad yang lain. Dalam hal ini tidak mutlak apa yang didlo’ifkan
oleh satu ‘ulama berarti pasti hadits tsb dlo’if (selama masih ada ‘ulama
ahli hadits lain yang menerima riwayat tsb), dan dalam kasus ini tidak
bisa dikatakan bahwa berbeda pendapat dalam masalah ini adalah
mutlak bid’ah (karena menurutnya yang di bid’ahkan menggunakan dalil
yang lemah).

Perbedaan Para Ulama Ahli Fiqh dalam Mengadzani Bayi

Ulama Madzhab Syafi’i mensunnahkan adzan terhadap bayi yang baru


lahir[3]. Madzhab Hanafi tidak mengingkari pendapat Syafi’iyyah,
Imam Malik tidak menyukai (memakruhkan) hal ini dan
menganggapnya sebagai bid’ah, sebagian ulama madzhab Maliki
menganggap tidak mengapa mengamalkan hal ini (boleh mengadzani
bayi yg baru lahir)[4] .

Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam


Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil
Maulud.
Imam as Syaukani dalam kitabnya, Naylul Authar, ketika mengomentari
hadits tentang Rasulullah mengadzani Husain, beliau menyatakan:

‫اب ذَ ِلكَ ع َْن‬ َ َ‫ستِحْ ب‬ ْ ‫ َو َحكَى فِي ا ْلبَحْ ِر ا‬.‫ص ِبي ِ ِع ْن َد ِو ََل َدتِ ِه‬ َّ ‫ِين فِي أُذُ ِن ال‬ ِ ‫اب التَّأْذ‬
ُ َ‫ستِحْ ب‬
ْ ‫فِي ِه ا‬
ِ ‫ع ْب ِد ا ْل َع ِز‬
‫يز‬ َ ‫ع َم َر ْب ِن‬ ْ ُ‫اْلقَا َم ِة فِي ا ْلي‬
ُ ‫س َرى بِ ِف ْع ِل‬ َ ‫ َواحْ تَ َّج‬،ِ‫س ِن ا ْلبَص ِْري‬
ِ ْ ‫علَى‬ َ ‫ا ْل َح‬
“Dalam hadits ini ada (dalil) tentang disukainya adzan ditelinga bayi
saat lahirnya. Dan diceritakan dalam kitab Al-Bahr disukainya adzan
tersebut dari Hasan al-Bashri, dan berhujjah tentang iqamat pada
telinga yang kiri terhadap perbuatan Umar bin Abdul Aziz”

Penutup

Berhentilah untuk saling cela dalam masalah ini, Imam Malik saja yang
menganggap hal ini bid’ah (bid’ah makruh) tidak bermaksud
mengharamkannya, beliau hanya tidak menyukainya, kalimat yang
tertulis berikut kan tidak bermakna haram:
ً‫ور َوا ْعت َ َب َر َها ِب ْدعَة‬
َ ‫… َوك َِر َه ا ْْل َما ُم َما ِلكٌ َه ِذ ِه األْ ُم‬
Sangat disesalkan kalau ada da’i yang menyatakannya sebagai bid’ah,
dan mereka menganggapnya setiap bid’ah sesat, shg mengadzankan bayi
juga bid’ah yang sesat. Allahu Ta’ala A’lam.

[1] Kitab-kitabnya dalam Maktabah Syamilah

[2] ‫( وأم الصبيان ِهي التابعة من ْال ِجن‬ummu shibyan adalah jin perempuan yang
senantiasa menyertai) – penjelasan di kitab Al Badrul Munir, juga
Talkhîsul Habîr

[3] Bisa dilihat di kitab Al Muhadzdzab (Imam as Syairazi), al Adzkar,


Raudl al-Thalibin, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab dan Minhaj al-
Thalibin (Imam an Nawawi), dalam kitabnya Asna al-Mathâlib
(Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari), Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-
Minhaj (Ibnu Hajar al-Haitami), Hasyiahnya ala al-Iqna’(Al-Bujairami).
[4] / 1 ‫ وكشاف القناع‬،461 / 1 ‫ وتحفة المحتاج بهامش الشرواني‬،383 / 1 ‫نهاية المحتاج‬
212، 434 – 433 / 1 ‫ والحطاب‬،258 / 1 ‫وابن عابدين‬

Membunuh Dengan Api & Raket Nyamuk

Ada perbedaan pendapat tentang membunuh manusia dengan api


(membakar);

a. Melarang, merupakan pendapat Ibnu Abbas dan Umar bin Khatthab


r.a, juga pendapat mayoritas ‘ulama

b. Membolehkannya dalam kasus hukuman kejahatan tertentu, seperti


pendapat Imam Abu Hanifah dan Ibnu Qayyim dalam kasus hukuman
homoseks (liwath), dalam hal liwath ini Ibnu Habib dari kalangan
Malikiyyah justru mewajibkan hukum bakar.

Alasan Yang Melarang:

1. Hadits Riwayat Imam Bukhory dari Abu Hurairah:

‫ث فَقَا َل ِإ ْن َو َج ْدت ُ ْم فُ َلنًا َوفُ َلنًا فَأَحْ ِرقُو ُه َما ِبالنَّ ِار‬ ٍّ ‫سلَّ َم فِي بَ ْع‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫بَعَثَنَا َر‬
‫ين أ َ َر ْدنَا ا ْل ُخ ُرو َج إِنِي أَ َم ْرت ُ ُك ْم أ َ ْن تُحْ ِرقُوا فُ َلنًا‬ َ ‫سلَّ َم ِح‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫سو ُل‬ُ ‫ث ُ َّم قَا َل َر‬
‫َّللاُ فَ ِإ ْن َو َج ْدت ُ ُمو ُه َما فَا ْقتُلُو ُه َما‬
َّ ‫ِب ِب َها ِإ ََّل‬ َ َّ‫َوفُ َلنًا َو ِإ َّن الن‬
ُ ‫ار ََل يُ َعذ‬
Rasulullah shallawahu ‘alaihi wasallam mengutus kami dalam satu
sariyah lalu Beliau berkata : ” jika kalian menemukan fulan dan fulan
maka bakarlah keduanya dengan api, kemudian ketika kami hendak
berangkat Rasulullah saw berkata : “sesungguhnya aku telah
memerintahkan kalian untuk membakar fulan dan fulan, sesungguhnya
api tidak pantas untuk menyiksa dengannya kecuali Allah, maka jika
kalian menemukan mereka bunuhlah mereka berdua”

2. Riwayat Al-Bazzar

‫ سمعت أبا‬: ‫ فقالت‬، ‫ فأخذت برغوثا ً فألقيته في النار‬، ‫كنت عند أم الدرداء رضي هللا عنها‬
‫ َل يعذب بالنار إَل رب النار‬: ‫ قال رسول َّللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫“ الدرداء يقول‬.

aku ditempat Ummu Darda’ radhiallahu anha, lalu aku mengambil


seekor kutu lalu aku melemparkannya kedalam api, maka beliau (Ummu
Darda) berkata : aku mendengar Abu Darda’ berkata: Rasulullah
shallawahu ‘alaihi wasallam bersabda : ” tidak boleh menyiksa dengan
api kecuali Robbnya api

3. Riwayat Abu Dawud:

‫ان‬ِ ‫طلَقَ ِل َحا َج ِت ِه فَ َرأ َ ْينَا ُح َّم َرةً َمعَ َها فَ ْر َخ‬ َ ‫س َف ٍّر فَا ْن‬
َ ‫سلَّ َم فِي‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ُكنَّا َم َع َر‬
‫سلَّ َم فَقَا َل َم ْن فَ َج َع‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ش َف َجا َء النَّ ِب ُّي‬ ُ ‫فَأ َ َخ ْذنَا فَ ْر َخ ْي َها فَ َجا َءتْ ا ْل ُح َم َرةُ فَ َجعَلَتْ تُفَ ِر‬
‫َه ِذ ِه بِ َولَ ِد َها ُردُّوا َولَ َد َها إِلَ ْي َها َو َرأَى قَ ْريَةَ َن ْم ٍّل قَ ْد َح َّر ْقنَا َها فَقَا َل َم ْن َح َّرقَ َه ِذ ِه قُ ْلنَا نَحْ ُن قَا َل‬
‫ب النَّ ِار‬ َ ‫ِإنَّهُ ََل َي ْن َب ِغي أ َ ْن يُ َعذ‬
ُّ ‫ِب ِبالنَّ ِار ِإ ََّل َر‬
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
suatu perjalanan, lalu beliau pergi untuk keperluannya. Kami lalu
melihat seekor burung bersama dua anaknya, kami lantas mengambil
dua anaknya hingga menjadikan burung tersebut terbang berputar-
putar di atas kepala kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian
datang dan bertanya: “Siapa yang menyakiti burung ini dengan
mengambil anaknya? Kembalikanlah anaknya kepadanya.” Setelah itu
beliau juga melihat sarang semut yang telah dibakar, beliau pun
bertanya: “Siapa yang membakar sarang ini?” Kami menjawab,
“Kami.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya tidak pantas bagi seseorang
menyiksa dengan api kecuali pemilik api (Allah).”

Alasan Yang Membolehkan:

Mereka memahami hadits tadi tidak berfaedah haram, seperti dinyatakan


oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bary :

‫علَى َج َو ِاز‬ َ ‫ُع َويَ ُد ُّل‬ َ ‫ع َلى‬


ِ ‫س ِبي ِل الت َّ َواض‬ َ ‫يم بَ ْل‬ ِ ‫علَى التَّحْ ِر‬ َ ‫ْي‬ ُ ‫س َهذَا النَّه‬ ُ َّ‫َوقَا َل ا ْل ُم َهل‬
َ ‫ب لَ ْي‬
‫ين بِا ْل َح ِدي ِد‬َ ِ‫سلَّ َم أ َ ْعيُ َن ا ْلعُ َرنِي‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫س َم َل النَّبِ ُّي‬ َ ‫ص َحابَ ِة َوقَ ْد‬ َّ ‫يق فِ ْع ُل ال‬ ِ ‫التَّحْ ِر‬
‫ص َحا َب ِة َو َح َرقَ َخا ِل ُد ْب ُن ا ْل َو ِلي ِد ِبالنَّ ِار‬ ْ ‫ا ْل َمحْ ِمي ِ َوقَ ْد َح َرقَ أَبُو َب ْك ٍّر ا ْلبُغَاةَ ِبالنَّ ِار ِب َح‬
َّ ‫ض َر ِة ال‬
‫ون والمراكب على أَهل َها‬ ِ ‫ص‬ ُ ‫ون تَحْ ِريقَ ا ْل ُح‬ َ ‫يز‬ ُ ‫اء ا ْل َمدِي َن ِة يُ ِج‬ ُ ‫الر َّد ِة َوأَ ْكث َ ُر‬
ِ ‫علَ َم‬ ِ ‫سا ِم ْن أ َ ْه ِل‬ ً ‫نَا‬
‫قَالَه الث َّ ْوري َو ْاأل َ ْو َزا ِعي‬

Dan telah berkata AlMuhallab (bahwa) larangan dalam hadits tidak


menunjukkan pengharamannya tetapi sebagai bentuk sikap tawadhu’,
yang menunjukkan bolehnya membakar adalah perbuatan para sahabat,
dan sesungguhnya Rasulullah saw menusuk mata orang-orang
‘Urainiyyin dengan besi yang dibakar, dan sesungguhnya Abu Bakar
telah membakar orang-orang bughot dengan api dengan kehadiran para
shahabat, Khalid bin Walid juga membakar orang-orang murtad, dan
sebagian besar ulama Madinah membolehkan membakar benteng-
benteng dan kapal-kapal seperti yang dikatakan Ats Tsaury dan ‘Auzai.

Masih di kitab yang sama, alasan ini dibantah oleh Ibnul Munir dan yang
lainnya:
ُ ‫سو َخةً َك َما تَقَ َّد َم َوتَجْ ِو‬
‫يز‬ ُ ‫صا أ َ ْو َم ْن‬ً ‫صا‬ َ ‫صةَ ا ْلعُ َرنِ ِي‬
َ ِ‫ين كَا َنتْ ق‬ َّ ِ‫ََل ُح َّجةَ فِي َما ذُ ِك َر ِل ْل َج َو ِاز ِأل َ َّن ق‬
‫صون والمراكب ُم َقيدَة بالضرورة‬ ُ ‫ص َحابِي ٍّ آخر وقصة ا ْل ُح‬ َ ‫ض بِ َم ْن ِع‬
ٌ ‫ار‬ َ َ‫ص َحابِي ِ ُمع‬ َّ ‫ال‬
Apa yang disebutkan untuk membolehkannya bukanlah hujjah karena
sesungguhnya kisah ‘Uraniyyin itu adalah dalam hal qishos (balasan
setimbang dengan perbuatan mereka) atau telah mansukh (terhapus
hukumnya), dan pembolehan shahabat bertentangan dengan larangan
shahabat yang lain, dan kisah benteng dan kapal itu terikat dengan
kondisi darurat…

Pertentangan natar shahabat yg dimaksud Ibnul Munir dkk adalah:

ُ‫اس فَ َقا َل لَ ْو ُك ْنت‬ َ ‫ع ْنهُ ِب َزنَا ِد َق ٍّة فَأَحْ َرقَ ُه ْم فَبَلَ َغ ذَ ِلكَ ا ْب َن‬
ٍّ َّ‫عب‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ع َْن ِعك ِْر َمةَ قَا َل أُتِ َي‬
َّ ‫ع ِل ٌّي َر ِض َي‬
‫َّللاِ َولَقَت َ ْلت ُ ُه ْم ِلقَ ْو ِل‬
َّ ‫ب‬ ِ ‫سلَّ َم ََل تُعَ ِذبُوا بِعَذَا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫أَنَا لَ ْم أُحْ ِر ْق ُه ْم ِلنَ ْهي ِ َر‬
َّ ‫سو ِل‬
ُ‫سلَّ َم َم ْن َب َّد َل دِينَهُ فَا ْقتُلُوه‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫َر‬
Dari Ikrimah berkata : telah dihadapkan kepada Ali radhallahu anhu
orang-orang zindiq[1] lalu beliau membakar mereka, namun berita
tersebut sampai kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhu lalu beliau
berkata : ” seandainya aku, tentu aku tidak akan membakar mereka
karena Rasulullah saw melarangnya dalam sabda beliau : “janganlah
kalian menyiksa dengan siksaan Allah” tapi tentulah aku akan
membunuh mereka berdasarkan sabda Rasulullah saw : ” barangsiapa
mengganti agamanya maka bunuhlah”.

Membunuh binatang dengan dibakar

Semua ikhtilaf ‘ulama diatas berkaitan dengan tema membunuh manusia


dengan api, adapun membunuh binatang dengan api, juga terjadi ikhtilaf:

Syaikh Abdullah bin Baz tetap melarang membunuh serangga


pengganggu dengan cara dibakar[2]. Ulama Malikiyyah membolehkan
membakar ikan hidup dalam rangka dipanggang untuk dimakan,
sedangkan Imam Ahmad memakruhkannya, namun menghalalkan
memakannya. Sedangkan Hanabilah tidak memakruhkan membakar
belalang hidup-hidup untuk memakannya krn perbuatan itu pernah
dilakukan shahabat di depan ‘Umar dan ‘Umar tidak mengingkarinya.

Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany, ketika mengomentari hadits tentang


melempar kutu ke api menyatakan :

‫ث ِبالنَّ ِار‬ ُ ‫َوفِي ِه ك ََرا َهةُ قَتْ ِل ِمثْ ِل ا ْلبُ ْر‬


ِ ‫غو‬

Dan dalam hadits ini meunjukkan makruhnya membunuh semisal kutu


dengan api

Dalam Tuhfatul Habib ‘Ala Syarh Al Khatiib (Hasiyah Al Bujairomi


‘Ala Al Khatiib) juga dinyatakan makruh membunuh berbagai macam
kutu dan serangga dengan api, kecuali jika mereka menggganggu krn
banyaknya maka boleh membakarnya jika ada kesulitan membasminya
tanpa api.

‫ب َوفِي‬ ِ ‫ت ِبال َّن ِار ِألَنَّهُ ِم ْن الت َّ ْعذِي‬ ِ ‫سائِ ِر ا ْل َحش ََرا‬ َ ‫ث َو‬ ِ ‫ َوا ْلبَ َرا ِغي‬،‫ق‬ ِ َ‫َو ِلذَا يُك َْرهُ قَتْ ُل ا ْلقَ ْم ِل َوا ْلب‬
َ ‫ض‬
‫ط َّر‬ ْ ُ‫ َو َهذَا َما لَ ْم ي‬:ٍّ‫اجي‬ ِ َ‫ب النَّ ِار» قَا َل ا ْل ُج ُزو ِل ُّي َوا ْب ُن ن‬ ُّ ‫ِب بِالنَّ ِار َّإَل َر‬ُ ‫ث « ََل يُعَذ‬ ِ ‫ا ْل َحدِي‬
ً‫شقَّة‬ َ ‫ق ذَ ِلكَ ِبالنَّ ِار ِأل َ َّن فِي ت َ ْن ِقيَتِ َها ِبغَ ْي ِر النَّ ِار َح َر ًجا َو َم‬ ُ ‫ِل َكثْ َرتِ ِه ْم فَيَ ُج‬
ُ ‫وز َح ْر‬
Dalam hal membunuh nyamuk dengan api (termasuk raket nyamuk?),
penulis merasa lebih sreg dengan pendapat yang tidak mengharamkan.
Allahu A’lam.

Rujukan :

Maktabah Syamilah, diantaranya kitab Mausu’ah Al Fiqhiyyah al


Kuwaytiyyah, Fathul Bâry li Ibni Hajar Al Asqalany, dll
[1] Dalam riwayat lain berkaitan dengan orang-orang yang menganggap
Ali sebagai tuhan, mereka disuruh taubat tidak mau.

[2] Majmû’ Fatâwa wa Maqâlât Mutanawwi’ah 5/301-302

Beri peringkat:

Hukum Mensholatkan Orang Yang Mati Syahid

Pendapat Para Ulama Mengenai Sholat Bagi Syuhada

Mayoritas ‘ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah


berpendapat, bahwa orang yang mati syahid tidak boleh disholatkan.
Sedangkan madzhab Hanafiyyah dan sebagian Syafi’iyyah berpendapat
bahwa orang yang mati syahid disholatkan.

Di dalam kitab Tuhfat al-Fuqaha’ dinyatakan, “Menurut madzhab kami


(Hanafiyyah), mensholatkan jenazah orang yang mati syahid adalah
wajib. Ini berbeda dengan pendapat Syafi’iy. Adapun yang shahih
(benar) adalah pendapat kami. Sebab, Nabi saw mensholati jenazah
syahid di medan Uhud.”[1]

Imam Malik di dalam kitab al-Mudawwanah mengatakan, “Siapa saja


yang gugur di medan peperangan, ia tidak dimandikan, tidak dikafani,
dan tidak disholatkan. Ia dikafani dengan baju yang
dikenakannya…Tersebut di dalam hadits riwayat Jabir, “Selanjutnya
Rasulullah saw memerintahkan untuk menguburkan mereka, tanpa
dimandikan dan juga tidak disholatkan.”[2]

Imam Nawawiy di dalam kitab al-Majmuu’ menjelaskan sebagai berikut,


“Orang yang mati syahid (al-syahiid) tidak boleh dimandikan dan
disholatkan. Al-Muzaniy rahimakumullah berpendapat bahwa orang
yang mati syahiid wajib disholatkan. Imam Haramain, al-Baghawiy, dan
ulama yang lain berpendapat, bahwa orang yang mati syahid boleh
disholatkan, tapi tidak sampai wajib…..Selanjutnya Imam Nawawiy
berkata,”Madzhab terdahulu menyatakan haramnya mensholatkan dan
memandikan orang yang mati syahid. Dalilnya adalah hadits riwayat
Jabir.”[3]

Adapun pendirian madzhab Hanabilah tercermin di dalam kitab al-


Mughniy karya Ibnu Qudamah, di mana di dalamnya dituturkan sebagai
berikut, “Adapun masalah mensholati orang yang mati syahid, yang
benar adalah ia tidak boleh disholatkan. Ini adalah pendapat Imam
Malik, Syafi’iy, dan Ishaq. Diriwayatkan pula dari Imam Ahmad bin
Hanbal, bahwa orang yang mati syahid wajib disholatkan. Pendapat ini
dipilih oleh al-Khallal, dan juga merupakan pendirian dari al-Tsauriy
dan Abu Hanifah. Hanya saja, riwayat dari Imam Ahmad ini mesti
dipahami bahwa mensholati orang yang mati syahid adalah mustahab
(sunnah) bukan wajib. Beliau berhujjah dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya Nabi saw mensholati
para shahabat yang gugur di medan Uhud.”[4]

Sebagian yang lain berpendapat bahwa orang yang mati syahid boleh
disholatkan, dan juga boleh tidak disholatkan.

Hujjah Yang Diketengahkan Para Ulama; Beserta Tarjihnya

Pada dasarnya, perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai


hukum mensholati jenazah orang yang mati syahid disebabkan
perbedaan mereka dalam mengkompromikan hadits-hadits yang
menafikan sholat jenazah bagi syuhada’ dengan hadits-hadits yang
menetapkan sholat jenazah bagi syuhada.

Pendapat yang terkuat adalah boleh memilih antara mensholatkan orang


yang mati syahid atau tidak. Sebab, mengamalkan dua bentuk hadits –
baik hadits yang menafikan sholat bagi syuhada maupun yang tidak–
lebih utama dibandingkan menolak atau mengabaikan salah satunya.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa orang yang mati syahid boleh
tidak disholatkan adalah sebagai berikut:

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir bin ‘Abdullah,


bahwasanya ia berkata;

‫سلَّ َم يَجْ َم ُع بَ ْي َن‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬


َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َان النَّ ِب ُّي‬ َ ‫ع ْن ُه َما قَا َل ك‬ َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫َّللا َر ِض َي‬
ِ َّ ‫ع ْب ِد‬َ ‫ع َْن َجا ِب ِر ْب ِن‬
‫ير لَهُ إِلَى‬ ِ ُ ‫آن فَ ِإذَا أ‬
َ ‫ش‬ ِ ‫اح ٍّد ث ُ َّم يَقُو ُل أَيُّ ُه ْم أ َ ْكث َ ُر أ َ ْخذًا ِل ْلقُ ْر‬
ِ ‫ب َو‬ ٍّ ‫الر ُجلَ ْي ِن ِم ْن قَتْلَى أ ُ ُح ٍّد فِي ث َ ْو‬
َّ
ْ َ
‫علَى َهؤ ََُل ِء َي ْو َم ا ْل ِق َيا َم ِة َوأ َم َر ِبدَفنِ ِه ْم فِي ِد َمائِ ِه ْم‬ َ ‫أ َ َح ِد ِه َما ق َّد َمهُ فِي اللَّحْ ِد َوقا َل أنَا ش َِهي ٌد‬
َ َ َ
‫ع َل ْي ِه ْم‬ َ ُ‫سلُوا َولَ ْم ي‬
َ ‫ص َّل‬ َّ َ‫َولَ ْم يُغ‬
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah bahwasanya Rasulullah saw
mengumpulkan setiap dua orang para shahabat yang gugur di medan
Uhud pada sebuah kain kafan. Lalu beliau saw bersabda, “Siapa saja
diantara mereka yang paling banyak hafal al-Quran kuburkanlah
terlebih dahulu.” Jika ada dua orang menyatakan bahwa si fulan lebih
banyak hafal al-Qurannya, beliau memasukkannya lebih dulu ke liang
lahat. Selanjutnya beliau bersabda, “Saya bersaksi atas mereka kelak di
hari akhir.” Setelah itu, Rasulullah saw memerintahkan para shahabat
untuk menguburkan mereka, tanpa dimandikan terlebih dahulu, dan
juga tidak disholatkan.”[HR. Bukhari]

Imam Ahmad juga mengetengahkan sebuah riwayat dari Jabir bin


‘Abdullah tentang syuhada Uhud.

‫الز ْه ِري ِ ع َْن ا ْب ِن َجا ِب ٍّر‬ ُّ ‫ِث ع َِن‬ ُ ‫ع ْب َد َر ِب ِه يُ َحد‬


َ ُ‫س ِمعْت‬ َ ُ‫ش ْعبَة‬ ُ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ٌد يَ ْعنِي ا ْب َن َج ْعفَ ٍّر َح َّدثَنَا‬
ِ ‫سلَّ َم أَنَّهُ قَا َل فِي قَتْلَى أ ُ ُح ٍّد ََل ت ُ َغ‬
‫سلُو ُه ْم فَ ِإ َّن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫َّللاِ ع َْن النَّبِي‬ َ ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
‫علَ ْي ِه ْم‬
َ ‫ص ِل‬َ ُ‫سكًا َي ْو َم ا ْل ِق َيا َم ِة َولَ ْم ي‬
ْ ‫ح ِم‬ُ ‫ُك َّل ُج ْرحٍّ أ َ ْو ُك َّل د ٍَّم َيفُو‬
“Dari Jabir bin ‘Abdullah ra, dari Nabi saw, bahwasanya Nabi saw
pernah berkata mengenai syuhada’ Uhud,”Jangan kalian mandikan
mereka. Sebab, setiap luka dan darah akan berbau misik kelak di hari
kiamat. Jenazah mereka juga tidak disholatkan.”[HR. Imam Ahmad]

Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra,
bahwasanya ia berkata, “Sesungguhnya, para syuhada’ Uhud tidak
dimandikan, dan dikuburkan beserta dengan darahnya. Dan mereka
tidak disholatkan.”[HR. Imam Ahmad]

Sedangkan dalil yang menunjukkan kebolehan mensholati orang yang


mati syahid adalah sebagai berikut;

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Uqbah bin
‘Amir mengenai jenazah orang yang mati di medan Uhud.

‫ين‬َ ‫س ِن‬ِ ‫علَى قَتْ َلى أ ُ ُح ٍّد بَ ْع َد ث َ َمانِي‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫صلَّى َر‬ َ ‫َام ٍّر قَا َل‬ ِ ‫ع ْقبَةَ ْب ِن ع‬ ُ ‫ع َْن‬
َ ‫ط َوأَنَا‬
‫علَ ْي ُك ْم ش َِهي ٌد‬ ٌ ‫ط َل َع ا ْل ِم ْن َب َر فَقَا َل ِإنِي َب ْي َن أ َ ْيدِي ُك ْم َف َر‬َ ‫ت ث ُ َّم‬ ِ ‫اء َو ْاأل َ ْم َوا‬ َ
ِ ‫كَا ْل ُم َودِعِ ِل ْألحْ َي‬
‫علَ ْي ُك ْم أ َ ْن تُش ِْركُوا‬
َ ‫امي َهذَا َوإِنِي لَسْتُ أ َ ْخشَى‬ ِ ‫ظ ُر إِلَ ْي ِه ِم ْن َم َق‬ُ ‫ض َوإِنِي َأل َ ْن‬ ُ ‫َوإِ َّن َم ْو ِع َد ُك ْم ا ْل َح ْو‬
‫صلَّى‬ َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ظ ْرت ُ َها إِلَى َر‬ ِ ْ‫سو َها قَا َل فَكَانَت‬
َ َ‫آخ َر نَ ْظ َر ٍّة ن‬ ُ َ‫ع َل ْي ُك ْم ال ُّد ْنيَا أ َ ْن تَنَاف‬
َ ‫َولَ ِكنِي أ َ ْخشَى‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra diriwayatkan, bahwasanya Nabi saw
mensholatkan jenazah yang gugur di medan Uhud setelah 8 tahun dari
kematian mereka, seperti orang yang hendak mengucapkan perpisahan
kepada orang-orang yang masih hidup dan yang sudah mati. Lalu, beliau
naik ke atas mimbar dan bersabda, “Sesungguhnya aku berada di
hadapan kalian dengan sebuah pahala. Dan aku wajib memberikan
kesaksian kepada kalian. Sungguh, tempat kembali kalian adalah telaga.
Aku telah menyaksikannya dari tempatku ini, dan aku tidak pernah
khawatir kalian akan musyrik. Akan tetapi, yang aku khawatirkan atas
kalian adalah berlomba-lomba dalam urusan dunia.” Jabir bin
‘Abdullah berkata, “Itulah terakhir kali aku menyaksikan Rasulullah
saw.”[HR. Imam Bukhari]

Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Malik al-Ghafaaziy,


bahwasanya ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw mensholati jenazah
syuhada’ Uhud, sepuluh orang, sepuluh orang. Dan setiap sepuluh
orang disholatkan, Hamzah juga ikut disholatkan, hingga Rasulullah
saw mensholatinya sebanyak 70 kali sholat.” [HR. Imam Abu Dawud]

Imam Abu Dawud juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Salam
dari seorang shahabat Rasulullah saw, bahwasanya ia berkata, “Kami
berhenti di sebuah perkampungan Juhainah. Lalu, ada seorang laki-laki
dari kalangan kaum Muslim mencari seorang laki-laki dari suku
Juhainah. Setelah ketemu, ia segera menebas laki-laki Juhainah
tersebut. Sayangnya, tanpa disadarinya pedangnya mengenai dirinya
sendiri. Nabi saw bersabda, “Wahai kaum Muslim, carilah
saudaramu.” Para shahabat segera mencari laki-laki tersebut. Namun,
mereka menemukan laki-laki itu sudah mati. Rasulullah saw segera
menyelimuti jenazah laki-laki itu dengan bajunya yang berlumuran
darah. Lalu Nabi mensholati laki-laki itu dan menguburkannya. Para
shahabat bertanya, “Apakah laki-laki itu syahid? Nabi saw menjawab,
“Benar. Dan saya menjadi saksi bagi dirinya.”[HR. Imam Abu Dawud]

Dari keseluruhan dalil di atas dapat disimpulkan, bahwasanya kadang-


kadang Rasulullah saw mensholatkan jenazah orang yang mati syahid,
dan kadang-kadang beliau tidak mensholatkan mereka. Dari sini bisa
diambil ketetapan hukum, bahwa orang yang mati syahid boleh disholati
atau tidak disholati.
Kedua bentuk hadits di atas –baik yang menafikan maupun menetapkan
sholat bagi orang yang mati syahid– tidak boleh ditolak salah satunya.
Sebab, dua bentuk hadits tersebut semuanya terbukti (tsubut) berasal
dari Rasulullah saw, baik hadits yang menafikan sholat bagi orang yang
mati syahid, maupun yang menetapkannya. Untuk menolak salah
satunya diperlukan riwayat dan matan (redaksi) yang lain. Padahal tidak
ada satupun riwayat maupun redaksi yang bisa digunakan untuk
menolak salah satu bentuk dari hadits-hadits di atas. Oleh karena itu, dua
bentuk hadits di atas sah digunakan sebagai hujjah. Hadits-hadits
tersebut di atas juga tidak bisa ditarjih mana yang lebih kuat. Sebab,
mentarjih salah satu bentuk hadits akan berakibat diabaikannya salah
satu bentuk hadits. Jika kita lebih menguatkan hadits yang menafikan
sholat jenazah bagi orang yang mati syahid, sama artinya mengabaikan
hadits yang menetapkan sholat bagi jenazah syuhada’. Begitu juga
sebaliknya. Walhasil, dua bentuk hadits tersebut tidak bisa ditarjih mana
yang lebih kuat, keduanya mesti diamalkan dan tidak boleh diabaikan
salah satunya. Sebab, mengabaikan salah satu dari dua bentuk hadits itu
sama artinya mengabaikan apa yang dilakukan Rasulullah saw dan para
shahabat ra.

Adapun pendapat yang menyatakan, bahwa makna sholat yang


tercantum di dalam hadits riwayat ‘Uqbah bin ‘Amir adalah doa;
sesungguhnya pendapat ini pun tertolak[5]. Sebab, lafadz sholat yang
tercantum di dalam riwayat itu harus dipahami pada konteks syar’iynya.
Lafadz sholat di dalam hadits tersebut tidak boleh ditafsirkan dengan
makna lain, selain sholat syar’iy. Sebab, tidak ada satupun qarinah yang
memalingkan maknanya dari makna syar’iy ke arah makna lughawiy
(literal). Oleh karena itu, kata sholat yang tercantum di dalam hadits
riwayat ‘Uqbah bin ‘Amir tidak boleh dimaknai dengan doa. Akan
tetapi, harus dipahami tetap pada konteks syar’iynya, yakni mensholati
jenazah syuhada.

Juga tidak boleh dinyatakan, bahwa hadits yang menetapkan sholat bagi
syuhada’ telah menasakh hadits-hadits yang menafikan sholat bagi
syuhada’. Alasannya, ada sebuah riwayat yang dituturkan oleh Ibnu
Hibban, “Selanjutnya beliau saw masuk ke dalam rumahnya, dan tidak
pernah keluar hingga Allah swt mencabut ruhnya.”[HR. Ibnu Hibban].
Tidak bisa dikatakan seperti itu. Sebab, hadits yang datang terakhir tidak
secara otomatis menasakh hadits-hadits yang datang sebelumnya. Akan
tetapi, harus ada qarinah (indikator) lain yang menunjukkan adanya
nasakh. Sedangkan di dalam masalah ini tidak ada satupun riwayat yang
menunjukkan adanya nasakh mansukh. Walhasil, semua riwayat, baik
yang menafikan dan menetapkan sholat bagi syuhada’ absah dijadikan
sebuah hujjah. Atas dasar itu, riwayat-riwayat yang menafikan sholat
jenazah harus dibawa ke arah hukum jaiz (boleh), demikian juga
riwayat-riwayat yang menetapkan sholat bagi syuhada’. Oleh karena itu,
Rasulullah saw tidak mensholati syuhada’ Badar, Khandaq, dan Khaibar.
Sebab, hukum tidak mensholati jenazah syuhada bukanlah wajib, akan
tetapi jaiz. Allahu A’lam.

[1] Tuhfat al-Fuqaha’, juz 1/212

[2] Imam Malik, al-Mudawwanah, juz 1/183. Lihat juga Hasyiyyah al-
Dasuqiy, juz 1/426.

[3] Imam Nawawiy, al-Majmuu’¸ hal. 26-261

[4] Ibnu Qudamah, al-Mughniy, juz 2/401

[5] Berkenaan dengan hadits ini, Imam Nawawiy menyatakan, bahwa


yang dimaksud dengan “sholat” yang tercantum dalam hadits ‘Uqbah
bin ‘Amir, “Rasulullah saw mensholati syuhada’ Uhud setelah 8 tahun
kematian mereka“, adalah mendoakan mereka seperti doa dalam sholat
mayat, bukan mensholatkan mayat.[Imam Nawawiy, al-Majmuu’, juz
5/265]
Hukum Wanita Berhaji Wajib Tanpa Mahram atau Suami

Terjadi perbedaan pendapat tentang masalah ini apakah mahram atau


suami adalah syarat wajib haji[1] bagi wanita atau bukan? Artinya jika
seorang muslimah tidak menjumpai mahram atau suami apakah
kewajiban pergi haji itu gugur darinya ataukah tidak?

Pendapat pertama, ‘Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah menyatakan


bahwa adanya mahram atau suami adalah syarat wajibnya haji bagi
seorang muslimah. Jadi kalau tidak ada mahram/suami maka wanita
tidak wajib berhaji, bahkan tidak boleh berhaji.
Salah satu alasannya adalah hadits:

‫سافِ ُر ا ْل َم ْرأَةُ ثَلَثًا ِإَلَّ َو َم َع َها ذُو َمحْ َر ٍّم‬


َ ُ ‫َلَ ت‬
“Seorang wanita tidak boleh bersafar selama tiga hari, kecuali disertai
mahramnya (HR. Muslim)

Abu Hanifah membolehkan wanita berhaji tanpa mahram jika jarak


wanita tsb dengan Makkah kurang dari 3 marhalah[2] (1 marhalah = 24
mil). Alasan lainnya adalah hadits dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi
bersabda

‫غ ْز َو ِة َكذَا َو َكذَا‬ َ ‫َّللاِ ا ْكتُتِبْتُ فِي‬ ُ ‫ام َرأَةٌ إِ ََّل َو َمعَ َها َمحْ َر ٌم فَقَا َم َر ُج ٌل فَ َقا َل يَا َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ ُ ‫ََل ت‬
ْ ‫سافِ َر َّن‬
ْ ‫ام َرأَتِي َحا َّجةً َقا َل ا ْذ َه ْب فَ ُح َّج َم َع‬
َ‫ام َرأ َ ِتك‬ ْ ْ‫َو َخ َر َجت‬
… “Janganlah seorang wanita melakukan safar (perjalanan jauh)
melainkan bersama mahram”. Ada seorang laki-laki yang berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak pergi haji sedangkan
aku telah mewajibkan (mendaftarkan) diriku untuk mengikuti perang ini
dan ini. Nabi bersabda, “Pergilah haji bersama isterimu”. (HR.
Bukhari dan Muslim)

Pendapat kedua, ‘Ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah, serta sebagian


Hanabilah seperti Ibnu Taymiyyah menyatakan mahram bukanlah syarat
wajibnya haji bagi muslimah, sehingga tetap wajibnya haji bagi wanita
walaupun tanpa mahram atau suami, asalkan wanita tersebut bersama ar
rufqatul ma’mûnah , yakni jamaah wanita yang memberikan keamanan
atau jama’ah lelaki yang shalih, bahkan dia boleh berhaji sendiri dalam
hal haji wajib atau nadzar jika situasi aman.

