Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PIDANA DALAM ISLAM

A. PENGERTIAN PIDANA DALAM ISLAM

Secara etimologis pidana islam dalam bahasa arab adalah ‘uqubah. Sedangkan
secara terminologi pidana adalah balasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan umat
terhadap pelanggaran perintah syar’i (Allah SWT dan RasulNya). Dalam definisi lain yaitu
balasan yang dibuat oleh syar’i (Allah SWT dan RasulNya) untuk menolak atau mencegah
dari mengerjakan perbuatan yang dilarang, dan meninggalkan perbuatan yang
diperintah.

Berdasarkan definisi di atas, menurut penulis, pidana dalam islam harus memenuhi
kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Hukuman itu adalah produk Allah SWT.


2. Hukuman bertujuan untuk kemaslahatan umat.
3. Hukuman itu dibuat untuk orang yang melanggar perintah Allah atau larangannya.

B. PENGERTIAN TINDAK PIDANA DALAM ISLAM

Secara etimologis tindak pidana dalam hukum islam disebut jarimah atau jinayah.
Menurut Ahmad Warson Munawir Jarimah yaitu berbuat dosa dan kesalahan, berbuat
kejahatan dan delik. Jarimah dalam syari’ah islam yaitu larangan-larangan syara’ yang
diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta’zir.

Para fuqaha sering memakai kata jinayah untuk maksud jarimah. Menurut Abdul
Qadir Audah jinayah adalah nama sebutan untuk orang yang berbuat tindak pidana
atau orang yang berbuat kejahatan. Menurut Sayid Sabid jinayah dalam definisi syara’
yaitu setiap perbuatan yang diharamkan, dan perbuatan yang diharamkan adalah
setiap perbuatan yang dilarang oleh Allah, karena ada bahaya yang menimpa agama,
jiwa, akal, kehormatan dan harta.

Dengan memperhatikan definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa kata-kata


jinayah dalma istilah fuqaha dianggap sama dengan jarimah. Sehingga definisi tindak
pidana dalam islam adalah setiap perbuatan yang diharamkan atau dilarang oleh Allah
SWT dan RasulNya, yang membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta, serta
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

Berdasarkan definisi diatas, perbuataan yang dianggap sebagai perbuatan pidana


yaitu sebagai berikut:

1. Perbuatan itu diharamkan atau dilarang oleh syari’at


2. Perbuatan itu berbahay bagi agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta
C. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA DALAM ISLAM

Jarimah mempunyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Ada nash yang melarang tindak pidana dan ada pula hukum-hukumnya. Ini
dinamakan dengan istilah undang-undang dengan rukn syar’i (unsur formil) untuk
jarimah.
2. Adanya perbuatan yang berbentuk jarimah, baik berupa perbuatan atau sikap tidak
berbuat. Ini dinamakan dengan rukn madi (unsur materil) untuk jarimah.
3. Adanya pelaku tindak pidana tersebut adalah orang yang mukallaf (cakap hukum),
yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung jawabannya. Ini dinamakan dengan
rukn ‘adabi (unsur moril).

D. KATEGORISASI TINDAK PIDANA DALAM ISLAM


Jarimah dapat berbeda, menurut perbedaan cara meninjaunya:
1. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dibagi menjadi 3 yaitu:
a) Jarimah hudud
b) Jarimah qishash diyat
c) Jarimah ta’zir
2. Dilihat dari segi niat si pembuat:
a) Jarimah sengaja
b) Jarimah tidak sengaja
3. Dilahat dari segi mengerjakannya:
a) Jarimah positif
b) Jarimah negatif
4. Dilihat dari orang yang menjadi korban (yang terkena) akibat perbuatan:
a) Jarimah perseorangan
b) Jarimah kelompok (masyarakat)
5. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus:
a) Jarimah biasa
b) Jarimah politik

Berikut penjelasan dari penggolongan-penggolongan diatas:

1. Jarimah hudud, qishash, diyat, ta’zir


a) Jarimah hudud
Hudud adalah bentuk jamak dari kata had yang berarti pembatas,
pembatas antara dua hal. Dalam istilah syara’ had mempunyai arti umum dan
khusus.
Pengertian had secara umum adalah hukum-hukum syara’ yang
disyariatkan Allah bagi hambanya yang berupa ketetapan hukum halal atau
haram.
Adapun arti hudud secara khusus, yaitu hukuman-hukuman tertentu
yang ditetapkan oleh syara’ sebagai sanksi hukum terhadap kejahatan selain
pembunuhan dan penganiayaan. Jarimah-jarimah yang termasuk hak Allah ada
tujuh, yaitu: zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), meminum-
minuman keras, mencuri, merampok, murtad, bughah.
 ZINA
a. Pengertian
Zina adalah memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin
perempuan (dalam persetubuhan) yang haram menurut zat perbuatannya,
bukan karena subhat dan perempuan itu mendatangkan sahwat.

b. Status hukum zina


Ijma’ ulama menjelaskan bahwa perbuatan zina itu haram dan merupakan
salah satu dosa besar.
Firman Allah Swt :

ً ‫س ِّب‬
‫يل‬ َ ‫سا ٰٓ َء‬ َ ‫ٱلزن َٰ َٰٓى ۖ إِّنَّ ۥهُ َكانَ َٰفَ ِّح‬
َ ‫شةً َو‬ ۟ ُ‫َو ََل ت َ ْق َرب‬
ِّ ‫وا‬
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

