BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al quran merupakan sumber dari segala hukum. Telah kita ketahui bahwa
Al quran di samping berisi tentang masalah keimanan, nilai-nilai moral, juga
berisi tentang beberapa hal yang terkait dengan masalah hukum. Kurang lebih
sepertiga ayat Al quran membicarakan masalah hukum, baik yang terkait dengan
hubungan antara manusia dengan Allah, maupun hal-hal yang terkait dengan
hubungan antar sesama manusia.
Salah satu hukuman yang disebutkan di dalam Al quran adalah
hukuman atas pencuri sebagaimana firman Allah di dalam Al quran surat al-
Maidah 38-39. Pencurian dalam hukum islam merupakan perbuatan tindak pidana
yang berat hukumannya, jika pencurian tersebut telah memenuhi unsur-unsur
pencurian, namun berbeda dengan tindak pidana dalam hukum positif.
Dalam hukum Islam perzinaan dianggap sebagai suatu perbuatan yang
sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Pendapat ini disepakati oleh ulama,
kecuali perbedaan hukumannya. Menurut sebagian ulama tanpa memandang
pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang belum menikah atau orang yang telah
menikah, selama persetubuhan tersebut berada di luar kerangka pernikahan, hal
itu disebut sebagai zina dan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Juga
tidak mengurangi nilai kepidanaannya, walaupun hal itu dilakukan secara sukarela
atau suka sama suka. Meskipun tidak ada yang merasa dirugikan, zina dipandang
oleh Islam sebagai pelanggaran seksualitas yang sangat tercela, tanpa kenal
prioritas dan diharamkan dalam segala keadaan.1
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu zina dan hukumnya
2. Apa itu mencuri dan hukumnya
1
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Fiqh Jinayah) Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka
Setia, 2000, hlm. 69
1
2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu zina dan hukumnya
2. Untuk mengetahui apa itu mencuri dan hukumnya
3. Untuk mengetahui apa itu merampok dan hukumnya
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Zina
A. Pengertian Zina
Perbuatan zina termasuk ruang lingkup macam-macam fiqh jina, Zina
adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya
ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya
unsur syubhat.2 Delik perzinaan ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah.
Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan) didasarkan
pada ayat al-Qur’an, yakni didera seratus kali. Sementara bagi pezina muhsan
dikenakan sanksi rajam. Rajam dari segi bahasa berarti melempari batu. Rajam
adalah melempari pezina muhsan sampai menemui ajalnya.3
Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan
sanksi yang amat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Kenapa zina diancam
dengan hukuman berat. Hal ini disebabkan karena perbuatan zina sangat dicela
oleh Islam dan pelakunya dihukum dengan hukuman rajam (dilempari batu
sampai meninggal dengan disaksikan orang banyak), jika ia muhsan. Jika ia
ghairu muhsan, maka dihukum cambuk 100 kali. Adanya perbedaan hukuman
tersebut karena muhsan seharusnya bisa lebih menjaga diri untuk melakukan
perbuatan tercela itu, apalagi kalau masih dalam ikatan perkawinan yang
berarti menyakiti dan mencemarkan nama baik keluarganya, sementara ghairu
muhsan belum pernah menikah.4
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, zina adalah perbuatan asusila
yang dilakukan seorang pria dan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah.
Sedangkan menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi
dua unsur yaitu:5
2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT Al-Maarif, 1996), 86-87
3
Ibid., 86-87
4
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), 340
5
Ibid., 341
3
4
6
Ibid.,342
7
Sayid Sabiq, Fiqh al-sunnah, vol. II, (Libanon, Darul Fikar, 1981), 369
5
surat Al-Nur ayat 2 yang Artinya: “Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah
dicambuk seratus kali dan janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya
sehingga mencegah kamu dalam menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan
sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.32 Dari definisi tersebut dapat kita kemukakan bahwa hukuman
merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang
mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya.
C. Macam-macam zina
Macam-macam zina dan al-quran dan hadis telah banyak dipaparkan
anatara lain akan dipaparkan sebagai berikut:
1. Zina Muhsan ialah perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita yang
wajib menjaga kehormatannya. Artinya, orang yang sudah berkeluarga atau
menikah.
2. Zina Ghoiru Muhsan maksudnya adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh
pria/wanita yang belum menikah.
Ada sebagian ulama mendefisikan macam-macam pelaku zina ada dua
macam sebagai berikut:8
1. Zina mukhshon yaitu zina yang dilakukan orang yang pernah terikat tali
ikatan perkawinan, artinya yang dilakukan baik suami, isteri duda atau
janda. Hukuman had bagi pelaku zina mukhshon, yaitu dirajam atau
dilempari batu sampai ia mati.