Imam Bukhary meriwayatkan dari Adi bin Hatim r.a , bahwa Nabi saw
bersabda:

،ٌ‫طا َلتْ ِبكَ َحيَاة‬ َ ‫ َقا َل «فَ ِإ ْن‬،‫ع ْن َها‬ َ ُ‫ َو َق ْد أ ُ ْن ِبئْت‬،‫ َل ْم أ َ َر َها‬: ُ‫يرةَ؟ قُ ْلت‬ َ ‫الح‬ ِ َ‫ َه ْل َرأَيْت‬،‫ِي‬
ُّ ‫عد‬
َ ‫يَا‬
َّ ‫اف أ َ َحدًا إِ ََّل‬
َ‫َّللا‬ ُ ‫وف ِبال َك ْعبَ ِة َلَ ت َ َخ‬
َ ‫ط‬ُ َ ‫ َحتَّى ت‬،‫ير ِة‬
َ ‫الح‬ ِ ‫ظ ِعي َنةَ ت َ ْرت َ ِح ُل ِم َن‬
َّ ‫لَت َ َريَ َّن ال‬
… “Wahai “Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al Hirah?”. Aku
jawab; “Aku belum pernah melihatnya namun aku pernah mendengar
beritanya, Rasulullah bersabda:” Jika engkau berumur panjang maka
engkau pasti akan melihat seorang perempuan yang mengadakan
perjalanan (jauh) dari Hirah hingga dia bertawaf mengelilingi Ka’bah
tanpa rasa takut kecuali hanya kepada Allah… (HR. Bukhory)

Adapun tentang hadits Ibnu Abbas, kelompok kedua menyatakan haji


dalam kasus diatas bukanlah haji wajib. Karena haji baru diwajibkan
pada tahun 10 H. Memang tidak ada perbedaan pendapat bahwa haji
yang tidak wajib maka haruslah dengan mahram atau suami, kecuali
pendapat sebagian Syafi’iyyah semisal Al Karobisi yang membolehkan
safar yang tidak wajib tanpa mahram. Allahu A’lam.

[1] Yang dibahas di sini adalah haji wajib, bukan haji yang kedua atau
‘umroh

[2] Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 9/104, Maktabah Syâmilah

***

Tambahan bacaan dari Mauwsu’ah Al Fiqhiyyah:

‫اء‬ َّ ‫ط ْالخا‬
ِ ‫صةُ بِالنِس‬ ْ
ُّ ‫ ال‬:‫ال ِق ْس ُم الثَّانِي‬:
ُ ‫ش ُرو‬

24 – ِ‫ان َّل بُدَّ ِم ْن ُهما ِلك ْي ي ِجب ْالح ُّج على ْالم ْرأة‬
ِ ‫وط ا َِّل ْستِطاع ِة ش ْرط‬ ُ ‫ص النِساء ِم ْن‬
ِ ‫ش ُر‬ ُّ ‫ما ي ُخ‬
‫ان ِإلى ِخصال ش ْر ِط ا َِّل ْس ِتطاع ِة الَّ ِتي ذك ْرناها‬
ِ ‫يُضاف‬.
‫ وعد ُم ْال ِعدَّة‬،‫الز ْو ُج أ ِو ْالم ْحر ُم‬
َّ :‫ان ُهما‬ َّ ‫ان ال‬
ِ ‫ش ْرط‬ ِ ‫ِِهذ‬.
ُ ‫لز ْو ُج أ ِو ْالم ْحر ُم اْل ْ ِم‬
‫ين‬ َّ ‫أ َّوَّلً – ا‬:
‫ت ْالمسافةُ بيْنها – ‪25‬‬ ‫صحب ْالم ْرأة فِي سف ِر ْالحجِ ز ْو ُجها أ ْو م ْحر ٌم ِم ْنها‪ِ ،‬إذا كان ِ‬‫ط أ ْن ي ْ‬‫يُ ْشتر ُ‬
‫سف ِر‪ ،‬وإِلى هذا ذهب ْالحن ِفيَّةُ و ْالحنابِلةُ‬ ‫ص ِر فِي ال َّ‬ ‫]‪[1‬وبيْن م َّكة ثالثةُ أيَّام‪ ،‬و ِهي مسِيرة ُ ْالق ْ‬
‫‪(3) .‬‬
‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم قال‪َّ :‬ل تُسا ِف ُر ْالم ْرأة ُ ثالثًا ِإَّلَّ‬
‫َّللا صلَّى َّ‬ ‫عمر أ َّن ر ُ‬
‫سول َّ ِ‬ ‫واسْتدلُّوا ِبحدِي ِ‬
‫ث اب ِْن ُ‬
‫‪ (1) .‬ومعها ذُو م ْحرم‬
‫شافِ ِعيَّةُ و ْالما ِل ِكيَّةُ فس َّو ُ‬
‫غوا ا َِّل ْستِبْدال ب‬ ‫سع ال َّ‬ ‫ْ‬
‫‪:‬الم ْحر ِمِِوتو َّ‬

‫ت نِسْوة ً ِثقات‪ :‬اثْنتي ِْن فأ ْكثر تأْم ُن مع ُه َّن على ن ْفسِها كفى ذ ِلك‬ ‫شافِ ِعيَّةُ ِإلى أنَّها ِإ ْن وجد ْ‬
‫ذهب ال َّ‬
‫إلسْال ِم على ْالم ْرأةِ‪ .‬و ِع ْند ُه ُم ” اْلْص ُّح‬ ‫ب ح َّج ِة ا ْ‬‫الز ْوجِ بِالنِسْب ِة ِل ُو ُجو ِ‬‫بدَّلً ع ِن ْالم ْحر ِم أ ِو َّ‬
‫احدة ً‬ ‫ت ْامرأة ً و ِ‬ ‫طماع ت ْنق ِط ُع ِبجماع ِت ِه َّن‪ .‬فإِ ْن وجد ِ‬ ‫ط ُو ُجود ُ م ْحرم ِإل ْحدا ُه َّن‪ِْ ،‬ل َّن اْل ْ ْ‬‫أنَّهُ َّل يُ ْشتر ُ‬
‫وز لها أ ْن ت ُح َّج معها ح َّجة ْالف ِريض ِة أ ِو النَّ ْذ ِر‪ ،‬بل‬ ‫ب عليْها ْالح ُّج‪ ،‬ل ِك ْن ي ُج ُ‬ ‫ثِقةً فال ي ِج ُ‬
‫ت‬ ‫اء ْالف ْر ِ‬
‫ض أ ِو النَّ ْذ ِر إِذا أ ِمن ْ‬ ‫وز لها أ ْن ت ْخ ُرج و ْحدها ِْلد ِ‬ ‫‪.‬ي ُج ُ‬
‫ُ‬ ‫سعًا فقالُوا‪ْ :‬الم ْرأة ُ إِذا ل ْم ت ِج ِد ْالم ْحرم أ ِو َّ‬ ‫وزاد ْالما ِل ِكيَّةُ تو ُّ‬
‫الز ْوج ول ْو بِأ ْجرة تُسافِ ُر ِلحجِ‬
‫الر ْفق ِة ْالمأ ْ ُمون ِة‪ِ ،‬بش ْر ِط أ ْن ت ُكون ْالم ْرأة ُ ِبن ْفسِها ِهي مأ ْ ُمونةً أ ْي ً‬
‫ضا‬ ‫ض أ ِو النَّ ْذ ِر مع ُّ‬ ‫‪ْ .‬الف ْر ِ‬
‫ي‪ :‬وأ ْكث ُر ما نقلهُ‬ ‫صا ِل ِحين‪ .‬قال الدُّ ُ‬
‫سو ِق ُّ‬ ‫الرجال ال َّ‬
‫اء‪ ،‬أ ِو ِ‬ ‫الر ْفقةُ ْالمأ ْ ُمونةُ جماعةٌ مأ ْ ُمونةٌ ِمن ِ‬
‫النس ِ‬ ‫و ُّ‬
‫اء‬ ‫صحابُنا ا ْشتِرا ُ‬
‫ط النِس ِ‬ ‫‪ “.‬أ ْ‬
‫وز لها‬ ‫الز ْوجِ أ ِو ْالم ْحر ِم فق ِط اتِفاقًا‪ ،‬وَّل ي ُج ُ‬ ‫وز ِل ْلم ْرأةِ ال َّ‬
‫سف ُر لهُ ِإَّلَّ مع َّ‬ ‫أ َّما ح ُّج النَّ ْفل فال ي ُج ُ‬
‫سف ُر بِغي ِْر ِهما‪ ،‬بل تأْث ُم ِب ِه‬
‫ال َّ‬

‫‪.‬الهداية وفتح القدير ‪ ،128 / 2‬والكافي ‪ ،519 / 1‬والمغني ‪[1] 237 – 236 / 3‬‬

‫‪Bulan Sya’ban & Sekitar Nishfu Sya’ban‬‬

‫‪Pembahasan berikut berupaya memahami perbedaan yang sering muncul‬‬


‫‪(dan ditanyakan ke penulis) seputar nishfu (pertengahan) Sya’ban, saya‬‬
‫‪tulis dengan harapan bisa saling menjaga ukhuwwah antar sesama‬‬
‫‪muslim (tambahan lagi biar kalau ada yg nanya lagi tinggal disuruh lihat‬‬
‫‪blog saja J), kalau ada kritik/saran silahkan dikomentari. Saya harap bagi‬‬
‫‪pembaca yg sepakat bisa menyebarkannya, agar umat tidak bertengkar‬‬
‫‪gara-gara masalah ini yg mengakibatkan mereka lupa bahwa saat banyak‬‬
hukum-hukum syari’ah yg diabaikan dan banyak perkara penting yg
harusnya dipikul bersama.

Beberapa Hadits Shahih/Hasan Berkaitan Dg Bulan Sya’ban &


Nishfu Sya’ban

1. Hadits dari ‘Aisyah r.a:

‫صو ُم‬ ُ َ‫يُ ْف ِط ُر َويُ ْف ِط ُر َحتَّى نَقُو َل ََل ي‬ ‫صو ُم َحتَّى نَقُو َل ََل‬ ُ َ‫سلَّ َم ي‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫صلَّى‬َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ َ ‫ك‬
ُ ‫َان َر‬
‫ان َو َما َرأ َ ْيتُهُ أ َ ْكث َ َر‬
َ ‫ض‬َ ‫شه ٍّْر ِإ ََّل َر َم‬
َ ْ ‫سلَّ َم ا‬
‫ستَ ْك َم َل ِص َيا َم‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫فَ َما َرأَيْتُ َر‬
‫ان‬َ َ‫ش ْعب‬ َ ‫ِصيَا ًما ِم ْنهُ فِي‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedemikian sering


melaksanakan shaum hingga kami mengatakan seolah-olah beliau tidak
pernah berbuka (tidak shaum), namun beliau juga sering tidak shaum
sehingga kami mengatakan seolah-olah Beliau tidak pernah shaum. Dan
aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menyempurnakan puasa selama sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan
dan aku tidak pernah melihat Beliau paling banyak melaksanakan puasa
(sunnat) kecuali di bulan Sya’ban”. [HR. Bukhory dan Muslim]

2. Hadits dari Usamah bin Zaid ra. katanya:

‫شه ٌْر‬َ َ‫ ذَ ِلك‬:‫ قَا َل‬،‫ان‬ َ ‫صو ُم ِم ْن‬


َ ‫ش ْع َب‬ ُ َ ‫ور َما ت‬
ِ ‫ش ُه‬ُّ ‫شه ًْرا ِم َن ال‬َ ‫صو ُم‬ ُ َ ‫ لَ ْم أ َ َركَ ت‬،‫َّللا‬ ُ ‫ َيا َر‬: ُ‫قُ ْلت‬
ِ َّ ‫سو َل‬
،‫ين‬ ِ ‫شه ٌْر ت ُ ْرفَ ُع فِي ِه ْاأل َ ْع َما ُل إِلَى َر‬
َ ‫ب ا ْلعَالَ ِم‬ َ ‫ َو ُه َو‬،‫ان‬ َ ‫ض‬َ ‫ب َو َر َم‬ ٍّ ‫ع ْنهُ َب ْي َن َر َج‬
َ ‫اس‬ُ َّ‫َي ْغفُ ُل الن‬
‫صائِ ٌم‬َ ‫ع َم ِلي َوأ َ َنا‬
َ ‫ب أ َ ْن يُ ْرفَ َع‬
ُّ ‫فَأ ُ ِح‬
“Aku bertanya : ‘wahai Rasulallah aku tidak melihat engkau berpuasa
satu bulan pun yang lebih banyak anda puasakan dari Sya’ban’. Nabi
berkata; ‘Bulan itu sering dilupakan orang, karena letaknya antara
Rajab dan Ramadhan, sedang pada bulan itulah (bulan Sya’ban)
diangkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabbul ‘alamin. Maka saya
ingin amalan saya dibawa naik selagi saya dalam berpuasa”. (HR. an
Nasa’I & Abu Daud, disahkan oleh Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh al
Albani, Sunan Ash Shughro Lin Nasa’i, juz 4 hal 201, Maktabah
Syamilah)
3. Hadits dari ‘Aisyah r.a[1]:

َ ‫ين أ َ ْن َي ِح‬ ِ ‫يع فَ َقا َل أ َ ُك ْن‬ ً


‫يف‬ َ ‫ت ت َ َخا ِف‬ ِ ‫سلَّ َم َل ْيلَة فَ َخ َرجْ تُ فَ ِإذَا ُه َو ِبا ْل َب ِق‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫فَقَ ْدتُ َر‬
َّ ‫سا ِئكَ فَقَا َل إِ َّن‬
‫َّللاَ ع ََّز َو َج َّل‬ َ ِ‫ض ن‬َ ‫ظنَ ْنتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَ ْع‬ َ ‫َّللا إِنِي‬ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سولُهُ قُ ْلتُ يَا َر‬ ُ ‫علَ ْي ِك َو َر‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ
‫ب‬ٍّ ‫غنَ ِم َك ْل‬
َ ‫ش ْع ِر‬ َ ‫اء ال ُّد ْن َيا َفيَ ْغ ِف ُر ِأل َ ْكث َ َر ِم ْن‬
َ ‫ع َد ِد‬ َّ ‫ان إِلَى ال‬
ِ ‫س َم‬ َ َ‫ش ْعب‬ َ ‫ْف ِم ْن‬ ِ ‫يَ ْن ِز ُل لَ ْي َلةَ النِص‬
Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam, lalu saya keluar, ternyata saya dapati beliau sedang berada
di Baqi’, beliau bersabda: ” Apakah kamu takut akan didzalimi oleh
Allah dan Rasul-Nya?” saya berkata, wahai Rasulullah, saya mengira
tuan mendatangi sebagian istri-istrimu, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia pada malam
pertengahan bulan Sya’ban, lalu mengampuni manusia sejumlah rambut
(bulu) kambing bani Kalb.” [HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad,
sanadnya (satu persatu) dlo’if, namun dengan keseluruhan jalan
periwayatannya maka hadits ini shahih (Silsilah as Shahihah[2] 3/138)]

4. Hadits dari Mu’adz bin Jabal r.a:

ِ ‫يع َخ ْل ِق ِه ِإ ََّل ِل ُمش ِْركٍّ أ َ ْو ُمش‬


‫َاح ٍّن‬ ِ ‫ان فَ َي ْغ ِف ُر ِل َج ِم‬
َ َ‫ش ْعب‬ َّ ‫يَ ْطلُ ُع‬
ِ ‫َّللاُ ِإلَى َخ ْل ِق ِه فِي لَ ْيلَ ِة النِص‬
َ ‫ْف ِم ْن‬

“Sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia pada malam


pertengahan bulan Sya’ban, lalu mengampuni semua ciptaan-Nya
kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan [HR. Ibnu Hibban,
shahih; dari semua jalur periwayatan saling menguatkan[3] (Silsilah as
Shahihah)]

Diantara Hadist yg Dlo’if/ Diperselisihkan

1. Hadits dari Ali bin abi Thalib ra:

ِ ‫َّللاَ يَ ْن ِز ُل فِي َها ِلغُ ُرو‬


‫ب‬ َّ ‫ فَ ِإ َّن‬،‫ار َها‬ َ ‫صو ُموا َن َه‬ ُ ‫ فَقُو ُموا لَ ْي َل َها َو‬،‫ان‬ َ ‫ْف ِم ْن‬
َ َ‫ش ْعب‬ ِ ‫إِذَا كَانَتْ َل ْيلَةُ النِص‬
‫ق فَأ َ ْر ُزقَهُ أ َ ََل‬ ْ ‫ست َ ْغ ِف ٍّر ِلي فَأ َ ْغ ِف َر لَهُ أ َ ََل ُم‬
ٌ ‫ست َ ْر ِز‬ ْ ‫ أ َ ََل ِم ْن ُم‬:‫ فَيَقُو ُل‬،‫اء ال ُّد ْنيَا‬ َ ‫الش َّْم ِس إِلَى‬
ِ ‫س َم‬
‫ َحتَّى يَ ْطلُ َع ا ْلفَجْ ُر‬،‫ُم ْبتَلًى فَأُعَافِيَهُ أ َ ََل َكذَا أ َ ََل َكذَا‬

”Apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan


berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah swt turun hingga
langit dunia pada saat tenggelam matahari dan mengatakan:
”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah
mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku
berikan rezeki, ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah
maka Aku selamatkan, ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”
[HR. Ibnu Majah dengan sanad dlo’if, (al Iraqy (w. 810 H) dalam takhrij
hadits ihya), juga diriwayatkan oleh Al Baihaqy dalam Syu’abul Îmân,
al Baihaqy menyatakan sanadnya dlo’if]

Perkataan Ibnu Taymiyyah Tentang Nishfu Sya’ban

Saya kutip ini karena Ibnu Taymiyyah sering menjadi rujukan bagi
pihak yg sebagian berlebihan dalam menolak nishfu Sya’ban, walaupun
yg pro juga sebagian berlebihan. Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya
Iqtidlo’ As-Shirot Al-Mustaqim[4], menyatakan:

‫ فقد روى في فضلها من األحاديث المرفوعة واآلثار‬،‫ ليلة النصف من شعبان‬:‫ومن هذا الباب‬
‫[ما يقتضي أنها ليلة مفضلة‬5] ‫ وصوم شهر‬،‫وأن من السلف من كان يخصها بالصلة فيها‬
‫ وغيرهم من‬،‫ من السلف من أهل المدينة‬:‫ ومن العلماء‬.‫شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة‬
‫ إن هللا يغفر فيها ألكثر من‬:‫ كحديث‬،‫ وطعن في األحاديث الواردة فيها‬،‫ م ن أنكر فضلها‬،‫الخلف‬
‫ أو‬،‫ لكن الذي عليه كثير من أهل العلم‬.‫ َل فرق بينها وبين غيرها‬:‫ وقال‬.“ ‫عدد شعر غنم كلب‬
‫ لتعدد األحاديث الواردة‬،‫ وعليه يدل نص أحمد‬،‫على تفضيلها‬- ‫ من أصحابنا وغيرهم‬،‫أكثرهم‬
‫ وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن‬،‫ وما يصدق ذلك من اآلثار السلفية‬،‫فيها‬.

“dan dari bab ini: malam Nishfu Sya’ban, telah diriwayatkan mengenai
kemuliaannya dari hadits-hadits yang marfu’ dan atsar sesungguhnya
menjelaskan bahwa itu adalah malam yang mulia. Dan dikalangan
ulama As-Salaf ada yang mengkhususkan melakukan sholat pada malam
tersebut, dan berpuasa bulan Sya’ban sesungguhnya telah ditunjukkan
oleh hadits yang shohih. Dan diantara ulama: dari kalangan salaf
(orang yang terdahulu) ahli Madinah dan selain mereka dari kalangan
khalaf (orang belakangan) ada yang mengingkari kemuliannya dan
menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits:
‘Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari
bilangan bulu kambing bani kalb’. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama
ahli Ilmu atau kebanyakan ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah
memuliakan malam Nishfu Sya’ban, dan yang demikian ditunjukkan
oleh nash Imam Ahmad, karena banyaknya hadits yang menyatakan
mengenai kemuliaan Nishfu Sya’ban, juga karena banyaknya atsar yang
membenarkan hal ini dari ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan
kemuliaan Nishfu Sya’ban dalam banyak kitab-kitab (hadits) Musnad
dan Sunan”

Berkaitan dengan puasa nishfu sya’ban Ibnu Taymiyyah menulis:

‫ وكذلك اتخاذه موس ًما تصنع فيه‬،‫ بل إفراده مكروه‬،‫فأما صوم يوم النصف مفر ًدا فل أصل له‬
‫ وكذلك ما قد‬.‫ التي َل أصل لها‬،‫ هو من المواسم المحدثة المبتدعة‬،‫ وتظهر فيه الزينة‬،‫األطعمة‬
‫ من اَلجتماع العام للصلة األلفية‬،‫[أحدث في ليلة النصف‬6] ‫ ومساجد‬،‫في المساجد الجامعة‬
‫ وقدر من‬،‫ فإن هذا اَلجتماع لصلة نافلة مقيدة بزمان وعدد‬.‫األحياء والدروب واألسواق‬
‫ مكروه‬،‫القراءة لم يشرع‬.

Adapun puasa nishfu sya’ban, maka tidak ada asal riwayatnya, bahkan
puasa satu hari saja (saat tanggal 15 saja) makruh, begitu juga
mengadakan perayaan dimana membuat makanan didalamnya,
menampakkan perhiasan didalamnya merupakan perayaan baru yang
diada-adakan yang tidak ada asal-usulnya, begitu juga yang terjadi
dimalam nishfu sya’ban dengan berkumpul untuk sholat alfiyyah (shalat
dengan membaca shurat al Ikhlas 1000 kali) di masjid-masjid jami’,
masjid-masjid ahya’, durub dan aswaq. Maka sesungguhnya berkumpul
untuk shalat sunnat yang diikat (dikaitkan) dengan waktu, bilangan dan
ukuran bacaan tidaklah disyari’atklan, dan hukumnya makruh.

Pendapat Para Ahli Fiqh

Ringkasan pendapat Ahli Fiqh (dari Al Mausû’ah Al Fiqhiyyah al


Kuwaityyah (Maktabah Syamilah):

a. Mayoritas ahli fiqh mensunnahkan untuk menghidupkan malam


nishfu Sya’ban[7] , namun tidak ada kayfiyyat (tata cara) khusus.
b. Imam Al Ghazaly membuat kayfiyat khusus untuk menghidupkan
malam nishfu Sya’ban, namun hal ini diingkari oleh para ‘ulama
Syafi’iyyah [8].

c. Imam Sufyan Ats Tsaury menganggap shalat nishfu Sya’ban adalah


bid’ah yg jelek[9].

d. Adapun berkumpul (berjama’ah) untuk menghidupkan malam nishfu


sya’ban menurut mayoritas ahli fiqh Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah
tidak disukai (makruh)[10], akan tetapi tidak dimakruhkan apabila
seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i
seorang imam dan faqih dari penduduk Syam. Adapun Khalid bin
Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan Ishaq bin Rohawaih [11] mengatakan
bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah
tidaklah bid’ah.

Penutup

Dari pembahasan diatas, tidak ada larangan untuk menghidupkan malam


nishfu Sya’ban, bahkan mayoritas mensunnahkannya, terjadi perbedaan
pendapat hanya pada masalah kayfiyyatnya bagaimana, dan inipun tidak
sampai ada yang mengharamkan atau membid’ahkan dengan bid’ah
sesat, terlebih lagi kalau yang dilakukan adalah sholat sunnah Muthlaq,
yang boleh dilakukan kapan saja (kecuali waktu-waktu tertentu yang
dilarang) dan berapa saja jumlah raka’at yang dikehendaki.

Imam Nawawi –rahimahullah– berkata: “Seseorang yang melakukan


sholat sunnah dan tidak menyebutkan berapa raka’at yang akan
dilakukan dalam shalatnya itu, bolehlah ia melakukan satu raka’at lalu
bersalam dan boleh pula menambahnya menjadi dua, tiga, seratus,
seribu raka’at dan seterusnya. Apabila seseorang sholat sunnah dengan
bilangan yang tidak di ketahuinya, lalu bersalam, maka hal itupun sah
pula tanpa perselisihan pendapat antara para ulama. Demikianlah yang
telah disepakati oleh golongan kami (madzhab Syafi’i) dan diuraikan
pula oleh Imam Syafi’i didalam Al-Imla”. (Fiqih Sunnah Sayid Sabiq
,terjemahan Indonesia, jilid 2 cet.kedua th.1977 hal .11)
‫‪Begitu juga dengan puasa dan kebaikan-kebaikan lain yg memang‬‬
‫‪diperintahkan, baik di bulan Sya’ban atau bukan, semisal bersedekah,‬‬
‫‪memberi makanan, dll, tidak masalah kalau itu dilakukan dalam rangka‬‬
‫‪taqarrub kepada Allah dengan harapan amalnya diangkat saat ia berbuat‬‬
‫‪kebaikan. Yang dipermasalahkan adalah menganggap bahwa hal/amalan‬‬
‫‪tersebut khusus untuk nisfu Sya’ban. Yang dikecam oleh Imam‬‬
‫‪Nawawi[12] adalah shalat dg membuat kayfiyat tersendiri (dan dianggap‬‬
‫‪itu bagian dari perintah syara’) semisal shalat 100 rakaat dimalam nishfu‬‬
‫‪Sya’ban[13]. Adapun kalau shalat mutlaq, walau banyak rakaatnya tak‬‬
‫‪terhitung dan ternyata sampai 100 rakaat (karena memang tidak harus‬‬
‫‪diingat sudah berapa rakaat ia shalat)[14] maka masuk kepada‬‬
‫‪keumuman shalat sunnah yang boleh dilakukan kapan saja, kecuali di‬‬
‫‪waktu yg diharamkan shalat. Allahu A’lam.‬‬

‫ارون أ ْخبرنا ْالح َّجا ُج ب ُْن أ ْرطاة ع ْن ي ْحيى ب ِْن أ ِبي ]‪[1‬‬
‫حدَّثنا أ ْحمد ُ ب ُْن م ِنيع حدَّثنا ي ِزيد ُ ب ُْن ه ُ‬
‫ع ْروة ع ْن عا ِئشة قال ْ‬
‫ت‬ ‫ك ِثير ع ْن ُ‬
‫ت تخافِين أ ْن‬ ‫يع فقال أ ُك ْن ِ‬ ‫ْ‬ ‫ً‬ ‫َّ‬ ‫َّللاِ صلَّى َّ‬
‫َّللاُ عل ْي ِه وسلم ليْلة فخر ْجتُ فإِذا ُهو بِالب ِق ِ‬ ‫سول َّ‬ ‫فقدْتُ ر ُ‬
‫َّللا ع َّز‬
‫َّللاِ ِإنِي ظن ْنتُ أنَّك أتيْت ب ْعض ِنسائِك فقال ِإ َّن َّ‬ ‫سول َّ‬ ‫سولُهُ قُ ْلتُ يا ر ُ‬ ‫ي ِحيف َّ‬
‫َّللاُ عل ْي ِك ور ُ‬
‫اء الدُّ ْنيا في ْغ ِف ُر ِْل ْكثر ِم ْن عد ِد ش ْع ِر غن ِم ك ْلب‬ ‫ف ِم ْن ش ْعبان إِلى ال َّ‬
‫سم ِ‬ ‫وج َّل ي ْن ِز ُل ليْلة النِ ْ‬
‫ص ِ‬
‫ِيث عائِشة َّل ن ْع ِرفُهُ ِإ ََّّل ِم ْن هذا ْالو ْج ِه‬
‫ق قال أبُو ِعيسى حد ُ‬ ‫الصدِي ِ‬‫وفِي ْالباب ع ْن أ ِبي بكر ِ‬
‫ف هذا ْالحدِيث و قال ي ْحيى ب ُْن أ ِبي ك ِثير ل ْم يسْم ْع ِم ْن‬ ‫ث ْالح َّجاجِ و س ِم ْعت ُمح َّمدًا يُض ِع ُ‬
‫ِم ْن حدِي ِ‬
‫ع ْروة و ْالح َّجا ُج ب ُْن أ ْرطاة ل ْم يسْم ْع ِم ْن ي ْحيى ب ِْن أ ِبي ك ِثير‬
‫ُ‬
‫أخرجه الترمذي )‪ (143 / 1‬وابن ماجه )‪(1389‬والاللكائي )‪ (2 / 101 / 1‬وأحمد )‪[2] / 6‬‬
‫وعبد بن حميد في ” المنتخب من المسند ” )‪ – 1 / 194‬مصورة المكتب( وفيه قصة )‪238‬‬
‫عائشة في فقدها النبي صلى هللا عليه وسلم ذات ليلة‪ .‬ورجاله ثقات لكن حجاج وهو ابن أرطأة‬
‫مدلس وقد عنعنه‪ ،‬وقال الترمذي ” وسمعت محمد )يعني البخاري( ‪ :‬يضعف هذا الحديث‬
‫وجملة القول أن الحديث بمجموع هذه الطرق صحيح بال ريب والصحة تثبت بأقل منها عددا ‪“.‬‬
‫… ‪،‬ما دامت سالمة من الضعف الشديد كما هو الشأن في هذا الحديث‬

‫حديث صحيح‪ ،‬روي عن جماعة من الصحابة من طرق مختلفة يشد بعضها بعضا وهم ]‪[3‬‬
‫معاذ ابن جبل وأبو ثعلبة الخشني وعبد هللا بن عمرو وأبي موسى اْلشعري وأبي هريرة وأبي‬
‫‪.‬بكر الصديق وعوف ابن مالك وعائشة‬
‫‪[4] Juz 2 Hal. 136 dst, Maktabah Syamilah‬‬

‫أخرج أحمد عن عبد هللا بن عمرو أن رسول هللا عليه السالم قال‪) :‬يطلع هللا عز وجل إلى ]‪[5‬‬
‫خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لعباده إَّل َّلثنين‪ :‬مشاحن وقاتل نفس( ‪ ،‬مسند أحمد )‪/ 2‬‬
‫ورجاله ثقات إَّل أن فيه ابن لهيعة تكلم فيه بعضهم‪ .‬انظر‪ :‬ترجمته )‪176( ، ، (262 / 1‬‬
‫ضا والترمذي عن عائشة في حديث ذكرت فيه أن النبي عليه السالم قال‪) :‬إن هللا‬
‫وأخرج أحمد أي ً‬
‫عز وجل ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا فيغفر ْلكثر من عدد شعر غنم كلب( ‪،‬‬
‫مسند أحمد )‪ ، ( 238 / 6‬وسنن الترمذي‪ ،‬كتاب الصوم‪ ،‬باب ما جاء في ليلة النصف من‬
‫شعبان‪ ،‬الحديث رقم )‪116 / 3) ، (739‬ـ ‪ ، (117‬وأشار الترمذي إلى تضعيفه‪ .‬وكذلك أخرجه‬
‫ابن ماجه‪ .‬انظر‪ :‬الحديث رقم )‪ ، (1389‬وذكره السيوطي في الجامع الصغير )‪، (297 / 1‬‬
‫حديث رقم )‪ ، ( 1942‬وقال‪) :‬حديث حسن( ‪ .‬وأشار الشوكاني في الفوائد المجموعة إلى حديث‬
‫‪ .‬عائشة هذا وقال‪) :‬فيه ضعف وانقطاع( ‪ ،‬الفوائد المجموعة )ص‪(51‬‬

‫الصالة اْللفية هي التي يزعمون أنه ورد الفضل بقراءة ” قُ ْل ُهو َّ‬
‫َّللاُ أحد ٌ ” فيها ألف مرة‪[6] .‬‬
‫‪ (2 / 58، 59) .‬انظر‪ :‬الآللئ المصنوعة‬

‫البحر الرائق ‪ ،56 / 2‬وحاشية ابن عابدين ‪ 460 / 1‬ومراقي الفالح ص ‪ ،219‬وشرح ]‪[7‬‬
‫اإلحياء للزبيدي ‪ ،425 / 3‬ومواهب الجليل ‪ ،74 / 1‬والخرشي ‪ ،366 / 1‬والفروع ‪440 / 1‬‬

‫إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين ‪[8] 423 / 3‬‬

‫إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين ‪[9] 423 / 3‬‬

‫مواهب الجليل ‪ 74 / 1‬دار الفكر بيروت( والخرشي ‪[10] 366 / 1‬‬

‫مراقي الفالح ص ‪[11] 220 – 219‬‬

‫‪[12] ‘Ulama terkemuka madzhab Syafi’I, wafat 676 H‬‬

‫صالة ُ ْالم ْع ُروفةُ بصالة الرغائب وهي ثنتى ع ْشرة ر ْكعةً ‪[13] Lihat Al Majmu’ 4/56:‬‬ ‫ال َّ‬
‫ُ‬
‫ف ش ْعبان ِمائة ر ْكعة‬ ‫ص ِ‬ ‫اء ليْلة أ َّو ِل ُج ُمعة فِي رجب وصالة ُ ليْل ِة نِ ْ‬ ‫ْ‬
‫ب وال ِعش ِ‬ ‫ْ‬
‫تُصلى بيْن الم ْغ ِر ِ‬ ‫َّ‬
‫ت ْالقُلُو ِ‬
‫ب‬ ‫ب قُو ِ‬ ‫ان وَّل يُ ْغت ُّر بِذك ِر ِهما فِي ِكتا ِ‬ ‫ان ق ِبيحت ِ‬‫ان و ُم ْنكر ِ‬ ‫ان بِدْعت ِ‬‫صالت ِ‬ ‫ان ال َّ‬ ‫وهات ِ‬
‫ض م ْن‬ ‫اط ٌل وَّل يُ ْغت ُّر ِبب ْع ِ‬ ‫ث ْالم ْذ ُك ِ‬
‫ور ِفي ِهما فإ ِ َّن ُك َّل ذ ِلك ب ِ‬ ‫ِين وَّل ِب ْالحدِي ِ‬‫وم الد ِ‬ ‫عل ُ ِ‬
‫اء ُ‬
‫و ِإ ْحي ِ‬
‫ا ْشتبه عل ْي ِه ُح ْك ُم ُهما ِم ْن ْاْل ِئ َّم ِة‬

‫‪[14] Imam Baihaqi meriwayatkan dengan isnadnya, “bahwa Abu Dzar‬‬


‫‪ra. melakukan sholat (sunnah) dengan raka’at yang banyak, dan setelah‬‬
salam ditegur oleh Ahnaf bin Qais ra., katanya: ‘Tahukah anda bilangan
raka’at dalam sholat tadi, apakah genap atau ganjil’? Ia (Abu Dzar)
menjawab: ‘Jikalau saya tidak mengetahui berapa jumlah raka’atnya,
maka cukuplah Allah mengetahuinya’, sebab saya pernah mendengar
kekasihku Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.) bersabda , sampai disini
Abu Dzar menangis, kemudian di lanjutkan pembicaraannya; Saya
mendengar kekasihku Abul Qasim bersabda: ‘Tiada seseorang hamba
pun yang bersujud kepada Allah satu kali, melainkan diangkatlah ia oleh
Allah sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa’ ”. (Menurut al-
Albani dalam kitabnya Tamamul Minnah bahwa hadits ini ada dalam
shohih al-Baihaqi dan di dalamnya tidak ada perawi yang diperselisih-
kan, begitu juga imam Ahmad telah meriwayatkan hadits ini)

Tawassul (Mencari Perantara/Wasilah Kepada Allah)


dalam Berdo’a

َ ‫سيلَةَ َو َجا ِهدُوا فِي‬


َ ‫س ِبي ِل ِه َلعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح‬
‫ون‬ ِ ‫َّللاَ َوا ْبتَغُوا إِلَ ْي ِه ا ْل َو‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذ‬
َّ ‫ِين آ َمنُوا اتَّقُوا‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-
Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maa-idah 35)

Wasilah dalam ayat ini bermakna ‫ =( ما يُق ِرب ُك ْم إل ْي ِه ِم ْن طاعته‬apa-apa yang


mendekatkan dirimu kepada-Nya dengan jalan taat)[1]

Tawassul Yang Tidak Ada Pertentangan Kebolehannya:

1. Tawassul dengan Nama-Nama Agung Allah – (QS al-A’raf: 180)


2. Tawassul melalui Amal Saleh

3. Tawassul melalui do’a Rasulullah dan doa saudara mukmin yang


masih hidup.