(QS. Al-Isra’: 32)

c. Dasar penetapan hukum


Adapun yang dapat dipergunakan untuk menetapkan secara yakin
menurut syara’ bahwa seorang itu telah berzina, ada dua macam
1) Empat orang saksi laki-laki yang semuanya adil
2) Pengakuan pelaku

Sebagian ulama ada yang berpendapat kehamilan perempuan tanpa


suami dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina. Akan tetapi Jumhur
ulama berpendapat bahwa kehamilan saja tanpa pengakuan atau empat orang
saksi tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan zina. Had zina dapat
dijatuhkan terhadap pelakunya jika terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu:

1) Pelakunya sudah baligh dan berakal.


2) Perbuatan zina dilakukan atas kemauan sendiri (tidak dipaksa).
3) Pelakunya mengetahui bahwa zina adalah perbuatan yang diancam
dengan had.
4) Telah yakin secara syara’ bahwa yang bersangkutan benar telah
berzina seperti diterangkan sebelumya.

d. Contoh macam zina dan had hukumnya


Ada dua macam had zina, yaitu:
1. Rajam, jenis hukuman mati dengan dilempari batu sampai terhukum
meninggal dunia. Jika pelaku zina muhshan, maka hadnya adalah rajam
diriwayatkan dari umar bin khattab dan hadits lain yang menerangkan
bahwa nabi telah melaksanakan hukum rajam tersebut. Adapun yang
dimaksud dengan muhshan dalam hubungannya dengan zina adalah
seseorang yang telah memenuhi syarat:
 Merdeka
 Baligh
 Berakal
 Pernah bercampur dengan suami/istri dalam perkawinan yang sah

2. Dera atau taghrib. Dera yang disebut juga dengan jilid, adalah jenis
hukuman yang berupa pencambukan terhadap pelaku kejahatan.
Sedangkan taghrib ialah jenis hukuman yang berupa pengasingan ke suatu
tempat, bentuknya yang sekarang adalah hukuman penjara. Jika pelaku
zina itu laki-laki atau perempuan yang merdeka belum pernah campur,
hadnya adalah didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.
Ketetapan seratus kali dan diasingkan didasarkan pada ayat Al-Qur’an (An-
Nur:2) dan hukuman pengasingan didasarkan pada hadits Nabi.
Hadits Nabi:

(H.R. Bukhari)

3. Jika pelaku zina itu budak, baik laki-laki maupun perempuan, baik
yang sudah campur dengan istri/suami dalam perkawinan yang sah atau
belum, jika berzina keduanya di dera lima puluh kali dan di asingkan selam
setengah tahun.
Firman Allah swt:

ْ ‫ت فَ ِّمن َّما َملَ َك‬


‫ت‬ ِّ َ‫ت ْٱل ُمؤْ ِّم َٰن‬ ِّ َ‫ص َٰن‬
َ ‫ط ْو ًَل أَن يَن ِّك َح ْٱل ُم ْح‬ َ ‫َو َمن لَّ ْم يَ ْست َ ِّط ْع ِّمن ُك ْم‬
ۚ‫ض‬ ٍ ‫ض ُكم ِّم ۢن َب ْع‬ ُ ‫ٱَّللُ أ َ ْعلَ ُم ِّبإِّي َٰ َمنِّ ُكم ۚ َب ْع‬
َّ ‫ت ۚ َو‬ ِّ َ‫أ َ ْي َٰ َمنُ ُكم ِّمن فَت َ َٰيَتِّ ُك ُم ْٱل ُمؤْ ِّم َٰن‬
‫ت‬ٍ َ‫ص َٰن‬
َ ‫وف ُم ْح‬ ِّ ‫ور ُه َّن ِّب ْٱل َم ْع ُر‬ َ ‫فَٱن ِّك ُحو ُه َّن ِّبإ ِّ ْذ ِّن أ َ ْه ِّل ِّه َّن َو َءاتُو ُه َّن أ ُ ُج‬
َ ‫ص َّن فَإ ِّ ْن أَتَيْنَ بِّ َٰفَ ِّح‬
‫ش ٍة‬ ِّ ‫ان ۚ فَإِّذَآٰ أ ُ ْح‬
ٍ َ‫ت أ َ ْخد‬ ِّ َ‫ت َو ََل ُمت َّ ِّخ َٰذ‬ ٍ ‫س ِّف َٰ َح‬ َ َٰ ‫َغي َْر ُم‬
َ ‫ِّى ْٱلعَن‬ َٰ ِّ ‫ت ِّمنَ ْٱلعذَا‬ ِّ َ‫ص َٰن‬
َ ‫ف َما َعلَى ْٱل ُم ْح‬ ْ ِّ‫فَ َعلَ ْي ِّه َّن ن‬
‫َت‬ َ ‫ب ۚ ذَ ِّل َك ِّل َم ْن َخش‬ َ ُ ‫ص‬
‫ور َّر ِّحي ٌم‬ ٌ ُ‫ٱَّللُ َغف‬ َّ ‫وا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ۗ َو‬ ۟ ‫ص ِّب ُر‬ْ َ ‫ِّمن ُك ْم ۚ َوأَن ت‬
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang
lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita
yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang
keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-
wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah
bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(An-Nisa:25)
e. Hikmah diharamkannya zina.
 Memelihara dan menjaga keturunan dengan baik.
 Menjaga dari jatuhnya harga diri dan rusaknya kehormatan keluarga
 Menjaga tertib dan teraturnya urusan rumah tangga
 Timbulnya rasa kasih sayang terhadap anak yang dilahirkan dari
pernikahan yang sah. (DEPAG , hal 235-248)

QADZAF

a. Pengertian qadzaf
Qadzaf menurut bahasa berarti melempar. Qadzaf ini menjadi khusus artinya dalam
pengertian syara’ ialah melemparkan tuduhan berzina dengan tuduhan terang-terangan.
b. Hukum qadzaf
Menuduh berzina (qadzaf) adalah salah satu kejahatan yang hukumnya haram, bahkan
merupakan salah satu dosa besar. Penegasan bahwa qadzaf adlah dosa besar terdapat
dalam Al-Qur’an (QS. An-Nur 23-24) dan sunah Rasul.
Sabda Rasulullah SAW:

c. Had qadzaf
Perbuatan menuduh berzina diancam dengan sanksi hukum berupa jilid (dera) sebanyak
delapan puluh kali jika pelaku penuduh berzina itu merdeka dan setengahnya (empat
puluh kali) jika pelakunya budak (hamba sahaya)
Firman Allah swt:

Dalam ayat ini telah disebutkan bahwa orang yang menuduh perempuan muhsanat
berzina, hukumannya adalah delapan puluh kali dera, jika si penuduh tidak dapat
mengemukakan empat orang saksi maka di dera delapan puluh kali dan hukuman
lainnya adalah kesaksiannya tidak dapat diterima selama-lamanya. Maksunya selama
hidupnya kesaksian orang yang pernah menuduh berzina tanpa dapat mengemukakan
empat orang saksi tidak dapat diterima , kecuali kalau yang bersangkutan bertaubat,
kesaksiannya dapat diterima seperti disebutkan pada ayat 5 surat An-Nur.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
(An-Nisa’:25)
Ayat ini menjelaskan bahwa had zina terhadap budak adalah setengah had zina
terhadap orang yang merdeka. Had qadzaf bagi budak diqiyaskan kepada ketentusn ayat
tersebut, yaitu setengah dari had qadzaf bagi orang yang merdeka.
d. Syarat-syarat berlakunya had qadzaf
1) Tertuduh berzina adalah muhsan, dalam arti : islam, baligh, berakal, merdeka, dan tidak
berzina.
2) Penuduh adalah orang yang sudah baligh, berakal, dan bukan orang tua tertuduh (ayah,
ibu, nenek, dan seterusnya ke atas)
3) Tuduhan berzina benar-benar terjadi secara syara’. Maksudnya perbuatan menuduh
berzina itu telah memenuhu syarat-syarat terjadinya secara syara’, yaitu dapat
ditetapkan dengan salah satu dari dua kemungkinan:
a) Kesaksian dari orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka terhadap tuduhan yang
dilemparkan.
b) Pengakuan si penuduh sendiri.
e. Gugurnya had qadzaf
Penuduh dibebaskan dari Had qadzaf, jika terjadi tiga keadaan sebagai berikut:
1) Penuduh dapat mengemukakan empat orang saksi bahwa tertuduh benar-benar
berzina.
2) Li’an, jika tertuduh adalah istri penuduh. Jika seorang suami menuduh istrinya berzina
tetapi tidak dapat mengemukakan empat orang saksi, ia dapat bebas dari had qadzaf
dengan cara meli’ankan istrinya.
3) Tertuduh memaafkan.
f. Hikmah qadzaf
 Menjaga kehormatan diri seseorang dimata masyarakat.
 Agar seseorang tidak begitu mudah melakukan kebohongan
 Menjaga keharmonisan dalam pergaulan sesama anggota masyarakat.
 Agar si penuduh merasa jera dan sadar atas perbuatan yang tidak terpuji
 Mewujudkan keadilan dikalangan masyarakat berdasarkan hukum yang benar.

MINUM-MINUMAN KERAS

a. Pengertian
Minuman keras adalah minuman yang memabukkan dan menghilangkan kesadaran
dalam semua jenisnya. Dalam bahasa arab, minuman keras ini disebut khamar seperti
ditegaskan pada hadits Nabi:

b. Hukum minuman keras


Minuman keras (khamar) itu hukumnya haram,meminumnya termasuk salah satu dosa
besar. Haramnya minuman keras ini didasarkan kepada dalil nash yang qath’i (pasti)
yaitu ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi:
(Al-Maidah: 90)
‫اب‬
ُ ‫ص‬ َ ‫َٰيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِّينَ َءا َمنُ ٰٓو ۟ا ِّإنَّ َما ْٱلخ َْم ُر َو ْٱل َم ْيس ُِّر َو ْٱْلَن‬
َ َٰ ‫ش ْي‬
ْ َ‫ط ِّن ف‬
‫ٱجت َنِّبُوهُ َل‬ َّ ‫س ِّم ْن َع َم ِّل ٱل‬ ٌ ‫َو ْٱْل َ ْز َٰلَ ُم َع ِّر ْج‬
َ‫لَّ ُك ْم ت ُ ْف ِّل ُحون‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.