2. Zina ghairu mukhson yaitu zina yang dilakukan orang yang belum pernah
menikah. (hukuman) bagi pelaku zina ghairu Mukhson di jilid atau di
cambuk sebanyak 100 kali dan dibuang ke daerah lain selama 1 tahun. Yang
memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala
negara Khilafah Islamiyyah) atau orang-orang yang ditugasi olehnya seperti
qad}hi atau hakim. Qad}hi (hakim) memutuskan perkara pelanggaran
8
Imam Al-Hafizh Abu Isa Muhammad, Terjemah Sunan At Tirmidzi Jilid II, (Semarang: CV Asy
Syifa’, 1992), 800-803
6
2. Pencuri
A. pengertian mencuri
Perkataan ارقةIIارق والسIIالس pada ayat ke-38 Qs. Almaidah di atas diambil
dari kata رقIIIIIIII يس-رقIIIIIIIIس رقاIIIIIIIIس- yang berarti mencuri. Sedangkan
perkataan واIIقطع berasal dari kata قطعا-عII يقط-عIIقطyang berarti memotong atau
memutuskan. Di dalam kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an disebutkan
9
Zuhdi, Masjfuq, Masail Fiqhiyah, (.Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997), 35-36
10
Ibid.,35-36.
7
إنما أهلك من كان قبلكم انه إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف قطعوه
“ kehancuran umat terdahulu adalah disebabkan apabila yang mencuri
adalah orang-orang terhormat, mereka biarkan saja, sedangkan apabila yang
mencuri rakyat biasa, mereka potong tangannya.” (HR. Albukhari)
Didahulukannya kata pencuri lelaki dalam ayat ini, atas pencuri
perempuan, dan didahulukannya pezina perempuan atas pezina lelaki (QS. An-
Nur (24): 2), mengisyaratkan bahwa lelaki lebih berani mencuri dari pada
perempuan, sedang perzinahan bila terjadi disebabkan karena keberanian
perempuan melanggar tuntunan ilahi agar tidak menampakkan hiasan mereka,
yang dapat merangsang terjadinya pelanggaran. Para ulama menetapkan
makna pencurian yang dimaksuud oleh ayat ini di samping menetapkan sekian
syarat untuk jatuhnya sanksi hukum di atas.
Mencuri berbeda dengan korupsi, merampok, mencopet dan
merampas. Mencuri adalah mengambil secara sembunyi-sembunyi barang
berharga milik orang lain yang disimpan oleh pemiliknya pada tempat yang
wajar, dan si pencuri tidak diizinkan untuk memasuki tempat itu.
Dengan demikian, siapa yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya
tetapi diamanatkan kepadanya, maka ia tidak termasuk dalam pengertian
mencuri oleh ayat ini, seperti jika bendaharawan menggelapkan uang. Tidak
juga jika mengambil harta, di mana ada walau sedikit dari harta itu yang
menjadi miliknya, seperti dua orang atau lebih bersyarikat dalam sebuah usaha,
atau mengambil dari uang negara. Tidak juga disebut pencuri orang yang
mengambil sesuatu dari satu tempat yang semestinya barang itu tidak terkunci,
bila dimasuki oleh seseorang lalu mengambil sesuatu yang berharga, maka
yang mengambilnya terbebaskan dari hukum potong tangan ketika itu pemilik
toko atau rumah tidak meletakkan barang-barangnya di tempat wajar, sehingga
merangsang yang lemah keberagamaanya untuk mencuri.
Demikian, agama di samping melarang mencuri, juga melarang pemilik
harta membuka peluang bagi pencuri untuk melakukan kejahatan. Alhasil
hukuman ini tidak serta merta dijatuhkan, apalagi Rasul SAW.
9
C.Hukuman pencuri
Sesorang yang mencuri baru dapat dikenakan hukuman apabila
memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Pelaku tindak pidana haruslah seorang yang baligh dan berakal, karena
Rasulullah SAW. menyatakan:
رفع القلم عن ثالث عن الصبي حتى يبلغ وعن المجنون حتى يعقل وعن النائم حتى يحتلم
“ pembebanan hukum diangkat dalam tiga hal, yaitu anak kecil sampai ia
mimpi, orang gila sampai ia sebuh, dan orang yang tidur sampai ia
bangun.”(HR. Albukhari).
2. Harta yang dicuri disyaratkan.
3. Pemilik barang yang dicuri, haruslah benar-benar pemilik barang itu, atau
barang itu merupakan amanah ditangannya.
4. Tempat pencurian haruslah diwilayah yang didalamnya berlaku hukum
Islam.
benar terjadi. Alat bukti dalam tindak pidana pencurian adalah saksi dan
pengakuan. Untuk saksi disyaratkan:
1. Dua orang pria
2. Orang yang adil
3. Saksi yang menyaksikan pencurian secara langsung
4. Kesaksian yang diberikan tidak kadaluarsa.
5. Gugatan diajukan oleh orang yang berhak menggugat
Adapun kesaksian wanita dalam kasus pencurian, sekalipun jumlahnya
empat orang (ganti dua orang pria) atau lebih, atau satu laki-laki dan dua orang
wanita, menurut jumhur ulama tidak diterima kesaksian mereka adalah:
من رجالكمIواستشهدوا شهيدين......