4. Tawassul dengan minta do’a Rasulullah (syafa’at) pada hari kiamat

Tawassul Yang Dipertentangkan Kebolehannya:

1. Tawassul melalui Dzat (Diri) Para Nabi dan Hamba Saleh Setelah
wafatnya

2. Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Saleh

Beberapa Landasan Yg Difahami Berbeda

1. Tawassul Kepada Rasul Saat Masih Hidup: Dari Utsman bin


Hunaif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki
yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu
mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia
(Allah) menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau
menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik.
Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)”.
Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”.
Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian
ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian
ia membaca do’a berikut:

‫ ِإنِي ت َ َو َّجهْتُ ِبكَ ِإ َلى َر ِبي فِي‬،‫الرحْ َم ِة‬ َّ ِ ‫سأَلُكَ َوأَت َ َو َّجهُ ِإ َل ْيكَ ِبنَ ِب ِيكَ ُم َح َّم ٍّد نَ ِبي‬
ْ َ ‫اللَّ ُه َّم ِإنِي أ‬
‫ اللَّ ُه َّم فَش َِف ْعهُ فِ َّي‬،‫ضى ِل َي‬
َ ‫َحا َجتِي َه ِذ ِه ِلت ُ ْق‬

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap


kepada-Mu dengan (perantaraan) nabi –Mu Muhammad, Nabi yang
penuh rahmat, ( Ya Muhammad) sesungguhnya aku telah datang
menghadap Tuhankudengan (perantaraan) engkau untuk meminta hajat-
ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya
untukku
[HR. at-Tirmidzi (no.3578), an-Nasa’i (no. 10495), Ibnu Majah (no.
1385), Ahmad (no. 16789), al-Hakim (1/313)]. At Tirmidzi menyatakan
hadits ini hasan shahih, Al Hakim menyatakanhadits ini shahih menurut
syarat Bukhory dan Muslim. Al A’dzomy menyatakan sanadnya shahih
dalam Ta’liq Shahih Ibnu Khuzaimah, Adz Dzahabi mensahihkannya,
Al Albani menyatakan hasan shahih dalam Misykâtul Mashâbîh]

2. Tawassul Kepada Orang Shaleh: Khalifah Umar bin Khattab


pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin
Abdul Muththalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:

ْ ُ‫ فَي‬:‫ قَا َل‬، ‫س ِقنَا‬


‫سقَ ْو َن‬ ْ ‫س ُل إِلَ ْيكَ بِعَ ِم َنبِيِنَا فَا‬ ْ َ ‫س ُل إِلَ ْيكَ بِنَبِيِنَا فَت‬
َّ ‫ َو ِإنَّا َنت َ َو‬،‫س ِقينَا‬ َّ ‫اللَّ ُه َّم إِنَّا ُكنَّا نَت َ َو‬
Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas
Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui
paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka
mereka diberi hujan. (HR. Bukhari 2/27)

3. Tawassul Kepada Rasul Setelah Beliau Wafat: Suatu saat seorang


lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar
memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya
dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Lalu lelaki itu pergi dan
ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang
dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif
mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian
pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka
katakanlah:

‫اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي‬
‫فتقضي لي حاجتي‬

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap


kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi kami Muhammad, Nabi
pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku
kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku
…. [HR. Ahmad ( 4/138), at-Tirmidzi (5/569), Ibnu Majah (1/441), Al
Hakim dalam Al Mustadrak (1/313) dia mengatakan hadis ini sanadnya
ِ ‫ت ْن ِبيهُ اله‬
sahih, dan disepakati oleh adz Dzahaby lihat ‫اج ْد إلى ما وقع ِمن النَّظ ِر‬
‫اج ِد‬ ِ ُ ‫( فى ُكت‬2/28)]
ِ ‫ب اْلم‬
Sedangkan yang tidak menggunakan tawassul kepada diri (dzat)
orang yang sudah meninggal dalam berdo’a, memahami lafadz ‫ِإنِي‬
‫( أسْألُك وأتو َّجهُ إِليْك بِنبِيِك‬sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan
menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) nabi –Mu) dan yang
semakna dalam hadits-hadits tersebut dengan takwilan:

‫سأَلُك ِب ِإي َمانِي ِب ِه َو ِب َم َحبَّتِ ِه‬


ْ َ ‫إِنِي أ‬
Sesungguhnya aku memohon kepada Engkau dengan (perantaraan)
imanku kepadanya dan kecintaanku kepadanya (Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah, 14/156). Sehingga mereka menolak dikatakan bertawassul
dengan dzat/diri Nabi setelah meninggal. Namun hal ini dibantah oleh
orang yang bertawassul kepada diri (dzat) orang yang sudah meninggal
dalam berdo’a dengan menyatakan bahwa: bertawassul kepada diri
(dzat) orang yang sudah meninggal pada dasarnya adalah karena
kecintaan mereka kepada orang yang sudah meninggal tersebut, dan
kecintaan ini adalah termasuk amal dari orang yang bertawassul,
sehingga masih termasuk dalam kategori bertawassul dengan amal
shalih sendiri[2]. Sehingga tidak ada bedanya menyatakan ُ‫ِإنِي أسْألُك وأتو َّجه‬
‫ إِليْك ِبن ِبيِك‬maupun ‫إِنِي أسْألُك بِإِيما ِني بِ ِه وبِمحبَّتِ ِه‬. Lebih lanjut, yang
membolehkan tawassul memberikan beberapa catatan, antara lain[3]:

a. Tawassul adalah salahsatu cara berdo’a, dan yang dituju asalnya


(hakikatnya) adalah Allah SWT, mengingkari hal ini berarti telah
musyrik.

b. Tidak boleh bertawassul kepada suatu wasilah kecuali karena


kecintaan kepada yg dia bertawassul dengannya dan kepercayaan bahwa
Allah mencintai orang yang jadi wasilah tersebut, walaupun dalam hal
ini memang ada ikhtilaf, dan sebagian sangat tidak menyukai hal ini.
c. Orang yang bertawassul jika ia mengi’tikadkan bahwa yang dia
jadikan wasilah mampu memberikan manfa’at atau mudlorot sendiri
maka telah musyrik.

d. Tawassul bukanlah perkara yang esensial dan penting, dan tidaklah


pengabulan do’a bergantung dengannya, bahkan hukum asal berdo’a
adalah langsung kepada Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam
surat Al Baqarah: [4]

ٌ ‫سأ َ َلكَ ِع َبادِي ع َِني َف ِإ ِني قَ ِر‬


‫يب‬ َ ‫َو ِإذَا‬
Dan jika hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku adalah dekat.

Kesimpulan

Ada Ikhtilaf mengenai tawassul dg orang yang sudah mati,


ringkasnya[5]:

a. Mayoritas Ahli Fiqh (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah yang


akhir, dan Hanabilah) membolehkan tawassul dg nabi saw, baik saat
beliau hidup maupun sesudah beliau wafat[6]. Al Qashtalani
meriwayatkan bahwa Imam Malik membolehkan juga, ketika ditanya
kemana menghadap saat berdo’a, ke kiblat atau ke kubur Rasulullah
SAW? Maka Imam Malik menjawab:

ِ َّ ‫س َل ُم ِإ َلى‬
‫َّللا ع ََّز َو َجل َي ْو َم‬ َ ‫سيلَةُ أ َ ِبيك آ َد َم‬
َّ ‫ع َل ْي ِه ال‬ ِ ‫سيلَتُك َو َو‬
ِ ‫ع ْنهُ َو ُه َو َو‬ ْ ‫َو ِل َم تَص ِْر‬
َ ‫ف َوجْ َهك‬
َّ ُ‫ش ِف ْع بِ ِه فَيُش َِفعُه‬
ُ‫َّللا‬ ْ ‫ستَ ْقبِ ْلهُ َوا‬
ْ َ ‫ست‬ ْ ‫ا ْل ِقيَا َم ِة؟ بَل ا‬
Mengapa (harus) engkau palingkan wajahmu darinya, sedangkan dia
adalah wasilahmu dan wasilah Adam bapakmu kepada Allah SWT pada
hari kiamat? Akan tetapi menghadaplah kepadanya (kubur Nabi), dan
mintalah dengannya (wasilah nabi saw, yakni wasilah kecintaan kepada
nabi saw) maka Allah akan menolong engkau[7]. Dan Imam Nawawi
juga berpandangan seperti ini[8].
b. Sebagian ulama Hanafiyyah, semisal Abu Yusuf memandang
tawassul dengan ucapan ‫س ِلك‬
ُ ‫ق ُر‬
ِ ‫( بِح‬demi kebenaran Rasul-Mu) dan
ungkapan semisalnya, hukumnya makruh.

c. Ibnu Taymiyyah dan sebagian kalangan akhir madzhab Hanbali


menyatakan tidak boleh bertawassul dengan dzat nabi SAW. Akan tetapi
Ibnu Taymiyyah membolehkan jika dihadirkan makna tawassul dengan
keimanan dan kecintaan kepada nabi[9], dalam titik ini seharusnya
pendapat mereka bisa bertemu walaupun mungkin beda pengungkapan.

d. Adapun tawassul dengan selain nabi, pembahasannya sama dengan


diatas.

Saya menulis artikel ini bukan bermaksud ikut campur dalam perdebatan
sengit di beberapa blog, namun saya berharap baik yang pro maupun
yang kontra bisa melihat permasalahan umat yang jauh lebih besar yang
seharusnya mereka ikut berjibaku mengatasinya. Adapun ikhtilaf dalam
masalah ini tidak cukup untuk menganggap orang yang berbeda
pendapat telah keluar dari Islam, atau saling serang dengan predikat
telah musyrik, kafir atau sesat. Allahu Ta’ala A’lam.
[https://mtaufiknt.wordpress.com]

[1] Tafsir Jalalain, Tafsir Rûhul Ma’âniy, dan tafsir Al Qasimy

[2] Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, Mafâhim Yajibu An


Tushahhah, bab Mafhûmut Tawassul, (kitab ini memang juga dibantah
oleh kitab lain yang menentang tawassul, namun masalah ikhtilaf
walaupun sampai nanti juga senantiasa ada bantahan dan bantahan balik,
tidak akan ada habisnya)

[3] Diringkas dari Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, Mafâhim


Yajibu An Tushahhah, bab Mafhûmut Tawassul

[4] ‫أن التوسل ليس أمرا ً َّلزما ً أو ضروريا ً وليست اإلجابة متوقفة عليه بل اْلصل دعاء هللا‬
ٌ ‫ {و ِإذا سألك ِعبادِي عنِي فإ ِ ِني ق ِر‬:‫ كما قال تعالى‬،ً‫تعالى مطلقا‬
‫يب‬
‫‪[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 14/157 dst‬‬

‫شرح المواهب ‪ ،304 / 8‬والمجموع ‪ 274 / 8‬والمدخل ‪ 248 / 1‬وما بعدها‪ ،‬وابن عابدين ]‪[6‬‬
‫والفتاوى الهندية ‪ ،318 / 5 ،266 / 1‬وفتح القدير ‪ ،498 – 497 / 8‬والفتوحات ‪5 / 254،‬‬
‫الربانية على اْلذكار النووية ‪36 / 5‬‬

‫ي ب ُْن فِ ْهر فِي ِكتابِ ِه " فضائِل ما ِلك " بِإِسْناد َّل بأْس ]‪[7‬‬ ‫صة أبُو ْالحس ِن ع ِل ُّ‬
‫وق ْد روى ه ِذ ِه ْال ِق َّ‬
‫شيُوخ ِعدَّة ِم ْن ثِقا ِ‬
‫ت مشا ِي ِخ ِه‬ ‫اء ِم ْن ط ِري ِق ِه ع ْن ُ‬
‫الشف ِ‬
‫اض فِي ِ‬
‫اضي ِعي ٌ‬ ‫ِب ِه وأ ْخرجها ْالق ِ‬
‫الزائِ ُر ِإلى ]‪[8‬‬ ‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم‪ :‬ث ُ َّم ي ْر ِج ُع َّ‬
‫ب ِزيارةِ قب ِْر النَّ ِبي ِ صلَّى َّ‬‫ان آدا ِ‬ ‫وقال النَّو ِو ُّ‬
‫ي فِي بي ِ‬
‫سل بِ ِه ويسْت ْش ِف ُع بِ ِه إِلى ربِ ِه‬ ‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم فيتو َّ‬
‫َّللاِ صلَّى َّ‬
‫سول َّ‬ ‫‪،‬م ْوقِف قُبالة و ْج ِه ر ُ‬
‫ير ]‪[9‬‬ ‫وز ِإذا كان على ت ْق ِد ِ‬ ‫سل ِبل ْف ِظ " أسْألُك ِبن ِب ِيك ُمح َّمد " ي ُج ُ‬ ‫وي ْذه ُ‬
‫ب اب ُْن تي ِْميَّة ِإلى أ َّن التَّو ُّ‬
‫ان بِ ِه ومحبَّتِ ِه وطاعتِ ِه على‬ ‫سل بِا ْ‬
‫إل ِِيم ِ‬ ‫ُمضاف‪ ،‬فيقُول فِي ذ ِلك‪ :‬فإ ِ ْن قِيل‪ :‬إِذا كان التَّو ُّ‬
‫سل ِبذ ِلك فِي‬ ‫َّللاِ وجنَّتِ ِه )وهذا أعْظ ُم ْالوسا ِئل( وتارة ً يتو َّ‬ ‫ب َّ‬ ‫سل ِبذ ِلك ِإلى ثوا ِ‬ ‫و ْجه ْي ِن‪ :‬تارة ً يتو َّ‬
‫اء – كما ذك ْرت ُ ْم نظائِرهُ – في ُْحمل ق ْول ْالقائِل‪ :‬أسْألُك بِنبِيِك ُمح َّمد على أنَّهُ أراد‪ :‬إِنِي أسْألُك‬ ‫الدُّع ِ‬
‫سل ِإليْك ِبإِيما ِني ِب ِه ومحبَّ ِت ِه ون ْح ِو ذ ِلك‪ ،‬وق ْد ذك ْرت ُ ْم أ َّن هذا جا ِئ ٌز‬ ‫ِبإِيما ِني ِب ِه و ِبمحبَّ ِت ِه‪ ،‬وأتو َّ‬
‫يب فِي ذ ِلك ِبال ِنزاع‪ ،‬و ِإذا ُح ِمل على هذا ْالم ْعنى‬ ‫ص ٌ‬ ‫ِبال نِزاع‪ .‬قِيل‪ :‬م ْن أراد هذا ْالم ْعنى ف ُهو ُم ِ‬
‫ض‬ ‫ف‪ ،‬كما نُ ِقل ع ْن ب ْع ِ‬ ‫سل ِ‬ ‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم ب ْعد مماتِ ِه ِمن ال َّ‬ ‫سل بِالنَّ ِبي ِ صلَّى َّ‬ ‫ِلكال ِم م ْن تو َّ‬
‫ون فِي ْالمسْأل ِة‬ ‫إل ِِم ِام أ ْحمد وغي ِْرهِ‪ ،‬كان هذا حسنًا‪ ،‬و ِحينئِذ فال ي ُك ُ‬ ‫صحاب ِة والتَّا ِب ِعين‪ ،‬وع ْن ا ْ‬ ‫ال َّ‬
‫ُط ِلقُون هذا اللَّ ْفظ‪ ،‬وَّل ي ُِريدُون هذا ْالم ْعنى‬ ‫ير ِمن ْالع َّو ِام ي ْ‬
‫نِزاعٌ‪ ،‬ول ِك ْن ك ِث ٌ‬
‫‪Benarkah Nabi Muhammad‬‬ ‫‪SAW‬‬ ‫‪Lahir‬‬ ‫‪Dalam‬‬ ‫‪Keadaan‬‬
‫?‪Dikhitan/Disunat‬‬

‫‪Berikut penjelasan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah (wafat 751 H) dalam‬‬


‫‪kitab Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil Maulud hal 201 dst. Intinya:‬‬

‫‪Ada perbedaan pendapat tentang waktu khitannya Nabi Muhammad‬‬


‫‪SAW: 1) Lahir dalam keadaan sudah disunat. 2) Dikhitan oleh malaikat‬‬
‫‪Jibril saat ia membelah dadanya. 3) Disunat oleh kakeknya, yaitu Abdul‬‬
‫‪Muttaalib sesuai tradisi orang-orang Arab‬‬

‫‪Dalam kitab tersebut beliau menyampaikan banyak hadits bahwa nabi‬‬


‫‪lahir dalam keadaan disunat, namun semua riwayat tersebut lemah.‬‬
‫‪Tentang pendapat bahwa Jibril yang mengkhitan, Ibnu Qayyim juga‬‬
‫‪menjelaskan bahwa hadits-hadits shahih tentang kisah pembelahan dada‬‬
‫‪Nabi tidak satupun menceritakan tentang sunat. Semua hadits yang‬‬
‫‪meriwayatkan Jibril mengkhitan Nabi adalah syadz dan ghariib (aneh).‬‬

‫‪Pendapat yang paling cenderung benar dan sesuai realitas adalah‬‬


‫‪pendapat ketiga, bahwa Nabi dikhitan oleh kakeknya, Abdul Muttaalib‬‬
‫‪saat berusia 7 hari, sebagaimana kebiasaan orang-orang Arab di zaman‬‬
‫‪itu.‬‬

‫‪Namun perbedaan dalam hal ini jangan sampai disikapi berlebihan, dan‬‬
‫‪bukan problem utama umat yang harus sibuk berdebat gara-gara hal ini.‬‬
‫‪Allahu Ta’ala A’lam.‬‬

‫‪Baca keterangan aslinya:‬‬

‫ا ْلفَصْل الثَّا ِلث عشر ِفي ختان النَّ ِبي صلى هللا َ‬
‫علَ ْي ِه َوسلم‬

‫صدره‬ ‫اختلف فِي ِه على أ َ ْق َوال أَحد َها أَنه ولد مختونا َوالثَّانِي أَن ِج ْب ِريل ختنه ِحين شق َ‬ ‫َوقد ْ‬
‫الث َّا ِلث أَن جده عبد ا ْلمطلب ختنه على عَادَة ا ْلعَ َرب فِي ختان أ َ ْو ََلدهم َونحن ن ْذكر قائلي َهذِه‬
‫ْاأل َ ْق َوال وحججهم فَأَما من قَا َل ولد مختونا فاحتجوا بِأ َ َحادِيث أَحد َها َما َر َواهُ أَبُو عمر بن عبد‬
‫علَ ْي ِه َوسلم ولد مختونا من َحدِيث عبد هللا بن‬ ‫ي أَن النَّ ِبي صلى هللا َ‬ ‫ا ْلبر فَقَا َل َوقد ُر ِو َ‬
‫علَ ْي ِه َوسلم مختونا‬ ‫سول هللا صلى هللا َ‬ ‫عبَّاس عَن أ َ ِبيه ا ْلعَبَّاس بن عبد ا ْلمطلب قَا َل ولد َر ُ‬ ‫َ‬
‫س َّرة فأعجب ذَ ِلك جده عبد ا ْلمطلب َوقَا َل لَ َيكُونن َِل ْبني َهذَا شَأْن‬ ‫طوع ال ُّ‬ ‫س ُرورا يَ ْعنِي َم ْق ُ‬
‫َم ْ‬
‫ُ‬
‫ي َم ْوقوفا على‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫سنَاد َحدِيث ا ْلعَبَّاس َهذا بالقائم قا َل َوقد ُر ِو َ‬ ‫س ِإ ْ‬ ‫َ‬
‫ع َِظيم ث َّم قا َل ا ْبن عبد ا ْلبر لَ ْي َ‬
‫ط ِريق أبي نعيم َحدثنَا أَبُو ا ْلحسن‬ ‫ا ْبن عمر َو ََل يثبت أ َ ْيضا قلت َحدِيث ا ْبن عمر روينَاهُ من َ‬
‫سلَ ْي َمان َحدثنَا عبد َّ‬
‫الرحْ َمن ا ْبن‬ ‫أَحْ مد ا ْبن ُم َح َّمد بن َخا ِلد ا ْل َخ ِطيب َحدثنَا ُم َح َّمد بن ُم َح َّمد بن ُ‬
‫سل َمة عَن نَافِع عَن ا ْبن‬ ‫سي َحدثنَا َخا ِلد بن َ‬ ‫سى ا ْل َم ْق ِد ِ‬ ‫سى بن أبي ُمو َ‬ ‫مصي َحدث َنا ُمو َ‬ ‫أَيُّوب ا ْل ِح ِ‬
‫سلَ ْي َمان َهذَا ُه َو‬‫س ُرورا مختونا َولَ ِكن ُم َح َّمد بن ُ‬ ‫عمر قَا َل ولد النَّبِي صلى هللا َ‬
‫علَ ْي ِه َوسلم َم ْ‬
‫َان كثير الت َّ ْد ِليس يحدث ِب َما لم يسمع َو ُرب َما سرق‬ ‫ضعَّفُوهُ َوقَا َل الد َ‬
‫َّارقُ ْطنِي ك َ‬ ‫الباغندي َوقد َ‬
‫ال َحدِيث‬

‫يصي َحدثنَا هشيم عَن‬ ‫المص ِ‬


‫ِ‬ ‫س ْفيَان بن ُم َح َّمد‬ ‫َو ِم ْن َها َما َر َواهُ ا ْل َخ ِطيب بِ ِإ ْ‬
‫سنَا ِد ِه من َحدِيث ُ‬
‫علَ ْي ِه َوسلم من‬
‫سول هللا صلى هللا َ‬ ‫يُونُس بن عبيد عَن ا ْلحسن عَن أنس بن َمالك قَا َل قَا َل َر ُ‬
‫ك ََرا َمتِي على هللا أَنِي ولدت مختونا َولم ير سوءتي أحد قَا َل ا ْل َخ ِطيب لم يروه فِي َما يُقَال‬
‫يصي َو ُه َو ُمنكر ال َحدِيث‬
‫المص ِ‬
‫ِ‬ ‫س ْف َيان بن ُم َح َّمد‬‫غير يُونُس عَن هشيم َوتفرد بِ ِه ُ‬
‫يصي‬ ‫المص ِ‬
‫ِ‬ ‫س ْفيَان ا ْبن ُم َح َّمد‬ ‫َّارقُ ْطنِي عَن ُ‬
‫سئِ َل الد َ‬ ‫قَا َل ا ْل َخ ِطيب أ َ ْخبرنِي ْاأل َ ْز َه ِري َقا َل ُ‬
‫س ْفيَان بن‬ ‫َّارقُ ْطنِي شيخ ألهل المصيصة يُقَال لَهُ ُ‬ ‫طبَ ِري قَا َل قَا َل لنا الد َ‬ ‫َوأ َ ْخبرنِي أَبُو الطيب ال َّ‬
‫س ْف َيان بن ُم َح َّمد‬ ‫صالح بن ُم َح َّمد ا ْل َحا ِفظ ُ‬ ‫ض ِعيفا سيء ا ْل َحال َوقَا َل َ‬ ‫َان َ‬ ‫ُم َح َّمد ا ْلفَ ِ‬
‫زاري ك َ‬
‫ط ِريق ا ْلحسن بن ع ََرفَة َحدثنَا‬ ‫سا ِكر من َ‬
‫ع َ‬‫سم بن َ‬ ‫يصي ََل ش َْيء َوقد َر َواهُ أَبُو ا ْلقَا ِ‬ ‫المص ِ‬
‫ِ‬
‫ع َل ْي ِه َوسلم من ك ََرا َمتِي‬‫سول هللا صلى هللا َ‬ ‫هشيم عَن يُونُس عَن ا ْلحسن عَن أنس قَا َل قَا َل َر ُ‬
‫سنَاده ِإلَى ا ْلحسن بن‬ ‫على َر ِبي عز َوجل أ َ ِني ولدت مختونا لم ير أحد سوءتي َوفِي ِإ ْ‬
‫ع ََرفَة عدَّة َم َجا ِهيل‬

‫ارود َو ُه َو َكذَّاب فَ َر َواهُ عَن ا ْلحسن بن ع ََرفَة َو ِم َّما‬ ‫سرقه ا ْبن ا ْل َج ُ‬


‫سا ِكر َوقد َ‬‫ع َ‬ ‫سم بن َ‬ ‫قَا َل أَبُو ا ْل َقا ِ‬
‫احْ تج ِب ِه أ َ ْربَاب َهذَا ال َق ْول َما ذكره ُم َح َّمد ا ْبن عَلي التِ ْر ِمذِي فِي معجزات النَّبِي صلى هللا‬
‫ص ِفيَّة بنت عبد ا ْلمطلب قَا َلت أردْت أَن أعرف أذكر ُه َو أم أ ُ ْنثَى‬ ‫علَ ْي ِه َوسلم فَقَا َل َو ِم ْن َها أَن َ‬ ‫َ‬
‫سم عمر بن‬ ‫سنَاد يعرف بِ ِه َوقد قَا َل أَبُو ا ْلقَا ِ‬ ‫س َلهُ إِ ْ‬ ‫فرأيته مختونا َو َهذَا ال َحدِيث ََل يثبت َولَ ْي َ‬
‫ع َل ْي ِه َوسلم‬ ‫سول صلى هللا َ‬ ‫أبي ا ْلحسن بن هبة هللا بن أبي َج َرادَة ِفي كتاب صنفه ِفي ختان َّ‬
‫الر ُ‬
‫علَ ْي ِه َوسلم‬ ‫سول هللا صلى هللا َ‬ ‫يرد ِب ِه على ُم َح َّمد بن َط ْل َحة فِي تصنيف صنفه َوقرر فِي ِه أَن َر ُ‬
‫ولد مختونا َو َهذَا ُم َح َّمد بن عَلي التِ ْر ِمذِي ا ْل َح ِكيم لم يكن من أهل ال َحدِيث َو ََل علم لَهُ بِطرقِ ِه‬
‫صوفِيَّة والطرائق َودَعوى ا ْل َكشْف على‬ ‫َان فِي ِه ا ْلك ََلم على إشارات ال ُّ‬ ‫وصناعته َو ِإنَّ َما ك َ‬
‫ستحق الط ْعن‬ ‫ْاأل ُ ُمور الغامضة والحقائق َحتَّى خرج فِي ا ْلك ََلم على ذَ ِلك عَن قَا ِعدَة ا ْلفُقَ َهاء َوا ْ‬
‫ِيرة المرضية‬ ‫علَ ْي ِه أَ ِئ َّمة ا ْلفُقَ َهاء والصوفية وأخرجوه بذلك عَن الس َ‬ ‫علَ ْي ِه بذلك واْلزراء َوطعن َ‬ ‫َ‬
‫َوقَالُوا إِنَّه أَدخل فِي علم الش َِّريعَة َما فَارق ِب ِه ا ْل َج َماعَة فاستوجب بذلك ا ْلقدح والشناعة ومأل‬
‫كتبه باألحاديث ا ْل َم ْوضُوعَة وحشاها باألخبار الَّتِي لَيست بمروية َو ََل مسموعة َوعلل فِي َها‬
‫َخ ِفي ْاأل ُ ُمور الش َّْر ِعيَّة الَّ ِتي ََل يعقل َم ْعنَا َها بعلل َما أضعفها َو َما أوهاها‬

‫سهْو‬ ‫سجْ دَتي ال َّ‬ ‫ص َلة يُصلي َها َ‬‫سجد عقب كل َ‬ ‫اط أَن ي ْ‬ ‫َو ِم َّما ذكره فِي كتاب َلهُ وسمه ِب ِاَلحْ تِيَ ِ‬
‫سوب إِلَى الغلو واَلبتداع َو َما‬ ‫س َها فِي َها َو َهذَا ِم َّما ََل يجوز فعله ِب ْ ِ‬
‫اْلجْ َماع وفاعله َم ْن ُ‬ ‫َوإِن لم يكن َ‬
‫ص ِفيَّة بقو ِل َها فرأيته مختونا يُنَاقض ْاأل َ َحادِيث ْاأل ُ َخر َو ُه َو قَ ْوله لم ير سوءتي أحد‬ ‫َحكَاهُ عَن َ‬
‫س من‬ ‫احد ِم ْن َها َولَو ولد مختونا فَ َل ْي َ‬‫فَكل َحدِيث فِي َهذَا ا ْلبَاب يُ َناقض اآلخر َو ََل يثبت َو ِ‬
‫ع َل ْي ِه َوسلم فَ ِإن كثيرا من النَّاس يُولد غير ُمحْ تَاج إِلَى ا ْل ِختَان‬ ‫صائِصه صلى هللا َ‬ ‫َخ َ‬

‫اضي أَبَا ُم َح َّمد ا ْلحسن ا ْبن ُم َح َّمد بن ا ْلحسن‬ ‫قَا َل َوذكر أَبُو ا ْلغَنَائِم النسابة الزيدي أَن أَبَاهُ ال َق ِ‬
‫الزيدي ولد غير ُمحْ تَاج ِإلَى ا ْل ِختَان قَا َل َو ِل َهذَا لقب بالمطهر قَا َل َوقَا َل ِفي َما قرأته ِب َخ ِط ِه خلق‬
‫أَبُو ُم َح َّمد ا ْلحسن مطهرا لم يختن َوتُوفِي َك َما خلق َوقد ذكر ا ْلفُقَ َهاء فِي كتبه ْم أَن من ولد‬
‫وضع ا ْل ِختَان ختان ا ْلقَ َمر يشيرون فِي‬ ‫َكذَ ِلك ََل يختن َواسْتحْ سن بَعضهم أَن يمر الموسى على َم ِ‬
‫صان فِي ا ْلخلقَة ِع ْند‬ ‫سان يحصل فِي ِزيَادَة ا ْلقَ َمر َويحصل النُّ ْق َ‬ ‫ذَ ِلك ِإلَى أَن النمو فِي خلقَة ْ ِ‬
‫اْل ْن َ‬
‫صان‬ ‫صان الَّذِي حصل فِي القلفة إِلَى نُ ْق َ‬ ‫نقصانه َك َما يُوجد فِي ذَ ِلك الجزر َوا ْلمد فينسبون النُّ ْق َ‬
‫ا ْلقَ َمر‬
‫س ْفيَان الث َّ ْوري عَن ِهشَام بن ع ُْر َوة‬ ‫قَا َل َوقد ورد فِي َحدِيث َر َواهُ سيف بن ُم َح َّمد ا ْبن أ ُ ْخت ُ‬
‫س ُرورا مختونا‬ ‫علَ ْي ِه َوسلم قَا َل ا ْبن صياد ولد َم ْ‬ ‫عَن أَبِيه عَن عَائِشَة عَن النَّبِي صلى هللا َ‬
‫ام ُرؤ ا ْلقَ ْيس ولد َكذَ ِلك‬ ‫َوسيف مطعون ِفي َحدِيثه َوقيل ِإن قَ ْيصر ملك الروم الَّذِي ورد َ‬
‫علَ ْي ِه ْ‬
‫ام ُرؤ ا ْلقَ ْيس ا ْلحمام فَ َرآهُ َكذَ ِلك فَقَا َل يهجوه‬
‫علَ ْي ِه ْ‬
‫َودخل َ‬

‫) ِإنِي َحلَفت َي ِمينا غير كَا ِذبَة … أل َ ْنت أغلف ِإ ََّل َما جنى ا ْل َق َمر(‬

‫سبَاب الباعثة لقيصر‬ ‫يعيره أَنه لم يختتن َوجعل ِو ََلدَته َكذَ ِلك نقصا َوقيل ِإن َهذَا ا ْلبَ ْيت أحد ْاألَ ْ‬
‫على أَن سم امرء ا ْلقَ ْيس فَ َماتَ‬

‫َوأ ْنشد ا ْبن ْاأل َ َ‬


‫عرا ِبي فِي َمن ولد ِب َل قلفة‬

‫)فدَاك نكس ََل يبض حجره … مخرق ا ْلعرض َحدِيد ممصره(‬

‫شدِيد خصره … عض بأطراف الزبانى قمره(‬


‫)فِي ليل كانون َ‬

‫س بمختون ِإ ََّل َما قلص ِم ْنهُ ا ْلقَ َمر َوشبه قلفته بالزبانى َو ِهي قرنا ا ْلعَ ْق َرب‬ ‫يَقُول ُه َو أقلف لَ ْي َ‬
‫ورة ا ْل ِختَان من غير ختان َوترى ا ْل َف ِضيلَة فِي ا ْل ِختَان َنفسه‬ ‫َوكَانَت ا ْلعَ َرب ََل ت َ ْعتَد ِب ُ‬
‫ص َ‬
‫وتفخر ِب ِه‬

‫ع َل ْي ِه َوسلم من صميم ا ْلعَ َرب َو َخصه ِب ِصفَات ا ْل َك َمال من ا ْلخلق‬ ‫قَا َل َوقد بعث هللا نَبينَا صلى هللا َ‬
‫علَ ْي ِه‬ ‫َوالنسب فَكيف يجوز أَن يكون َما ذكره من كَونه مختونا ِم َّما يُ َميز ِب ِه النَّ ِبي صلى هللا َ‬
‫علَ ْي ِه َوسلم‬ ‫َوسلم ويخصص َوقيل ِإن ا ْل ِختَان من ا ْل َك ِل َمات الَّتِي ابتلى هللا ب َها َخ ِليله صلى هللا َ‬
‫علَ ْي ِه‬‫بلء ْاأل َ ْن ِب َياء ث َّم األمثل فاألمثل َوقد عد النَّ ِبي صلى هللا َ‬ ‫فأتمهن وأكملهن َوأَشد النَّاس َ‬
‫ص ْبر‬ ‫َوسلم ا ْل ِختَان من ا ْلف ْط َرة َومن ا ْل َم ْعلُوم أَن ِاَل ْبتِ َلء ِب ِه َم َع ال َّ‬
‫علَ ْي ِه َوسلم أَن ََل يسلب َهذِه‬
‫ضاعف ث َ َواب ا ْل ُم ْبتَلى ِب ِه وأجره واألليق ِب َحال النَّ ِبي صلى هللا َ‬
‫ِم َّما يُ َ‬
‫غيره من‬ ‫صائِص َ‬ ‫صائِصه أعظم من َخ َ‬ ‫ا ْلفَ ِضيلَة َوأَن يُكرمهُ هللا ب َها َك َما أكْرم َخ ِليله فَ ِإن َخ َ‬
‫النَّ ِبيين َوأ َ ْعلَى‬

‫صا ِئصه َوأولى َهذَا كُله ك ََلم ا ْبن العديم‬ ‫وختن ا ْلملك ِإ َّياه َك َما روينَاهُ أَجْ دَر من أَن يكون من َخ َ‬
‫بكرة أَن ِج ْب ِريل ختن النَّ ِبي صلى هللا‬ ‫ط ِريق ا ْل َخ ِطيب عَن أبي َ‬ ‫َويُ ِريد بختن ا ْلملك َما َر َواهُ من َ‬
‫سنَاده فَ ِإن ا ْل َخ ِطيب‬ ‫علَ ْي ِه َوسلم ِحين طهر قلبه َو ُه َو َم َع كَونه َم ْوقُوفا على أبي َ‬
‫بكرة ََل يَصح إِ ْ‬ ‫َ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫عث َمان بن ُم َح َّمد البَج ِلي أنبأنَا َج ْعفَر بن ُم َح َّمد بن‬ ‫احد بن ُ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫قَا َل فِي ِه أنبأنَا أبُو ا ْل َقا ِ‬
‫سم عبد ا ْل َو ِ‬
‫ع َي ْينَة ا ْلبَص ِْري َحدثنَا عَلي بن‬ ‫سلَ ْي َمان َحدثنَا عبد َّ‬
‫الرحْ َمن بن ُ‬ ‫نصير َحدثنَا ُم َح َّمد بن عبد هللا بن ُ‬
‫س َهذَا‬ ‫بكرة َولَ ْي َ‬‫ُم َح َّمد ا ْل َمدَا ِئ ِني َحدثنَا مسلمة بن م َحارب بن سليم بن ِز َياد عَن أ َ ِبيه عَن أبي َ‬
‫سنَاد ِم َّما يحْ تَج ِب ِه‬ ‫ِْ‬
‫اْل ْ‬
‫ي من ُو ُجوه ُمتعَ ِددَة َم ْرفُوعا ِإ َلى النَّ ِبي‬ ‫علَ ْي ِه َوسلم قد ُر ِو َ‬ ‫َو َحدِيث شق ا ْلملك قلبه صلى هللا َ‬
‫س فِي ش َْيء ِم ْن َها أَن ِج ْب ِريل ختنه إِ ََّل فِي َهذَا ال َحدِيث فَ ُه َو شَاذ‬ ‫علَ ْي ِه َوسلم َولَ ْي َ‬
‫صلى هللا َ‬
‫الر َوا َيات أَن جده عبد ا ْلمطلب ختنه ِفي ا ْل َي ْوم‬ ‫غ ِريب قَا َل ا ْبن العديم َوقد َجا َء ِفي بعض ِ‬ ‫َ‬
‫ط ِريق ا ْبن عبد ا ْلبر‬ ‫ساق من َ‬ ‫ب َوأقرب إِلَى ا ْل َواقِع ث َّم َ‬ ‫سا ِبع قَا َل َو ُه َو على َما فِي ِه أشبه ِبال َّ‬
‫ص َوا ِ‬ ‫ال َّ‬
‫سى َحدثهُ قَا َل‬ ‫علَ ْي ِه أَن ُم َح َّمد بن ِعي َ‬ ‫َحدثنَا أَبُو ع َْمرو أَحْ مد بن ُم َح َّمد بن أَحْ مد قِ َرا َءة مني َ‬
‫سقَ َلنِي َحدثنَا ا ْل َو ِليد بن‬‫َحدثنَا يحيى بن أَيُّوب بن ِزيَاد العلف َحدثنَا ُم َح َّمد بن أبي السري ا ْل َع ْ‬
‫عبَّاس أَن عبد‬ ‫سانِي عَن ِعك ِْر َمة عَن ا ْبن َ‬ ‫ش َع ْيب بن أبي َح ْم َزة عَن عَطاء ا ْل ُخ َرا َ‬ ‫ُمسلم عَن ُ‬
‫سماهُ ُم َح َّمدًا قَا َل يحيى بن‬ ‫علَ ْي ِه َوسلم َي ْوم سابعه َوجعل لَهُ مأدبة َو َ‬ ‫ا ْلمطلب ختن النَّ ِبي صلى هللا َ‬
‫أَيُّوب َما وجدنَا َهذَا ال َحدِيث ِع ْند أحد إِ ََّل ِع ْند ا ْبن أبي السري َو ُه َو ُم َح َّمد بن المتَ َوكل بن أبي‬
‫السري َوهللا أعلم‬

‫‪Beri peringkat:‬‬

‫‪Hukum – Hukum Berkaitan dg ‘Aurat‬‬

‫‪Musibah besar yg menimpa umat Islam dewasa ini adalah banyaknya‬‬


‫‪ketidakpedulian lagi dengan perintah dan larangan Allah SWT. Salah‬‬
‫‪satu musibah ini adalah berkaitan dengan masalah berpakaian.‬‬
‫‪Rasulullah bersabda:‬‬

‫‪“…Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang‬‬


‫‪sebelumnya aku tak pernah menduga. Yakni sekelompok orang yang‬‬
‫‪memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat‬‬
manusia. Dan wanita yang berpakaian namun telanjang (berpakaian
tipis/transparan/ketat), berlenggang lenggok dan berlagak, kepalanya
(dihias) seperti punuk onta. Mereka tidak dapat masuk surga dan tidak
mencium baunya. Padahal bau surga dapat tercium dari jarak
perjalanan demikian dan demikian (relatif jauh)” (HR. Muslim no. 3971
dan no. 5098 dari Abu Hurairah ra)

Berkaitan dengan aurat, terdapat beberapa rincian hukum dalam


berbagai kondisi yang disebutkan oleh para ahli Fiqh yakni :

1. Aurat Wanita Terhadap Lelaki Asing (Bukan Mahram & Bukan


Suami)

Mayoritas Ahli Fiqh menyatakan bahwa berkaitan dengan lelaki asing,


seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali muka dan dua telapak tangan.

Allah menyatakan dalam surat an Nûr : 31

‫ِم ْنها ظهر ما إَّل ِزينت ُه َّن يُ ْبدِين وَّل‬

.. dan janganlah mereka (wanita yg beriman) menampakkan


perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya.

Maksud yang biasa nampak darinya (‫ )ما ظهر ِم ْنها‬bukan berarti yang
biasa nampak seperti sekarang ini — yakni nampak betis, leher, dst (tdk
usah dibayangkan ya), atau tergantung daerah, kalau di Jawa dada diatas
‘buah pikiran’ masih biasa nampak, di AS bahkan lebih lagi– namun
maksudnya apa yang biasa nampak di kalangan wanita muslimah pada
masa turunnya ayat ini, yakni wajah dan telapak tangan (ini pemahaman
mayoritas, dan pendapat yang saya pilih). Sedangkan menurut riwayat
yang lain, yang biasa nampak maksudnya adalah baju (‫ )الثياب‬dalam
riwayat lain celak dan cincin juga gelang[1], dan ini tidak bertentangan
dengan pendapat bahwa yang biasa nampak adalah muka & telapak
tangan.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan ‘sesuatu
yang biasa nampak’ adalah muka dan kedua telapak tangan, ini juga
pendapat Ibnu ‘Umar, ‘Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu Sya’tsa,
Adl Dhahhak, Ibrahim An Nakha’i dll[2].

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menyatakan, pendapat yang paling kuat
dalam masalah ini adalah muka dan dua telapak tangan.

Rasulullah menegaskan hal ini dalam sebuah hadits:

“Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar masuk ke rumah Nabi SAW


dengan menggunakan pakaian yang tipis, maka Rasulullah berpaling
daripadanya dan berkata : ‘Hai Asma, sesungguhnya jika seorang
wanita telah menginjak dewasa (haid), maka tak boleh terlihat dari
tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil beliau menunjuk muka dan telapak
tangannya”. (HR. Abu Dawud, Hadits Hasan Lighairihi[3], mempunyai
saksi yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dari jalan Ibnu Lahi’ah dari
‘Iyadl bin Abdillah[4])

Adapun tampaknya separo tangan dibolehkan menurut riwayat Qatadah


sbb[5]

Qatadah berkata: telah sampai kepadaku bahwa Nabi SAW berkata:


“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhit
untuk mengeluarkan tangannya (dari bajunya) kecuali sampai sini” dan
beliau SAW menggenggam setengah hasta.

Ada riwayat bahwa Abu Hanifah membolehkan menampakkan dua


telapak kaki, sebaliknya Ibnu ‘Abidin menyatakan bahwa punggung
tangan termasuk aurat[6].

Riwayat dari Abu Yusuf bolehnya menampakkan kedua siku[7].

Madzhab Imam Ahmad: segala sesuatu dari wanita berkaitan dengan


lelaki asing adalah aurat termasuk kukunya. Al Qadli yg bermadzhab
Hanbali mengatakan: diharamkan lelaki asing memandang wanita asing
selain wajah dan telapak tangan, boleh (makruh) memandang dua
anggota ini (wajah dan telapak tangan) jika aman dari fitnah. Yang
dijadikan dasar adalah hadits:

Wahai Ali, jangan engkau ikuti pandangan dengan pandangan


berikutnya, karena bagi engkau adalah pandangan yg pertama, dan
bukan hak engkau pandangan berikutnya. (HR. At Tirmidzi, ia berkata
hadits ini hasan gharib, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Al
Baihaqi dan Al Hakim).

Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi SAW pada saat
haji, lalu datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas
memandang wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka
Rasulullah memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain. (HR. al-
Bukhârî dari Ibn Abbas)

Hadits ini tidak melarang untuk menampakkan muka, justru menjadi


dalil bahwa muka bukanlah aurat (karena Rasul tidak memerintahkan
wanita tsb untuk menutup mukanya). Namun walaupun bukan aurat,
memandang muka dengan syahwat termasuk diharamkan sebagaimana
sabda Rasul yg diriwayatkan oleh ‘Alî ibn Abî Thâlib RA yg
menambahkan:

Al-‘Abbâs RA kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya


Rasulullah, mengapa engkau memalingkan leher sepupumu?”
Rasulullah SAW menjawab, “Karena aku melihat seorang pemuda dan
seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”

Sedangkan berkaitan dengan apa harus menutup auratnya, As Syarbiniy


Al Khatib menyatakan: Syarat penutup aurat adalah menghalangi
terlihatnya warna kulit, bukan besar kecilnya tubuh (hajm), sehingga
tidak cukup dengan pakaian tipis.

Suara wanita bukanlah aurat menurut ulama madzhab Syafi’i, jika aman
dari fitnah.

2. Aurat Wanita Terhadap Wanita Non Muslim


Mayoritas ahli Fiqh (Madzhab Hanafi, Maliki, dan yg lebih shahih
menurut Syafi’i) bahwa wanita non muslim dianggap seperti lelaki
asing, sehingga tidak boleh nampak badannya kecuali yang boleh
nampak pada lelaki asing pada pembahasan no. 1. Karena Firman Allah
SWT:

dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami


mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-
budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. (An Nûr : 31).

Seandainya boleh memperlihatkan aurat kepada wanita non muslim,


niscaya takhsis (pengkhususan) dalam ayat tersebut (yang bergaris
bawah) tidak ada gunanya. Juga diriwayatkan secara sahih dari Umar r.a
bahwa beliau melarang wanita ahli kitab untuk masuk hammâm
(pemandian) bersama para muslimat.

Namun ada pendapat sebaliknya di kalangan Syafi’iyyah bahwa boleh


menampakkan aurat kepada wanita non muslim sebatas yang biasa
nampak pada pakaian kerja didalam rumah (mihnah), yakni kepala, dua
tangan dan dua kaki. Ada juga pendapat lain bahwa boleh kelihatan
auratnya sebagaimana muslimah terhadap muslimah (poin 3).

3. Aurat Wanita Terhadap Wanita Muslimah

Para ahli Fiqh berpendapat bahwa aurat wanita berkaitan dg wanita


muslimah adalah seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki, yakni antara
pusat dan lutut.

4. Aurat Wanita Terhadap Lelaki Mahram


Yang dimaksud mahram dalam hal ini adalah yg haram dinikahinya
secara permanen, baik karena nasab, perkawinan (misalnya mertua)
ataupun karena penyusuan.

Madzhab Maliki & Hanbali: aurat wanita di depan mahramnya adalah


selain wajah, kepala, dua tangan dan dua kaki, sehingga tetap haram
membuka dada, punggung, perut dst. Dan diharamkan bagi mahramnya
untuk melihat auratnya walaupun tanpa syahwat.

Sedangkan al Qadhi dari madzhab Hanbali menyatakan aurat wanita


terhadap mahramnya seperti aurat lelaki terhadap lelaki.

Menurut madzhab Hanafiy & Syafi’iy: auratnya antara pusat dan lutut,
sehingga boleh melihatnya jika aman dari fitnah (syahwat).

Al Hanabilah (ulama madzhab Hanbali): lelaki non muslim yg


merupakan mahrom bagi wanita muslimah juga tetap dianggap mahrom,
sebagaimana Abu Sufyan sebelum masuk Islam terhadap Ummu
Habibah istri Rasulullah.

5. Aurat Lelaki Terhadap Lelaki

Aurat lelaki terhadap lelaki, baik muslim atau tidak adalah antara pusat
dan lutut

“Jika salah seorang diantara kamu menikahkan hamba sahaya atau


pembantunya, maka jangan melihat sesuatu yang termasuk aurat.
Adapun apa-apa yang ada dibawah pusar hingga lutut adalah aurat”.
(HR. Ahmad, Abi Dawud, Daruquthni, dan Baihaqi, di hasankan oleh Al
Albani).

Hanafiyyah : pusat bukan aurat, lutut termasuk aurat, menurut hadits


dari ‘Uqbah bin Al qamah:

Lutut termasuk aurat (namun ‘Uqbah di dlo’ifkan oleh abu Hatim Ar


Razi[8])
Syafi’iyyah & Hanabilah : pusat dan lutut bukan aurat, aurat adalah
antara pusat dan lutut saja.

Paha termasuk aurat menurut pendapat yg masyhur, Rasulullah SAW


bersabda :

“Paha adalah aurat”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Thurmudzi)

Muhammad bin Jahsy meriwayatkan bahwa “Rasulullah SAW lewat


kepada Ma’mar, sedangkan kedua pahanya terbuka. Maka Rasulullah
SAW menegur : ‘Hai Ma’mar tutuplah pahamu, sebab kedua paha itu
adalah aurat”. (HR. Bukhari, Hakim dan Ahmad).

Adapun riwayat Aisyah r.a. dan Anas bin Malik r.a.: “Dari Aisyah r.a.
menerangkan : ‘Bahwasanya Rasulullah SAW duduk pada suatu hari
dengan membuka pahanya. Abu Bakar meminta izin masuk, Rasul
mengizinkan, sedangkan pahanya masih terbuka. Sesudah itu datang
Umar, meminta izin masuk dan Rasul mengizinkannya. Sedangkan paha
beliau masih terbuka. Sesudah itu datanglah Utsman, maka barulah
Nabi menutupi pahanya. Ketika mereka telah pulang, aku (Aisyah)
bertanya : ‘Wahai Rasulullah, di kala Abu Bakar dan Umar masuk,
paha tuan tetap terbuka, tetapi di kala Utsman masuk, tuan menurunkan
kain. Maka Nabi menjawab : ‘Wahai Aisyah, tiadakah aku merasa malu
dari seseorang, yang demi Allah, malaikat pun merasa malu darinya”.
(HR. Bukhari dan Muslim).

“Bahwa Nabi SAW waktu perang Khaibar menyingsingkan kain dari


pahanya, hingga kelihatan olehku paha yang putih itu”. (HR. Ahmad
dan Bukhari).

Ada yg memahaminya makruh, namun yg lebih tepat itu adalah


kekhususan Rasulullah SAW.

6. Aurat Lelaki Terhadap Wanita Asing

Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan yg rajih dari Hanabilah: aurat nya antara


pusat dan lutut
Hanabilah : seperti aurat wanita thd mahramnya, yakni selain muka,
kepala, kedua kaki dan tangan.

7. Aurat Anak -Anak

Hanafiyyah: tidak ada aurat bagi anak-anak, dan yg mereka maksud


anak-anak adalah yg berumur 4 tahun kebawah. Ibnu ‘Abidin: yg
dianggap anak-anak adalah 7 tahun kebawah.

Malikiyyah : anak lelaki dibawah 8 tahun tidak ada auratnya, anak


perempuan sampai 2 tahun 8 bulan tidak ada auratnya.

Syafi’iyyah (pendapat yg ter sahih dari Syafi’iyyah—krn ada beberapa


pendapat dalam madzhab Syafi’i): boleh memandang anak-anak selain
kemaluannya. Pendapat lainnya: auratnya seperti aurat org baligh
terhadap mahramnya.

8. Aurat Suami Terhadap Istrinya dan Sebaliknya

Tidak ada perbedaan diantara ahli fiqh bahwa tidak ada aurat antara
suami istri, dengan atau tanpa syahwat.

Syafi’iyyah dan Hanabilah: makruh memandang kemaluan.

Hanafiyyah : merupakan adab adalah tidak memandang kemaluan


istri/suaminya.

Adapun hadits :

Jika salah seorang di antara kamu menyetubuhi isteri atau budaknya,


maka janganlah ia memandang/melihat farji (kemaluan)-nya, sebab hal
itu dapat menyebabkan kebutaan. Adalah hadits maudhu’ (palsu),
dikeluarkan oleh Ibn al-Jauzi di dalam al-Maudhu’at (II/1).

9. Aurat Banci (Khuntsa)

As Syafi’iyyah : berkaitan dengan lelaki ia dianggap perempuan,


berkaitan dengan perempuan ia dianggap laki-laki. Sehingga lelaki
dilarang berkhalwat (berduaan) dengannya, begitu juga perempuan
dilarang berkhalwat dengannya.

Hanabilah : aurat banci dianggap seperti aurat lelaki.

10. Aurat Dalam Shalat

Wajib menutup aurat bagi laki laki maupun perempuan, aurat laki-laki
yg wajib di tutup adalah antara pusat dan lutut, bagi wanita semua tubuh
kecuali muka dan telapak tangan.

11. Aurat Wanita Saat Ihram

Menurut para ahli fiqh, wanita saat ihram tidak boleh menutup wajahnya
dan tidak boleh mengenakan sarung tangan. Adapun warna pakaian
boleh apa saja, walaupun lebih utama warna putih.

Janganlah wanita bercadar, dan janganlah dia memakai kaos tangan"


[Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]

12. Aurat Mayat

Aurat mayat sama seperti aurat saat masih hidup menurut para ahli fiqh.
Rasul bersabda:

Janganlah engkau melihat paha orang hidup atau orang mati karena
paha adalah aurat. (Riwayat Ibnu ‘Asyâkir dari Ali kw)[9].

Adapun berkaitan tentang memandikan mayat, adalah persoalan lain.

13. Memandang Aurat Untuk Kesaksian

Diperbolehkan memandang ‘aurat untuk kesaksian sebatas yang


diperlukan dalam kesaksian tersebut, semisal memandang kemaluan
untuk kesaksian tentang zina, mengetahui sudah baligh/belum dll.

Diriwayatkan dari ‘Utsmân ibn ‘Affân bahwa pernah dihadapkan


kepadanya seorang anak yang telah melakukan pencurian (sampai
nishab). Ia berkata, ‘Periksalah kain penutup tubuhnya’. Orang-orang
mendapati anak itu belum tumbuh rambut (pada kemaluannya). Maka
Utsman tidak memotong tangannya. (HR al-Bayhaqî). Apa yang
dilakukan ‘Utsmân ini dilihat dan didengar oleh para sahabat dan tidak
seorang pun di antara mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi
‘ijma dikalangan sahabat.

14. Membuka Aurat Untuk Keperluan Mendesak (Al Hâjat Al


Mulji’ah)

Jumhur ‘ulama berpendapat boleh membuka aurat untuk keperluan


mendesak, semisal melahirkan, boleh bagi dokter laki-laki (jika tidak
ada dokter perempuan) untuk mengobati wanita (tentang khalwat baca di
pembahasan khalwat).

15. Membuka Aurat Saat Mandi

Boleh membuka aurat saat mandi jika mandi sendirian (atau bersama
istri) dan ditempat yang tidak dilihat orang lain, berdasarkan hadits:

Adalah Bani Israil mandi telanjang, mereka saling melihat (aurat)


antara satu dg yg lain, dan adalah Musa a.s mandi sendirian… (HR
Bukhari dan Muslim)

16. Salam Kepada yg Membuka Aurat

Makruh hukumnya mengucapkan salam kepada orang yg membuka


aurat walaupun membukanya dalam kondisi darurat.

Sesungguhnya seorang lelaki melewati Nabi Saw saat beliau buang


hajat, lelaki tsb mengucapkan salam kepada beliau, maka beliau tidak
menjawab salamnya. (HR. Jama’ah kecuali Bukhariy)
17. Pengingkaran Atas Orang Yang Membuka Aurat

Berkata Ibnu ‘Abidin: jika seseorang melihat orang lain membuka


lututnnya maka hendaklah ia mengingkari dengan halus dan tidak
bertengakar jika ia ngeyel. Jika membuka paha maka pengingkarannya
dengan keras jika ia mampu, dan tidak boleh memukulnya jika ia
membangkang, sedangkan kalau membuka kemaluan maka hendaklah
diberi pelajaran jika ia membangkang. Intinya wajib mengingkari orang
yang membuka aurat karena itu termasuk amar makruf nahyi munkar,
bukan malah menikmatinya (semoga Allah menolong kita dalam hal
ini).

18. Aurat Wanita Terhadap Peminang/Pelamarnya

Siapa saja yang ingin menikahi seorang wanita, ia boleh melihat wanita
tersebut dengan tidak berkhalwat dengannya. Rasulullah bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka


jika ia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi
wanita itu, hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud dan di
hasankan oleh Ibnu Hajar)

Jâbir (perowi hadits) berkata,

“Aku melamar seorang wanita. Aku pun bersembunyi untuk melihat


wanita itu hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk
menikahinya. Lalu aku pun menikahinya” (HR al-Hâkim dan beliau
berkata, ”Hadits ini sahih menurut syarat Imam Muslim).

Seorang pria boleh melihat wanita yang hendak dinikahinya, baik seizin
wanita itu atau pun tidak. Hal itu karena Nabi SAW telah
memerintahkan kepada kita untuk melihat secara mutlak. Di dalam
hadits Jâbir di atas terdapat lafal yang maknanya, “Maka aku
bersembunyi untuk melihat wanita itu.” Hanya saja, tidak
diperbolehkan berkhalwat (berduaan) dengan wanita yang akan
/telah dilamar. Hal itu karena NabiSAW telah bersabda: “Janganlah
seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali dia disertai
mahramnya, karena yang ketiga di antara keduanya adalah setan.” (HR
Muslim, dari jalur Ibnu ‘Abbâs).Hadits tersebut bersifat umum,
mencakup pelamar.

Adapun dalam masalah melihat, Ia boleh melihat wajah dan kedua


telapak tangan, juga selain wajah dan kedua telapak tangan, sebab,
kebolehan melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita, bersifat
umum baik bagi pelamar atau pun bukan. Maka pengecualian bagi
pelamar tidak memiliki makna selain bahwa pengecualian itu diarahkan
kepada selain wajah dan kedua telapak tangan.

Sedangkan frasa “Maka aku bersembunyi untuk melihat wanita itu”,


menunjukkan bahwa cara melihatnya adalah tanpa sepengetahuan wanita
tersebut, dan yang dilihat boleh lebih dari muka dan telapak tangan.

Adapun wanita yang dilamar tetap tidak boleh membuka auratnya


dengan sengaja didepan yang bukan mahramnya, termasuk pelamarnya,
karena hadits tentang wajibnya menutup aurat didepan yg bukan
mahram berlaku umum, tidak ada pengkhususan untuk pelamar.

Penutup

Jelas bahwa menutup aurat adalah kewajiban, semua ahli fiqh sepakat
bahwa bagi wanita haram membuka leher, rambut, telinga, bahu, ketiak
… . Yang diperselisihkan oleh para ulama sebatas apakah cadar
(menutup muka) itu wajib atau tidak, apakah tapak kaki merupakan
aurat atau bukan, apakah tangan sampai siku aurat atau bukan.
Adapun yang membolehkan membuka kepala, tidak kami temukan
sandarannya baik dari Al Qur’an, Al Hadits, perkataan sahabat, tabi’in,
maupun ‘ulama yang mu’tabar, semisal pemikiran seorang pemikir
liberal Mesir, Muhammad Asymawi yang banyak di copy-paste orang
yang mengatakan aurat itu menurut adat dan kondisi.

Pernyataan ini bertentangan dengan apa yang dilakukan Rasulullah


ketika melakukan futuhat, yang meliputi 7 negara saat ini yakni ARAB
SAUDI, YAMAN UTARA/SELATAN, UNI EMIRAT ARAB,
QATAR, OMAN dan BAHRAIN (Luasnya lebih luas dari 4 kali luas
gabungan Jerman dan Perancis) mereka mempunyai adat, kebiasaan dan
budaya berbeda namun Rasulullah tidak membedakan syari’at yang
diberlakukan atas mereka. Allahu A’lam. -–diterjemahkan, diringkas dan
di edit dari Mausu’ah Al Fiqhiyyah dan literatur lain–[M. Taufik N.T].

[1] Ibnu Jarir At Thabary, ‫جامع البيان في تأويل القرآن‬, 19/157 dst

[2] Ibnu Katsir, ‫تفسير القرآن العظيم‬, 6/45

[3] Al Albaniy, Irwa’ul Ghalil, 6/203

[4] ‫التلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير‬, 3/455

[5] Ibnu Jarir At Thabary, idem (saya belum ketemu takhrij haditsnya,
saya search di kitab2 takhrij maktabah syamilah tidak ketemu, kitab2
matan dan syarah juga tidak ketemu)

[6] Mausu’ah Al Fiqhiyyah, bab aurat

[7] Mausu’ah Al Fiqhiyyah, bab aurat

[8] At Tahqîq fi Ahâdîtsil Khilaf, 1/171

[9] Jâmi’il Ahâdits, 16/358, Jam’ul Jawâmi’, no. 1056


Beri peringkat:

Kenapa Jumlah Rakaat Shalat Tarawih Berbeda-Beda?

Tulisan ini ingin mengurai perbedaan yang kadang masih sering


membuat sesama muslim saling sinis gara-gara permasalahan yang
sebenarnya kalau kita telusuri akan melapangkan dada kita.

Akar Perbedaan
1. Perbedaan terjadi karena tidak ada satu pun hadits yang shahih dan
sharih (jelas/eksplisit) yang menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih
yang dilakukan oleh Rasululullah SAW.

Prof. Ali Mustafa Yaqub, MA, menerangkan bahwa tidak ada satu pun
hadits yang derajatnya mencapai shahih tentang jumlah rakaat shalat
tarawih (yang istilah shalat tarawih memang tidak ada pada masa Rasul)
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kalau pun ada yang shahih
derajatnya, namun dari segi istidlalnya (penunjukan maknanya) tidak
menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih.

2. Perbedaan pandangan apakah shalat tarawih itu sama dengan shalat


malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri.

Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya tentang shalatnya Rasulullah


dalam bulan Ramadhan, maka Aisyah ra berkata,
ً‫ع ْش َرة َ َر ْك َعة‬ َ ‫َعلَى ِإ ْحدَى‬ ‫غي ِْر ِه‬ َ ‫ضانَ َو َل فِي‬ َ ‫سله َم يَ ِزيدُ فِي َر َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫َما َكانَ َر‬
ُ ‫َع ْن ُح ْس ِن ِه هن َو‬
‫طو ِل ِه هن ث ُ هم‬ ‫ص ِلي أ َ ْربَعًا فَ ََل ت َ ْسأ َ ْل‬ ُ ‫ص ِلي أ َ ْربَعًا فَ ََل تَسْأ َ ْل َع ْن ُح ْس ِن ِه هن َو‬
َ ُ‫طو ِل ِه هن ث ُ هم ي‬ َ ُ‫ي‬
ً‫ص ِلي ث َ ََلثا‬َ ُ‫ي‬
Tidaklah Rasulullah SAW menambah (rakaat shalat malam) di dalam
bulan Ramadhan dan tidak pula diluar bulan Ramadhan dari 11 rakaat.
Beliau melakukan sholat 4 rakaat dan janganlah engkau tanya
mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian beliau kembali sholat
4 rakaat dan jangan engkau tanyakan kembali mengenai betapa baik
dan panjangnya, kemudian setelah itu beliau melakukan sholat 3 rakaat.
(HR Bukhori dan Muslim, redaksi menurut Muslim no. 1219, Maktabah
Syamilah v. 3).

Hadits ini dijadikan dasar bagi yang berpendapat bahwa shalat tarawih
adalah 11 rakaat (termasuk witir).

Kalaupun bisa disepakati bahwa shalat tarawih adalah termasuk shalat


malam yang dimaksud oleh hadits diatas, maka sebenarnya hadits diatas
tidaklah melarang untuk shalat malam lebih dari 11 rakaat (wah ini jadi
seperti berpihak ke yang 23 rakaat, tapi nggak kok, cuma mau bicara
jujur aja dari apa yang saya kaji). Beberapa hadits shahih (juga
bersumber dari Aisyah ra menjelaskan bahwa Rasulullah shalat malam
13 rakaat dg witir. Dari Hisyam dari bapaknya dari Aisyah r.a ia berkata
:

‫ع ْش َرة َ َر ْكعَةً يُوتِ ُر ِم ْن ذَ ِل َك بِ َخ ْمس‬ َ ‫ص ِلي ِم ْن الله ْي ِل ث َ ََل‬


َ ‫ث‬ َ ُ‫سله َم ي‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ََانَ َر‬
Adalah Rasulullah SAW shalat malam 13 rakaat termasuk witir 5 rakaat
(Shahih Muslim, no 1217, Maktabah Syamilah v. 3)

Bagaimana mungkin jumlah rakaatnya shalat malam Rasul berbeda-beda


padahal bersumber dari satu orang, yakni Aisyah?, diawal katanya tidak
pernah lebih dari 11 rakaat, kok dilain waktu 13 rakaat ? Penulis kitab
Al Muntaqa (Syarh Al Muwattho’) menjelaskan bahwa :

‫ف صالتُهُ ِباللَّ ْي ِل َّلنَّهُ َّل حدَّ ِلصال ِة اللَّ ْي ِل‬


ُ ‫أنَّهُ كان صلى هللا عليه وسلم ت ْخت ِل‬
Sesungguhnya adalah Rasulullah SAW berbeda-beda(jumlah rakaat)
shalat malamnya karena sesungguhnya tidak ada batasan (jumlah
rakaat) shalat malam (Al Muntaqa, 1/278, Maktabah Syamilah v. 3)

Sedangkan Imam Nawawi menjelaskan bahwa jumlah rakaat salat


malamnya Rasulullah SAW berbeda-beda karena bergantung kondisi,
masih luangnya waktu, karena udzur atau lagi sakit, atau saat beliau
sudah lanjut usia, sebagaimana riwayat Aisyah:

( ‫) فل َّما أس َّن صلَّى سبْع ركعات‬

Ketika beliau sudah lanjut usia beliau shalat (malam) 7 raka’at. (Syarh
An Nawawi ‘ala Muslim, 3/70, Maktabah Syamilah v. 3)

Qadhi ‘Iyad menyatakan bahwa: tidak ada perbedaan (ulama)


bahwasanya shalat malam itu tidak ada batasan raka’atnya sehingga
tidak boleh lebih atau kurang dari batasan tersebut, dan merupakan
ketaatan yang semakin bertambah maka semakin bertambah (jumlah &
kualitasnya) maka makin bertambah juga pahalanya. Perbedaan yang
terjadi hanyalah pada perbuatan nabi, dan apa yang dipilih nabi untuk
dirinya. (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 3/70, Maktabah Syamilah v.
3)
ً‫ع ْش َرة َ َر ْك َعة‬
َ ‫ع َلى ِإ ْحدَى‬ َ ‫ضانَ َو َل‬
َ ‫غ ْي ِر ِه‬ َ ‫ت إنههُ صلى هللا عليه وسلم َكانَ َل َي ِزيد ُ ِفي َر َم‬ ْ َ‫َو ِإنه َما قَال‬
‫علَى ذَ ِل َك‬ َ ‫ت‬ِ ‫ض ْاْل َ ْوقَا‬ ِ ‫ص ََلتَهُ ْال ُم ْعتَادَة َ ْالغَا ِلبَةَ َو ِإ ْن َكانَ ُربه َما يَ ِزيد ُ ِفي َب ْع‬
َ ُ‫ت ُ ِريد‬
Dan sesungguhnya aisyah berkata : Tidaklah Rasulullah SAW
menambah (rakaat shalat malam) di dalam bulan Ramadhan dan tidak
pula diluar bulan Ramadhan dari 11 rakaat, Aisyah bermaksud
menjelaskan bahwa shalatnya (Rasul)biasanya lebih sering (11 rakaat)
walaupun kadang-kadang beliau menambah (rakaat) dalam waktu yang
lain. (Al Muntaqa, 1/278, Maktabah Syamilah v. 3)

Jadi, sebenarnya dari sini saja bagi yang menyatakan shalat malam dg
tarawih itu sama maupun yang mengatakan berbeda–seharusnya sudah
tidak perlu dipersoalkan mau shalat malam berapa rakaat, dan tidak ada
bidah dalam jumlah rakaat ini, perbedaan yang ada hanya terbatas mana
yang dianggap lebih afdhal, lebih baik atau lebih disukai (mustahab).

3. Perbedaan riwayat yang menyatakan shalat tarawih secara jelas, yang


dilakukan pada masa Umar bin Khattab (keduanya diriwayatkan Imam
Malik ra).

Dari Saib bin Yazid ia berkata:

‫ع ْش َرة َ َر ْك َعةً قَا َل َوقَ ْد‬


َ ‫اس ِبإ ِ ْحدَى‬ ِ ‫ي أ َ ْن يَقُو َما ِللنه‬
‫ي بْنَ َك ْعب َوتَ ِمي ًما الد ِهار ه‬ ‫ب أ ُ َب ه‬ ‫ع َم ُر ب ُْن ْالخ ه‬
ِ ‫َطا‬ ُ ‫أَ َم َر‬
‫طو ِل ْال ِقيَا ِم‬
ُ ‫صي ِ ِم ْن‬ ِ ‫علَى ْال ِع‬َ ُ‫ئ يَ ْق َرأ ُ بِ ْال ِمئِينَ َحت هى ُكنها نَ ْعت َ ِمد‬ ِ َ‫َكانَ ْالق‬
ُ ‫ار‬

Umar bin Al-Khottob telah memerintahkan Ubay bin Kaab dan Tamim
Ad-Dariy supaya keduanya mengimami orang-orang dengan
melaksanakan sholat 11 rakaat, dia berkata: dan sesungguhnya qari
(imam) membaca ratusan ayat (dalam satu rakaat) sampai kami
bersandar pada tongkat kami karena lamanya berdiri. (Imam Malik, Al
Muwaththo, hadits no 232, Maktabah Syamilah v. 3)
Dalam kitab Fathul Bary di jelaskan kalau mereka dalam satu rakaat
membaca 200 ayat, Ubay bin Kaab mengimami laki laki, Tamim Ad
Dary mengimami perempuan (ditempat yang berbeda), atau disebutkan
Ubay bin Kaab mengimami dan dilain waktu Tamim Ad Dary yang
mengimami (Ibn Hajar Al Asqalany, Fathul Bary, 6/292)

Riwayat kedua dari Yazid bin Ruman dia berkata:


ً‫ضانَ بِث َ ََلث َو ِع ْش ِرينَ َر ْكعَة‬
َ ‫ب فِي َر َم‬ ‫ع َم َر ب ِْن ْالخ ه‬
ِ ‫َطا‬ ِ ‫اس يَقُو ُمونَ فِي زَ َم‬
ُ ‫ان‬ ُ ‫َكانَ النه‬
Adalah manusia pada zaman Umar mereka qiyamul (lail) pada bulan
Ramadhan 23 rakaat. (Imam Malik, Al Muwaththo, hadits no 233,
Maktabah Syamilah v. 3)

Kesimpulan

Tidak ada batasan jumlah rakaat, baik shalat malam maupun shalat
tarawaih (kalau dianggap berbeda dg shalat malam). Al Hafidz Ibnu
Hajar Al Asqalani menulis berbagai pendapat tentang jumlah rakaat
shalat tarawih, yakni 11, 13, 21,23, 24,26 (tanpa witir), 33, 36,39,41, 47
rakaat.

Perbedaan yang ada adalah dalam rangka meringankan (11 rakaat terlalu
lama berdiri maka rakaatnya ditambah, sehingga bisa duduk duludst).
Jadi pembahasan jumlah rakaat kaitannya dengan kualitas bacaan
shalatnya. Ibnu Hajar berkata, Perbedaan yang terjadi dalam jumlah
rakaat tarawih mucul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang
didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang,
maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat; dan demikian sebaliknya.

Dari Az-Zafarani , Imam As Syafii mengatakan:

Jika shalatnya panjang (berdirinya/bacaanya) dan sedikit sujud (jumlah


rakaatnya sedikit) itu baik. Dan jika banyak sujudnya (jumlah rakaatnya
banyak), dan bacaan (surah nya) ringan (pendek) juga baik menurutku,
dan aku lebih senang pada yang pertama. (Ibn Hajar Al Asqalany,
Fathul Bary, 6/292)

Hal diatas menunjukkan bahwa ketika ada perbedaan riwayat, jalan yang
dilakukan oleh para ahli fiqh dan hadits tidaklah langsung mentarjih
(mencari yang lebih kuat) lalu meninggalkan yang dianggap kurang
kuat, tetapi yang dilakukan adalah melakukan jam’u (menggabungkan
beberapa riwayat itu), karena mengamalkan banyak nash adalah lebih
utama dari pada meninggalkan beberapa nash, apalagi beberapa nash
tersebut tidaklah bisa dipandang bertentangan (kontradiksi) sehingga
tidak perlu ada yang dibuang, lebih parah lagi kalau kemudian yang
melakukan yg dianggap lemah tersebut terus di cap ahli bidah. Allahu
a’lam.

Berjabat Tangan dengan Wanita Non Mahrom Tanpa Syahwat


Masalah ini merupakan masalah serius yang sering menjadi
fitnah diantara kaum muslimin, ada beberapa hal yang patut
diperhatikan, yakni:
Pertama, Adapun berjabat tangan dengan wanita apabila
disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari
salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan
syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau
dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, maka hukumnya
jelas diharamkan, tidak ada bedanya baik mahrom maupun
bukan mahrom.

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama
bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya – yang pada
asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi haram apabila
disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1
khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau
saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu
tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung,
saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan


wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,
demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai
syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan
mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si
laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau
pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan
Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk
merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya
dan membersihkan kepalanya dari kutu.2

Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur’an dalam membicarakan


perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan
mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana
mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang
tidak diberikan kepada yang lain:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah
terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada
ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku
sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur:
60)
Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah
terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul
hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran
larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal
menampakkan perhiasannya.
“… Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-
budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita …”(an-Nur: 31)
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi
tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan
pengkajian dan tahkik.

Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya


hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan
wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:
“… Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa tampak
daripadanya …” (an-Nur: 31)
Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa
tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang,
mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena
darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang
dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa
berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut
mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak
tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram;
dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi
menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat
daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan
tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian


adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari
kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka
berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat “kecuali yang
biasa tampak daripadanya” adalah wajah dan kedua (telapak)
tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan


yang tidak disertai syahwat?

Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah
(saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-
ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila
telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman – dan
ini sering terjadi – maka dimanakah letak keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang
tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau
membai’at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal
itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw


meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan
secara pasti – akan keharamannya. Adakalanya beliau
meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh
adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-
mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau
tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan


wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang
yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan
dengan kaum wanita pada waktu bai’at itu belum disepakati,
karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa
Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu
bai’at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah
r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah
menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa


Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang
berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-


perempuan yang beriman untuk mengadakan janji
setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan
sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri,
tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-
anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3
dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang
baik, maka terimalah janji setia mereka dan
mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (al-Mumtahanah: 12)
Aisyah berkata, “Maka barangsiapa diantara wanita-
wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut,
Rasulullah saw.berkata kepadanya, “Aku telah
membai’atmu – dengan perkataan saja – dan demi Allah
tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita
dalam bai’at itu; beliau tidak membai’at mereka
melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah
membai’atmu tentang hal itu.'” 4

Dalam mensyarah perkataan Aisyah “Tidak, demi Allah …,” al-


Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut:
Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan
dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal
berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat
Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari
(jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah,
mengenai kisahbai’at, Ummu Athiyah berkata:

“Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah


dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian
beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah.'”

Demikian pula hadits sesudahnya – yakni sesudah hadits yang


tersebut dalam al-Bukhari – dimana Aisyah mengatakan:

“Seorang wanita menahan tangannya”

Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai’at dengan


tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Untuk yang pertama itu dapat


diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab
mengisyaratkan telah terjadinya bai’at meskipun tidak sampai
berjabat tangan… Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud
dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum
bersentuhan… Atau bai’at itu terjadi dengan menggunakan lapis
tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya’bi bahwa


Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain
selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas
tangan beliau, seraya berkata,

“Aku tidak berjabat dengan wanita.”

Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw.


memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga
memasukkan tangannya bersama beliau.

Ibnu Hajar berkata: “Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni


peristiwa bai’at itu terjadi lebih dari satu kali,
diantaranya ialah bai’at yang terjadi di mana beliau tidak
menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan
menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai’at
hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang
diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain
beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan
menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh
asy-Sya’bi.”

Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan


Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada
lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan
Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.

Diantara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-


ulangnya bai’at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan bai’at
wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya
peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah –
secara lahiriah – membicarakan yang lebih umum daripada itu
dan meliputi bai’at wanita mukminah secara umum, termasuk
didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si
perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits
Aisyah di bawah bab “Idzaa Jaa aka al-Mu’minaat Muhaajiraat,”
sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab “Idzaa
Jaa aka al- Mu’minaat Yubaayi’naka.”

Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan


acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan – yaitu bahwa Nabi
saw. tidak berjabat tangan dengan wanita – belumlah
disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak
merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan
masih diperselisihkan

Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan


berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil
riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar dari
Nabi saw., beliau bersabda:

“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu


dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita
yang tidak halal baginya.”5

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan


pengambilan hadits di atas sebagai dalil:

1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas


akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-
Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, “Perawi-perawinya
adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih.”
Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan
kesahihan hadits tersebut, karena masih ada
kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha’)
atau terdapat ‘illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits
ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun
kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang
pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar
untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki
dengan perempuan dan sebagainya.

2. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat


digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka
petunjuk/dalalahnya tidak jelas. Kalimat “menyentuh kulit
wanita yang tidak halal baginya” itu tidak dimaksudkan semata-
mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat,
sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan
kata-kata al-mass (massa – yamassu – mass: menyentuh) cukup
digunakan dalam nash-nash syar’iyah seperti Al-Qur’an dan As-
Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:

a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis


(jima’) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan
firman Allah: “Laamastum an-Nisat” (Kamu menyentuh wanita).
Ibnu Abbas berkata, “Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass
dalam Al-Qur’an dipakai sebagai kiasan untuk jima’ (hubungan
seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan
kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti
firman Allah yang diucapkan Maryam:

“Betapa mungkin aku akan mempunyai anak


padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang
laki-laki pun …” (Ali Imran:47)

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh


mereka…” (al-Baqarah: 237)
Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati
istri-istrinya tanpa menyentuhnya ….

b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah


kategori jima’, seperti mencium, memeluk, merangkul, dan
lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima’ (hubungan
seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam
menafsirkan makna kata mulaamasah.

Al-Hakim mengatakan dalam “Kitab ath-Thaharah” dalam al-


Mustadrak ‘al a ash-Shahihaini sebagai berikut :

Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-


hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih yang
menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan)
dibawah jima’:

(1) Diantaranya hadits Abu Hurairah:

“Tangan, zinanya ialah menyentuh…”

(2) Hadits Ibnu Abbas:

“Barangkali engkau menyentuhnya…?”

(3) Hadits lbnu Mas’ud:

“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan
petang)…”6

Al-Hakim berkata, “Dan masih ada beberapa hadits sahih pada


mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya …”
Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:

(4) Dari Aisyah, ia berkata:


“Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw. mengelilingi
kami semua – yakni istri-istrinya – lalu beliau mencium dan
menyentuh yang derajatnya dibawah jima’. Maka apabila beliau
tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau
menetap di situ.”

(5) Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Au laamastum an-


nisa” (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan dibawah
jima’, dan untuk ini wajib wudhu.”

(6) Dan dari Umar, ia berkata, “Sesungguhnya mencium itu


termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya.”7

Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah saw.,


niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-
mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan
tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah
tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu adalah
tasyri’ dan untuk diteladani:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw.


itu suri teladan yang baik bagimu…” (al-Ahzab:
21)
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada
“Kitab al-Adab” dari Anas bin Malik r.a., ia berkata:

“Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak


penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu
membawanya pergi ke mana ia suka.”

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:

“Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak


penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah
saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari
tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka.”

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:

“Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah


kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini
meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’,
karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan
disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-
kata umum dengan lafal al-imaa’ (budak-budak perempuan),
yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan
haitsu syaa’at (kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana
saja. Dan ungkapan dengan “mengambil/memegang tangannya”
itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun
si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia
meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi
keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa


tawadhu’nya Rasulullah saw. dan betapa bersihnya beliau
dari sikap sombong.”10

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar
dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang
tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang
berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima,
karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang
dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan
itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau
indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir.
Sedangkan dalam hal ini tidak dijumpai faktor yang mencegah
atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam
Ahmad yang menyebutkan “maka beliau tidak melepaskan
tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi
kemana saja ia suka” menunjukkan dengan jelas bahwa makna
lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-
beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna
lahir ini.

Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan


dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas “bahwa Nabi
saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu
Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, danbeliau tidur di
sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan
Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau
dari kutu …”

Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits


ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni
tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan
adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing
(bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan,
menyediakan keperluannya, dan sebagainya.

Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya


dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini
menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil
Barr berkata, “Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui
Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu
Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan “sebagai ibu
susuan” atau bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau
tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang
layak dilakukan oleh mahram.”

Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan


sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai
hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara
ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani
Najjar …

Yang lain lagi berkata, “Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari
dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya
terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain
mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci
dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor,
dan ini termasuk kekhususan beliau.”

Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi ‘Iyadh dengan


argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan
dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya
kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada
dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau
dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang
menunjukkan kekhususannya.

Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras


lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama,
yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara
Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata:

“Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah


seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab.
Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak
ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita
Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin
Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-
Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid
bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu
Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin
Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan
bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini
adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa’ad
bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani Zahrah,
kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan saudara
Aminah, baik nasab maupun susuan.”

Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, “Apabila sudah tetap yang


demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang
menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah masuk ke tempat
wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim.
Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau
menjawab, ‘Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh
dalam peperangan bersama saya.’ Yakni Haram bin Milhan, yang
terbunuh pada waktu peperangan Bi’r Ma’unah.”

Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu


Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram
tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup didalam
satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka
berdua. Maka ‘illat (hukumnya) adalah sama diantara keduanya,
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.

Dan ditambahkan pula kepada ‘illat tersebut bahwa Ummu


Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah
berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani,
serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi
diantara orang-orang luar.

Kemudian ad-Dimyati berkata, “Tetapi hadits itu tidak


menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan
Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak,
pembantu, suami, atau pendamping.”

Ibnu Hajar berkata, “Ini merupakan kemungkinan yang


kuat,tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan
dariasalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan)
dalammembersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di
pangkuan.”
Al-Hafizh berkata, “Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini
ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini
tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak ditetapkan
kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah
jelas.”11

Tetapi mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?

Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang


mantap dalam hati adalah bahwa semata-mata bersentuhan
kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang
menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi
antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta
aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak
mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan
ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh,
seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita
yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak
perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu
maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya,
lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.

akan tetapi hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada


kebutuhan saja, misalnya dengan kerabat atau semenda (besan)
yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka;
dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi
membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil
sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. – tidak ada riwayat
kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan
dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai
hubungan yang erat).

Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang
komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat tangan
dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan
barulah ia menjabat tangannya.
Wallahu a’lam. (dikutip dari fatwa Al Qordlowi dan berbagai
sumber)
Catatan kaki:

1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155. ^


2 Ibid., 4: 156-157 ^
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan
kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-
pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan
wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan
bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur’an dan
Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.) ^
4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam “Kitab Tafsir Surat al-
Mumtahanah,” Bab “Idzaa Jaa’aka al-Mu’minaatu
Muhaajiraat.” ^
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: “Perawi-perawi
Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang
sahih.” ^
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-
Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam
sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang
kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah
berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya,
menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya,
seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah
menurunkan ayat (yang artinya), “Dan dirikanlah shalat itu
pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian
permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang
buruk…” (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam “Kitab
at-Taubah,” nomor 40) ^

7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135. ^


8 Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21,
hlm. 223-224. ^
9 Ibid. ^
10 Fathul Bari, juz 13. ^
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan
susunan redaksional ^

Isbal (Memanjangkan Kain Melebihi Mata Kaki)


Perbedaan pendapat tentang isbal sudah lama ada, meski ada sebagian
kalangan yang agaknya tetap memaksakan pendapatnya. Setidaknya ada
dua pendapat tentang hal ini, yakni

1. Isbal Mutlak Haram, dengan atau tanpa kesombongan

Dalilnya adalah:

“Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu
tempatnya di neraka.” [Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam


hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Sulaim:

“Jauhilah isbal olehmu, karena itu tergolong kesombongan.” [Hadits


Riwayat Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih]

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang


tsabit dari beliau :

“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari
kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan
mendapat azab yang sangat pedih, Rasulullah mengatakannya tiga kali:
yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual
barang dagangannya dengan sumpah palsu.” [HR Muslim dalam
shahihnya]

Tidak ada beda apakah dia melakukan karena sombong atau tidak. Itu
berdasarkan keumuman banyak hadits. Dan juga karena secara
keumuman itu dilakukan karena sombong dan angkuh, walau dia tidak
bermaksud demikian. Perbuatannya adalah perantara menuju
kesombongan dan keangkuhan. Dan dalam perbuatan itu juga ada
mengandung unsur meniru wanita dan mempermudah pakaian dikenai
kotoran dan najis. Serta perbuatan itu juga menunjukkan sikap berlebih-
lebihan.
Siapa yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam :

“Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan


melihatnya di hari kiamat.” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Adapun sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar Ash
Shiddiq Radliyallah’anhu ketika dia mengatakan kepada beliau bahwa
sarungnya sering melorot kecuali kalau dia benar-benar menjaganya:

“Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang yang melakukannya


karena sombong.” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Ini adalah bantahan bagi orang yang melakukannya, tapi berdalil dengan
apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq. Bila dia memang benar-
benar menjaganya dan tidak sengaja membiarkannya, itu tidak mengapa.

[Dari Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari
Majalah Ad Da’wah hal 220]

Pendapat Syaikh Bin Baz ini sesuai dengan pendapat Syaikh Al


Mubarokfury dalam kitabnya “Tuhfatul Ahwadzi”.

2. Pendapat Yang Mengharamkan Bila Dengan Niat Riya’

Al-Imam An-Nawawi (wafat 676 H), dalam Syarah Shahih Muslim,


beliau menuliskan :

Adapun hadits-hadits yang muthlaq yang menyatakan bahwa apa saja


(pakaian) yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila
dilakukan untuk kesombongan. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa
kepada muqayyad, wallahu a’lam.

Dan Khuyala’ adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat


sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan
isbal) pada kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa
hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong.
Dan Nabi SAW telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu
Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, “Kamu bukan bagian dari
mereka.” Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena
sombong.

Pendapat lain dikemukakan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan


Abu Dawud, saat menjelaskan hadits tentang isbal:

(ketika seorang lelaki sedang shalat dalam kondisi isbal): yakni


mengulurkan kain dibawah mata kaki dalam kondisi sombong, dan
memanjangkan ujung pakaian hukumnya makruh menurut Abu Hanifah
dan Asy Syafi’i, baik dalam sholat maupun diluar sholat, dan Malik
membolehkannya dalam sholat, namun melarangnya saat berjalan
karena nampaknya kesombongan padanya (saat berjalan). Demikian
dikatakan dalam (kitab) Al Mirqâh

Al Mardawi (w. 885 H), dalam al Inshaf, 1/472 menyatakan:

“dimakruhkan baju lelaki diatas separo betis (kependekan),… , dan


dimakruhkan pula menambahkan (panjangnya) hingga dibawah mata
kaki tanpa ada hajat,… dan an Nadzim menyatakan: “siapa yang tidak
khawatir (dengan memakai baju dibawah mata kaki) akan
menjadikannya sombong maka tidak makruh”. Dan yang lebih utama
adalah meninggalkannya, ini berkaitan dengan (pakaian) laki-laki”

Imam Ibnu Muflih (w. 763), Al Adab Asy Syar’iyyah, 3/521, setelah
menyatakan pendapat pendapat Imam Ahmad (dalam satu riwayat), juga
ashab hanabilah bahwa tidaklah haram memanjangkan kain pakaian jika
tidak bermaksud sombong, beliau menulis tentang Imam Abu Hanifah
yang memanjangkan kainnya bahkan ke tanah, dan memahaminya itu
tidak haram, ini pula pendapat Ibnu Taymiyyah:

***

Maka klaim bahwa isbal itu haram secara mutlak dan sudah disepakati
oleh semua ulama adalah klaim yang kurang tepat, begitu pula
menyatakan isbalnya Abu Bakar r.a itu karena darurat juga kurang
tepat, bagaimana bisa disebut darurat karena pada saat itu juga kainnya
bisa dipotong biar tidak kepanjangan, sebagaimana sahabat yg langsung
merobek kleman baju yang ada sutranya ketika Rasulullah melarang
memakai sutra. Alasan yang tepat kenapa Abu Bakar boleh Isbal adalah
karena tidak sombong itu, ini dinyatakan oleh Asy Suyuthi:

‘Ala kulli haal, yang manapun pendapat yang kita pilih, seharusnya
sebagai muslim kita saling menghargai perbedaan ini. Allahu a’lam
Khalwat Halal Vs Khalwat Haram

Makna Khalwat

Dikatakan di dalam kamus al-Muhîth:

Dia meminta berduaan dengan raja, maka raja pun menyendiri


dengannya; khalâ bihi, khalâ ilayhi dan khalâ ma’ahu (mashdarnya)
khalwan, khalâ’an dan khalwat[an], (maknanya adalah) memintanya
untuk bertemu berduaan saja, lalu ia pun melakukannya.

Dalam mausû’ah al fiqhiyyah dinyatakan:

Khalâ ar rajulu bi shâhibihi wa ilaihi wa ma’ahu khuluwwan wa


khalâan wa khalwatan: sendirian bersamanya dan berkumpul dengannya
di tempat yg sunyi.

Sedangkan ungkapan ٌ‫ نِسا ٌء خا ِليات‬maknanya adalah wanita yang tidak


memiliki suami dan anak.

Penggunaan kata khalwat oleh para fuqoha tidaklah terlepas dari


pengertian secara bahasa, yakni menyendiri ditempat yang tidak ada
orang lain (tidak ada kontrol dari orang lain).

Hukum Khalwat

Khalwat dalam makna menyepi sendirian (satu orang) di tempat yang


sunyi hukum asalnya adalah boleh (jawaz), bahkan bisa menjadi
mustahab (disenangi) jika menyendiri dalam rangka berdzikir dan
beribadah, sebagaimana kegemaran Muhammad SAW sebelum beliau
diangkat sebagai Nabi & Rasul beliau sering berkhalwat di gua Hira’.
Imam An Nawawi berkata:

Khalwat adalah kebutuhan orang-orang shalih dan hamba-hamba Allah


yg ‘ârif
Khalwat dalam makna dua orang menyendiri di suatu tempat yang sunyi
hukumnya boleh bagi:

1. Laki-laki dengan laki-laki.


2. Perempuan dengan perempuan.
3. Laki-laki dengan wanita yang menjadi mahramnya.
4. Laki-laki dengan istrinya.
5. Laki-laki dengan wanita yang bukan mahram tetapi mereka berdua
di hadapan manusia yang lain pada tempat yang tidak terlindung
(terhijab) dari pandangan manusia yg lain, manusia yang lain
masih dapat melihat mereka namun tidak mendengar apa yg
mereka berdua bicarakan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah
dengan wanita Anshar dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari
Anas ibn Malik :

Telah datang seorang wanita Anshar kepada Nabi SAW Maka Nabi
bersendirian (khalaa) dengan wanita itu, dan berkata,”Demi Allah
Sesungguhnya kalian (wahai Anshar) merupakan orang-orang yang
paling aku cintai”. (HR Bukhari No. 4833).

Dalam hadits riwayat Bukhari No. 502 disebutkan bahwa wanita


tersebut membawa bayinya (‫ي لها‬ ٌّ ‫)ومعها ص ِب‬. Ibnu Hajar Al Asqalany
menjelaskan bahwa menyendirinya Nabi bukan berarti tidak ada orang
lain sama sekali, melainkan orang lain tidak mendengar apa yg
dibicarakan oleh Nabi dg wanita tsb, buktinya Anas masih mendengar
salah satu perkataan nabi yang menyatakan cintanya kepada kaum
Anshar.

Khalwat dalam makna menyendirinya seorang pria dengan seorang


wanita asing di suatu tempat yang tidak memungkinkan orang lain untuk
bergabung dengan keduanya, kecuali dengan izin keduanya, para ‘ulama
sepakat menyatakan hukumnya haram walaupun mereka menyendiri
untuk melakukan shalat sekalipun (An Nawawi, Syarh Shahih Muslim),
kecuali dalam kondisi darurat misalnya wanita asing yang tersesat yang
dikhawatirkan dia akan celaka kalau ditinggalkan seorang diri, seperti
kasus tertinggalnya Aisyah dari rombongan Rasulullah SAW.
Rincian Hukum Khalwat dg Wanita Asing

Yang dimaksud dengan wanita asing (ajnabiyyah) adalah wanita yang


bukan istri dan bukan mahram. Yang dimaksud dg mahram adalah org
yang haram menikahinya secara permanen, baik karena ikatan kerabat
(saudara, ayah, dst), persusuan, atau perkawinan (mertua dst). Berarti
mahramnya wanita adalah laki-laki yg haram menikahi wanita
tersebut secara permanen. Hadist-hadits yang membicarakan khalwat
antara lain:

1. “Jauhilah masuk (kerumah) wanita (sendirian)”. Maka seorang


sahabat Anshar bertanya,”Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu
dg laki-laki keluarga dekat suaminya(ipar)?” Rasulullah
menjawab,”Laki-laki keluarga dekat suami (ipar) itu kematian
(berbahaya) !” (HR. Bukhari nomor 4831, dari ‘Uqbah ibn ‘Amir).

2. barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah


berkhalwat dg seorang wanita tanpa mahramnya (wanita tersebut)
karena yg ketiga adalah syaitan (HR Ahmad No. 14124, dari Jabir bin
Abdullah)

3. ”Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita


(asing) kecuali bersama mahramnya”. Maka seorang sahabat berdiri
lantas berkata,”Wahai Rasulullah, bagaimana kalau isteriku sedang
keluar rumah untuk berhaji sementara aku harus mengikuti perang ini
atau itu”. Rasulullah menjawab,”Kembalilah dari perang dan temani
isterimu berhaji”.(HR. Bukhari nomor 4832, dari Ibn ‘Abbas).

4. “Janganlah seorang laki-laki bersendirian bersama wanita dan


janganlah seorang wanita melakukan safar (perjalanan jauh) kecuali
bersama mahramnya. Maka seorang sahabat berkata,”Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku ingin ikut serta dalam pasukan ini atau
itu sementara isteriku ingin berhaji”. Maka Rasulullah
menjawab,”Pergilah kemudian berhajilah bersama isterimu”. (HR.
Bukhari nomor 2784, dari Ibn ‘Abbas)
5. “Ingatlah, Janganlah seorang laki-laki menginap bersama dengan
seorang wanita janda, kecuali jika dia itu menikahinya atau
mahramnya”. (HR. Muslim nomor 4063, dari Jabir)

6. “Sekelompok (laki-laki) Bani Hasyim menemui Asma’ binti ‘Umais


(dan Asma’ sedang sendirian), maka Abu Bakr setelah itu kebetulan
masuk juga ke tempat Asma’, saat itu Asma’ merupakan hamba milik
Abu Bakr.. Melihat para lelaki itu, Abu Bakr jadi tidak suka. Maka Abu
Bakr pun melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi. Abu Bakr
berkata,”Saya tidak melihat (mereka) kecuali (mereka berbuat)
kebaikan”. Maka Rasulullah berkata,”Sesungguhnya Allah berlepas
tangan dalam kejadian semacam itu”.Kemudian Rasulullah bangkit
menuju mimbar dan bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki,
sesudah hari ini, masuk menemani seorang wanita yang sedang
sendirian, kecuali jika laki-laki itu ditemani seorang laki-laki lain
atau ditemani dua laki-laki lain”. (HR Muslim, nomor 4039, dari
Abdullah ibn’Amr ibn al-‘Ash)

Dari hadits-hadits tersebut diatas, akan ada pertentangan kalau difahami


masing-masing secara terpisah. Dapat dipahami dari hadits 1 bahwa
kalau ada 3 orang yang berkumpul maka boleh, tanpa syarat harus
mahram, namun dari hadits no 2, 3, 4, 5, dan 6, banyak orang yang
berkumpul tidak otomatis menjadikan hukumnya boleh, namun
disyaratkan harus ada laki-laki yang menjadi mahram wanita (salah satu
wanita) tersebut. Oleh sebab itu sepertinya bukan kapasitas saya untuk
berijtihad dalam hal ini, saya hanya akan menyampaikan beberapa
pendapat ‘ulama berkaitan dengan hal ini.

Para fuqaha (ahli fiqh) sepakat bahwa haram berkhalwat seorang lelaki
dan seorang wanita asing (jadi jumlah orangnya hanya dua orang).
Namun mereka berbeda pendapat kalau jumlah orangnya lebih dari 2,
yakni:
1. Para ‘Ulama Madzhab Syafi’i:

a. Imamul Haramain : satu laki laki dg dua wanita atau lebih, wanitanya
tanpa mahram maka hukumnya haram menyendiri dengan mereka. Jika
salah satu wanita tersebut adalah mahram bagi laki-laki tersebut maka
boleh hukumnya. Begitu juga jika satu wanita dengan 2 atau lebih laki-
laki, dan salah satu laki-laki adalah mahram wanita tsb maka boleh
hukumnya. Intinya dalam semua kasus khalwat baik satu laki-laki dg
banyak wanita, satu wanita dengan banyak lelaki, atau banyak wanita
dengan banyak lelaki, salah satu wanita yang berkhalwat haruslah
bersama mahramnya.

b. As Syafi’i menulis bahwa tidak boleh seorang lelaki shalat bersama


seorang wanita kecuali wanita tsb bersama mahramnya, juga tidak boleh
seorang lelaki dengan banyak wanita menyendiri tanpa ada mahram dari
salah satu wanita. Dari Al Qoffal juga dinyatakan seperti pendapat Imam
Al Haramain.

c. Penulis kitab Al Majmu’ (Imam An Nawawi) membolehkan seorang


lelaki berkhalwat dengan banyak wanita tanpa mahram, namun
mengharamkan banyak lelaki berkhalwat dengan satu wanita tanpa
mahram, dan dikatakan juga jika mereka (para lelaki) aman dari berbuat
keji maka boleh. Hal ini juga disebut dalam kitab Hasyiyah Al Jamal.

2. Ulama Madzhab Hanafi : Boleh berkhalwat jika ada pihak ketiga


(jumlah totalnya minimal 3 orang), baik orang ke-3 tersebut mahram
bagi laki-laki, maupun wanita yang tsiqot (yang bisa dipercaya) yang
bukan mahram.

3. Ulama Madzhab Maliki : Makruh hukumnya satu laki-laki shalat dg


banyak wanita, dan juga sebaliknya, walaupun ada mahramnya.

4. Ulama Madzhab Hanbali: Haram berkhalwat satu laki-laki dengan


banyak wanita atau satu wanita dengan banyak lelaki (yang wanitanya
tanpa mahram).
Khalwat dengan Tunangan

Para ulama telah sepakat bahwa tunangan (wanita yang telah di


khitbah—belum nikah) hukumnya seperti wanita asing, sehingga haram
berduaan dengannya.

Khalwat Untuk Pengobatan

Haram hukumnya berkhalwat dengan wanita asing dalam pengobatan


walaupun dalam keadaan darurat, kecuali jika wanita tadi ditemani
mahramnya, suaminya atau wanita yang tsiqot (terpercaya), ini pendapat
Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah.

Khalwat Saat Walimah Pernikahan

Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengharamkan mendatangi walimah jika


terdapat khalwat yang diharamkan.

Khalwat Dengan Anak Belum Baligh

Diharamkan berkhalwat dengan anak (perempuan) yang belum baligh


jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah. As Syafi’i juga
mengharamkannya walaupun anak-anaknya banyak, kecuali jika aman
dari fitnah seperti di jalan raya atau di masjid.

Khalwat Dengan Mahram

Hukumnya boleh jika aman dari fitnah, akan tetapi jika dia menyimpan
‘perasaan’ dengan mahramnya maka haram.

Khalwat Dengan Istri yg telah di Cerai

Jika talak raj’i (masih bisa kembali, yakni talak 1 atau talak 2) dan
dalam masa ‘iddah maka hukumnya boleh, akan tetapi jika talaknya
talak ba’in (talak 3) maka haram.
Demikian beberapa hukum berkaitan dengan khalwat, mudah-mudahan
Allah menjaga kita dari musibah besar ini, musibah yang telah banyak
meluluh-lantakkan pergaulan kaum muslimin saat ini.

Rujukan:

1. Shahih Bukhory

2. Shahih Muslim

3. Musnad Imam Ahmad

4. Fathul Bary, Syarh Shahih Bukhary, (Ibn Hajar Al Asqalany)

5. Syarh Shahih Muslim (An Nawawi)

6. Kamus Al Muhith (Kitab 1 s.d 6 pada software Maktabah Syamilah v.


3.24)

7. Mausu’ah Al Fiqhiyyah (Kuwait) – pada software Jâmi’ul Fiqh Al


Islamy v. 1 buatan harf.

8. Nidzamul Ijtima’iy (An Nabhani)

9. Kamus Bahasa Arab v. 2.0

10.Kamus Al Munawwir
Hukum Berbohong & Tauriyyah

Berbohong secara tegas hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an


yang qoth’i. Dan keharamanya termasuk persoalan-persoalan agama
yang diketahui secara pasti. Tidak ada perbedaan antara berbohong demi
kemaslahatan umat Islam, agama atau karena yang lain. Banyak nash
menyatakan keharamannya secara umum, mutlak dan pasti serta tidak
disertai illat. Allah berfirman;

"Sesungguhnya yang mengada-ada kebohongan, hanyalah orang-orang


yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah" (Q.S. Al-Nahl: 105), dan
ayat

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang
meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita
memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan
istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita
bermubahalah[1] kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah
ditimpakan kepada orang-orang yang dusta (Q.S. Al-Imron: 61).

Larangan keras, mutlak dan umum ini tidak mempunyai ‘illat[2],


dibatasi dan ditakhsis (dikhususkan) kecuali oleh nash yang lain.
Peranan akal hanya untuk memahami nash, dan tidak lebih dari itu. Dan
tak ditemukan nash yang menunjukkan penta’lilan atau pentaqyidan
(pembatasan), baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Tetapi terdapat
nash lain yang mentakhsis nash diatas. Dalam nash tersebut ada
beberapa kondisi tertentu yang dikecualikan dari keharaman berbohong,
dan ini tidak boleh keluar dari yang telah disebutkan dalam beberapa
hadits.

"Bukanlah termasuk pendusta orang yang mendamaikan pihak-pihak


yang bertikai, yang berkata demi kebaikan, dan yang membangkitkan
(mengingatkan) kebaikan." lbnu Syihab (salah satu perawi hadits)
berkata; ‘Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang
diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yaitu; dusta dalam
peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan
dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami[3] (untuk meraih
kebahagiaan atau menghindari keburukan) (HR. Muslim dari Ummu
Kultsum)

Dari Asma binti Yazid, ia berkata; Rasulullah berkhutbah:

"Wahai sekalian manusia, apa yang mendorong kalian ikut-ikutan


berdusta sebagaimana anai-anai berebut ke api, setiap perbuatan dusta
akan dicatat atas anak adam kecuali tiga hal; seorang suami yang
berbohong kepada isterinya supaya isterinya ridla, atau seseorang yang
berdusta dalam rangka strategi perang dan seseorang yang berbohong
di antara kedua belah pihak dari kaum muslimin untuk mendamaikan
keduanya." (HR. Ahmad dan at Thabrani)

Oleh sebab itu, berbohong hukumnya haram kecuali dalam tiga hal: 1)
seseorang yang berbohong kepada istrinya demi ingin melihat istrinya
senang, 2) seseorang yang berbohong dalam situasi perang, karena
perang itu penuh muslihat dan 3) seseorang yang berbohong untuk
mendamaikan mereka yang sedang bertikai". Ketiga hal ini adalah
pengecualian dari keharaman berbohong dengan nash yang shohih.
Maka tidak boleh berbohong selain 3 kasus diatas. Karena tidak ada
pengecualian dari keumuman satu nash kecuali yang telah ditentukan
oleh dalil. Kata -kata "saat perang" dalam hadits diatas hanya
mempunyai makna satu, tidak lebih dari itu. Yaitu situasi perang nyata
dalam persoalan perang. Maka sama sekali tidak diperbolehkan
berbohong dalam keadaaan bukan perang.

Sementara riwayat yang menyatakan "bahwa Nabi ketika hendak


berperang, beliau menyembunyikannya dengan yang lain", itu yang
dimaksud adalah bahwa ketika menginginkan suatu hal, beliau tidak
menampakkan hal itu. Seperti saat beliau berperang melalui arah timur,
beliau malah bertanya tentang satu hal di arah barat dan bersiap-siap
untuk melakukan perjalanan. Sehingga orang yang melihat dan
mendengarnya menduga ia akan melewati arah barat. Dan tidak ada
pernyataan yang tegas bahwa beliau ingin ke barat sementara
maksudnya ke timur, artinya beliau tidak memberikan informasi yang
berlawanan dengan realita, tetapi ini termasuk dari tauriyah (hal
melahirkan diluar yang dimaksudkan). Lebih dari itu, kasus diatas
termasuk dalam kondisi peperangan dan dalam urusan perang, karena
pergi menuju medan pertempuran untuk memerangi musuh. Dan itu
termasuk khid’ah, tipuan yang terdapat dalam hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, ٌ‫ب خدْعة‬ ْ
ُ ‫الح ْر‬:(perang adalah tipu
muslihat).

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Jabir tentang perkataan


Muhammad bin Maslamah yang mau membunuh Ka’ab Bin Asyraf
(musuh yg hendak dibunuhnya), dan diizinkan Nabi SAW, dg perkataan:

Sungguh laki-laki ini -maksudnya adalah Rasulullah saw.- telah


membebaniku dan meminta kepadaku sedekah.

Kasus ini terjadi saat perang. Meskipun teks hadits menyatakan bahwa
ucapan Muhamad ibn Musallamah adalah benar, dan bukan bohong,
tetapi sebenarnya itu adalah ungkapan ta’ridl (sindiran). Dia meminta
kepada Nabi saw. untuk dapat mengatakan apapun, dan Nabi saw.
memberinya izin mengatakan apapun, termasuk berbohong secara talwih
dan tasrih. Dan itu terjadi saat perang.

Adapun hadits yang diriwayatkan Ahmad dan An Nasa’i dari haditsnya


Anas dalam kasus Al-Hajjaj ibn ‘Ilath yang meminta izin pada
Rasulullah untuk dapat mengatakan apa yang dia kehendaki demi untuk
menyelamatkan hartanya dari kaum Makkah, lalu Nabi memberinya izin
dan menginformasikan kepada kaum Makkah bahwa kelompok Khaibar
telah mengalahkan umat Islam, itu karena dianggap dalam kategori
perang, karena penduduk Makkah sedang terjadi kontak senjata dengan
umat Islam. Al-Hajjaj ibn ‘Ilath adalah orang Islam. Dia berjalan
diantara orang-orang kafir yang sedang melakukan kontak senjata
dengan umat Islam, maka boleh berbohong kepada mereka. Karena,
diperbolehkannya berbohong tidak hanya terbatas pada mereka yang
ikut berperang, tetapi juga boleh bagi umat Islam lainnya untuk
berbohong kepada para musuh, orang-orang kafir yang sedang berperang
dengan umat Islam.
Adapun hadits Riwayat Al-Bazzar yang menyebutkan,

"berbohong itu sudah dicatat (sebagai dosa) kecuali yang bermanfaat


bagi orang Islam atau bisa melindunginya”.

Hadits ini adalah hadits dlo’if (lemah) yang tidak bisa dipakai hujjah, Al
Bazzar mengatakan:

Aku tidak mengetahui dg lafadz ini kecuali dari sanad ini, Riysdin dan
Abdurrahman (dua perowi hadits ini) bukanlah orang yang baik
hafalannya.

Al Baberkata pemilik kitab Majma’uz Zawaid: dalam sanad hadits diatas


terdapat nama Risydin dan yang lainnya yang termasuk perowi yg
dlo’if[4].

Hukum Tauriyyah

Tauriyah adalah kalimat yang mengandung makna ganda;. Makna dekat


(mudah ditangkap) dan makna jauh (sulit dijangkau). Dan pembicara
menghendaki makna yang jauh, sementara pendengar memahaminya
makna yang dekat. Maka dalam kasus ini, meskipun pendengar
menangkap makna yang tidak dimaksud pembicara, tetapi ia tidak
memahaminya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan realita. Nabi
pun pernah melakukan tauriyah. Dalam Shohih Bukhori disebutkan
bahwa Anas ibn Malik RA berkata; berjalan Nabi Allah SAW menuju
Madinah, beliau mengikuti Abu Bakar, Abu Bakar adalah seorang kakek
yang terkenal, sementara Nabi Allah SAW seorang pemuda yang belum
dikenal. Anas berkata: lalu salah seorang menemui Abu Bakar dan
bertanya: wahai Abu Bakar, siapakah pemuda yang bersamamu? Lalu
Abu Bakar menjawab; dialah yang menunjukkanku jalan. Anas berkata:
orang mengira bahwa yang dimaksud adalah jalan dalam arti yang
sebenarnya (yakni guide/pekerja penunjuk jalan), meskipun maksud Abu
Bakar adalah jalan kebaikan.
Adapun Tauriyah selain saat perang, jika dipahami oleh pendengar
sebagai yang berlawanan dengan fakta, seperti penggunaan kalimat yang
tidak menunjukkan pada fakta dan lainya baik secara etimologi mauapun
terminologi dan itu diyakini kedua belah pihak; pembicara dan
pendengar, maka itu adalah kebohongan yang tidak diperbolehkan.
Contohnya seperti satu golongan yang membuat terma (istilah) tertentu,
kemudian mereka ungkapkan pada orang yang tidak mengerti istilah itu,
atau itu adalah istilah khusus bagi pembicara yang tidak dimengerti oleh
si pendengar, maka itu adalah kebohongan. Sebab, meskipun bagi
pembicara itu adalah tauriyah, tetapi pendengar memahaminya sebagai
ucapan yang bertabrakan dengan realita, maka hal itu tidak bisa
dikategorikan sebagai tauriyah.

Berbeda jika lafadz tersebut bisa dipahami oleh realita dan lainnya,
maka itu termasuk dari seni bahasa (balaghoh), dan itu bukan suatu
kebohongan. Seperti ungkapan orang Arab pada seseorang yang bermata
satu, "mudah-mudahan kedua matanya sama", kalimat ini bermakna
ganda, bisa mendoakan kesembuhannya (kedua matanya bisa melihat),
tetapi bisa pula berarti mendoakan jelek (kedua matanya menjadi buta).
Allahu A’lam.

[1] Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang


berbeda pendapat mendoakan kepada Allah dengan sungguh-sungguh,
agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi
mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak
berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw

[2] sesuatu yang keberadaannya menyebabkan adanya hukum atau


perkara yang memunculkan suatu hukum (Taisirul Wushul Ilal Ushul
hal. 90)

[3] Dusta krn sayang, bukan dusta untuk mengurangi haknya, kalau
dusta untuk mengurangi haknya maka haram. Syarh an nawawi : ‫وأ َّما‬
ُ‫ار ْال ُو ِد و ْالو ْع ِد بِما َّل ي ْلز ُم ون ْح ُو ذ ِلك فأ َّما ْال ُمخادعة‬ ْ ِ‫ك ِذبُهُ ِلز ْوجتِ ِه وك ِذبُها لهُ ف ْال ُمراد ُ بِ ِه ِفي إ‬
ِ ‫ظه‬
‫فِي م ْنعِ ما عل ْي ِه أو عليها أو أخذ ماليس لهُ أ ْو لها ف ُهو حرا ٌم ِبإ ِ ْجماعِ ْال ُم ْس ِل ِمين‬
Hukum-Hukum Berkaitan dengan Safar

1. Definisi Safar

ْ ‫طعِ مساف ِة ْالق‬


َّ ‫ص ِر ال‬
‫ش ْر ِعيَّ ِة فما ف ْوقها‬ ْ ‫ص ِد ق‬
ْ ‫سف ُر ُهو ْال ُخ ُرو ُج على ق‬
َّ ‫ ال‬:ِ‫ص ِطالح‬
ْ ‫وفِي ا َِّل‬
Secara istilah: Safar adalah keluar (bepergian) ke (tempat) tujuan yang
jaraknya jarak qoshor syar’I atau lebih[1]

Adapun jarak qashar minimal adalah 4 barid atau perjalanan dua hari,
atau sekitar 81 km.[2]

2. Shalatnya Musafir

a. Shalat Qashar

Saat bepergian shalat boleh diqashar (yakni shalatnya menjadi dua


rakaat saja, kecuali shalat maghrib tetap 3 raka’at), berdasarkan firman
Allah Ta’ala :

“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa


kalian mengqashar shalat kalian, jika kalian takut diserang orang-orang
kafir”.( Q.S. 4 : 101 ).

Ya’la bin Umayah berkata : Aku telah bertanya kepada Umar r.a.
tentang firman Allah : ( Q.S. 4 : 101), …mengapa kalian mengqashar
shalat kalian, jika kalian takut . . .”) ), sedangkan dewasa ini orang-orang
telah aman. Umar menjawab : Aku kagum ( heran ) dari apa yang
engkau herankan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. ( tentang
firman Allah Ta’ala tersebut ), lalu beliau menjawab :

“Itu adalah sedekah dari Allah untuk kalian, maka terimalah oleh
kalian sedekahNya itu “ (HR. Muslim)

Mengqashar shalat pada waktu sedang berpergian adalah lebih afdhal


dari shalat biasa, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain
yang mengatakan :
“Aku berhaji dengan Rasulullah s.a.w. maka beliau shalat dua rakaat.
Aku bepergian dengan Abu Bakar maka dia shalat dua rakaat sampai ia
berangkat. Aku bepergian dengan Umar maka dia shalat dua rakaat
sampai ia berangkat. Dan aku bepergian dengan Utsman maka ia pun
shalat dua rakaat selama enam tahun. Kemudian dia menyempurnakan
(shalat ) di Mina”.

b. Shalat Jama’

Dalam bepergian yang membolehkan mengaqashar shalat diperbolehkan


juga menjama’nya, yakni antara Zhuhur dengan Ashar dan antara
Maghrib dengan Isya. Namun demikian, tidak diperbolehkan menjama’
shalat antara Ashar dengan Maghrib dan antara Isya dengan Shubuh
serta antara Shubuh dengan Zhuhur.

Ibnu Umar r.a. meriwayatkan: “Rasulullah saw. bila benar-benar


bepergian, maka beliau menjama’ antara (shalat) Maghrib dengan
(shalat) Isya”.

Anas r. a. telah meriwayatkan: “Sesungguhnya Nabi saw. menjama’


antara (shalat) Zhuhur dengan (shalat) Ashar”.

Tidak didapatkan sebuah riwayat pun yang mengemukakan bahwa


beliau pernah menjama’ shalat selain shalat-shalat di atas, yakni selain
shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat
Isya.

3. Puasanya Musafir

Seorang musafir juga boleh tidak berpuasa, namun wajib diganti (di
qodlo) di hari lain. Allah berfirman:

dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain (QS. 2 : 185)
Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya Allah telah menggugurkan puasa dan separoh sholat dari


musafir, dan menggugurkan puasa saja dari wanita hamil dan menyusui
(HR Ahmad, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).

4. Seorang musafir juga boleh menyapu dua sepatu saja saat berwudlu
selama 3 hari safar, sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut:

5. Seorang Musafir tidak wajib shalat jum’at, namun tetap wajib shalat
dzuhur, sebagaimana sabda Rasul saw yang diriwayatkan Ad
Daruquthny:

[1] ‫ جامع العلوم في‬،33 / 3 ‫ الكليات‬.‫ م‬1985 ‫ دار الكتاب العربي‬157 ‫التعريفات‬
‫ م‬1975 ‫ مؤسسة اْلعلمي‬169 / 2 ‫اصطالحات الفنون‬.

[2] Syaikh Ali Raghib, Ahkaamus Shalat. Dalam penentuan jarak ini
memang ada ikhtilaf.
Khalifah Umar & Utsman Merubah Hukum Islam?

Banyak kekaburan dan kekeliruan yang mengotori wajah sejarah Islam


yang murni. Ini merupakan hasil usaha yang dilakukan banyak pihak
yang memusuhi Islam agar Islam yang murni itu sampai ke generasi
berikutnya dalam rupa yang buruk dan menjijikkan. Salah satu caranya
melalui informasi dan buku-buku sejarah yang telah dipalsukan sesuai
keinginan mereka. Sumber-sumber dan maklumat yang keliru inilah
biasanya yang menjadi hidangan yang disajikan untuk makanan mental
anak-anak Islam dari satu generasi ke satu generasi. Lebih parah lagi,
pendidik-pendidik yang bertanggungjawab menghidangkan maklumat
itu pula berperan tidak lebih hanya sebagai agen pengedar semata-mata,
tanpa meneliti lebih lanjut mana yg benar dan mana yang palsu, mana
yang obat dan mana yang racun. Bagi mereka semuanya adalah benar.
Hal ini terjadi disebabkan oleh:

1. Pengetahuan sejarah Islam tidak didasari sumber asalnya, hanya


berpedoman bahan bacaan yang ia sendiri merasa itulah sumber sejarah.

2. Terpesona dengan kaedah-kaedah penyelidikan Barat modern, hingga


apapun kata ahli di Barat, itulah yg menurut mereka otentik, ilmiah dan
objektif, sedangkan yg dari literatur ulama kaum muslimin sudah usang,
lapuk, subyektif dan tidak ilmiah (atau bahkan tidak terbaca sama
sekali).

3. Berpandukan sejarah Islam yg otentik tetapi tidak iltizam dengan


semangat Islam, sehingga faktor kekeliruan yg terjadi dalam sejarah—
kalaupun itu benar adanya—dijadikan alasan untuk menikam Islam,
padahal sejarah bukanlah sumber hukum Islam. Kalau ada kekeliruan
atau buruknya penerapan Islam dalam sejarah, bukan berarti kekeliruan
atau buruknya penerapan tersebut dibolehkan oleh Islam.

Disamping 3 hal tersebut, bisa juga terjadi pengambilan kesimpulan yg


tidak tepat walaupun didasari sumber-sumber yg otentik dan semangat
untuk menjadikan Islam ‘lebih baik’ dan diterima oleh Barat dengan
budaya mereka.
Diantara penarikan kesimpulan yg tidak tepat adalah kesimpulan bahwa
“syariat berubah (ber evolusi) dikarenakan perubahan zaman dan
tempat”. Mereka berdalih diantaranya dengan merujuk kepada fakta
bahwa:

1. Umar tidak memberikan zakat untuk muallaf, padahal telah ada


ketentuannya dalam al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60).

2. Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa terjadinya kelaparan


(‘âm as-sannah/ al-majâ’ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan
pencuri telah terdapat dalam al-Quran (QS al-Maidah [5]: 38).

3. Utsman mengabaikan hukum jinayat—yakni dengan tidak


mengqishash Ubaidillah bin Umar bin Khattab yang telah terbukti
membunuh seorang muslim, padahal Allah telah mewajibkan humum
qishash dalam surat Al Baqarah [2]: 178.

Mendudukkan Permasalahan

Banyak orang yang mengatakan bahwa “bicara syari’at Islam harus


dilihat dari konteks hukum tersebut”, namun ketika bicara tiga perkara
tadi mereka lupa akan konteks terjadinya tiga perkara tsb, sehingga
dengan mudahnya mereka berkesimpulan bahwa Umar & Utsman r.a
telah mengubah hukum Islam (bahkan ini dulu dijadikan salah satu
propaganda musuh Islam untuk melengserkan bahkan membunuh
Utsman, dengan anggapan Utsman sudah keluar dari Islam atau tidak
memutuskan perkara menggunakan syari’at Islam). Adapun mengenai
tiga perkara tersebut:

1. Umar Tidak Memberikan Zakat Untuk Muallaf

Dalam masalah zakat bagi muallaf, persoalannya bukanlah Umar itu


melanggar atau meninggalkan nash al-Quran (QS 9: 60), tetapi karena
sesungguhnya muallafnya sendiri sudah tidak ada. Zakat jelas hanya
diperuntukkan bagi delapan golongan (ashnaf) yang telah dikenal sifat-
sifatnya. Akan tetapi, zakat hanya diberikan tatkala golongan itu ada
atau tatkala sifat-sifat golongan itu ada. Sebaliknya, jika golongan itu
tidak ada atau hilang sifat-sifatnya, zakat tidaklah diberikan, karena
tidaklah mungkin memberikan sesuatu kepada yg tidak ada.

Para ulama ushul fikih menjelaskan, pengaitan suatu hukum dengan


suatu sifat dari kata musytaq (ada asal katanya), menunjukkan adanya
‘illat (sebab penetapan hukum) yang melekat pada sifat tersebut. Dalam
hal ini, kata mua’llafah qulûbuhum (QS 9: 60) merupakan kata musytaq
yang menunjukkan suatu sifat yang melekat pada sekelompok orang,
yaitu ta’lîf al-qulûb (pembujukan hati). Artinya, jika ‘illat itu ada-yakni
ta’lîf al-qulûb-mereka harus diberi, tetapi jika ‘illat itu tidak ada, mereka
tidak diberi (Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, h. 571). Hal ini, kata
Taqiyudin an-Nabhani, tidak berbeda dengan pemberian zakat kepada
golongan fakir, miskin, dan amil (petugas zakat). Mereka diberi zakat
jika ada ‘illat pemberian zakat, yaitu pada diri mereka ada sifat
kefakiran, kemiskinan, dan kegiatan mengumpulkan zakat (An-Nabhani,
Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, III/346). Abdul Qadim Zallum dalam
Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah h. 193) menegaskan bahwa ‘illat
pemberian zakat untuk muallaf pada zaman Abu Bakar dan Umar telah
lenyap, seiring dengan telah kuatnya dan tersebarnya Islam. Berbeda
halnya dengan masa Rasulullah saw. ketika jumlah kaum Muslim masih
sedikit dan musuh mereka berjumlah banyak (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-
Islâmi wa Adillatuhu, II/871).

2. Umar Tidak Memotong Tangan Pencuri Pada Masa Terjadinya


Kelaparan

Dalam peristiwa ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat
terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah), para ulama telah menjelaskan
bahwa tindakan Umar itu bukan berarti mengubah hukum Islam karena
mengikuti keadaan, melainkan karena ada tuntunan nash syariat dari
Hadis Nabi saw. Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-
‘Uqûbat menjelaskan bahwa hukum potong tangan tidak dapat
diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang
ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Di antaranya adalah ketika terjadi
musibah kelaparan, sebagaimana diriwayatkan dari Makhul ra., bahwa
Nabi saw. bersabda:

Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa. Dalam
riwayat lain berbunyi:

Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan (Lihat pula Ali Al Qari
dalam ِِ ‫المصابيح‬
ِ ‫مرقاة المفاتيح شرح مشكاة‬, Abu Nu’aim dalam ‫معرفة الصحابة‬,
atau Al Hâfidz Al Manâwi dalam: ‫)التيسير بشرح الجامع الصغير‬

Jadi, Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena
mengamalkan hadis ini, sebagai pengecualian (takhsîs) dari ketentuan
umum potong tangan (QS 5: 38).

3. Utsman Mengabaikan Hukum Jinayat

Utsman r.a tidak mengqishash (menghukum bunuh) Ubaidillah bin


Umar yang tidak bisa menahan diri sehingga membunuh Harmuzan yg
telah masuk Islam (yg diduga memfasilitasi pembunuhan Umar, ayah
Ubaidillah). Sebenarnya yg terjadi bukanlah Utsman tidak menetapkan
hukum bunuh, Utsman telah menetapkan bahwa Ubaidillah harus di
qishash, namun saat mau di eksekusi, justru anak Harmuzân –yang
bernama Qumadzabân—yang memaafkan Ubaidillah (kemungkinan
memang ia merasa bapaknya terlibat dalam pembunuhan ayahnya
Ubaidillah, atau ia bersimpati atas terbunuhnya Umar ra, dan tidak ingin
anaknya Umar ikut juga dibunuh). Dan walaupun Qumadzaban tidak
menuntut diyat (ganti rugi 100 onta) namun Utsman tetap memberinya
diyat. Aturan Islam memang begitu, tidak mesti pembunuh pasti harus
dibunuh, justru pembunuh yg tersalah/tidak sengaja atau yang mirip
sengaja (misalnya menempeleng saja, namun yg ditempeleng mati), atau
pembunuh yg sudah dimaafkan oleh ahli warisnya, maka pembunuhnya
tidak boleh dibunuh. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka
barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
(QS. Al Baqarah [2]: 178).

Lalu bagaimana mungkin Utsman r.a yang mengikuti petunjuk al Qur’an


justru di tuduh mengubah hukum syari’at?

Mengenai terjadinya kasus ini, saya ringkas dari buku Isu-Isu


Kontroversi dalam Sejarah Pemerintahan Khulafa’ Al Rasyidin, tulisan
Marzuki Haji Mahmood, rujukan asli kejadiannya dari Qadli Abu Bakar
al Araby dalam kitabnya, Al ‘Awâshim min Al Qawâshim juz I/hal 102
dst, juga oleh At Thabary dalam kitabnya, Târîkh ar Rusul wa al Muluk,
(teks aslinya saya letakkan pada bagian endnote):

Ubaidillah membunuh Harmuzan karena mendengar keterangan


Abdurrahman bin Abu Bakar yang memberitahu bahwa pada pagi hari
khalifah Umar r.a. itu dibunuh, beliau melihat sendiri pada malam
sebelum berlaku pembunuhan itu, Harmuzan, Abu Lu’lu’ah dan
Jufainah sedang berbisik-bisik di suatu tempat. Saat dilihat oleh
Abdurrahman mereka gugup, lalu terjatuh sebilah khanjar (sejenis pisau
bermata dua, kiri dan kanan, pemegangnya di tengah tengah, dibuat
khusus untuk membunuh. Khanjar sepertl itu hanya terdapat dinegeri
Parsi sahaja). Khanjar inilah yg terbukti dipakai untuk membunuh Umar
r.a. Setelah mendengar keterangan itu, Ubaidillah bersumpah: “demi
Allah, aku akan membunuh orang-orang yang bersekutu, menumpahkan
darah ayahku”. Ini adalah sikap keliru Ubaidillah, seharusnya Ia
menyerahkan masalah tersebut kepada pemerintah yang baru (yakni
Utsman bin ‘Affan) untuk bertindak menghukum pembunuh ayahnya. …

Utsman r.a. telah menjatuhkan hukuman mati (qisas) atas Ubaidillah


tetapi ia dimaafkan oleh waris mati. Perkara ini merujuk pada catatan al-
Tabari dari Abu Manshur yang berkata:
"Aku dengan Qumadzaban (anak dan waris kepada Harmuzan)
menceritakan kisah pembunuhan bapanya.” la berkata. "Banyak orang
asing di Madinah, mereka sering berhubung antara satu sama lain. Suatu
hari Fairuz (Abu Lu’lu’ah) menemui bapaku (Harmuzan) bersama-
samanya terdapat sebilah pisau khanjar bermata dua. Bapaku memegang
dan bertanya. “Apa yang akan kau perbuat dengan benda ini di negara
ini? Jawabnya: main-main saja. Tiba-tiba seorang lelaki lain
memandangnya (Abdurrahman bin Abu Bakar). Maka ketika Umar r.a.
ditikam orang, ia (Abdurrahman) berkata: Aku pernah lihat benda ini
(khanjar) ada bersama Harmuzan yang kemudian menyerahkannya
kepada Fairuz. Maka Ubaidillah, lalu membunuh Harmuzan. Ketika
Utsman memangku pemerintahan, dia memanggil aku. Kemudian dia
(Utsman) mengeluarkan perintah: Wahai Qumadzaban, inilah
pembunuh bapamu! Dan engkau lebih berhak dari kami (untuk
melaksanakan hukuman bunuh), maka pergilah (ke tempat
pembunuhan), maka bunuhlah dia! Maka aku pun keluar
membawanya (Ubaidillah), banyak orang mengikut aku, mereka
menuntut supaya aku jalankan hukuman segera. Maka aku berkata
kepada mereka: Adakah pantas aku membunuhnya? Jawab mereka: Ya!
sambil mereka memaki Ubaidillah. Aku bertanya lagi: Apakah kamu
tidak mau menghalanginya? Jawab mereka: Tidak! dan memakinya
(memaki Ubaidillah). Maka kemudiannya aku pun meninggalkannya
karena Allah dan memaafkannya. Orang-orang terus mengusungku.
Maka demi Allah aku tidak tiba ke rumah melainkan di atas kepala dan
bahu-bahu orang-orang”[i].

Adapun riwayat Ibn al-Arabi dalam kitab al-Awasimnya yang dipetik


dari al- Tabari juga bahwa khalifah Utsman r.a. duduk di dalam masjid,
dan memerintahkan supaya dibawa datang Ubaidillah yang dikurung di
rumah Saad bin Abi Waqqas r.a., kerana dialah yang menangkap dan
merampas pisau di tangan Ubaidillah …Maka Utsman berkata kepada
kumpulan Muhajirin dan Anshar yang hadir. ..Berilah pandangan
kepadaku tentang hukuman atas orang ini yang telah menyebabkan
keretakan Islam." Maka kata Ali r.a. “Aku berpendapat supaya dibunuh
saja." Kata sebahagian orang Muhajirin yang lain, “Khalifah Umar baru
kemarin dibunuh orang, hari ini kita mau membunuh anaknya pula?"
Maka Amru bin al-As menyela, “Wahai Amir al-Mukminin,
sesungguhnya Allah telah memaafkan anda, kerana tragedi ini berlaku
sebenarnya di luar kekuasaan anda,saat anda belum lagi dilantik lagi."
Maka jawab Utsman r.a. “Bagaimanapun aku adalah walinya, dalam
perkara ini aku peruntukkan membayar diat, dan aku tanggung dari harta
pribadiku sendiri."[ii]

Dua kejadian ini menjelaskan bahwa Khalifah Utsman r.a. sebagai


pemerintah negara Islam yang bertanggungjawab walaupun hanya kira-
kira baru tiga hari dilantik menggantikan Khalifah Umar r.a. telah
menjatuhkan hukuman mati (qishash) kepada Ubaidillah bin Umar bin
al-Khattab r.a. Cuma dalam pelaksanaan hukuman itu, Khalifah Utsman
sekali lagi dengan kuasanya memerintahkan waris yaitu anak korban
agar menjalankan hukuman (membunuh Ubaidillah) karena memang
lebih aula (lebih baik) anak korban yg diberi kesempatan menjalankan
eksekusi, dan akhirnya anak korban justru memaafkannya pada saat
Ubaidillah justru sudah siap dan dibawanya untuk dieksekusi. Ibn al-
Arabi berpendapat, besar kemungkinan anak yang diberi kuasa penuh
yaitu Qumadzaban, untuk melaksanakan hukuman tersebut berkeyakinan
bahwa bapaknya, Harmuzan, sebagai aktor intelektual dibalik
terbunuhnya Amir al-Mukminin Umar dan Abu Lu’lu’ah yang
membunuh Umar itu tidak lebih hanya sebagai alat ahli politik Parsi itu
(Harmuzan) semata-mata.

Sumber yang kedua pula menjelaskan bahwa Khalifah Utsman r.a. tidak
menjatuhkan hukum qisas (bunuh balas) dan cuma mengenakan diat, itu
pun dikeluarkan dari harta peribadinya sendiri. Sebenarnya, jika dilihat
dengan kaca mata yang adil dan ingin mencari kebaikan, bukan dengan
niat untuk mengeruhkan keadaan, yaitu dengan cara mengeksploitasi isu
yang kurang jelas, maka kita dapat melihat kebaikan implikasi tindakan
Khalifah Utsman r.a. itu. Yaitu sekiranya tepat apa yang dilaporkan oleh
fakta-fakta sejarah diatas, sebagai seorang khalifah Utsman r.a. bukan
saja menjatuhkan hukuman qishash pada Ubaidillah bin Umar yang
membunuh Harmuzan, tetapi juga membayar diyat, yaitu setelah
mengetahui si anak yang bertanggungjawab menjalankan hukuman itu
mengambil keputusan memaafkan saja pembunuh bapaknya, walaupun
anak tersebut tidak menuntut diyat ini. Ini merupakan satu langkah yang
cukup bijaksana, walaupun kebaikan-kebaikan seperti ini tidak
mendapat tempat di hati orang-orang yang sejak awal merancang untuk
menjatuhkan khalifah dan merusak Islam.

Penutup

Jadi tidaklah tepat kalau kedua orang khalifah (Umar & Utsman r.a)
dikatakan telah merubah syari’at Islam dan menyesuaikan dengan
kondisi zaman. Justru yang dilakukan mereka berdua adalah
menjalankan syari’at Islam dengan sepenuhnya, karena memang syari’at
Islam berlaku untuk manusia sepanjang zaman, selama manusia itu
masih bersifat manusia, tidak ber ‘evolusi’ menjadi kera, karena
memang Islam diturunkan untuk mengatur manusia. Adapun
penampakan adanya ‘perubahan’ maka sebenarnya yang berubah hanya
ada tidaknya ‘illat (sebab disyariatkannya hukum), kalau ‘illatnya ada
maka hukumnya akan ada, kalau ‘illatnya tidak ada hukumnya juga tidak
ada, namun hukum syari’atnya ya itu-itu juga.

Adalah kewaiban bagi kita semua untuk meneliti kembali sesuatu


sebelum kita ucapkan, karena semua yang kita ucapkan, kita tulis, dan
kita perbuat akan diminta pertanggung jawabannya kelak di hari akhir.
‘Allahu Ta’ala A’lam.

[i] Abu Ja’far At Thabari, Târîkh ar Rusul wa al Muluk, juz 2 hal 428:
‫ كانت العجم بالمدينة‬:‫ قال‬،‫ سمعت القماذبان يحدث عن قتل أبيه‬:‫ قال‬،‫عن أبي منصور‬
‫ ما‬:‫ وقال‬،‫ فتناوله منه‬،‫ ومعه خنجر له رأسان‬،‫ فمر فيروز بأبي‬،‫يستروح بعضها إلى بعض‬
‫ رأيت هذا مع‬:‫ قال‬،‫ فلما أصيب عمر‬،‫ آنس به؛ فرآه رجل‬:‫تصنع بهذا في هذه البلد؟ فقال‬
‫ ثم‬،‫ فأقبل عبيد هللا فقتله؛ فلما ولي عثمان دعاني فأمكنني منه‬.‫ دفعه إلى فيروز‬،‫الهرمزان‬
‫ فاذهب فاقتله؛ فخرجت به وما في األرض أحد‬،‫ هذا قاتل أبيك؛ وأنت أولى به منا‬،‫ يا بني‬:‫قال‬
– ‫ نعم – وسبوا عبيد هللا‬:‫ ألي قتله؟ قالوا‬:‫ فقلت لهم‬.‫إَل معي؛ إَل أنهم يطلبون إلي فيه‬
‫فقلت‪ :‬أفلكم أن تمنعوه؟ قالوا‪َ :‬ل‪ ،‬وسبوه فتركته هلل ولهم‪ .‬فاحتملوني؛ فوهللا ما بلغت المنزل‬
‫‪.‬إَل على رؤوس الرجال وأكفهم‬

‫جلس عثمان في جانب المسجد ودعا عبيد هللا وكان محبوسا في دار سعد بن أبي وقاص ]‪[ii‬‬
‫وهو الذي نزع السيف من يده ‪ . . .‬فقال عثمان لجماعة من المهاجرين واألنصار ‪ :‬أشيروا ‪،‬‬
‫علي في هذا الذي فتق في اْلسلم ما فتق ‪ .‬فقال علي ‪ :‬أرى أن تقتله ‪ .‬فقال بعض المهاجرين‬
‫قتل عمر أمس ‪ ،‬ويقتل ابنه اليوم ؟ فقال عمرو بن العاص ‪ :‬يا أمير المؤمنين ‪ ،‬إن هللا ‪:‬‬
‫أعفاك أن يكون هذا الحدث كان ولك على المسلمين سلطان ‪ ،‬إنما كان هذا الحدث وَل سلطان‬
‫‪ .‬لك ‪ .‬قال عثمان ‪ :‬أنا وليهم ‪ ،‬وقد جعلتها دية ‪ ،‬واحتملتها في مالي‬

‫‪SEPUTAR AKHLAK‬‬

‫‪Menghilangkan Kerancuan Dalam Masalah Memerangi Hawa‬‬


‫)‪Nafsu (Jihadun Nafsi‬‬
Sesungguhnya sudah menjadi sesuatu yang diketahui secara nyata,
bahwasanya menegakkan khilafah dan mengangkat seorang khilafah
untuk kaum muslimin hukum asalnya adalah fardlu kifayah, akan tetapi
jika kewajiban ini tidak dapat terealisir dengan aktivitas orang yang
memperjuangkannya, maka kewajiban ini meluas hingga menjadi
kewajiban setiap muslim, hal ini berlaku untuk setiap fardhu kifayah.

Meskipun demikian, ada sebagian orang yang melarang/tidak menyukai


melakukan aktivitas penegakan khilafah sebelum terpenuhinya beberapa
perkara, yakni umat Islam harus memerangi (hawa nafsunya) sendiri.
Oleh sebab itu jika engkau menyeru mereka untuk sama-sama berjuang
dalam hal ini, mereka akan menjawab: yang diwajibkan kepada kita
pertama kali adalah memerangi (hawa nafsu) kita, memperbaiki diri
dahulu, baru setelah itu kita beraktifitas untuk menegakkan khilafah….
Bagaimana kita menyikapi hal ini?

Sesungguhnya Rasulullah berkata:

“Seorang pejuang (Mujâhid) adalah orang yang berjuang memerangi


hawa nafsunya sendiri” (Hr Ahmad dan Tirmidzi dengan sanad shahih).

Oleh karena itu memerangi hawa nafsu adalah perkara yang dituntut
oleh syara’ untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu tidak seorangpun boleh
menolak pemikiran ini. Karena ungkapan dan fikrah ini dating dari
Rasulullah, yang harus ditolak adalah pemahaman keliru terhadap hadits
tersebut, yang diatas pemaham,an tadi dibangun hukum-hukum yang
bertentangan dengan hukum syara’. Dari sini maka wajib bagi kita
memahami jihadun nafsi dengan berbagai bentuk pemahaman berikut:

Pertama, sesungguhnya jihadun nafsi dan perbaikan diri hanya dapat


dilakukan dengan melakukan segala bentuk kefardhuan dan
meninggalkan segala yang diharamkan-Nya. Ini dari segi yang paling
mendasar. Adapun untuk meraih derajat yang lebih tinggi adalah dengan
melakukan yang mandub(sunnah) dan meninggalkan yang makruh. Jika
seorang muslim sudah melakukan hal yang pertama saja—yakni
melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram saja—maka
hal itu sudah mencukupi, dan ia merupakan orang yang beruntung, insya
Allah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah

Seorang lelaki kampung telah datang mengadap Rasulullah s.a.w lalu


berkata: Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang
memasukkan aku ke Surga. Rasulullah s.a.w bersabda: Engkau
hendaklah mengabdikan diri kepada Allah, jangan menyekutukannya
dengan sesuatu, dirikanlah shalat yang difardukan dan keluarkanlah
zakat yang diwajibkan serta berpuasa pada bulan Ramadan. Lalu orang
itu berkata: Demi Allah yang berkuasa atas diriku, aku tidak akan
menambah atau menguranginya sama sekali apa yang telah dijelaskan
kepadaku. Setelah orang itu pergi Rasulullah s.a.w pun bersabda: Siapa
yang ingin melihat ahli Syurga maka lihatlah lelaki ini (HR. Bukhari
dan Muslim)

Adapun jika seorang muslim mengerjakan dua perkara : melaksanakan


yang wajib dan sunnah serta meninggalkan yang haram dan makruh,
maka sesungguhnya ia benar benar menjadi orang yang memerangi
hawa nafsunya dan memperbaiki dirinya.

Kedua, sesunggunya nafsu itu cenderung kepada syahwat yang kadang


kadang haram, serta membenci melaksanakan kewajiban yang sulit.
Sabda Nabi :

Neraka tutupi dengan sesuatu yang disukai oleh hawa nafsu dan surga
ditutupi dengan sesuatu yang dibenci hawa nafsu (HR. Bukhory)

Dan Allah berfirman menyampaikan pernyataan istri Al Aziz yang


menggoda Nabi Yusuf a.s:

Sesungguhnya nafsu itu senantiasa menyuruh berbuat keburukan (Yusuf


: 53).

Oleh karena itu hendaklah kita memperhatikan hal ini dalam memerangi
hawa nafsu. Disini jihadun nafsi berarti kita mendorong dengan
dorongan yang kuat dan memaksanya untuk melaksanakan perintah-
perintah Allah, pada saat yang sama juga harus dikekang dari
melaksanakan yang haram. Oleh karena itu jihadun nafsi (memerangi
hawa nafsu) adalah dengan cara tidak menuruti setiap ajakan hawa nafsu
jika perintah dan larangan Allah tidak sesuai dengan keinginan tersebut,
serta memaksanya dengan sepenuh kemampuan untuk melaksanakan
segala ketaatan kepada Allah baik yang ringan dan terlebih yang
berat/rumit yang nafsu tidak suka untuk melaksanakannya. Inilah yang
bisa dikatakan sebagai memerangi hawa nafsu sehingga orang yang
melaksanakannya akan mencapai derajat yang tinggi.

Ketiga, sesungguhnya diantara kewajiban yang dibebankan kepada


seorang muslim-bahkan merupakan kewajiban terpenting- adalah
aktivitas untuk menegakkan khilafah dengan pengerahan segenap
potensi dan kemampuan. Kewajiban ini terhitung sebagai kewajiban
yang sangat agung dan besar-karena hanya dengan tegaknya khilafah
maka sebagian besar hukum-hukum Islam baru dapat terlaksana, dan
ketiadaannya menyebabkan kemaksiatan nyata-nyata berkembang pesat
dimasyarakat. Kewajiban ini juga terhitung sesuatu yang tidak disukai
hawa nafsu karena rintangannya begitu besar, hawa nafsu senantiasa
akan mencari alasan untuk mengelak dari kewajiban ini. Oleh karena itu
untuk melaksanakan kewajiban penegakan khilafah ini juga diperlukan –
bahkan sangat penting- adanya perang terhadap hawa nafsu, karena
sekarang kita melihat sebagian besar kaum muslimin lari dari
melaksanakan kewajiban ini dikarenakan ketiadaan perlawanan mereka
terhadap hawa nafsu, tidak ada upaya untuk mengekang keliarannya,
sehingga banyak yang terlena dengan mereguk kenikmatan dunia,
tersibukkan dengan urusan dunia, sehingga mereka mengikuti hawa
nafsunya dan menaati perintah syaithan seraya berpaling dari perintah
Allah.

Dari sini maka tidak ada pertentangan antara memerangi hawa nafsu dan
memperbaiki diri disatu pihak dengan aktivitas penegakan khilafah
dipihak lain. Adapun jika seorang muslim menolak perjuangan
penegakan khilafah, atau menggampang-gampangkannya, atau
mengakhir-akhirkannya, bermalas-malasan melaksanakannya dengan
alasan memperbaiki diri lebih dahulu dan memerangi hawa nafsu……
maka sesungguhnya ia tidaklah memerangi hawa nafsunya, tidak
memperbaiki dirinya dan juga tidak mendidik dirinya…. Dan
sesungguhnya yang dilakukannya hanyalah menghancurkan dirinya,
yakni dengan menjatuhkan dirinya kepada sesuatu yang dimurkai dan
dibenci Allah, yakni meremehkan kewajiban yg dibebankan
dipundaknya, na’udzu billah. Hal ini karena seorang muslim jika
meninggalkan dengan sengaja kewajibannya, atau meremehkannya
maka tidaklah ia memperbaiki dan mendidik dirinya, mungkinkah
memperbaiki diri dan berperang melawan hawa nafsu dengan jalan
meninggalkan kefardhuan atau meremehkannya ??? Allahu Ta’ala
A’lam(hasil terjemahan jaman dulu, ditambahi pengantar)

Sampai Kapan Engkau Akan Terus Bermaksiat?, Bilakah Engkau


Akan Kembali?
Wahai manusia, sampai kapan engkau akan terus bermaksiat?, Bilakah
engkau akan kembali?

Tubuhmu penuh dengan kelalaian dan hatimu kosong dari ketakwaan.

Kausia-siakan masa muda dalam kealpaan. Sementara saat tua kau


hanya menangisinya.

Di majelis kau ratapi masa lalu. Namun di luar majelis engkau kembali
merampas.

Tidak ada lagi cara untuk memberikan nasihat kepadamu. Sebab


pintumu sudah terutup rapat.

Betapa sering kuseru hatimu. Tetapi kulihat hatimu lenyap bersama yang
lain.

Wahai yang berhati sibuk. Bagaimana engkau bisa memahami ucapan


ini?

Betapa gembiranya iblis bila engkau terusir dari pintu-Nya! .

Inilah tempat perkumpulan orang-orang berduka. Majelis ini telah


bertobat, telah menuju Sang Kekasih.

Betapa merana orang yang terusir dari pintu-Nya bila tidak menemukan
jalan untuk mendekat dan menghampiri-Nya.

Wahai yang terpisah dari rombongan kekasih. Susurilah jejak mereka


dengan penuh kehinaan dan kesedihan dalam derai air mata.

Katakanlah: aku tersesat dalam kumpulan manusia yang terdampar di


sahara penderitaan dan terhalang dari-Nya. Setiap kali hendak berdiri ia
terjatuh duduk kembali dan menjauh karena dosanya.

Tanpa bekal kendaraan, dan kekuatan. Kemana akan pergi?


Mudah-mudahan kasih sayang dari balik tirai yang tersembunyi
memudahkan segala kesulitanmu. (Al Hafidz Ibnul jauzi, Bahrud
Dumu’, Fashl 13)
Musibah Demi Musibah Jangan Membuat Lalai Dari Musibah
Yang Lebih Besar

Al Hâfidz Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Bahjatul Majâlis[1]
menulis:

wahai saudaraku, sesungguhnya di antara laki-laki (ada) binatang

dalam bentuk seorang laki-laki yang mendengar dan melihat

cerdas pada setiap musibah yang menimpa hartanya

namun, jika agamanya yang ditimpa musibah ia tidak pernah merasa

Sungguh musibah yang datang beruntun, dari tabrakan kereta api,


wasior, banjir, tsunami di mentawai (sum-bar) dan merapi adalah
musibah yang kemungkinan besar masih ada hikmah kebaikannya, jika
bisa menyikapinya dengan baik, semisal sabda Rasulullah saw:

Tiada (musibah) menimpa seorang mukmin, berupa


kepayahan/keletihan, sakit yang terus menerus , kebingungan,
kesedihan, kegundahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali musibah
itu akan menjadi penghapus bagi kesalahan-kesalahannya (Muttafaq
‘alaih).

Namun ada musibah yang lebih besar dan senantiasa terjadi hingga saat
ini, musibah ini bahkan menjadi penyebab terjadinya musibah – musibah
yang lain. Inilah Musibah yang banyak dilalaikan umat saat ini, yakni
musibah yang menimpa agama, dimana manusia banyak yg menjadi
hamba selain Allah SWT, syari’at-Nya di injak injak, dianggap kuno,
dan merasa lebih pintar dari Allah dalam mengatur kehidupan ini.

Kalau mushibah bencana alam terjadi maka pertolongan masih bisa


diharapkan, hapir semua orang, apapun agamanya mereka terketuk
hatinya untuk membantu, namun siapa yang sanggup menolong ketika
harus berhadapan dengan Allah swt?
Kalau total korban bencana alam tersebut ratusan orang dan banyak
yang menolong, lalu siapa yang menolong korban bencana akibat
diabaikannya syari’ah-Nya dalam kehidupan?, dimana 26 juta penduduk
Indonesia menderita gangguan jiwa[2], 2,5 juta tertampung di rumah
sakit jiwa[3], 50 ribu orang Indonesia bunuh diri antara tahun 2005 –
2007, belum termasuk 40 orang tiap hari yg mati akibat overdosis
narkoba[4] dan jutaan bayi diaborsi (dibunuh) tiap tahun?

Kita pantas merasa berdosa ketika tidak ikut membantu korban bencana,
namun sudahkah kita merasa berdosa ketika tidak ikut mengatasi
bencana yang lebih besar ini? Apa yang bisa kita katakan dihadapan
Allah kelak ketika kita ditanya dihadapan-Nya?

… Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan


hukum-hukum Allah dan memilih-milih apa yang diturunkan Allah (yang
sesuai dg hawa nafsunya saja yang dipakai), kecuali Allah akan
menjadikan bencana di antara mereka." (HR. Ibnu Majah no. 4009
dengan sanad Hasan[5]).

Yaa Allah jangan engkau palingkan hati kami sehingga lalai dari tugas
ini…

[1] 169 :1 ,‫بهجة المجالس و انس المجالس‬

[2] Laporan WHO, tahun 2006

[3] Depkes RI

[4] http://www.polkam.go.id/polkam/berita.asp?nwid=108 , 16 Maret


2007

[5] Dalam silsilah ash shahihah 1/216 dikatakan hasan, dalam shahih at
targhib wat tarhib 2/157 dikatakan shahih lighairihi

Baca Juga:
Musibah Demi Musibah Jangan Membuat Lalai Dari Musibah
Yang Lebih Besar

Al Hâfidz Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Bahjatul Majâlis [1]
menulis:

wahai saudaraku, sesungguhnya di antara laki-laki (ada) binatang

dalam bentuk seorang laki-laki yang mendengar dan melihat

cerdas pada setiap musibah yang menimpa hartanya

namun, jika agamanya yang ditimpa musibah ia tidak pernah merasa

Sungguh musibah yang datang beruntun, dari tabrakan kereta api,


wasior, banjir, tsunami di mentawai (sum-bar) dan merapi adalah
musibah yang kemungkinan besar masih ada hikmah kebaikannya, jika
bisa menyikapinya dengan baik, semisal sabda Rasulullah saw:

Tiada (musibah) menimpa seorang mukmin, berupa


kepayahan/keletihan, sakit yang terus menerus , kebingungan,
kesedihan, kegundahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali musibah
itu akan menjadi penghapus bagi kesalahan-kesalahannya (Muttafaq
‘alaih).

