Anda di halaman 1dari 13

Kejahatan

kejahatan adalah tindakan melawan hukum (agama) yang membuatnya harus menerima sanksi di
dunia dan boleh jadi juga di akhirat kelak. Kalau perbuatan dosa belum tentu dikategorikan sebagai
tindak kejahatan, maka tindak kejahatan secara otomatis dikategorikan perbuatan dosa (maksiat). jika
seseorang mencuri, merampok, korupsi, membunuh, memperdagangkan barang haram dan lain-lain
maka ia berdosa dan melakukan kejahatan sekaligus. Berdosa karena ia melanggar ketentuan agama
yang melarang perbuatan tersebut. Tetapi juga kejahatan, karena tindakan tersebut melanggar
(melawan) hukum agama. Sedangkan dalam konteks hukum negara (positif), perbuatan dosa
melanggarkan ketentuan agama sedangkan kejahatan adalah tindakan melanggar hukum negara.

Menurut persfektif Islam, secara umum ada dua faktor yang mendorong orang untuk melakukan
perbuatan dosa (maksiat) dan kejahatan, yaitu :

faktor internal yang berasal dari dalam diri manusia berupa; keinginan berlebih-lebihan untuk
memenuhi kebutuhan perut dan kelamin (Q.S.Ali Imran: 14), amarah dan dendam (Q.S. Yusuf: 53),
irihati dan dengki ((Q.S. Yusuf: 7-10), Keinginan untuk berkuasa (Q.S. Al-Qashash: 4) dan lain-lain.
faktor eksternal yang berasal dari luar diri manusia, yaitu makhluk berjisim halus yang bersifat
menggoda (syetan). “sesungguhnya syetan itu menyuruh kamu berbuat keburukan dan maksiat
(perbuatan keji), serta mengatakan atas nama Allah swt apa yang kamu tidak ketahui (Q.S. Al-
Baqarah: 169). Dan setan itu bisa jadi dari golongan jin dan bisa jadi dari golongan manusia (Q.S. Al-
An’am: 112)

Definisi Jarimah (Kejahatan) Menurut Islam

ِ ‫اص َحيَاةٌ يَاُأولِي اَْأل ْلبَا‬


َ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫َولَ ُك ْم فِي ْالق‬
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]:179)

Didalam Hukum Qishos terdapat hikmah yang sangat besar, yaitu menjaga jiwa. Karena, jika pelaku
pembunuhan mengetahui sanksi dari pada perbuatannya juga akan dibunuh, maka ia akan berfikir
ulang karena akan merasa takut untuk melakukan pembunuhan. Dengan demikian ‘uqubat berfungsi
sebagai pencegah (zawajir), karena dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan.

Di dalam Islam mempunyai definisi yang khas tentang kejahatan, syaikh Abdurahman al Maliki
dalam kitabnya Nidhomul ‘Uqubat menjelaskan tentang definisi kejahatan :

‫ ولذلك ال يعتبر الفعل جريمة إال إذا نص الشرع على إنه فعل قبيح فيعتبر حينئذ‬. ‫ والقبيح ما قبحه الشرع‬، ‫والجريمة هي الفعل القبيح‬
‫جريمة‬

Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan tercela. Tercela adalah apa yang Allah mencelanya pula. Itu
sebabnya, suatu perbuatan tidak dianggap kejahatan kecuali jika ditetapkan oleh syara’ bahwa
perbuatan itu tercela. Ketika syara’ telah menetapkan bahwa perbuatan itu tercela, maka sudah pasti
perbuatan itu disebut kejahatan.
‫ وإنما هي‬، ‫ كما أنها ليست مرضا يصاب به اإلنسان‬، ‫ وال هي مكتسبة يكتسبها اإلنسان‬، ‫وليست الجريمة موجودة في فطرة اإلنسان‬
‫ وعالقات الناس بعضهم ببعض‬، ‫ الذي ينظم أفعال اإلنسان في عالقته بربه وبنفسه‬، ‫مخالفة النظام‬

Kejahatan bukanlah fitrah manusia. Kejahatan bukan pula “profesi” yang diusahakan oleh manusia.
Kejahatan bukan pula penyakit yang menimpa manusia, akan tetapi, kejahatan (jarimah) adalah
tindakan melanggar aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia dalam hubungannya dengan
Rabbnya, dengan dirinya sendiri, dan hubungannya dengan manusia yang lain.