Adapun dalil yang berupa Hadits Nabi antara lain:

c. Had minuman keras


Sebagian ulama telah bersepakat, bahwa minuman kerass itu haram, maka mereka telah
sepakat wajib dikenakan had terhadap peminum minuman keras, baik sedikit maupun
banyak. Adapun bentuk dan alat had yang digunakan adalah dipukul dengan sepotong
kayu, dengan sandal, dengan sepatu, dengan tongkat, dengan tangan atau dengan yang
lainnya.
Dasar had minum-minuman keras adalah Hadits Rasul, antara lain:

Mengenai jumlah pukulan, ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama, diantaranya


Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, dan Imam Ahmad bin Hambal, berpendapat bahwa
jumlah pukulan dalam had minuman keras adalah 80 kali. Mereka beralasan bahwa
para sahabat setelah bermusyawarah menetapkan secara ijma’, bahwa had minuman
keras adalah 80 kali.
Imam Syafi’i, Abu Daud dan ulama-ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa had
minuman khamar adalah 40 kali pukulan, tetapi Imam (Hakim) dapat menambah sampai
80 kali. Tambahan 40 kali adalah ta’zir yang merupakan hak imam (penguasa)
d. Hikmah diharamkannya minuman keras
 Masyarakat terhindar dari kejahatan yang dilakukan seseorang yang diakibatkan
minuman keras.
 Menjaga kesehatan jasmani dan rohani dari penyakit yang disebabkan pengaruh
minuman keras
 Masyarakat terhindar dari sikap kebencian dan permusuhan
 Menjaga hati agar tetap taqarrub kepada Allah dan mengerjakan sholat sehingga selalu
memperoleh cahaya hikmat.

MENCURI

a. Pengertian mencuri
Dalam pengertian umum mencuri berarti mengambil sesuatu barang secara
sembunyi-sembunyi, baik yang melakukan itu anak kecil atau orang dewasa, baik yang
dicuri itu sedikit atau banyak, dan barang yang dicuri itu disimpan ditempat yang wajar
untuk menyimpan atau tidak .
Menurut syara’ mencuri yaitu perbuatan orang mukallaf (baligh), sembunyi-
sembunyi mencapai jumlah satu nisab, dari tempat simpanannya, dan orang yang
mengambil harta itu tidak turut andil pemilikan terhadap barang yang diambil.
Dengan pengertian diatas jelas bahwa mencuri yang diancam dengan syarat sebagai
berikut:
1) Pelaku pencurian adlah mukallaf, yaitu sudah baligh dan berakal.
2) Barang yang dicuri adalah milik orang lain
3) Pencurian itu dilakukan dengan diam-diam atau secara sembunyi-sembunyi.
4) Barang yang dicuri tersimpan ditempat simpanannya.
5) Pelaku pencuri tidak mempunyai hak milik terhadap barang yang dicuri.
6) Barang yang dicuri mencapai jumlah satu nisab.
b. Pembuktian perbuatan mencuri
Perbuatan mencuri yang diancam dengan had mencuri adalah jika perbuatan
mencuri itu memenuhi syarat-syarat diatas, jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
had tidak dapat dijatuhkan.
Disamping itu syarat syarat yang telah disebutkan terdahulu. Had mencuri tidak dapat
dijatuhkan sebelum yakin secara syara’ bahwa perbuatan pencurian itu telah terjadi.
Maksudnya, pelaku benar-benar melakukan pencurian yang dapat dibuktikan dengan
salah satu dari tiga kemungkinan:
1) Kesaksian dari dua orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka
2) Pengakuan sendiri dari pelaku pencurian
3) Sumpah dari orang yang mengadukan perkara (penuduh)
c. Had mencuri
Perbuatan mencuri jika sudah terpenuhi syarat-syaratnya, maka pelakunya wajib
dikenakan had mencur,i yaitu potong tangan.
(Al-Maidah: 38)

َّ َ‫سبَا نَ َٰ َك ًل ِّمن‬
َّ ‫ٱَّللِّ ۗ َو‬
ُ‫ٱَّلل‬ َ ‫طعُ ٰٓو ۟ا أ َ ْي ِّد َي ُه َما َجزَ آٰ ۢ ًء بِّ َما َك‬
َ ‫ارقَةُ فَٱ ْق‬ َّ ‫ار ُق َوٱل‬
ِّ ‫س‬ ِّ ‫س‬
َّ ‫َوٱل‬
ٌ ‫ع ِّز‬
‫يز َح ِّكي ٌم‬ َ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Firman Allah di atas menjelaskan had mencuri secara umum, yaitu potong tangan.
Mengenai pelaksanaan secara rinci dijelaskan lebih lanjut dengan sunnah Rasul sebagai
berikut:
Berdasarkan hadits ini sebagian ulama diantaranya Imam Malik dan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa had mencuri mengikuti tertib sebagai berikut:
1) Had mencuri yang dilakukan pertama kali adalah di potong tangan kanannya.
2) Jika ia melakukan kedua kali, dipotong kaki kirinya.
3) Jika ia melakukan ketiga kali, dipotong tangan kirinya.
4) Jika ia melakukan keempat kali, dipotong kaki kanannya.
5) Jika ia melakukan kelima kali, dan seterusnya hukumannya adalah dita’zir dan dipenjara
sampai menunjukkan tanda taubat (jera).
d. Nisab (kadar) barang yang dicuri
Mengenai kadar atau besarnya nisab pencurian adalah seperempat dinar atau tiga
dirham, atau setara dengan emas seberat 3,34 gram.
e. Pencuri yang dima’afkan
Ulama sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaafkan pencurinya,
sehingga pencuri bebas dari had mencuri sebelum kasus/perkaranya sampai ke
pengadilan, had mencuri merupakan hak hamba (hak pemilik barang yang dicuri). Jika
kejadiannya sudah sampai ke pengadilan maka had mencuri pindah dari hak hamba
kepada hak Allah. Oleh karena itu tidak dapat gugur karena dimaafkan oleh pemilik
barang yang dicuri. Dasar kebolehan memaafkan pencuri sebelum sampai ke pengadilan,
antar lain hadits Nabi saw:

