com
Akidah
Definisi
Syirik yang terjadi dalam perbuatan secara jelas bisa dilihat manusia,
semisal menyembah berhala, menyembelih hewan untuk selain Allah
dll. Ini terkategori juga sebagai syirk al akbar (besar)
Syirk al Khofy
Syirik al Akbar
Syirik al Ashghar
Setiap ucapan atau perbuatan yang dinyatakan syirik oleh syara’ tetapi
tidak mengeluarkan dari agama, seperti riya’, yaitu seseorang yang
shalat karena Allah akan tetapi dia menghiasinya/membaguskanya
supaya dilihat manusia, atau seseorang berinfaq untuk taqarub kepada
Allah tetapi dia juga menginginkan pujian manusia.
اجل ولكن يحلون لهم ما حرم هللا فيستحلونه ويحرمون عليهم ما احل هللا فيحرمونه فتلك
عبادتهم لهم
Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-
apa yang diharamkan Allah maka mereka (nashrany) menghalalkannya,
dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah maka mereka
(nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan mereka
(nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi,
juga diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]
Bahaya Syirik
Semua jenis syirik diatas adalah haram, syirik pertama sampai kelima
menyebabkan kekufuran pelakunya tanpa ada khilafiyah[6]. Sedangkan
yang ke-6, yakni beramal untuk selain Allah maka merupakan
kemaksiyatan tanpa menyebabkan kekufuran, kecuali kalau berimannya
juga karena manusia. Adapun yang ke-7, jika ia menetapkan bahwa
akibat itu terjadi karena sebab alami (tanpa ketentuan Allah) maka
diceritakan ( ) ُح ِكيbahwa ijma’ menghukuminya kafir, adapun jika
ditetapkan bahwa Allah telah memberikan kekuatan kepada sebab
tersebut untuk menghasilkan akibat (yang sama sekali terlepas dari
Allah) maka ia fâsiq[7]. Namun ini bukan berarti kita harus
mengabaikan sebab-sebab dalam meraih hasil. Kewajiban kita adalah
seoptimal mungkin melakukan sebab-sebab yang biasanya
mengantarkan kepada hasil, dengan keyakinan dan sandaran bahwa
Allahlah yang memudahkan tercapainya hasil tersebut.
Di akhirat, pelaku syirik jika tidak bertaubat sebelum mati, maka Allah
tidak akan mengampuninya (An-Nisa: 48,116). Dan tiada kecelakaan
yang lebih besar daripada kecelakaan diakhirat.
ِ ض ُع فِي أ َ ْخ َم
ُ ص قَ َد َم ْي ِه َج ْم َرةٌ يَ ْغ ِلي ِم ْن َها ِد َما
ُغه َ ِإ َّن أ َ ْه َو َن أَ ْه ِل النَّ ِار
َ عذَابًا يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة لَ َر ُج ٌل تُو
Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah
seseorang yang diletakkan bara di lekukan kedua telapak kakinya yg
otaknya mendidih karenanya (HR. Bukhory)
[8] Jenis kesyirikan yang lain sudah banyak & sering dibahas
[15]
http://internasional.kompas.com/read/2010/10/22/11494356/Muka.Buru
k.Cermin.Dibelah
Perbedaan antara Aqidah dan Hukum Syara’
Aqidah menurut bahasa adalah sesuatu yang diikat (diyakini) dalam hati.
Makna dari sesuatu yang diyakini adalah menetapkannya, atau
membenarkannya secara yakin (pasti). Terminologi ini masih umum
mencakup pembenaran (tashdiq) terhadap segala sesuatu. Selain itu
pembenaran terhadap sesuatu harus melihat pada sesuatu yang akan
dibenarkan. Apabila perkaranya itu pokok atau cabang dari perkara
pokok maka hal itu sah disebut dengan aqidah, karena ia disahkan
dengan mengambil tolok ukur bagi yang lain. Pengaruhnya amat jelas
bagi sebuah pengakuan di dalam hati. Jika sesuatu yang akan dibenarkan
tadi bukan termasuk perkara pokok dan bukan pula sebagai cabang dari
perkara pokok maka ia tidak dapat digolongkan sebagai aqidah, karena
pengakuan hati terhadap perkara itu sama sekali tidak ada pengaruhnya
sedikitpun, sehingga tidak ada fakta dan faedah apapun dalam
meyakininya. Namun, jika pengakuan hati terhadap suatu perkara
mempunyai pengaruh yang dapat mendorong penentuan sikap (arahnya)
berupa pembenaran atau pendustaan, maka hal itu termasuk bagian dari
aqidah.
Definisi ‘Aqidah
ٌالعقيدة هي الجانب النظري الذي يطلب اَليمان به اوَل و قبل كل شيئ ايمانا َل يرقِق اليه شك
ٌوَل تؤثِر فيه شبهة
Oleh karena itu, tema pembahasan ‘aqidah yang difahami oleh para ahli
ushul adalah tema yang memisahkan antara Iman dan Kafir tanpa ada
keraguan sedikitpun, dengan kata lain menolak satu perkara ‘aqidah
akan menyebabkan kekafiran.
Khabar (hadits) ahad adalah hadits yang tidak sampai kepada derajat
mutawatir. Adapun hadits mutawatir didefinisikan sebagai:
خبر عن محسوس رواه عددً ج ًّم يجب في العادة احالة اجتماعهم وتواطءهم على الكذب
Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), dalam kitab المسودة في أصول الفقه
menyatakan:
هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل:اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل
وهو قول، والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم:دون العلم؟ قال
الشافعي وجمهور أهل الفقه
Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah
mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun
tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian
besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid
(yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah
perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh.
Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam Syarh
Shahih Muslim menyatakan:
… فم ْن ب ْعد ُه ْم ِم ْن، صحابة والتَّا ِب ِعين َّ اخت ُ ِلف فِي ُح ْك ِم ِه ؛ فالَّذِي عل ْي ِه جما ِهير ْال ُم ْس ِل ِمين ِم ْن ال
ْ و
ش ْرعِ ي ْلز ُم ْالعم ُل ِ أ َّن خبر ْالو: صو ِل
َّ احد الثِق ِة ُح َّجةٌ ِم ْن ُحججِ ال ُ ُ ب ْاْل
ِ صحاْ اء وأ ِ ْال ُمح ِدثِين و ْالفُقه
الظ َّن وَّل يُ ِفيدُ ْال ِع ْلم
َّ ُ ويُ ِفيد، ِبها
Penutup
[2] Diambil dari bab Thorîqu Tsubûtil Aqidah dalam kitab Syaikh
Mahmud Syalthut, Islam ‘Aqidah wa Syari’ah
[4] Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, al-Thariq Ila al-Jannah, ed.II, 1987,
Daar al-Jiil, Beirut, Libanon
[8] As Suyuthy (wafat 911 H), Tadribur Rawy, Jld I, Hal. 105-106
[9] Al Amidy, Al Ahkam Fii Ushulil Ahkaam, Jld. I hal. 322, 332, 339
[14]
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=833&bagian=0
Kedudukan Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah
1. Pengertian Aqidah
العقيده هي الجانب النظري الذي يطلب اَل يمان به اوَل وقبل كل شيئ ايما نا َل ير قق اليه شك
وَل تؤ ثر فيه شبهة
“Aqidah ialah segi pandang (keyakinan) yang harus dipercaya lebih
dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan kepercayaan yang
tidak dapat dilemahkan oleh keraguan dan tidak dipengaruhi oleh
kesamaran (syubhat) “[1]
العقيدة اْلسلمية هي اَل مور التى يعتقد ها اهل اْل سلم ان يجزمون بمحتها
c. Al Jurjani
2. Pengertian Iman
… أن تؤمن باهلل ومل ئكته وكتبه ورسوله واليوم الخر وتؤمن: قال,فأخبرني عن اْليمان
بالقدر خيره وشره.
“Iman itu adalah ma’rifat (mengenal dengan yakin) dalam hati dan
ucapan pengakuan dengan lisan serta mengamalkan segala rukunnya”.
“iman adalah I’tiqaad yang bersifat pasti yang sesuai dengan kenyataan
(yang di’Itiqodkan) yang muncul dari dalil” [4]
Sekali lagi, tentang masalah pendefinisian ini juga ada perbedaan sudut
pandang, kalau pakai hadits 1, maka kesimpulannya adalah seperti
definisi dari Syekh Mahmud Syaltut, sedangkan ada yang
mendefinisikan mutlak seperti riwayat ke-2. Namun ini hanya masalah
definisi, yang intinya –baik yang pertama maupun ke – 2, iman itu tetap
mewajibkan amal, amal adalah konsekuensi iman, dan amal akan
memperkuat pengaruh iman pada diri seseorang.
Ini juga menimpa imam Abu Hanifah yang dituduh murji’ah bahkan
zindiq gara-gara mengeluarkan ‘amal dari definisi iman, dan
menyatakan iman tidak bertambah dan berkurang. Salah satu ‘ulama
ahlul hadits yang membantah Abu Hanifah ini adalah Al Hafidz
Abdullah Bin Muhammad Bin Abi Syaibah Al Kufi (wafat pada tahun
235 H), terkenal dengan karyanya yang berjudul “Mushonnaf Ibnu Abi
Syaibah” dimana didalam karya tersebut beliau mengkritik Al Imam Al
Hanafi dengan kritikan tajam dalam satu bab khusus dengan judul
Kitabu Roddi ‘Ala Abi Hanifah (kumpulan bab-bab yang berisi tentang
bantahan terhadap Abu Hanifah). Kemudian Ibnu Abi Syaibah
menambahkan dalam sub judulnya “Ini adalah keterangan tentang
perkara dimana Abu Hanifah telah menyelisihi sunnah Nabi”. Juga Al
Hafidz Abu Bakr Ahmad Bin ‘Ali Al Khotib Al Baghdady (wafat pada
tahun 463 H). Dalam kitab karya beliau berjudul “Tarikh Baghdad” jilid
13, beliau membawakan riwayat hidup Imam Hanafi dan sekaligus
kritikan-kritikan tajam yang beliau sampaikan tentang penyimpangan-
penyimpangan Abu Hanifah. Abdullah Bin Ahmad Bin Hambal (putra
Imam Hambali) juga menulis dalam kitab beliau “As Sunnah” dengan
judul “Bantahan Terhadap Murji’ah”, padanya Imam Abdullah Bin
Ahmad Bin Hambal membawakan riwayat-riwayat kritikan para Ulama
terhadap Imam Hanafi dalam penyimpangannya tentang pemahaman
murji’ah ini.
Saya rasa kalau kita hanya memaksakan pendapat kita saja, tanpa
melihat bagaimana pendapat ‘ulama yang lain, hal inilah yang diidam
idamkan musuh Islam, dan ini merupakan strategi mereka untuk
memecah belah umat Islam, dengan atau tanpa kita sadari, kita telah
masuk dalam strategi Cheryl Benard dari Rand Corporation dalam
tulisannya: Civil Democratic Islam, Partners, Resources And Strategies.
3. Hubungan Pengertian Aqidah dan Iman
Jadi perbedaannya hanya terletak pada Istilah dan sebutan. Yakni aqidah
adalah istilah dan sebutan yang dipergunakan oleh ulama Ushuluddin;
sedangkan Al-Qur’an menyebutnya dan mempergunakan kata iman.
خبر عن محسوس رواه عد ًد ج ًّم يجب في العادة احالة اجتماعهم وتواطءهم على الكذب
المتواتر هو خبر جماعة يفيد بنفسه العل َم بصدقه َلستحالة تَوافُقهم على الكذب
Pendapat yang berbeda dengan itu, yang menyatakan bahwa khabar ahad
“Yufiidul ‘Ilma” (menghasilkan keyakinan)–jika ada indikasi yang
memastikannya–dikemukakan oleh sebagian ahli hadits termasuk Ibnu
Hajar Al-Asqalany (menurut berita yang lain)[13] dan Ibnu Shalah[14],
beberapa ulama besar lain, seperti Imam Dawud dan Ibnu Hazm[15],
Ibnu Taimiyah[16], dan lain-lain.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengklaim bahwa jumhur ulama
menyepakati bahwa khabar ahad mendatangkan “ilmu/kepastian”, beliau
mengatakan :
Dari semua hal diatas, sebetulnya dapat kita tarik benang merah
(kesimpulan saya) bahwa tidak ada pendapat yang mengatakan khabar
ahad bisa menghasilkan kepastian/ al ‘ilm, pendapat yang sering di
klaim bahwa khabar ahad menghasilkan kepastian/al ‘ilm sebetulnya
mengatakan bahwa khabar ahad akan mendatangkan kepastian jika
memang ada indikasi yang memastikannya, sehingga kalau demikian
maka pembahasannya bukanlah khabar ahad itu sendiri, tetapi
pembahasannya beralih pada indikasi/qarinah yang digunakan—
sejauhmana bisa menghasilkan kepastian.
Jadi sangat aneh, kalau ada sebagian kaum muslim yang dengan gegabah
dan prematur telah menyesatkan sekelompok kaum muslim yang
berpendapat bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam
perkara ‘aqidah. Padahal pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad
tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan adalah pendapat
terkuat yang dipilih oleh jumhur ‘ulama. Walaupun disana juga ada
‘Ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan.
ومالـهم به من علم أن يتبعون اَل.ان الذين َليؤمنون باَلخرة ليسمون الملئكة تسمية اَلنـثى
الظن وان الظن َليغن من الحق شيئا
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada
kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu
dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu
pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran” (QS An Najm : 27-28)
Dalam surat yang lain Allah juga berfirman yang artinya :“Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk
mencapai kebenaran” (QS Yunus (10) : 36) (Lihat juga An Najm : 23,
Al An’am : 116, Yunus : 66, Shaad : 27, Al Jaatsiyah : 32, Fushilat : 22-
23, Al Jin : 7, Al Baqarah : 78. dst)
Jadi dalil-dalil untuk masalah aqidah harus bersifat Qath’iy dan dapat
memberikan keyakinan. Allah telah melarang hamba-Nya untuk
mengikuti bukti-bukti atau dalil –dalam bidang ushul aqidah– yang tidak
bersifat Qath’iy atau mengandung unsur “dzon”.
“Adz dzon ialah nama atau istilah bagi suatu perkara yang dihasilkan
dari ciri-ciri/tanda-tanda yang mendukungnya. Manakala ciri yang
mendukung itu kuat ia akan sampai pada ilmu atau keyakinan. Dan
manakala ciri-ciri itu sangat lemah maka ia tidak akan melampaui batas
dugaan”.
وأما إن روي على أنه قرآن فإنه لم يتواتر فل يثبت بمثل خبر الواحد قرآن ولهذا لم يثبته أمير
المؤمنين عثمان بن عفان رضي هللا عنه في المصحف وَل قرأ بذلك أحد من القراء الذين تثبت
الحجة بقراءتهم َل من السبعة وَل من غيرهم
Tidak bisa kita katakan bahwa hal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan
karena yang kita bahas adalah hadits, bukan Al Qur’an[24]. Tidak bisa
dikatakan begitu karena sebetulnya tema yang kita bahas bukanlah
hadits, melainkan AQIDAH, DARI SEGI APAKAH BOLEH
DIDASARKAN PADA DALIL YANG DZONNY ATAU TIDAK?,
sedangkan keyakinan terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah bagian dari
aqidah, dan ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan
mutawatir, jadi temanya adalah sama.
Banyak khabar ahad yang shahih yang menyatakan bahwa khabar itu
adalah ayat Al Qur’an, namun sahabat tidak mencantumkannya dalam
Al Qur’an dikarenakan itu khabar ahad.
وحدثن ا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب واللفظ ألبي بكر قاَل حدثنا أبو معاوية عن األعمش
عن إبراهيم عن علقمة قال قدمنا الشام فأتانا أبو الدرداء فقال أفيكم أحد يقرأ علي قراءة عبد
هللا فقلت نعم أنا قال فكيف سمعت عبد هللا يقرأ هذه اآلية والليل إذا يغشى قال سمعته يقرأ
)والليل إذا يغشى والذكر واألنثى( قال وأنا وهللا هكذا سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
يقرؤها
“Telah berkata kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah… aku(Al qamah)
mendengar Abdullah membaca nya (surat Al Lail) dengan bacaan :
Jadi walaupun hadits ini shahih, tidak bisa dijadikan dalil bahwa bunyi
surat al lail adalah والليل إذا يغشى والذكر واْلنثى. Begitu juga ada riwayat
ahad yang shahih yang mengatakan bahwa An Naas dan Al Falaq
bukanlah surat dalam Al Qur’an. Riwayat lain mengatakan bahwa
hukum rajam ada dalam Al Qur’an (padahal tidak ada ayat yang
mutawatir yang mewajibkan hukum rajam). Namun karena keberadaan
riwayat hukum rajam ini shahih tetap wajib di amalkan, walaupun tidak
boleh di’itiqadkan sebagai ayat dari Al Qur’an.
Kalau kabar ahad dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tentunya harus
juga diyakini bahwa ayat –ayat Al Qur’an ada yang kurang atau
kelebihan, dan ini adalah mustahil. Akibat lainnya kita menyatakan
aqidahnya Siti Aisyah berbeda dengan Ibnu Umar (kalau aqidahnya
berbeda lantas siapa yang kafir? karena mereka berdua beda pendapat
dalam hal apakah mayat disiksa karena ratapan keluarganya). Jadi
pendapat yang kami ambil, khabar ahad berfaedah dlon dan tidak bisa
jadi dalil dalam masalah aqidah (untuk mengkafirkan orang lain).
Adapun dalam masalah hukum tidak ada perbedaan pendapat bahwa
khabar ahad wajib dijadikan dalil kalau khabar tersebut maqbul.
8. Khatimah
Masalah hadits ahad, apakah dapat menjadi dalil dalam aqidah atau
tidak, memang telah menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama-
ulama besar sejak zaman dahulu. Mereka telah mencurahkan segenap
kemampuan dan keikhlasan untuk berpendapat. Walaupun untuk
masalah Al Qur’an mereka bersepakat, namun mereka tidak bersepakat
dalam pernik-pernik lain dalam masalah ini hingga sekarang. Oleh
karena itu, kaum muslimin boleh saja mengikuti salah satu pendapat,
tentu saja dengan memperhatikan kekuatan hujjah dan dalilnya,
semuanya tetap muslim dan bersaudara. Allahu a’lam
Beberapa Syubhat
صلَبُوهُ َولَ ِك ْن شُبِ َه َ َّللاِ َو َما قَتَلُوهُ َو َما َّ سو َل ُ سى ا ْب َن َم ْريَ َم َر َ َوقَ ْو ِل ِه ْم إِنَّا قَت َ ْلنَا ا ْل َمسِي َح ِعي
ظ ِن َو َما قَتَلُوهُ يَ ِقينًاَّ ع ال
َ اختَلَفُوا فِي ِه لَ ِفي ش ٍَّك ِم ْنهُ َما لَ ُه ْم ِب ِه ِم ْن ِع ْل ٍّم ِإ ََّل ِاتبَا َ لَ ُه ْم َو ِإ َّن الَّذ
ْ ِين
[3] Ali bin Muhammad bin Ali Al Jurjani (wafat 816 H), At Ta’riifaat,
hal 196 (maaf sebelumnya tertulis at ta’aarif, itu kitabnya al Manawy)
[7] Muhammad bin Ibrahim (wafat 733 H), Al Manhal Ar Rawiy, juz I
hal 31
وكذلك يجوز نسخ السنة بالسنة كمايجوز نسخ الكتاب بالكتاب واَّلحاد باآلحاد والتواتر بالتواتر
واآلحاد بالتواتر فأما التواتر باآلحاد فال يجوزْلن التواتر يوجب العلم فال يجوز نسخة بما
يوجب الظن
[10] Abil Madzfar Mansur bin Muhammad bin Abdul Jabbar as Sam’ani
(wafat 489 H), Qawaathi’ul Adillati fil Ushul, hal 50 juz 1
[11] Fathy M Salim, Al Istidlal bidz dzonny fil Aqidah, hal 59, Juga
Lihat : Al Ghazaly, Al Mustashfaa, Jilid I Hal. 145; As Suyuthy,
Tadribur Rawy, jld I hal. 105-106; Sayyid Quthub, Fii Dhilalil Qur’an,
jld VIII, hal 710; dan Dr. Mahmud Ajaj Al Khatib, Ushul Hadits hal
302-303.
[12] Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini (wafat 478 H), Al
Burhaan fi Ushulil Fiqh, ,juz 1 hal 79
lihat juga Muhammad bin Ali bin Muhammad as Syaukani (wafat 1250
H), Irsyaadul Fuhul, hal 135 – 145
[14] As Suyuthy (wafat 911 H), Tadribur Rawy, Jld I, Hal. 105-106
[15] Al Amidy, Al Ahkam Fii Ushulil Ahkaam, Jld. I hal. 322, 332, 339
[18] Ibnu Taimiyyah, idem, lihat juga Syarah Qashidah Ibnu Qayyim,
juz I hal 208 –210 (Ibnu Qayyim (lahir 691H) adalah murid dari Ibnu
Taimiyyah)
[20] Ahmad bin Ali bin Hajar As Asqalaniy (Wafat 852 H), Nukhbatul
Fikri fi Mustalahi Ahlil Atsar, juz 1 hal 1. Naskah asli nya sebagai
berikut (tentang klasifikasi hadits):
… فاْلول المتواتر المفيد للعلم اليقيني … وسوى اْلول آحاد وفيها المقبول وهو ما يجب العمل
به عند الجمهور وفيها المردود …وقد يقع فيها ما يفيد العلم النظري بالقرائن
[24] kalaupun yang dibahas hanya hadits, maka istilah khabar ahad dan
khabar mutawatir itu adalah istilah ahli hadits untuk mengelompokkan
hadist dari segi KEPASTIAN apa bersumber dari Rasulullah, atau belum
sampai derajat kepastian, kalau boleh dikatakan khabar ahad juga pasti
dari Rasulullah, ya tidak perlu ada klasifikasi hadits, masukkan saja
semuanya kedalam kategori mutawatir. Sebagaimana juga ada istilah
hasan dengan shahih, keduanya bisa diterima sebagai hujjah, namun
hasan tidak sama dengan shahih, ini kalau konsisten dengan musthalahul
hadits.
[25] Shahih Bukhari (Dar Ibn Katsir Yamamah, cet III, 1987, beirut) No
3532,3659, 5922, Shahih Muslim (Daar al Ihyait Turats al Aroby) No
824, Lihat juga (dengan sanad yang lain) shahih Ibnu Hibban no 6330,
6331,7127, cet III 1993 Sunan Tirmidzi Hadits No 2939
إن كان هذا صاحبنا فأين عيسى ؟ ! وإن كان هذا عيسى فأين صاحبنا ؟:قالوا
Shahabat Isa berkata: « jika yang disalib ini adalah teman kami maka
dimana Isa ? dan kalau yang disalib ini Isa lalu dimana teman kami?”
1) Dari yang antum tulis, semakin jelas, bahwa yang antum maksud
“sebagai hujjah” disini memang bukan dalam tema pembahasan IMAN
DAN KAFIR di halaman 9 antum tulis:
“”"Dan kami tidak mengingkari terjadinya perbedaan pendapat antara
beberapa sahabat pada sebagian perkara aqidah seperti perbedaan
masalah apakah Nabi shalaullahu ’alaihi wasallam melihat Allah
Ta’ala dengan mata kepala ataukah tidak pada malam mi’rajnya”"”
Jawaban:
Kalau memang yang antum maksud demikian, sudah berulang-ulang ana
sampaikan–lihat diskusi dalam komentar sebelumnya–, ana sepakat
bahwa khabar mutawatir maupun ahad memang bisa dijadikan hujjah
dalam perkara apapun, baik “aqidah” maupun “‘amaliyah/syari’ah”.
ويجب العمل به َلن دليله موجب، َلن دليله َل يوجب علم اليقين،وهو أنه َل يكفر جاحده
فإن كان متأوَل في ذلك مع،للعمل ويضلل جاحده إذا لم يكن متأوَل بل كان رادا لخبر الواحد
القول بوجوب العمل بخبر الواحد فحينئذ َل يضلل،
dan sesungguhnya tidaklah diKAFIRKAN orang yang mengingkarinya
(khabarul wahid) karena dalilnya tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan
wajib beramal dengannya karena dalilnya mewajibkan untuk
di’amalkan…mengingkari khabar ahad (yang shahih/hasan) tanpa dia
mendatangkan takwil dihukumi sesat, jika ada takwil atas
pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar
wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.
selengkapnya di: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-
ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/
Baca pula: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/04/30/perbedaan-
antara-aqidah-dan-hukum-syara/
Ana tidak pernah menyatakan Ibnu Hazm, apalagi Imam Syafi’i bukan
ulama ushul. Ketika Rasululah bersabda:
َحتَّى ت َ ْلقَ ْوا َربَّ ُك ْم، ُان ِإَلَّ الَّذِى بَ ْع َدهُ ش ٌَّر ِم ْنه َ فَ ِإنَّهُ َلَ يَأْتِى، ص ِب ُروا
ٌ علَ ْي ُك ْم َز َم ْ ا
Bersabarlah kalian semuanya, karena sesungguhnya tidak berlalu suatu
zaman atas kalian kecuali zaman setelahnya lebih buruk dari zaman
sebelumnya hingga kalian menjumpai Rabb kalian. (HR. Bukhory)
Mungkin orang yang tidak faham juga akan berkesimpulan bahwa masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih buruk dari pada masa Al Hajjaj bin
Yusuf yg terjadi sebelumnya. Ketika orang membaca di metrotv: “Kaum
Perempuan Tuntut LSF Cabut ‘Arwah Goyang Karawang’”, maka tidak
bisa difahami bahwa metro menuduh perempuan lain yg tidak menuntut
sebagai BUKAN PEREMPUAN. Pahamilah bagaimana menempatkan
pembahasan dalam istilah ushul disebut mafhum mukholafah, sehingga
tidak serampangan menarik kesimpulan dengan mafhum mukholafah
padahal tidak tepat.
ذكر السبكي في طبقات الشافعية أن الشافعي وأحمد رضي هللا: مناظرة في تارك الصلة
إذا كان: قال. نعم: إنه يكفر؟ قال: يا أحمد أتقول: قال الشافعي.عنهما تناظرا في تارك الصلة
َل إله إَل هللا محمد رسول هللا: يقول:كافرا فبم يسلم؟ قال.
، على أنه َل يكفر، والشافعي، مالك، منهم أبو حنيفة،و لكن كثيرا من علماء السلف والخلف
َل: وقال أبو حنيفة. فإن لم يتب قتل حد أعند مالك والشافعي وغيرهما،بل يفسق ويستتاب
وحملوا أحاديث التكفير على الجاحد أو المستحل للترك،يقتل بل يعزر ويحبس حتى يصلي
Walaupun Imam Ahmad diam, tidak menjawab hujjah Imam Syafi’i, dan
tetap pendapatnya tidak berubah, namun Imam Syafi’i tidak menuduh
macam-macam terhadap Imam Ahmad.
5). Hal 10: antum tulis : “””“Jika alasan anda tidak mau menggunakan
hadits ahad sebagai hujjah aqidah KARENA BISA TERJADI SALING
MENGKAFIRKAN…”””
Jawaban:
Seperti sebelumnya, ana lihat antum keliru memahami bahasa Indonesia
sehingga menarik kesimpulan yg keliru pula. Siapa yg tidak mau
menggunakan hadits ahad sebagai hujjah aqidah dg alasan KARENA
bisa terjadi saling mengkafirkan? Jelas saya tulis ““Akibat lainnya…”,
jadi bukan itu alasannya, namun terjadi mudahnya saling mengkafirkan
itu hanya salah satu akibat saja.
Jawaban:
8) Hal 33.: ditulis fatwa al azhar tentang khabar ahad, terus di katakan
keliru.
Jawaban:
9). Hal 35: antum tulis: “””Anggapan Syaikh Jadulhaq bahwa Imam
nawawi tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah aqidah adalah
suatu kekeliruan karena di dalam kitab-kitabnya kita temukan
pernyataan Imam Nawawi seperti; Bab Dalil bahwasannya mencintai
kaum Anshar dan ‘Ali adalah bagian dari Iman (Syarh Shahih Muslim,
2/63), Bab Dalil bahwa orang yang mati tanpa menyekutukan Allah
dijamin masuk Surga (Syarh Shahih Muslim, 2/92) yang bersumber
dari hadits-hadits ahad. Dn bukti lainnya di dalam tulisan kami yang
berjudul“Antara Menolak dan Menerima Hadist Ahad Sebagai Hujjah
dalam Aqidah””””
Jawaban:
Dari awal tulisan antum, ‘afwan, ana lihat antum tidak mengerti TEMA
yang mereka bahas, sehingga pembahasan antum terpaksa sekali lagi ana
katakan campur aduk. Kalau mau membahas TEMA KEHUJJAHAN
KHABAR AHAD, Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
TELAH MEMBUAT PASAL TERSENDIRI TENTANG
PEMBAHASAN INI, BUKANNYA MALAH MEMBAHAS BAB
LAIN kemudian disimpulkan sendiri lalu di klaim bahwa pendapat
Imam Nawawi sesuai dengan pendapat antum. Sama seperti orang
membahas bab “tahanan” dalam tema elektronika yang maknanya
adalah komponen resistor, terus yang digunakan rujukan bab “tahanan”
dalam tema ilmu hukum, ya gak nyambung lah.
Lihatlah pernyataan beliau di Syarah Shahih Muslim juz 1 hal 19 s/d 21,
terbitan Dâru Ihyâit Turots Al ‘Araby. Dihalaman 20 jelas isinya: (kan
sudah ana tulis dg arabnya sekalian di
https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-
pandangan-ulama-ushul/ )harap dicermati lagi yang huruf kapital:
Siapa sebetulnya yang keliru? Syaikh Jaadul Haq dari lembaga Fatwa Al
Azhar atau antum yang membahas tema lain?
َّ علَى ال
ش َها َد ِة ََل َ الر ُج ُل ُ ِين يَلُونَ ُه ْم ث ُ َّم يَ ْفشُوا ا ْل َكذ
ْ َِب َحتَّى ي
َّ ش َه َد ْ َ سنُوا إِلَى أ
َ ص َحابِي ث ُ َّم الَّذ ِ ْأَح
سأَلُ َها
ْ ُي
Hadits riwayat Ibnu Majah dan Nasa’I diatas mencela orang yang
bersaksi padahal dia belum diminta bersaksi. Kedua hadits ini tidaklah
bertentangan karena temanya berbeda (bisa teliti sendiri).
Hal 40: antum nulis: “”Yang menjadi alasan mereka masih tetap
membenarkan adanya azab kubur ADALAH KETAKUTAN MEREKA
AKAN DINYATAKAN SESAT sebagaimana ungkapan sebagian ulama
mengenai hukum orang yang mengingkari hadits ahad :
Jawaban:
Antum belajar dari mana untuk mengetahui isi hati orang lain? Lewat
internet lagi? Namun sayangnya tebakan antum itu keliru.
Tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah adalah
sangat berbeda dengan mengingkari hadis ahad seperti yang dilakukan
oleh Mu’tazilah. Mereka mengingkari kehujjahan hadis ahad karena
menurut mereka tidak rasional. Mereka mengatakan: “ Apakah kalian
menemukan di dalam kubur alat-alat untuk menyiksa seperti paku,
gergaji, palu dll ”, dan tentu mereka (Muta’zilah) tidak akan
menemukannya karena itu berkaitan dengan hal yang ghoib/ tidak dapat
diindera kemudian mereka mengingkari hadis ahad tentang adzab qubur
karena menurut mereka tidak rasional (Lihat Kitab Ar-Ruh Oleh Imam
Ibn Al-Qoyyim Al-Jauziyah).
Sebagai Ilustrasi (ini bukan hujjah lho), perhatikan gambar hasil test
kehamilan berikut (ana kasih ilustrasi ini karena antum orang
kesehatan):
Akan sangat aneh kalau orang tidak percaya bahwa yang di tes hamil,
karena hasil test dengan alat ini menunjukkan ia positif hamil, namun
juga sangat aneh orang yang menyatakan pasti, tidak mungkin tidak,
atau yaqin yang dites orangnya pasti hamil padahal akurasi alatnya
hanya 99%.