Maka dari definisi diatas dinamakan jarimah (kejahatan) adalah apa syara’ telah tetapkah bahwa
perbuatan tersebut tercela. Mari ambil contoh salah satu perbuatan yang tercela menurut syara’. Jika
seseorang meminum khamr (minuman keras) maka hal tersebut adalah sesuatu yang tercela (berdosa).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

‫ ِإنَّ َما ي ُِري ُد ال َّش ْيطَانُ َأ ْن‬, َ‫األزال ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬ ْ ‫صابُ َو‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإنَّ َما ْالخَ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َواأل ْن‬
َ‫ص َّد ُك ْم ع َْن ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َع ِن الصَّال ِة فَهَلْ َأ ْنتُ ْم ُم ْنتَهُون‬
ُ َ‫ضا َء فِي ْال َخ ْم ِر َو ْال َمي ِْس ِر َوي‬
َ ‫يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْال َعدَا َوةَ َو ْالبَ ْغ‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Ma-idah: 90-91)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ص َرهَا َو َحا ِملَهَ̃ا َو ْال َمحْ ُمولَةَ ِإلَ ْي ِه‬


ِ َ‫َاص َرهَا َو ُم ْعت‬ ِ ‫لَعَنَ هَّللا ُ ْال َخ ْم َر َوش‬
ِ ‫َاربَهَا َو َساقِيَهَا َوبَاِئ َعهَا َو ُم ْبتَا َعهَا َوع‬

“Allah melaknat khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya,penjualnya,


pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang
mengantarnya dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah)

Maka syara’ memutuskan peminum, penjual, pembeli dan segala yang terlibat dengan bisnis khamr
ini akan terkena sanksi. Namun jika di putuskan oleh manusia (dan jika syara’ bukan sebagai standart
baik buruk) diperlukan diskusi yang panjang “apakah khamr ini boleh atau tidak”, “manfaat dan efek
negatifnya” dan jika melahirkan keputusan, keputusan tersebut akan merusak manusia itu sendiri.

Sebagai contoh peraturan yang lahir dari manusia tentang peraturan peredaran dan kandungan etanol
dalam minuman keras membagi bagi kedalam klaster golongan minuman keras kadar 5%, 20% atau
55% dan di atur peredarannya. Akibatnya pasti akan terjadi kerusakan di kehidupan manusia itu
sendiri, sebagai mana yang dilaporankan oleh Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) bahwa setiap
tahun setidaknya terdapat 18 ribu jiwa meninggal akibat efek langsung dan tidak langsung dari
minuman keras. Korban miras di Indonesia 50 orang meninggal setiap harinya. Sedangkan data dari
WHO, 10 detik orang meninggal karena miras. Selain dampak kepada diri sendiri juga berdampak
kepada lingkungan merebaknya seks bebas, hingga prostitusi. Dan menurut data penelitian
Kriminolog UI Iqrak Sulhin tahun 2011 di LP Cipinang bahwa pelaku criminal Data narapidana di
penjara ini ada 54% berisi pelaku kriminal yang sebelumnya didahului meminum miras.
ْ َ‫صالَةً َأرْ بَ ِعينَ يَوْ ًما فَِإ ْن َماتَ َو ِه َى فِى ب‬
ً‫طنِ ِه َماتَ ِميتَةً َجا ِهلِيَّة‬ َ ُ‫َربَهَا لَ ْم يَ ْقبَ ِل هَّللا ُ ِم ْنه‬ ِ ‫ْال َخ ْم ُر ُأ ُّم ْالخَ بَاِئ‬
ِ ‫ث َو َم ْن ش‬

Khamr itu adalah induk keburukan (ummul khobaits) dan barangsiapa meminumnya maka Allah
tidak menerima sholatnya 40 hari. Maka apabila ia mati sedang khamr itu ada di dalam perutnya
maka ia mati dalam keadaan bangkai jahiliyah. (HR At-Thabrani, Ad-Daraquthni)

‫وما اسكر كثيره فقليله حرام رواه ابوداود والترمذى والنساء وابن ماجه‬

“Dan apa yang diminum dalam jumlah yang memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan”

Inilah Islam yang mengatur manusia dengan penciptanya, dengan sesame dan dengan dirinya sendiri.
Setiap peraturan yang di tetapkan oleh pencipta manusia (Allah SWT) pasti benar dan terdapat
banyak hikmah didalam peraturan tersebut. Sebagai mana sebuah motor, ketika selesai dibuat pasti
mempunyai manual book, sebagai petunjuk penggunaan motor tersebut. Juga sama seperti manusia,
manusia di ciptakan di dunia ini disertai petunjuk agar manusia tidak tersesat menuju kampung
akhirat yang kekal selama – lamanya dengan selamat.
Wallahu a’lam bis showab.

 Secara garis besar ada empat macam sanksi didalam sistem sanksi islam, yaitu hudud, jinayat, ta’zir,
mukhalafat.
Hudud adalah sanksi-sanksi atas kemaksiatan yang ditetapkan kadarnya (dan menjadi) hak Allah.
Didalam sanksi ini tidak ada pemaafan dari qadli maupun dari pendakwa.  Contohnya adalah:
hukuman potong terhadap pencuri yang telah sampai nishobnya dan hukuman jilid atau rajam bagi
pezina.

 
Jinayat adalah sanksi terhadap penganiayaan atau penyerangan terhadap badan, yang mewajibkan
qishas (QS. Al Baqarah [2]: 178) atau denda (diyat) (sabda Rasul dari Abu Shuraih al-Kaza’iy).
Dalam hal ini shahibul haq (pemilik hak) dalam hal ini yang dianiaya atau keluarganya, boleh
mengampuni dan menggugurkan haknya untuk melakukan qishas atau mengambil diyat kepada si
pelaku.