f. Hikmah hukuman bagi pencuri


 Seseorang tidak mudah dengan begitu saja mengambil barang milik orang lain.
 Hak milik seseorang benar-benar dilindungi oleh hukum islam.
 Menghindari sifat malas yang cenderung memperbanyak pengangguran.

PENYAMUN/PERAMPOK/MEROMPAK

a. Pengertian penyamun/perampok/merompak
Penyamun / perampok adalah istilah yang digunakan untuk pengertian “mengambil
harta orang lain dengan cara kekerasan / ancaman senjata dan kadang-kadang disertai
dengan pembunuhan terhadap korbannya. Perbedaan pengertian tersebut terletak pada
tempat kejadiannya. Penyamun terjadi didarat, di tempat yang sepi, jauh dari
perumahan, sedangkan merompak terjadi di laut.
b. Hukum penyamun/perampok/perompak
Seperti diketahui penyamun/perampok/perompak adalah kejahatan yang bersifat
mengancam harta dan jiwa. Dengan hanya merampas harta, perbuatan itu sama
dosanya dengan mencuri bahkan lebih besar, sebab didalamnya terdapat unsur
kekerasan. Sedangkan jika sampai membunuh korban, jelas bahwa perbuatan itu
hukumnya haram termasuk salah satu dosa besar. Oleh karena itu wajar jika
penyamun/perampok/perompak ini disamping diancam hukuman had juga diancam
hukuman akhirat yang berupa adzab yang besar, seperti dengan tegas disebutkan dalam
firman Allah:
(Al-Maidah: 33)

ُ‫سولَ ۥه‬ ‫ر‬


ُ َ َ َ‫و‬ َّ
‫ٱَّلل‬ َ‫ُون‬ ‫ب‬‫ار‬ ‫ح‬ ُ ‫ي‬ َ‫ِّين‬ ‫ذ‬َّ ‫ٱل‬ ۟
‫ا‬ ‫ؤ‬ُ ٰٓ
َ‫ز‬ َٰ ‫ِّإنَّ َما َج‬
ِّ َ
‫سادًا أَن يُقَتَّلُ ٰٓو ۟ا‬ َ َ‫ض ف‬ ِّ ‫َويَ ْسعَ ْونَ فِّى ْٱْل َ ْر‬
‫ط َع أ َ ْي ِّدي ِّه ْم َوأ َ ْر ُجلُ ُهم ِّم ْن‬ َّ َ‫صلَّبُ ٰٓو ۟ا أ َ ْو تُق‬ َ ُ‫أ َ ْو ي‬
‫ى‬ ‫ز‬ْ ‫خ‬ ِّ ‫م‬ ‫ه‬ َ ‫ل‬ ‫ك‬
َ ‫ل‬
ِّ َ َٰ
‫ذ‬ ۚ ‫ض‬ ِّ ‫ر‬ ْ َ ْ
‫ٱْل‬ َ‫ن‬ ‫م‬
ِّ ۟
‫ا‬ ‫و‬
ْ َْ ‫ف‬ ‫ن‬ُ ‫ي‬ ‫و‬ َ ‫أ‬ ‫ف‬
ٍ َ َٰ
‫ل‬ ‫ِّخ‬
ٌ ُْ
‫ع ِّظي ٌم‬ َ ‫اب‬ ٌ َ‫عذ‬ َ ِّ‫اخ َرة‬ ِّ ‫ٱل َء‬ ْ ‫فِّى ٱلدُّ ْنيَا ۖ َولَ ُه ْم فِّى‬
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,

c. Had penyamun/perampok/perompak
Had penyamun/perampok/perompak dengan tegas dinyatakan dalam Al-Qur’an,
yaitu Firman Allah swt:

Berdasarkan ayat diatas, ulama bersepakat bahwa had


penyamun/perampok/perompak itu berupa : dipotong tangan, disalib, dibunuh,
diasingkan dari tempat kediamannya. Kemudian mereka berbeda pendapat apakah had
yang disebutkan dalam ayat itu bersifat tauz’i (macam disesuaikan dengan perbuatan
yang dilakukan), atau bersifat takhyiri (memilih diantara beberapa macam hukuman).
Jumhur ulama, berpendapat bahwa yang diterangkan dalam ayat tersebut diatas
bersifat tauz’i. Oleh karena itu had dijatuhkan sesuai dengan jenis kegiatan yang
dilakukan, yaitu:
1) Jika ia / mereka mengambil harta dan membunuh korbannya, hadnya adalah :
dihukum mati, kemudian disalib.
2) Jika ia / mereka membunuh korbannya tetapi tidak mengambil hartanya, hadnya
adalah dihukum mati.
3) Jika ia / mereka mengambil harta, tetapi tidak membunuh. Hadnya adalah
dipotong tangan dan kakinya dengan cara silang (tangan kanan dengan kaki kiri
atau tangan kiri dengan tangan kanan).
4) Jika ia / mereka tidak mengambil harta dan tidak membunuh, misalnya
tertangkap sebelum sempat berbuat sesuatu atau memang sengaja menakut-
nakuti saja, maka hadnya adalah dipenjarakan atau diasingkan.
Perlu dijelaskan bahwa hukuman mati terhadap penyamun/ perampok/ perompak
yang membunuh korbannya adalah atas dasar had, bukan atas dasar qishash, oleh sebab
itu tidak dapat gugur walaupun dimaafkan oleh ahli waris korban yang dibunuhnya.
Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa had penyamun/perampok/perompak
yang dijelaskan dalam ayat adalah bersifat takhyiri, yaitu hakim boleh memilih hukuman
terhadapnya dengan salah satu jenis hukuman yang disebutkan dipotong tangan dan
kakinya, disalib, dibunuh atau diasingkan dari tempat kediamannya.
d. Penyamun/Perampok/Perompak yang Taubat
Penyamun/perampok/perompak yang taubat setelah tertangkap tidak dapat mengubah
sedikit pun ketentuan hukuman yang ada terhadapnya. Jika mereka taubat sebelum
tertangkap misalnya dengan menyerahkan diri dan menyatakan taubat maka gugurlah
had-had yang merupakan hak Allah. Ketentuan itu didasarkan pada firman Allah:
(Al-Maidah: 34)

َّ ‫وا َعلَ ْي ِّه ْم ۖ فَٱ ْعلَ ُم ٰٓو ۟ا أ َ َّن‬


ٌ ُ‫ٱَّللَ َغف‬
‫ور َّر ِّحي ٌم‬ ۟ ‫وا ِّمن قَ ْب ِّل أَن ت َ ْقد ُِّر‬
۟ ُ‫ِّإ ََّل ٱلَّذِّينَ تَاب‬
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

Diisyaratkan dalam ayat bahwa Allah akan mengampuni mereka


(penyamun/perampok/perompak) yang taubat sebelum tertangkap. Ayat ini
menunjukkan bahwa had yang merupakan hak Allah dapat gugur jika yang bersangkutan
taubat sebelum tertangkap.
Adapun had-had dan hukuman lain yang merupakan hak hamba, tidak dapat gugur
dengan taubat sebelum tertangkap oleh sebab itu penyamun/perampok/perompak,
sesuai dengan berat ringannya perbuatan mereka, antara lain:
1) Qishash, jika ia membunuh atau melukai korbannya
2) Mengembailikan harta yang diambilnya, jika harta itu masih ada
3) Menganggung kewajiban pengembalian harta yang dirusak atau
dipergunakannya
Hukum-hukum tersebut adalah hukuman berupa hak hamba, yaitu hak pihak
yang menjadi korban. Oleh sebab itu, mereka mempunyai hak untuk
memaafkan atau membebaskan tanggungan harta, seperti pada tindak
kejahatan selain menyamun. Jika ini dilakukan, maka gugurlah hukuman
tersebut dari diri pelaku kejahatan penyamun yang taubat sebelum tertangkap.
(DEPAG : 2002, hal 269-273)

BUGHAH (PEMBANGKANG)

