Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al quran merupakan sumber dari segala hukum. Telah kita ketahui bahwa
Al quran di samping berisi tentang masalah keimanan, nilai-nilai moral, juga
berisi tentang beberapa hal yang terkait dengan masalah hukum. Kurang lebih
sepertiga ayat Al quran membicarakan masalah hukum, baik yang terkait dengan
hubungan antara manusia dengan Allah, maupun hal-hal yang terkait dengan
hubungan antar sesama manusia.
            Salah satu hukuman yang disebutkan di dalam Al quran adalah
hukuman atas pencuri sebagaimana firman Allah di dalam Al quran surat al-
Maidah 38-39. Pencurian dalam hukum islam merupakan perbuatan tindak pidana
yang berat hukumannya, jika pencurian tersebut telah memenuhi unsur-unsur
pencurian, namun berbeda dengan tindak pidana dalam hukum positif.
Dalam hukum Islam perzinaan dianggap sebagai suatu perbuatan yang
sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Pendapat ini disepakati oleh ulama,
kecuali perbedaan hukumannya. Menurut sebagian ulama tanpa memandang
pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang belum menikah atau orang yang telah
menikah, selama persetubuhan tersebut berada di luar kerangka pernikahan, hal
itu disebut sebagai zina dan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Juga
tidak mengurangi nilai kepidanaannya, walaupun hal itu dilakukan secara sukarela
atau suka sama suka. Meskipun tidak ada yang merasa dirugikan, zina dipandang
oleh Islam sebagai pelanggaran seksualitas yang sangat tercela, tanpa kenal
prioritas dan diharamkan dalam segala keadaan.1

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu zina dan hukumnya
2. Apa itu mencuri dan hukumnya

1
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Fiqh Jinayah) Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka
Setia, 2000, hlm. 69
1
2

3. Apa itu merampok dan hukumnya

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu zina dan hukumnya
2. Untuk mengetahui apa itu mencuri dan hukumnya
3. Untuk mengetahui apa itu merampok dan hukumnya
3

BAB II
PEMBAHASAN

1. Zina
A. Pengertian Zina
Perbuatan zina termasuk ruang lingkup macam-macam fiqh jina, Zina
adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya
ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya
unsur syubhat.2 Delik perzinaan ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah.
Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan) didasarkan
pada ayat al-Qur’an, yakni didera seratus kali. Sementara bagi pezina muhsan
dikenakan sanksi rajam. Rajam dari segi bahasa berarti melempari batu. Rajam
adalah melempari pezina muhsan sampai menemui ajalnya.3
Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan
sanksi yang amat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Kenapa zina diancam
dengan hukuman berat. Hal ini disebabkan karena perbuatan zina sangat dicela
oleh Islam dan pelakunya dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu
sampai meninggal dengan disaksikan orang banyak), jika ia muhsan. Jika ia
ghairu muhsan, maka dihukum cambuk 100 kali. Adanya perbedaan hukuman
tersebut karena muhsan seharusnya bisa lebih menjaga diri untuk melakukan
perbuatan tercela itu, apalagi kalau masih dalam ikatan perkawinan yang
berarti menyakiti dan mencemarkan nama baik keluarganya, sementara ghairu
muhsan belum pernah menikah.4
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, zina adalah perbuatan asusila
yang dilakukan seorang pria dan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah.
Sedangkan menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi
dua unsur yaitu:5

2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT Al-Maarif, 1996), 86-87
3
Ibid., 86-87
4
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), 340
5
Ibid., 341
3
4

1. Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda


jenis kelaminnya (heterosex).
2. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan sek
(sex act).
Dengan unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya
baru bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat dikatakan
berbuat zina, yang dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera bagi yang belum
pernah kawin atau rajam bagi yang sudah pernah kawin, tetapi mereka bisa
dihukum ta’zir yang bersifat edukatif.6 Bagaimana dengan inseminasi buatan
dengan mentransfer sperma pada ovum donor untuk memperoleh keturunan.
Bila dikaitkan dengan definisi zina dan klasifikasinya yang telah dijelaskan
oleh Jurzanim maka tidak dianggap sebagai perbuatan zina, sebab tidak terjadi
sexual intercourse (persetubuhan).7