Ta’zir adalah sanksi-sanksi yang diberikan kepada pelaku kemaksiyatan terhadap Allah yang
huikumnya tidak ditetapkan oleh Allah.  Contohnya adalah tidak membayar zakat, tidak sholat atau
tidak berpuasa di Bulan Ramadhan.  Hukuman yang diberikan tergantung qadli dengan harapan agar
si pelaku kemaksiyatan jera terhadap apa yang dilakukannya dan tidak mengulanginya lagi.   Dalam
hal ini Qadli dapat memberikan ampunan terhadap pelaku kejahatan.

Mukhlafat adalah sanksi-sanksi yang diberikan kepada pelaku kemaksiyatan,  yaitu menentang
perintah dari amir, dalam hal ini adalah khalifah, mu’awin,  para wali dan ummal. Hukumannya
ditetapkan oleh qadhi atau penguasa (dalam hal ini adalah khalifah)

Pengadilan di dalam Syariat Islam didefinisikan sebagai penyelesaian perkara sengketa yang terjadi
diantara manusia, dan mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan hak jama’ah serta
menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan penguasa atau antara rakyat dengan
pegawai negeri dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.

Individu yang menjalankan pengadilan di dalam syariat Islam dinamakan sebagai qadli. qadli sendiri
dibagi menjadi tiga, yaitu qadli, yaitu qadli yang mengurusi penyelesaian perkara sengketa ditengah
masyarakat dalam masalah mu’amalah (transaksi yang dilakukan antara satu orang dengan orang
yang lainnya) dan uqubat (sanksi hukum).  Yang kedua adalah qadli muhtasib atau qadli hisbah, yaitu
qadli yang mengurusi penyelesaian perkara yang menyimpang yang bisa membahayakan hak
jama’ah.  Ketiga adalah qadli madzhalim, yaitu qadli yang mengurusi penyelesaian perkara
perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan negara.

Itulah sekelumit solusi praktis dari Syariat Islam terhadap permasalahan kejahatan yang terjadi di
masyarakat, yang tentu saja solusi praktis ini tidak akan berjalan baik jika solusi komprehensifnya
tidak dilakukan oleh kaum muslimin, yaitu menerapkan syariat islam yaitu Daulah Khilafah
Islamiyah di dalam negara dan menyebarkannya keseluruh alam dengan da’wah dan jihad.
Memiliki aqidah islam yang kuat dan beramal shalih adalah suatu keharusan bagi individu, tetapi
negara juga mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan kondisi yang kondusif terhadap
penjagaan akhlak yang mulia dari rakyat yang berada di dalamnya.

Pelanggaran Hudud dan hukuman
Pelanggaran yang dikenakan hukuman hudud adalah:

Beberapa jenis pencurian (Sariqa, ‫)السرقة‬. Dihukum dengan amputasi tangan;

Perang melawan Allah (Hirabah) dan Merusak Bumi (Mufsidun fil ard). Secara tradisional
didefinisikan sebagai bandit atau perampokan (Hirabah, Qat' al-Tariq, ‫)قطع الطريق‬. Dihukum dengan
penyaliban, bentuk lain dari hukuman mati, amputasi tangan kanan dan kaki kiri, atau dibuang.
Berbagai hukuman yang ditentukan untuk skenario yang berbeda dan ada perbedaan pendapat
mengenai spesifik di dalam dan di antara sekolah hukum.

Pemberontakan (Baghi (pemberontak), j. Baghat). Meskipun tidak ada konsensus, menarik diri dari
ketaatan kepada Khalifah[20] atau Imam dianggap sebagai kejahatan hadd sesuai dengan ketentuan
peraturan tradisional dari penafsiran ayat al-Quran 49:9. [21] Ada hukum konsensus bahwa
pemberontak harus didesak untuk meletakkan senjata mereka melalui perunding tepercaya sebelum
pasukan yang setia memiliki lisensi untuk melawan dan membunuh mereka.

Murtad (Riddah, ‫ ردة‬atau Irtidad, ‫)ارتداد‬, meninggalkan Islam untuk agama lain atau untuk ateisme, [22]
[23]
 dianggap sebagai salah satu kejahatan hudud yang dikenakan hukuman mati dalam mazhab Maliki,
Syafi'i, dan Hanbali, tapi tidak dalam Hanafi dan fiqih Syi'ah, meskipun sekolah-sekolah ini juga
berkaitan kemurtadan sebagai kejahatan serius terhadap negara Islam dan masyarakat dan penentuan
hukuman mati bagi laki-laki yang murtad.

Hubungan seksual terlarang (Zina ‫)الزنا‬. Termasuk seks pra-nikah dan seks di luar nikah. [24]
[25]
 Klasifikasi dari hubungan homoseksual sebagai zina berbeda menurut hukum sekolah. Meskipun
rajam bagi zina tidak disebutkan dalam al-Quran, semua sekolah-sekolah mazhab tradisional setuju
atas dasar hadits itu harus dihukum dengan rajam jika pelaku muhsan (dewasa, merdeka, Muslim, dan
telah menikah), dengan beberapa perpanjangan hukuman ini untuk kasus tertentu lainnya dan
hukuman yang lebih ringan seperti memukul ditentukan dalam skenario lain. Pelaku harus bertindak
atas kehendak bebas mereka sendiri.

Tuduhan zina tidak berdasar (Qadhf, ‫)القذف‬,[26] dihukum dengan 80 cambukan.


Minum alkohol (Syurb al-Khamr).[27] Hanafiyah melarang minum minuman beralkohol lainnya dari
anggur hanya jika itu menyebabkan mabuk-mabukan, sementara sekolah-sekolah lain melarang
semua minuman beralkohol. Dihukum dengan 40 sampai 80 cambukan, tergantung pada sekolah
hukum.
Ada sejumlah perbedaan pandangan antara berbagai mazhab berkenaan dengan hukuman yang sesuai
dalam situasi tertentu dan proses yang diperlukan sebelum mereka dilakukan.
Murji'ah mengikut fikih Syiah, umumnya percaya bahwa hukuman hudud dapat diubah oleh ahli
hukum yang tepat dan berkualitas.[28][29]
Pembunuhan, cedera dan kerusakan properti bukan merupakan kejahatan hudud dalam Hukum Pidana
Islam,[30][31] dan dimasukkan dalam kategori lain dari hukum pidana Islam, yaitu:

Qisas (yang berarti pembalasan, dan mengikuti prinsip "mata ganti mata"), dan Diyyah ("uang darah",
kompensasi finansial yang dibayarkan kepada korban atau ahli waris korban dalam kasus-kasus
pembunuhan, cedera tubuh atau kerusakan properti. Diyyah adalah sebuah alternatif untuk Qisas
untuk kelas yang sama dari kejahatan).

Tazir – hukuman yang diberikan pada kebijaksanaan hakim


RADIKALISME MENURUT ISLAM

oleh 
Achmad Zuhdi Dh

Mengikuti Aliran Radikalisme, Bolehkah?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kbbi.web.id), yang dimaksud dengan radikalisme
adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam politik.
Sedangkan menurut Wikipedia bahasa Indonesia (id.wikipedia.org), radikalisme adalah suatu
paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial
dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Dilihat dari sudut pandang keagamaan, radikalisme agama dapat diartikan sebagai paham
keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang
sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham atau aliran tersebut menggunakan kekerasan
kepada orang yang berbeda paham atau aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut
dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.

Berdasarkan pengertian radikalisme tersebut, maka tak dapat dihindari adanya kesan negatif dari
gerakan radikalisme, yaitu adanya unsur paksaan dan mungkin juga tindakan kekerasan dalam
upaya mengaktualisasikannya. Dalam kontek ini, barangkali dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada
agama apa pun yang mengajarkan radikalisme. Islam sendiri adalah agama yang mengajarkan kasih
sayang, bersikap lembut, berbuat baik dan adil serta membangun sikap toleransi. Bahkan dalam al-
Qur’an, Allah menegaskan Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin (pembawa rahmat bagi seluruh
alam). Allah SWT berfirman:
َ‫ َو َما َأرْ َس ْلنَاكَ ِإالَّ َرحْ َمةً لِ ْل َعالَ ِمين‬ 
“Dan tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-
Anbiya, 107).
             Pada dasarnya Al-Qur'an itu diturunkan sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Perdamaian itu masuk kedalam kategori kebaikan. Jadi sudah jelas Al-
Qur'an akan mengajarkan kebaikan dan melarang perbuatan yang buruk. “Rahmat” itu sebuah kata yang
berasal dari bahasa arab yang maknanya ialah kelembutan, pengampunan dan kasih sayang . Sedangkan
dalam bahasa Indonesia, kata “rahmat” maknanya ialah kurnia, kebajikan, dan belas kasih.
Islam juga memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk menjalankan misi menyerukan manusia
kepada kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran. Tetapi bila mencegah kemunkaran itu
menimbulkan kemunkaran yang lebih besar, maka mencegah kemunkaran yang beresiko demikian harus
ditinggalkan. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menerangkan: “Mengingkari atau
mencegah kemungkaran itu ada empat tingkatan yaitu:

1.      Menyingkirkan kemunkaran dan digantikan dengan lawannya (yaitu kemakrufan);


2.      Menyingkirkan kemunkaran dengan menguranginya walau pun tidak menghapuskan secara
keseluruhan;
3.      Menyingkirkan kemunkaran, tetapi kemudian muncul kemunkaran yang serupa itu;
4.      Menyingkirkan kemunkaran tetapi kemudian muncul kemunkaran yang lebih jahat daripadanya.

Dari empat tingkatan tersebut, maka yang pertama dan kedua adalah nahi munkar yang
disyariatkan. Dan tingkatan ketiga dalam nahi munkar ini masih dalam perbincangan ijtihad para ulama.
Sedangkan tingkat keempat dari nahi munkar adalah bentuk yang diharamkan.” (Ibn al-Qayyim, I’lam al-
Muwaqqi’in, III/3).

Demikianlah prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama
rahmah bagi kaum Muslimin sendiri maupun bagi seluruh umat manusia. Islam sangat membenci aksi
kezaliman apa pun bentuknya. Karena Islam senantiasa mengajarkan dan memerintahkan kepada umatnya
untuk menjunjung tinggi kedamaian, persahabatan, dan kasih sayang (rahmatan lil ‘alamin). Bahkan al-
Qur’an menyatakan bahwa orang yang melakukan aksi kezaliman termasuk golongan orang yang merugi
dalam kehidupannya. Di dunia akan di cap sebagai pelaku kejahatan dan di akhirat kelak akan
dimasukkan ke dalam api neraka Jahannam. Allah Swt. berfirman:

‫) ُأولَِئكَ الَّ ِذينَ َكفَ˜رُوا‬104( ‫ص˜ ْنعًا‬


ُ َ‫ض˜ َّل َس˜ ْعيُهُ ْ˜م فِي ْال َحيَ˜ا ِة ال˜ ُّد ْنيَا َوهُ ْم يَحْ َس˜بُونَ َأنَّهُ ْم يُحْ ِس˜نُون‬
َ َ‫) الَّ ِذين‬103( ‫قُلْ هَلْ نُنَبُِّئ ُك ْم بِاَأْل ْخ َس ِرينَ َأ ْع َمااًل‬
َ ِ‫) َذل‬105( ‫ت َأ ْع َمالُهُ ْم فَاَل نُقِي ُم لَهُ ْم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َو ْزنًا‬
)106( ‫ك َج َزاُؤ هُ ْم َجهَنَّ ُم بِ َما َكفَرُوا َواتَّخَ ُذوا آيَاتِي َو ُر ُسلِي هُ ُز ًوا‬ ْ َ‫ت َربِّ ِه ْم َولِقَاِئ ِه فَ َحبِط‬
ِ ‫بِآيَا‬

Katakanlah, "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan
mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap
ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan
mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.
Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka
menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (Q.S. Al Kahfi: 103-106).
Dalam agama Islam ada pemahaman amar ma’ruf nahi mungkar, yang juga bisa mendatangkan
pemahaman keliru sehingga mengidentikkannya dengan kekerasan. Hadis yang terkenal mengenai nahi
munkar yaitu sabda Rasulullah Saw sbb:
)‫ك َأضْ َعفُ اِإل ي َما ِن (رواه مسلم‬
َ ِ‫َم ْن َرَأى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَِإ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَِإ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬
 “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, kalau tidak sanggup
(berbuat demikian), maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya, dan kalau tidak sanggup (pula), maka
hendaklah ia melakukan dengan hatinya (mendo’akan), yang demikian adalah selemah-lemah iman.”
(H.R. Muslim No. 186).

            Jika hadis ini dipahami secara tekstual, maka cara nahi mungkar yang utama adalah dengan cara
kekerasan, yaitu dengan tangan. Tetapi tidak semua hadis, termasuk ayat al-Qur’an dapat dipahami secara
tekstual. Adakalanya yang tertulis mesti dipahami secara kontekstual. Mencegah dengan tangan tersebut
bukanlah dimaknai dengan kekerasan, tetapi dengan kekuasaan. Artinya kita harus mencegah
kemungkaran dengan kekuasaan yang kita miliki, seorang pemimpin harus mencegah bawahannya dari
perilaku kemungkaran, sebab dia berkuasa atas bawahannya; orang tua harus mencegah anaknya dari
kemungkaran, sebab orang tua juga berkuasa atas anaknya; seorang suami juga mesti mencegah istrinya
berbuat kemungkaran sebab suami berkuasa atas istrinya; begitu seterusnya.
            Dalam menyebarkan Islam, Rasulullah Saw berpesan kepada sahabat dengan sabdanya:
‫بَ ِّشرُوا َوالَ تُنَفِّرُوا َويَ ِّسرُوا َوالَ تُ َع ِّسرُوا‬
            “Gembirakanlah, jangan kamu buat mereka lari (karena ketakutan), dan mudahkanlah, jangan
kamu persulit” (HR. Muslim No. 4622).

            Sebagai kesimpulan, bahwa radikalisme tidak sesuai degan ajaran Islam sehingga tidak patut
dialamatkan ke dalam agama Islam, karena sesungguhnya Islam tidak ada yang namanya radikalisme.
Dalam Al Qur’an dan Hadits sendiri memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menyayangi
serta bersikap lemah lembut kepada orang lain meskipun orang itu penganut agama lain.
            Atas dasar pertimbangan tersebut, maka umat Islam tidak boleh ikut terlibat dan hanyut dalam
aktifitas gerakan radikalisme.
            Wallahu A’lam !

Islam, Radikalisme, dan Terorisme


Sabtu 2 Januari 2016 6:36 WIB
Bagikan:

Oleh Ahmad Saifuddin*


Radikalisme atas nama agama tidak akan pernah habis dibicarakan. Sampai saat ini, berita-berita harian
baik media televisi maupun di media cetak, sebagian masih diisi dengan berita terorisme. Belum lagi
mengenai konflik-konflik di Timur Tengah yang salah satunya disebabkan oleh pemahaman yang
fundamental dan radikal terhadap permasalahan politik, keagamaan dan kehidupan. <>Pada akhir tahun
2015, Densus 88 mengadakan penangkapan terduga teroris di beberapa daerah, misalkan di Cilacap,
Sukoharjo, Mojokerto, dan Bekasi. Sebagian elemen di Indonesia pun secara terang-terangan menolak
keberadaan aliran radikal atas nama agama. 