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki.”(al Baqarah:282)
Imam Abu Hanifah dalam penafsirannya lebih liberal dalam memberikan
hukuman had pada kasus pencurian sebagaimana dapat dilihat dari
perbandingan pendapat beberapa mazhab hukum islam berikut ini.
Kalau seorang ayah mengmbil harta anaknya maka hukuman had potong
tangan tak dapat dikenakan, menurut Imam Abu Hanifah. Imam Malik berkata
bahwa hukuman itu tetap dapat dikenakan kepada si ayah dalam kasus seperti
itu. Bila suatu barang dicuri secara bersama-sama oleh beberapa orang
sekalipun nilainya mencapai nisab, maka tak seorang pun yang akan dihukum
potong tangan, begitu juga jika salah satu pasangan suami istri mengambil
milik yang lainnya, menurut Imam Abu Hanifah tak aka nada
hukuman had, tetapi imam Malik berkata bahwa hukuman itu harus dikenakan.
Andaikan saudara atau paman sesoarang mencuri hartanya, imam Syafi’i,
imam Ahmad bin Hanbal dan imam Malik berkata bahwa hukuman had harus
dikenakan kepada si pelaku, tetapi imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tak
ada hukuman hadterhadap saudara dekat seperti itu.
1) Pencurian yang dilakukan secara khianat, yaitu orang yang mengambil harta
atau barang yang diamanahkan kepadanya. Mereka yang melakukan
kesalahan tersebut tidak boleh didakwa dibawah kasus sariqah (mencuri)
dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, tetapi mereka itu hendaklah
didakwa di bawah kasus kesalahan korupsi yang wajib dikenakan hukuman
takzir.
2) Orang yang mengambil harta atau barang orang lain dengan cara paksaan
dan kekerasan.
3) Orang yang menyambar barang orang lain sambil lalu, yaitu semasa berjalan
atau atas kendaraan, termasuk juga pencopet.
4) Pencurian berlaku di medan peperangan.
5) Mengambil buah yang tergantung di atas dahannya karena sangat lapar dan
dahaga.
11
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 1
15
Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi,
secara garis besar dapat dibagi dengan meninjaunya dari beberapa segi.
Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga
bagian antara lain: jarimah qisâs/diyat, jarimah hudud, dan jarimah ta'zir.
1. Jarimah qisâs dan diyat
Jarimah qisâs dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
qisâs atau diyat. Baik qisâs maupun diyat keduanya adalah hukuman yang
sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman had adalah
bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qisâs dan diyat
adalah hak manusia (individu).12
Dimaksud dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh
Mahmud Syaltut adalah yang ada hubungannya dengan kepentingan pribadi
seseorang dan dinamakan begitu karena kepentingannya khusus untuk
mereka.13
Dalam hubungannya dengan hukuman qisâs dan diyat maka pengertian
hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau
dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Dengan demikian maka ciri khas
dari jarimah qisâs dan diyat itu adalah a. Hukumannya sudah tertentu dan
terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal
atau maksimal; b. hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu),
dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan
terhadap pelaku. Jarimah qisâs dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu
pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima
macam, yaitu
1) pembunuhan sengaja
2) pembunuhan menyerupai sengaja
3) pembunuhan karena kesalahan
4) penganiayaan sengaja
12
Ibid., hlm. 7
13
Syeikh Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari'ah Islam, jilid 2, Alihbahasa, Fachruddin HS, Jakarta:
Bina Aksara, 1985, hlm. 34
16
2. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had,
Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara' dan
menjadi hak Allah (hak masyarakat).15 Dengan demikian ciri khas jarimah
hudud itu sebagai berikut.
a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah
ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak
manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih menonjol.
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut.
1. Jarimah zina. Bentuk hukuman ada tiga yaitu hukuman cambuk/dera/jilid,
pengasingan dan rajam.
2. Jarimah qazaf (menuduh zina). Bentuk hukuman yaitu dikenakan dua
hukuman, hukuman pokok berupa dera/jilid 80 kali dan hukuman
tambahan berupa tidak diterimanya kesaksian yang bersangkutan selama
seumur hidup
3. Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras). Bentuk hukumannya
yaitu di dera dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali
4. Jarimah pencurian (sariqah). Bentuk hukuman yaitu dipotong kedua
tangannya.
5. Jarimah hirâbah (perampokan). Bentuk hukuman yaitu ada bentuk
hukuman: hukuman mati dan disalib, hukuman mati, hukuman potong
tangan dan kaki bersilang, hukuman pengasingan.
6. Jarimah riddah (keluar dari Islam). Bentuk hukumannya adalah hukuman
mati.
14
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 29
15
Ibid., hlm. 164
17
16
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung, 2004, hlm. 12.
Rahmat Hakim, op.cit., hlm. 73-110
18
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA