HUDUD
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hudud
1. Pengertian Hudud
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di
antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan).[1] Adapun menurut
syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk
mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa
pelakunya.[2]
Hukuman Hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah swt
didalam al-Quran atau hadits. Hukuman hudud ini adalah hak Allah swt yang tidak boleh
ditukar ganti hukumannya dan tidak boleh di ubah dan dipindah. Hukuman Hudud tidak
boleh dimaafkan oleh sesiapa pun.Mereka yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, yang
telah ditentukan dan ditetapkan Allah atau rasul-Nya yang disebutkan di dalam al-Quran atau
hadits adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang zalim. Seperti firman Allah swt
yang bermaksud:
”Dan siapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 229)
2. Syarat Penentuan Hudud
Penerapan hudud tidak dapat dilakukan tanpa 4 syarat yaitu sebagai berikut:
a. Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
b. Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
c. Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
d. Kejahatannya terbukti ia yang melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan
dengan pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.
seperti binatang. Allah swt berfirman: َو اَل َتْقَر ُبوا الِّز ٰن ٓى ِاَّنٗه َك اَن َفاِح َش ًۗة َو َس ۤا َء َس ِبْياًل
“Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk”. (Qs. Al-Isra’ : 32)
Allah swt berfirman dalam surat an-Nur ayat 2 yang artinya “perempuan dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan terhadap keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan sekumpulan orang-orang yang beriman”. (Q.S. an-Nur:2)
Hukuman had diatas berdasarkan dengan hadits Nabi saw yang artinya “ambilah
dariku! Ambilah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka. Jejaka yang
berzina dengan gadis didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang
telah menikah melakukan zina didera seratus kali dan dirajam”. (H.R. Muslim dari Ubadah
bin Samit)
Ibnu Katsir juga menyebutkan pendapat Imam Ahmad, bahwa tidak sah akad
seorang laki-laki yang bersih (dari zina) dengan seorang pezina hingga wanita itu bertaubat.
Jika wanitaitu bertaubat maka sah akad atasnya. Demikian pula tdak sah pernikahan antara
seorang perempuan yang merdeka dan bersih (dari zina) dengan laki-laki pezina sehingga
laki-laki tersebut bertaubat. Hal ini berdasarka dengan firman Allah suran an-Nur ayat
3 “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik, dan permpuan yang berzina tidak dikawini oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
mukmin”. (Q.S. an-Nur: 3)
b. Qodzaf
1. Pengertian Qadzaf
Qadzaf menurut bahasa yaitu ram’yu syain berarti melempar sesuatu. Qadzaf menurut
istilah adalah melempar tuduhan zina kepada orang lain tanpa adanya bukti-bukti yang kuat
yang karenanya mewajibkan hukuman had bagi tertuduh. Allah swt melaknat para pelaku
qadzaf di dunia maupun di akhirat.
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nur ayat 23:
ِإ َّن ا َّل ِذ ي َن َي ْر ُمو َن ا ْل ُمْح َص َن اِت ا ْل َغ اِف اَل ِت ا ْل ُمْؤ ِم َن اِت ُلِع ُن وا ِفي ال ُّد ْن َي ا َو ا آْل ِخَر ِة َو َل ُه ْم َع َذ اٌب َع ِظ ي ٌم
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi
beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang
besar”. (Q.S. An-Nur : 23)
2. Syarat-syarat Qadzaf
1) Qadzif (orang yang menuduh),
Ø Islam
Ø Berakal
Ø Baligh
Ø Ikhtiar (tidak dalam keadaan terpaksa).
Ø Dikenal di tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang suci, taat beribadah dan shalih.
Ø Mereka tidak mendatangkan empat orang saksi.
2) Maqdzuf (orang yang dituduh)
· Berakal
· Baligh
· Islam
· Merdeka
· Belum pernah dan menjauhi tuduhan tersebut
· Meminta dijatuhkannya hukuman had bagi si qadzif
3. Pembuktian Qadzaf
- Penyaksian, yaitu saksi-saksi yang boleh diterima penyaksian untuk membuktikan ketetapan
kesalahan qadzaf haruslah disaksikan oleh saksi-saksi yang layak menjadi dalam perbuatan
zina. Bagi orang yang menuduh zina itu dapat mengambil beberapa kemungkinan, yaitu:
ü Memungkiri tuduhan itu dengan menghadirkan satu orang saksi baik laki-laki atau perempuan.