B. Dasar hukum zina


Seseorang dikatakan berzina harus diteliti dengan sangat hati-hati jangan
sampai keliru dalam menentukan hukumannya. Sebab jika keliru akan
merugikan orang lain, karena hukuman zina adalah sangat berat bagi para
pelakunya. Adapun dasar penetapan perbuatan zina sebagai berikut :
a. Adanya kesaksian empat orang, laki-laki, baligh, berakal, dan adil.
Keempat saksi memberikan kesaksian yang sama baik tempat, pelaku,
waktu dan cara melakukannya. Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi,
maka belum bisa dikatakan berbuat zina.
b. Pengakuan pelaku yang sudah baligh dan berakal.
c. Qorinah atau tanda-tanda atau indikasi.
d. Qorinah yang dapat dianggap sebagai barang bukti perzinaan yang sah
adalah jelasnya kehamilan wanita yang tidak bersuami. (bukan perkosaan).
Adapun dasar hukum dalam al-qur’an dan hadis telah banyak disebutkan
antara lain zina dera atau cambuk seratus kali adalah firman Allah SWT dalam

6
Ibid.,342
7
Sayid Sabiq, Fiqh al-sunnah, vol. II, (Libanon, Darul Fikar, 1981), 369
5

surat Al-Nur ayat 2 yang Artinya: “Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah
dicambuk seratus kali dan janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya
sehingga mencegah kamu dalam menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan
sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.32 Dari definisi tersebut dapat kita kemukakan bahwa hukuman
merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang
mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya.

C. Macam-macam zina
Macam-macam zina dan al-quran dan hadis telah banyak dipaparkan
anatara lain akan dipaparkan sebagai berikut:
1. Zina Muhsan ialah perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita yang
wajib menjaga kehormatannya. Artinya, orang yang sudah berkeluarga atau
menikah.
2. Zina Ghoiru Muhsan maksudnya adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh
pria/wanita yang belum menikah.
Ada sebagian ulama mendefisikan macam-macam pelaku zina ada dua
macam sebagai berikut:8
1. Zina mukhshon yaitu zina yang dilakukan orang yang pernah terikat tali
ikatan perkawinan, artinya yang dilakukan baik suami, isteri duda atau
janda. Hukuman had bagi pelaku zina mukhshon, yaitu dirajam atau
dilempari batu sampai ia mati.
2. Zina ghairu mukhson yaitu zina yang dilakukan orang yang belum pernah
menikah. (hukuman) bagi pelaku zina ghairu Mukhson di jilid atau di
cambuk sebanyak 100 kali dan dibuang ke daerah lain selama 1 tahun. Yang
memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala
negara Khilafah Islamiyyah) atau orang-orang yang ditugasi olehnya seperti
qad}hi atau hakim. Qad}hi (hakim) memutuskan perkara pelanggaran