Kalau diperhatikan, akar masalah dalam hal ini adalah dalah hal
PEMAKNAAN AQIDAH itu sendiri, bagi yang menyatakan khabar
ahad bukan sebagai hujjah dalam masalah aqidah, mereka memaksudkan
aqidah disini sebagai PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR,
sedangkan yang menyatakan khabar ahad adalah hujjah dalam masalah
aqidah, mereka memaksudkan aqidah disini TIDAK MESTI JADI
PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR, hal ini jelas terlihat ketika
pihak yang menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam masalah
aqidah (penulis bukan termasuk pihak ini), mereka menyalahkan aqidah
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852 H) dalam kitab
monumental beliau Fathul Bari, namun pihak ini tidak menyatakan Al
Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani sebagai kafir, (lihat kitab mereka : At
Tanbih ‘Ala Mukholafaatil Aqdiyyah Fi Fathil Baariy (= peringatan atas
penyimpangan aqidah dalam fathul bari), yang ditulis oleh Syaikh Bin
Baz, Shalih Fauzan dkk, kitabnya bisa di download disini), mereka juga
menyalahkan aqidahnya Imam An Nawawi (wafat 676 H) dalam hal
Asma’ was Shifat tanpa mengkafirkan beliau (walaupun sebagian
mereka akhirnya menyatakan imam an Nawawi pada akhirnya juga
‘tobat’ sehingga aqidahnya imam an Nawawi mereka klaim sebagai
aqidah ‘salafi’[1] juga), mereka juga menyalahkan aqidahnya al Hafidz
al Baihaqi (wafat 458 H) juga tanpa mengkafirkannya (lihat
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=833&bagian=0
), mereka juga menyalahkan aqidah imam al Bukhoriy (wafat 256 H)
ketika beliau men takwil wajah Allah sebagai kekuasaan/kerajaan Allah,
tanpa mengkafirkan imam Bukhoriy.
Walhasil sebenarnya yang menyatakan khabar ahad sebagai hujjah/dalil
dalam masalah aqidah, mereka membahas suatu tema tersendiri yang
berbeda dengan tema yang dibahas oleh ‘ulama ushul, dan dengan tema
yang berbeda tersebut kemudian mereka menghakimi ‘ulama yang
membahas tema yang lain. Saya tidak habis pikir, apakah mereka
memahami atau tidak tema apa yang dibahas oleh ‘ulama ushuluddin
sehingga susah sekali memberi penjelasan ini.
Saya terlebih dulu akan menyajikan copy- paste dan sedikit isinya
(sisanya terjemahkan sendiri) dari beberapa bagian kitab Al Islam
Aqidah wa Syari’ah, karya Syaikh Al Azhar (th 1958), yakni Syaikh
Mahmud Syaltut (wafat 1963), sengaja saya pilih ini karena ini kitab
yang secara khusus membahas Islam dari sisi aqidah dan syari’ah dan
beliau bukan anggota gerakan yang sering dituduh sesat gara – gara
tidak menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah.
Kemudian baru akan saya copy paste beberapa pendapat Ulama
berkaitan dengan khabar ahad (bisa di lihat di Maktabah Syamilah, atau
Jami’ul Fiqh al Islamy atau Maktabah al Fiqh wa Ushuulihi, atau
Maktabah Alfiyyah li as Sunnah an Nabawiyyah atau di Maktabah Al
‘Aqoo’id Wal Milal, atau search di saaid.net).
Bagi yang berfikir ‘ilmiyyah, tidak taqlid, ana rasa perlu menelusuri
sendiri sumber – sumber yang ana sebutkan (sehingga kita dapat data
primernya), lihat konteks pembahasannya, dan silahkan berkomentar.
الكتاب :التعريفات
أما الخبر المتواتر فهو كلم يسمعه من رسول هللا جماعة ومنها جماعة أخرى إلى أن ينتهي
إلى المتمسك وأما الخبر المشهور فهو كلم يسمعه من رسول هللا ص – واحد ويسمعه من
الواحد جماعة ومن تلك الجماعة أيضا جماعة إلى أن ينتهي إلى المتمسك والفرق هو أن
جاحد الخبر المتواتر يكون كافرا باَلتفاق وجاحد الخبر المشهور مختلف فيه واألصح أن يكفر
وجاحد خبر الواحد َل يكون كافرا باَلتفاق
فإن خبر الواحد َل يوجب علم اليقين َلحتمال الغلط من الراوي وهو دليل موجب للعمل بحسن
الظن بالراوي وترجح جانب الصدق بظهور عدالته ،فيثبت حكم هذا القسم بحسب دليله وهو
َلن دليله َل يوجب علم اليقين ،ويجب العمل به َلن دليله موجب للعمل ،أنه َل يكفر جاحده
ويضلل جاحده إذا لم يكن متأوَل بل كان رادا لخبر الواحد ،فإن كان متأوَل في ذلك مع القول
ولوجوب العمل به يكون المؤدي مطيعا والتارك،بوجوب العمل بخبر الواحد فحينئذ َل يضلل
من غير تأويل عاصيا معاقبا
بل المتواتر يوجب علم اليقين ضرورة بمنزلة العيان بالبصر والسمع باَلذن وصنعا
…وتحقيقا
وهو الفصل الثالث من القسم األول وهو كل خبر يرويه الواحد أو اَلثنان فصاعدا َل عبرة
للعدد فيه بعد أن يكون دون المشهور والمتواتر وهذا يوجب العمل وَل يوجب العلم يقينا عندنا
وقال بعض الناس َل يوجب العمل َلنه َل يوجب العلم وَل عمل إَل عن علم
وَل خلف بين العلماء في لزوم العمل بهما وإنما الكلم في اآلحاد فنقول خبر الواحد هو ما
نقله واحد عن واحد أو واحد عن جماعة أو جماعة عن واحد وَل عبرة للعدد إذا لم تبلغ حد
المشهور وهو يوجب العمل به في األحكام الشرعية
أن القراءة الخارجة عن السبع في حكمها كالخبر اآلحادي وحكمه وجوب العمل به فكذلك
الشاذة هذا مختار الجمهور قالوا فيعمل بقراءة ابن مسعود في قوله فصيام ثلثة أيام متتابعات
ويجب التتابع قالوا وإنما يعمل بها في األحكام العملية َل العلمية ألن اآلحاد َل تفيد العلم
واستدلوا على ذلك بأنه َل يخلو من أن يكون قرآنا أو سنة ألن الغرض أن نقلها عنه صلى هللا
عليه وسلم صحيح وترك شيء من صحيح القرآن أو السنة َل يجوز وخالف الشافعي وجماعة
…
الكتاب :إرشاد الفحول الي تحقيق الحق من علم اَلصول– امام الشوكاني
القسم الثاني :اآلحاد وهو خبر َل يفيد بنفسه العلم سواء كان َل يفيد أصل أو يفيده بالقرائن
الخارجة عنه فل واسطة بين المتواتر واآلحاد وهذا قول الجمهور وقال أحمد بن حنبل إن خبر
الواحد يفيد بنفسه العلم وحكاه ابن حزم في كتاب األحكام عن داود الظاهري والحسين بن
علي الكرابيسي والحارث المحاسبي قال وبه نقول وحكاه ابن خوازمنداد عن مالك بن أنس
واختاره وأطال في تقريره ونقل الشيخ في التبصرة عن بعض أهل الحديث أنها منها ما يوجب
العلم
وإجماع من بعدهم بمنزلة المشهور من األحاديث واْلجماع الذي سبق فيه الخلف في العصر
السابق بمنزلة خبر الواحد واختار بعضهم في الكل أنه ما يوجب العمل َل العلم
Bagian kedua adalah aahaad, yakni khabar yang tidak berfaedah ‘ilmu
dari dirinya sendiri, baik berfaedah ‘ilmu dari asalnya, maupun
berfaedah ‘ilmu dengan adanya qarinah atau indikasi luar dari
khabar ahad tersebut, maka tidak ada perantara antara mutawatir
dengan aahaad, dan ini adalah pernyataan jumhur/mayoritas ‘ulama….
الكتاب :األحكام
قال علماؤنا خبر الواحد على ضربين أحدهما يوجب العلم والعمل كالخبر المتواتر والثاني
يوجب العمل وَل يوجب العلم وإما األول فهو خبر هللا تعالى والثاني خير رسول هللا صلى هللا
عليه و سلم والثاني خبر رجل واحد بحضرة رسول هللا صلى هللا عليه و سلم والثالث خبر
رجل واح د بحضرة هللا صلى هللا عليه و سلم والرابع خبر رجل واحد ادعي فيه العلم مع
جماعة يستحيل عليهم التواطؤ على الكذب فل ينظرون عليه والخامس خبر واحد تلقته األمة
بالقبول فإما قالوا بظاهرة وإما تأولوه ولم يكن منهم نكير عليه فهذه األقسام الخمسة توجب
العلم وفي تعديدها تجاوز وتجوز تسامحنا به قصد البيان
وأما الثاني الذي يوجب العمل دون العلم فهو خبر الواحد المطلق
Telah berkata ‘ulama kami bahwa khabar wahid itu ada dua bagian:
yang pertama mewajibkan ‘ilmu dan ‘amal sebagaimana khabar
mutawatir, yang kedua mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan
‘ilmu, adapun yang pertama (khabar ahad/wahid yang mewajibkan ‘ilmu
dan amal) adalah 1) khabar dari Allah (al wahid) 2) Khabar dari
… Rasulullah (sendirian), khabar seseorang bersama Rasulullah SAW
ADAPUN YANG KEDUA, YANG MEWAJIBKAN ‘AMAL NAMUN
TANPA MEWAJIBKAN ‘ILMU (YAQIN), ADALAH KHABAR
AHAD SECARA MUTLAK. Selanjutnya pada halaman 115, beliau
menjelaskan syubhat orang yang menyatakan khabar ahad menghasilkan
‘ilmu (yaqin):
وقال قوم :إنه يوجب العلم والعمل كالخبر المتواتر ،وهذا إنما صاروا اليه بشبهتين دخلتا
عليهم ،إما لجهلهم بالعلم ،وإما لجهلهم بخبر الواحد ،فإنا بالضرورة نعلم امتناع حصول العلم
بخبر الواحد وجواز تطرق الكذب والسهو عليه
وهذا الذي ذكره ابن الصلح في شأن صحيح البخاري ومسلم في هذه المواضع خلف ما قاله
أحاديث الصحيحين التي ليست بمتواتره إنما تفيد الظن:المحققون واألكثرون فإنهم قالوا
واآلحاد إنما تفيد الظن على ما تقرر وَل فرق بين البخاري ومسلم وغيرهما في،فإنها آحاد
وتلقي األمة بالقبول إنما أفادنا وجوب العمل بما فيهما،ذلك
قَا َل ا ْلك َْر َمانِ ُّي ِليُ ْعلَم إِنَّ َما ُه َو فِي ا ْلعَ َم ِليَّات ََل فِي ِاَل ْعتِقَا ِديَّات
13. Syaikh Abu Zahroh, dalam kitabnya : Ushuulul Fiqh hal 108
menggunakan istilah ‘ilmu dzonny (untuk menyatakan ‘ilmu bi ma’na
dzonn):
إذ اَلتصال بالنبي فيه شبهة،وحديث اآلحاد يفيد العلم الظني الراجح وَل يفيد العلم القطعي
Hadits Aahaad berfaedah ‘ilmu dzonny, bukan ‘ilmu qath’iy karena ada
syubhat sampainya ke Nabi SAW.
14. Syaikh Abdul Wahab Khallaf dalam kitab Ushulul Fiqh nya:
15. Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 341 H), dalam kitab المسودة في
أصول الفقهmenyatakan:
هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل:اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل
وهو قول، والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم:دون العلم؟ قال
الشافعي وجمهور أهل الفقه
Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah
mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun
tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian
besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid
(yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah
perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh.
***
[1] Saya kasih tanda petik, karena istilah ini sebenarnya bagus, yakni
mengikuti orang – orang terdahulu (Nabi, shahabat, Tabi’in dan orang
yang mengikuti manhaj mereka), namun yang patut dipertanyakan sikap
mengklaim orang lain yang berbeda dengan mereka sebagai bukan salafi
itu yang perlu diluruskan, saya tidak tahu apakah ada ulama nusantara
yang mereka akui ke ‘salaf’ annya, yang pernah ana dengar (ada bukti
rekamannya) bahwa Buya Hamka bukan termasuk salaf menurut
mereka, tidak tahu bagaimana pandangannya terhadap Syaikh Yasin
Padang, Syaikh Nawawi Banten dll – walaupun perbedaan ini, selama
dalam lingkup dalil yang dzonni, tidak mengeluarkan dari keimanan.
[2] Saya tulis “aqidah” dalam tanda petik, karena yang dibahas oleh ahli
ushul bukan tema ini.
السؤال
نقرأ فى بعض الكتب عند اَلستدَلل على بعض األحكام بحديث نبوى ،أن هذا حديث آحاد يفيد
القطع ،فما هى أحاديث اآلحاد ،وما هى منزلتها فى اَلستدَلل على أحكام الدين ؟
الجواب
أحاديث اآلحاد هى التى لم يبلغ رواتها حد التواتر الذى يفيد القطع واليقين ،والحديث
المتواتر هو الذى رواه جمع عن جمع يؤمن تواطؤهم على الكذب ،وأحاديث اآلحاد أنواع ،
منها المشهور الذى رواه ثلثة فأكثر ،والعزيز الذى رواه اثنان ،والغريب الذى رواه واحد
فقط .وهى من أقسام الحديث الصحيح ،وهناك الحديث الحسن والحديث الضعيف والحديث
الموضوع ،وهناك تقسيمات لهذه األحاديث فى علم مصطلح الحديث ،ويهمنا اآلن الحديث
.الصحيح بقسميه اآلحاد والمتواتر
يقول علماء األصول :إن أحاديث اآلحاد يجب العمل بها فى األحكام الشرعية العملية ،
باعتبارها فروعا ،وَل يعمل بها فى العقائد باعتبارها أصوَل للدين ،وهذا ما يفيده ما نقل عن
جمهور الصحابة والتابعين ،وأقوال علماء الفقه واألصول ،ولم يخالف فى ذلك سوى بعض
.فقهاء أهل الظاهر وأحمد فى رواية عنه
فأحاديث اآلحاد مهما بلغت قوتها كالمشهور منها َل تفيد العلم اليقينى الذى يعتمد عليه فى
العقائد ،بل تفيد الظن الذى يكفى فى وجوب العمل بها فى الفروع ،جاء ذلك فى كثير من
المراجع ،وصرح به النووى فى شرح صحيح مسلم "ج 1ص " 20وجعل منها ما رواه
البخارى ومسلم رادًا به على ابن الصلح الذى قال :إن ما روياه يفيد العلم النظرى
من هذا يعلم أن أحاديث اآلحاد الصحيحة َل تفيد إَل الظن ويجب العمل بها فى الفروع َل فى
العقائد ،وإفادة الظن أو اليقين فى األحاديث قد تكون من جهة الرواية ،فالمتواتر يفيد اليقين
واآلحاد َل تفيده ،وقد تكون من جهة الدَللة أى دَللة اللفظ على معناه ،وذلك مشترك بين
جميع األحاديث وبين القرآن الكريم ،فاللفظ إذا لم يحتمل إَل معنى واحدا كان قطعى الدَللة ،
وإذا احتمل أكثر من معنى كان ظنى الدَللة ،كلفظ العين ،يطلق على العين الباصرة وعلى
عين الماء ،وعلى الذهب وعلى الجاسوس .ولفظ الفتنة يطلق على اَلمتحان وعلى الكفر
.وعلى العذاب ،وعلى الوقيعة بين الناس ،والشواهد على ذلك كثيرة
وتفريعا على ذلك لو وقع خلف فى مسألة فرعية دليلها خبر آحاد وأنكر اْلنسان حجية هذا
الخبر َل يكون بذلك كافرا أو فاسقا وإَل لحكم بذلك على أئمة الفقه المختلفين فى بعض
المسائل ،مع األخذ فى اَلعتبار أن هذا اْلنكار له مسوغ شرعى ،فإذا تأيد هذا الخبر وما يدل
عليه من حكم باْلجماع عليه صار قويا ،ومن جحده كان مخطئا ،وإن كان َل يحكم عليه
" بالكفر " فتاوى معاصرة للشيخ جاد الحق على جاد الحق ص 60 – 49
Intinya (yg saya cetak merah):
***
Dari hal diatas dan dalam tulisan Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama
Ushul, sebetulnya jelas kalau yg dimaksud “hujjah/dalil dalam aqidah”
adalah “hujjah/dalil yg cukup dengan dalil itu untuk menyatakan
seseorang beriman atau kafir”.
Yang lebih aneh lagi adalah tulisan yang berjudul : “Bantahan Ilmiyah
Atas Kesesatan Akidah HT” (lihat di :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=78), nampak sekali bahwa
penuduh tidak memahami tema pembahasan aqidah ini, nampak dari apa
yang dia tulis di bagian akhir artikelnya: “Meskipun para ulama ahli
fiqih menyatakan bahwa (hadits ahad) tidak mendatangkan ilmu yang
yakin (sebagaimana hadits mutawatir), akan tetapi mereka sepakat
tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad tersebut. (Maqaayiisu
Naqdi Mutuuni As Sunnah, karya DR. Musyfir Gharamullah Ad
Dumainiy, halaman 277)” Bukankah kalau yang dimaksud seperti ini
berarti tidak ada perbedaan dengan kelompok yang mereka tuduh? lalu
kenapa dipaksakan terus tuduhan tersebut?
***
Satu hal yang patut direnungkan, seandainya mereka tahu dan ikhlas
menyatakan kesesatan gerakan yang menyatakan bahwa: “khabar ahad
bukan hujjah dalam perkara ‘aqidah”, mengapa mereka tidak
menyatakan hal serupa terhadap Lembaga Fatwa Al Azhar, Imam
Nawawi, dan ‘ulama-ulama lain yang mayoritas mereka berpendapat
yang sama? Allahu Ta’ala A’lam.
Tawassul (Mencari Perantara/Wasilah Kepada Allah)
dalam Berdo’a
1. Tawassul melalui Dzat (Diri) Para Nabi dan Hamba Saleh Setelah
wafatnya
ِإ ِني ت َ َو َّجهْتُ ِبكَ ِإ َلى َر ِبي ِفي،الرحْ َم ِة َّ ِ سأَلُكَ َوأَت َ َو َّجهُ ِإلَ ْيكَ ِبنَ ِب ِيكَ ُم َح َّم ٍّد نَ ِبي
ْ َ اللَّ ُه َّم ِإ ِني أ
اللَّ ُه َّم فَش َِف ْعهُ فِ َّي،ضى ِل َي
َ َحا َجتِي َه ِذ ِه ِلت ُ ْق
اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي
فتقضي لي حاجتي
ِ َّ س َل ُم ِإ َلى
َّللا ع ََّز َو َجل َي ْو َم َ سيلَةُ أ َ ِبيك آ َد َم
َّ ع َل ْي ِه ال ِ سيلَتُك َو َو
ِ ع ْنهُ َو ُه َو َو ْ َو ِل َم تَص ِْر
َ ف َوجْ َهك
َّ ُش ِف ْع بِ ِه فَيُش َِفعُه
َُّللا ْ ستَ ْقبِ ْلهُ َوا
ْ َ ست ْ ا ْل ِقيَا َم ِة؟ بَل ا
Mengapa (harus) engkau palingkan wajahmu darinya, sedangkan dia
adalah wasilahmu dan wasilah Adam bapakmu kepada Allah SWT pada
hari kiamat? Akan tetapi menghadaplah kepadanya (kubur Nabi), dan
mintalah dengannya (wasilah nabi saw, yakni wasilah kecintaan kepada
nabi saw) maka Allah akan menolong engkau[7]. Dan Imam Nawawi
juga berpandangan seperti ini[8].
Saya menulis artikel ini bukan bermaksud ikut campur dalam perdebatan
sengit di beberapa blog, namun saya berharap baik yang pro maupun
yang kontra bisa melihat permasalahan umat yang jauh lebih besar yang
seharusnya mereka ikut berjibaku mengatasinya. Adapun ikhtilaf dalam
masalah ini tidak cukup untuk menganggap orang yang berbeda
pendapat telah keluar dari Islam, atau saling serang dengan predikat
telah musyrik, kafir atau sesat. Allahu Ta’ala A’lam.
[https://mtaufiknt.wordpress.com]
[4] أن التوسل ليس أمرا ً َّلزما ً أو ضروريا ً وليست اإلجابة متوقفة عليه بل اْلصل دعاء هللا
ٌ {وإِذا سألك ِعبادِي عنِي فإ ِ ِني ق ِر: كما قال تعالى،ًتعالى مطلقا
يب
[7] ي ب ُْن فِ ْهر فِي ِكتا ِب ِه " فضائِل ما ِلك " ِبإِسْناد َّل بأْس ُّ صة أبُو ْالحس ِن ع ِل
َّ وق ْد روى ه ِذ ِه ْال ِق
ِ شيُوخ ِعدَّة ِم ْن ثِقا
ت مشا ِي ِخ ِه ُ اء ِم ْن ط ِري ِق ِه ع ْن
ِ اض فِي الشِف
ٌ اضي ِعي ِ بِ ِه وأ ْخرجها ْالق
[8] الزائِ ُر ِإلى َّ ث ُ َّم ي ْر ِج ُع:َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم
َّ ب ِزيارةِ قب ِْر النَّ ِبي ِ صلَّىِ ان آدا ُّ وقال النَّو ِو
ِ ي فِي بي
سل بِ ِه ويسْت ْش ِف ُع بِ ِه إِلى ربِ ِه َّ َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم فيتو
َّ َّللاِ صلَّى
َّ سول ُ م ْوقِف قُبالة و ْج ِه ر،
[9] ِير ِ وز إِذا كان على ت ْقدُ سل بِل ْف ِظ " أسْألُك بِن ِبيِك ُمح َّمد " ي ُج ُ وي ْذه
ُّ ب اب ُْن تي ِْميَّة إِلى أ َّن التَّو
ان ِب ِه ومحبَّتِ ِه وطاعتِ ِه على ْ سل ِبا
ِ إل ِِيم ُّ ِإذا كان التَّو: فإ ِ ْن قِيل: فيقُول فِي ذ ِلك،ُمضاف
سل بِذ ِلكَّ َّللا وجنَّ ِت ِه )وهذا أعْظ ُم ْالوسائِل( وتارة ً يتو
ِ َّ ب
ِ سل بِذ ِلك ِإلى ثوا َّ تارة ً يتو:و ْجهي ِْن
اء – كما ذك ْرت ُ ْم نظائِرهُ – في ُْحمل ق ْول ْالقائِل :أسْألُك ِبن ِب ِيك ُمح َّمد على أنَّهُ أرادِ :إ ِني فِي الدُّع ِ
سل إِليْك بِإِيما ِني بِ ِه ومحبَّتِ ِه ون ْح ِو ذ ِلك ،وق ْد ذك ْرت ُ ْم أ َّن هذا أسْألُك بِإِيمانِي بِ ِه وبِمحبَّتِ ِه ،وأتو َّ
يب ِفي ذ ِلك ِبال ِنزاع ،و ِإذا ُح ِمل على هذا ص ٌ جا ِئ ٌز ِبال ِنزاعِ .قيل :م ْن أراد هذا ْالم ْعنى ف ُهو ُم ِ
ف ،كما نُ ِقل ع ْن َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم ب ْعد مماتِ ِه ِمن ال َّ
سل ِ سل ِبالنَّ ِبي ِ صلَّى َّ ْالم ْعنى ِلكال ِم م ْن تو َّ
ون فِي إل ِِم ِام أ ْحمد وغي ِْرهِ ،كان هذا حسنًا ،و ِحينئِذ فال ي ُك ُ صحاب ِة والتَّا ِب ِعين ،وع ْن ا ْ ض ال َّ ب ْع ِ
ْ َّ ْ ْ
ير ِمن الع َّو ِام يُط ِلقُون هذا الل ْفظ ،وَّل ي ُِريد ُون هذا الم ْعنى ْ
المسْأل ِة نِزاعٌ ،ول ِك ْن ك ِث ٌ
Dengan cara yang sama, penulis buku al-Gharrah juga menukil sebagian
pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian dia bantah, lalu
bantahan tersebut dia carikan pembenaran dengan pandangan ulama’:
إَل أن هذه العصمة لألنبياء والرسل ،وإنما تكون بعد أن يصبح نبيا أو رسوَل بالوحي إليه ،أما
قبل النبوة والرسالة فإنه يجوز عليهم ما يجوز على سائر البشر ،ألن العصمة هي للنبوة
والرسالة
Hanya saja, kemaksuman ini berlaku untuk para Nabi dan Rasul setelah
menjadi Nabi atau Rasul berdasarkan wahyu yang disampaikan
kepadanya. Adapun sebelum menjadi Nabi dan Rasul, maka apa yang
berlaku pada manusia yang lain, bisa saja berlaku bagi mereka. Karena
kemaksuman tersebut berlaku karena kenabian dan kerasulan.
الرد :اتفق أهل الحق على أنه يجب لألنبياء الصدق واألمانة والفطانة فعلم من هذا أن هللا
تعالى َليختار لهذا المنصب إَل من هو سالم من الرذالة والسفاهة والكذب والبلدة ،فمن كانت
.له سوابق من هذا القبيل َل يصلح للنبوة ولو تخلى منها بعد
وتجب لألنبياء العصمة من الكفر والكبائر وصغائر الخسة والدناءة ،وتجوز عليهم ما سوى
ذلك من الصغائر التي ليس فيه خسة ،وهذا قول أكثر العلماء كما نقله غير واحد ،وعليه أبو
.الحسن األشعري
فعلى قوله تصح النبوة لمن كان لصا سراقا نباشا للقبور ولوطيا إلى غير ذلك من الرذاَلت
تحصل من البشر
Sanggahan: Ahli Haq sepakat, bahwa para Nabi wajib mempunyai sifat
jujur, amanah dan cerdas. Dari sini diketahui, bahwa Allah SWT. tidak
memilih jabatan ini kecuali orang yang selamat dari sifat hina, khianat,
bodoh, dusta dan dungu. Maka, siapa saja yang mempunyai masa lalu
seperti ini, tidak layak menyandang jabatan kenabian, meski setelah itu
dia terbebas darinya.
Para Nabi wajib terbebas dari kekufuran, dosa besar dan kesalahan-
kesalahan kecil yang hina dan murahan. Mereka boleh berbuat dosa-
dosa kecil yang tidak mengandung kehinaan. Inilah pandangan
kebanyakan ulama’, sebagaimana yang dikatakan oleh lebih dari satu
ulama’. Inilah pendapat Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Penjelasan:
فعلى قوله تصح النبوة لمن كان لصا سراقا نباشا للقبور ولوطيا إلى غير ذلك من الرذاَلت
تحصل من البشر
أما عصمة النبي والرسول عن األفعال المخالفة ألوامر هللا ونواهيه فالدليل العقلي قائم على
فل يفعل كبيرة من الكبائر مطلقا ألن فعل الكبيرة يعني ارتكاب،أنه معصوم عن الكبائر حتما
فإذا تطرقت المعصية إلى الفعل تطرقت إلى. والطاعة َلتتجزأ والمعصية َلتتجزأ.المعصية
ولذلك كان األنبياء والرسل معصومين عن الكبائر كما. وهي تناقض الرسالة والنبوة،التبليغ
فمنهم، أما العصمة عن الصغائر فإنه قد اختلف العلماء فيها.هم معصومون بالتبليغ عن هللا
ومنهم من قال إنهم معصومين عنها،من قال إنهم غير معصومين عنها ألنها ليست معصية
والحق أن كل ما كان طلب فعله أو تركه جازما ــ أي جميع الفروض.ألنها معصية
وعن فعل، معصومون عن ترك الواجبات،والمحرمات ــ هم مع صومون بالنسبة لها
ويصدق، أي معصومون عن كل ما يسمى معصية، سواء أكانت كبائر أم صغائر،المحرمات
عليه أنه معصية
،أن هللا تعالى َليختار لهذا المنصب إَل من هو سالم من الرذالة والسفاهة والكذب والبلدة
فمن كانت له سوابق من هذا القبيل َل يصلح للنبوة ولو تخلى منها بعد
Allah SWT. tidak memilih jabatan ini kecuali orang yang selamat dari
sifat hina, khianat, bodoh, dusta dan dungu. Maka, siapa saja yang
mempunyai masa lalu seperti ini, tidak layak menyandang jabatan
kenabian, meski setelah itu dia terbebas darinya[4]
صا فيماً وفي شرح العقائد أن األنبياء عليهم الصلة والسلم معصومون عن الكذب خصو
سهوا فعند األكثرين
ً وإما،يتعلق بأمر الشرع وتبليغ األحكام وإرشاد األمة أما عمدًا فباْلجماع
وفي عصمتهم عن سائر الذنوب تفصيل وهو أنهم معصومون عن الكفر قبل الوحي وبعده
،سهوا فجوزه األكثرون
ً وأما، وكذا عن تعمد الكبائر عند الجمهور خلفًا للحشوية،باْلجماع
سهوا باتفاق إَل ما
ً وتجوز،وأما الصغائر فتجوز عمدًا عند الجمهور خلفًا للجبائي وأتباعه
لكن المحققين اشترطوا أن ينبهوا عليه فينتهوا،يدل على الخسة كسرقة لقمة وتطفيف حبة
وأما قبله فل دليل على امتناع صدور الكبيرة خلفًا للمعتزلة ومنع،عنه هكذا كله بعد الوحي
صدور الصغيرة والكبيرة قبل الوحي وبعده،الشيعة.
Dalam kitab Syarh al-‘Aqa’id dinyatakan, bahwa para Nabi as. maksum
dari perbuatan dusta, khususnya dalam kaitannya dengan urusan
syariat, penyampaian hukum, dan bimbingan kepada umat. Mengenai
maksum dari perkara tersebut yang dilakukan secara sengaja telah
menjadi ijmak, adapun yang dilakukan karena lupa, menurut pendapat
mayoritas tetap maksum. Soal kemaksuman mereka dari dosa-dosa yang
lain dapat dirinci, bahwa menurut ijmak mereka maksum dari
kekufuran, sebelum dan setelah turunnya wahyu, begitu juga —menurut
pendapat jumhur— maksum dari dosa besar yang dilakukan secara
sengaja. Berbeda dengan pengikut Hasyawi. Namun, maksum darinya
karena lupa juga dibolehkan oleh kebanyakan ulama’. Soal dosa kecil,
menurut jumhur boleh saja. Ini berbeda dengan al-Juba’i dan para
pengikutnya (Muktazilah), dan telah menjadi ittifaq (kesepakatan),
bahwa itu boleh juga dilakukan karena lupa, kecuali apa yang
menunjukkan kehinaan, seperti mencuri sesuap makanan dan biji-bijian
yang dijemur. Namun, para muhaqqiq (‘ulama yg meneliti)
mensyaratkan bahwa perkara (dosa) tersebut harus
diperingatkan(diberitahukan kepada para nabi bahwa itu terlarang)
sehingga bisa mereka tinggalkan, semua ini berlaku setelah turunnya
wahyu. Adapun sebelumnya, pada dasarnya tidak ada satu dalil pun
yang melarang terjadinya dosa besar. Berbeda dengan Muktazilah, juga
Syi’ah yang menolak (terjadinya dosa besar), juga dosa kecil dan besar,
sebelum dan setelah turunnya wahyu[5]
وأما السهو.أجمع أصحابنا على وجوب كون األنبياء معصومون بعد النبوة على الذنوب كلها
وقد سهى نبينا في صلوته حتى سلم على.والخطأ فليسا من الذنوب فلذلك ساغا عليهم
وتأولوا على ذلك كل، وأجازوا الذنوب قبل النبوة.الركعتين نبى عليها وسجد سجدتي السهو
وأجاز ابن كرام في كتابه الذنوب من األنبياء من غير تفصيل.ما حكي في القرآن من ذنوبهم
. وألصحابه اليوم في ذلك تفصيل ويقولون يجوز عليهم الذنوب ما َليوجب حدا تفسيقا.منه
…وفيهم من يجيز الخطأ في التبليغ
Ashhabuna (para pengikut mazhab kami, yaitu Ahlussunnah) sepakat
tentang keharusan para Nabi maksum dari segala dosa setelah
kenabian. Soal lupa atau salah, keduanya bukanlah dosa, maka
keduanya boleh bagi mereka. Nabi kita (Muhammad) saw. pernah lupa
dalam shalatnya, hingga salam sementara beliau baru mengerjakan dua
rakaat, kemudian beliau diingatkan, lalu melakukan sujud sahwi
sebanyak dua kali. Mereka (ashhabuna) juga membolehkan terjadinya
dosa-dosa tersebut sebelum kenabian. Mereka kemudian menerangkan
berbagai kasus dosa (yang pernah menimpa mereka) yang telah
diceritakan dalam al-Qur’an.[6]
[6] al-Imam Abu Manshur Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul ad-
Din, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1981 M/1401 H, hal.
167-168. Lihat juga, ‘Adhuddin al-Iji, al-Mawaqif fi ‘Ilm al-Kalam,
‘Alam al-Kutub, Beirut, t.t., hal. 358-359.
وقل للذين أوتوا الكتاب واألميين أأسلمتم فإن أسلموا فقد اهتدوا وإن تولوا فإنما عليك البلغ
َو ََل َنص َْرا ِن ٌّي ث ُ َّم َي ُموتُ َولَ ْم ٌّ س َم ُع ِبي أ َ َح ٌد ِم ْن َه ِذ ِه ْاأل ُ َّم ِة َي ُهود
ِي ُ َوالَّذِي نَ ْف
ْ س ُم َح َّم ٍّد ِب َي ِد ِه ََل َي
ب النَّ ِار ْ َ َان ِم ْن أ
ِ ص َحا َ ِب ِه ِإ ََّل ك ِ يُ ْؤ ِم ْن ِبالَّذِي أ ُ ْر
ُس ْلت
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah
seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nashrani mendengar
tentangku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama
yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni
neraka." (HR. Muslim no. 218, Ahmad no. 7856)
Rasulullah saw. juga pernah mengajak kaisar Romawi yang beragama
nashrani untuk masuk Islam, dalam suratnya Rasulullah menulis:
علَى َم ْن َ س َل ٌم َ وم ِ الر ُّ يم ِ سو ِل ِه إِلَى ِه َر ْق َل ع َِظ ُ َّللا َو َر َ يم ِم ْن ُم َح َّم ٍّد
ِ َّ ع ْب ِد ِ الر ِح
َّ الرحْ َم ِن َّ َِّللاَّ س ِم ْ ِب
َّللاُ أَجْ َركَ َم َّرت َ ْي ِن فَ ِإ ْنَّ َسلَ ْم يُ ْؤتِك ْ َ س َل ِم أ
ْ َ س ِل ْم ت ْ اْلِ ْ عوكَ بِ ِدعَايَ ِة ُ اتَّبَ َع ا ْل ُهدَى أ َ َّما بَ ْع ُد فَ ِإ ِني أ َ ْد
س َواءٍّ َب ْينَنَا َوبَ ْينَ ُك ْم أَ ْن ََل َ ب تَعَالَ ْوا ِإلَى َك ِل َم ٍّة ِ ين و َيا أَ ْه َل ا ْل ِكتَا َ علَ ْيكَ ِإثْ َم ْاألَ ِريس ِِي َ ت َ َولَّيْتَ فَ ِإ َّن
َّللاِ فَ ِإ ْن ت َ َولَّ ْوا فَقُولُوا ِ ض َنا بَ ْعضًا أ َ ْربَابًا ِم ْن د
َّ ُون ُ ش ْيئ ًا َو ََل َيت َّ ِخذَ بَ ْع َ َّللاَ َو ََل نُش ِْركَ بِ ِه َّ نَ ْعبُ َد إِ ََّل
َ س ِل ُم
ون ْ ش َهدُوا ِبأَنَّا ُم ْ ا
Moderasi ialah istilah Barat, baik dari segi lafaz maupun maknanya.
Dilihat dari asal-usulnya, istilah ini bersumber dari ideologi
Kapitalis/Sekularis yang menjadikan jalan tengah sebagai konsep
sekaligus aqidah. Ketika berlaku pergolakan berdarah antara tokoh-
tokoh gereja dan para Raja di satu pihak dengan para cendikiawan dan
filosof Barat di pihak lainnya; mereka berkompromi (compromise) untuk
menyelesaikan masalah ini. Pihak gereja dan raja-raja berpendapat
bahwa agama Nasrani layak mengatur semua aspek kehidupan,
sedangkan pihak cendikiawan berkeyakinan bahwa agama ini tidak
layak lagi untuk mengatur manusia, bahkan ia menyebabkan berlakunya
kezaliman dan kemunduran. Mereka mengingkari kelayakannya sebagai
sistem negara dan beranggapan bahwa akal manusia lebih layak dan
mampu mengurus kemaslahatan manusia sendiri.
ِ علَى ال َّن
اس ُ طا ِلتَكُونُوا
َ ش َهدَا َء َ … َو َكذَ ِلكَ َجعَ ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو
ً س
Makna yang benar bagi Qs. al-Baqarah [2]: 143 ialah, bahwa umat
Islam ialah umat yang adil, dan adil ialah salah satu syarat seorang saksi
di dalam Islam. Maka umat Islam akan menjadi saksi yang adil terhadap
umat-umat yang lain karena Islam telah sampai kepada mereka.
Meskipun ayat ini datang dalam bentuk ‘khabar’, ia merupakan tuntutan
kepada umat Islam supaya menyampaikan risalah Islam kepada umat
yang lain, jikalau tidak mereka akan berdosa. Inilah yang ditunjukkan di
akhir ayat 143 ini, juga dalam Qs. al-Baqarah [2]:140,
َ َّْللاُ أَح
س َن َما َّ ب َل ُه ْم ِليَجْ ِز َي ُه ُم
َ ون َوا ِديًا ِإ ََّل ُك ِت َ يرةً َو ََل َي ْق
َ ُ طع َ يرةً َو ََل َك ِب َ ًون نَفَ َقة
َ ص ِغ َ َُو ََل يُ ْن ِفق
َ ُكَانُوا يَ ْع َمل
ون
“…dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak
pula yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan
bagi mereka (amal saleh), supaya Allah membalas mereka dengan yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (Qs. at-Taubah [9]: 121).
Maka lafaz “wa kaana baina dzalika qawaama” tidak dapat diartikan
sebagai jalan tengah. Ia hanya menunjukkan bahwa ada 3 cara dalam
berinfak, dan hanya satu darinya yang sesuai dengan syara’. Allah SWT
tidak mengatakan: “baina dzalikuma..” yang berarti ‘di antara
keduanya’ sehingga perkataan qawaam dapat diartikan dengan
“wasathiyah” yaitu pertengahan.
Khatimah
Dengan yang demikian, tidak ada jalan tengah di dalam Islam dan tidak
pula kompromi. Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan Dia
mengetahui ciptaan-Nya dengan pemahaman yang tidak berdaya
dilampaui oleh manusia. Dia SWT-lah yang mampu dan berhak untuk
mengatur kehidupan manusia dengan suatu peraturan yang teliti dan
tepat. Dan tidak seorang manusiapun, bagaimana geniusnya beliau,
dapat mencapai kemampuan itu. Dimanakah konsep “wasathiyah” di
dalam ayat-ayat ini?
Juga tidak ada jalan tengah dalam penerapan hukum Islam, baik hukum
potong tangan atau zina atau murtad. Allah SWT telah menurunkan
syariat-Nya dengan lengkap dan terperinci, Rasulullah Saw serta
khalifah-khalifah selepas beliau telah menunjukkan kepada kita
bagaimana hukum Islam itu telah dinikmati oleh kaum Muslimin lebih
dari 14 abad lamanya. Istilah ‘wasathiyah’ ini telah disuntikkan kedalam
Islam oleh musuh-musuh Allah supaya kaum muslimin melekatkannya
ketubuh Islam dengan nama moderasi dan toleransi, serta memalingkan
kaum muslimin dari ketegasan dan kebijaksanaan hukum Allah SWT.
Hendaknya kaum Muslimin menyadari racun pemikiran yang
disuntikkan ke dalam pemikiran-pemikiran Islam, dan mulai menjadikan
hanya syariat sebagai tolak ukur mereka dalam penghidupan ini. Allah
SWT berfirman:
ض َل ُل ِ فَ َماذَا بَ ْع َد ا ْل َح
َّ ق ِإ ََّل ال
Apakah Islam itu tidak cukup untuk kaum Muslimin, sehingga kita perlu
mencari istilah atau cara hidup yang lain selain Islam?
[1] Tafsir Ath Thabari (19/298), Maktabah Syamilah: ثنا: قال،حدثني علي
ِين ِإذَا أ َ ْنفَقُوا لَ ْم
َ ) َوالَّذ: قوله، عن ابن عباس، عن علي، ثني معاوية: قال،أبو صالح
هم المؤمنون َل يسرفون فينفقون في:َان َب ْي َن ذَ ِلكَ قَ َوا ًما ( قال
َ س ِرفُوا َولَ ْم يَ ْقت ُ ُروا َوك
ْ ُي
وَل يُقترون فيمنعون حقوق هللا تعالى،معصية هللا..
Beri peringkat:
Sifat Allah
ار
ُ صَ ََل تُد ِْر ُكهُ ْاأل َ ْب
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (TQS. al-An’aam [6]:
103)
Seperti al-hayat diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah
Swt:
Seperti al-qudrah diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah
Swt:
شيَعًا َ ت أ َ ْر ُج ِل ُك ْم أَ ْو يَ ْل ِب
ِ س ُك ْم ِ ْعذَابًا ِم ْن فَ ْو ِق ُك ْم أ َ ْو ِم ْن تَح
َ ع َل ْي ُك ْم َ َعلَى أ َ ْن يَ ْبع
َ ث َ قُ ْل ُه َو ا ْلقَاد ُِر
Sementara itu (kelompok) ahli sunnah berkata, Allah Swt memiliki sifat-
sifat azaliyah yang bersatu dengan zatNya, yaitu (bukan Dia dan bukan
selainNya). Keberadaan-Nya memiliki sifat-sifat, maka mengapa harus
ditetapkan bahwa Allah itu ‘alimun, hayyun, qadirun dan seterusnya.
Dan telah diketahui bahwa masing-masing dari ilmu, hayat, qudrah dan
yang semisalnya, menunjukkan pengertian (adanya) tambahan terhadap
mafhum al-wajibul wujud (wajib keberadaannya). Semua itu bukan
kalimat sinonim. Jadi, tidak mungkin terjadi seperti yang dikatakan oleh
kelompok mu’tazilah, bahwa Dia itu ‘alimun la ilma lahu (‘alim tetapi
tidak memiliki ilmu), dan qadirun la qudrata lahu (qadir tidak memiliki
kekuasaan atau kemampuan) dan lain-lain sebagainya. Hal seperti itu
mustahil ada. Itu sama saja dengan menga-takan bahwa warna hitam
tetapi tidak ada hitamnya. Nash-nash telah menerangkan tentang
ketetapan ilmu, qudrah-Nya dan lain-lain. Dan hal itu telah ditunjukkan
oleh hasil perbuatan yang mutqinah (tepat) atas keberadaan ilmu dan
qudrah-Nya. Bukan sekedar dinamakan alim (berilmu) dan qadir
(berkuasa) saja. Keberadaan sifat Allah yang azali, berarti tidak mustahil
melakukan berbagai peristiwa dengan zatNya yang Maha tinggi.
Sifatnya yang qadim dan azali tidak mungkin melakukan sebuah
peristiwa saja. Mengenai keberadaan sifat-sifat-Nya yang menyatu
dengan zat-Nya yang Maha tinggi maka hal itu merupakan bagian
terpenting yang secara pasti harus ada, karena tidak ada maknanya
mensifati sesuatu kecuali apa yang ia lakukan. Tidak ada makna
(keberadaanNya) sebagai ‘aliman dengan melakukan sifat terhadap
perkara yang sudah diketahui. Tetapi makna (keberadaanNya) sebagai
‘aliman berarti menguasai sifat mengetahui. Adapun keberadaan sifat
(bukan Dia dan bukan selainNya) berarti sifat-sifat Allah bukanlah zat-
Nya itu sendiri, karena akal memastikan bahwa sifat bukanlah mausuf
(yang disifati). Artinya, sifat tersebut merupakan makna tambahan pada
zat. Hal itu merupakan sifat bagi Allah sehingga bukan selain Allah. Ia
bukanlah sesuatu, bukan pula berupa zat ataupun benda, melainkan sifat
bagi zat. Keberadaannya bukanlah zat Allah, bukan pula selain Allah, ia
merupakan sifat bagi Allah.
Pernyataan ini telah ditentang oleh kelompok ahli sunnah yang berkata
bahwa qudrah memiliki dua ta’alluq (hubungan), yaitu azali yang tidak
menghasilkan adanya al-maqdur (kemampuan) secara nyata, dan
ta‘alluq hadits (hubungan yang bersifat baharu-pen) yang menghasilkan
adanya al-maqdur secara nyata. Qudrah tersebut berhubungan dengan
sesuatu hingga ia dapat mewujudkannya. Qudrah itu telah ada sebelum
terjadi hubungannya dengan sesuatu. Hubungannya dalam mewujudkan
sesuatu itu tidak membuat qudrah tersebut menjadi baharu. Dan
hubungannya secara langsung terhadap sesuatu setelah tidak adanya
hubungan tersebut, bukan berarti terjadi perubahan pada qudrah. Jadi,
qudrah adalah qudrah itu sendiri. Ia tidak mengalami perubahan, tetap
berhubungan dengan sesuatu sekaligus mewujudkannya. Al-maqdurlah
yang mengalami perubahan, sedangkan qudrah tidak berubah. Mengenai
ilmu, maka segala sesuatu yang mungkin berhubungan dengan ilmu
adalah ma’lum (sesuatu yang diketahui) secara nyata. Yang sesuai
dengan ‘alimiyah (sifat kemahatahuan) adalah zatNya Swt,. Dan yang
sesuai dengan ma’lumiyah (sifat yang diketahui) adalah zat-zat segala
sesuatu. Maka hubungan zat dengan keseluruhan zat-zat itu sama saja.
Ilmu tidak berubah sesuai dengan zat. Yang berubah hanyalah aspek
penam-bahannya. Dan ini boleh-boleh saja. Yang mustahil adalah
perubahan ilmu itu sendiri dan sifat-sifat yang qadim, seperti qudrah,
ilmu dan lain-lainnya. Jadi, tidak mesti sifat-sifat itu qadim sehingga
hubungannya harus bersifat qadim pula. Walhasil, bahwa zat yang
bersifat qadim berhubungan dengan zat-zat yang bersifat baharu
(muhdats).
Salah satu masalah dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan, adalah
adanya perbedaan pemahaman yang seharusnya kita tangkap secara
obyektif dari apa yang kita dengar atau kita baca, dengan pemahaman
kita sebelumnya tentang hal tersebut, sehingga tidak jarang ada
seseorang, misalkan si B menyatakan bahwa si A memiliki pemahaman
“x” dari apa yang si B baca atau dengar dari si A, padahal kesimpulan
“x” tersebut sebenarnya bukanlah pemahaman si A, namun kesimpulan
si B atas si A dari metode penarikan kesimpulan si B sendiri.
***
ألن اْلنسان هو، َل دخل لها بالقضاء وَلدخل للقضاء بها، أي أفعال اْلنسان،وهذه األفعال
الذي قام بها بإرادته واختياره وعلى ذلك فإن األفعال اْلختيارية َلتدخل تحت القضاء
yang diikuti dengan kutipan berikutnya dari kitab Nidzam al-Islam, yang
menyatakan:
فتعليق المثوبة أو العقوبة بالهدي والضلل يدل على أن الهداية والضلل هما من فعل العبد
وليسا من هللا
Maka, dikaitkannya pahala dan dosa dengan petunjuk dan kesesatan,
membuktikan bahwa petunjuk dan kesesatan tersebut merupakan buah
dari perbuatan manusia, bukan dari Allah
dengan menyatakan:
Penjelasan:
Pertama, dari aspek penukilan, sengaja atau tidak, penulis buku tersebut
hanya mengutip sebagian dari penjelasan Syaikh Taqiyuddin an-
Nabhani, kemudian langsung memvonis sesat dan seolah-olah beliau
berpandangan seperti Mu’tazilah.[2] Padahal, konteks kalimat tersebut
tidak dapat dipisahkan dari kalimat sebelum dan setelahnya, yang secara
utuh justru memberikan pemahaman yang jernih dan cemerlang tentang
qadha’ dan qadar, demikian halnya dengan hidayah dan dhalalah.[3]
Ini jelas berbeda dengan istilah qadha’ dan qadar yang diterjemahkan
pada masa Abbasiyah dan yang terkait dengan perbuatan-perbuatan
paksaan (af’âl jabariyah), juga dengan sifat-sifat khas pada benda.
***
ْ اَّللِ فَقَ ِد ا
َ ستَ ْم
َسك َّ ت َويُ ْؤ ِم ْن ِبِ غو َّ ش ُد ِم َن ا ْل َغي ِ فَ َم ْن يَ ْكفُ ْر ِبال
ُ طا ُّ ِين قَ ْد تَبَيَّ َن
ْ الر ِ ََل إِك َْرا َه فِي الد
256 :ع ِلي ٌم – البقرة َ س ِمي ٌع َ َُّللا َ بِا ْلعُ ْر َو ِة ا ْل ُوثْقَى ََل ا ْن ِف
َّ صا َم لَ َها َو
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui
Salah satu riwayat tentang sebab turun ayat ini dikemukakan Ibnu Jarir,
dari jalur Said atau Ikrimah dari Ibnu Abbas, katanya, “Tak ada paksaan
dalam agama.” Ayat itu turun mengenai seorang Ansar dari Bani Salim
bin Auf bernama Hushain, yang mempunyai dua orang anak beragama
Kristen, sedangkan ia sendiri beragama Islam. Maka katanya kepada
Nabi saw., “Tidakkah akan saya paksa mereka, karena mereka tak
hendak meninggalkan agama Kristen itu?” Maka Allah pun menurunkan
ayat tersebut.
Kandungan Ayat:
Adapun berkaitan dengan hukum syari’at, kalau dalam hal makanan dan
pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka,
selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang
publik. Orang-orang Nasrani di Yaman pada zaman Nabi SAW, ketika
mereka minum khamr, mereka dibiarkan. Para Sahabat pun ketika
melakukan penaklukan ke berbagai negeri tidak melarang orang-orang
non-Muslim untuk minum khamr. Tentang tata cara pernikahan dan
perceraian sesama mereka Islam juga memberikan kebebasan untuk
mengikuti ajaran agama mereka sendiri.
َ علَى أ َ ْو
ضاحٍّ لَ َها َ سلَّ َم قَت َ َل َي ُهو ِديًّا بِ َج ِاريَ ٍّة قَتَلَ َها
َ علَ ْي ِه َو َ أ َ َّن النَّبِ َّي
َّ صلَّى
َ َُّللا
Jizyah diambil dari orang-orang dewasa yang sehat akalnya. Jizyah tidak
dikenakan pada anak kecil, orang gila, atau wanita. Besaran jizyah tidak
diatur secara pasti, namun diserahkan pada opini dan ijtihad Khalifah.
Khalifah wajib mempertimbangkan aspek-aspek kesejahteraan dan
kemiskinan, sehingga tidak memberatkan kaum dzimmi.
Pungutan ini tidak sama dengan pajak, seperti sistem perpajakan yang
amat menindas saat ini. Secara finansial, kesejahteraan ahlu dzimmah
terjaga di bawah Negara Islam, dan mereka pun berhak menggarap
berbagai bisnis dan melakukan perdagangan.
Abu Bakar adalah salah seorang pembantu Rasulullah saw pada saat
insiden tersebut terjadi, dan Finhas adalah seorang dzimmi. Rasulullah
saw mendengarkan pengaduan Finhas atas Abu Bakar, sekalipun yang
diadukannya adalah dusta. Karena itu, bila pengaduan diajukan oleh
seseorang yang terikat perjanjian dengan negara, maka pengaduan
tersebut perlu didengarkan, karena dia terikat perjanjian sebagai ahlu
dzimmah.
، وإما بطاعة ممن عبده له، إما بقهر منه لمن عبده، فعبد من دونه،كل ذي طغيان على هللا
أو كائنا ما كان من شيء، أو صنما، أو وثنا، أو شيطانا،[وإنسانا كان ذلك المعبود3]
غوتُ ُك ِل ق ْوم م ْن ُ ما تجاوز بِ ِه ْالع ْبد ُ حدَّهُ ِم ْن م ْعبُود أ ْو متْبُوع أ ْو ُمطاع؛ فطا ُك ُّل: ُغوت َّ
ُ الطا
صيرة ِم ْن ِ أ ْو يتْبعُونهُ على غي ِْر ب،َّللا ِ أ ْو ي ْعبُدُونهُ ِم ْن د،سو ِل ِه
ِ َّ ُون َّ غيْر
ُ َّللاِ ور يتحاك ُمون إل ْي ِه
ِ أ ْو ي ُِطيعُونهُ فِيما َّل ي ْعل ُمون أنَّهُ طاعةٌ ِ َّلِل،ِ[َّللا4]
َّ
Catatan: Ayat lain yang berbicara tentang thaghut bisa dibaca di surat
An Nisaa’: 51, 60, 76, Al Mâidah: 60, An Nahl: 36, Az Zumar: 17.
1) Sebab-Sebab Ikhtilaf
Ikhtilaf bisa muncul karena hawa nafsu, atau karena ijtihad yang
memang diizinkan syara’ (bagi yg layak untuk berijtihad). Ikhtilaf yang
disebabkan karena hawa nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena
berarti menjadikan hawa nafsu sebagai dalil syara’[1], dan ikhtilaf
karena hal ini tidak dianggap sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara’[2].
Quru’ diartikan suci oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh
orang-orang ‘Iraq.
ْ … أ َ ْو ََل َم
َ ِست ُ ُم الن
سا َء
سكم وأرجلكم
ِ وامسحوا برؤو..
Dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma’idah : 6).
Termasuk juga perbedaan bisa terjadi saat menilai hadits, semisal Imam
An Nawawi (w. 676 H), yang menilai hadits bahwa Rasul saw. tidak
meninggalkan qunut shubuh sebagai hadits shahih (dalam Al Majmu’),
sedangkan ahli hadits yang lain mendlo’ifkannya. Begitu juga semisal
mengusap tangan ke wajah setelah berdo’a, Ibnu Hajar Al Asqalany
menilainya hasan (dalam Bulughul Maram), sedang ahli hadits yang lain
banyak yang mendlo’ifkannya.
Adalah sulit membatasi sebab-sebab ikhtilaf dalam hal ini, setiap kaidah
ushul yang berbeda bisa menghasilkan pendapat yang berbeda, bahkan
kaidah ushul yang sama pun bisa menghasilkan pendapat yang berbeda.
Termasuk dalam hal ini adalah memahami kata perintah dalam suatu
dalil apakah perintah tersebut menimbulkan hukum wajib atau tidak,
apakah berlaku mutlaq atau muqayyad (terikat), dll yang secara luas
dibahas dalam ilmu ushulul fiqh.
"Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu
tempatnya di neraka." [Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]
وألن األحاديث أكثرها مقيدة بالخيلء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على
اْلباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة
2) Lapangan Ikhtilaf
Khalifah Abu Bakar ra. menetapkan jatuhnya ucapan talak tiga (dalam
satu waktu) tetap sebagai talak satu, dan kaum muslim pada saat itu
mengikutinya. Akan tetapi, ketika Umar ra. berkuasa, beliau menetapkan
hukum yang berbeda dengan menyatakan ucapan talak tiga (dalam satu
waktu) sebagai tiga kali talak, dan kaum muslimin juga mengikutinya.
4) Menyikapi Ikhtilaf
Perdebatan tentang tema bid’ah apakah ada yang terpuji atau semua
tercela, kemudian apa saja yg termasuk bid’ah yang tercela adalah tema
pembahasan dan perdebatan lama yang kalau kita kaji dengan teliti,
maka akan kita temukan berbagai pendapat yang tidak harus kita
pertentangkan, apalagi dijadikan alat untuk memutus tali ukhuwwah
sesama muslim.
Tulisan ini saya buat dengan harapan bisa mempererat tali ukhuwwah
sesama muslim – apapun organisasinya — dan agar kita bisa menyikapi
perbedaan ini sehingga kalaupun berbeda pendapat, maka masih dalam
lingkup perbedaan yang syar’iy, bukan perbedaan yg merupakan
penyimpangan dari syari’ah. Dan kalaupun masih ada perbedaan
pandangan maka kita bisa bersikap sebagimana para ‘ulama dulu ketika
mereka berbeda pandangan, yakni: “pendapat yang kami ambil adalah
pendapat yang benar, walaupun ada juga kemungkinan keliru,
sedangkan pendapat selain pendapat kami adalah keliru walaupun ada
kemungkinan benar”, bukan menyatakan pendapat selain pendapatnya
adalah sesat, tentunya kalau pendapat lain tersebut ada dalil ataupun
syubhat dalilnya juga.
Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan redaksi berbeda dari Jabir bin
Abdullah (no 44), dan juga dari Abdullah bin Mas’ud (no 45) dengan
redaksi:
ٌض َللَة َ ور ُمحْ َدثَات ُ َها َو ُك ُّل ُمحْ َدث َ ٍّة ِب ْدعَةٌ َو ُك ُّل ِب ْد
َ ع ٍّة ِ ور فَ ِإ َّن ش ََّر ْاأل ُ ُم ِ أ َ ََل َو ِإيَّا ُك ْم َو ُمحْ ِدثَا
ِ ت ْاأل ُ ُم
…Ingatlah, janganlah kalian membuat perkara-perkara baru.
Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (diada-
adakan), dan setiap hal baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat…
5. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah (no 13815),
dan dari ‘Irbadh bin Sâriyah (no 16521 dan 16522), dengan redaksi yang
kurang lebih sama diatas.
Adapun hadits dari ‘Irbadh bin Sâriyah [point 2 (dan 5)], Al Hafidz al
Bazzar menyatakan: hadîts tsâbit shahÎh”, Al Hafidz Ibnu Abdil Barr
menyatakan: hadîts tsâbit, Al Hâkim menyatakan : صحيح ليس له علة
(Shahih tidak ada cacatnya)[1].
: َلن هللا تعالي يقول،من ابتدع في اَلسلم بدعة يراها حسنة فقد زعم ان محمدا خان الرسالة
س َل َم دِينًا فما لم يكن يومئذ دينا
ْ اْل َ ُا ْليَ ْو َم أ َ ْك َم ْلتُ لَ ُك ْم دِينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْمت
ِ ْ علَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر ِضيتُ لَ ُك ُم
فل يكن اليوم دينا
Dari apa yang saya kaji, sebenarnya perbedaan pandangan apakah ada
bid’ah hasanah atau tidak ada hanyalah perbedaan semu, dimana dua
kelompok ulama tersebut sebenarnya bermaksud sama dalam hal makna,
hanya berbeda dalam pengungkapan dan pendefinisian.
ش ْي ُء الَّذِي
َّ ال: ع َ ُشأَهُ َوبَ َدأَه
ُ وا ْلبِ ْد. َ إِذَا أ َ ْن: ُعه
َ َوا ْبتَ َد، عهُ بَ ْدعًا َ ِم ْن بَ َد: ًا ْلبِ ْدعَةُ لُ َغة
ُ ع الش َّْي َء يَ ْب َد
سل
ُ الرُّ قُل َما ُك ْنتُ ِب ْدعًا ِم َن: َو ِم ْنهُ قَ ْوله تَ َعالَى، ًَيكُو ُن أ َ َّوَل
Bid’ah secara bahasa: berasal dari ba-da-‘a asy-syai’ yabda’uhu
bad’an wa abtada’ahu: (yang artinya adalah) mengadakan dan
memulai. Dan Al Bid’u : (adalah) sesuatu yang ada pertama kali,
dengan makna ini allah berkata: Katakanlah (wahai Muhammad)aku
bukanlah utusan yang pertama kali (al Ahqaf : 9)[4]
… ٌض َل َلة
َ ع ٍّة
َ …و ُك َّل ِب ْد
َ
…dan setiap bid’ah adalah sesat…
Kalimat “merampas tiap-tiap bahtera” (صبًا ْ )يأ ْ ُخذ ُ ُك َّل س ِفينة غmaksudnya
bukan semua kapal, namun kapal yang baik-baik saja, oleh karena itu
dikatakan “aku bertujuan merusakkan bahtera itu” yakni agar tidak
dirampas raja. Jadi kata kullu (setiap) bisa digunakan untuk menyatakan
sebagian saja.
Adapun kelompok kedua, yang menyatakan bid’ah itu semuanya
adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat. Mereka memahami
sabda Rasulullah SAW (no 2):
… ٌض َل َلة
َ ع ٍّة
َ …و ُك َّل بِ ْد
َ
…dan setiap bid’ah adalah sesat…
Sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada
sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah,
dan ketika melakukannya diniatkan sebagaimana apa yang dimaksud
oleh jalan (thoriqah) syar’iyyah.
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa apa yang diadakan yang
tidak ada pokok (asal/dasar) nya dalam syari’ah yang menunjukkan
atasnya, adapun jika ada asal/pokok/dasar dari syari’ah maka itu bukan
termasuk bid’ah secara syar’i, walaupun itu bid’ah secara bahasa.
Maasya Allah, kasihan umat kalau para da’i nya seperti ini, padahal
yang berbeda pendapat itu para ‘ulama besar yang sudah dikenal luas
oleh umat Islam sedunia, dan mereka tidak saling mencela seperti ini.
5. Bagaimana Menyikapinya
سنَّة فَ ُه َو َمحْ ُمود َو َما َخا َلفَ َها ُّ فَ َما َوا َفقَ ال، َمحْ ُمودَة َو َم ْذ ُمو َمة: ان ِ َ عت َ قَا َل الشَّافِ ِعي " ا ْل ِب ْدعَة ِب ْد
َو َجا َء ع َْن، ط ِريق إِ ْب َرا ِهيم ْبن ا ْل ُجنَ ْيد ع َْن الشَّافِ ِعي َ فَ ُه َو َم ْذ ُموم " أ َ ْخ َر َجهُ أَبُو نُعَ ْيم ِب َم ْعنَاهُ ِم ْن
ان َما أُحْ دِث يُ َخا ِلف ِ ض ْر َب َ الشَّا ِف ِعي أ َ ْيضًا َما أ َ ْخ َر َجهُ ا ْل َب ْي َه ِق ُّي ِفي َمنَا ِقبه قَا َل " ا ْل ُمحْ َدثَات
َ َو َما أُحْ دِث ِم ْن ا ْل َخ ْير َلَ يُ َخا ِلف، ضلَل
ش ْيئ ًا َّ سنَّة أ َ ْو أَث َ ًرا أ َ ْو إِجْ َماعًا فَ َه ِذ ِه ِب ْدعَة ال
ُ ِكتَابًا أ َ ْو
غ ْير َم ْذ ُمو َمة َ " ِم ْن ذَ ِلكَ فَ َه ِذ ِه ُمحْ َدثَة
Asy Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua: yang terpuji dan tercela, yang
sesuai sunnah maka ia terpuji, yang menyelisihi sunnah maka ia
tercela” dikeluarkan Abu Nu’aim dg maknanya dari jalan Ibrahim bin
Junaid dari Asy syafi’i, dan dari Asy Syafi’i juga yang dikeluarkan oleh
Al Baihaqi dalam manaqibnya berkata: “al muhdatsaat (yang diada
adakan) itu ada dua bagian, yang bertentangan dengan kitab, atau
sunnah, atau atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat, dan
apa yang diadakan berupa kebaikan tidak bertentangan dengan
sesuatupun dari yang demikian (kitab, atau sunnah, atau atsar atau
ijma), maka ini adalah muhdatsat yang tidak tercela”
سام َ سة أ َ ْق َ اخر " ا ْلقَ َوا ِعد " ا ْل ِب ْدعَة َخ ْم ِ ِفي أ َ َو: سلَم َّ ع ْبد الَ شتِغَا ِل " َوقَا َل اِ ْبن ْ اجبَة " كَاَل ِ فَا ْل َو
َوَلَ يَتَأَتَّى إَِلَ بِذَ ِلكَ فَيَكُون، اجب ِ َلن ِح ْفظ الش َِّريعَة َو َّ سوله َّ بِالنَّحْ ِو الَّذِي يُ ْف َهم بِ ِه َكلَم
ُ َّللا َو َر
ص ِحيح َّ صل ِإلَى ت َ ْم ِييز ال ُّ صول ا ْل ِف ْقه َوالت َّ َو ُ ُ َو َكذَا ش َْرح ا ْلغَ ِريب َوت َ ْد ِوين أ، اجب ِ ِم ْن ُمقَ َّد َمة ا ْل َو
" سنَّة ِم ْن ا ْلقَد َِريَّة َوا ْل ُم ْر ِجئ َة َوا ْل ُمشَبِ َهة ُّ ف ال َ َس ِقيم " َوا ْل ُم َح َّر َمة " َما َرتَّبَهُ َم ْن َخال َّ َوال
علَى الت َّ َرا ِويح َو ِبنَاء َ ِع ْينُهُ ِفي ا ْل َعهْد النَّ َب ِوي َكاَلجْ ِت َماع َ سان لَ ْم يُ ْع َهد َ َْوا ْل َم ْندُو َبة " كُل ِإح
َّ ظ َرة إِ ْن أ ُ ِري َد ِبذَ ِلكَ َوجْ ه
َّللا َ ع ْقد َم َجا ِلس ا ْل ُمنَا َ ص ُّوف ا ْل َمحْ ُمود َو
َ َّ الربَط َوا ْل َكلَم فِي الت ُّ ا ْل َمد َِارس َو
" ستَلَذَّات ِم ْن أَكْل ْ سع فِي ا ْل ُم ُّ َوالت َّ َو، ص ْبح َوا ْلعَصْر ُّ صلَة ال َ ع ِقب َ صافَ َح ِة
َ َوا ْل ُمبَا َحة " كَا ْل ُم
َّللاُ أ َ ْعلَ ُم ْ َوقَ ْد يَكُون بَ ْعض ذَ ِلكَ َمك ُْرو ًها أ َ ْو ِخلَف. سكَن
َّ اَلولَى َو ْ َوش ُْرب َو َم ْلبَس َو َم.
Dan telah berkata Ibnu Abdissalaam dalam akhir kitab “al qawa’id”,
“Bid’ah itu ada lima bagian, yang wajib; seperti belajar ilmu nahwu
untuk memahami kitabullah dan sunnah rasul-Nya, karena menjaga
syari’ah itu wajib, dan tidak bisa terlaksana kecuali dengan nya
(nahwu) maka itu menjadi pembuka yang wajib…, yang haram;
(pemikiran) apa yang ditetapkan oleh yang menyelisihi sunnah, dari
kalangan Qadariyah, Murjiah dan Musyabbihat (yg menyerupakan
Allah dengan makhluq), yang mandub/sunnah; setiap kebaikan yang
tidak dilakukan pada masa nabi, seperti tarawih berjama’ah,
membangun madrasah, rubath, perkataan dalam hal tasawwuf yang
terpuji, mengadakan majelis diskusi/ceramah jika yang dikehendaki
adalah ridlo Allah, yang mubah/boleh; seperti bersalaman setelah
sholat subuh dan ashar, mencukupi diri dg yg lezat2 berupa makanan,
minuman, pakaian dan rumah, dan sebagiannya makruh atau khilaful
‘aula (menyelisihi yng utama)” Wallahu A’lam
Kalau kita kita berada pada domain pendapat kedua, bahwa semua
“bid’ah” adalah sesat, maka yang saya fahami (dari literatur lain, agar
lebih mudah dicerna), “bid’ah” [8] adalah:
Yang dimaksud dengan apa yang dibawa oleh syara adalah yang ada
dalilnya baik umum atau khusus. Apa saja yang tercakup dalam dalil
umum ini maka tidak disebut “bid’ah” seperti belajar kimia, biologi, dll
walaupun tidak ada pada masa Rasul namun tercakup dalam dalil
tentang menuntut ‘ilmu. Oleh karena itu tidak setiap yang tidak ada pada
masa Rasul dikatakan “bid’ah”.
فليس لنا الحق – أيضا ً – أن نقيد ما أطلقه هللا،ليس لنا الحق أن نطلق ما قيده هللا
7. Penutup
Sebenarnya, ada PR bagi kedua belah pihak, dan bagi umat Islam secara
umum:
Bagi pihak yang mengatakan bid’ah ada yg baik dan buruk, ketika
ada sesuatu yang baru, maka wajib bagi mereka untuk mengkaji
apakah yang baru tersebut baik (wajib, sunnah, mubah, makruh)
atau buruk (haram)
Bagi pihak yang menyatakan semua bid’ah sesat, dan tidak semua
yang baru adalah bid’ah, maka wajib bagi mereka ketika ada
sesuatu yang baru untuk mengkajinya apakah yang baru tersebut
bid’ah (sehingga sesat/haram) atau bukan bid’ah, kalau bukan
bid’ah lalu apa status hukumnya (wajib, sunnah, mubah atau
makruh?).
Jadi dari pada berpolemik sesuatu yang baru ini bid’ah atau bukan, lebih
baik mengkaji bagaimana status hukum sesuatu yang baru ini, wajib,
sunnah, mubah, makruh ataukah haram. Allahu Ta’ala A’lam.
[2] ط539 / 1 والحاوي للسيوطي، ط اَّلستقامة172 / 2 قواعد اْلحكام للعز بن عبد السالم
وتلبيس إبليس، القسم الثاني ط المنيرية22 / 1 وتهذيب اْلسماء واللغات للنووي، محيي الدين
والباعث على إنكار البدع، ط بوَّلق376 / 1 وابن عابدين، ط المنيرية16 َّلبن الجوزي ص
ط المطبعة العربية15 – 13 والحوادث ْلبي شامة.
[3] واَّلعتقاد على مذاهب السلف للبيهقي ص، ط التجارية19 ، 18 / / 1 اَّلعتصام للشاطبي
114 واقتضاء، ط تونس8 والحوادث والبدع لإلمام الطرطوشي ص، ط دار العهد الجديد
وجامع بيان العلوم والحكم ص، ط المحمدية278 ، 228 الصراط المستقيم َّلبن تيمية ص
160 ، ط المنيرية37 / / 25 وعمدة القاري، ط شقرون112 / / 1 وجواهر اإلكليل، ط الهند
ط الحلبي156 / / 5 وفتح الباري.
[8] Saya kasih tanda petik untuk membedakan bahwa “bid’ah” disini
adalah yang semuanya sesat.
[9] Dari Dirosah Fiqhiyyah (kumpulan soal – jawab)
اض ب ُْنُ ي وغي ُْرهُ قال جلد ِعي ُّ عبيْد ْالحضْر ِم ُ شر ْي ُح ب ُْن ُ حدَّثنا أبُو ْال ُم ِغيرةِ حدَّثنا ص ْفو
ُ ان حدَّث ِني
اض ث ُ َّم مكث ٌ ضب ِعي ِ ت فأ ْغلظ لهُ ِهشا ُم ب ُْن ح ِكيم ْالق ْول حتَّى غ ْ احب د ِاريا ِحين فُتِح ِ غ ْنم ص
َّ ي صلَّى
َّللاُ عل ْي ِه َّ ِليا ِلي فأتاهُ ِهشا ُم ب ُْن ح ِكيم فاعْتذر ِإل ْي ِه ث ُ َّم قال ِهشا ٌم ِل ِعياض أل ْم تسْم ْع النَّب
اض ب ُْن غ ْنم يا ُ اس فقال ِعي ِ َّاس عذابًا أشدَّ ُه ْم عذابًا ِفي الدُّ ْنيا ِللن ِ َّوسلَّم يقُو ُل ِإ َّن ِم ْن أش ِد الن
َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم
َّ َّللا صلَّى ِ َّ سولُ ِهشا ُم بْن ح ِكيم ق ْد س ِم ْعنا ما س ِم ْعت ورأيْنا ما رأيْت أول ْم تسْم ْع ر
يقُو ُل
ُس ْلطان بِأ ْمر فال يُ ْب ِد لهُ عالنِيةً ول ِك ْن ِليأ ْ ُخ ْذ ِبي ِد ِه في ْخلُو بِ ِه فإ ِ ْن قبِل ِم ْنه
ُ م ْن أراد أ ْن ي ْنصح ِل
ِ س ْلط
،ِان هللا ُ ئ على ُ ِإ ْذ ت ْجت ِر،فذاك و ِإ ََّّل كان ق ْد أدَّى الَّذِي عل ْي ِه لهُ و ِإنَّك يا ِهشا ُم ْل ْنت ْالج ِري ُء
ان هللاِ تبارك وتعالى ِ س ْلطُ فت ُكون قتِيل،ان ُ س ْلط
ُّ فه َّال خشِيت أ ْن ي ْقتُلك ال
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughiroh telah menceritakan
kepada kami Shafwan telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid
Al Hadlromi dan yang lainnya berkata; ‘Iyâdl bin Ghanm mencambuk
orang Dariya ketika ditaklukkan[2]. Hisyâm bin Hakim meninggikan
suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyâdl marah. (‘Iyâdl r.a)
tinggal (menetap) beberapa hari, lalu Hisyâm bin Hakim mendatanginya,
memberikan alasan. Hisyâm berkata kepada ‘Iyâdl: Tidakkah kau
mendengar Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: ” Orang yang
paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras
menyiksa manusia di dunia” ‘Iyâdl bin Ghanm berkata; Wahai Hisyâm
bin Hakim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga
melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
Sanad Hadits
4. Shafwan bin ‘Amru bin Harim (Abu ‘Amru) adalah tabi’in kalangan
biasa, meninggal pada tahun 155 H. Al Hâfidz Ibnu Hajar Al Asqalani
mentsiqahkannya.
Sanad hadits ini adalah dho’if karena Syuraih bin ‘Ubaid bin Syuraih al
Hadlromiy tidak mendengar hadits tersebut dari Hisyâm bin Hakim bin
Hizam, Syuraih juga tidak mendengarnya dari Iyâdl bin Ghanm jadi
kedua jalur periwayatan tersebut adalah dho’if, termasuk hadits
Munqathi’. Ini sebagaimana ta’liq Syaikh Syu’aib al Arna’uth yang
menyatakan:
شريح بن عبيد الحضرمي لم يذكروا له سماعا ً من عياض وَّل،وهذا إسناد ضعيف َّلنقطاعه
من هشام
Dan ini adalah sanad yg dho’if karena terputusnya, Syuraikh bin ‘Ubaid
Al Hadlromy tidak menuturkan lewat pendengaran (simâ’an) dari ‘Iyâdl
dan tidak juga dari Hisyâm.
Adapun redaksi ًس ْلطان بِأ ْمر فال يُ ْب ِد لهُ عال ِنية
ُ … م ْن أراد أ ْن ي ْنصح ِل
(“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu
perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan…”), dalam
hal ini terjadi ikhtilaf:
· Syaikh Syu’aib al Arna’uth (lahir 1928 M) menilai tambahan ini hasan
lighairihi. Bahkan al Albani menshahihkannya[9]. Berikut ringkasan
alasan penerimaan tambahan ini:
Akan tetapi inqithâ’ ini disambung oleh Jubair bin Nufair dalam riwayat
Ibnu Abi ‘Âshim (no. 1097) [10], namun sanad riwayat ini juga lemah
karena kelemahan Muhammad bin Ismâ’îl bin ‘Ayyâsy. Al-Hafizh Ibnu
Hajar sempat menyebut riwayatnya lalu melemahkannya dengan
menyatakan, ”Tapi Muhammad (bin Ismail ini) dha’if jiddan (sangat
lemah)”.[11]
ومن وعظه عالنية فقد فضحه وخانه، من وعظ أخاه سرا فقد نصحه وزانه:وقال الشافعي
a. Kalimat “Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah
melaksakan kewajibannya” menunjukkan rukhsoh (keringanan) bahwa
menyampaikan dengan rahasia sudah cukup untuk melepaskan diri dari
dosa, baik nasehatnya diterima atau ditolak.
ق ْد، أنَّهُ م َّر ِبأُناس ِم ْن أ ْه ِل ا ِلذ َّم ِة، ع ِن اب ِْن ِحزام، ع ْن أ ِبي ِه،ع ْروةُ حدَّثنا ِهشا ُم ب ُْن،حدَّثنا و ِكي ٌع
ُ أ ْشهد: فقال،ِ ب ِقي عل ْي ِه ْم ش ْي ٌء ِمن ْالخراج: ما هؤَُّل ِء؟ قالُوا: فقال،ش ِام َّ أُقِي ُموا فِي ال
َّ ش ْم ِس ِبال
ِب ي ْوم ْال ِقيام ِة الَّذِين ُ “إِ َّن هللا ع َّز وج َّل يُعذ:ُسول هللاِ صلَّى هللاُ عل ْي ِه وسلَّم يقُول ُ أنِي س ِم ْعتُ ر
، فدخل عل ْي ِه: قال،ْطين ِ عمي ُْر ب ُْن س ْعد على فِلس ُ اس ي ْومئِذ ِ َّير الن
ُ وأ ِم:يُع ِذبُون النَّاس” قال
فحدَّثهُ فخلَّى س ِبيل ُه ْم
Yang lebih ajaib, Syaikh Abdus Salam bin Barjas dalam Mu’âmalatul
Hukkâm fi Dhau’i Al-Kitâb wa As-Sunnah, setelah menguatkan hadits
tsb dengan merujuk al Albani, dengan menyatakannya shahih, bukan
hasan sebagaimana diduga orang, apalagi dho’if, beliau menyatakan
bahwa hadits ini adalah pokok dalam hal merahasiakan nasehat
terhadap penguasa[15]. Bagaimana bisa hal yang pokok dibangun di
atas hadits yang diperselisihkan keshahihannya?
ش ِام َّ ي حدَّثنا ح َّماد ُ ب ُْن زيْد ع ْن أيُّوب ع ْن أ ِبي ِقالبة قال ُك ْنتُ ِبال ُّ ير ِ عمر ْالقو ِارُ َّللاِ ب ُْن
َّ ُ عب ْيد
ُ حدَّثنا
ُث فجلس فقُ ْلتُ له ِ ث أبُو ْاْل ْشع ِ ث قال قالُوا أبُو ْاْل ْشع ِ فِي ح ْلقة فِيها ُم ْس ِل ُم ب ُْن يسار فجاء أبُو ْاْل ْشع
اس ُمعا ِويةُ فغنِ ْمنا غنائِم ِ َّت قال نع ْم غز ْونا غزاة ً وعلى الن ِ ام ِ ص َّ عبادة ب ِْن الُ ِث أخانا حدِيث ْ حد
اس ِ َّت الن ِ ْطيا ِ ك ِثيرة ً فكان فِيما غ ِن ْمنا آنِيةٌ ِم ْن فِضَّة فأمر ُمعا ِويةُ ر ُج ًال أ ْن ي ِبيعها فِي أع
َّ َّللاِ صلَّى
َُّللا َّ سول ُ ت فقام فقال إِنِي س ِم ْعتُ ر ِ ام ِ صَّ عبادة بْن ال ُ اس فِي ذ ِلك فبلغ ُ َّفتسارع الن
ير والت َّ ْم ِرِ ش ِعَّ ير ِبال َّ ض ِة و ْالب ُِر ِب ْالب ُِر وال
ِ ش ِع َّ ض ِة ِب ْال ِفَّ ب و ْال ِف ِ ب ِبالذَّه ِ عل ْي ِه وسلَّم ي ْنهى ع ْن بيْعِ الذَّه
اس ما أخذُوا ُ َّازداد فق ْد أ ْربى فردَّ الن ْ ِبالت َّ ْم ِر و ْال ِم ْلحِ ِب ْال ِم ْلحِ ِإ ََّّل سوا ًء ِبسواء ع ْينًا ِبعيْن فم ْن زاد أ ْو
َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم َّ َّللاِ صلَّىَّ سو ِل ُ فبلغ ذ ِلك ُمعا ِوية فقام خ ِطيبًا فقال أَّل ما با ُل ِرجال يتحدَّثُون ع ْن ر
صة ث ُ َّم قال َّ ت فأعاد ْال ِق ِ ام
ِ ص َّ عبادة ُ ب ُْن ال ُ صحبُهُ فل ْم نسْم ْعها ِم ْنهُ فقام ْ أحادِيث ق ْد ُكنَّا ن ْشهدُهُ ون
َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم وإِ ْن ك ِره ُمعا ِويةُ أ ْو قال وإِ ْن ر ِغم ما أُبا ِلي َّ َّللاِ صلَّى ُ لنُحدِث َّن ِبما س ِم ْعنا ِم ْن ر
َّ سو ِل
صحبهُ فِي ُج ْن ِد ِه ليْلةً س ْوداء قال ح َّماد ٌ هذا أ ْو ن ْحوهُ حدَّثنا ِإسْح ُق ب ُْن ِإبْرا ِهيم واب ُْن أ ِبي
ْ أ ْن َّل أ
ُاإل ْسنا ِد ن ْحوه ِ عمر ج ِميعًا ع ْن ع ْب ِد ْالو َّها
ِ ْ ب الثَّق ِفي ِ ع ْن أيُّوب ِبهذا ُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Umar Al Qawariri
telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu
Qilabah dia berkata, “Ketika di negeri Syam, saya mengikuti suatu
halaqah (majlis ilmu), ternyata di situ juga ada Muslim bin Yasar. Tidak
lama kemudian Abu Al Asy’ats datang.” Abu Qilabah melanjutkan,
“Lalu orang-orang yang ikut bermajlis berkata, “Abu Al ‘Asy’ats telah
datang, Abu Al ‘Asy’ats telah datang!” Ketika ia telah duduk, maka aku
pun berkata kepadanya, “Riwayatkanlah hadits kepada saudara kami,
yaitu hadits Ubadah bin Shamit.” Dia menjawab, “Baiklah. Suatu ketika
kami mengikuti suatu peperangan, dan dalam peperangan tersebut ada
juga Mu’awiyah, lalu kami mendapatkan ghanimah yang melimpah ruah
yang di antaranya adalah wadah yang terbuat dari perak. Mu’awiyah
kemudian menyuruh seseorang untuk menjual wadah tersebut ketika
orang-orang menerima pembagian harta ghanimah, maka mereka
beramai-ramai menawarnya, ternyata hal itu sampai di telinga ‘Ubadah
bin Shamit, maka ia pun berdiri dan berkata, “Sesungguhnya saya
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam
dengan garam kecuali jika dengan takaran yang sama dan tunai,
barangsiapa melebihkan, maka dia telah melakukan praktek riba.”
Lantas mereka menolak dan tidak jadi mengambilnya. Dan hal itu
sampai ke telinga Mu’awiyah, maka dia berdiri dan berkhutbah, dia
berkata, “Kenapa ada beberapa lelaki mereka menyampaikan hadits
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal kami telah
bersama beliau dan kami tidak pernah mendengar hal itu dari beliau?”
lantas Ubadah bin Shamit berdiri dan mengulangmi ceritanya.
Kemudian dia berkata, “Sungguh, kami akan senantiasa
meriwayatkan apa yang kami dengar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, walaupun Mu’awiyah tidak menyukainya.” Atau dia
berkata, “Saya tidak peduli padanya walau harus dipecat dari
tentaranya ketika berada di malam hari yang sangat gelap gulita.”
Hammad mengatakan, “Ini, atau seperti itu.” Telah menceritakan
kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Ibnu Abu Umar semuanya dari
Abdul Wahhab Ats Tsaqafi dari Ayyub dengan isnad seperti ini.” (HR.
Muslim).
. نع ْم: نهيْت النَّاس أ ْن ي ِزيدُوا ال ِنساء صداق ُه ْم على أ ْرب ِع ِمائ ِة د ِْرهم؟ قال،يا أ ِمير ْال ُمؤْ ِم ِنين
:َُّللا يقُول َّ أما س ِم ْعت:ت ْ ي ذ ِلك؟ فقال ُّ وأ:آن؟ قال ِ َّللاُ ِفي ْالقُ ْر
َّ أما س ِم ْعت ما أ ْنزل:ت ْ فقال
:[ قال20 :ارا فال تأ ْ ُخذُوا ِم ْنهُ ش ْيئًا أتأ ْ ُخذُونهُ بُ ْهتانًا و ِإثْ ًما ُم ِبينًا ]النساء ً وآت ْيت ُ ْم ِإ ْحدا ُه َّن قِ ْنط
ِإنِي ُك ْنتُ نه ْيت ُ ُك ْم أ ْن: ث ُ َّم رجع فر ِكب ْال ِم ْنبر فقال.عمر ِ َّ ُك ُّل الن، اللَّ ُه َّم غ ْف ًرا:فقال
ُ اس أ ْفقهُ ِم ْن
َّ فم ْن شاء أ ْن يُ ْع ِطي ِم ْن ما ِل ِه ما أحب،النساء ِفي صدا ِق ِه َّن على أ ْرب ِع ِمائ ِة د ِْرهم ِ ت ِزيدُوا
“Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang manusia dari memberi
mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.”
Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah: “ ….
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali
dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang
nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20) Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah,
semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Kemudia Umar pun
meralat keputusannya. Kemudian naik ke mimbar dan berkata: “dahulu
aku melarang kalian untuk membayar mahar wanita lebih dari 400
dirham, maka (sekarang) barang siapa yang mau (silakan) memberi
dari hartanya sebanyak yang dia suka”. Mengutip Al Hâfidz Abu Ya’la,
Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawiy (baik lagi
kuat)[16].
Dalam riwayat tersebut Umar r.a tidak mengingkari cara wanita tersebut
menasehatinya dengan terang-terangan, begitu pula sahabat yang lain.
Jika menasehati dg terang-terangan mereka fahami haram, tentulah para
sahabat r.a tidak akan membiarkan peristiwa itu tanpa memberi nasehat
pada wanita tersebut, minimal mereka akan menyatakan: “wahai ibu,
ibu memang benar, namun cara ibu itu haram dilakukan”. [M. Taufik
N.T]
***
Referensi :
***
[2] Dalam riwayat lain hal tersebut dilakukan terhadap orang yang
enggan membayar jizyah: .. ‘Iyadl bin Ghanm melihat rakyat jelata yang
dijemur karena masalah jizyah. Lalu ia berkata; saya telah mendengar
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah SWT menyiksa
orang yang menyiksa manusia di dunia.” (HR. Ahmad, No. 14793)
[3] Musnad Imam Ahmad dengan Tahqîq Syua’ib al Arna’uth,
Mu’assasah Ar Risâlah, Cet. I. 1421 H, Maktabah Syâmilah
[4] هشام ابن حكيم ابن حزام ابن خويلد ابن أسد القرشي اْلسدي صحابي ابن صحابي له ذكر
في الصحيحين في حديث عمر حيث سمعه يقرأ سورة الفرقان مات قبل أبيه ووهم من زعم أنه
استشهد بأجنادين
[6] شريح ابن عبيد ابن شريح الحضرمي الحمصي ثقة من الثالثة وكان يرسل كثيرا
[9] 522 ص2 ج-السنةَّلبن أبي عاصم ومعه ظالل الجنة في تخريج السنة
[10] Yakni pada hadits dalam As Sunnah Li Ibni Aby ‘Ashim no 1097:
شر ْيحِ ب ِْن ُ ع ْن، ع ْن ض ْمض ِم ب ِْن ُز ْرعة، ثنا أبِي، حدَّثنا ُمح َّمد ُ ب ُْن إِسْما ِعيل،حدَّثنا ُمح َّمد ُ ب ُْن ع ْوف
ِ َّ سول
َّللا ُ أو ل ْم تسْم ْع ر:اض ب ُْن غ ْنم ِل ِهش ِام ب ِْن ح ِكيم ُ قال ِعي، قال ُج َب ْي ُر ْب ُن نُفَ ْي ٍّر: قال،عبيْد
ُ
ْ ول ِك ْن ِليأ ْ ُخذ،ًس ْلطان فِي أ ْمر فال يُ ْب ِد ِه عالنِية ُ َّ
ُ م ْن أراد أ ْن ي ْنصح ِلذِي:ُصلى هللاُ عل ْي ِه وسلم يقول َّ
ُ و ِإ ََّّل كان ق ْد أدَّى الَّذِي عل ْي ِه له، فإ ِ ْن ق ِبل ِم ْنهُ فذاك، في ْخلُو ِب ِه،ِِبي ِده
:وأبوه إسحاق بن إبراهيم بن زبريق ضعيف جدا ،قال النسائي ” :ليس بثقة ” .وقال أبو داود
(“Danليس بشيء ” وكذبه محدث حمص محمد بن عوف الطائي وهو أعرف بأهل بلده ا ”
ayahnya (ayah Amr) yaitu Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq adalah dhaif
jiddan. An-Nasa`iy mengatakannya, tidak tsiqah, Abu Daud
mengatakannya, “Bukan apa-apa”, bahkan muhaddits daerah Hims yaitu
Muhammad bin Auf Ath-Tha`iy yang merupakan orang yang paling tahu
)tentang penduduk negerinya sendiri menganggapnya pendusta.
وهذا الحديث أصل في إخفاء نصيحة السلطان ،وأن الناصح إذا قام بالنصح على هذا ][15
… الوجه ،فقد برىء وخلت ذمته من التبعة
Menjauhi Zina
الز َنا فَأ َ ْقبَ َل ا ْلقَ ْو ُم ِ َّللاِ ائْذَ ْن ِلي ِبَّ سو َل ُ سلَّ َم فَقَا َل يَا َر َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ ِإ َّن فَتًى شَابًّا أَتَى النَّ ِب َّي
ِ َّ س قَا َل أَت ُ ِحبُّهُ ِأل ُ ِمكَ قَا َل ََل َو
َّللا َ َعلَ ْي ِه فَ َز َج ُروهُ قَالُوا َم ْه َم ْه فَقَا َل ا ْدنُ ْه فَ َدنَا ِم ْنهُ قَ ِريبًا قَا َل فَ َجل َ
سو َل ُ َّللاِ َيا َر َّ اس يُ ِحبُّونَهُ ِأل ُ َّم َها ِت ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ َِل ْبنَ ِتكَ قَا َل ََل َو ُ ََّّللاُ ِفدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن َّ َج َعلَ ِني
َُّللا َّ َّللا َجعَلَنِي ِ َّ اس يُ ِحبُّونَهُ ِلبَ َناتِ ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ ِأل ُ ْختِكَ قَا َل ََل َوُ ََّّللاُ فِدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن َّ َّللاِ َجعَلَنِي َّ
َّللاُ فِدَا َءكَ قَا َل ِ َّ اس يُ ِحبُّونَهُ ِأل َ َخ َواتِ ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ ِل َع َّمتِكَ قَا َل ََل َو
َّ َّللا َجعَلَنِي ُ َّفِدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن
اس ُ ََّّللاُ ِفدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن َّ َّللاِ َجعَ َلنِي َّ اس يُ ِحبُّو َنهُ ِلعَ َّما ِت ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ ِل َخالَ ِتكَ قَا َل ََل َو ُ ََّو ََل الن
ط ِه ْر قَ ْلبَهُ َو َح ِص ْن فَ ْر َجهُ فَلَ ْم َ علَ ْي ِه َوقَا َل اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ذَ ْنبَهُ َو َ ُض َع يَ َده َ يُ ِحبُّونَهُ ِل َخ َاَل ِت ِه ْم قَا َل فَ َو
ٍَّيك ُْن َب ْع ُد ذَ ِلكَ ا ْلفَتَى َي ْلتَفِتُ ِإلَى ش َْيء
Dari Abu Umamah: Sesungguhnya seorang pemuda mendatangi Nabi
Saw lalu berkata; Wahai Rasulullah! Izinkan aku untuk berzina. Orang-
orang mendatanginya lalu melarangnya, mereka berkata; diamlah!.
Rasulullah Saw bersabda; "Mendekatlah." Ia mendekat lalu duduk
kemudian Rasulullah Saw bersabda; "Apa kau menyukainya (orang lain)
berzina dengan ibumu?" pemuda itu menjawab; Tidak, demi Allah
wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikanku sebagai penebus tuan.
Nabi saw bersabda; Orang-orang juga tidak menyukainya berzina
dengan ibu-ibu mereka." Rasulullah Saw bersabda; "Apa kau
menyukainya berzina dengan putrimu?" Tidak, demi Allah wahai
Rasulullah semoga Allah menjadikanku sebagai penebus Tuan. Nabi
saw bersabda; Orang-orang juga tidak menyukai berzina dengan putri-
putri mereka." … Kemudian Rasulullah Saw meletakkan tangan beliau
pada pemuda itu dan berdoa;
َ ض َن ِم ْن أ َ ْب
ص ِار ِه َّن َويَحْ فَ ْظ َن فُ ُرو َج ُه َّن ِ َوقُ ْل ِل ْل ُم ْؤ ِمنَا
ُ ت يَ ْغ
ْ ض
Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi SAW pada saat
haji, lalu datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas
memandang wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka
Rasulullah memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain. (HR. al-
Bukhârî dari Ibn Abbas)
اذا زوج احدكم عبده او اماته او اجيره فل ينظر الى شيئ من عورته فانما تحت السرة الى
الركبة عورة
يق
ِ ط ِر ِ علَ ْيك َُّن ِب َحافَّا
َّ ت ال َ َط ِريق َ ستَأ ْ ِخ ْر َن فَ ِإنَّهُ َل ْي
َّ س لَك َُّن أ َ ْن تَحْ قُ ْق َن ال ْ ا
"Hendaklah kalian memperlambat dalam berjalan (terakhir), sebab
kalian tidak berhak untuk memenuhi jalan. Hendaklah kalian berjalan di
pinggiran jalan." Sehingga ada seorang wanita yang berjalan dengan
menempel tembok, hingga bajunya menggantung tembok karena ia
mendempel tembok." [HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani]
ص ُن ِل ْل َف ْرجِ َو َم ْن َ ْص ِر َوأَح َ ض ِل ْل َب ُّ غ َ َ ع ِم ْن ُك ْم ا ْل َبا َءةَ فَ ْل َيتَ َز َّوجْ فَ ِإنَّهُ أ َ َ ست
َ طا ْ ب َم ْن ا
ِ ش َبا
َّ َيا َم ْعش ََر ال
ص ْو ِم فَ ِإنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء
َّ ست َ ِط ْع فَعَلَ ْي ِه ِبال
ْ َلَ ْم ي
"Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memiliki ba`ah
(kemampuan) hendaklah menikah, sebab itu lebih dapat menjaga
pandangan dan kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaklah
berpuasa, sebab ia bisa menjadi tameng baginya."[HR. Ibnu Majah,
Bukhory, Ahmad, Abu Dawud]
6. Dibolehkannya poligami.
ع فَ ِإ ْن
َ ث َو ُر َباَ اء َم ْثنَى َوث ُ َل ِ س ِ اب لَ ُك ْم ِم َن
َ الن َ ط َ طوا ِفي ا ْل َيتَا َمى َفا ْن ِك ُحوا َما ِ َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّل ت ُ ْق
ُ س
اح َدةً أ َ ْو َما َملَكَتْ أ َ ْي َمانُ ُك ْم ذَ ِلكَ أَ ْدنَى أ َ ََّل تَعُولُوا
ِ ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّل ت َ ْع ِدلُوا فَ َو
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [QS. An
Nisa : 3]
ب َلكَ نَ ْفسِي ُ َّللاِ ِجئْتُ أ َ َهَّ سو َل ُ سلَّ َم فَقَا َلتْ يَا َر َ علَ ْي ِه َوَ َُّللاَّ صلَّى َ َِّللاَّ سو ِل ُ ام َرأَةٌ إِلَى َر ْ َْجا َءت
سو ُل ُ طأ ْ َطأ َ َرَ ص َّو َبهُ ث ُ َّم
َ ظ َر ِفي َها َو َ َّصعَّ َد الن َ َسلَّ َم ف
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا َّ سو ُل ُ ظ َر ِإلَ ْي َها َر َ َقَا َل فَن
ستْ فَقَا َم َ َش ْيئ ًا َجل َ ض فِي َها ِ سهُ فَ َل َّما َرأَتْ ا ْل َم ْرأَةُ أَنَّهُ لَ ْم يَ ْق َ ْسلَّ َم َرأ َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا َّ
َّللاِ إِ ْن لَ ْم يَك ُْن لَكَ بِ َها َحا َجةٌ فَ َز ِوجْ نِي َها فَقَا َل َو َه ْل ِع ْن َدكَ ِم ْن َّ سو َل ُ ص َحابِ ِه فَقَا َل يَا َر ْ َ َر ُج ٌل ِم ْن أ
ش ْيئ ًا فَذَ َه َب ث ُ َّم َر َج َع َ ظ ْر َه ْل ت َ ِج ُد ُ َّللاِ فَقَا َل ا ْذ َه ْب ِإ َلى أ َ ْه ِلكَ فَا ْن َّ سو َل ُ َّللاِ يَا َر َّ ش َْيءٍّ قَا َل ََل َو
ظ ْر َولَ ْو َخات َ ًما ِم ْن َحدِي ٍّد ُ سلَّ َم ا ْن َ علَ ْي ِه َو َ َُّللاَّ صلَّى َ َّللاَّ سو ُل ُ ش ْيئ ًا فَقَا َل َر َ َُّللا َما َو َج ْدت ِ َّ فَقَا َل ََل َو
س ْه ٌل َما َ َّللاِ َو ََل َخات َ ًما ِم ْن َحدِي ٍّد َولَ ِك ْن َهذَا ِإ َز ِاري قَا َل َّ سو َل ُ َّللاِ َيا َر َّ ب ث ُ َّم َر َج َع فَقَا َل ََل َو َ فَذَ َه
ست َهُ لَ ْم يَك ُْن ْ ص َن ُع ِب ِإ َز ِاركَ إِ ْن لَ ِب ْ َ سلَّ َم َما ت َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا َّ سو ُل ُ صفُهُ فَقَا َل َر ْ ِلَهُ ِردَا ٌء فَلَ َها ن
ُسه ُ طا َل َمجْ ِل َ الر ُج ُل َحتَّى إِذَا َّ س َ َعلَ ْيكَ ِم ْنهُ ش َْي ٌء فَ َجل َ ستْهُ لَ ْم يَك ُْن َ ِعلَ ْي َها ِم ْنهُ ش َْي ٌء َوإِ ْن َلب َ
َ َ َ
َسلَّ َم ُم َو ِليًا فأ َم َر ِب ِه ف ُد ِع َي فلَ َّما َجا َء قَا َل َماذَا َمعَكَ َ ع َل ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا
َّ سو ُل َ
ُ قَا َم ف َرآهُ َر
ظه ِْر قَ ْلبِكَ قَا َل نَعَ ْم قَا َل َ ع َّد َد َها فَقَا َل ت َ ْق َر ُؤ ُه َّن ع َْن َ ورةُ َكذَا َ س ُ ورةُ َكذَا َو َ س ُ آن قَا َل َم ِعي ِ ِم ْن ا ْلقُ ْر
آن ِ ا ْذ َه ْب فَقَ ْد َملَّ ْكت ُ َك َها ِب َما َم َعكَ ِم ْن ا ْلقُ ْر
Seorang wanita datang menemui Rasulullah saw dan berkata, "Wahai
Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku untuk Anda." Lalu
Rasulullah saw memandangi wanita itu, beliau arahkan pandangannya
ke atas dan kebawah lalu beliau menundukkkan kepalanya. Maka wanita
itu melihat bahwa Rasulullah saw tidak memberi putusan apa-apa terkait
dengan dirinya, maka ia pun duduk. Tiba-tiba seorang sahabat berdiri
dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat kepada
wanita itu maka nikahkanlah aku dengannya." Maka beliau pun
bertanya: "Apakah kamu mempunyai sesuatu (untuk dijadikan mahar)?"
sahabat itu menjawab, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah." Beliau
bersabda: "Pergilah kepada keluargamu, dan lihatlah apakah ada
sesuatu." Laki-laki itu pun pergi dan kembali seraya berkata, "Tidak,
demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan sesuatu." Beliau
bersabda lagi: "Lihatlah, meskipun yang ada hanyalah cincin dari besi."
Laki-laki itu pergi laki kemudian kembali dan berkata, "Tidak, demi
Allah wahai Rasulullah meskipun hanya cincin besi. Akan tetapi aku
mempunya kain ini." Sahl berkata; Ia tidak memiliki kain kecuali
setengah. Maka Rasulullah saw pun bersabda: "Apa yang dapat kamu
lakukan dengan kainmu itu. Jika kamu memakainya maka ia tidak akan
kebagian, dan jika ia memakainya maka tidak akan kebagian." Akhirnya
laki-laki itu duduk hingga lama, lalu ia beranjak. Kemudian Rasulullah
saw pun melihatnya hendak pulang. Maka beliau memerintahkan
seseorang agar memanggilnya. Ketika laki-laki itu datang, beliau
bertanya: "Surat apa yang kamu hafal dari Al Qur`an." Ia berkata, "Yaitu
surat ini." Ia menghitungnya. Beliau bersabda: "Apakah kamu
menghafalnya dengan baik?" laki-laki itu menjawab, "Ya." Akhirnya
beliau bersabda: "Sesungguhnya aku telah menikahkanmu dengan
wanita itu dengan mahar hafalan Al Qur`anmu." [HR. Bukhory]
ًس ُرهُ ُم ْؤنَة
َ َاح بَ َركَةً أ َ ْي َ إِ َّن أ َ ْع
ِ ظ َم النِك
Sesungguhnya nikah yang paling besar berkahnya adalah yang paling
ringan maharnya [HR. Ahmad, An Nasa’i, didalam sanadnya ada Isa bin
Maimun, ia di dlo’ifkan oleh Ibn Hajar]
َّللا إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ِ اح ٍّد ِم ْن ُه َما ِمائ ََة َج ْل َد ٍّة َو ََل تَأ ْ ُخ ْذ ُك ْم ِب ِه َما َرأْفَةٌ فِي د
ِ َّ ِين َّ الزانِيَةُ َو
ِ الزانِي فَاجْ ِلدُوا ُك َّل َو َّ
ينَ ِطائِ َفةٌ ِم َن ا ْل ُم ْؤ ِمن
َ عذَابَ ُه َما ْ َاَّللِ َوا ْليَ ْو ِم ْاآل ِخ ِر َو ْلي
َ ش َه ْد َ ُت ُ ْؤ ِمن
َّ ِون ب
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-
orang yang beriman. [QS. An Nûr : 2]
Rasulullah bersabda:
إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب هللا
Jika telah nampak dengan jelas zina dan riba dalam suatu kota, maka
sesungguhnya mereka telah menghalalkan adzab Allah atas mereka
(HR. Al Hakim dalam al Mustadrak, ia mengatakan hadits ini sanadnya
sahih menurut Bukhari dan Muslim dan mereka berdua tidak
mengeluarkannya, Adz Dzahabi juga men sahihkannya). Allahu Ta’ala
A’lam.
Garis besarnya ada dua pendapat ‘ulama yang berbeda dalam menyikapi
mathla’ (tempat terbitnya hilal).
علَ َّي َ ست ُ ِه َّلْ ضيْتُ َحا َجت َ َها َوا َ َ فَقَد ِْمتُ الشَّا َم فَق: ض ِل بَعَثَتْهُ إلَى ُمعَا ِويَ َة بِالش َِّام فَقَا َل ْ َأ َ َّن أ ُ َّم ا ْلف
َ سأَلَنِي
ع ْب ُد َ َشه ِْر ف َّ آخ ِر ال ِ ضا ُن َوأَنَا ِبالش َِّام فَ َرأَيْتُ ا ْل ِه َل َل لَ ْي َلةَ ا ْل ُج ُمعَ ِة ث ُ َّم قَد ِْمتُ ا ْل َمدِي َنةَ فِي َ َر َم
َ أ َ ْنت: فَقَا َل، َرأ َ ْينَاهُ لَ ْي َلةَ ا ْل ُج ُم َع ِة: ُ َمتَى َرأ َ ْيت ُ ْم ا ْل ِه َل َل؟ فَقُ ْلت: ث ُ َّم ذَك ََر ا ْل ِه َل َل فَقَا َل،اس َ َّللاِ ْب ُن
ٍّ َّعب َّ
ت فَ َل ِ س ْب َ
َّ لَ ِكنَّا َرأ َ ْينَاهُ لَ ْيلَة ال: فَ َقا َل،ُصا َم ُم َعا ِو َية َ صا ُموا َو َ اس َو ُ َّ َو َرآهُ الن، نَ َع ْم: َُرأ َ ْيتَهُ؟ فَقُ ْلت
، ََل: ام ِه؟ فَ َقا َل ِ َ أ َ ََل ت َ ْكت َ ِفي ِب ُر ْؤيَ ِة ُمعَا ِويَةَ َو ِصي: ُ فَقُ ْلت،ُين أ َ ْو نَ َراه
َ ِصو ُم َحتَّى نُك ِْم َل ث َ َلث
ُ َنَ َزا ُل ن
سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َّللا
ِ َّ سو ُل ُ َه َكذَا أ َ َم َرنَا َر
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di
Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan
Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih
berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku
memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu
bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya,
‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada
malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’
Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka
berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di
Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa
hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga
kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah engkau
berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab,
‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan
kepada kami.
Berkaitan dengan 2 nash ini dan nash lain yang semakna, muncul
persoalan:
Adapun Pihak Kedua, yakni para ‘ulama yang menyatakan bahwa tiap
wilayah menggunakan ru’yatnya sendiri-sendiri menggunakan dalil
point b). Selanjutnya mereka berselisih tentang berapa ukuran jauh/dekat
yang membolehkan berbeda, padahal tidak ada nash yang menyatakan
hal tersebut. Mereka juga menyatakan akal bisa mentakhsis keumuman
dalil ru’yat hilal diqiyaskan dengan mathla’ matahari dimana perputaran
matahari menyebabkan perbedaan waktu shalat. Begitu juga mereka
memandang apa yang dinyatakan Ibnu Abbas dalam pernyataan pada
dalil b) ketika ditanya:
سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا
َّ سو ُل ِ َأ َ ََل ت َ ْكت َ ِفي ِب ُر ْؤ َي ِة ُم َعا ِويَ َة َو ِصي
ُ َه َكذَا أ َ َم َرنَا َر، ََل: ام ِه ؟ فَقَا َل
‘Tidak cukupkah engkau berpedoman pada ru’yat dan puasa
Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah
Saw telah memerintahkan kepada kami
Dan (Sabda beliau SAW) ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk suatu
daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda
beliau ini merupakan Khitab (seruan) yang tertuju kepada siapa saja di
antara kaum muslimin”
Di sinilah letak syubhat hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf.
Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan hadits ini dengan hadits lain
yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan
ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang
berkata:
Kesimpulan Penulis
)[4] Ini menurut keterangan al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H
dalam Kitabnya, Al Istidzkâr (3/282), beliau menulis:
اختلف ْالعُلما ُء فِي ُح ْك ِم ِهال ِل رمضان أ ْو ش َّوال يراهُ أ ْه ُل بلد دُون غي ِْر ِه ْم فكان ما ِلكٌ فِيما و ْ
اس أ َّن أ ْهل بلد رأ ْوهُ فعل ْي ِه ُم ْالقضا ُء ِلذ ِلك رواهُ عنه بن ْالقا ِس ِم و ْال ِم ْ
ص ِريُّون ِإذا ثبت ِع ْند النَّ ِ
شافِ ِعي ِ و ْال ُكوفِ ِيين ْالي ْو ِم الذي أفطروه وصيامه غي ِْر ِه ْم ِب ُرؤْ ية ص ِحيحة و ُهو ق ْو ُل اللَّ ْي ِ
ث وال َّ
وأ ْحمد
al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany (wafat 852 H) dalam Fathul Bâry
(4/123) juga menulis :
اعتبار اختالف المطالع في ثبوت Syaikh Muhammad Ali Farkus al Jazairi dalam
menulis:اْلهلة و آراء الفقهاء فيه
فاْلول :يذهب إلى القول بتوحيد الرؤية وَّل يعتبر اختالف مطالع القمر في ثبوت اْلهلة ،وبهذا
قال الجمهور ،وهو المعتمد عند الحنفية ،ونسبه ابن عبد البر إلى اإلمام مالك فيما رواه عنه ابن
القاسم والمصريون ،كما عزاه إلى الليث والشافعي والكوفيين وأحمد ،وبه قال ابن تيمية
والشوكاني وغيرهم من أهل التحقيق ،ويترتب على هذا القول وجوب القضاء إذا بدأ أهل بلد
.صومهم اليوم الذي يلي رؤية الهالل في بلد آخر
اعتبار اختالف المطالع في ثبوت اْلهلة و آراء الفقهاء فيه للشيخ محمد علي فركوس ][7
الجزائري
[8] Naylul Authar, 4/230
[10] Beda 1 jam dalam derajat garis Bujur = 360o/24 jam = 15o/jam.
Selisih garis bujur Madinah dg Syam = 3o18’ = 3,3o. Selisih waktu
Madinah dg Syam = 3,3o/15o jam = 0,22 jam = 13 menit 12 detik
ُعلَ ْي ُك ْم فَا ْقد ُُروا لَه ُ َوَلَ ت ُ ْف ِط ُروا َحتَّى تَ َر ْوهُ فَ ِإ ْن،صو ُموا َحتَّى ت َ َر ُوا ا ْل ِهلَل
َ غ َّم ُ َ َلَ ت
Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat bulan dan janganlah
kamu berbuka sampai kamu melihatnya. Jika (hilalnya) tertutup awan
maka perkirakanlah (HR. Bukhory), dalam riwayat Muslim ada
tambahan sebelumnya:
ًون لَ ْيلَة
َ س ٌع َو ِعش ُْر
ْ ِشه ُْر ت
َّ … ال
satu bulan itu dua puluh sembilan malam …
Satu bulan itu dua puluh sembilan malam, maka janganlah kamu
berpuasa sampai kamu melihat hilal, jika (hilalnya) tertutup awan maka
sempurnakanlah hitungan (sya’ban) 30 hari.
ُعلَ ْي ِه ِر ْزقُه
َ َو َم ْن قُد َِر
Yang menafsirkan seperti ini adalah imam Ahmad bin Hanbal dan yang
lainnya yang membolehkan puasa di hari syak[12] jika hari mendung
sehingga hilal tidak terlihat[13].
َوت ُ َر ُّد،عد َِم ُر ْؤ َي ِة ا ْل ِهلَل لَ ْم يُ ْقبَل قَ ْول ا ْلعُدُول ِب ُر ْؤيَتِ ِه َ اب ا ْلقَ ْط ِع ُّي
َ علَى ُ سَ ِإذَا دَل ا ْل ِح
ش َها َدت ُ ُه ْم
َ [14]
[7] ،270 / 6 المجموع شرح المهذب، – النووي225 – 244 / 1 رسائل ابن عابدين
( بيروت، )دار الفكر356 / 3 إرشاد الساري: والقسطالني،154 / 2 والزرقاني شرح الموطأ
.
[14] 49 / 2 القليوبي.
1. Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau
berkata,
ُاط َمة ِ َين َولَ َدتْهُ ف
َ ع ِلي ٍّ ِح َ سلَّ َم أَذَّ َن فِي أُذُ ِن ا ْل َح
َ س ِن ْب ِن َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َّللا ُ َرأَيْتُ َر
ِ َّ سو َل
ص َل ِة
َّ بِال
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah
melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan
Tirmidzi) – At Tirmidzi mengatakan : ini adalah hadits hasan shahih. Al
Hakim juga meriwayatkan hadits ini tanpa lafadz “bish shalât” dan
beliau menyatakan bahwa hadits ini shahih menurut syarat Bukhary dan
Muslim walaupun mereka berdua tidak mengeluarkannya, namun
pernyataan al Hakim ini diberi catatan oleh adz Dzahabi bahwa ‘Âsim
bin ‘Ubaidillah (salah satu perowi hadits ini) adalah dlo’if. Dalam
catatan kaki Sunan Abi Dawud, juga Sunan At Tirmidzi Al Albani
menilai hadits ini hasan[1], namun mendlo’ifkannya di kitabnya Silsilah
Adh Dho’ifah no. 321.
س َرى لَ ْم تَض َُّرهُ أ ُ ُّم َّ َم ْن ُو ِل َد َلهُ َم ْولُو ٌد فَأَذَّ َن فِي أُذُنِ ِه ا ْليُ ْمنَى َوأَقَا َم ال
ْ ُص َلةَ فِي أُذُنِ ِه ا ْلي
ان ِ َالص ْبي
ِ
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan
dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan[2] tidak
akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam
musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Al Haitsami
berkata dalam kitabnya Majma’uz Zawa’id bahwa dalam sanadnya ada
Marwan bin Sâlim al Ghifari dan dia adalah matrûk (perawi yang
ditinggalkan). Al Hafidz Al Iraqi (w. 806 H) menyatakan bahwa hadits
ini dlo’if.
ْ ُ َوأَقَا َم فِي أُذُنِ ِه ا ْلي، فَأَذَّ َن فِي أُذُنِ ِه ا ْليُ ْمنَى،َع ِلي ٍّ يَ ْو َم ُو ِلد
س َرى َ أَذَّ َن فِي أُذُ ِن ا ْل َح
َ س ِن ْب ِن
Intinya: ada perbedaan pendapat para ahli hadits dalam menilai hadits
tentang adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir, ini merupakan
ijtihad para ‘ulama, yang mana suatu ijtihad tidak menggugurkan
hasil ijtihad yang lain. Dalam hal ini tidak mutlak apa yang didlo’ifkan
oleh satu ‘ulama berarti pasti hadits tsb dlo’if (selama masih ada ‘ulama
ahli hadits lain yang menerima riwayat tsb), dan dalam kasus ini tidak
bisa dikatakan bahwa berbeda pendapat dalam masalah ini adalah
mutlak bid’ah (karena menurutnya yang di bid’ahkan menggunakan dalil
yang lemah).
اب ذَ ِلكَ ع َْن َ َستِحْ ب ْ َو َحكَى فِي ا ْلبَحْ ِر ا.ص ِبي ِ ِع ْن َد ِو ََل َدتِ ِه َّ ِين فِي أُذُ ِن ال ِ اب التَّأْذ
ُ َستِحْ ب
ْ فِي ِه ا
ِ ع ْب ِد ا ْل َع ِز
يز َ ع َم َر ْب ِن ْ ُاْلقَا َم ِة فِي ا ْلي
ُ س َرى بِ ِف ْع ِل َ َواحْ تَ َّج،ِس ِن ا ْلبَص ِْري
ِ ْ علَى َ ا ْل َح
“Dalam hadits ini ada (dalil) tentang disukainya adzan ditelinga bayi
saat lahirnya. Dan diceritakan dalam kitab Al-Bahr disukainya adzan
tersebut dari Hasan al-Bashri, dan berhujjah tentang iqamat pada
telinga yang kiri terhadap perbuatan Umar bin Abdul Aziz”
Penutup
Berhentilah untuk saling cela dalam masalah ini, Imam Malik saja yang
menganggap hal ini bid’ah (bid’ah makruh) tidak bermaksud
mengharamkannya, beliau hanya tidak menyukainya, kalimat yang
tertulis berikut kan tidak bermakna haram:
ًور َوا ْعت َ َب َر َها ِب ْدعَة
َ … َوك َِر َه ا ْْل َما ُم َما ِلكٌ َه ِذ ِه األْ ُم
Sangat disesalkan kalau ada da’i yang menyatakannya sebagai bid’ah,
dan mereka menganggapnya setiap bid’ah sesat, shg mengadzankan bayi
juga bid’ah yang sesat. Allahu Ta’ala A’lam.
[2] ( وأم الصبيان ِهي التابعة من ْال ِجنummu shibyan adalah jin perempuan yang
senantiasa menyertai) – penjelasan di kitab Al Badrul Munir, juga
Talkhîsul Habîr
ث فَقَا َل ِإ ْن َو َج ْدت ُ ْم فُ َلنًا َوفُ َلنًا فَأَحْ ِرقُو ُه َما ِبالنَّ ِار ٍّ سلَّ َم فِي بَ ْع َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا
َّ سو ُل ُ بَعَثَنَا َر
ين أ َ َر ْدنَا ا ْل ُخ ُرو َج إِنِي أَ َم ْرت ُ ُك ْم أ َ ْن تُحْ ِرقُوا فُ َلنًا َ سلَّ َم ِح َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َّللا
ِ َّ سو ُلُ ث ُ َّم قَا َل َر
َّللاُ فَ ِإ ْن َو َج ْدت ُ ُمو ُه َما فَا ْقتُلُو ُه َما
َّ ِب ِب َها ِإ ََّل َ ََّوفُ َلنًا َو ِإ َّن الن
ُ ار ََل يُ َعذ
Rasulullah shallawahu ‘alaihi wasallam mengutus kami dalam satu
sariyah lalu Beliau berkata : ” jika kalian menemukan fulan dan fulan
maka bakarlah keduanya dengan api, kemudian ketika kami hendak
berangkat Rasulullah saw berkata : “sesungguhnya aku telah
memerintahkan kalian untuk membakar fulan dan fulan, sesungguhnya
api tidak pantas untuk menyiksa dengannya kecuali Allah, maka jika
kalian menemukan mereka bunuhlah mereka berdua”
2. Riwayat Al-Bazzar
سمعت أبا: فقالت، فأخذت برغوثا ً فألقيته في النار، كنت عند أم الدرداء رضي هللا عنها
َل يعذب بالنار إَل رب النار: قال رسول َّللا صلى هللا عليه وسلم: “ الدرداء يقول.
انِ طلَقَ ِل َحا َج ِت ِه فَ َرأ َ ْينَا ُح َّم َرةً َمعَ َها فَ ْر َخ َ س َف ٍّر فَا ْن
َ سلَّ َم فِي
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا
َّ سو ِل ُ ُكنَّا َم َع َر
سلَّ َم فَقَا َل َم ْن فَ َج َع َ ع َل ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ ش َف َجا َء النَّ ِب ُّي ُ فَأ َ َخ ْذنَا فَ ْر َخ ْي َها فَ َجا َءتْ ا ْل ُح َم َرةُ فَ َجعَلَتْ تُفَ ِر
َه ِذ ِه بِ َولَ ِد َها ُردُّوا َولَ َد َها إِلَ ْي َها َو َرأَى قَ ْريَةَ َن ْم ٍّل قَ ْد َح َّر ْقنَا َها فَقَا َل َم ْن َح َّرقَ َه ِذ ِه قُ ْلنَا نَحْ ُن قَا َل
ب النَّ ِار َ ِإنَّهُ ََل َي ْن َب ِغي أ َ ْن يُ َعذ
ُّ ِب ِبالنَّ ِار ِإ ََّل َر
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
suatu perjalanan, lalu beliau pergi untuk keperluannya. Kami lalu
melihat seekor burung bersama dua anaknya, kami lantas mengambil
dua anaknya hingga menjadikan burung tersebut terbang berputar-
putar di atas kepala kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian
datang dan bertanya: “Siapa yang menyakiti burung ini dengan
mengambil anaknya? Kembalikanlah anaknya kepadanya.” Setelah itu
beliau juga melihat sarang semut yang telah dibakar, beliau pun
bertanya: “Siapa yang membakar sarang ini?” Kami menjawab,
“Kami.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya tidak pantas bagi seseorang
menyiksa dengan api kecuali pemilik api (Allah).”
Masih di kitab yang sama, alasan ini dibantah oleh Ibnul Munir dan yang
lainnya:
ُ سو َخةً َك َما تَقَ َّد َم َوتَجْ ِو
يز ُ صا أ َ ْو َم ْنً صا َ صةَ ا ْلعُ َرنِ ِي
َ ِين كَا َنتْ ق َّ ََِل ُح َّجةَ فِي َما ذُ ِك َر ِل ْل َج َو ِاز ِأل َ َّن ق
صون والمراكب ُم َقيدَة بالضرورة ُ ص َحابِي ٍّ آخر وقصة ا ْل ُح َ ض بِ َم ْن ِع
ٌ ار َ َص َحابِي ِ ُمع َّ ال
Apa yang disebutkan untuk membolehkannya bukanlah hujjah karena
sesungguhnya kisah ‘Uraniyyin itu adalah dalam hal qishos (balasan
setimbang dengan perbuatan mereka) atau telah mansukh (terhapus
hukumnya), dan pembolehan shahabat bertentangan dengan larangan
shahabat yang lain, dan kisah benteng dan kapal itu terikat dengan
kondisi darurat…
ُاس فَ َقا َل لَ ْو ُك ْنت َ ع ْنهُ ِب َزنَا ِد َق ٍّة فَأَحْ َرقَ ُه ْم فَبَلَ َغ ذَ ِلكَ ا ْب َن
ٍّ َّعب َ َُّللا َ ع َْن ِعك ِْر َمةَ قَا َل أُتِ َي
َّ ع ِل ٌّي َر ِض َي
َّللاِ َولَقَت َ ْلت ُ ُه ْم ِلقَ ْو ِل
َّ ب ِ سلَّ َم ََل تُعَ ِذبُوا بِعَذَا َ علَ ْي ِه َو َ َُّللاَّ صلَّىَ َِّللا ُ أَنَا لَ ْم أُحْ ِر ْق ُه ْم ِلنَ ْهي ِ َر
َّ سو ِل
ُسلَّ َم َم ْن َب َّد َل دِينَهُ فَا ْقتُلُوه َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللاَّ سو ِل ُ َر
Dari Ikrimah berkata : telah dihadapkan kepada Ali radhallahu anhu
orang-orang zindiq[1] lalu beliau membakar mereka, namun berita
tersebut sampai kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhu lalu beliau
berkata : ” seandainya aku, tentu aku tidak akan membakar mereka
karena Rasulullah saw melarangnya dalam sabda beliau : “janganlah
kalian menyiksa dengan siksaan Allah” tapi tentulah aku akan
membunuh mereka berdasarkan sabda Rasulullah saw : ” barangsiapa
mengganti agamanya maka bunuhlah”.
ب َوفِي ِ ت ِبال َّن ِار ِألَنَّهُ ِم ْن الت َّ ْعذِي ِ سائِ ِر ا ْل َحش ََرا َ ث َو ِ َوا ْلبَ َرا ِغي،ق ِ ََو ِلذَا يُك َْرهُ قَتْ ُل ا ْلقَ ْم ِل َوا ْلب
َ ض
ط َّر ْ ُ َو َهذَا َما لَ ْم ي:ٍّاجي ِ َب النَّ ِار» قَا َل ا ْل ُج ُزو ِل ُّي َوا ْب ُن ن ُّ ِب بِالنَّ ِار َّإَل َرُ ث « ََل يُعَذ ِ ا ْل َحدِي
ًشقَّة َ ق ذَ ِلكَ ِبالنَّ ِار ِأل َ َّن فِي ت َ ْن ِقيَتِ َها ِبغَ ْي ِر النَّ ِار َح َر ًجا َو َم ُ ِل َكثْ َرتِ ِه ْم فَيَ ُج
ُ وز َح ْر
Dalam hal membunuh nyamuk dengan api (termasuk raket nyamuk?),
penulis merasa lebih sreg dengan pendapat yang tidak mengharamkan.
Allahu A’lam.
Rujukan :
Beri peringkat:
Sebagian yang lain berpendapat bahwa orang yang mati syahid boleh
disholatkan, dan juga boleh tidak disholatkan.
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra,
bahwasanya ia berkata, “Sesungguhnya, para syuhada’ Uhud tidak
dimandikan, dan dikuburkan beserta dengan darahnya. Dan mereka
tidak disholatkan.”[HR. Imam Ahmad]
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Uqbah bin
‘Amir mengenai jenazah orang yang mati di medan Uhud.
ينَ س ِنِ علَى قَتْ َلى أ ُ ُح ٍّد بَ ْع َد ث َ َمانِي َ سلَّ َم َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا
َّ سو ُل ُ صلَّى َر َ َام ٍّر قَا َل ِ ع ْقبَةَ ْب ِن ع ُ ع َْن
َ ط َوأَنَا
علَ ْي ُك ْم ش َِهي ٌد ٌ ط َل َع ا ْل ِم ْن َب َر فَقَا َل ِإنِي َب ْي َن أ َ ْيدِي ُك ْم َف َرَ ت ث ُ َّم ِ اء َو ْاأل َ ْم َوا َ
ِ كَا ْل ُم َودِعِ ِل ْألحْ َي
علَ ْي ُك ْم أ َ ْن تُش ِْركُوا
َ امي َهذَا َوإِنِي لَسْتُ أ َ ْخشَى ِ ظ ُر إِلَ ْي ِه ِم ْن َم َقُ ض َوإِنِي َأل َ ْن ُ َوإِ َّن َم ْو ِع َد ُك ْم ا ْل َح ْو
صلَّى َ َّللا
ِ َّ سو ِل ُ ظ ْرت ُ َها إِلَى َر ِ ْسو َها قَا َل فَكَانَت
َ َآخ َر نَ ْظ َر ٍّة ن ُ َع َل ْي ُك ْم ال ُّد ْنيَا أ َ ْن تَنَاف
َ َولَ ِكنِي أ َ ْخشَى
سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو
َ َُّللا
َّ
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra diriwayatkan, bahwasanya Nabi saw
mensholatkan jenazah yang gugur di medan Uhud setelah 8 tahun dari
kematian mereka, seperti orang yang hendak mengucapkan perpisahan
kepada orang-orang yang masih hidup dan yang sudah mati. Lalu, beliau
naik ke atas mimbar dan bersabda, “Sesungguhnya aku berada di
hadapan kalian dengan sebuah pahala. Dan aku wajib memberikan
kesaksian kepada kalian. Sungguh, tempat kembali kalian adalah telaga.
Aku telah menyaksikannya dari tempatku ini, dan aku tidak pernah
khawatir kalian akan musyrik. Akan tetapi, yang aku khawatirkan atas
kalian adalah berlomba-lomba dalam urusan dunia.” Jabir bin
‘Abdullah berkata, “Itulah terakhir kali aku menyaksikan Rasulullah
saw.”[HR. Imam Bukhari]
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Salam
dari seorang shahabat Rasulullah saw, bahwasanya ia berkata, “Kami
berhenti di sebuah perkampungan Juhainah. Lalu, ada seorang laki-laki
dari kalangan kaum Muslim mencari seorang laki-laki dari suku
Juhainah. Setelah ketemu, ia segera menebas laki-laki Juhainah
tersebut. Sayangnya, tanpa disadarinya pedangnya mengenai dirinya
sendiri. Nabi saw bersabda, “Wahai kaum Muslim, carilah
saudaramu.” Para shahabat segera mencari laki-laki tersebut. Namun,
mereka menemukan laki-laki itu sudah mati. Rasulullah saw segera
menyelimuti jenazah laki-laki itu dengan bajunya yang berlumuran
darah. Lalu Nabi mensholati laki-laki itu dan menguburkannya. Para
shahabat bertanya, “Apakah laki-laki itu syahid? Nabi saw menjawab,
“Benar. Dan saya menjadi saksi bagi dirinya.”[HR. Imam Abu Dawud]
Juga tidak boleh dinyatakan, bahwa hadits yang menetapkan sholat bagi
syuhada’ telah menasakh hadits-hadits yang menafikan sholat bagi
syuhada’. Alasannya, ada sebuah riwayat yang dituturkan oleh Ibnu
Hibban, “Selanjutnya beliau saw masuk ke dalam rumahnya, dan tidak
pernah keluar hingga Allah swt mencabut ruhnya.”[HR. Ibnu Hibban].
Tidak bisa dikatakan seperti itu. Sebab, hadits yang datang terakhir tidak
secara otomatis menasakh hadits-hadits yang datang sebelumnya. Akan
tetapi, harus ada qarinah (indikator) lain yang menunjukkan adanya
nasakh. Sedangkan di dalam masalah ini tidak ada satupun riwayat yang
menunjukkan adanya nasakh mansukh. Walhasil, semua riwayat, baik
yang menafikan dan menetapkan sholat bagi syuhada’ absah dijadikan
sebuah hujjah. Atas dasar itu, riwayat-riwayat yang menafikan sholat
jenazah harus dibawa ke arah hukum jaiz (boleh), demikian juga
riwayat-riwayat yang menetapkan sholat bagi syuhada’. Oleh karena itu,
Rasulullah saw tidak mensholati syuhada’ Badar, Khandaq, dan Khaibar.
Sebab, hukum tidak mensholati jenazah syuhada bukanlah wajib, akan
tetapi jaiz. Allahu A’lam.
[2] Imam Malik, al-Mudawwanah, juz 1/183. Lihat juga Hasyiyyah al-
Dasuqiy, juz 1/426.
غ ْز َو ِة َكذَا َو َكذَا َ َّللاِ ا ْكتُتِبْتُ فِي ُ ام َرأَةٌ إِ ََّل َو َمعَ َها َمحْ َر ٌم فَقَا َم َر ُج ٌل فَ َقا َل يَا َر
َّ سو َل َ ُ ََل ت
ْ سافِ َر َّن
ْ ام َرأَتِي َحا َّجةً َقا َل ا ْذ َه ْب فَ ُح َّج َم َع
َام َرأ َ ِتك ْ َْو َخ َر َجت
… “Janganlah seorang wanita melakukan safar (perjalanan jauh)
melainkan bersama mahram”. Ada seorang laki-laki yang berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak pergi haji sedangkan
aku telah mewajibkan (mendaftarkan) diriku untuk mengikuti perang ini
dan ini. Nabi bersabda, “Pergilah haji bersama isterimu”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Imam Bukhary meriwayatkan dari Adi bin Hatim r.a , bahwa Nabi saw
bersabda:
،ٌطا َلتْ ِبكَ َحيَاة َ َقا َل «فَ ِإ ْن،ع ْن َها َ ُ َو َق ْد أ ُ ْن ِبئْت، َل ْم أ َ َر َها: ُيرةَ؟ قُ ْلت َ الح ِ َ َه ْل َرأَيْت،ِي
ُّ عد
َ يَا
َّ اف أ َ َحدًا إِ ََّل
ََّللا ُ وف ِبال َك ْعبَ ِة َلَ ت َ َخ
َ طُ َ َحتَّى ت،ير ِة
َ الح ِ ظ ِعي َنةَ ت َ ْرت َ ِح ُل ِم َن
َّ لَت َ َريَ َّن ال
… “Wahai “Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al Hirah?”. Aku
jawab; “Aku belum pernah melihatnya namun aku pernah mendengar
beritanya, Rasulullah bersabda:” Jika engkau berumur panjang maka
engkau pasti akan melihat seorang perempuan yang mengadakan
perjalanan (jauh) dari Hirah hingga dia bertawaf mengelilingi Ka’bah
tanpa rasa takut kecuali hanya kepada Allah… (HR. Bukhory)
[1] Yang dibahas di sini adalah haji wajib, bukan haji yang kedua atau
‘umroh
***
اء َّ ط ْالخا
ِ صةُ بِالنِس ْ
ُّ ال:ال ِق ْس ُم الثَّانِي:
ُ ش ُرو
24 – ِان َّل بُدَّ ِم ْن ُهما ِلك ْي ي ِجب ْالح ُّج على ْالم ْرأة
ِ وط ا َِّل ْستِطاع ِة ش ْرط ُ ص النِساء ِم ْن
ِ ش ُر ُّ ما ي ُخ
ان ِإلى ِخصال ش ْر ِط ا َِّل ْس ِتطاع ِة الَّ ِتي ذك ْرناها
ِ يُضاف.
وعد ُم ْال ِعدَّة،الز ْو ُج أ ِو ْالم ْحر ُم
َّ :ان ُهما َّ ان ال
ِ ش ْرط ِ ِِهذ.