Di sisi lain, banyak kelompok radikal atas nama agama yang hendak mengganti Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945 dengan khilafah, meskipun NKRI dan UUD 1945
merupakan produk dari ulama-ulama Indonesia yang berjuang melawan dan mengusir penjajah, sampai
merumuskan dasar negara dan bentuk negara Indonesia ini.

Metamorfosis

Sejatinya, radikalisme atas nama agama ini sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW. Bahkan,
beliau pun sudah mengabarkan dalam berbagai haditsnya bahwa gerakan semacam ini akan selalu ada
sampai kelak. Salah satunya hadits yang menceritakan tentang Dzul Khuwaishirah (HR Bukhari 3341,
HR Muslim 1773) dan hadits yang menceritakan mengenai ciri-ciri kelompok radikal (HR Bukhari nomor
7123, Juz 6 halaman 20748; Sunan an-Nasai bab Man Syahara Saifahu 12/ 474 nomor 4034; Musnad
Ahmad bab Hadits Abi Barzakh al-Aslami 40/ 266 nomor 18947). 

Dalam sejarah perkembangan Islam, dikenal kemudian firqah yang bernama Khawarij. Khawarij ini
muncul sebagai respon ketidakksepakatan terhadap tindakan tahkim (arbitrase) yang ditempuh Khalifah
‘Ali Ibn Abu Thalib dalam penyelesaian peperangan Shiffin dengan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Dalam
perjalanannya, Khawarij ini dapat ditumpas. Namun, pemikirannya bermetamorfosis dalam berbagai
bentuk firqah. Sehingga, sampai sekarang pun masih banyak ditemukan pemikiran yang benar-benar
fanatik, tekstual, dan fundamental. Kalangan yang pendapatnya berbeda dengannya maka akan diberikan
stempel “kafir”, “bid’ah”, dan “sesat”.

Dalam tataran kenegaraan pun, juga terdapat kelompok radikal yang selalu mengangkat isu khilafah (satu
pemerintahan atas nama Islam). Setiap permasalahan negara selalu dibawa ke ranah khilafah. Bahkan, ada
kalangan yang menganggap pemerintahan selain khilafah adalah thaghut. Meskipun, bentuk negara ini
merupakan perkara yang ijtihadi (diperlukan ijtihad dan tidak mutlak).

Kalangan-kalangan radikal ini pun sangat gencar menyuntikkan paradigma-paradigmanya sehingga tidak
sedikit kalangan muda yang terbius oleh paradigma-paradigma semu tersebut. Didorong oleh pahala dan
surga, kalangan muda banyak yang mendukung gerakan-gerakan radikal tersebut. Bahkan, banyak
kalangan muda yang bersedia menjadi pihak bom bunuh diri.  Ironisnya, bekal keagamaan mereka pun
belum dapat dikatakan mencukupi (belum ‘alim dan faqih), namun mereka sudah gencar berdakwah atas
perspektif yang mereka pelajari sendiri. Model gerakan mereka pun sangat masif dan terkoordinir dengan
baik sehingga mampu memengaruhi hampir seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, paradigma ini harus
menjadi perhatian serius.

Akar masalah

Scott M. Thomas (2005) dalam bukunya The Global Resurgence of Religion and The Transformation of
International Relation, The Struggle for the Soul of the Twenty-First Century halaman 24 mengemukakan
bahwa pemikiran dan gerakan radikal biasanya terkait dengan faktor ideologi dan agama. Istilah
radikalisme adalah hasil labelisasi terhadap gerakan-gerakan keagamaan dan politik yang memiliki ciri
pembeda dengan gerakan keagamaan dan politik mainstream. Gerakan radikalisme yang terkait dengan
agama sebenarnya lebih terkait dengan a community of believers ketimbang body of believe.

Ernest Gelner (1981) dalam bukunya Muslim Society halaman 4 mengatakan bahwa pemikiran dan
gerakan radikal yang dikaitkan dengan komunitas Muslim dipahami sebagai cara  bagi komunitas Muslim
tertentu dalam mengembangkan nilai-nilai keyakinan akibat desakan penguasa, kolonialisme maupun
westernisasi. Di lain pihak, Mudhofir dan Syamsul Bakri (2005) menjelaskan dalam bukunya Memburu
Setan Dunia, Ikhtiyar Meluruskan Persepsi Barat dan Islam tentang Terorisme halaman 93—95 bahwa
radikalisme modern muncul biasanya disebabkan oleh tekanan politik penguasa, kegagalan pemerintah
dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya di dalam kehidupan masyarakat serta sebagai respon
terhadap hegemoni Barat.