8
Imam Al-Hafizh Abu Isa Muhammad, Terjemah Sunan At Tirmidzi Jilid II, (Semarang: CV Asy
Syifa’, 1992), 800-803
6

hukum dalam mahkahmah pengadilan. Dalam memutuskan perkara tersebut


qadhi itu harus merujuk dan mengacu kepada ketetapan syara’. Yang harus
dilakukan pertama kali oleh qad}hi adalah melakukan pembuktian benarkah
pelanggaran hukum itu benarbenar telah terjadi. Adapun wanita hamil dan
orang sakit, maka pelaksanaan hukum atasnya ditunda hingga wanita hamil
itu melahirkan dan orang yang sakit sembuh dari penyakitnya. Imam Syafi’i
Abu Abdullah karena pada prinsipnya kesalahan hanya dibebankan kepada
orang yang melakukannya. Soal hukuman (panishment) bagi para pezina
mushan dan ghoiru mushan banyak perbedaan pandangan. Menurut Mazhab
Dzahiri pelaku zina muhsan (pelaku zina yang telah kawin) mendapat
hukuman rangkap: dera dahulu kemudian rajam berdasarkan Hadis Nabi:
“Pelaku zina yang telah kawin atau pernah kawin itu didera 100 kali dan
dirajam”9
Berkaitan dengan hukuman bagi pezina itu, Imam Syafi’i juga
berpendapat; hukuman rajam (stoning to death), yang berarti hukuman mati
bagi pelaku zina muhsan sudah seharusnya dibebankan atas pelaku zina
apabila perbuatan zina itu diketahui oleh empat orang saksi. Bagi Imam
Syafi’i hukuman dera sangat pantas diberikan kepada pelaku zina muhsan
karena si pelaku zina seharusnya (wajib) menjaga loyalitas dan nama baik
keluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung bahaya-bahaya yang
besar bagi keluarganya, masyarakat, dan negara.10

2. Pencuri
A. pengertian mencuri
Perkataan ‫ارقة‬II‫ارق والس‬II‫الس‬  pada ayat ke-38 Qs. Almaidah di atas diambil
dari kata ‫رق‬IIIIIIII‫ يس‬-‫رق‬IIIIIIII‫س‬   ‫رقا‬IIIIIIII‫س‬- yang berarti mencuri. Sedangkan
perkataan ‫وا‬II‫قطع‬  berasal dari kata  ‫ قطعا‬-‫ع‬II‫ يقط‬-‫ع‬II‫قط‬yang berarti memotong atau
memutuskan. Di dalam kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an disebutkan

9
Zuhdi, Masjfuq, Masail Fiqhiyah, (.Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997), 35-36
10
Ibid.,35-36.
7

kata ‫قطع‬ sama maknanya juga dengan ‫اإلبانة واإلزالة‬  yang berarti menceraikan atau


menghilangkan.
Kata pencurian berasal dari bahasa arab al- sariqah. Dalam ensiklopedi
fiqh:
‫السرقة هى اخذ مال ال حق له فيه من خفية‬
“ sariqah adalah mengambil suatu harta yang tidak ada hak baginya
dari tempat penyimpanan.”
Abdul Qadir Audah mendefinisikan pencurian sebagai tindakan
mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, yang
dimaksudkan dengan mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi
adalah mengambilnya tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.
Menurut kitab fiqh fathul qarib sariqah menurut bahasa adalah
mengambil harta dengan sembunyi-sembunyi. Sedang menurut syarak ialah
mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan aniaya dari tempat simpanan
harta itu tadi.
Menurut Mahmud Syaltut pencurian adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga barang .
Pencurian di dalam ketentuan KUHP Indonesia ialah perbuatan
mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum.
Kata curi artinya mengambil dengan diam-diam, sembunyi-sembunyi
tanpa diketahui orang lain. Mencuri berarti mengambil milik orang lain secara
tidak sah.
Pencurian dalam Islam merupakan perbuatan tindak pidana yang berat
dan dikenakan hukuman potong tangan apabila harta yang dicuri tersebut
bernilai satu nisab pencurian.
Jadi, pencurian adalah mengambil barang yang bukan miliknya dengan
cara yang salah dan tidak dibenarkan di dalam Islam.
Didalam sebuah hadis yang berhubungan dengan firman Allah seperti
yang diatas adalah:
8