ُ لز ْو ُج أ ِو ْالم ْحر ُم اْل ْ ِم
ين َّ أ َّوَّلً – ا:
ت ْالمسافةُ بيْنها – 25 صحب ْالم ْرأة فِي سف ِر ْالحجِ ز ْو ُجها أ ْو م ْحر ٌم ِم ْنهاِ ،إذا كان ِط أ ْن ي ْيُ ْشتر ُ
سف ِر ،وإِلى هذا ذهب ْالحن ِفيَّةُ و ْالحنابِلةُ ص ِر فِي ال َّ ][1وبيْن م َّكة ثالثةُ أيَّام ،و ِهي مسِيرة ُ ْالق ْ
(3) .
َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم قالَّ :ل تُسا ِف ُر ْالم ْرأة ُ ثالثًا ِإَّلَّ
َّللا صلَّى َّ عمر أ َّن ر ُ
سول َّ ِ واسْتدلُّوا ِبحدِي ِ
ث اب ِْن ُ
(1) .ومعها ذُو م ْحرم
شافِ ِعيَّةُ و ْالما ِل ِكيَّةُ فس َّو ُ
غوا ا َِّل ْستِبْدال ب سع ال َّ ْ
:الم ْحر ِمِِوتو َّ
ت نِسْوة ً ِثقات :اثْنتي ِْن فأ ْكثر تأْم ُن مع ُه َّن على ن ْفسِها كفى ذ ِلك شافِ ِعيَّةُ ِإلى أنَّها ِإ ْن وجد ْ
ذهب ال َّ
إلسْال ِم على ْالم ْرأةِ .و ِع ْند ُه ُم ” اْلْص ُّح ب ح َّج ِة ا ْالز ْوجِ بِالنِسْب ِة ِل ُو ُجو ِبدَّلً ع ِن ْالم ْحر ِم أ ِو َّ
احدة ً ت ْامرأة ً و ِ طماع ت ْنق ِط ُع ِبجماع ِت ِه َّن .فإِ ْن وجد ِ ط ُو ُجود ُ م ْحرم ِإل ْحدا ُه َّنِْ ،ل َّن اْل ْ ْأنَّهُ َّل يُ ْشتر ُ
وز لها أ ْن ت ُح َّج معها ح َّجة ْالف ِريض ِة أ ِو النَّ ْذ ِر ،بل ب عليْها ْالح ُّج ،ل ِك ْن ي ُج ُ ثِقةً فال ي ِج ُ
ت اء ْالف ْر ِ
ض أ ِو النَّ ْذ ِر إِذا أ ِمن ْ وز لها أ ْن ت ْخ ُرج و ْحدها ِْلد ِ .ي ُج ُ
ُ سعًا فقالُواْ :الم ْرأة ُ إِذا ل ْم ت ِج ِد ْالم ْحرم أ ِو َّ وزاد ْالما ِل ِكيَّةُ تو ُّ
الز ْوج ول ْو بِأ ْجرة تُسافِ ُر ِلحجِ
الر ْفق ِة ْالمأ ْ ُمون ِةِ ،بش ْر ِط أ ْن ت ُكون ْالم ْرأة ُ ِبن ْفسِها ِهي مأ ْ ُمونةً أ ْي ً
ضا ض أ ِو النَّ ْذ ِر مع ُّ ْ .الف ْر ِ
ي :وأ ْكث ُر ما نقلهُ صا ِل ِحين .قال الدُّ ُ
سو ِق ُّ الرجال ال َّ
اء ،أ ِو ِ الر ْفقةُ ْالمأ ْ ُمونةُ جماعةٌ مأ ْ ُمونةٌ ِمن ِ
النس ِ و ُّ
اء صحابُنا ا ْشتِرا ُ
ط النِس ِ “.أ ْ
وز لها الز ْوجِ أ ِو ْالم ْحر ِم فق ِط اتِفاقًا ،وَّل ي ُج ُ وز ِل ْلم ْرأةِ ال َّ
سف ُر لهُ ِإَّلَّ مع َّ أ َّما ح ُّج النَّ ْفل فال ي ُج ُ
سف ُر بِغي ِْر ِهما ،بل تأْث ُم ِب ِه
ال َّ
.الهداية وفتح القدير ،128 / 2والكافي ،519 / 1والمغني [1] 237 – 236 / 3
صو ُم ُ َيُ ْف ِط ُر َويُ ْف ِط ُر َحتَّى نَقُو َل ََل ي صو ُم َحتَّى نَقُو َل ََل ُ َسلَّ َم ي
َ علَ ْي ِه َو
َ َُّللا
َّ صلَّىَ َِّللا
َّ سو ُل َ ك
ُ َان َر
ان َو َما َرأ َ ْيتُهُ أ َ ْكث َ َر
َ ضَ شه ٍّْر ِإ ََّل َر َم
َ ْ سلَّ َم ا
ستَ ْك َم َل ِص َيا َم َ ع َل ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا
َّ سو َل ُ فَ َما َرأَيْتُ َر
انَ َش ْعب َ ِصيَا ًما ِم ْنهُ فِي
Saya kutip ini karena Ibnu Taymiyyah sering menjadi rujukan bagi
pihak yg sebagian berlebihan dalam menolak nishfu Sya’ban, walaupun
yg pro juga sebagian berlebihan. Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya
Iqtidlo’ As-Shirot Al-Mustaqim[4], menyatakan:
فقد روى في فضلها من األحاديث المرفوعة واآلثار، ليلة النصف من شعبان:ومن هذا الباب
[ما يقتضي أنها ليلة مفضلة5] وصوم شهر،وأن من السلف من كان يخصها بالصلة فيها
وغيرهم من، من السلف من أهل المدينة: ومن العلماء.شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة
إن هللا يغفر فيها ألكثر من: كحديث، وطعن في األحاديث الواردة فيها، م ن أنكر فضلها،الخلف
أو، لكن الذي عليه كثير من أهل العلم. َل فرق بينها وبين غيرها: وقال.“ عدد شعر غنم كلب
لتعدد األحاديث الواردة، وعليه يدل نص أحمد،على تفضيلها- من أصحابنا وغيرهم،أكثرهم
وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن، وما يصدق ذلك من اآلثار السلفية،فيها.
“dan dari bab ini: malam Nishfu Sya’ban, telah diriwayatkan mengenai
kemuliaannya dari hadits-hadits yang marfu’ dan atsar sesungguhnya
menjelaskan bahwa itu adalah malam yang mulia. Dan dikalangan
ulama As-Salaf ada yang mengkhususkan melakukan sholat pada malam
tersebut, dan berpuasa bulan Sya’ban sesungguhnya telah ditunjukkan
oleh hadits yang shohih. Dan diantara ulama: dari kalangan salaf
(orang yang terdahulu) ahli Madinah dan selain mereka dari kalangan
khalaf (orang belakangan) ada yang mengingkari kemuliannya dan
menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits:
‘Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari
bilangan bulu kambing bani kalb’. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama
ahli Ilmu atau kebanyakan ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah
memuliakan malam Nishfu Sya’ban, dan yang demikian ditunjukkan
oleh nash Imam Ahmad, karena banyaknya hadits yang menyatakan
mengenai kemuliaan Nishfu Sya’ban, juga karena banyaknya atsar yang
membenarkan hal ini dari ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan
kemuliaan Nishfu Sya’ban dalam banyak kitab-kitab (hadits) Musnad
dan Sunan”
وكذلك اتخاذه موس ًما تصنع فيه، بل إفراده مكروه،فأما صوم يوم النصف مفر ًدا فل أصل له
وكذلك ما قد. التي َل أصل لها، هو من المواسم المحدثة المبتدعة، وتظهر فيه الزينة،األطعمة
من اَلجتماع العام للصلة األلفية،[أحدث في ليلة النصف6] ومساجد،في المساجد الجامعة
وقدر من، فإن هذا اَلجتماع لصلة نافلة مقيدة بزمان وعدد.األحياء والدروب واألسواق
مكروه،القراءة لم يشرع.
Adapun puasa nishfu sya’ban, maka tidak ada asal riwayatnya, bahkan
puasa satu hari saja (saat tanggal 15 saja) makruh, begitu juga
mengadakan perayaan dimana membuat makanan didalamnya,
menampakkan perhiasan didalamnya merupakan perayaan baru yang
diada-adakan yang tidak ada asal-usulnya, begitu juga yang terjadi
dimalam nishfu sya’ban dengan berkumpul untuk sholat alfiyyah (shalat
dengan membaca shurat al Ikhlas 1000 kali) di masjid-masjid jami’,
masjid-masjid ahya’, durub dan aswaq. Maka sesungguhnya berkumpul
untuk shalat sunnat yang diikat (dikaitkan) dengan waktu, bilangan dan
ukuran bacaan tidaklah disyari’atklan, dan hukumnya makruh.
Penutup
ارون أ ْخبرنا ْالح َّجا ُج ب ُْن أ ْرطاة ع ْن ي ْحيى ب ِْن أ ِبي ][1
حدَّثنا أ ْحمد ُ ب ُْن م ِنيع حدَّثنا ي ِزيد ُ ب ُْن ه ُ
ع ْروة ع ْن عا ِئشة قال ْ
ت ك ِثير ع ْن ُ
ت تخافِين أ ْن يع فقال أ ُك ْن ِ ْ ً َّ َّللاِ صلَّى َّ
َّللاُ عل ْي ِه وسلم ليْلة فخر ْجتُ فإِذا ُهو بِالب ِق ِ سول َّ فقدْتُ ر ُ
َّللا ع َّز
َّللاِ ِإنِي ظن ْنتُ أنَّك أتيْت ب ْعض ِنسائِك فقال ِإ َّن َّ سول َّ سولُهُ قُ ْلتُ يا ر ُ ي ِحيف َّ
َّللاُ عل ْي ِك ور ُ
اء الدُّ ْنيا في ْغ ِف ُر ِْل ْكثر ِم ْن عد ِد ش ْع ِر غن ِم ك ْلب ف ِم ْن ش ْعبان إِلى ال َّ
سم ِ وج َّل ي ْن ِز ُل ليْلة النِ ْ
ص ِ
ِيث عائِشة َّل ن ْع ِرفُهُ ِإ ََّّل ِم ْن هذا ْالو ْج ِه
ق قال أبُو ِعيسى حد ُ الصدِي ِوفِي ْالباب ع ْن أ ِبي بكر ِ
ف هذا ْالحدِيث و قال ي ْحيى ب ُْن أ ِبي ك ِثير ل ْم يسْم ْع ِم ْن ث ْالح َّجاجِ و س ِم ْعت ُمح َّمدًا يُض ِع ُ
ِم ْن حدِي ِ
ع ْروة و ْالح َّجا ُج ب ُْن أ ْرطاة ل ْم يسْم ْع ِم ْن ي ْحيى ب ِْن أ ِبي ك ِثير
ُ
أخرجه الترمذي ) (143 / 1وابن ماجه )(1389والاللكائي ) (2 / 101 / 1وأحمد )[2] / 6
وعبد بن حميد في ” المنتخب من المسند ” ) – 1 / 194مصورة المكتب( وفيه قصة )238
عائشة في فقدها النبي صلى هللا عليه وسلم ذات ليلة .ورجاله ثقات لكن حجاج وهو ابن أرطأة
مدلس وقد عنعنه ،وقال الترمذي ” وسمعت محمد )يعني البخاري( :يضعف هذا الحديث
وجملة القول أن الحديث بمجموع هذه الطرق صحيح بال ريب والصحة تثبت بأقل منها عددا “.
… ،ما دامت سالمة من الضعف الشديد كما هو الشأن في هذا الحديث
حديث صحيح ،روي عن جماعة من الصحابة من طرق مختلفة يشد بعضها بعضا وهم ][3
معاذ ابن جبل وأبو ثعلبة الخشني وعبد هللا بن عمرو وأبي موسى اْلشعري وأبي هريرة وأبي
.بكر الصديق وعوف ابن مالك وعائشة
[4] Juz 2 Hal. 136 dst, Maktabah Syamilah
أخرج أحمد عن عبد هللا بن عمرو أن رسول هللا عليه السالم قال) :يطلع هللا عز وجل إلى ][5
خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لعباده إَّل َّلثنين :مشاحن وقاتل نفس( ،مسند أحمد )/ 2
ورجاله ثقات إَّل أن فيه ابن لهيعة تكلم فيه بعضهم .انظر :ترجمته )176( ، ، (262 / 1
ضا والترمذي عن عائشة في حديث ذكرت فيه أن النبي عليه السالم قال) :إن هللا
وأخرج أحمد أي ً
عز وجل ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا فيغفر ْلكثر من عدد شعر غنم كلب( ،
مسند أحمد ) ، ( 238 / 6وسنن الترمذي ،كتاب الصوم ،باب ما جاء في ليلة النصف من
شعبان ،الحديث رقم )116 / 3) ، (739ـ ، (117وأشار الترمذي إلى تضعيفه .وكذلك أخرجه
ابن ماجه .انظر :الحديث رقم ) ، (1389وذكره السيوطي في الجامع الصغير )، (297 / 1
حديث رقم ) ، ( 1942وقال) :حديث حسن( .وأشار الشوكاني في الفوائد المجموعة إلى حديث
.عائشة هذا وقال) :فيه ضعف وانقطاع( ،الفوائد المجموعة )ص(51
الصالة اْللفية هي التي يزعمون أنه ورد الفضل بقراءة ” قُ ْل ُهو َّ
َّللاُ أحد ٌ ” فيها ألف مرة[6] .
(2 / 58، 59) .انظر :الآللئ المصنوعة
البحر الرائق ،56 / 2وحاشية ابن عابدين 460 / 1ومراقي الفالح ص ،219وشرح ][7
اإلحياء للزبيدي ،425 / 3ومواهب الجليل ،74 / 1والخرشي ،366 / 1والفروع 440 / 1
إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين [8] 423 / 3
إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين [9] 423 / 3
صالة ُ ْالم ْع ُروفةُ بصالة الرغائب وهي ثنتى ع ْشرة ر ْكعةً [13] Lihat Al Majmu’ 4/56: ال َّ
ُ
ف ش ْعبان ِمائة ر ْكعة ص ِ اء ليْلة أ َّو ِل ُج ُمعة فِي رجب وصالة ُ ليْل ِة نِ ْ ْ
ب وال ِعش ِ ْ
تُصلى بيْن الم ْغ ِر ِ َّ
ت ْالقُلُو ِ
ب ب قُو ِ ان وَّل يُ ْغت ُّر بِذك ِر ِهما فِي ِكتا ِ ان ق ِبيحت ِان و ُم ْنكر ِ ان بِدْعت ِصالت ِ ان ال َّ وهات ِ
ض م ْن اط ٌل وَّل يُ ْغت ُّر ِبب ْع ِ ث ْالم ْذ ُك ِ
ور ِفي ِهما فإ ِ َّن ُك َّل ذ ِلك ب ِ ِين وَّل ِب ْالحدِي ِوم الد ِ عل ُ ِ
اء ُ
و ِإ ْحي ِ
ا ْشتبه عل ْي ِه ُح ْك ُم ُهما ِم ْن ْاْل ِئ َّم ِة
1. Tawassul melalui Dzat (Diri) Para Nabi dan Hamba Saleh Setelah
wafatnya
ِإنِي ت َ َو َّجهْتُ ِبكَ ِإ َلى َر ِبي فِي،الرحْ َم ِة َّ ِ سأَلُكَ َوأَت َ َو َّجهُ ِإ َل ْيكَ ِبنَ ِب ِيكَ ُم َح َّم ٍّد نَ ِبي
ْ َ اللَّ ُه َّم ِإنِي أ
اللَّ ُه َّم فَش َِف ْعهُ فِ َّي،ضى ِل َي
َ َحا َجتِي َه ِذ ِه ِلت ُ ْق
اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي
فتقضي لي حاجتي
Kesimpulan
ِ َّ س َل ُم ِإ َلى
َّللا ع ََّز َو َجل َي ْو َم َ سيلَةُ أ َ ِبيك آ َد َم
َّ ع َل ْي ِه ال ِ سيلَتُك َو َو
ِ ع ْنهُ َو ُه َو َو ْ َو ِل َم تَص ِْر
َ ف َوجْ َهك
َّ ُش ِف ْع بِ ِه فَيُش َِفعُه
َُّللا ْ ستَ ْقبِ ْلهُ َوا
ْ َ ست ْ ا ْل ِقيَا َم ِة؟ بَل ا
Mengapa (harus) engkau palingkan wajahmu darinya, sedangkan dia
adalah wasilahmu dan wasilah Adam bapakmu kepada Allah SWT pada
hari kiamat? Akan tetapi menghadaplah kepadanya (kubur Nabi), dan
mintalah dengannya (wasilah nabi saw, yakni wasilah kecintaan kepada
nabi saw) maka Allah akan menolong engkau[7]. Dan Imam Nawawi
juga berpandangan seperti ini[8].
b. Sebagian ulama Hanafiyyah, semisal Abu Yusuf memandang
tawassul dengan ucapan س ِلك
ُ ق ُر
ِ ( بِحdemi kebenaran Rasul-Mu) dan
ungkapan semisalnya, hukumnya makruh.
Saya menulis artikel ini bukan bermaksud ikut campur dalam perdebatan
sengit di beberapa blog, namun saya berharap baik yang pro maupun
yang kontra bisa melihat permasalahan umat yang jauh lebih besar yang
seharusnya mereka ikut berjibaku mengatasinya. Adapun ikhtilaf dalam
masalah ini tidak cukup untuk menganggap orang yang berbeda
pendapat telah keluar dari Islam, atau saling serang dengan predikat
telah musyrik, kafir atau sesat. Allahu Ta’ala A’lam.
[https://mtaufiknt.wordpress.com]
[4] أن التوسل ليس أمرا ً َّلزما ً أو ضروريا ً وليست اإلجابة متوقفة عليه بل اْلصل دعاء هللا
ٌ {و ِإذا سألك ِعبادِي عنِي فإ ِ ِني ق ِر: كما قال تعالى،ًتعالى مطلقا
يب
[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 14/157 dst
شرح المواهب ،304 / 8والمجموع 274 / 8والمدخل 248 / 1وما بعدها ،وابن عابدين ][6
والفتاوى الهندية ،318 / 5 ،266 / 1وفتح القدير ،498 – 497 / 8والفتوحات 5 / 254،
الربانية على اْلذكار النووية 36 / 5
ي ب ُْن فِ ْهر فِي ِكتابِ ِه " فضائِل ما ِلك " بِإِسْناد َّل بأْس ][7 صة أبُو ْالحس ِن ع ِل ُّ
وق ْد روى ه ِذ ِه ْال ِق َّ
شيُوخ ِعدَّة ِم ْن ثِقا ِ
ت مشا ِي ِخ ِه اء ِم ْن ط ِري ِق ِه ع ْن ُ
الشف ِ
اض فِي ِ
اضي ِعي ٌ ِب ِه وأ ْخرجها ْالق ِ
الزائِ ُر ِإلى ][8 َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم :ث ُ َّم ي ْر ِج ُع َّ
ب ِزيارةِ قب ِْر النَّ ِبي ِ صلَّى َّان آدا ِ وقال النَّو ِو ُّ
ي فِي بي ِ
سل بِ ِه ويسْت ْش ِف ُع بِ ِه إِلى ربِ ِه َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم فيتو َّ
َّللاِ صلَّى َّ
سول َّ ،م ْوقِف قُبالة و ْج ِه ر ُ
ير ][9 وز ِإذا كان على ت ْق ِد ِ سل ِبل ْف ِظ " أسْألُك ِبن ِب ِيك ُمح َّمد " ي ُج ُ وي ْذه ُ
ب اب ُْن تي ِْميَّة ِإلى أ َّن التَّو ُّ
ان بِ ِه ومحبَّتِ ِه وطاعتِ ِه على سل بِا ْ
إل ِِيم ِ ُمضاف ،فيقُول فِي ذ ِلك :فإ ِ ْن قِيل :إِذا كان التَّو ُّ
سل ِبذ ِلك فِي َّللاِ وجنَّتِ ِه )وهذا أعْظ ُم ْالوسا ِئل( وتارة ً يتو َّ ب َّ سل ِبذ ِلك ِإلى ثوا ِ و ْجه ْي ِن :تارة ً يتو َّ
اء – كما ذك ْرت ُ ْم نظائِرهُ – في ُْحمل ق ْول ْالقائِل :أسْألُك بِنبِيِك ُمح َّمد على أنَّهُ أراد :إِنِي أسْألُك الدُّع ِ
سل ِإليْك ِبإِيما ِني ِب ِه ومحبَّ ِت ِه ون ْح ِو ذ ِلك ،وق ْد ذك ْرت ُ ْم أ َّن هذا جا ِئ ٌز ِبإِيما ِني ِب ِه و ِبمحبَّ ِت ِه ،وأتو َّ
يب فِي ذ ِلك ِبال ِنزاع ،و ِإذا ُح ِمل على هذا ْالم ْعنى ص ٌ ِبال نِزاع .قِيل :م ْن أراد هذا ْالم ْعنى ف ُهو ُم ِ
ض ف ،كما نُ ِقل ع ْن ب ْع ِ سل ِ َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم ب ْعد مماتِ ِه ِمن ال َّ سل بِالنَّ ِبي ِ صلَّى َّ ِلكال ِم م ْن تو َّ
ون فِي ْالمسْأل ِة إل ِِم ِام أ ْحمد وغي ِْرهِ ،كان هذا حسنًا ،و ِحينئِذ فال ي ُك ُ صحاب ِة والتَّا ِب ِعين ،وع ْن ا ْ ال َّ
ُط ِلقُون هذا اللَّ ْفظ ،وَّل ي ُِريدُون هذا ْالم ْعنى ير ِمن ْالع َّو ِام ي ْ
نِزاعٌ ،ول ِك ْن ك ِث ٌ
Benarkah Nabi Muhammad SAW Lahir Dalam Keadaan
?Dikhitan/Disunat
Namun perbedaan dalam hal ini jangan sampai disikapi berlebihan, dan
bukan problem utama umat yang harus sibuk berdebat gara-gara hal ini.
Allahu Ta’ala A’lam.
ا ْلفَصْل الثَّا ِلث عشر ِفي ختان النَّ ِبي صلى هللا َ
علَ ْي ِه َوسلم
صدره اختلف فِي ِه على أ َ ْق َوال أَحد َها أَنه ولد مختونا َوالثَّانِي أَن ِج ْب ِريل ختنه ِحين شق َ َوقد ْ
الث َّا ِلث أَن جده عبد ا ْلمطلب ختنه على عَادَة ا ْلعَ َرب فِي ختان أ َ ْو ََلدهم َونحن ن ْذكر قائلي َهذِه
ْاأل َ ْق َوال وحججهم فَأَما من قَا َل ولد مختونا فاحتجوا بِأ َ َحادِيث أَحد َها َما َر َواهُ أَبُو عمر بن عبد
علَ ْي ِه َوسلم ولد مختونا من َحدِيث عبد هللا بن ي أَن النَّ ِبي صلى هللا َ ا ْلبر فَقَا َل َوقد ُر ِو َ
علَ ْي ِه َوسلم مختونا سول هللا صلى هللا َ عبَّاس عَن أ َ ِبيه ا ْلعَبَّاس بن عبد ا ْلمطلب قَا َل ولد َر ُ َ
س َّرة فأعجب ذَ ِلك جده عبد ا ْلمطلب َوقَا َل لَ َيكُونن َِل ْبني َهذَا شَأْن طوع ال ُّ س ُرورا يَ ْعنِي َم ْق ُ
َم ْ
ُ
ي َم ْوقوفا على َ َ
سنَاد َحدِيث ا ْلعَبَّاس َهذا بالقائم قا َل َوقد ُر ِو َ س ِإ ْ َ
ع َِظيم ث َّم قا َل ا ْبن عبد ا ْلبر لَ ْي َ
ط ِريق أبي نعيم َحدثنَا أَبُو ا ْلحسن ا ْبن عمر َو ََل يثبت أ َ ْيضا قلت َحدِيث ا ْبن عمر روينَاهُ من َ
سلَ ْي َمان َحدثنَا عبد َّ
الرحْ َمن ا ْبن أَحْ مد ا ْبن ُم َح َّمد بن َخا ِلد ا ْل َخ ِطيب َحدثنَا ُم َح َّمد بن ُم َح َّمد بن ُ
سل َمة عَن نَافِع عَن ا ْبن سي َحدثنَا َخا ِلد بن َ سى ا ْل َم ْق ِد ِ سى بن أبي ُمو َ مصي َحدث َنا ُمو َ أَيُّوب ا ْل ِح ِ
سلَ ْي َمان َهذَا ُه َوس ُرورا مختونا َولَ ِكن ُم َح َّمد بن ُ عمر قَا َل ولد النَّبِي صلى هللا َ
علَ ْي ِه َوسلم َم ْ
َان كثير الت َّ ْد ِليس يحدث ِب َما لم يسمع َو ُرب َما سرق ضعَّفُوهُ َوقَا َل الد َ
َّارقُ ْطنِي ك َ الباغندي َوقد َ
ال َحدِيث
سهْو سجْ دَتي ال َّ ص َلة يُصلي َها َسجد عقب كل َ اط أَن ي ْ َو ِم َّما ذكره فِي كتاب َلهُ وسمه ِب ِاَلحْ تِيَ ِ
سوب إِلَى الغلو واَلبتداع َو َما س َها فِي َها َو َهذَا ِم َّما ََل يجوز فعله ِب ْ ِ
اْلجْ َماع وفاعله َم ْن ُ َوإِن لم يكن َ
ص ِفيَّة بقو ِل َها فرأيته مختونا يُنَاقض ْاأل َ َحادِيث ْاأل ُ َخر َو ُه َو قَ ْوله لم ير سوءتي أحد َحكَاهُ عَن َ
س من احد ِم ْن َها َولَو ولد مختونا فَ َل ْي َفَكل َحدِيث فِي َهذَا ا ْلبَاب يُ َناقض اآلخر َو ََل يثبت َو ِ
ع َل ْي ِه َوسلم فَ ِإن كثيرا من النَّاس يُولد غير ُمحْ تَاج إِلَى ا ْل ِختَان صائِصه صلى هللا َ َخ َ
اضي أَبَا ُم َح َّمد ا ْلحسن ا ْبن ُم َح َّمد بن ا ْلحسن قَا َل َوذكر أَبُو ا ْلغَنَائِم النسابة الزيدي أَن أَبَاهُ ال َق ِ
الزيدي ولد غير ُمحْ تَاج ِإلَى ا ْل ِختَان قَا َل َو ِل َهذَا لقب بالمطهر قَا َل َوقَا َل ِفي َما قرأته ِب َخ ِط ِه خلق
أَبُو ُم َح َّمد ا ْلحسن مطهرا لم يختن َوتُوفِي َك َما خلق َوقد ذكر ا ْلفُقَ َهاء فِي كتبه ْم أَن من ولد
وضع ا ْل ِختَان ختان ا ْلقَ َمر يشيرون فِي َكذَ ِلك ََل يختن َواسْتحْ سن بَعضهم أَن يمر الموسى على َم ِ
صان فِي ا ْلخلقَة ِع ْند سان يحصل فِي ِزيَادَة ا ْلقَ َمر َويحصل النُّ ْق َ ذَ ِلك ِإلَى أَن النمو فِي خلقَة ْ ِ
اْل ْن َ
صان صان الَّذِي حصل فِي القلفة إِلَى نُ ْق َ نقصانه َك َما يُوجد فِي ذَ ِلك الجزر َوا ْلمد فينسبون النُّ ْق َ
ا ْلقَ َمر
س ْفيَان الث َّ ْوري عَن ِهشَام بن ع ُْر َوة قَا َل َوقد ورد فِي َحدِيث َر َواهُ سيف بن ُم َح َّمد ا ْبن أ ُ ْخت ُ
س ُرورا مختونا علَ ْي ِه َوسلم قَا َل ا ْبن صياد ولد َم ْ عَن أَبِيه عَن عَائِشَة عَن النَّبِي صلى هللا َ
ام ُرؤ ا ْلقَ ْيس ولد َكذَ ِلك َوسيف مطعون ِفي َحدِيثه َوقيل ِإن قَ ْيصر ملك الروم الَّذِي ورد َ
علَ ْي ِه ْ
ام ُرؤ ا ْلقَ ْيس ا ْلحمام فَ َرآهُ َكذَ ِلك فَقَا َل يهجوه
علَ ْي ِه ْ
َودخل َ
) ِإنِي َحلَفت َي ِمينا غير كَا ِذبَة … أل َ ْنت أغلف ِإ ََّل َما جنى ا ْل َق َمر(
سبَاب الباعثة لقيصر يعيره أَنه لم يختتن َوجعل ِو ََلدَته َكذَ ِلك نقصا َوقيل ِإن َهذَا ا ْلبَ ْيت أحد ْاألَ ْ
على أَن سم امرء ا ْلقَ ْيس فَ َماتَ
س بمختون ِإ ََّل َما قلص ِم ْنهُ ا ْلقَ َمر َوشبه قلفته بالزبانى َو ِهي قرنا ا ْلعَ ْق َرب يَقُول ُه َو أقلف لَ ْي َ
ورة ا ْل ِختَان من غير ختان َوترى ا ْل َف ِضيلَة فِي ا ْل ِختَان َنفسه َوكَانَت ا ْلعَ َرب ََل ت َ ْعتَد ِب ُ
ص َ
وتفخر ِب ِه
ع َل ْي ِه َوسلم من صميم ا ْلعَ َرب َو َخصه ِب ِصفَات ا ْل َك َمال من ا ْلخلق قَا َل َوقد بعث هللا نَبينَا صلى هللا َ
علَ ْي ِه َوالنسب فَكيف يجوز أَن يكون َما ذكره من كَونه مختونا ِم َّما يُ َميز ِب ِه النَّ ِبي صلى هللا َ
علَ ْي ِه َوسلم َوسلم ويخصص َوقيل ِإن ا ْل ِختَان من ا ْل َك ِل َمات الَّتِي ابتلى هللا ب َها َخ ِليله صلى هللا َ
علَ ْي ِهبلء ْاأل َ ْن ِب َياء ث َّم األمثل فاألمثل َوقد عد النَّ ِبي صلى هللا َ فأتمهن وأكملهن َوأَشد النَّاس َ
ص ْبر َوسلم ا ْل ِختَان من ا ْلف ْط َرة َومن ا ْل َم ْعلُوم أَن ِاَل ْبتِ َلء ِب ِه َم َع ال َّ
علَ ْي ِه َوسلم أَن ََل يسلب َهذِه
ضاعف ث َ َواب ا ْل ُم ْبتَلى ِب ِه وأجره واألليق ِب َحال النَّ ِبي صلى هللا َ
ِم َّما يُ َ
غيره من صائِص َ صائِصه أعظم من َخ َ ا ْلفَ ِضيلَة َوأَن يُكرمهُ هللا ب َها َك َما أكْرم َخ ِليله فَ ِإن َخ َ
النَّ ِبيين َوأ َ ْعلَى
صا ِئصه َوأولى َهذَا كُله ك ََلم ا ْبن العديم وختن ا ْلملك ِإ َّياه َك َما روينَاهُ أَجْ دَر من أَن يكون من َخ َ
بكرة أَن ِج ْب ِريل ختن النَّ ِبي صلى هللا ط ِريق ا ْل َخ ِطيب عَن أبي َ َويُ ِريد بختن ا ْلملك َما َر َواهُ من َ
سنَاده فَ ِإن ا ْل َخ ِطيب علَ ْي ِه َوسلم ِحين طهر قلبه َو ُه َو َم َع كَونه َم ْوقُوفا على أبي َ
بكرة ََل يَصح إِ ْ َ
َ َ ْ
عث َمان بن ُم َح َّمد البَج ِلي أنبأنَا َج ْعفَر بن ُم َح َّمد بن احد بن ُ َ َ َ
قَا َل فِي ِه أنبأنَا أبُو ا ْل َقا ِ
سم عبد ا ْل َو ِ
ع َي ْينَة ا ْلبَص ِْري َحدثنَا عَلي بن سلَ ْي َمان َحدثنَا عبد َّ
الرحْ َمن بن ُ نصير َحدثنَا ُم َح َّمد بن عبد هللا بن ُ
س َهذَا بكرة َولَ ْي َُم َح َّمد ا ْل َمدَا ِئ ِني َحدثنَا مسلمة بن م َحارب بن سليم بن ِز َياد عَن أ َ ِبيه عَن أبي َ
سنَاد ِم َّما يحْ تَج ِب ِه ِْ
اْل ْ
ي من ُو ُجوه ُمتعَ ِددَة َم ْرفُوعا ِإ َلى النَّ ِبي علَ ْي ِه َوسلم قد ُر ِو َ َو َحدِيث شق ا ْلملك قلبه صلى هللا َ
س فِي ش َْيء ِم ْن َها أَن ِج ْب ِريل ختنه إِ ََّل فِي َهذَا ال َحدِيث فَ ُه َو شَاذ علَ ْي ِه َوسلم َولَ ْي َ
صلى هللا َ
الر َوا َيات أَن جده عبد ا ْلمطلب ختنه ِفي ا ْل َي ْوم غ ِريب قَا َل ا ْبن العديم َوقد َجا َء ِفي بعض ِ َ
ط ِريق ا ْبن عبد ا ْلبر ساق من َ ب َوأقرب إِلَى ا ْل َواقِع ث َّم َ سا ِبع قَا َل َو ُه َو على َما فِي ِه أشبه ِبال َّ
ص َوا ِ ال َّ
سى َحدثهُ قَا َل علَ ْي ِه أَن ُم َح َّمد بن ِعي َ َحدثنَا أَبُو ع َْمرو أَحْ مد بن ُم َح َّمد بن أَحْ مد قِ َرا َءة مني َ
سقَ َلنِي َحدثنَا ا ْل َو ِليد بنَحدثنَا يحيى بن أَيُّوب بن ِزيَاد العلف َحدثنَا ُم َح َّمد بن أبي السري ا ْل َع ْ
عبَّاس أَن عبد سانِي عَن ِعك ِْر َمة عَن ا ْبن َ ش َع ْيب بن أبي َح ْم َزة عَن عَطاء ا ْل ُخ َرا َ ُمسلم عَن ُ
سماهُ ُم َح َّمدًا قَا َل يحيى بن علَ ْي ِه َوسلم َي ْوم سابعه َوجعل لَهُ مأدبة َو َ ا ْلمطلب ختن النَّ ِبي صلى هللا َ
أَيُّوب َما وجدنَا َهذَا ال َحدِيث ِع ْند أحد إِ ََّل ِع ْند ا ْبن أبي السري َو ُه َو ُم َح َّمد بن المتَ َوكل بن أبي
السري َوهللا أعلم
Beri peringkat:
Maksud yang biasa nampak darinya ( )ما ظهر ِم ْنهاbukan berarti yang
biasa nampak seperti sekarang ini — yakni nampak betis, leher, dst (tdk
usah dibayangkan ya), atau tergantung daerah, kalau di Jawa dada diatas
‘buah pikiran’ masih biasa nampak, di AS bahkan lebih lagi– namun
maksudnya apa yang biasa nampak di kalangan wanita muslimah pada
masa turunnya ayat ini, yakni wajah dan telapak tangan (ini pemahaman
mayoritas, dan pendapat yang saya pilih). Sedangkan menurut riwayat
yang lain, yang biasa nampak maksudnya adalah baju ( )الثيابdalam
riwayat lain celak dan cincin juga gelang[1], dan ini tidak bertentangan
dengan pendapat bahwa yang biasa nampak adalah muka & telapak
tangan.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan ‘sesuatu
yang biasa nampak’ adalah muka dan kedua telapak tangan, ini juga
pendapat Ibnu ‘Umar, ‘Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu Sya’tsa,
Adl Dhahhak, Ibrahim An Nakha’i dll[2].