a. Pengertian pembangkang
Kata bughah adalah jama’ dari isim faiil ‫باغ‬ yang berarti : mencari dan
dapat pula berarti maksiat: melampaui batas, berpaling dari kebenaran, dzhalim.
Para ulama’ memberi pengertian, “Bughah ialah orang-orang yang menentang
imam (penguasa) dengan jalan keluar dari pimpinannya dan tidak mentaatinya,
atau menolak kewajiban yang dibebankan kepada mereka dengan syarat,
mereka mempunyai kekuatan, mempunyai takwil (alasan) mereka keluar dari
primpinan imam atau tindakan mereka menolak kewajiban, mempunyai
pengikut dan mempunyai imam yang diangkat.”
Jadi Bughah dalam pengertian syara’ adalah orang yang menentang atau
memberontak kepada pemimpin pemerintahan islam yang sah. Tindakan
mereka dapat berupa keluar atau memisahkan diri dari kekuasaan serta
pimpinan (imam) dapat juga berupa tidak mau mentaati perintah imam atau
menolak kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka, seperti zakat.
Orang-orang yang berbuat demikian itu dapat disebut bughah dan dapat
diperlakukan hukum bughah, jika telah memenuhi syarat yaitu:
1) Mereka mempunyai kekuatan, baik berupa pengikut maupun senjata.
2) Mereka mempunyai alasan mengapa mereka menentang imam.
3) Mereka mempunyai pengikut yang setuju dengan mereka.
4) Mereka mempunyai imam yang ditaati.
b. Tindakan hukum terhadap bughah
Terhadap bughah wajib diusahakan agar mereka kembali taat itu dilakukan
dengan bertahap, yaitu mula-mula dipergunakan cara yang paling ringan,
kemudian jika tidak berhasil, digunakan dengan cara yang lebih berat dan
seterusnya sampai cara yang paling berat. Secara tertib pelaksanaan tindakan
tersebut ialah :
1) Mengirim utusan kepada mereka untuk mengetahui sebab-sebab
melakukan pemberontakan.
2) Jika dengan tindakan pertama tidak berhasil dan mereka tetap bertahan
dengan pendapat mereka, tindakan selanjutnya adalah menasehati
mereka dan mengajak untuk mentaati imam yang sah.
3) Jika usaha kedua pun tidak berhasil, maka tindakan ketiga adalah
memberi ultimatum atau ancaman untuk diperangi, jika dengan
ultimatum itu mereka meminta waktu, harus diteliti apakah waktu yang
diminta
4) Jika dengan tindakan ketiga tersebut mereka masih tetap tidak mau
kembali taat, tindakan terakhir adalah memerangi mereka sampai sadar
dan kembali taat.
c. Status hukum pembangkang
Pembangkang atau bughah tidak dihukum kafir, karena Allah sendiri
menyatakan dalam surat Al-Hujurat ayat 9. Dan jika dua golongan dari orang-
orang mukmin berperang jadi kaum pembangkang masih dalam kelompok
orang-orang mukmin, jika mereka bertaubat, taubatnya diterima, mereka tidak
boleh lagi diperangi
Oleh sebab itu, tawanan kaum pembangkang tidak boleh dibunuh,
tetapi cukup ditahan saja, hingga mereka kembali sadar harta kekayaan mereka
terlanjur dirampas, tidak boleh dijadikan sebagai ghonimah/harta rampasan
perang. Apabila mereka sudah insaf harus dikembalikan lagi. Mereka yang
tertawan dalam keadaan luka parah harus dirawat. Pada saat terjadi perang jika
mereka mundur, tidak boleh dikejar.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa: pada waktu terjadi perang
Jamal. Ali ra menyuruh agar diserukan : “Yang telah mengundurkan diri jangan
dikejar. Yang luka-luka jangan segera dimatikan, yang tertangkap jangan
dibunuh. Dan barang siapa meletakkan senjatannya, harus diamankan.”
(Mughnu Muhtaj) (DEPAG, hal 276-280)

b. Jarimah qishash dan diyat


Menurut syara’ qishash adalah melakukan pembalasan yang sama terhadap
perbuatan atau pembunuhan atau melukai atau perusakan anggota badan atau
menghilangakan manfaat anggota badan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
QISHASH
a. Pengertian Qishash
Menurut syara’ qishash adalah melakukan pembalasan yang sama terhadap
perbuatan atau pembunuhan atau melukai atau perusakan anggota badan atau
menghilangakan manfaat anggota badan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
b. Hukum Qishash
Dijelaskan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 45)

‫س ِّبٱلنَّ ْف ِّس‬ َ ‫علَ ْي ِّه ْم فِّي َها ٰٓ أ َ َّن ٱلنَّ ْف‬


َ ‫َو َكت َ ْبنَا‬
َ‫نف َو ْٱْلُذُن‬ ِّ َ ‫نف ِّب ْٱْل‬ َ َ ‫َو ْٱلعَيْنَ ِّب ْٱلعَي ِّْن َو ْٱْل‬
‫ٱلس ِّن َو ْٱل ُج ُرو َح‬ ِّ ‫ٱلس َّن ِّب‬ ِّ ‫ِّب ْٱْلُذُ ِّن َو‬
ۚ ُ‫ارة ٌ لَّ ۥه‬َ َّ‫صدَّقَ ِّبِّۦه فَ ُه َو َك ٰٓف‬ َ َ ‫اص ۚ فَ َمن ت‬ ٌ ‫ص‬ َ ‫ِّق‬
‫ٱَّللُ فَأ ُ ۟و َٰلَ ِّئ َك ُه ُم‬
َّ ‫َو َمن لَّ ْم يَ ْح ُكم ِّب َما ٰٓ أَنزَ َل‬
َّ َٰ
َ‫ٱلظ ِّل ُمون‬
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka
(pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

c. Macam-Macam Qishahs
Qishash terdiri dari dua macam yaitu:

d. Syarat-syarat Qishash
1. Orang yang terbunuh terpelihara darahnya
2. Pembunuh sudah baligh dan berakal
3. Pembunuh bukan bapak dari terbunuh
4. Orang yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yang membunuh
5. Qishash itu dilaksanakan dalam hal yang sama
e. Pembunuhan Oleh Massa
Apabila sekelompok atau beberapa orang secara bersama-sama membunuh
seseorang, maka mereka (para pembunuh) harus diqishash. Hal tersebut berdasarkan
pendapat Umar bin Khattab dan dia sendiri pernah melaksanakan hukum bunuh
tersebut kepada beberapa orang yang bersama-sama membunuh seseorang ditempat
sunyi.
f. Qishash Anggota Badan
Semua anggota tubuh ada qishash, demikian dinyataka oleh Allah swt dalam firman-
Nya: (QS. Al-Maidah: 45)

‫س ِّبٱلنَّ ْف ِّس‬ َ ‫علَ ْي ِّه ْم فِّي َها ٰٓ أ َ َّن ٱلنَّ ْف‬ َ ‫َو َكت َ ْبنَا‬
َ‫نف َو ْٱْلُذُن‬ ِّ َ ‫نف ِّب ْٱْل‬ َ َ ‫َو ْٱلعَيْنَ ِّب ْٱلعَي ِّْن َو ْٱْل‬
ۚ ‫اص‬
ٌ ‫ص‬ َ ِّ‫ٱلس ِّن َو ْٱل ُج ُرو َح ق‬ ِّ ‫ٱلس َّن ِّب‬ ِّ ‫ِّب ْٱْلُذُ ِّن َو‬
‫ارة ٌ لَّ ۥهُ ۚ َو َمن لَّ ْم‬ َ َّٰٓ‫صدَّقَ بِِّّۦه فَ ُه َو َكف‬ َ َ ‫فَ َمن ت‬
َ‫ٱلظ ِّل ُمون‬ َّ َٰ ‫ٱَّللُ فَأ ُ ۟و َٰلَ ِّئ َك ُه ُم‬
َّ ‫يَ ْح ُكم ِّب َما ٰٓ أَنزَ َل‬
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka
(pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

g. Hikmah Qishash
 Dapat memelihara keamanan dan ketertiban
 Mencegah terjadinya pertentangan dan permusuhan yang mengakibatkan pertumpahan
darah.
 Memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya neraca keadilan harus ditegakkan

DIYAT

a. Pengertian diyat
Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan kepada pihak yang terbunuh.
b. Sebab-Sebab Ditetapkan Diyat
1. Dimaafkan oleh pihak keluarga terbunuh maka tidak berlaku qishash, melainkan wajib
memberikan diyat kepada keluarga terbunuh.
2. Pelaku pembunuhan lari tetapi sudah diketahui dengan jelas identitasnya.
3. Diyat bagi pembunuh yang lari dibebankan kapada ahli waris pembunuh.
4. Sukar melaksanakan qishash.
c. Macam-Macam Dan Contoh Diyat
1. Diyat mughalladlah (diyat berat), adalah harus membayar dengan 100 ekor unta, terdiri
dari 30 ekor hiqqah (unta betina berumur 3-4 tahun), 30 ekor jadzaah (unta betina 4-5
tahun), dan 40 ekor khilfah (unta betina yang bunting), diwajibkan kepada:
 Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi kemudian dimaafkan oleh keluarga
yang terbunuh. Pembayaran diyat tersebut sebagai pengganti qishash.
Sabda Rasulullah Saw:

(HR. Turmudzi)
 Pembunuhan seperti disengaja. Diyat mughaladlah pada pembunuhan ini wajib dibayar
oleh keluarga pembunuh dan diangsur selama 3 tahun, dibayar sepertiga tiap tahun.
 Pembunuhan ditanah haram, atau pada bulan-bulan haram, atau pembunuhan terhadap
muhrim pembunuh. Diyat mukhaffafah dapat menjadi diyat mughaladlah apabila terjadi
tiga hal tersebut.

2. Diyat mukhaffafah (diyat ringan) berupa 100 ekor unta, terdiri dari 20 ekor hiqqah, 20
ekor jadzah, 20 ekor unta labun (unta betina berumur lebih dari 2 tahun), 20 ekor unta
ibnu labun (unta jantan berumur lebih dari 2 tahun)dan 20 ekor unta makhad (unta
betina berumur lebih dari 1 tahun). Diyat mukhaffafah diwajibkan atas pembunuhan
tersalah dibayar oleh keluarga pembunuh dan diangsur selama 3 tahun, dibayar
sepertiga tiap tahun.
Sabda Rasulullah Saw:

(HR. Daruquthni)
d. Diyat Karena Kejahatan Melukai Atau Memotong Anggota Tubuh.
1. Wajib membayar satu diyat penuh, apabila memotong anggota tubuh, dua tangan, dua
kaki, hidung dan telinga, dua mata, ledah, bibir, tempat keluarnya bicara, penglihatan
atau pendengaran, dan kemaluan laki-laki. Pelaku pemotongan harus diqishash, atau
kalau dimaafkan keluarga terbunuh maka harus membayar satu diyat penuh, berupa
100 ekor unta atau seharganya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh jabir, Rasulullah saw bersabda:

Dalam hadits lain diriwayatkan:

2. Wajib membayar setengah diyat, apabila memotong salah satu anggota tubuh yang dua-
dua, misal: satu kaki, satu tangan, satu telinga dll.
Rasulullah bersabda:

3. Wajib membayar sepertiga diyat, apabila melukai anggota tubuh antara lain melukai
kepala sampai ke otak atau melukai badan sampai ke perut.
4. Wajib membayar diyat, berupa:
1) 15 ekor unta bagi luka sampai terkelupas kulit diatas tulang
2) 10 ekor unta bagi luka yang mengakibatkan putusnya jari-jari baik jari tangan maupun
jari kaki
3) 5 ekor unta bagi luka yang mengakibatkan patah sebuah gigi, atau luka sampai
terkelupas daging

Adapun ketentuan-ketentuan terhadap pemotongan, menghilangkan fungsi atau


membuat cacat anggota badan yang belum ada ketentuan hukumnya sebagai tersebut
di atas diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim. Hukum-hukum yang
diserahkan kepada kebijakan hakim karena belum ada ketentuan hukum disebut ta’zir.

e. Hikmah Diyat
 Sebagai alat untuk mencegah pertumpahan darah
 Sebagai obat hati dari rasa dendam

Jarimah qishash dan diyat

Anda mungkin juga menyukai