‫إنما أهلك من كان قبلكم انه إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف قطعوه‬
“ kehancuran umat terdahulu adalah disebabkan apabila yang mencuri
adalah orang-orang terhormat, mereka biarkan saja, sedangkan apabila yang
mencuri rakyat biasa, mereka potong tangannya.” (HR. Albukhari)
Didahulukannya kata pencuri lelaki dalam ayat ini, atas pencuri
perempuan, dan didahulukannya pezina perempuan atas pezina lelaki  (QS. An-
Nur (24): 2), mengisyaratkan bahwa lelaki lebih berani mencuri dari pada
perempuan, sedang perzinahan bila terjadi disebabkan karena keberanian
perempuan melanggar tuntunan ilahi agar tidak menampakkan hiasan mereka,
yang dapat merangsang terjadinya pelanggaran.  Para ulama menetapkan
makna pencurian yang dimaksuud oleh ayat ini di samping menetapkan sekian
syarat untuk jatuhnya sanksi hukum di atas.
Mencuri berbeda dengan korupsi, merampok, mencopet dan
merampas. Mencuri adalah mengambil secara sembunyi-sembunyi barang
berharga milik orang lain yang disimpan oleh pemiliknya pada tempat yang
wajar, dan si pencuri tidak diizinkan untuk memasuki tempat itu. 
Dengan demikian, siapa yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya
tetapi diamanatkan kepadanya, maka ia tidak termasuk dalam pengertian
mencuri oleh ayat ini, seperti jika bendaharawan menggelapkan uang. Tidak
juga jika mengambil harta, di mana ada walau sedikit dari harta itu yang
menjadi miliknya, seperti dua orang atau lebih bersyarikat dalam sebuah usaha,
atau mengambil dari uang negara. Tidak juga disebut pencuri orang yang
mengambil sesuatu dari satu tempat yang semestinya barang itu tidak terkunci,
bila dimasuki oleh seseorang lalu mengambil sesuatu yang berharga, maka
yang mengambilnya terbebaskan dari hukum potong tangan ketika itu pemilik
toko atau rumah tidak meletakkan barang-barangnya di tempat wajar, sehingga
merangsang yang lemah keberagamaanya untuk mencuri.
Demikian, agama di samping melarang mencuri, juga melarang pemilik
harta membuka peluang bagi pencuri untuk melakukan kejahatan. Alhasil
hukuman ini tidak serta merta dijatuhkan, apalagi Rasul SAW.
9

bersabda: “hindarilah menjatuhkan hukuman bila ada dalih untuk


menghindarinya.”
Syyidina Umar Ibn al-khaththab menegaskan: “saya lebih suka keliru
tidak menjatuhkan sanksi hukum karena adanya dalih yang meringankan dari
pada menjatuhkannya secara keliru padahal ada dalih meringankannya.” Itu
sebabnya beliau tidak menjatuhkan sanksi bagi yang mencuri pada masa krisis
atau paceklik. Tidak juga menjatuhkannya kepada sekelompok karyawan yang
mencuri seekor unta karena majikannya tidak memberikan mereka upah yang
wajar. Bahkan yang dijatuhi hukuman ketika itu oleh Umar ra. adalah sang
majikan, yakni Ibn Hathib Ibn Abi balta’ah dengan mewajibkan membayar
kepada pemilik unta yang dicuri dua kali lipat harganya.
Ini tentu bukan berarti bahwa yang bersangkutan tidak dijatuhi sanksi
sama sekali, tetapi yang dimaksud adalah tidak menjatuhkan had yakni sanksi
hukum seperti potong tangan bagi yang mencuri, mencambuk atau merajam
bagi yang berzina dan membunuh bagi yang membunuh. Sanksi hukum yang
harus ditegakkan sebagai gantinya adalah apa yang diistilahkan dengan ta’zir,
yaitu hukuman yang lebih ringan dari hukuman yang ditetapkan bila bukti
pelanggaran cukup kuat. Ta’zir dapat berupa hukuman penjara, atau apa saja
yang dinilai wajar oleh yang berwenang. (Shihab, 2007: 93-94)
Dalam ayat 38: surat al-Maidah ini Allah SWT. menetapkan hukum bagi
pencuri yang mengambil hak orang secara sembunyi. Pencuri pria ataupun
pencuri wanita hendaknya dipotong tangannya sampai pergelangannya. Ukuran
mencuri yang boleh dipotong tangannya menurut hadits nabi SAW.:
‫ال تقطع يد السارق إال فى ربع دينار فصاعدا‬
“tidak dipotong tangan pencuri, kecuali apabila(ia mencuri harta
senilai)seperempat dinar lebih.”(HR. Ahmad)
Pemotongan tangan menurut ketentuan hukum ini ditetapkan untuk
kemaslahatan umat. Pencurian adalah pelanggaran akan ketentuan Allah. Yang
melanggar batas, wajar mendapat hukuman, siksaan dari Allah yang maha
perkasa lagi bijaksana dalam syari’at-Nya.
10

Dengan ayat tersebut diatas, seolah-olah Allah berfirman: “janganlah


kalian melebihi batas-batas hukum yang telah Aku tetapakan baik berkenaan
dengan hukum mencuri ataupun dosa-dosa besar lainnya. Potong tangan ini
merupakan siksaan dunia yang Ku tetapkan bagi pencuri berdasarkan
keluasan ilmuKu yang mengandung kemaslahatan bagi kalian dan abgi
mereka.”
Syari’ah menetapkan pandangan yang lebih realistis dalam menghukum
seorang pelanggar. Tujuan dari hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera
guna menghentikan kejahatan tersebut sehingga bisa diciptakan rasa
perdamaian dimasyarakat. Islam adalah agama yang syumul disebabkan itulah
Islam amat menjaga kepentingan umatnya. Dan setiap manusia itu ada hak
pribadinya masing-masing. Oleh itu barang siapa yang mengambil barang yang
bukan kepunyaannya dengan jalan mencuri lalu dalam agama islam telah
ditetapkan hukum had keatasnya.
Islam ingin membangun umatnya yang sehat. Dengan tujuan membina
kedamaian dalam masyarakat, maka pencurian dianggap sebagai suatu
kejahatan dan dosa yang besar. Dalam sebuah hadist nabi SAW. seorang
pencuri bukanlah orang yang beriman pada saat dia melakukan pencurian:
‫و‬II‫زني وه‬II‫عن ابن عباس رضي هللا عنه أن النبي صلى الل عليه وسلم قال ال يزنى الزانى حين ي‬
‫مؤمن وال يسرق حين يسرق وهو مؤمن‬
diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya nabi SAW. telah
bersabda:
“ketika seorang penzina berbuat zina, maka dia bukan orang yang
beriman; demikian pula tatkala seorang pencuri melakukan pencurian, maka
di waktu itu dia bukanlah orang yang beriman.” (HR. Albukhari)
Begitu juga, seorang pencuri dilaknat oleh Allah seperti disebutkan
dalam hadist berikut:
‫ده‬II‫ع ي‬II‫ة تنقط‬II‫رق البيض‬II‫ارق يس‬II‫ لعن هللا الس‬:‫ال‬II‫لم ق‬II‫عن ابى هريرة عن النبي صلى هللا عليه وس‬
‫ويسرق الحبل فتقطع يده‬
11

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa nabi SAW. Bersabda: “ Allah


melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur, hukumannya potong tangan; dan
yang mencuri tali (hukumannya juga) dipotong tangannya.”
Dalam hadis diatas sebutir telur dikiaskan tombak besi, sedangkan tali
dikiaskan alat untuk pergi. Hadis ini bukan menunjukkan hukuman tapi hanya
menunjukkan saking beratnya pencurian itu. Hadis tersebut menekankan untuk
menjerakan kejahatan pencurian karena dari pencurian kecil, suatu ketika kelak
seorang dapat menjadi perampok besar jika dikekang.
Selanjutnya di dalam QS. al-Maidah ayat 39 Allah SWT. Menerangkan
keagungan nikmat-Nya dan kesempurnaan kemurahan-Nya terhadap mereka
yang berdosa, dengan menetapkan hukum bagi yang bertobat. Orang yang
bertobat akan berhenti dari perbuatan zalimnya, memperbaiki perilakunya serta
berjanji tidak akan melakukan lagi perbuatan zalim serta berbuat baik dalam
pergaulan hidup seterusnya dengan mengharap ridha Allah. Allah SWT. akan
mengampuni orang yang bertobat kepada-Nya dan tidak akan mendapat
siksaan apabila diterima tobatnya. Dosa mencuri, menyangkut hak Allah dan
hak kemanusiaan. Dosa terhadap Allah dapat dihapus apabila yang
bersangkutan benar-benar taubat, sedang dosa terhadap sesama manusia karena
mencuri, akan gugur apabila barangnya dikembalikan atau minta maaf kepada
yang bersangkutan
Apabila laki-laki dan perempuan yang mencuri itu bertobat, sudah
dijatuhi hukuman, memperbaiki hubungan dengan Allah SWT. dan menyesali
apa yang sudah diperbuatnya, Allah SWT. pasti mengampuni dosanya,
menutup aibnya dan menghapus kejahatannya dengan kebaikan. Ampunan
Allah SWT. itu amat luas dan rahmatnya meliputi segala sesuatu.
Sesungguhnya Allah SWT. maha menerima tobat lagi maha penyayang. 

B. Unsur - Unsur Pencurian


Ulama fiqh mengemukakan ada empat unsur yang harus dipenuhi,
sehingga tindakan pengambilan harta orang lain tersebut sebagai tindakan
pidana pencurian. Keempat unsur itu adalah:
12

1.  Pengambilan itu dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi.


Artinya, pencurian dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik barang dan
pemilik barang tidak rela dengan pengambilan barangnya itu.
2.  Yang dicuri itu bernilai harta. Ulama fiqh mengemukakan bahwa harta yang
dicuri itu memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harta yang dicuri ialah harta bergerak.
b. Harta yang dicuri bernilai harta menurut syara’.
c. Harta itu terpelihara ditempat yang aman.
3.  Harta yang dicuri itu milik orang lain.
4.  Pencurian itu dilakukan secara sengaja oleh pencuri.

C.Hukuman pencuri
Sesorang yang mencuri baru dapat dikenakan hukuman apabila
memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut adalah:
1.  Pelaku tindak pidana haruslah seorang yang baligh dan berakal, karena
Rasulullah SAW. menyatakan:
‫رفع القلم عن ثالث عن الصبي حتى يبلغ وعن المجنون حتى يعقل وعن النائم حتى يحتلم‬
“ pembebanan hukum diangkat dalam tiga hal, yaitu anak kecil sampai ia
mimpi, orang gila sampai ia sebuh, dan orang yang tidur sampai ia
bangun.”(HR. Albukhari).
2. Harta yang dicuri disyaratkan.
3. Pemilik barang yang dicuri, haruslah benar-benar pemilik barang itu, atau
barang itu merupakan amanah ditangannya.
4. Tempat pencurian haruslah diwilayah yang didalamnya berlaku hukum
Islam.

D. Alat Bukti Dalam Pidana Pencurian


Untuk menetapkan hukuman pencurian dihadapan hakim, diperlukan alat
dan bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana pencurian itu benar-
13

benar terjadi. Alat bukti dalam tindak pidana pencurian adalah saksi dan
pengakuan.  Untuk saksi disyaratkan:
1.      Dua orang pria 
2.      Orang yang adil
3.      Saksi yang menyaksikan pencurian secara langsung
4.      Kesaksian yang diberikan tidak kadaluarsa.
5.      Gugatan diajukan oleh orang yang berhak menggugat
Adapun kesaksian wanita dalam kasus pencurian, sekalipun jumlahnya
empat orang (ganti dua orang pria) atau lebih, atau satu laki-laki dan dua orang
wanita, menurut jumhur ulama tidak diterima kesaksian mereka adalah:
‫ من رجالكم‬I‫واستشهدوا شهيدين‬......
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki.”(al Baqarah:282)
Imam Abu Hanifah dalam penafsirannya lebih liberal dalam memberikan
hukuman had pada kasus pencurian sebagaimana dapat dilihat dari
perbandingan pendapat beberapa mazhab hukum islam berikut ini.
Kalau seorang ayah mengmbil harta anaknya maka hukuman had potong
tangan tak dapat dikenakan, menurut Imam Abu Hanifah. Imam Malik berkata
bahwa hukuman itu tetap dapat dikenakan kepada si ayah dalam kasus seperti
itu. Bila suatu barang dicuri secara bersama-sama oleh beberapa orang
sekalipun nilainya mencapai nisab, maka tak seorang pun yang akan dihukum
potong tangan, begitu juga jika salah satu pasangan suami istri mengambil
milik yang lainnya, menurut Imam Abu Hanifah tak aka nada
hukuman had, tetapi imam Malik berkata bahwa hukuman itu harus dikenakan.
Andaikan saudara atau paman sesoarang mencuri hartanya, imam Syafi’i,
imam Ahmad bin Hanbal dan imam Malik berkata bahwa hukuman had harus
dikenakan kepada si pelaku, tetapi imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tak
ada hukuman hadterhadap saudara dekat seperti itu.