Syafi’i Ma’arif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1999–2004, dalam buku Ilusi Negara Islam,
Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia (2009), setidaknya ada tiga teori yang menyebabkan
adanya gerakan radikal dan tumbuh suburnya gerakan transnasional ekspansif. Pertama, adalah kegagalan
umat Islam dalam menghadapi arus modernitas sehingga mereka mencari dalil agama untuk “menghibur
diri” dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Kedua, adalah dorongan rasa
kesetiakawanan terhadap beberapa negara Islam yang mengalami konflik, seperti Afghanistan, Irak,
Suriah, Mesir, Kashmir, dan Palestina. Ketiga, dalam lingkup Indonesia, adalah kegagalan negara
mewujudkan cita-cita negara yang berupa keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata.

Dalam suatu artikelnya, Adian Husaini (2004) mengutip dan menganalisis beberapa pendapat Samuel P.
Huntington yang menulis buku berjudul “Who Are We? : The Challenges to America’s National Identity”
pada tahun 2004. Huntington menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca
Perang Dingin adalah Islam – yang ia tambah dengan predikat “militan”. Namun, dari berbagai
penjelasannya, definisi “Islam militan” melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas
Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.

Hal ini membuktikan bahwa Islam secara tidak langsung diciptakan (dijebak) sebagai teroris sehingga
persepsi terhadap Islam pun menjadi buruk dan mengerucut bahwa Islam adalah teroris. Definisi “Islam
militan” yang tanpa batasan tersebut kemudian merugikan umat Islam secara keseluruhan.

Radikalisme dan terorisme

Radikalisme atas nama agama ini tidak jarang kemudian menimbulkan konflik sampai pada puncaknya,
yaitu terorisme dalam taraf membahayakan stabilitas dan keamanan negara. Pada akhirnya, radikalisme
ini menyebabkan peperangan yang justru menimbulkan rasa tidak aman. Pada taraf terendah, radikalisme
sampai mengganggu keharmonisan dan kerukunan masyarakat. Klaim “sesat”, “bid’ah”, dan “kafir” bagi
kalangan yang tidak sependapat dengannya membuat masyarakat menjadi resah. Ironisnya, keresahan
tersebut dianggap sebagai tantangan dakwah oleh kaum radikalis.

Permasalahan radikalisme dan terorisme yang saling keterkaitan ini pun sangat kompleks. Buku Samuel
P. Huntington tersebut mempengaruhi AS untuk menciptakan Islam militan sebagai terorisme, meskipun
Huntington sendiri tidak memberikan batasan-batasan “militan” sehingga Islam militan yang dimaksud
itupun akan menajdi bias dan berpotensi melebar. AS pun juga selalu berkampanye bahwa Islam militan
adalah terorisme. 

Terorisme selalu berawal dari radikalisme. Radikalisme dalam konteks sebab memahami teks dan norma
agama secara dangkal. Radikalisme dalam konteks sebab terjebak pada situasi politik dan hegemoni
Barat. Radikalisme dalam konteks sebab tidak puas dengan kinerja pemerintah dan ingin mengadakan
revolusi secara besar-besaran.

Adian Husaini (2004) dalam sebuah artikelnya menjelaskan bahwa banyak ilmuwan dan tokoh AS,
seperti Chomsky, William Blum, yang tanpa ragu-ragu memberi julukan AS sebagai ‘a leading terrorist
state’, atau ‘a rogue state’. Maka dari itu, sangat naif bagi Huntington yang justru mencoba menampilkan
fakta yang tidak adil dan sengaja membingkai Islam sebagai musuh baru AS. Bahkan ia menyatakan,
“The rethoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious
and cultural war with militant Islam.” Di sisi lain, aksi terorisme oleh kalangan Islam militan dan radikal
ini juga menuai protes dari kalangan Muslim moderat, meskipun kalangan Muslim moderat juga
berpandangan bahwa terorisme ini juga termasuk pada konspirasi global untuk menghancurkan Islam.

Menampilkan wajah Islam sebagai rahmat

Islam yang berasal dari kata “salima” yang berarti selamat, merupakan agama yang menjamin
keselamatan bagi siapapun baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, sabda Nabi Muhammad SAW
bahwa orang yang dinamakan Islam itu apabila orang lain dapat selamat dari ucapan dan tindakan orang
Islam itu. Perang dalam sejarah perkembangan Islam pun harus dimaknai secara kontekstual, termasuk
penafsiran terhadap ayat-ayat perang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT pun berfirman bahwa Dia
mengutus Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam sempurna sebagai rahmat untuk seluruh alam.
Selain itu, Nabi Muhammad SAW pun bersabda bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Maka, wajah asli Islam adalah penuh kelembutan, toleransi, dan menyejukkan. Bahkan, dalam Q.S. An
Nahl ayat 125 pun dikatakan mengenai cara berdakwah yang sama sekali tidak diperintahkan untuk
perang.