ü Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua
orang laki-laki atau dua orang perempuan.
ü Membuktikan tuduhan secara penuh dengan mengajukan empat orang saksi.
ü Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhan itu maka suami dapat mengajukan
sumpah li’an.
- Pengakuan, yaitu seseorang yang mengaku bahwa ia telah menuduh orang lain berbuat zina,
maka hakim boleh menjatuhkan had qadzaf pada dirinya.
- Sumpah, yaitu dalam perbuatan qadzaf boleh ditetapkan kesalahan qadzaf dengan sumpah.
Jikalau orang yang dituduh tidak mempunyai barang bukti untuk menolak dan menghindar
dari tuduhan orang yang menuduh, maka orang yang dituduh itu hendaklah meminta kepada
orang yang membuat tuduhan supaya bersumpah atas kebenaran tuduhannya itu.
- Qarinah (bukti-bukti). Bukti yang kuat adalah bukti yang cukup untuk mengharuskan
hukuman dilaksanakan.
4. Hukuman bagi pelaku qadzaf
Orang yang melakukan kesalahan qadzaf hendaklah dihukum dengan hukuman dera
atau dicambuk dengan 80 kali cambukan dan keterangannya sebagai seorang saksi tidak
boleh diterima lagi sehingga dia bertaubat atas perbuatannya itu. Hal ini sesuai dengan firman
Allah swt “dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh) itu dengan 80
kali deraan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya”. (Q.S.
an-Nur: 4)
5. Hal-hal yang menggugurkan hukuman qadzaf
· Mampu mendatangkan saksi
· Bila yang dituduh membenarkan tuduhan si penuduh
· Dimaafkan oleh orang yang dituduh
c. Khamr
1. Pengertian Khamr
Khamr terambil dari kata khamara yang artinya menutupi. Dinamai demikian karena
khamr menutupi akal. Menurut istilah khamr adalah segala sesuatu dari makanan atau
minuman dan obat-obatan yang dapat menghilangkan akal dan memabukkan.[4] Imam Malik,
Imam Hanafi, dan Imam Syafi’i berpendapat apapun yang apabila diminum atau digunakan
dalam keadaan yang normal oleh orang yang normal lalu memabukkan baik itu dari perasan
anggur, kurma, gandum, buah-buahan, atau dari bahan lain, maka ia adalah khamr.[5]Allah
swt berfirman :
َي ا َأ ُّي َه ا ا َّلِذ يَن آ َم ُنوا ِإ َّنَم ا ا ْل َخ ْم ُر َو ا ْل َم ْي ِس ُر َو ا َأْل ْن َص اُب َو ا َأْل ْز اَل ُم ِر ْج ٌس ِم ْن َع َم ِل
ال َّش ْي َط ا ِن َف اْج َت ِن ُبو ُه َل َع َّلُك ْم ُتْف ِل ُح وَن
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah : 188).
B. Ta’zir
1. Pengertiaan Ta’zir
Ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata azzara ya’zuru yang secara etimologis
berarti man’u wa radda yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki
arti َﻨَﺼَﺮُﻩmenolong atau menguatkan. Menurut Abdul Qadir Audah dan Wahbah az-Zuhaili,
dikatakan ta’zir adalah mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak
mengulangi perbuatannya dan merasakan efek jera terhadap pelaku. Ta’zir juga bisa
berarti ta’dib (mendidik) karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku
agar ia menyadari dan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Selain itu, ta’zir juga dapat
diartikan sebagai menghinakan pelaku criminal karena perbuatannya.[6] Hal ini seperti
dalam firman Allah berikut :
)٩( ِلُتْؤ ِم ُنوا ِباِهَّلل َو َر ُسوِلِه َو ُتَع ِّز ُروُه َو ُتَو ِّقُروُه َو ُتَس ِّبُحوُه ُبْك َر ًة َو َأِص يال
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya,
membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Q.S. Al-Fath: 9)
Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang ketentuan hukumannya tidak di
tentukan Al-Qur’an dan Hadis. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada si terhukum
dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sebagian lain
mengatakan sebagai sebuah hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum
dengan hukuman had atau kafarat. Jadijarimah ta’zir ditentukan oleh hakim atau penguasa.