Namun ada musibah yang lebih besar dan senantiasa terjadi hingga saat
ini, musibah ini bahkan menjadi penyebab terjadinya musibah – musibah
yang lain. Inilah Musibah yang banyak dilalaikan umat saat ini, yakni
musibah yang menimpa agama, dimana manusia banyak yg menjadi
hamba selain Allah SWT, syari’at-Nya di injak injak, dianggap kuno,
dan merasa lebih pintar dari Allah dalam mengatur kehidupan ini.

Kalau mushibah bencana alam terjadi maka pertolongan masih bisa


diharapkan, hapir semua orang, apapun agamanya mereka terketuk
hatinya untuk membantu, namun siapa yang sanggup menolong ketika
harus berhadapan dengan Allah swt?
Kalau total korban bencana alam tersebut ratusan orang dan banyak
yang menolong, lalu siapa yang menolong korban bencana akibat
diabaikannya syari’ah-Nya dalam kehidupan?, dimana 26 juta penduduk
Indonesia menderita gangguan jiwa[2], 2,5 juta tertampung di rumah
sakit jiwa[3], 50 ribu orang Indonesia bunuh diri antara tahun 2005 –
2007, belum termasuk 40 orang tiap hari yg mati akibat overdosis
narkoba[4] dan jutaan bayi diaborsi (dibunuh) tiap tahun?

Kita pantas merasa berdosa ketika tidak ikut membantu korban bencana,
namun sudahkah kita merasa berdosa ketika tidak ikut mengatasi
bencana yang lebih besar ini? Apa yang bisa kita katakan dihadapan
Allah kelak ketika kita ditanya dihadapan-Nya?

… Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan


hukum-hukum Allah dan memilih-milih apa yang diturunkan Allah (yang
sesuai dg hawa nafsunya saja yang dipakai), kecuali Allah akan
menjadikan bencana di antara mereka." (HR. Ibnu Majah no. 4009
dengan sanad Hasan[5]).

Yaa Allah jangan engkau palingkan hati kami sehingga lalai dari tugas
ini…

[1] 169 :1 ,‫بهجة المجالس و انس المجالس‬

[2] Laporan WHO, tahun 2006

[3] Depkes RI

[4] http://www.polkam.go.id/polkam/berita.asp?nwid=108 , 16 Maret


2007

[5] Dalam silsilah ash shahihah 1/216 dikatakan hasan, dalam shahih at
targhib wat tarhib 2/157 dikatakan shahih lighairihi
Khutbah Jum’at : Menjauhi Sikap ‘Ujub

Salah satu sifat orang yang beuntung bersegera mendapatkan kebaikan


adalah sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan,


dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Rabb mereka (QS. Al Mu’minuun : 60)

Dalam riwayat Imam Ahmad, diceritakan bahwa ‘Aisyah r.a bertanya


kepada Rasulullah tentang ayat ini: “apakah maksudnya orang mencuri
dan berzina serta minum khomer dan dia takut kepada Allah?,” Maka
Rasulullah saw menjawab:

“Tidak wahai anak Abu Bakar, wahai anak Ash Shiddîq, akan tetapi
maksudnya adalah orang yang shalat dan berpuasa serta bershodaqoh
(menunaikan zakat) dan dia takut kepada Allah AzzaWaJalla.”

Dalam riwayat at Tirmidzi dinyatakan:

(Yakni) orang-orang yang berpuasa, shalat dan berzakat, dan mereka


takut kalau amalan mereka tidak diterima.

Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Diantara hal yang harusnya kita khawatirkan menjangkiti diri kita,


sehingga merusak amalan kita adalah sifat ‘ujub (berbangga diri), yang
dinyatakan oleh Imam Al Ghazali dg:

Membesarkan ni’mat dan condong kepadanya, dibarengi lupa


menyandarkan ni’mat tersebut kepada Pemberi ni’mat.

Berbangga diri dan melupakan pemberi ni’mat, baik nikmat itu berupa
harta, anak, kepandaian/kecerdasan, kekuatan fisik, kemuliaan nasab, dll
merupakan perkara yang membinasakan diri manusia, dan masuk dalam
kategori syirik kecil, yakni menyekutukan Allah dengan diri.
Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi bahwa Rasulullah bersabda:

“Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang
ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub/bangganya seseorang
terhadap dirinya.”

Dalam hadits qudsi, Rasulullah saw berkata, bahwa Allah swt berkata:

‘Aku adalah dzat yang tidak membutuhkan sekutu, maka barangsiapa


mengerjakan suatu amalan dengan menyertakan sekutu selain diri-Ku,
maka Aku berlepas diri darinya, dan ia milik sekutu yang disertakannya
itu.” (H.R. Ibnu Majah)

Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Sesungguhnya orang yang berbangga terhadap dirinya sendiri, lalai


bahwa Allah semata Dzat yang memberi ni’mat, Dzat yang bisa
mencabut ni’mat tersebut kapansaja, orang yang mempunyai sifat seperti
ini tidak akan dapat melihat aib dan kesalahan yang ada pada dirinya
walaupun aib dan kesalahan itu sangat besar, tetapi dia dapat melihat
kelebihan dan kebaikan dirinya sebagaimana mikroskop yang dapat
memperbesar hal-hal yang kecil dalam dirinya. Dia akan lalai untuk
memperbaiki kekurangannya, dia akan meremehkan orang lain dan
menganggap enteng mereka, bahkan dia juga tidak akan waspada
terhadap musuhnya.

Al-Qur’an telah menyebutkan bagaimana kebanggaan kaum Muslimin


terhadap jumlah mereka yang besar pada waktu Perang Hunain yang
menyebabkan kekalahan, sehingga mereka menyadari keadaan itu dan
kembali kepada Tuhan mereka.

Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di


medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain,
yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu,
maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit
pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu
lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (QS. at-Taubah: 25).

Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Begitu khawatirnya orang-orang shaleh terhadap sifat ‘ujub ini, seorang


tabi’in bernama Muthorrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan:

Jika aku melewati malam dengan tidur dan pagi dalam kondisi menyesal
(krn tdk bangun beribadah) itu lebih aku sukai daripada aku melewati
malam dengan ibadah dan pagi harinya dengan berbangga diri.

Tabi’in lain bernama Atha’ rahimahullah menyatakan: “Barangkali


Allah membukakan bagimu pintu ketaatan tetapi tidak membukakan
bagimu pintu penerimaan amalan itu; barangkali Dia menakdirkan
(membiarkan) engkau terjatuh dalam kemaksiatan, tetapi hal itu
menjadi sebab sampainya kamu kepada-Nya (dengan bertaubat).
Kemaksiatan yang menyebabkan dirimu terhina dan tercerai-berai
adalah lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan dirimu
berbangga dan menyombongkan diri.”

Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Sikap mereka ini menunjukkan betapa khawatir dan takutnya mereka


akan sifat ‘ujub ini, bukan berarti mereka meremehkan amalan sunnah
dan kebaikan, bukan pula berarti meremehkan maksiyat, sebab sifat
meremehkan maksiyat adalah sifat orang durhaka, sebagaimana
perkataan Ibnu Mas’ud r.a :

Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan


ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut jatuh
menimpanya. Dan seorang durhaka memandang dosa-dosanya seperti
seekor lalat yang lewat di hidungnya (Riwayat Bukhory, at Tirmidzi dan
Ahmad)
‫‪Semoga Allah swt membersihkan dan menjaga kita dari buruknya sifat‬‬
‫‪‘ujub ini, dan menjadikan amal kita semata-mata untuk-Nya, dan‬‬
‫‪menerima serta melipat gandakan kebaikan yang kita lakukan.‬‬

‫‪.‬إحياء علوم الدين ‪ 360 / 3‬ط‪ .‬الحلبي ‪1939‬م ]‪[1‬‬

‫وأورده المنذري في الترغيب والترهيب )‪ (286 / 2‬وقال‪ :‬رواه البزار والبيهقي وغيرهما‪[2] ،‬‬
‫وهو مروي عن جماعة من الصحابة‪ ،‬وأسانيده – وإن كان َّل يسلم شيء منها من مقال – فهو‬
‫بمجموعها حسن إن شاء هللا تعالى‬
Cinta Dunia adalah Pangkal Kesalahan

‘Isa bin Maryam bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal segala


kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit yang sangat banyak.”

Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?”

Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.”

Mereka menukas: “Jika haknya sudah ditunaikan?”

Beliau menjawab: “Tidak selamat dari membanggakannya dan


menyombongkannya.”

Mereka menimpali: “Jika selamat dari bangga dan sombong?”

Beliau menjawab: “Memperindah dan mempermegahnya akan


menyibukkan diri dari dzikrullah (mengingat Allah l).”

Sumber: Abu Nu’aim al Ashbahâny (w. 430 H), Hilyatul Awliya wa


Thabaqâtul Ashfiyâ’, Juz 6 hal 338
Ridho Siapa yang Dicari?

Salah satu yang membuat hidup menjadi susah adalah jika terlalu
memperhatikan pandangan orang lain tentang kita, ingin dipandang baik
oleh manusia dan khawatir dibenci manusia. Ketika mau berbuat suatu
kebaikan yang dipikirkan adalah “nanti bagaimana pandangan orang
kalau saya berbuat ini?”, “apa kata dunia?” … Gara-gara sikap seperti
ini, kadang idealisme tergadaikan, yang haram diterjang, yang haq
dihalang, teman ditendang, semua hanya karena “apa kata orang”.

***

Mu’awiyah r.a pernah menulis surat kepada Aisyah Ummul Mu`minin


radliallahu ‘anha supaya dia menulis surat yang berisi wasiat kepadanya
dan isinya tidak panjang panjang, maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
menuliskan surat kepada Mu’awiyah :

“Salâmun ‘alaik (Salam untukmu). Amma Ba’du. Sesungguhnya aku


pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
“Barangsiapa yang mencari keridlaan Allah sekalipun memperoleh
kebencian manusia, Allah akan mencukupkan dia dari ketergantungan
kepada manusia dan barangsiapa yang mencari keridlaan manusia
dengan mendatangkan kemurkaan dari Allah, maka Allah akan
menjadikannya bergantung kepada manusia, wassalâmu ‘alaika. (HR.
Tirmidzi & Al Hakim)

***

Imam As Syafi’i berkata:

Mencari ridlo semua orang adalah tujuan yang tdk akan pernah
tercapai, dan bukan jalan menuju keselamatan dari mereka, hendaklah
engkau menetapi apa yg memberi manfa’at (ukhrawi) engkau
Jangan Berburuk Sangka kpd Mukmin

"Dari Haritha bin an-Nukman berkata: Bersabda Rasulullah sallallahu


‘alaihi wa-sallam: Tiga perkara yang lazim ada pada umatku:
Kepercayaan dengan ramalan sial. Hasad/ dengki. Prasangka buruk .
Beliau bertanya: Apakah yang dapat menghilangkan dari itu (semua)
wahai Rasulullah bagi orang yang telah ada pada dirinya perkara-perkara
tersebut? Baginda bersabda: Apabila berhasad dengki mintalah ampun,
apabila berprasangka buruk janganlah diteruskan dan apabila
mempercayai tataiyur( ramalan sial ) hendaklah dihapuskan". (HR at-
Tabrani).

"Dari Umar bin Al-Khatab beliau berkata: Janganlah kamu


berprasangka (buruk) dengan kalimat yang keluar dari (mulut) saudara
kamu yang mukmin kecuali (prasangka) yang baik". (Tafsir Ibn Katsir)

Sa’id al-Musayyib rahimahullahu berkata :

“Tidak ada seorang alim pun, ataupun seorang yang mulia dan memiliki
keutamaan, melainkan ia pasti memiliki cela. Akan tetapi ada sebagian
manusia yang tidaklah sepatutnya mereka menyebutkan cela-cela para
ulama ini. Barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak daripada
kekurangannya, niscaya hilanglah kekurangannya karena banyaknya
keutamaannya.”[ Ibnu Abdil Barr di dalam at-Tamhid]
Jangan Mudah Men-cap Orang Lain Salah

Hadits Riwayat Imam Bukhori berikut menjadi pelajaran bagi kita untuk
hati-hati men-cap orang lain salah, apalagi sesat atau kafir, sebelum
benar-benar kita teliti.

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan


kepada kami Al Laits dari ‘Uqail dari Ibn Syihab telah menceritakan
kepadaku ‘Urwah bahwa Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin
Abdul Qari keduanya menceritakan kepadanya, bahwa ia mendengar
Umar bin Khattab berkata, "Aku mendengar Hisyam bin Hakim
membaca surat al Furqaan semasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam masih hidup, dan aku menikmati bacaannya. Ternyata dia
membaca dengan dialek yang berbeda-beda yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam belum pernah membacakannya kepadaku sehingga
hampir saja aku menarik kepalanya ketika shalat. Namun aku berusaha
menahan kesabaranku hingga ia mengucapkan salam, lantas aku
menarik (kerah) bajunya dan aku tanyakan, ‘Siapa yang mula-mula
membacakan surat Al Qur’an kepadamu yang aku dengar engkau
membacanya? ‘ Ia menjawab, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang membacakannya kepadaku! Aku lalu berkata, ‘Engkau dusta,
sebab Rasul membacakan kepadaku tidak seperti yang engkau baca.’
Maka aku bawa Hisyam bin hakim kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan aku laporkan, ‘Aku telah mendengar orang ini membaca
surat Al Qur’an tidak dengan dialek seperti yang engkau bacakan
kepadaku.’ Kemudian Rasulullah berkata: ‘Lepaskan dia, bacalah ya
Hisyam! ‘ Lantas Hisyam membaca bacaan yang sebelumnya aku
mendengarnya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: ‘Begitulah surat itu diturunkan! ‘ Lantas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Bacalah wahai Umar! ‘ Aku pun
membaca sebagaimana yang beliau bacakan kepadaku, dan beliau juga
berkomentar ‘Begitulah surat Al Qur’an diturunkan, sesungguhnya
surat Al Qur’an ini diturunkan dengan tujuh dialek, maka bacalah apa
yang mudah bagimu’." (HR. Bukhory no. 6995)
Khutbah Jum’at – Hiduplah di Dunia Laksana Orang Asing
atau Musafir

.ُ‫ش َه ُد أ َ ْن َلَ إِلَهَ إَِلَّ هللاُ َوحْ َدهُ َلَ ش َِر ْيكَ لَه‬ ْ َ‫ أ‬.ِ‫ص ِام ِب َح ْب ِل هللا‬ َ ِ‫ِي أ َ َم َرنَا ِبا ْ َِل ْعت‬
ْ ‫ا َ ْل َح ْم ُد ِ ََّّللِ الَّذ‬
‫علَى آ ِل ِه َوصَحْ بِ ِه‬ َ ‫علَى ُم َح َّم ٍّد َو‬ َ ‫ص ِل‬ َ ‫ اَللَّ ُه َّم‬.ُ‫س ْولُهُ َلَ نَبِ َّي بَ ْع َده‬
ُ ‫ع ْب ُدهُ َو َر‬َ ‫ش َه ُد أ َ َّن ُم َح َّمدًا‬ ْ َ ‫َوأ‬
‫ يَاأَيُّها َ الَّ ِذ ْي َن‬:‫ فَقَا َل هللاُ تَعَالَى‬،ِ‫ أ ُ ْو ِص ْي ُك ْم ِبت َ ْق َوى هللا‬،ِ‫ أ َ َّما بَ ْعدُ؛ فَيَا ِعبَا َد هللا‬.ُ‫َو َم ْن ت َ ِب َع ُهدَاه‬
‫س ِل ُم ْو َن‬ْ ‫ َءا َمنُوا اتَّقُوا هللاَ حَقَّ تُقَا ِت ِه َوَلَ تَ ُم ْوت ُ َّن إَِلَّ َوأَنت ُ ْم ُّم‬.
‫س ِل ِم ْي َن َر ِح َم ُك ُم هللا‬
ْ ‫ش َر ال ُم‬
ِ ‫َمعَا‬
Marilah kita senantiasa meningkatkan mutu keimanan dan kualitas
ketaqwaan kita, dengan senantiasa mengoptimalkan ketaatan kita kepada
Allah SWT dalam kehidupan dunia yang fana ini.

Imam Bukhory menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah saw.


memegang pundak Abdullah bin Umar r.a sambil berkata:

Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang


pengembara.

Ungkapan pendek Rasulullah ini memberikan pelajaran yang luas dan


mendalam. Sungguh, manusia yang normal, hatinya tidak akan melekat
bergantung kepada sesuatu di negeri yang asing baginya, justru hatinya
akan senantiasa terikat dengan negeri asalnya. Sebagus apapun hidup
terasing di negeri asing, pasti dia akan tetap berpikir bagaimana kembali
kenegeri asalnya, dan memperbaiki kehidupan di negeri yang tidak asing
baginya.

Begitu juga seorang pengembara atau musafir, dia tidak akan membawa
sesuatu yang justru akan membuat dia payah dalam perjalanannya. Dia
tidak akan membangun istana di perjalanannya, yang kelak akan dia
tinggalkan dan tidak akan kembali lagi. Oleh sebab itulah maka
Rasulullah meminta untuk memposisikan hidup didunia seperti orang
asing atau pengembara.
Bekal terbaik dalam perjalanan dunia ini adalah taqwa, yakni
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Allah berfirman:

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan


bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. Al Baqarah
: 197)

Alangkah sangat disayangkan dan tidak masuk akal jika dalam


pengembaraan di tempat yang asing dan fana ini justru perbekalan
terbaik dibuang, kemudian ditukar dengan sesuatu dari negeri asing nan
fana ini. Dengan alasan untuk memakmurkan negeri fana ini, taqwa
justru dibuang, aturan Allah disingkirkan, syari’ah-Nya di pinggirkan
untuk kemudian diganti dengan aturan-aturan yang mengatasnamakan
rakyat, yang pada faktanya hanya berpihak pada konglomerat dan
semakin menyengsarakan rakyat.

Sungguh ketika taqwa, bekal terbaik ini, kita tukar dengan sesuatu di
negeri asing yang fana ini, maka penderitaanlah yang akan kita peroleh,
bukan hanya di negeri tujuan yg kekal, namun penderitaan ini juga
terasa di negeri asing nan fana ini.

Seorang musafir yang berakal tidak akan menghabiskan uangnya untuk


membeli koper besar yang penuh dengan barang-barang yg tidak
diperlukan di negeri asalnya. Karena koper besar itu justru akan
membebani dirinya dan cenderung membuat dirinya kelelahan dalam
perjalanan, yang pada gilirannya akan membuat dirinya menderita di
perjalanan dg membawa sesuatu yg tdk berguna di negeri asalnya.

Namun banyak yang lupa bahwa dunia sejatinya adalah sebuah terminal
persinggahan untuk menuju terminal terakhir, kehidupan akhirat yang
kekal. Saat ini kita berkelana di atasnya sebagai seorang pengembara
atau musafir menempuh perjalanan yang sangat jauh menuju terminal
terakhir. Di sanalah kelak orang akan menuai kebahagiaan yang sejati,
sebagaimana juga akan menuai penderitaan yang abadi. Allah berfirman:
Tetapi kamu orang-orang kafir memilih kehidupan dunia. Sedangkan
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS al-A’la [87]:
16-17)

Semoga dengan sisa umur kita di dunia ini, Allah menjadikan kita
sebagai musafir cerdas yang tidak tertipu dengan dunia dengan menjual
bekal terbaik kita yakni taqwa. Semoga Allah memberi kekuatan kepada
kita untuk mengorbankan sebagian kesenangan kesenangan dunia kita
untuk kita jadikan bekal menuju tempat abadi kelak, meluangkan waktu
kita untuk mengkaji aturan-aturan Allah dan berupaya seoptimal
mungkin untuk mengamalkan, menyebarkan dan memperjuangkannya.
Hanya dengan itulah bekal taqwa akan kita peroleh. Bekal yang akan
memudahkan kehidupan diperjalanan dunia, bahkan ketika sampai ke
tempat tujuan. Allah berfirman:

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah


Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf : 96)

Khutbah Kedua:

ُ‫ش َه ُد أَ ْن َلَ إِ َلهَ إَِلَّ هللاُ َوحْ َده‬ ْ َ ‫ أ‬.‫ص ِام ِب َح ْب ِل هللاِ ا ْل َمتِ ْي ِن‬ َ ِ‫ِي أَ َم َرنَا ِبا ْ َِلتِ َحا ِد َواْ َِل ْعت‬ ْ ‫ا َ ْل َح ْم ُد ِ ََّّللِ الَّذ‬
ً‫ث َرحْ َمة‬ ُ ‫ ا َ ْل َم ْبعُ ْو‬،ُ‫س ْولُه‬ َ ‫ش َه ُد أ َ َّن ُم َح َّمدًا‬
ُ ‫ع ْب ُدهُ َو َر‬ ْ َ ‫ َوأ‬.‫ستَ ِع ْي ُن‬ ْ َ‫ إِيَّاهُ نَ ْعبُ ُد َوإِيَّاُه ن‬،ُ‫َلَش َِر ْيكَ لَه‬
‫ اِتَّقُوا هللاَ َما‬،‫ ِع َبا َد هللا‬.‫ص َحا ِب ِه أَجْ َم ِع ْي َن‬ ْ َ ‫علَى آ ِل ِه َوأ‬ َ ‫علَى ُم َح َّم ٍّد َو‬ َ ‫ص ِل‬ َ ‫ اَللَّ ُه َّم‬.‫ِل ْلعَالَ ِم ْي َن‬
َ ‫ َياأَيُّها‬،ِ‫علَى النَّبِي‬ َ ُ‫ إِ َّن هللاَ َو َملَئِ َكتَهُ ي‬.‫ب ا ْلعَالَ ِم ْي َن‬
َ ‫صلُّ ْو َن‬ ِ ‫س ِارع ُْوا إِلَى َم ْغ ِف َر ِة َر‬ َ ‫ط ْعت ُ ْم َو‬ َ َ ‫ست‬ْ ‫ا‬
‫علَى آ ِل ِه‬ َ ‫علَى ُم َح َّم ٍّد َو‬ َ ‫س ِل ْم َو َب ِار ْك‬
َ ‫ص ِل َو‬ َ ‫ اَللَّ ُه َّم‬.‫س ِل ْي ًما‬ ْ َ ‫س ِل ُم ْوا ت‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬َ ‫صلُّ ْوا‬ َ ‫الَّ ِذ ْي َن َءا َمنُ ْوا‬
‫ص ِر‬ ُ ‫ َوا ْن‬،‫س ِل ِم ْي َن‬ ْ ‫ص ِلحْ َج ِم ْي َع ُوَلَةَ ا ْل ُم‬ ْ َ ‫ اَللَّ ُه َّم أ‬.‫اج ِه َوذُ ِريَّاتِ ِه أَجْ َم ِع ْي َن‬ ِ ‫ص َحا ِب ِه َوقَ َرابَتِ ِه َوأ َ ْز َو‬ ْ َ ‫َوأ‬
‫ اَللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر‬.‫الد ْي ِن‬ ِ ‫ َوأَ ْه ِل ِك ا ْل َكفَ َرةَ َوا ْل ُمش ِْر ِك ْي َن َوأ َ ْع ِل َك ِل َمت َكَ إِلَى َي ْو ِم‬،‫س ِل ِم ْي َن‬ ْ ‫سلَ َم َوا ْل ُم‬ ْ ‫اْ ِْل‬
‫ب‬ ُ ‫ب ُم ِج ْي‬ ٌ ‫ ِإنَّكَ قَ ِر ْي‬،ِ‫اء ِم ْن ُه ْم َواْأل َ ْم َوات‬ ِ َ‫ت اْألَحْ ي‬ ِ ‫ت َوا ْل ُم ْؤ ِم ِن ْي َن َوا ْل ُم ْؤ ِمنَا‬ ْ ‫س ِل ِم ْي َن َوا ْل ُم‬
ِ ‫س ِل َما‬ ْ ‫ِل ْل ُم‬
‫ َربَّ َنا‬.‫ق َوا َ ْنتَ َخ ْي ُر ا ْلفَاتِ ِح ْي َن‬ ِ ‫افتَحْ بَ ْي َننَا َوبَ ْي َن قَ ْو ِمنَّا بِا ْل َح‬ ْ ‫ اَللَّ ُه َّم‬.ِ‫اض َي ا ْل َحا َجات‬ ِ َ‫ت َويَا ق‬ ِ ‫ال َّدع ََوا‬
‫اب النَّ ِار‬ َ َ ‫عذ‬ َ ‫سنَة َو ِقنَا‬ ً ِ ‫سنَة َو ِفي‬
َ ‫اآلخ َر ِة َح‬ ً َ ‫آ ِتنَا ِفي ال ُّد ْن َيا َح‬.
‫َآء َوا ْل ُمنك َِر‬
ِ ‫آئ ذِي ا ْلقُ ْربَى َو َي ْن َهى ع َِن ا ْلفَحْ ش‬ ِ َ‫ان َوإِيت‬ َ ْ‫ إِ َّن هللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم بِا ْلعَ ْد ِل َواْ ِْلح‬،ِ‫ِعبَا َد هللا‬
ِ ‫س‬
ْ َ‫ فَا ْذك ُُروا هللاَ ا ْلعَ ِظ ْي َم يَ ْذك ُْر ُك ْم َوا ْدع ُْوهُ ي‬.‫ظ ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَذَك َُّر ْو َن‬
ِ‫ست َ ِج ْب لَ ُك ْم َولَ ِذك ُْر هللا‬ ُ ‫َوا ْلبَ ْغي ِ يَ ِع‬
‫أ َ ْكبَ ُر‬.
Khutbah Jum’at: Kehinaan & Kemuliaan Umat

‫ يا ربنا‬،‫ين حمدًا يُ َوا ِفي ِن َع َمهُ ويكافي مزيدَه‬ َ ‫ين حم َد النَّا ِع ِم‬ َ ‫الحم ُد هلل رب العالمين حم َد الشَّا ِك ِر‬
‫ أشهد أن َل إله إَل أنتَ وحدَك َل‬.‫يم سلطانِك‬ ِ ‫الكريم وع َِظ‬
ِ َ‫وجهك‬ِ َ‫لك الحم ُد كما ينبغي لجل ِلك‬
‫ع الملكَ ِم َّم ْن تشا ُء وت ُ ِع ُّز من تشا ُء‬ ُ ‫ اللهم يا ما ِلكَ ال ُم ْل ِك ت ُـؤتِي الملكَ من تشا ُء وتَ ْنز‬،‫شريكَ لك‬
‫ اَللَّ ُه َّم‬.‫ وأشهد أن محمدا عبدُك ورسولُك‬،‫الخير إنك على كل شيء قدير‬ ِ ‫وت ُ ِذ ُّل من تشا ُء بيدك‬
‫ فَيَا أَيُّ َها‬.‫ أما بعد‬.‫الد ْي ِن‬ ِ ‫ان إِلَى يَ ْو ِم‬ ٍّ ‫س‬ َ ْ‫علَى آ ِل ِه َوصَحْ بِ ِه َو َم ْن تَبِعَ ُه ْم بِ ِإح‬ َ ‫علَى سيدِنا ُم َح َّم ٍّد َو‬
َ ‫ص ِل‬َ
َ ‫ص ِلحْ لَ ُك ْم أ َ ْع َمالَ ُك ْم َو َي ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُ ْو َب ُك ْم َو َم ْن يُ ِط ِع‬
‫هللا‬ َ ً‫هللا َوقُ ْولُ ْوا قَ ْوَل‬
ْ ُ‫ ي‬.‫س ِد ْيدًا‬ َ ‫الَّ ِذ ْي َن َءا َمنُوا اتَّقُوا‬
‫از فَ ْو ًزا ع َِظ ْي ًما‬
َ َ‫س ْولَهُ فَقَ ْد ف‬
ُ ‫و َر‬. َ
Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Dari mimbar yang agung ini saya menyeru diri saya dan saudara-saudara
sekalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah SWT dalam gerak dan
diam kita, di setiap saat dan waktu dengan benar-benar taqwa.

Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Ketika pembukaan al-Quds, saat itu khalifah Umar r.a menuju kesana
untuk serah terima kunci Palestina dari penduduknya yg sukarela
bergabung dg khilafah Islam. Thariq bin Syihab menceritakan bahwa
turut pula Abu Ubaidah bin Al Jarrah r.a. Saat melewati arungan sungai,
‘Umar r.a turun dari untanya dan kemudian melepas kedua sepatunya,
meletakkan kedua sepatunya tersebut dipundaknya, memegang tali
kekang untanya lalu menyebrangi sungai. Maka Abu ‘Ubaidah selaku
panglima perang yang membuka al-Quds berkata: Wahai amiirul
mukminin, engkau melakukan hal ini?, melepas kedua sepatumu,
meletakkan kedua sepatumu dipundakmu, memegang tali kekang untamu
lalu menyebrangi sungai ? sesungguhnya penduduk negeri (Palestina)
berdiri (menunggu) menyambut engkau”.

Abu ‘Ubaidah merasa bahwa penampilan khalifah ‘Umar yang lusuh


adalah suatu kehinaan, atau minimal tidak pantas kalau dilihat penduduk
Palestina yang menyambutnya. Maka Khalifah ‘Umar menjawab:
“Wahai Abu Ubaidah, seandainya bukan engkau yang melontarkan
ungkapan ini. Lalu ‘Umar menyambung:
“Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang hina, kemudian Allah
muliakan kita dengan Islam, bilamana kita mencari kemuliaan selain
dengan yang Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan
menghinakan kita.” (HR. Al Hakim dengan sanad shahih menurut
Bukhory dan Muslim, disepakati oleh Adz Dzahabi).

Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Allah pasti akan menghinakan kita kalau kita mengejar kemuliaan


dengan berpaling dari syari’ah Allah, mungkin Allah akan memberikan
kemuliaan semu kepada kita, namun kemuliaan semu tersebut akan
segera berakhir dengan penyesalan. Allah berfirman:

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan


kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan
untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang
telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-
konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.(QS. Al An’aam:
44)

Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Perjalanan waktu telah membuktikan kebenaran apa yang dikatakan


Allah. Amerika Serikat, negara penjajah pembantai jutaan kaum
muslimin, negara yang membolehkan homo seksual, saat ini benar-benar
tenggelam dalam krisis utang besar di atas 90% dari PDB[1],
kondisinya lebih parah daripada apa pun yang negara itu pernah alami
sejak era The Great Depression (malaise, 1930). Departemen Pertanian
AS menyatakan bahwa sekitar 50 juta orang Amerika tidak mampu
membayar makanan yang cukup di tahun 2009. Menurut Kapten
William Finley, kepala cabang lokal dari Salvation Army, orang-orang
yang dulunya kaya, yang telah kehilangan rumah mereka, kini terpaksa
tidur di mobil mahal mereka yang diparkir di sudut-sudut kota [2].
Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Adalah sangat ajaib, kalu ada yang masih saja mencari kemuliaan
dengan menjilat musuh mereka, menyambut mereka bak tamu agung
yang akan menyelesaikan problem umat ini, padahal krisis yang
menimpa Amerika jauh lebih besar daripada yang menimpa kita, utang
luar negeri Amerika saja sudah 13 trilyun dolar AS[3], (= Rp. 117.000
trilyun, dengan kurs 1 dolar = 9 ribu), hampir 60 kali lipat utang
Indonesia yang sekitar Rp. 2000 trilyun.

Sungguh sebagai pribadi maupun sebagai bangsa, kemuliaan tidak akan


diraih kalau justru dengan berpaling dari aturan-aturan Allah SWT,
bagaimana mungkin kita menghendaki kemuliaan kalau justru kita
menentang perintah Dzat Pemilik Kemuliaan?, bagaimana mungkin kita
menghendaki kemuliaan namun kita mencari kemuliaan tersebut dari
orang-orang yang dihinakan Allah akibat kemaksiyatan mereka? justru
kehinaan yg akan diperoleh ketika umat ini mengikuti prilaku orang-
orang kafir, baik prilaku dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun
pemerintahannya. Allah berfirman:

Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah


kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan
yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang
merencanakan kejahatan, bagi mereka azab yang keras, dan rencana
jahat mereka akan hancur. (QS. Faathir 100)

(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-


teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah
mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya
semua kekuatan kepunyaan Allah.(QS. An Nisaa’ 139)

Semoga Allah memberikan kemuliaan kepada kita karena Islam dan


memuliakan Islam dengan kita.
‫‪Khutbah Kedua‬‬

‫ش َه ُد أ َ ْن ََل ِإ َل َه ِإَلَّ هللا‬‫س ْو ِل هللاِ‪َ ،‬وَلَ َح ْو َل َوَلَ قُ َّوةَ ِإَلَّ ِباهللِ‪.‬أَ ْ‬ ‫علَى َر ُ‬ ‫سلَ ُم َ‬ ‫صلَةُ َوال َّ‬ ‫ا َ ْل َح ْم ُد ِ ََّّللِ َوال َّ‬
‫علَى نَ ِب ِيكَ ُم َح َّم ٍّد‬ ‫س ِل ْم َوبَ ِار ْك َ‬‫ص ِل َو َ‬ ‫س ْولُهُ‪.‬اَللَّ ُه َّم َ‬ ‫ش َه ُد أ َ َّن ُم َح َّمدًا َ‬
‫ع ْب ُدهُ َو َر ُ‬ ‫َوحْ َدهُ َلَ ش َِر ْيكَ لَهُ َوأ َ ْ‬
‫علَى آ ِل ِه َو َم ْن تَبِ َع ُهدَاهُ إِلَى يَ ْو ِم ا ْل ِقيَا َم ِة‬ ‫‪.‬و َ‬‫َ‬

‫از ا ْل ُمتَّقُ ْو َن‪ .‬إِ َّن هللاَ‬ ‫اي بِتَ ْق َوى هللاِ‪ ،‬فَقَ ْد فَ َ‬ ‫ش َد ُك ُم هللاُ أ ُ ْو ِص ْي ُك ْم َوإِيَّ َ‬ ‫س ِل ِم ْي َن أ َ ْر َ‬
‫ش َر ا ْل ُم ْ‬ ‫أ َ َّما بَ ْعدُ؛ َمعَا ِ‬
‫ص ِل‬ ‫س ِل ْي ًما‪ .‬اَللَّ ُه َّم َ‬ ‫علَ ْي ِه َو َ‬
‫س ِل ُم ْوا ت َ ْ‬ ‫علَى النَّ ِبيِ‪َ ،‬يا أَيُّها َ الَّ ِذ ْي َن َءا َمنُ ْوا َ‬
‫صلُّ ْوا َ‬ ‫صلُّ ْو َن َ‬ ‫َو َملَئِ َكتَهُ يُ َ‬
‫علَى ُم َح َّم ٍّد‬ ‫علَى آ ِل إِ ْب َرا ِه ْي َم‪َ .‬و َب ِار ْك َ‬ ‫علَى إِ ْب َرا ِه ْي َم َو َ‬ ‫صلَّيْتَ َ‬ ‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍّد َك َما َ‬ ‫علَى ُم َح َّم ٍّد َو َ‬ ‫َ‬
‫ع َلى آ ِل ِإ ْب َرا ِه ْي َم‪ِ ،‬إنَّكَ َح ِم ْي ٌد َم ِج ْيدٌ‪ .‬أَلل ُه َّم ا ْغ ِف ْر‬ ‫علَى ِإ ْب َرا ِه ْي َم َو َ‬ ‫ار ْكتَ َ‬ ‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍّد َك َما َب َ‬ ‫َو َ‬
‫سلَ َم‬ ‫اء ِم ْن ُه ْم َواْأل َ ْم َواتِ‪ .‬أَلل ُه َّم ا َ ِع ِز اْ َِل ْ‬ ‫ت اَ ِْألَحْ يَ ِ‬ ‫ت َوا ْل ُم ْؤ ِم ِن ْي َن َوا ْل ُم ْؤ ِمنَا ِ‬ ‫س ِل َما ِ‬‫س ِل ِم ْي َن َو ا ْل ُم ْ‬
‫ِل ْل ُم ْ‬
‫ص ْر ُه ْم‬ ‫ان ِْ ُ‬ ‫ص ِل ْح ذَاتَ بَ ْينِ ِه ْم َو ْ‬ ‫ف َب ْي َن قُلُ ْوبِ ِه ْم َوأ ْ‬ ‫ص ِل ْح ُوَلةَ ال ُم ْ‬
‫س ِل ِم ْي َن َو ِأل ْ‬ ‫س ِل ِم ْي َن َوأ َ ْ‬‫َوا ْل ُم ْ‬
‫س ِل ِم ْي َن َربَّنَا ا ْغ ِف ْر لَ َنا َو ِل َوا ِل َد ْينَا‬
‫لم َوال ُم ْ‬‫س ِ‬ ‫ح اْل ْ‬ ‫صلَ ُ‬ ‫عد ُِو ِه ْم َو َوفِ ْق ُه ْم ِل ْل َع َم ِل ِب َما فِ ْي ِه َ‬ ‫عد ُِوكَ َو َ‬ ‫علَى َ‬ ‫َ‬
‫اب النَّ ِار‪.‬‬ ‫عذ َ َ‬ ‫سنَةً َوقِنَا َ‬ ‫اآلخ َر ِة َح َ‬ ‫سنَةً َوفِي ِ‬ ‫ارا‪َ .‬ربَّنَا آتِ َنا فِي ال ُّد ْن َيا َح َ‬ ‫ار َح ْم ُه َما َك َما َربَّيَانَا ِصغَ ً‬ ‫َو ْ‬
‫َآء َوا ْل ُمنك َِر‬ ‫آئ ذِي ا ْلقُ ْر َبى َو َي ْن َهى ع َِن ا ْلفَحْ ش ِ‬ ‫ان َو ِإيتَ ِ‬ ‫س ِ‬ ‫هللا‪ِ ،‬إ َّن هللاَ َيأ ْ ُم ُر ُك ْم ِبا ْل َع ْد ِل َواْ ِْلحْ َ‬‫ِع َبا َد ِ‬
‫ض ِل ِه يُ ْع ِط ُك ْم َولَ ِذك ُْر هللاِ‬ ‫سأَلُ ْوهُ ِم ْن َف ْ‬ ‫ظ ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَذَك َُّر ْو َن‪ .‬فَا ْذك ُُروا هللاَ ا ْلعَ ِظ ْي َم يَ ْذك ُْر ُك ْم َوا ْ‬ ‫َوا ْلبَ ْغي ِ يَ ِع ُ‬
‫‪.‬أ َ ْكبَ ُر‬

‫‪[1] Produk Domestik Bruto‬‬

‫‪[2] http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/amerika-segera-‬‬
‫‪menjadi-negara-dunia-ketiga.htm, diakses 16/9/2010‬‬

‫]‪[3‬‬
‫‪http://internasional.kompas.com/read/2010/10/22/11494356/Muka.Buru‬‬
‫‪k.Cermin.Dibelah‬‬
‘Diet’ Spiritual

Tidak sedikit orang berpuasa dalam rangka menjaga kesehatan. Diet


ketat dilakukan demi sekedar mendapatkan tubuh yang ideal, anehnya
‘diet’ spiritual sering lupa diperhatikan. Abdullah bin Subrumah (w. 144
H) berkata:

“Aku heran dengan orang yang bisa melakukan diet dari makanan
sebab takut penyakit, bagaimana bisa dia tidak mampu diet dari dosa
sebab takut neraka.” (Akhbâr al-Qudhât, 3/123).