Satu hal yang salah dipahami oleh Muslim radikal bahwa makna berdakwah itu adalah mengajak, bukan
memaksa. Mereka memahami makna dakwah bahwa kelompok lain wajib dan harus mengikuti jalur
pemikiran mereka. Dakwah berasal dari kata “dâ’a” yang berarti mengajak. Mengajak inipun juga sudah
diatur dalam Q.S. An Nahl ayat 125 tersebut, yaitu dengan cara hikmah (perkataan yang baik, jelas, tegas,
dan benar), mau’idhah al hasanah (pelajaran yang baik) dan mujadalah bi al lati hiya ahsan (membantah
dengan cara yang baik). Dalam kalimat selanjutnya pun dijelaskan bahwa “Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Hal ini mengindikasikan penekanan bahwa
berdakwah itu memang dengan cara yang baik dan benar, serta kemauan orang untuk mengikuti jalan
Islam itu hanya ditentukan oleh hidayah Allah SWT. Bukan kemudian dijuluki dengan “sesat”.

Selain itu, kisah-kisah menyejukkan dalam Islam yang bernuansa kedamaian pun jarang diangkat untuk
menampilkan wajah Islam yang sesungguhnya. Seperti misalkan kisah Nabi Muhammad SAW yang
menolak penawaran malaikat untuk menghancurkan kaum kafir dalam perang Uhud, kisah Nabi
Muhammad SAW yang justru menjenguk orang yang meludahi beliau setiap hari, kisah ‘Ali ibn Abu
Thalib yang tidak jadi menghunuskan pedang ke musuh karena diludahi oleh lawan, kisah ‘Ali ibn Abu
Thalib yang kalah dalam pengadilan dalam kasus pencurian baju perangnya sehingga pencuri justru
masuk Islam, kisah Shalahuddin al-Ayyubi yang mengirimkan kuda kepada Raja Richard The Great
karena Raja Richard dijatuhkan oleh anak buah Shalahuddin al-Ayyubi, kisah Shalahuddin al-Ayyubi
yang mengirimkan dokter kepada Raja Richard yang sedang sakit, dan kisah lainnya.

Menampilkan wajah Islam yang moderat inipun menjadi tugas berat, terutama bagi elemen bangsa
Indonesia yang belum tertular virus radikalisme atas nama agama. Konsep Islam Nusantara pun akan diuji
dan harus dioperasionalkan. Pemerintah jangan hanya berusaha menangkis gerakan radikalisme dan
terorisme dengan menghancurkan kelompok-kelompok mereka. Namun, juga dengan berupaya
memperbaiki kondisi bangsa dan kinerja pemerintah sehingga lebih mengedepankan kepentingan dan
kesejahteraan rakyat, mengingat salah satu faktor penyebab radikalisme dan terorisme adalah faktor
politik dan ketidakpuasan terhadap berbagai penyelesaian masalah yang dilakukan oleh pemerintah dan
politik global. 

Tugas berat bagi kalangan Muslim moderat, harus gencar dalam menanamkan nilai Islam yang humanis
dalam tataran akar rumput. Misalkan, memajukan TPA (Tempat Pendidikan Al-Qur’an) dan pengajian
serta majelis-majelis yang diisi dengan internalisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dan
deradikalisasi. TPA, pengajian, dan majelis ta’lim ini merupakan tempat yang jitu dalam
menginternalisasikan nilai-nilai keislaman karena sasaran dari TPA, pengajian, dan majelis adalah
masyarakat akar rumput.

Faktor Penyebab Radikalisme

Mengacu pada pengertian radikalisme di atas, paham ini dapat terjadi karena adanya beberapa faktor
penyebab, diantaranya:
1. Faktor Pemikiran

Radikalisme dapat berkembang karena adanya pemikiran bahwa segala sesuatunya harus dikembalikan ke
agama walaupun dengan cara yang kaku dan menggunakan kekerasan.

2. Faktor Ekonomi

Masalah ekonomi juga berperan membuat paham radikalisme muncul di berbagai negara. Sudah menjadi
kodrat manusia untuk bertahan hidup, dan ketika terdesak karena masalah ekonomi maka manusia dapat
melakukan apa saja, termasuk meneror manusia lainnya.

3. Faktor Politik

Adanya pemikiran sebagian masyarakat bahwa seorang pemimpin negara hanya berpihak pada pihak
tertentu, mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang terlihat ingin menegakkan
keadilan.

Kelompok-kelompok tersebut bisa dari kelompok sosial, agama, maupun politik. Alih-alih menegakkan
keadilan, kelompok-kelompok ini seringkali justru memperparah keadaan.

4. Faktor Sosial

Masih erat hubungannya dengan faktor ekonomi. Sebagian masyarakat kelas ekonomi lemah umumnya
berpikiran sempit sehingga mudah percaya kepada tokoh-tokoh yang radikal karena dianggap dapat
membawa perubahan drastis pada hidup mereka.

5. Faktor Psikologis

Peristiwa pahit dalam hidup seseorang juga dapat menjadi faktor penyebab radikalisme. Masalah
ekonomi, masalah keluarga, masalah percintaan, rasa benci dan dendam, semua ini berpotensi membuat
seseorang menjadi radikalis.
6. Faktor Pendidikan

Pendidikan yang salah merupakan faktor penyebab munculnya radikalis di berbagai tempat, khususnya
pendidikan agama. Tenaga pendidik yang memberikan ajaran dengan cara yang salah dapat menimbulkan
radikalisme di dalam diri seseorang.

Anda mungkin juga menyukai