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menyatakan, pendapat yang paling kuat
dalam masalah ini adalah muka dan dua telapak tangan.
Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi SAW pada saat
haji, lalu datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas
memandang wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka
Rasulullah memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain. (HR. al-
Bukhârî dari Ibn Abbas)
Suara wanita bukanlah aurat menurut ulama madzhab Syafi’i, jika aman
dari fitnah.
Menurut madzhab Hanafiy & Syafi’iy: auratnya antara pusat dan lutut,
sehingga boleh melihatnya jika aman dari fitnah (syahwat).
Aurat lelaki terhadap lelaki, baik muslim atau tidak adalah antara pusat
dan lutut
Adapun riwayat Aisyah r.a. dan Anas bin Malik r.a.: “Dari Aisyah r.a.
menerangkan : ‘Bahwasanya Rasulullah SAW duduk pada suatu hari
dengan membuka pahanya. Abu Bakar meminta izin masuk, Rasul
mengizinkan, sedangkan pahanya masih terbuka. Sesudah itu datang
Umar, meminta izin masuk dan Rasul mengizinkannya. Sedangkan paha
beliau masih terbuka. Sesudah itu datanglah Utsman, maka barulah
Nabi menutupi pahanya. Ketika mereka telah pulang, aku (Aisyah)
bertanya : ‘Wahai Rasulullah, di kala Abu Bakar dan Umar masuk,
paha tuan tetap terbuka, tetapi di kala Utsman masuk, tuan menurunkan
kain. Maka Nabi menjawab : ‘Wahai Aisyah, tiadakah aku merasa malu
dari seseorang, yang demi Allah, malaikat pun merasa malu darinya”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Tidak ada perbedaan diantara ahli fiqh bahwa tidak ada aurat antara
suami istri, dengan atau tanpa syahwat.
Adapun hadits :
Wajib menutup aurat bagi laki laki maupun perempuan, aurat laki-laki
yg wajib di tutup adalah antara pusat dan lutut, bagi wanita semua tubuh
kecuali muka dan telapak tangan.
Menurut para ahli fiqh, wanita saat ihram tidak boleh menutup wajahnya
dan tidak boleh mengenakan sarung tangan. Adapun warna pakaian
boleh apa saja, walaupun lebih utama warna putih.
Aurat mayat sama seperti aurat saat masih hidup menurut para ahli fiqh.
Rasul bersabda:
Janganlah engkau melihat paha orang hidup atau orang mati karena
paha adalah aurat. (Riwayat Ibnu ‘Asyâkir dari Ali kw)[9].
Boleh membuka aurat saat mandi jika mandi sendirian (atau bersama
istri) dan ditempat yang tidak dilihat orang lain, berdasarkan hadits:
Siapa saja yang ingin menikahi seorang wanita, ia boleh melihat wanita
tersebut dengan tidak berkhalwat dengannya. Rasulullah bersabda:
Seorang pria boleh melihat wanita yang hendak dinikahinya, baik seizin
wanita itu atau pun tidak. Hal itu karena Nabi SAW telah
memerintahkan kepada kita untuk melihat secara mutlak. Di dalam
hadits Jâbir di atas terdapat lafal yang maknanya, “Maka aku
bersembunyi untuk melihat wanita itu.” Hanya saja, tidak
diperbolehkan berkhalwat (berduaan) dengan wanita yang akan
/telah dilamar. Hal itu karena NabiSAW telah bersabda: “Janganlah
seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali dia disertai
mahramnya, karena yang ketiga di antara keduanya adalah setan.” (HR
Muslim, dari jalur Ibnu ‘Abbâs).Hadits tersebut bersifat umum,
mencakup pelamar.
Penutup
Jelas bahwa menutup aurat adalah kewajiban, semua ahli fiqh sepakat
bahwa bagi wanita haram membuka leher, rambut, telinga, bahu, ketiak
… . Yang diperselisihkan oleh para ulama sebatas apakah cadar
(menutup muka) itu wajib atau tidak, apakah tapak kaki merupakan
aurat atau bukan, apakah tangan sampai siku aurat atau bukan.
Adapun yang membolehkan membuka kepala, tidak kami temukan
sandarannya baik dari Al Qur’an, Al Hadits, perkataan sahabat, tabi’in,
maupun ‘ulama yang mu’tabar, semisal pemikiran seorang pemikir
liberal Mesir, Muhammad Asymawi yang banyak di copy-paste orang
yang mengatakan aurat itu menurut adat dan kondisi.
[1] Ibnu Jarir At Thabary, جامع البيان في تأويل القرآن, 19/157 dst
[5] Ibnu Jarir At Thabary, idem (saya belum ketemu takhrij haditsnya,
saya search di kitab2 takhrij maktabah syamilah tidak ketemu, kitab2
matan dan syarah juga tidak ketemu)
Akar Perbedaan
1. Perbedaan terjadi karena tidak ada satu pun hadits yang shahih dan
sharih (jelas/eksplisit) yang menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih
yang dilakukan oleh Rasululullah SAW.
Prof. Ali Mustafa Yaqub, MA, menerangkan bahwa tidak ada satu pun
hadits yang derajatnya mencapai shahih tentang jumlah rakaat shalat
tarawih (yang istilah shalat tarawih memang tidak ada pada masa Rasul)
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kalau pun ada yang shahih
derajatnya, namun dari segi istidlalnya (penunjukan maknanya) tidak
menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih.
Hadits ini dijadikan dasar bagi yang berpendapat bahwa shalat tarawih
adalah 11 rakaat (termasuk witir).
Ketika beliau sudah lanjut usia beliau shalat (malam) 7 raka’at. (Syarh
An Nawawi ‘ala Muslim, 3/70, Maktabah Syamilah v. 3)
Jadi, sebenarnya dari sini saja bagi yang menyatakan shalat malam dg
tarawih itu sama maupun yang mengatakan berbeda–seharusnya sudah
tidak perlu dipersoalkan mau shalat malam berapa rakaat, dan tidak ada
bidah dalam jumlah rakaat ini, perbedaan yang ada hanya terbatas mana
yang dianggap lebih afdhal, lebih baik atau lebih disukai (mustahab).
Umar bin Al-Khottob telah memerintahkan Ubay bin Kaab dan Tamim
Ad-Dariy supaya keduanya mengimami orang-orang dengan
melaksanakan sholat 11 rakaat, dia berkata: dan sesungguhnya qari
(imam) membaca ratusan ayat (dalam satu rakaat) sampai kami
bersandar pada tongkat kami karena lamanya berdiri. (Imam Malik, Al
Muwaththo, hadits no 232, Maktabah Syamilah v. 3)
Dalam kitab Fathul Bary di jelaskan kalau mereka dalam satu rakaat
membaca 200 ayat, Ubay bin Kaab mengimami laki laki, Tamim Ad
Dary mengimami perempuan (ditempat yang berbeda), atau disebutkan
Ubay bin Kaab mengimami dan dilain waktu Tamim Ad Dary yang
mengimami (Ibn Hajar Al Asqalany, Fathul Bary, 6/292)
Kesimpulan
Tidak ada batasan jumlah rakaat, baik shalat malam maupun shalat
tarawaih (kalau dianggap berbeda dg shalat malam). Al Hafidz Ibnu
Hajar Al Asqalani menulis berbagai pendapat tentang jumlah rakaat
shalat tarawih, yakni 11, 13, 21,23, 24,26 (tanpa witir), 33, 36,39,41, 47
rakaat.
Perbedaan yang ada adalah dalam rangka meringankan (11 rakaat terlalu
lama berdiri maka rakaatnya ditambah, sehingga bisa duduk duludst).
Jadi pembahasan jumlah rakaat kaitannya dengan kualitas bacaan
shalatnya. Ibnu Hajar berkata, Perbedaan yang terjadi dalam jumlah
rakaat tarawih mucul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang
didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang,
maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat; dan demikian sebaliknya.
Hal diatas menunjukkan bahwa ketika ada perbedaan riwayat, jalan yang
dilakukan oleh para ahli fiqh dan hadits tidaklah langsung mentarjih
(mencari yang lebih kuat) lalu meninggalkan yang dianggap kurang
kuat, tetapi yang dilakukan adalah melakukan jam’u (menggabungkan
beberapa riwayat itu), karena mengamalkan banyak nash adalah lebih
utama dari pada meninggalkan beberapa nash, apalagi beberapa nash
tersebut tidaklah bisa dipandang bertentangan (kontradiksi) sehingga
tidak perlu ada yang dibuang, lebih parah lagi kalau kemudian yang
melakukan yg dianggap lemah tersebut terus di cap ahli bidah. Allahu
a’lam.
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama
bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya – yang pada
asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi haram apabila
disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1
khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau
saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu
tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung,
saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau
pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan
Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk
merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya
dan membersihkan kepalanya dari kutu.2
Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah
(saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-
ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila
telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman – dan
ini sering terjadi – maka dimanakah letak keharamannya?
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang
tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau
membai’at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal
itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan
dengan kaum wanita pada waktu bai’at itu belum disepakati,
karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa
Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu
bai’at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah
r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah
menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan
petang)…”6
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar
dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang
tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang
berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima,
karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang
dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan
itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau
indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir.
Sedangkan dalam hal ini tidak dijumpai faktor yang mencegah
atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam
Ahmad yang menyebutkan “maka beliau tidak melepaskan
tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi
kemana saja ia suka” menunjukkan dengan jelas bahwa makna
lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-
beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna
lahir ini.
Yang lain lagi berkata, “Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari
dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya
terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain
mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci
dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor,
dan ini termasuk kekhususan beliau.”
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang
komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat tangan
dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan
barulah ia menjabat tangannya.
Wallahu a’lam. (dikutip dari fatwa Al Qordlowi dan berbagai
sumber)
Catatan kaki:
Dalilnya adalah:
“Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu
tempatnya di neraka.” [Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari
kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan
mendapat azab yang sangat pedih, Rasulullah mengatakannya tiga kali:
yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual
barang dagangannya dengan sumpah palsu.” [HR Muslim dalam
shahihnya]
Tidak ada beda apakah dia melakukan karena sombong atau tidak. Itu
berdasarkan keumuman banyak hadits. Dan juga karena secara
keumuman itu dilakukan karena sombong dan angkuh, walau dia tidak
bermaksud demikian. Perbuatannya adalah perantara menuju
kesombongan dan keangkuhan. Dan dalam perbuatan itu juga ada
mengandung unsur meniru wanita dan mempermudah pakaian dikenai
kotoran dan najis. Serta perbuatan itu juga menunjukkan sikap berlebih-
lebihan.
Siapa yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam :
Adapun sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar Ash
Shiddiq Radliyallah’anhu ketika dia mengatakan kepada beliau bahwa
sarungnya sering melorot kecuali kalau dia benar-benar menjaganya:
Ini adalah bantahan bagi orang yang melakukannya, tapi berdalil dengan
apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq. Bila dia memang benar-
benar menjaganya dan tidak sengaja membiarkannya, itu tidak mengapa.
[Dari Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari
Majalah Ad Da’wah hal 220]
Imam Ibnu Muflih (w. 763), Al Adab Asy Syar’iyyah, 3/521, setelah
menyatakan pendapat pendapat Imam Ahmad (dalam satu riwayat), juga
ashab hanabilah bahwa tidaklah haram memanjangkan kain pakaian jika
tidak bermaksud sombong, beliau menulis tentang Imam Abu Hanifah
yang memanjangkan kainnya bahkan ke tanah, dan memahaminya itu
tidak haram, ini pula pendapat Ibnu Taymiyyah:
***
Maka klaim bahwa isbal itu haram secara mutlak dan sudah disepakati
oleh semua ulama adalah klaim yang kurang tepat, begitu pula
menyatakan isbalnya Abu Bakar r.a itu karena darurat juga kurang
tepat, bagaimana bisa disebut darurat karena pada saat itu juga kainnya
bisa dipotong biar tidak kepanjangan, sebagaimana sahabat yg langsung
merobek kleman baju yang ada sutranya ketika Rasulullah melarang
memakai sutra. Alasan yang tepat kenapa Abu Bakar boleh Isbal adalah
karena tidak sombong itu, ini dinyatakan oleh Asy Suyuthi:
‘Ala kulli haal, yang manapun pendapat yang kita pilih, seharusnya
sebagai muslim kita saling menghargai perbedaan ini. Allahu a’lam
Khalwat Halal Vs Khalwat Haram
Makna Khalwat
Hukum Khalwat
Telah datang seorang wanita Anshar kepada Nabi SAW Maka Nabi
bersendirian (khalaa) dengan wanita itu, dan berkata,”Demi Allah
Sesungguhnya kalian (wahai Anshar) merupakan orang-orang yang
paling aku cintai”. (HR Bukhari No. 4833).
Para fuqaha (ahli fiqh) sepakat bahwa haram berkhalwat seorang lelaki
dan seorang wanita asing (jadi jumlah orangnya hanya dua orang).
Namun mereka berbeda pendapat kalau jumlah orangnya lebih dari 2,
yakni:
1. Para ‘Ulama Madzhab Syafi’i:
a. Imamul Haramain : satu laki laki dg dua wanita atau lebih, wanitanya
tanpa mahram maka hukumnya haram menyendiri dengan mereka. Jika
salah satu wanita tersebut adalah mahram bagi laki-laki tersebut maka
boleh hukumnya. Begitu juga jika satu wanita dengan 2 atau lebih laki-
laki, dan salah satu laki-laki adalah mahram wanita tsb maka boleh
hukumnya. Intinya dalam semua kasus khalwat baik satu laki-laki dg
banyak wanita, satu wanita dengan banyak lelaki, atau banyak wanita
dengan banyak lelaki, salah satu wanita yang berkhalwat haruslah
bersama mahramnya.
Hukumnya boleh jika aman dari fitnah, akan tetapi jika dia menyimpan
‘perasaan’ dengan mahramnya maka haram.
Jika talak raj’i (masih bisa kembali, yakni talak 1 atau talak 2) dan
dalam masa ‘iddah maka hukumnya boleh, akan tetapi jika talaknya
talak ba’in (talak 3) maka haram.
Demikian beberapa hukum berkaitan dengan khalwat, mudah-mudahan
Allah menjaga kita dari musibah besar ini, musibah yang telah banyak
meluluh-lantakkan pergaulan kaum muslimin saat ini.
Rujukan:
1. Shahih Bukhory
2. Shahih Muslim
10.Kamus Al Munawwir
Hukum Berbohong & Tauriyyah
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang
meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita
memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan
istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita
bermubahalah[1] kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah
ditimpakan kepada orang-orang yang dusta (Q.S. Al-Imron: 61).
Oleh sebab itu, berbohong hukumnya haram kecuali dalam tiga hal: 1)
seseorang yang berbohong kepada istrinya demi ingin melihat istrinya
senang, 2) seseorang yang berbohong dalam situasi perang, karena
perang itu penuh muslihat dan 3) seseorang yang berbohong untuk
mendamaikan mereka yang sedang bertikai". Ketiga hal ini adalah
pengecualian dari keharaman berbohong dengan nash yang shohih.
Maka tidak boleh berbohong selain 3 kasus diatas. Karena tidak ada
pengecualian dari keumuman satu nash kecuali yang telah ditentukan
oleh dalil. Kata -kata "saat perang" dalam hadits diatas hanya
mempunyai makna satu, tidak lebih dari itu. Yaitu situasi perang nyata
dalam persoalan perang. Maka sama sekali tidak diperbolehkan
berbohong dalam keadaaan bukan perang.
Kasus ini terjadi saat perang. Meskipun teks hadits menyatakan bahwa
ucapan Muhamad ibn Musallamah adalah benar, dan bukan bohong,
tetapi sebenarnya itu adalah ungkapan ta’ridl (sindiran). Dia meminta
kepada Nabi saw. untuk dapat mengatakan apapun, dan Nabi saw.
memberinya izin mengatakan apapun, termasuk berbohong secara talwih
dan tasrih. Dan itu terjadi saat perang.
Hadits ini adalah hadits dlo’if (lemah) yang tidak bisa dipakai hujjah, Al
Bazzar mengatakan:
Aku tidak mengetahui dg lafadz ini kecuali dari sanad ini, Riysdin dan
Abdurrahman (dua perowi hadits ini) bukanlah orang yang baik
hafalannya.
Hukum Tauriyyah
Berbeda jika lafadz tersebut bisa dipahami oleh realita dan lainnya,
maka itu termasuk dari seni bahasa (balaghoh), dan itu bukan suatu
kebohongan. Seperti ungkapan orang Arab pada seseorang yang bermata
satu, "mudah-mudahan kedua matanya sama", kalimat ini bermakna
ganda, bisa mendoakan kesembuhannya (kedua matanya bisa melihat),
tetapi bisa pula berarti mendoakan jelek (kedua matanya menjadi buta).
Allahu A’lam.
[3] Dusta krn sayang, bukan dusta untuk mengurangi haknya, kalau
dusta untuk mengurangi haknya maka haram. Syarh an nawawi : وأ َّما
ُار ْال ُو ِد و ْالو ْع ِد بِما َّل ي ْلز ُم ون ْح ُو ذ ِلك فأ َّما ْال ُمخادعة ْ ِك ِذبُهُ ِلز ْوجتِ ِه وك ِذبُها لهُ ف ْال ُمراد ُ بِ ِه ِفي إ
ِ ظه
فِي م ْنعِ ما عل ْي ِه أو عليها أو أخذ ماليس لهُ أ ْو لها ف ُهو حرا ٌم ِبإ ِ ْجماعِ ْال ُم ْس ِل ِمين
Hukum-Hukum Berkaitan dengan Safar
1. Definisi Safar
Adapun jarak qashar minimal adalah 4 barid atau perjalanan dua hari,
atau sekitar 81 km.[2]
2. Shalatnya Musafir
a. Shalat Qashar
Ya’la bin Umayah berkata : Aku telah bertanya kepada Umar r.a.
tentang firman Allah : ( Q.S. 4 : 101), …mengapa kalian mengqashar
shalat kalian, jika kalian takut . . .”) ), sedangkan dewasa ini orang-orang
telah aman. Umar menjawab : Aku kagum ( heran ) dari apa yang
engkau herankan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. ( tentang
firman Allah Ta’ala tersebut ), lalu beliau menjawab :
“Itu adalah sedekah dari Allah untuk kalian, maka terimalah oleh
kalian sedekahNya itu “ (HR. Muslim)
b. Shalat Jama’
3. Puasanya Musafir
Seorang musafir juga boleh tidak berpuasa, namun wajib diganti (di
qodlo) di hari lain. Allah berfirman:
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain (QS. 2 : 185)
Rasulullah saw bersabda:
4. Seorang musafir juga boleh menyapu dua sepatu saja saat berwudlu
selama 3 hari safar, sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut:
5. Seorang Musafir tidak wajib shalat jum’at, namun tetap wajib shalat
dzuhur, sebagaimana sabda Rasul saw yang diriwayatkan Ad
Daruquthny:
[1] جامع العلوم في،33 / 3 الكليات. م1985 دار الكتاب العربي157 التعريفات
م1975 مؤسسة اْلعلمي169 / 2 اصطالحات الفنون.
[2] Syaikh Ali Raghib, Ahkaamus Shalat. Dalam penentuan jarak ini
memang ada ikhtilaf.
Khalifah Umar & Utsman Merubah Hukum Islam?
Mendudukkan Permasalahan
Dalam peristiwa ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat
terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah), para ulama telah menjelaskan
bahwa tindakan Umar itu bukan berarti mengubah hukum Islam karena
mengikuti keadaan, melainkan karena ada tuntunan nash syariat dari
Hadis Nabi saw. Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-
‘Uqûbat menjelaskan bahwa hukum potong tangan tidak dapat
diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang
ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Di antaranya adalah ketika terjadi
musibah kelaparan, sebagaimana diriwayatkan dari Makhul ra., bahwa
Nabi saw. bersabda:
Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa. Dalam
riwayat lain berbunyi:
Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan (Lihat pula Ali Al Qari
dalam ِِ المصابيح
ِ مرقاة المفاتيح شرح مشكاة, Abu Nu’aim dalam معرفة الصحابة,
atau Al Hâfidz Al Manâwi dalam: )التيسير بشرح الجامع الصغير
Jadi, Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena
mengamalkan hadis ini, sebagai pengecualian (takhsîs) dari ketentuan
umum potong tangan (QS 5: 38).
Sumber yang kedua pula menjelaskan bahwa Khalifah Utsman r.a. tidak
menjatuhkan hukum qisas (bunuh balas) dan cuma mengenakan diat, itu
pun dikeluarkan dari harta peribadinya sendiri. Sebenarnya, jika dilihat
dengan kaca mata yang adil dan ingin mencari kebaikan, bukan dengan
niat untuk mengeruhkan keadaan, yaitu dengan cara mengeksploitasi isu
yang kurang jelas, maka kita dapat melihat kebaikan implikasi tindakan
Khalifah Utsman r.a. itu. Yaitu sekiranya tepat apa yang dilaporkan oleh
fakta-fakta sejarah diatas, sebagai seorang khalifah Utsman r.a. bukan
saja menjatuhkan hukuman qishash pada Ubaidillah bin Umar yang
membunuh Harmuzan, tetapi juga membayar diyat, yaitu setelah
mengetahui si anak yang bertanggungjawab menjalankan hukuman itu
mengambil keputusan memaafkan saja pembunuh bapaknya, walaupun
anak tersebut tidak menuntut diyat ini. Ini merupakan satu langkah yang
cukup bijaksana, walaupun kebaikan-kebaikan seperti ini tidak
mendapat tempat di hati orang-orang yang sejak awal merancang untuk
menjatuhkan khalifah dan merusak Islam.
Penutup
Jadi tidaklah tepat kalau kedua orang khalifah (Umar & Utsman r.a)
dikatakan telah merubah syari’at Islam dan menyesuaikan dengan
kondisi zaman. Justru yang dilakukan mereka berdua adalah
menjalankan syari’at Islam dengan sepenuhnya, karena memang syari’at
Islam berlaku untuk manusia sepanjang zaman, selama manusia itu
masih bersifat manusia, tidak ber ‘evolusi’ menjadi kera, karena
memang Islam diturunkan untuk mengatur manusia. Adapun
penampakan adanya ‘perubahan’ maka sebenarnya yang berubah hanya
ada tidaknya ‘illat (sebab disyariatkannya hukum), kalau ‘illatnya ada
maka hukumnya akan ada, kalau ‘illatnya tidak ada hukumnya juga tidak
ada, namun hukum syari’atnya ya itu-itu juga.
[i] Abu Ja’far At Thabari, Târîkh ar Rusul wa al Muluk, juz 2 hal 428:
كانت العجم بالمدينة: قال، سمعت القماذبان يحدث عن قتل أبيه: قال،عن أبي منصور
ما: وقال، فتناوله منه، ومعه خنجر له رأسان، فمر فيروز بأبي،يستروح بعضها إلى بعض
رأيت هذا مع: قال، فلما أصيب عمر، آنس به؛ فرآه رجل:تصنع بهذا في هذه البلد؟ فقال
ثم، فأقبل عبيد هللا فقتله؛ فلما ولي عثمان دعاني فأمكنني منه. دفعه إلى فيروز،الهرمزان
فاذهب فاقتله؛ فخرجت به وما في األرض أحد، هذا قاتل أبيك؛ وأنت أولى به منا، يا بني:قال
– نعم – وسبوا عبيد هللا: ألي قتله؟ قالوا: فقلت لهم.إَل معي؛ إَل أنهم يطلبون إلي فيه
فقلت :أفلكم أن تمنعوه؟ قالواَ :ل ،وسبوه فتركته هلل ولهم .فاحتملوني؛ فوهللا ما بلغت المنزل
.إَل على رؤوس الرجال وأكفهم
جلس عثمان في جانب المسجد ودعا عبيد هللا وكان محبوسا في دار سعد بن أبي وقاص ][ii
وهو الذي نزع السيف من يده . . .فقال عثمان لجماعة من المهاجرين واألنصار :أشيروا ،
علي في هذا الذي فتق في اْلسلم ما فتق .فقال علي :أرى أن تقتله .فقال بعض المهاجرين
قتل عمر أمس ،ويقتل ابنه اليوم ؟ فقال عمرو بن العاص :يا أمير المؤمنين ،إن هللا :
أعفاك أن يكون هذا الحدث كان ولك على المسلمين سلطان ،إنما كان هذا الحدث وَل سلطان
.لك .قال عثمان :أنا وليهم ،وقد جعلتها دية ،واحتملتها في مالي
SEPUTAR AKHLAK
Oleh karena itu memerangi hawa nafsu adalah perkara yang dituntut
oleh syara’ untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu tidak seorangpun boleh
menolak pemikiran ini. Karena ungkapan dan fikrah ini dating dari
Rasulullah, yang harus ditolak adalah pemahaman keliru terhadap hadits
tersebut, yang diatas pemaham,an tadi dibangun hukum-hukum yang
bertentangan dengan hukum syara’. Dari sini maka wajib bagi kita
memahami jihadun nafsi dengan berbagai bentuk pemahaman berikut:
Neraka tutupi dengan sesuatu yang disukai oleh hawa nafsu dan surga
ditutupi dengan sesuatu yang dibenci hawa nafsu (HR. Bukhory)
Oleh karena itu hendaklah kita memperhatikan hal ini dalam memerangi
hawa nafsu. Disini jihadun nafsi berarti kita mendorong dengan
dorongan yang kuat dan memaksanya untuk melaksanakan perintah-
perintah Allah, pada saat yang sama juga harus dikekang dari
melaksanakan yang haram. Oleh karena itu jihadun nafsi (memerangi
hawa nafsu) adalah dengan cara tidak menuruti setiap ajakan hawa nafsu
jika perintah dan larangan Allah tidak sesuai dengan keinginan tersebut,
serta memaksanya dengan sepenuh kemampuan untuk melaksanakan
segala ketaatan kepada Allah baik yang ringan dan terlebih yang
berat/rumit yang nafsu tidak suka untuk melaksanakannya. Inilah yang
bisa dikatakan sebagai memerangi hawa nafsu sehingga orang yang
melaksanakannya akan mencapai derajat yang tinggi.
Dari sini maka tidak ada pertentangan antara memerangi hawa nafsu dan
memperbaiki diri disatu pihak dengan aktivitas penegakan khilafah
dipihak lain. Adapun jika seorang muslim menolak perjuangan
penegakan khilafah, atau menggampang-gampangkannya, atau
mengakhir-akhirkannya, bermalas-malasan melaksanakannya dengan
alasan memperbaiki diri lebih dahulu dan memerangi hawa nafsu……
maka sesungguhnya ia tidaklah memerangi hawa nafsunya, tidak
memperbaiki dirinya dan juga tidak mendidik dirinya…. Dan
sesungguhnya yang dilakukannya hanyalah menghancurkan dirinya,
yakni dengan menjatuhkan dirinya kepada sesuatu yang dimurkai dan
dibenci Allah, yakni meremehkan kewajiban yg dibebankan
dipundaknya, na’udzu billah. Hal ini karena seorang muslim jika
meninggalkan dengan sengaja kewajibannya, atau meremehkannya
maka tidaklah ia memperbaiki dan mendidik dirinya, mungkinkah
memperbaiki diri dan berperang melawan hawa nafsu dengan jalan
meninggalkan kefardhuan atau meremehkannya ??? Allahu Ta’ala
A’lam(hasil terjemahan jaman dulu, ditambahi pengantar)
Di majelis kau ratapi masa lalu. Namun di luar majelis engkau kembali
merampas.
Betapa sering kuseru hatimu. Tetapi kulihat hatimu lenyap bersama yang
lain.
Betapa merana orang yang terusir dari pintu-Nya bila tidak menemukan
jalan untuk mendekat dan menghampiri-Nya.
Al Hâfidz Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Bahjatul Majâlis[1]
menulis:
Namun ada musibah yang lebih besar dan senantiasa terjadi hingga saat
ini, musibah ini bahkan menjadi penyebab terjadinya musibah – musibah
yang lain. Inilah Musibah yang banyak dilalaikan umat saat ini, yakni
musibah yang menimpa agama, dimana manusia banyak yg menjadi
hamba selain Allah SWT, syari’at-Nya di injak injak, dianggap kuno,
dan merasa lebih pintar dari Allah dalam mengatur kehidupan ini.
Kita pantas merasa berdosa ketika tidak ikut membantu korban bencana,
namun sudahkah kita merasa berdosa ketika tidak ikut mengatasi
bencana yang lebih besar ini? Apa yang bisa kita katakan dihadapan
Allah kelak ketika kita ditanya dihadapan-Nya?
Yaa Allah jangan engkau palingkan hati kami sehingga lalai dari tugas
ini…
[3] Depkes RI
[5] Dalam silsilah ash shahihah 1/216 dikatakan hasan, dalam shahih at
targhib wat tarhib 2/157 dikatakan shahih lighairihi
Baca Juga:
Musibah Demi Musibah Jangan Membuat Lalai Dari Musibah
Yang Lebih Besar
Al Hâfidz Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Bahjatul Majâlis [1]
menulis:
Namun ada musibah yang lebih besar dan senantiasa terjadi hingga saat
ini, musibah ini bahkan menjadi penyebab terjadinya musibah – musibah
yang lain. Inilah Musibah yang banyak dilalaikan umat saat ini, yakni
musibah yang menimpa agama, dimana manusia banyak yg menjadi
hamba selain Allah SWT, syari’at-Nya di injak injak, dianggap kuno,
dan merasa lebih pintar dari Allah dalam mengatur kehidupan ini.
Kita pantas merasa berdosa ketika tidak ikut membantu korban bencana,
namun sudahkah kita merasa berdosa ketika tidak ikut mengatasi
bencana yang lebih besar ini? Apa yang bisa kita katakan dihadapan
Allah kelak ketika kita ditanya dihadapan-Nya?
Yaa Allah jangan engkau palingkan hati kami sehingga lalai dari tugas
ini…
[3] Depkes RI
[5] Dalam silsilah ash shahihah 1/216 dikatakan hasan, dalam shahih at
targhib wat tarhib 2/157 dikatakan shahih lighairihi
Khutbah Jum’at : Menjauhi Sikap ‘Ujub
“Tidak wahai anak Abu Bakar, wahai anak Ash Shiddîq, akan tetapi
maksudnya adalah orang yang shalat dan berpuasa serta bershodaqoh
(menunaikan zakat) dan dia takut kepada Allah AzzaWaJalla.”