Dalam hal ini hakim diberi wewenang untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa
pelanggaran. [7] dikalangan ulama’fuqaha’, jarimah ta’zir belum ditentukan secara syara’.
Jadi istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
[8]
Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa ta’zir dikenakan untuk para pelaku
perbuatan maksiat yang tidak dikenai had dan tidak pula kifarat. Yang dimaksud dengan
maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang
dilarang (haram). Sebagai contoh sumpah palsu, menyentuk wanita yang bukan muhrimnya,
berkhianat, riba, memakai barang yang diharamkan seperti darah, bangkai, dan sebagainya.
“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, menguatkan
(agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan
petang”. (Q.S. al-Fath: 8-9)
Adapun Hadits yang dijadikan dasar adanya jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
ال يجلد احد فوق عشرة: عن ابي بردة االنصاري انه سمع رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول
اسواط اال فى حد من حدود هللا
“Dari Abu Burdah Al-Anshari RA. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda :Tidak
boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh
Allah ta’ala”. (Muttafaqun Alaih)
Berdasarkan hadits tersebut, hukuman ta’zir tidak boleh melebihi dari ketentuan
hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (hukum had atau jarimah lainnya). Dalam
penentuan hukum ta’zir hak sepenuhnya diserahkan kepada hakim.
Ibn Taimiyah membagi sanksi ta’zir berupa harta menjadi tiga bagian, yaitu
menghancurkannya, mengubahnya dan memilikinya yang bisa disebut dengan denda. Namun,
para ulama tidak menentukan batas tertinggi dan terendah dalam sanksi ta’zir berupa harta.
b. Dicela
Para ulama mendasarkan pemberian sanksi ta’zir yang berupa celaan ini kepada sunnah
Nabi yang menceritakan bahwa Abu Dzar pernah menghina seorang dengan menghina
ibunya. Umar bin Khaththab juga pernah menjatuhkan sanksi celaan ini terhadap orang yang
memakai pakaian sutera asli.
Meskipun para ulama menyebutkan bahwa celaan ini bisa diucapkan didalam maupun
diluar persidangan, akan tetapi tampaknya yang lebih tepat adalah dilakukan didepan
pengadilan.
c. Pengucilan
Yang dimaksud dengan pengucilan adalah larangan berhubungan dengan si pelaku
jarimah dan melarang masyarakat berhubungan dengannya. Dasar sanksi ini adalah firman
Allah SWT:
“ wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka” (Q.S. al-Nisa: 34)
Sanksi ta’zir yang berupa pengecualian ini diberlakukan bila membawa kemaslahatan
sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu.
d. Nasihat
yang dimaksud nasihat sebagai sanksi ta’zir sebagaimana dikatakan oleh ibn Abidin adalah
memperingatkan si pelaku bila ia lupa atau tergelincir kepada suatu kesalahan yang bukan
kebiasaannya
e. Diumumkan Kejahatannya
Dasar hukuman pengumuman kejahatan sebagai hukuman ta’zir adalah tindakan Umar
terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu keliling kota. Jumhur
ulama berpendapat bahwa mengumumkan kejahatan seseorang itu diperkenankan. Dalam
mazhab Syafi’i pengumuman juga boleh dengan menyuruh pencuri keliling pasar orang-
orang pasar tahu bahwa ia adalah pencuri. Dengan demikian, menurut fuqaha sanksi ta’zir
yang berupa pengumuman kejahatan itu dimaksudkan agar orang yang bersangkutan menjadi
jera dan agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Asadulloh Al Faruk., Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Penerbit Ghalia Indonesia,
2009.
Kamus besar bahasa indonesia
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti., Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar
Baru Algesindo, 2009.
Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan: Tafsir Ayat-ayat Hukum, Semarang: CV.
Asy-Syifa, 1994.
Prof. Abdur Rahman I.Doi,. Ph.D., Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta: PT. Putra
Melton, 1992.
Fiqhus Sunnah II.
Marsum, Jarimah Ta’zir : Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam , Yogyakarta :
Fakultas Hukum UII, 1988.
Ahmad Wardi Muslih., Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
H.A. Djazuli., Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996