E. Pencuri Yang Tidak Boleh Dikenakan Hukuman Kesalahan Sariqah


Pencuri yang tidak boleh dikenakan hukuman kesalahan sariqah ialah:
14

1) Pencurian yang dilakukan secara khianat, yaitu orang yang mengambil harta
atau barang yang diamanahkan kepadanya. Mereka yang melakukan
kesalahan tersebut tidak boleh didakwa dibawah kasus sariqah (mencuri)
dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, tetapi mereka itu hendaklah
didakwa di bawah kasus kesalahan korupsi yang wajib dikenakan hukuman
takzir.
2) Orang yang mengambil harta atau barang orang lain dengan cara paksaan
dan kekerasan.
3) Orang yang menyambar barang orang lain sambil lalu, yaitu semasa berjalan
atau atas kendaraan, termasuk juga pencopet.
4) Pencurian berlaku di medan peperangan.
5) Mengambil buah yang tergantung di atas dahannya karena sangat lapar dan
dahaga.

F. Hukuman Karena Kesalahan Mencuri


Siapa yang melakukan kesalahan mencuri wajib dikenakan
hukuman hudud sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum syara’.
1)  Mencuri kali pertama hendaklah dipotong tangan kanannya.
2)  Mencuri kali yang kedua hendaklah dipotong kaki kirinya dan,
3)  Mencuri kali ketiga dan berikutnya hendaklah dikenakan
hukuman takzir dan dan dipenjarakan sehingga ia terbunuh.

3. Pencurian dengan kekerasan/ perampokan


A. Pengertian perampokan
Pencurian merupakan jarimah, kata “jarimah” identik dengan pengertian
yang disebut dalam hukum positif sebagai "tindak pidana" atau pelanggaran.
Dimaksud dengan kata-kata jarimah ialah larangan-larangan syara' yang
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir. Larangan-larangan
tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.11

11
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 1
15

Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi,
secara garis besar dapat dibagi dengan meninjaunya dari beberapa segi.
Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga
bagian antara lain: jarimah qisâs/diyat, jarimah hudud, dan jarimah ta'zir.
1. Jarimah qisâs dan diyat
Jarimah qisâs dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
qisâs atau diyat. Baik qisâs maupun diyat keduanya adalah hukuman yang
sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman had adalah
bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qisâs dan diyat
adalah hak manusia (individu).12
Dimaksud dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh
Mahmud Syaltut adalah yang ada hubungannya dengan kepentingan pribadi
seseorang dan dinamakan begitu karena kepentingannya khusus untuk
mereka.13
Dalam hubungannya dengan hukuman qisâs dan diyat maka pengertian
hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau
dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Dengan demikian maka ciri khas
dari jarimah qisâs dan diyat itu adalah a. Hukumannya sudah tertentu dan
terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal
atau maksimal; b. hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu),
dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan
terhadap pelaku. Jarimah qisâs dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu
pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima
macam, yaitu
1) pembunuhan sengaja
2) pembunuhan menyerupai sengaja
3) pembunuhan karena kesalahan
4) penganiayaan sengaja

12
Ibid., hlm. 7
13
Syeikh Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari'ah Islam, jilid 2, Alihbahasa, Fachruddin HS, Jakarta:
Bina Aksara, 1985, hlm. 34
16