Berbangga diri dan melupakan pemberi ni’mat, baik nikmat itu berupa
harta, anak, kepandaian/kecerdasan, kekuatan fisik, kemuliaan nasab, dll
merupakan perkara yang membinasakan diri manusia, dan masuk dalam
kategori syirik kecil, yakni menyekutukan Allah dengan diri.
Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi bahwa Rasulullah bersabda:
“Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang
ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub/bangganya seseorang
terhadap dirinya.”
Dalam hadits qudsi, Rasulullah saw berkata, bahwa Allah swt berkata:
Jika aku melewati malam dengan tidur dan pagi dalam kondisi menyesal
(krn tdk bangun beribadah) itu lebih aku sukai daripada aku melewati
malam dengan ibadah dan pagi harinya dengan berbangga diri.
وأورده المنذري في الترغيب والترهيب ) (286 / 2وقال :رواه البزار والبيهقي وغيرهما[2] ،
وهو مروي عن جماعة من الصحابة ،وأسانيده – وإن كان َّل يسلم شيء منها من مقال – فهو
بمجموعها حسن إن شاء هللا تعالى
Cinta Dunia adalah Pangkal Kesalahan
Salah satu yang membuat hidup menjadi susah adalah jika terlalu
memperhatikan pandangan orang lain tentang kita, ingin dipandang baik
oleh manusia dan khawatir dibenci manusia. Ketika mau berbuat suatu
kebaikan yang dipikirkan adalah “nanti bagaimana pandangan orang
kalau saya berbuat ini?”, “apa kata dunia?” … Gara-gara sikap seperti
ini, kadang idealisme tergadaikan, yang haram diterjang, yang haq
dihalang, teman ditendang, semua hanya karena “apa kata orang”.
***
***
Mencari ridlo semua orang adalah tujuan yang tdk akan pernah
tercapai, dan bukan jalan menuju keselamatan dari mereka, hendaklah
engkau menetapi apa yg memberi manfa’at (ukhrawi) engkau
Jangan Berburuk Sangka kpd Mukmin
“Tidak ada seorang alim pun, ataupun seorang yang mulia dan memiliki
keutamaan, melainkan ia pasti memiliki cela. Akan tetapi ada sebagian
manusia yang tidaklah sepatutnya mereka menyebutkan cela-cela para
ulama ini. Barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak daripada
kekurangannya, niscaya hilanglah kekurangannya karena banyaknya
keutamaannya.”[ Ibnu Abdil Barr di dalam at-Tamhid]
Jangan Mudah Men-cap Orang Lain Salah
Hadits Riwayat Imam Bukhori berikut menjadi pelajaran bagi kita untuk
hati-hati men-cap orang lain salah, apalagi sesat atau kafir, sebelum
benar-benar kita teliti.
.ُش َه ُد أ َ ْن َلَ إِلَهَ إَِلَّ هللاُ َوحْ َدهُ َلَ ش َِر ْيكَ لَه ْ َ أ.ِص ِام ِب َح ْب ِل هللا َ ِِي أ َ َم َرنَا ِبا ْ َِل ْعت
ْ ا َ ْل َح ْم ُد ِ ََّّللِ الَّذ
علَى آ ِل ِه َوصَحْ بِ ِه َ علَى ُم َح َّم ٍّد َو َ ص ِل َ اَللَّ ُه َّم.ُس ْولُهُ َلَ نَبِ َّي بَ ْع َده
ُ ع ْب ُدهُ َو َرَ ش َه ُد أ َ َّن ُم َح َّمدًا ْ َ َوأ
يَاأَيُّها َ الَّ ِذ ْي َن: فَقَا َل هللاُ تَعَالَى،ِ أ ُ ْو ِص ْي ُك ْم ِبت َ ْق َوى هللا،ِ أ َ َّما بَ ْعدُ؛ فَيَا ِعبَا َد هللا.َُو َم ْن ت َ ِب َع ُهدَاه
س ِل ُم ْو َنْ َءا َمنُوا اتَّقُوا هللاَ حَقَّ تُقَا ِت ِه َوَلَ تَ ُم ْوت ُ َّن إَِلَّ َوأَنت ُ ْم ُّم.
س ِل ِم ْي َن َر ِح َم ُك ُم هللا
ْ ش َر ال ُم
ِ َمعَا
Marilah kita senantiasa meningkatkan mutu keimanan dan kualitas
ketaqwaan kita, dengan senantiasa mengoptimalkan ketaatan kita kepada
Allah SWT dalam kehidupan dunia yang fana ini.
Begitu juga seorang pengembara atau musafir, dia tidak akan membawa
sesuatu yang justru akan membuat dia payah dalam perjalanannya. Dia
tidak akan membangun istana di perjalanannya, yang kelak akan dia
tinggalkan dan tidak akan kembali lagi. Oleh sebab itulah maka
Rasulullah meminta untuk memposisikan hidup didunia seperti orang
asing atau pengembara.
Bekal terbaik dalam perjalanan dunia ini adalah taqwa, yakni
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Allah berfirman:
Sungguh ketika taqwa, bekal terbaik ini, kita tukar dengan sesuatu di
negeri asing yang fana ini, maka penderitaanlah yang akan kita peroleh,
bukan hanya di negeri tujuan yg kekal, namun penderitaan ini juga
terasa di negeri asing nan fana ini.
Namun banyak yang lupa bahwa dunia sejatinya adalah sebuah terminal
persinggahan untuk menuju terminal terakhir, kehidupan akhirat yang
kekal. Saat ini kita berkelana di atasnya sebagai seorang pengembara
atau musafir menempuh perjalanan yang sangat jauh menuju terminal
terakhir. Di sanalah kelak orang akan menuai kebahagiaan yang sejati,
sebagaimana juga akan menuai penderitaan yang abadi. Allah berfirman:
Tetapi kamu orang-orang kafir memilih kehidupan dunia. Sedangkan
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS al-A’la [87]:
16-17)
Semoga dengan sisa umur kita di dunia ini, Allah menjadikan kita
sebagai musafir cerdas yang tidak tertipu dengan dunia dengan menjual
bekal terbaik kita yakni taqwa. Semoga Allah memberi kekuatan kepada
kita untuk mengorbankan sebagian kesenangan kesenangan dunia kita
untuk kita jadikan bekal menuju tempat abadi kelak, meluangkan waktu
kita untuk mengkaji aturan-aturan Allah dan berupaya seoptimal
mungkin untuk mengamalkan, menyebarkan dan memperjuangkannya.
Hanya dengan itulah bekal taqwa akan kita peroleh. Bekal yang akan
memudahkan kehidupan diperjalanan dunia, bahkan ketika sampai ke
tempat tujuan. Allah berfirman:
Khutbah Kedua:
ُش َه ُد أَ ْن َلَ إِ َلهَ إَِلَّ هللاُ َوحْ َده ْ َ أ.ص ِام ِب َح ْب ِل هللاِ ا ْل َمتِ ْي ِن َ ِِي أَ َم َرنَا ِبا ْ َِلتِ َحا ِد َواْ َِل ْعت ْ ا َ ْل َح ْم ُد ِ ََّّللِ الَّذ
ًث َرحْ َمة ُ ا َ ْل َم ْبعُ ْو،ُس ْولُه َ ش َه ُد أ َ َّن ُم َح َّمدًا
ُ ع ْب ُدهُ َو َر ْ َ َوأ.ستَ ِع ْي ُن ْ َ إِيَّاهُ نَ ْعبُ ُد َوإِيَّاُه ن،َُلَش َِر ْيكَ لَه
اِتَّقُوا هللاَ َما، ِع َبا َد هللا.ص َحا ِب ِه أَجْ َم ِع ْي َن ْ َ علَى آ ِل ِه َوأ َ علَى ُم َح َّم ٍّد َو َ ص ِل َ اَللَّ ُه َّم.ِل ْلعَالَ ِم ْي َن
َ َياأَيُّها،ِعلَى النَّبِي َ ُ إِ َّن هللاَ َو َملَئِ َكتَهُ ي.ب ا ْلعَالَ ِم ْي َن
َ صلُّ ْو َن ِ س ِارع ُْوا إِلَى َم ْغ ِف َر ِة َر َ ط ْعت ُ ْم َو َ َ ستْ ا
علَى آ ِل ِه َ علَى ُم َح َّم ٍّد َو َ س ِل ْم َو َب ِار ْك
َ ص ِل َو َ اَللَّ ُه َّم.س ِل ْي ًما ْ َ س ِل ُم ْوا ت َ ع َل ْي ِه َوَ صلُّ ْوا َ الَّ ِذ ْي َن َءا َمنُ ْوا
ص ِر ُ َوا ْن،س ِل ِم ْي َن ْ ص ِلحْ َج ِم ْي َع ُوَلَةَ ا ْل ُم ْ َ اَللَّ ُه َّم أ.اج ِه َوذُ ِريَّاتِ ِه أَجْ َم ِع ْي َن ِ ص َحا ِب ِه َوقَ َرابَتِ ِه َوأ َ ْز َو ْ َ َوأ
اَللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر.الد ْي ِن ِ َوأَ ْه ِل ِك ا ْل َكفَ َرةَ َوا ْل ُمش ِْر ِك ْي َن َوأ َ ْع ِل َك ِل َمت َكَ إِلَى َي ْو ِم،س ِل ِم ْي َن ْ سلَ َم َوا ْل ُم ْ اْ ِْل
ب ُ ب ُم ِج ْي ٌ ِإنَّكَ قَ ِر ْي،ِاء ِم ْن ُه ْم َواْأل َ ْم َوات ِ َت اْألَحْ ي ِ ت َوا ْل ُم ْؤ ِم ِن ْي َن َوا ْل ُم ْؤ ِمنَا ْ س ِل ِم ْي َن َوا ْل ُم
ِ س ِل َما ْ ِل ْل ُم
َربَّ َنا.ق َوا َ ْنتَ َخ ْي ُر ا ْلفَاتِ ِح ْي َن ِ افتَحْ بَ ْي َننَا َوبَ ْي َن قَ ْو ِمنَّا بِا ْل َح ْ اَللَّ ُه َّم.ِاض َي ا ْل َحا َجات ِ َت َويَا ق ِ ال َّدع ََوا
اب النَّ ِار َ َ عذ َ سنَة َو ِقنَا ً ِ سنَة َو ِفي
َ اآلخ َر ِة َح ً َ آ ِتنَا ِفي ال ُّد ْن َيا َح.
َآء َوا ْل ُمنك َِر
ِ آئ ذِي ا ْلقُ ْربَى َو َي ْن َهى ع َِن ا ْلفَحْ ش ِ َان َوإِيت َ ْ إِ َّن هللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم بِا ْلعَ ْد ِل َواْ ِْلح،ِِعبَا َد هللا
ِ س
ْ َ فَا ْذك ُُروا هللاَ ا ْلعَ ِظ ْي َم يَ ْذك ُْر ُك ْم َوا ْدع ُْوهُ ي.ظ ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَذَك َُّر ْو َن
ِست َ ِج ْب لَ ُك ْم َولَ ِذك ُْر هللا ُ َوا ْلبَ ْغي ِ يَ ِع
أ َ ْكبَ ُر.
Khutbah Jum’at: Kehinaan & Kemuliaan Umat
يا ربنا،ين حمدًا يُ َوا ِفي ِن َع َمهُ ويكافي مزيدَه َ ين حم َد النَّا ِع ِم َ الحم ُد هلل رب العالمين حم َد الشَّا ِك ِر
أشهد أن َل إله إَل أنتَ وحدَك َل.يم سلطانِك ِ الكريم وع َِظ
ِ َوجهكِ َلك الحم ُد كما ينبغي لجل ِلك
ع الملكَ ِم َّم ْن تشا ُء وت ُ ِع ُّز من تشا ُء ُ اللهم يا ما ِلكَ ال ُم ْل ِك ت ُـؤتِي الملكَ من تشا ُء وتَ ْنز،شريكَ لك
اَللَّ ُه َّم. وأشهد أن محمدا عبدُك ورسولُك،الخير إنك على كل شيء قدير ِ وت ُ ِذ ُّل من تشا ُء بيدك
فَيَا أَيُّ َها. أما بعد.الد ْي ِن ِ ان إِلَى يَ ْو ِم ٍّ س َ ْعلَى آ ِل ِه َوصَحْ بِ ِه َو َم ْن تَبِعَ ُه ْم بِ ِإح َ علَى سيدِنا ُم َح َّم ٍّد َو
َ ص ِلَ
َ ص ِلحْ لَ ُك ْم أ َ ْع َمالَ ُك ْم َو َي ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُ ْو َب ُك ْم َو َم ْن يُ ِط ِع
هللا َ ًهللا َوقُ ْولُ ْوا قَ ْوَل
ْ ُ ي.س ِد ْيدًا َ الَّ ِذ ْي َن َءا َمنُوا اتَّقُوا
از فَ ْو ًزا ع َِظ ْي ًما
َ َس ْولَهُ فَقَ ْد ف
ُ و َر. َ
Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah
Dari mimbar yang agung ini saya menyeru diri saya dan saudara-saudara
sekalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah SWT dalam gerak dan
diam kita, di setiap saat dan waktu dengan benar-benar taqwa.
Ketika pembukaan al-Quds, saat itu khalifah Umar r.a menuju kesana
untuk serah terima kunci Palestina dari penduduknya yg sukarela
bergabung dg khilafah Islam. Thariq bin Syihab menceritakan bahwa
turut pula Abu Ubaidah bin Al Jarrah r.a. Saat melewati arungan sungai,
‘Umar r.a turun dari untanya dan kemudian melepas kedua sepatunya,
meletakkan kedua sepatunya tersebut dipundaknya, memegang tali
kekang untanya lalu menyebrangi sungai. Maka Abu ‘Ubaidah selaku
panglima perang yang membuka al-Quds berkata: Wahai amiirul
mukminin, engkau melakukan hal ini?, melepas kedua sepatumu,
meletakkan kedua sepatumu dipundakmu, memegang tali kekang untamu
lalu menyebrangi sungai ? sesungguhnya penduduk negeri (Palestina)
berdiri (menunggu) menyambut engkau”.
Adalah sangat ajaib, kalu ada yang masih saja mencari kemuliaan
dengan menjilat musuh mereka, menyambut mereka bak tamu agung
yang akan menyelesaikan problem umat ini, padahal krisis yang
menimpa Amerika jauh lebih besar daripada yang menimpa kita, utang
luar negeri Amerika saja sudah 13 trilyun dolar AS[3], (= Rp. 117.000
trilyun, dengan kurs 1 dolar = 9 ribu), hampir 60 kali lipat utang
Indonesia yang sekitar Rp. 2000 trilyun.
ش َه ُد أ َ ْن ََل ِإ َل َه ِإَلَّ هللاس ْو ِل هللاَِ ،وَلَ َح ْو َل َوَلَ قُ َّوةَ ِإَلَّ ِباهللِ.أَ ْ علَى َر ُ سلَ ُم َ صلَةُ َوال َّ ا َ ْل َح ْم ُد ِ ََّّللِ َوال َّ
علَى نَ ِب ِيكَ ُم َح َّم ٍّد س ِل ْم َوبَ ِار ْك َص ِل َو َ س ْولُهُ.اَللَّ ُه َّم َ ش َه ُد أ َ َّن ُم َح َّمدًا َ
ع ْب ُدهُ َو َر ُ َوحْ َدهُ َلَ ش َِر ْيكَ لَهُ َوأ َ ْ
علَى آ ِل ِه َو َم ْن تَبِ َع ُهدَاهُ إِلَى يَ ْو ِم ا ْل ِقيَا َم ِة .و ََ
از ا ْل ُمتَّقُ ْو َن .إِ َّن هللاَ اي بِتَ ْق َوى هللاِ ،فَقَ ْد فَ َ ش َد ُك ُم هللاُ أ ُ ْو ِص ْي ُك ْم َوإِيَّ َ س ِل ِم ْي َن أ َ ْر َ
ش َر ا ْل ُم ْ أ َ َّما بَ ْعدُ؛ َمعَا ِ
ص ِل س ِل ْي ًما .اَللَّ ُه َّم َ علَ ْي ِه َو َ
س ِل ُم ْوا ت َ ْ علَى النَّ ِبيَِ ،يا أَيُّها َ الَّ ِذ ْي َن َءا َمنُ ْوا َ
صلُّ ْوا َ صلُّ ْو َن َ َو َملَئِ َكتَهُ يُ َ
علَى ُم َح َّم ٍّد علَى آ ِل إِ ْب َرا ِه ْي َمَ .و َب ِار ْك َ علَى إِ ْب َرا ِه ْي َم َو َ صلَّيْتَ َ علَى آ ِل ُم َح َّم ٍّد َك َما َ علَى ُم َح َّم ٍّد َو َ َ
ع َلى آ ِل ِإ ْب َرا ِه ْي َمِ ،إنَّكَ َح ِم ْي ٌد َم ِج ْيدٌ .أَلل ُه َّم ا ْغ ِف ْر علَى ِإ ْب َرا ِه ْي َم َو َ ار ْكتَ َ علَى آ ِل ُم َح َّم ٍّد َك َما َب َ َو َ
سلَ َم اء ِم ْن ُه ْم َواْأل َ ْم َواتِ .أَلل ُه َّم ا َ ِع ِز اْ َِل ْ ت اَ ِْألَحْ يَ ِ ت َوا ْل ُم ْؤ ِم ِن ْي َن َوا ْل ُم ْؤ ِمنَا ِ س ِل َما ِس ِل ِم ْي َن َو ا ْل ُم ْ
ِل ْل ُم ْ
ص ْر ُه ْم ان ِْ ُ ص ِل ْح ذَاتَ بَ ْينِ ِه ْم َو ْ ف َب ْي َن قُلُ ْوبِ ِه ْم َوأ ْ ص ِل ْح ُوَلةَ ال ُم ْ
س ِل ِم ْي َن َو ِأل ْ س ِل ِم ْي َن َوأ َ َْوا ْل ُم ْ
س ِل ِم ْي َن َربَّنَا ا ْغ ِف ْر لَ َنا َو ِل َوا ِل َد ْينَا
لم َوال ُم ْس ِ ح اْل ْ صلَ ُ عد ُِو ِه ْم َو َوفِ ْق ُه ْم ِل ْل َع َم ِل ِب َما فِ ْي ِه َ عد ُِوكَ َو َ علَى َ َ
اب النَّ ِار. عذ َ َ سنَةً َوقِنَا َ اآلخ َر ِة َح َ سنَةً َوفِي ِ اراَ .ربَّنَا آتِ َنا فِي ال ُّد ْن َيا َح َ ار َح ْم ُه َما َك َما َربَّيَانَا ِصغَ ً َو ْ
َآء َوا ْل ُمنك َِر آئ ذِي ا ْلقُ ْر َبى َو َي ْن َهى ع َِن ا ْلفَحْ ش ِ ان َو ِإيتَ ِ س ِ هللاِ ،إ َّن هللاَ َيأ ْ ُم ُر ُك ْم ِبا ْل َع ْد ِل َواْ ِْلحْ َِع َبا َد ِ
ض ِل ِه يُ ْع ِط ُك ْم َولَ ِذك ُْر هللاِ سأَلُ ْوهُ ِم ْن َف ْ ظ ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَذَك َُّر ْو َن .فَا ْذك ُُروا هللاَ ا ْلعَ ِظ ْي َم يَ ْذك ُْر ُك ْم َوا ْ َوا ْلبَ ْغي ِ يَ ِع ُ
.أ َ ْكبَ ُر
[2] http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/amerika-segera-
menjadi-negara-dunia-ketiga.htm, diakses 16/9/2010
][3
http://internasional.kompas.com/read/2010/10/22/11494356/Muka.Buru
k.Cermin.Dibelah
‘Diet’ Spiritual
“Aku heran dengan orang yang bisa melakukan diet dari makanan
sebab takut penyakit, bagaimana bisa dia tidak mampu diet dari dosa
sebab takut neraka.” (Akhbâr al-Qudhât, 3/123).
Diet seperti ini tidaklah selalu terhadap yang haram, akan semakin baik
untuk meningkatkan sisi spiritual seseorang; meningkatkan derajat
takwa, jika hal-hal yang halal pun dia jaga agar tidak berlebihan. Imam
Ahmad berkata
Jika tidak sekarang kita melakukan ‘diet’ dengan meninggalkan hal yang
membahayakan akhirat kita, yakinkah kita akan hidup sampai hari esok?
Jika kita tidak bersabar untuk menghentikan dosa-dosa kita dan meminta
ampun kepada-Nya, yakinkah kita mampu bersabar saat Dia menyiksa
kita di akhirat kelak?.
Menyikapi Kegagalan
Bukan hanya dana yang rata-rata perhari habis Rp35,9 Milyar[1], pemilu
di negeri ini juga menghabiskan ‘jiwa’. Modal habis, hutang menumpuk,
ditambah gagal menjadi anggota dewan membuat tidak sedikit caleg
gagal yang akhirnya stress. Ujung-ujungnya negara, lewat BPJS pula
yang menanggung pengobatan mereka.[2] RSJ Menur Surabaya,
misalnya telah menyiapkan 309 kamar untuk caleg gagal terpilih[3],
sementara di RSJ Sambang Lihum Kalsel hanya menyediakan 80 tempat
tidur.[4]
Setidaknya ada lima tipe caleg, pertama, caleg yang bermain curang,
menghabiskan uang untuk ‘money politic’, namun gagal. Kedua, caleg
yang bermain bersih, tidak banyak keluar uang, dan gagal. Ketiga, caleg
yang bermain curang, menghabiskan uang untuk ‘money politic’, dan
berhasil menggapai impiannya. Keempat, caleg yang bermain bersih,
tidak banyak keluar uang, dan berhasil menggapai impiannya. Kelima,
caleg yang maju karena didanai pihak ketiga, gagal atau tidak tidak
berpengaruh ke ‘dompetnya’.
“Dan kecelakaan yang panjang bagi seseorang yang mati namun dosa-
dosanya tetap (mengalir) seratus tahun, dua ratus tahun atau lebih, dia
disiksa dikuburnya karenanya (dosa yang masih mengalir) dan dimintai
pertanggungjawaban tentangnya hingga berakhirnya dosa tersebut”
Berhasil duduk sebagai anggota legislatif bukanlah satu hal yang layak
dianggap sebagai kesuksesan, apalagi dalam sistem demokrasi saat ini,
dimana hukum-hukum Allah diletakkan di bawah kemauan manusia;
jika mayoritas mereka mau maka hukum Allah boleh dilaksanakan,
namun jika mereka menolak, atas nama kedaulatan rakyat maka hukum
Allah harus dipinggirkan. Minuman keras dianggap penopang ekonomi,
LGBT diamanahkan untuk dilindungi, bukan dididik, dinasehati lalu jika
membangkang diberi hukuman sesuai syari’at Ilahi. Sementara kelak, di
akhirat anggota legislatif tersebut tetaplah akan dihukumi apakah
perbuatan, peraturan dan ketetapan yang mereka buat sesuai dengan
Islam atau tidak, bukan ditanya kesesuaiannya dengan demokrasi atau
tidak. Bukankah jika tidak berani menyuarakan Islam, mengemban
amanah Allah, maka menjadi anggota legislatif hanya akan melahirkan
kehinaan? Rasulullah mengingatkan:
[2] “BPJS Tanggung Biaya Pengobatan Caleg Stres,” accessed April 18,
2019, https://regional.kompas.com/read/2019/04/16/16092711/bpjs-
tanggung-biaya-pengobatan-caleg-stres.
[3] “RSJ Menur Surabaya Siapkan 309 Kamar Untuk Caleg Gagal
Terpilih,” accessed April 18, 2019,
https://regional.kompas.com/read/2019/04/16/19105031/rsj-menur-
surabaya-siapkan-309-kamar-untuk-caleg-gagal-terpilih.
Rasulullah bersabda:
‘Ada tujuh kelompok orang yang dinaungi oleh Allah pada hari tiada
naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil…’ (HR. al-
Bukhari dan Muslim).
“Imam atau pemimpin yang adil adalah penguasa umum (bagi kaum
muslimin/shâhibu al-wilâyati al-udzma[1]/khalifah) yang mengikuti
perintah-perintah Allah Ta’ala, menempatkan segala sesuatu di
tempatnya tanpa kelebihan dan tanpa kekurangan.”[2]
Pemimpin yang adil akan berlaku adil untuk dirinya sendiri, yakni
melakukan ketaatan kepada Allah secara pribadi, menjauhi berdusta,
korupsi, maupun berbagai maksiyat lainnya.
Pemimpin yang adil juga akan berlaku adil dalam memerintah, yang ini
tercermin dalam dua hal: Pertama, memposisikan siapa saja sejajar
dihadapan hukum, baik orang tersebut dicintainya atau dibencinya.
Kedua, hukum yang dijalankan adalah hukum Allah Ta’ala. Sebagus
apapun dia memperlakukan rakyat, aturan yang dipakai adalah aturan-
aturan yang bertolak belakang dengan aturan Allah, maka dia tidak
disebut adil, namun justru disebut zalim atau fasiq, ini jika dia masih
meyakini kebaikan hukum Allah Ta’ala. Allah berfirman:
Terkait ayat ini, Imam Al Baghawi (w. 510 H) dalam tafsirnya mengutip
Ikrimah maula Ibnu Abbas r.a yang menyatakan:
Ketika Khalifah Umar mengejar unta zakat yang lepas, Beliau ditegur
oleh Imam Ali ra:
“Jangan Engkau cela aku wahai Abul Hasan; demi Tuhan yang telah
mengutus Muhammad SAW dengan kenabian, andaikan ada anak
domba (zakat) pergi (hilang) di tepi sungai Furat, pasti Umar akan
disalahkan atas hal tersebut pada hari kiamat, karena sungguh tiada
kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak/harta)
kaum muslimin, juga tidak bagi orang fasik yang meresahkan orang-
orang mukmin.” (Tanbîhul Ghâfilîn, hal 384).
[2] Hasan Sulaiman Nuri and Sayyid Alwi Al-Maliki, Ibânat Al-Ahkâm
Syarh Bulûgh Al-Marâm, Cet. I. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1416), Juz 2, hlm.
256.
Takut kepada Allah merupakan kewajiban. Siapa saja yang tidak takut
kepada Allah di dunia, kelak dia dibuat ketakutan pada hari kiamat,
sebagaimana hadits qudsi riwayat Ibnu Hibban dalam shahihnya:
Hanya saja takut kepada Allah yang hakiki tidak sekedar di bibir saja,
namun tercermin dalam hati, sikap, perbuatan dan ucapan.
Tanda bahwa seorang hamba itu takut kepada Allah Ta’ala nampak
dalam tujuh perkara:
Keenam, dia takut dalam urusan hatinya, hingga dia membuang rasa
permusuhan, kebencian dan kedengkian kepada saudara, dan
memasukkan kedalam hatinya nasehat dan simpati kepada kaum
muslimin
Ketujuh, dia takut dalam urusan taat kepada Allah, hingga menjadikan
ketaatannya ikhlas mengharap Allah semata, khawatir terjatuh kepada
riya’ dan nifaq. (Abu Laits al-Samarkandi, Tanbîh Al-Ghâfilîn, Cet. III.
(Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 2000), hlm. 390-391).[1]
Sungguh kita tertipu oleh diri sendiri jika kita mengaku takut hanya
kepada Allah, namun masih ringan kata untuk berdusta, hati masih
merasa berat menerima hukum dan ketentuan Allah Ta’ala, mata masih
lebih senang melihat aurat yang terbuka, gemerlap dunia masih lebih
memukau kita daripada berjuang untuk merealisir ketaatan pada Sang
Pencipta.
Tak peduli kita rakyat jelata ataupun penguasa, menentang syari’at Allah
Ta’ala dan mempersekusi pejuangnya serta menyematkan tuduhan-
tuduhan dusta kepada mereka merupakan bukti bahwa kita berani
memerangi Allah walaupun mulut kita berbusa mengatakan “aku hanya
takut kepada Allah”. Allâhu A’lam.
[1] Abu Laits al-Samarkandi, Tanbîh Al-Ghâfilîn, Cet. III. (Beirut: Dâr
Ibnu Katsir, 2000), hlm. 390-391.
Merekatkan Hati Rakyat
Salah satu tugas berat pasca pemilu nanti, disamping membangun negeri
yang makin terlilit hutang adalah tugas untuk merekatkan kembali hati-
hati rakyat yang sudah terpolarisasi. Masing-masing kubu cenderung
tidak percaya kepada kubu yang lainnya. Beberapa hal yang mesti
diupayakan oleh setiap pihak yang ingin merekatkan hati rakyat, dan ini
harus dimulai dari diri masing-masing pihak, terutama kalangan
penguasa antara lain:
Mengikis Fanatisme
Sikap seperti ini dicela oleh Rasulullah dan diancam pelakunya dengan
siksaan. Rasulullah bersabda:
Salah satu sikap yang menjadikan rusaknya suatu bangsa adalah ketika
elit politik tidak dapat berlaku adil. Fir’aun, walaupun kekuasaannya
sangat besar sehingga dia mendakwa dirinya sebagai tuhan, kekuasaan
yang besar tersebut tiada berguna ketika dia memperlakukan rakyatnya
dengan tidak adil dan memecah belah persatuan rakyat. Allah
menyatakan:
ْ ع ْن ُه ْم َوا
ست َ ْغ ِف ْر َ ْف ُ ضوا ِم ْن َح ْو ِلكَ فَاع ُّ ب ََل ْن َف َ غ ِلي
ِ ظ ا ْلقَ ْل َ ظا ًّ ََّللاِ ِل ْنتَ َل ُه ْم َولَ ْو ُك ْنتَ ف
َّ فَ ِب َما َرحْ َم ٍّة ِم َن
159) ين َ ب ا ْل ُمت َ َو ِك ِل َّ علَى
َّ َّللاِ إِ َّن
ُّ َّللاَ يُ ِح َ )لَ ُه ْم َوشَا ِو ْر ُه ْم فِي ْاأل َ ْم ِر فَ ِإذَا ع ََز ْمتَ فَت َ َو َّك ْل
Islam Mempersatukan
Sesungguhnya shalat lelaki dengan wanita adalah sama dalam hal rukun,
syarat, sunnah dan makruhnya. Adapun tata cara melakukan sunnah-
sunnahnya mayoritas juga sama, namun berbeda sebagiannya.
Begitu juga berbeda antara lelaki dan perempuan dalam shalat jama’ah:
Perlu Keteladanan
Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar tersebut bisa efektif karena
beliau sendiri menjadi teladan dalam hal ini. Beliau menyita sendiri
seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena
kedapatan digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Ini dinilai
Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Suci dari najis adalah termasuk bagian dari syarat sahnya shalat.
Masalahnya jika seseorang merasa yakin bahwa dirinya telah suci dari
najis, namun ternyata setelah selesai shalat, ia melihat bajunya terkena
najis yang tidak ma’fu (ditoleransi), wajibkah dia mengulangi shalatnya?
Para ulama madzhab Syafi’i sendiri berbeda pendapat tentang hal ini,
hanya saja pendapat yang ashah[1] dalam madzhab Syafi’i, seseorang
yang ada najis pada badan/pakaiannya, dia baru mengetahui setelah dia
selesai shalat, dan dia ‘yakin’ bahwa dia shalat dengan
membawa/terkena najis tersebut maka shalatnya tidak sah dan dia wajib
mengulanginya. Dalam Al Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i dinyatakan:
“dan sucinya badan dari najis merupakan syarat sahnya shalat, jika dia
tahu najis tersebut (lalu shalat dengan najis tersebut) maka tidak sah
shalatnya. Begitu juga jika dia lupa atau tidak tahu, maka tidak sah
shalatnya, jika dia shalat (dengan adanya najis tersebut) maka dia
wajib mengulanginya, karena kesucian (thaharah) adalah wajib maka
tidak gugur dengan alasan tidak tahu sebagaimana wudhu. Sama saja
hal tersebut terjadi dalam shalat fardhu, sunnah, jenazah, sujud tilawah
dan syukur, semua itu syaratnya adalah tidak adanya najis” [2]
[1] Al-ashah adalah pendapat yang diambil dari dua atau tiga lebih
wajah yang perbedaanya kuat. Wajah/Awjuh sendiri adalah istilah untuk
menyatakan pendapat ulama Syafi’iyyah yang berlandaskan kaidah dan
metode ushul fiqh Imam Syafi’i, ini untuk membedakan dengan
pendapat Imam al-Syafi’i sendiri yang disebut dengan istilah qowl.
[3] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-
Muhadzdzab (Ma’a Takmilah Al-Subki Wa Al-Muthi’i) (Beirut: Dâr al-
Fikr (dalam al-Maktabah al-Syamilah), tt), Juz 3, hlm. 157.