Ramadhan seharusnya menjadi bulan untuk berlatih melakukan ‘diet’


spiritual. Jika yang asalnya halal saja mampu ditinggalkan demi
menjalankan perintah-Nya, tentu yang asalnya Dia haramkan lebih harus
siap untuk ditinggalkan dan dijauhi sejauh-jauhnya.

‘Diet’ semacam ini, yakni meninggalkan maksiyat, bukan hanya akan


‘menyehatkan’ sisi spiritual seseorang, namun juga akan mendapatkan
yang lebih baik dari apa yang dia tinggalkan tersebut.

Qatadah pernah mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

“Tidaklah seseorang mampu berbuat hal yang haram, lalu ia


meninggalkannya tiada lain karena takut kepada Allah, kecuali Allah
akan menggantikan baginya, dengan segera di dunia ini sebelum
akhiratnya, dengan sesuatu yang jauh lebih baik daripada hal yang
haram itu”. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/74)

Diet seperti ini tidaklah selalu terhadap yang haram, akan semakin baik
untuk meningkatkan sisi spiritual seseorang; meningkatkan derajat
takwa, jika hal-hal yang halal pun dia jaga agar tidak berlebihan. Imam
Ahmad berkata

”Zuhud ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan sesuatu yang haram,


dan ini adalah zuhudnya orang awam. Kedua, meninggalkan berlebihan
terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang khusus. Ketiga,
meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat
Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.” (Fashl al-Khitâb,
6/9).

Jika tidak sekarang kita melakukan ‘diet’ dengan meninggalkan hal yang
membahayakan akhirat kita, yakinkah kita akan hidup sampai hari esok?
Jika kita tidak bersabar untuk menghentikan dosa-dosa kita dan meminta
ampun kepada-Nya, yakinkah kita mampu bersabar saat Dia menyiksa
kita di akhirat kelak?.
Menyikapi Kegagalan

Bukan hanya dana yang rata-rata perhari habis Rp35,9 Milyar[1], pemilu
di negeri ini juga menghabiskan ‘jiwa’. Modal habis, hutang menumpuk,
ditambah gagal menjadi anggota dewan membuat tidak sedikit caleg
gagal yang akhirnya stress. Ujung-ujungnya negara, lewat BPJS pula
yang menanggung pengobatan mereka.[2] RSJ Menur Surabaya,
misalnya telah menyiapkan 309 kamar untuk caleg gagal terpilih[3],
sementara di RSJ Sambang Lihum Kalsel hanya menyediakan 80 tempat
tidur.[4]

Mengubah Sudut Pandang

Setidaknya ada lima tipe caleg, pertama, caleg yang bermain curang,
menghabiskan uang untuk ‘money politic’, namun gagal. Kedua, caleg
yang bermain bersih, tidak banyak keluar uang, dan gagal. Ketiga, caleg
yang bermain curang, menghabiskan uang untuk ‘money politic’, dan
berhasil menggapai impiannya. Keempat, caleg yang bermain bersih,
tidak banyak keluar uang, dan berhasil menggapai impiannya. Kelima,
caleg yang maju karena didanai pihak ketiga, gagal atau tidak tidak
berpengaruh ke ‘dompetnya’.

Bagi tipe pertama, kegagalan layak untuk disyukuri, karena dengan


gagal maka dia akan terhenti dari kecurangannya, sebaliknya jika
berhasil, dia akan susah untuk keluar dari kubangan kecurangan yang
dibuatnya tersebut. ‘Pekerjaan’ yang dia peroleh dengan kecurangan
tersebut hanya akan merusak dan menghilangkan keberkahan hidupnya
sendiri. Caleg tipe kedua juga patut bersyukur, dengan gagalnya dia
berarti Allah jaga dirinya dari hal-hal yang kemungkinan bakalan
merusak dirinya, bukankah banyak diantara yang berhasil akhirnya tidak
kuat menahan diri dari godaan harta hingga akhirnya terjatuh pada
korupsi, atau godaan wanita hingga berujung perselingkuhan, atau dia
tidak tegar menyuarakan hukum Allah Ta’ala hingga akhirnya ikut
menetapkan peraturan yang bertentangan dengan aturan-aturan-Nya.
Jika hal tersebut terjadi, bukankah itu investasi keburukan yang
kehinaan dan dosanya akan terus mengalir seiring dengan berlakunya
peraturan yang dia buat?.

Imam al-Ghazali(w. 505 H), dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, 2/74


menyatakan,

“Dan kecelakaan yang panjang bagi seseorang yang mati namun dosa-
dosanya tetap (mengalir) seratus tahun, dua ratus tahun atau lebih, dia
disiksa dikuburnya karenanya (dosa yang masih mengalir) dan dimintai
pertanggungjawaban tentangnya hingga berakhirnya dosa tersebut”

Pernyataan Imam Al Ghazali ini sesuai dengan firman Allah swt:

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami


menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang
mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab
Induk yang nyata (Lawh Mahfudz).” (QS Yaasin [36]: 12).

Berhasil duduk sebagai anggota legislatif bukanlah satu hal yang layak
dianggap sebagai kesuksesan, apalagi dalam sistem demokrasi saat ini,
dimana hukum-hukum Allah diletakkan di bawah kemauan manusia;
jika mayoritas mereka mau maka hukum Allah boleh dilaksanakan,
namun jika mereka menolak, atas nama kedaulatan rakyat maka hukum
Allah harus dipinggirkan. Minuman keras dianggap penopang ekonomi,
LGBT diamanahkan untuk dilindungi, bukan dididik, dinasehati lalu jika
membangkang diberi hukuman sesuai syari’at Ilahi. Sementara kelak, di
akhirat anggota legislatif tersebut tetaplah akan dihukumi apakah
perbuatan, peraturan dan ketetapan yang mereka buat sesuai dengan
Islam atau tidak, bukan ditanya kesesuaiannya dengan demokrasi atau
tidak. Bukankah jika tidak berani menyuarakan Islam, mengemban
amanah Allah, maka menjadi anggota legislatif hanya akan melahirkan
kehinaan? Rasulullah mengingatkan:

Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu adalah amanah dan pada Hari


Kiamat nanti akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi
orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan
kewajiban yang ada di dalamnya (HR Muslim).

Jika demikian, bukankah yang gagal menjadi anggota legislatif tidak


perlu stress, justru yang layak untuk ‘stress’ adalah yang berhasil duduk
sebagai anggota legislatif, bagaimana dia akan menjawab andai kelak
Allah bertanya: “mengapa di wilayahmu masih bebas miras beredar,
perzinaan masih marak, riba merajalela, dan hukum-hukum-Ku kau
biarkan terlantar?” ke mana dia bisa ‘ngacir’ untuk menghindar?

[1] “Sejak 2014 Biaya Pesta Demokrasi Di Pemilu Habiskan Rp 65


Triliun, Efeknya?,” accessed April 18, 2019,
https://nasional.kontan.co.id/news/sejak-2014-biaya-pesta-demokrasi-di-
pemilu-habiskan-rp-65-triliun-efeknya.

[2] “BPJS Tanggung Biaya Pengobatan Caleg Stres,” accessed April 18,
2019, https://regional.kompas.com/read/2019/04/16/16092711/bpjs-
tanggung-biaya-pengobatan-caleg-stres.

[3] “RSJ Menur Surabaya Siapkan 309 Kamar Untuk Caleg Gagal
Terpilih,” accessed April 18, 2019,
https://regional.kompas.com/read/2019/04/16/19105031/rsj-menur-
surabaya-siapkan-309-kamar-untuk-caleg-gagal-terpilih.

[4] “Antisipasi Caleg Stres, Sambang Lihum Siapkan 80 Tempat Tidur,”


accessed April 18, 2019, http://kalsel.prokal.co/read/news/22959-
antisipasi-caleg-stres-sambang-lihum-siapkan-80-tempat-tidur.html.
Memilih Pemimpin yang Adil

Rasulullah bersabda:

‘Ada tujuh kelompok orang yang dinaungi oleh Allah pada hari tiada
naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil…’ (HR. al-
Bukhari dan Muslim).

Siapakah yang dimaksud dengan pemimpin yang adil dalam hadits


tersebut?. Dalam Ibânat al-Ahkâm Syarh Bulûgh al-Marâm dijelaskan:

“Imam atau pemimpin yang adil adalah penguasa umum (bagi kaum
muslimin/shâhibu al-wilâyati al-udzma[1]/khalifah) yang mengikuti
perintah-perintah Allah Ta’ala, menempatkan segala sesuatu di
tempatnya tanpa kelebihan dan tanpa kekurangan.”[2]

Pemimpin yang adil adalah orang yang jika Allah meneguhkan


kekuasaannya maka dia akan melaksanakan segala perintah Allah untuk
diri dan rakyatnya, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.
Firman Allah:

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di


muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar.”(QS. Al-Hajj: 41).

Pemimpin yang adil akan berlaku adil untuk dirinya sendiri, yakni
melakukan ketaatan kepada Allah secara pribadi, menjauhi berdusta,
korupsi, maupun berbagai maksiyat lainnya.

Pemimpin yang adil juga akan berlaku adil dalam memerintah, yang ini
tercermin dalam dua hal: Pertama, memposisikan siapa saja sejajar
dihadapan hukum, baik orang tersebut dicintainya atau dibencinya.
Kedua, hukum yang dijalankan adalah hukum Allah Ta’ala. Sebagus
apapun dia memperlakukan rakyat, aturan yang dipakai adalah aturan-
aturan yang bertolak belakang dengan aturan Allah, maka dia tidak
disebut adil, namun justru disebut zalim atau fasiq, ini jika dia masih
meyakini kebaikan hukum Allah Ta’ala. Allah berfirman:

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang


diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
(QS. Al Maidah : 45)

Terkait ayat ini, Imam Al Baghawi (w. 510 H) dalam tafsirnya mengutip
Ikrimah maula Ibnu Abbas r.a yang menyatakan:

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang telah


Allah turunkan karena ingkarnya dia dengan hukum tersebut maka dia
telah kafir, barang siapa masih membenarkan hukum Allah Ta’ala
namun tidak memutuskan perkara dengannya maka dia zalim fasiq.”
(Ma’âlimut Tanzîl, Juz 2 hlm.55)[3]

Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang memberikan perhatian atas


keselamatan rakyatnya, tidak hanya di dunia namun sampai ke akhirat,
bukan hanya diri rakyatnya, namun juga hak-hak rakyat akan dijaganya
sekuat tenaga, karena dia sadar sepenuhnya bahwa kelak dia akan
dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.

Ketika Khalifah Umar mengejar unta zakat yang lepas, Beliau ditegur
oleh Imam Ali ra:

“Sungguh engkau telah membuat rendah khalifah-khalifah sesudah


engkau”. (maksudnya tidak pantas seorang kepala negara mengejar unta
sendiri)

Maka Umar menjawab:

“Jangan Engkau cela aku wahai Abul Hasan; demi Tuhan yang telah
mengutus Muhammad SAW dengan kenabian, andaikan ada anak
domba (zakat) pergi (hilang) di tepi sungai Furat, pasti Umar akan
disalahkan atas hal tersebut pada hari kiamat, karena sungguh tiada
kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak/harta)
kaum muslimin, juga tidak bagi orang fasik yang meresahkan orang-
orang mukmin.” (Tanbîhul Ghâfilîn, hal 384).

Jika memang demikian halnya seorang pemimpin, sungguh wajar jika


Allah memuliakannya dengan mendahulukan penyebutannya dari enam
golongan sesudahnya. Sebaliknya jika pemimpin itu hianat, baik
menghianati amanah rakyat, apalagi menghianati Allah dengan
mengabaikan perintah-perintah-Nya, sungguh di akhirat kondisinya
sangat-sangat terhina.

Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a, Rasulullah bersabda:

“Setiap pengkhianat memiliki panji pada hari kiamat, yang akan


dikibarkan setinggi-tingginya sesuai kadar pengkhianatannya.
Ketauhilah tidak ada pengkhianat yang lebih besar penghianatannya
daripada pengkhianatan seorang pemimpin kepada rakyatnya.” (HR.
Muslim).

Adapun rakyat, mereka juga tidak terbebas dari bendera penghianatan


tersebut, tentu dengan level yang lebih rendah, jika mereka memilih dan
mengangkat pemimpin yang tidak adil, atau mendiamkan dan rela
dengan kezaliman pemimpinnya. Allaahu A’lam.

[1] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath Al-Bâri (Beirut: Dâr al-Ma’rifah,


1379), Juz 2, hlm. 144 ‫ظمى وي ْلت ِح ُق ِب ِه ُك ُّل م ْن و ِلي‬
ْ ُ‫ب ْال ِوَّلي ِة ْالع‬ ِ ‫و ْال ُمراد ُ ِب ِه ص‬
ُ ‫اح‬
ِ ‫ش ْيئًا ِم ْن أ ُ ُم‬.
‫ور ْال ُم ْس ِل ِمين‬

[2] Hasan Sulaiman Nuri and Sayyid Alwi Al-Maliki, Ibânat Al-Ahkâm
Syarh Bulûgh Al-Marâm, Cet. I. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1416), Juz 2, hlm.
256.

[3] Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma’âlim Al-Tanzîl, Cet. I.


(Beirut: Dâr Ihya al-Turats al-Arabi, 1420), Juz 2, hlm. 55.
Betulkah Kita Takut Kepada Allah?

Takut kepada Allah merupakan kewajiban. Siapa saja yang tidak takut
kepada Allah di dunia, kelak dia dibuat ketakutan pada hari kiamat,
sebagaimana hadits qudsi riwayat Ibnu Hibban dalam shahihnya:

“Demi keagungan-Ku, tidak akan Aku kumpulkan dalam diri hamba-Ku


dua ketakutan dan dua keamanan. Jika dia takut kepada-Ku di dunia
maka akan Kuberi keamanan di akhirat, dan jika dia merasa aman dari-
Ku di dunia, akan Aku buat dia ketakutan di hari kiamat”.

Hanya saja takut kepada Allah yang hakiki tidak sekedar di bibir saja,
namun tercermin dalam hati, sikap, perbuatan dan ucapan.

Abu Laits mengutip perkataan Al-Rabî’ bin Khaitsam yang menyatakan:

Tanda bahwa seorang hamba itu takut kepada Allah Ta’ala nampak
dalam tujuh perkara:

Pertama, nampak pada lidahnya, lidahnya akan tercegah dari berdusta,


menggunjing, dan berlebihan bicara. Lisannya akan sibuk berdzikir,
membaca Alquran, maupun mendiskusikan ilmu.

Kedua: dia takut dalam urusan perutnya, hingga tidak memasukkan ke


dalam perutnya kecuali makanan yang baik dan halal, serta memakan
yang halal sekedar keperluannya saja, tidak berlebihan.

Ketiga, dia takut dalam urusan pandangannya, hingga dia tidak


memandang sesuatu yang haram dilihat, tidak pula melihat dunia dengan
pandangan penuh ambisi. Pandangannya ke dunia hanya digunakan
untuk mengambil ‘ibrah dari apa yang terjadi.

Keempat, dia takut dalam urusan tangannya, hingga tidak


mengulurkannya kepada yang haram, hanya dia ulurkan tangannya
untuk ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Kelima, dia takut dalam urusan kakinya, hingga tidak melangkah dalam
maksiat kepada Allah.

Keenam, dia takut dalam urusan hatinya, hingga dia membuang rasa
permusuhan, kebencian dan kedengkian kepada saudara, dan
memasukkan kedalam hatinya nasehat dan simpati kepada kaum
muslimin

Ketujuh, dia takut dalam urusan taat kepada Allah, hingga menjadikan
ketaatannya ikhlas mengharap Allah semata, khawatir terjatuh kepada
riya’ dan nifaq. (Abu Laits al-Samarkandi, Tanbîh Al-Ghâfilîn, Cet. III.
(Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 2000), hlm. 390-391).[1]

Sungguh kita tertipu oleh diri sendiri jika kita mengaku takut hanya
kepada Allah, namun masih ringan kata untuk berdusta, hati masih
merasa berat menerima hukum dan ketentuan Allah Ta’ala, mata masih
lebih senang melihat aurat yang terbuka, gemerlap dunia masih lebih
memukau kita daripada berjuang untuk merealisir ketaatan pada Sang
Pencipta.

Tak peduli kita rakyat jelata ataupun penguasa, menentang syari’at Allah
Ta’ala dan mempersekusi pejuangnya serta menyematkan tuduhan-
tuduhan dusta kepada mereka merupakan bukti bahwa kita berani
memerangi Allah walaupun mulut kita berbusa mengatakan “aku hanya
takut kepada Allah”. Allâhu A’lam.

[1] Abu Laits al-Samarkandi, Tanbîh Al-Ghâfilîn, Cet. III. (Beirut: Dâr
Ibnu Katsir, 2000), hlm. 390-391.
Merekatkan Hati Rakyat

Salah satu tugas berat pasca pemilu nanti, disamping membangun negeri
yang makin terlilit hutang adalah tugas untuk merekatkan kembali hati-
hati rakyat yang sudah terpolarisasi. Masing-masing kubu cenderung
tidak percaya kepada kubu yang lainnya. Beberapa hal yang mesti
diupayakan oleh setiap pihak yang ingin merekatkan hati rakyat, dan ini
harus dimulai dari diri masing-masing pihak, terutama kalangan
penguasa antara lain:

Mengikis Fanatisme

Fanatisme (ashabiyyah) yang tercela adalah sikap selalu berpihak dan


membantu anggota kelompok, suku, partai ataupun bangsanya tanpa
melihat apakah yang dibela benar ataukah salah. Bintu Watsilah Ibnul
Asqa’ pernah mendengar Bapaknya bertanya kepada Rasulullah:

“Wahai Rasulullah, Ashabiyah (fanatik kesukuan) itu apa?” beliau


menjawab: “Engkau tolong kaummu dalam kezhaliman.” (HR. Abu
Dawud)

Sikap seperti ini dicela oleh Rasulullah dan diancam pelakunya dengan
siksaan. Rasulullah bersabda:

“tinggalkanlah fanatisme kesukuan itu, karena fanatisme kesukuan itu


busuk” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadist lain Rasulullah bersabda:


ٌ‫صبَةً فَقُتِل فَ ِقتْ َلة‬
َ ‫ع‬ ُ ‫ص َب ٍّة أ َ ْو يَ ْن‬
َ ‫ص ُر‬ َ ‫صبَ ٍّة أ َ ْو َي ْدعُو إِلَى‬
َ ‫ع‬ َ َ‫ب ِلع‬ َ ‫َو َم ْن قَاتَل تَحْ تَ َرايَ ٍّة ِع ِميَّ ٍّة يَ ْغ‬
ُ ‫ض‬
ٌ‫[ َجا ِه ِليَّة‬1]

Dan barangsiapa mati di bawah bendera kefanatikan, dia marah karena


fanatik kesukuan atau menyeru kepada kefanatikan atau menolong
(berperang) karena kefanatikan kemudian dia terbunuh, maka matinya
seperti mati jahiliyah. (HR. Muslim).
Bersikap Adil

Salah satu sikap yang menjadikan rusaknya suatu bangsa adalah ketika
elit politik tidak dapat berlaku adil. Fir’aun, walaupun kekuasaannya
sangat besar sehingga dia mendakwa dirinya sebagai tuhan, kekuasaan
yang besar tersebut tiada berguna ketika dia memperlakukan rakyatnya
dengan tidak adil dan memecah belah persatuan rakyat. Allah
menyatakan:

“Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi


dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas
segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun
termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 4)

Dengan kekuasaannya, walaupun dia yang membuat kerusakan, namun


dia malah berusaha memviralkan tuduhan bahwa Nabi Musalah biang
segala kerusakan. Dia menebar hoax bahwa Musa, setelah berhasil
mengalahkan sekaligus meyakinkan tukang-tukang sihirnya sehingga
mereka beriman, justru Musa-lah yang dianggap gurunya tukang sihir
tersebut, yang dengan semua tuduhan tersebut menurutnya Musa layak
untuk dibunuhnya.

Dan Fir‘aun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), “Biar aku yang


membunuh Musa dan suruh dia memohon kepada Tuhan-nya.
Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau
menimbulkan kerusakan di bumi.” (QS. Ghofir : 26).

Akibat prilakunya yang keterlaluan itu, Allah menggantikan


kedudukannya, Dia berfirman:

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang


tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin
dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS. Al-
Qashash: 4)
Bersabar dan Lemah Lembut

Terkait dengan hal ini Allah berfirman:

ْ ‫ع ْن ُه ْم َوا‬
‫ست َ ْغ ِف ْر‬ َ ‫ْف‬ ُ ‫ضوا ِم ْن َح ْو ِلكَ فَاع‬ ُّ ‫ب ََل ْن َف‬ َ ‫غ ِلي‬
ِ ‫ظ ا ْلقَ ْل‬ َ ‫ظا‬ ًّ َ‫َّللاِ ِل ْنتَ َل ُه ْم َولَ ْو ُك ْنتَ ف‬
َّ ‫فَ ِب َما َرحْ َم ٍّة ِم َن‬
159) ‫ين‬ َ ‫ب ا ْل ُمت َ َو ِك ِل‬ َّ ‫علَى‬
َّ ‫َّللاِ إِ َّن‬
ُّ ‫َّللاَ يُ ِح‬ َ ‫)لَ ُه ْم َوشَا ِو ْر ُه ْم فِي ْاأل َ ْم ِر فَ ِإذَا ع ََز ْمتَ فَت َ َو َّك ْل‬

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut


terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. {1} Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 159)

Islam Mempersatukan

Ajaran Islam itu mempersatukan, maka janganlah diframing negatif


ajaran-ajarannya, baik sebagian ajarannya seperti khilafah, apalagi
seluruhnya. Islamlah yang telah menyatukan suku Aus dan Khazraj yang
selama ratusan tahun mereka berperang, menyatukan jazirah Arab, juga
menyatukan lebih dari separo bumi dan membawa mereka kepada
peradaban yang tinggi selama berabad-abad. Tidak heran jika Gustave
Lebon (w. 1931), ilmuwan Perancis: “Orang Arab(Islam) lah yang
menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena merekalah Imam kita
selama enam abad..” (La Civilisation des Arabes).

Sementara lihatlah bagaimana rusaknya sisi kemanusiaan yang


dihasilkan peradaban kapitalis saat ini, narkoba tidak terkendali, sekitar
50 orang mati over dosis tiap hari, penghuni penjara senantiasa
bertambah sekitar 25 ribu per tahun, kriminalitas juga menjadi-jadi, rata-
rata 10 ribu orang mati bunuh diri tiap tahun, itu belum terhitung
pembunuhan 700.000 bayi lewat aborsi yang dilakukan remaja tiap
tahun.
Kalau bukan ke Islam dan aturannya, apakah kita akan merujuk ke
Amerika, yang dari sisi tersebut kondisinya juga tidak lebih baik dari
Indonesia? Patut direnungkan kembali perkataan Khalifah Umar bin
Khattab r.a:

“Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang hina, kemudian Allah


muliakan kita dengan Islam, bilamana kita mencari kemuliaan selain
dengan yang Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan
menghinakan kita.” (HR. Al Hakim dengan sanad shahih menurut syarat
al Bukhory dan Muslim, disepakati oleh Adz Dzahabi).
Beda Laki-Laki dan Perempuan dalam Shalat

Sesungguhnya shalat lelaki dengan wanita adalah sama dalam hal rukun,
syarat, sunnah dan makruhnya. Adapun tata cara melakukan sunnah-
sunnahnya mayoritas juga sama, namun berbeda sebagiannya.

Imam as Syafi’i menyatakan point-point perbedaan tersebut bahwa


wanita: disunnahkan menempelkan bagian tubuh satu dengan lainnya,
menempelkan perut dengan kedua paha dalam sujudnya, begitu juga
dalam ruku’nya, dan hendaklah menebalkan jilbabnya, dan
menjauhkannya saat ruku’ dan sujud sehingga tidak tergambar (bentuk)
pakaiannya, dan hendaklah melirihkan suaranya, dan jika mengingatkan
sesuatu dalam shalatnya hendaklah dengan bertepuk tangan.[1]

Syaikh Muhammad az Zuhaili merinci perbedaan lelaki dan perempuan,


yakni dalam hal:

1) aurat, aurat perempuan beda dengan lelaki.

2) adzan dan iqomat, perempuan tidak disunnahkan adzan dengan suara


nyaring, namun boleh adzan dg suara rendah pada jamaah wanita.
Sunnah pula iqomah dengan suara rendah pada jamaah wanita.

3) menempelkan anggota satu dengan lainnya,

4) melirihkan suara saat membaca al fatihah, surat maupun takbir.

5) tepuk tangan (telapak tangan kanan ke punggung tangan kiri) ketika


mengingatkan imam yg keliru/lupa.

Begitu juga berbeda antara lelaki dan perempuan dalam shalat jama’ah:

1) perempuan lebih afdhol sholat jamaah di rumah.

2) posisi imam wanita ada ditengah jamaah,

3) wanita shalat dibelakang imam lelaki, walau ia sendirian,


4) shaf yang paling afdhol wanita adalah yang lebih belakang.

Inilah pandangan yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i, adapun jika


ada pandangan yang berbeda dalam beberapa rinciannya maka tidak
perlu diributkan. Allaahu A’lam.

Rujukan: Muhammad al-Zuhaili, Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’i,


Cet. III. (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2011), Jilid I, hlm. 328 dst.

[1] ‫صال ِة َّإَّل أ َّن‬ َّ ‫اء فِي عم ِل ال‬


ِ ‫الرجا ِل والنِس‬ ِ ‫َّللاُ فِي ْال ُم ْختص ِر وَّل ف ْرق بيْن‬
َّ ُ‫ي ر ِحمه‬
ُّ ‫شافِ ِع‬َّ ‫قال ال‬
‫س ُجو ِد كأ ْست ِر‬
ُّ ‫طنها ِبف ِخذيْها فِي ال‬ ْ ‫صق ب‬ ِ ‫ض َّم ب ْعضها إلى ب ْعض وأ ْن ت ُ ْل‬ ُ ‫ْالم ْرأة يُسْتحبُّ لها أ ْن ت‬
ً‫صالةِ وأ ْن تُكثِف ِج ْلبابها وتُجافِي ِه را ِكعة‬ َّ ‫الر ُكوعِ وفِي ج ِميعِ ال‬ُّ ‫ون وأ ُ ِحبُّ ذ ِلك لها فِي‬ ُ ‫ما ي ُك‬
‫ت )المجموع‬ ْ ‫صفها ِثيابُها وأ ْن تخفض صوتها وان نابها شئ فِي صالتِها صفَّق‬ ِ ‫اجدة ً ِلئ َّال ت‬ِ ‫وس‬
3:526 ،‫)شرح المهذب‬
Sederhana Mengatasi Korupsi

Demokrasi di Indonesia menjadikan korupsi seakan ‘mustahil’


tertangani. Bagaimana tidak, kendaraan politik pra pencalonan yang
terhitung mahal akan mendorong calon yang menang untuk
mengembalikan modal sekaligus ‘bunganya’.

Syari’at Islam, jika diterapkan secara utuh, akan menjadikan masalah


korupsi bisa dicegah dan diatasi dengan sederhana, tidak perlu
pembuktian yang panjang dan rumit atau melakukan OTT (Operasi
Tangkap Tangan). Misalnya apa yang dilakukan Khalifah ‘Umar, beliau
akan menghitung terlebih dahulu jumlah kekayaan pribadi kepala daerah
sebelum diangkatnya. Lalu dihitung lagi saat pejabat tersebut selesai
bertugas.

Ketika Beliau mendapati seorang wali atau ‘amil (kepala daerah


setingkat gubernur atau bupati) kekayaannya bertambah dengan
tambahan yang beliau pandang tidak wajar atau syubhat, maka
kelebihannya disita atau dibagi dua, separuhnya diserahkan kepada
baitul mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah
bin Abu Sufyan juga Amr bin Al Ash.[1] Ini untuk kasus yang syubhat.
Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri
sendiri dengan jalan curang, maka hukumannya adalah ta’zir, bisa disita,
dicambuk, dipenjara, atau bahkan dihukum mati, tergantung efek
kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut.

Alasan Umar membagi kelebihan harta kekayaan mereka menjadi dua


adalah karena adanya syubhat, yakni ada kemungkinan harta tersebut
didapatkan melalui kekuasaan, jabatan dan wibawa mereka sebagai
penguasa saat mereka bisnis.

Perlu Keteladanan

Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar tersebut bisa efektif karena
beliau sendiri menjadi teladan dalam hal ini. Beliau menyita sendiri
seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena
kedapatan digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Ini dinilai
Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Menjelang akhir hayatnya beliau juga mengembalikan kelebihan


hartanya ke Baitul Mal, bukan kelebihan dari harta yang normal, namun
kelebihan dari harta yang beliau punya sebelum menjabat sebagai kepala
negara, sehingga setelah menjabat beliau tidaklah bertambah hartanya.

Dalam At Tadzkirah al Hamduniyyah juga diriwayatkan bahwa Abu


Bakar r.a, hanya mengambil harta negara untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari – dengan sangat sederhana. Ketika menjelang
wafat, beliau berwasiat agar mengembalikan jika ada sisa harta negara
yang beliau pakai dalam menjalankan tugas.

Ketika diperiksa, ternyata tidak ada yang bertambah dari hartanya


kecuali unta yang biasa dipergunakan untuk menyirami kebun, seorang
hamba sahaya dan selembar selimut beludru seharga lima dirham.
Tambahan harta inilah yang kemudian diserahkan kepada ‘Umar,
mengetahui ini Umar menangis sambil berkata:

“Semoga Allah merahmati Abu Bakar, sungguh Beliau telah


menyusahkan orang-orang setelahnya.” (Ibnu Hamdûn (w. 562 H), at
Tadzkirah al Hamduniyyah, 1/139)

Maksud “menyusahkan orang-orang setelahnya” adalah membuat


khalifah sesudahnya sulit untuk menyamainya, apalagi mengungguli
Abu Bakar.

Sistem pencegahan korupsi seperti ini sangat efektif karena sangat


sederhana. Dalam wacana hukum sekarang disebut dengan sistem
pembuktian terbalik. Dengan logika bahwa pejabat (kepala daerah)
dalam sistem Islam dituntut mengorbankan waktunya 24 jam sehari
untuk melaksanakan amanat, maka tidak layak dia mendapatkan
kelebihan harta dari yang seharusnya dia miliki, walaupun dia peroleh
secara halal. Sehingga apabila ada kelebihan, dialah yang harus
menjelaskan, darimana dia peroleh. Allâhu A’lam.
[1] Ibnu Abdi Rabbihi (w. 328), Al ‘aqdul farid, 1/46-47
Selesai Shalat, Baru Tahu Ada Najis di Pakaian

Suci dari najis adalah termasuk bagian dari syarat sahnya shalat.
Masalahnya jika seseorang merasa yakin bahwa dirinya telah suci dari
najis, namun ternyata setelah selesai shalat, ia melihat bajunya terkena
najis yang tidak ma’fu (ditoleransi), wajibkah dia mengulangi shalatnya?

Para ulama madzhab Syafi’i sendiri berbeda pendapat tentang hal ini,
hanya saja pendapat yang ashah[1] dalam madzhab Syafi’i, seseorang
yang ada najis pada badan/pakaiannya, dia baru mengetahui setelah dia
selesai shalat, dan dia ‘yakin’ bahwa dia shalat dengan
membawa/terkena najis tersebut maka shalatnya tidak sah dan dia wajib
mengulanginya. Dalam Al Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i dinyatakan:

“dan sucinya badan dari najis merupakan syarat sahnya shalat, jika dia
tahu najis tersebut (lalu shalat dengan najis tersebut) maka tidak sah
shalatnya. Begitu juga jika dia lupa atau tidak tahu, maka tidak sah
shalatnya, jika dia shalat (dengan adanya najis tersebut) maka dia
wajib mengulanginya, karena kesucian (thaharah) adalah wajib maka
tidak gugur dengan alasan tidak tahu sebagaimana wudhu. Sama saja
hal tersebut terjadi dalam shalat fardhu, sunnah, jenazah, sujud tilawah
dan syukur, semua itu syaratnya adalah tidak adanya najis” [2]

Adapun mayoritas ‘ulama memandang tidak perlu mengulangi shalatnya


jika dia yakin shalat dalam keadaan suci, lalu setelah shalat baru tahu
bahwa ia membawa najis. Imam al-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab (3/157) menyatakan:

“…Sesungguhnya pendapat yang ashahh dalam mazhab kita (Mazhab


Syafi’i ) adalah wajib mengulangi shalatnya, ini pula pendapat Abu
Qilabah dan Imam Ahmad. Sedangkan Mayoritas ulama berpendapat
tidak wajib mengulangi shalatnya, pendapat ini diungkapkan oleh Imam
Ibnu al-Mundzir dari sahabat Ibnu ‘Umar, Ibnu al-Musayyib, Thawus,
Atha’, Salim bin ‘Abdullah, Mujahid, As Sya’bi, an Nakho’i, az
Zuhri,Yahya al-Anshari, al Auza’i, Ishaq dan Imam Abu Tsaur. Berkata
Imam Ibnu Mundzir begitu juga aku (Imam Nawawi) dan dia (pendapat
tidak wajibnya mengulangi shalat) adalah pendapatnya Rabi’ah dan
Imam Malik, pendapat ini kuat dari segi dalilnya dan merupakan
pendapat yang terpilih.” [3]

Walaupun ada yang menyatakan tidak wajib mengulang shalatnya jika


lupa atau tidak tahu shalat sambil terkena najis, namun selayaknya
seorang muslim betul-betul memperhatikan kesucian diri, pakaian dan
tempatnya saat mau shalat, pendapat ini bukan untuk menganggap
remeh masalah najis. Allâhu A’lam.

[1] Al-ashah adalah pendapat yang diambil dari dua atau tiga lebih
wajah yang perbedaanya kuat. Wajah/Awjuh sendiri adalah istilah untuk
menyatakan pendapat ulama Syafi’iyyah yang berlandaskan kaidah dan
metode ushul fiqh Imam Syafi’i, ini untuk membedakan dengan
pendapat Imam al-Syafi’i sendiri yang disebut dengan istilah qowl.

[2] Muhammad al-Zuhaili, Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’i, Cet. III.


(Damaskus: Dâr al-Qalam, 2011), juz 1, hlm. 202.

[3] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab (Ma’a Takmilah Al-Subki Wa Al-Muthi’i) (Beirut: Dâr al-
Fikr (dalam al-Maktabah al-Syamilah), tt), Juz 3, hlm. 157.

Anda mungkin juga menyukai