5) penganiayaan tidak sengaja.14

2. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had,
Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara' dan
menjadi hak Allah (hak masyarakat).15 Dengan demikian ciri khas jarimah
hudud itu sebagai berikut.
a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah
ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak
manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih menonjol.
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut.
1. Jarimah zina. Bentuk hukuman ada tiga yaitu hukuman cambuk/dera/jilid,
pengasingan dan rajam.
2. Jarimah qazaf (menuduh zina). Bentuk hukuman yaitu dikenakan dua
hukuman, hukuman pokok berupa dera/jilid 80 kali dan hukuman
tambahan berupa tidak diterimanya kesaksian yang bersangkutan selama
seumur hidup
3. Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras). Bentuk hukumannya
yaitu di dera dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali
4. Jarimah pencurian (sariqah). Bentuk hukuman yaitu dipotong kedua
tangannya.
5. Jarimah hirâbah (perampokan). Bentuk hukuman yaitu ada bentuk
hukuman: hukuman mati dan disalib, hukuman mati, hukuman potong
tangan dan kaki bersilang, hukuman pengasingan.
6. Jarimah riddah (keluar dari Islam). Bentuk hukumannya adalah hukuman
mati.

14
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 29
15
Ibid., hlm. 164
17

7. Jarimah Al Bagyu (pemberontakan). Bentuk hukumannnya adalah hukum


bunuh.16
3. Jarimah Ta'zir
Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir.
Pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran.
Ta'zir juga diartikan ar rad wa al man'u, artinya menolak dan mencegah.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta'zir itu adalah hukuman
yang belum ditetapkan oleh syara', melainkan diserahkan kepada ulil amri,
baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman
tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya
pembuat undangundang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing
jarimah ta'zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari
yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.

16
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung, 2004, hlm. 12.
Rahmat Hakim, op.cit., hlm. 73-110
18

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa pencurian adalah


mengambil barang yang bukan miliknya dengan cara yang salah dan tidak
dibenarkan di dalam Islam. Di dalam Al quran telah ditegaskan hukuman bagi
pencuri ialah potong tangan, sedangkan penggelapan dikenakan
hukuman ta’zir dan hal ini tentu menjadi wewenang hakim dalam penjatuhan
hukuman tersebut. Pada pencurian dikenal ukuran-ukuran tertentu yang
mengakibatkan jatuhnya hukuman had. Adapun pada kasus penggelapan tidak
dikenal ukuran-ukuran tertentu sejauh mana penggelapan tersebut harus
dikenakan hukuman. Sesorang yang mencuri baru dapat dikenakan hukuman
apabila telah memenuhi beberapa syarat penerapan hukuman.
Dalam hukum positif tidak diberlakukan hukum potong tangan karena
Negara kita masih mengadopsi hukum belanda serta hukum kita ini dibuat oleh
manusia yang mana semata-mata dibuat untuk kepentingan manusia itu sendiri,
lain halnya jika kita mengikuti hukum Allah yang dibuat untuk kemaslahatan
umat manusia, namun berbeda dengan Daerah Istimewa Aceh yang telah
menegakkan hukum Islam.
Islam adalah agama yang adil dalam memberikan solusi yang tegas bagi
para pelaku pencurian maupun korupsi, ajaran Islam meletakkan hukum pidana
Islam sebagai obat terhadap masyarakat yang sedang sakit, setidaknya
mengurangi penyakit masyarakat seperti kasus-kasus korupsi di Negara ini.
19

DAFTAR PUSTAKA

Alqur’an dan Terjemahnya


Hakim, Rahmat. 2010. Hukum Pidana Islam( Fiqh Jinayah). Bandung: CV
Pustaka Setia
Muhammad Ali Asshobuni. Tafsir Ahkam
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati
Solahuddin. 2009. KUHP, KUHAP, & KUHptd. Jakarta: Visimedia
Yusuf, Imaning. 2009. Fiqh Jinayah. Palembang: Rafah Press

Anda mungkin juga menyukai