Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam pada hakikatnya adalah peraturan Allah untuk menata

kehidupan manusia. Peraaturan itu dapat terealisir dalam kehidupan nyata bila

ada kesadaran dari umat islam untuk mengamalkannya, yakni menjalankan

segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah sebagaimana yang

teermaktub dalam Al-quran dan Al-hadits.1 Namun kenyataannya manusia tidak

bisa lepas dari kejahatan.

Kejahatan (jarimah) menurut Abdul Kadir Audah adalah: Jarimah

menurut syariat islam ialah larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah

dengan hukuman had atau ta’zir”2

Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan larangan-larangan

syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah. Pakar fikih telah

mendefinisikan jarimah yaitu perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila

dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman had atau ta’zir3

Dengan demikian suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang

oleh syariat. Dengan kata lain melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan

yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.

1
Chuzaimah T. Yanggo, Problema Hukum Islam Kontemporer II, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996, hal. 76
2
Abdul Qadir Audah, al-Tasyiri al-Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’I Jilid I,
Misr: al-Qahiran, 2005, hal. 57
3
Abu Zahra, al-Jarimah, Beirut: Dar al-Fikr al- Arabi, tt, hal.2
2

Masalah kejahatan adalah masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan

sosial dan produk dari masyarakat yang selalu mengalami perkembangan, bahkan

dapat dikatakan bahwa usia kejahatan seumur dengan usia manusia karena

dimana terdapat masyarakat maka disitu terdapat kejahatan.4

Allah sebagai Al-Haliq yang telah menciptakan manusia adalah maha

mengetahui mengenai tabiat atau watak manusia sebagai makhluk ciptaannya.

Demikian pula hal hasrat seksual antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu

Allah menentukan ketentuan-ketentuan hukum yang berkitan dengan jarimah

hudud, qishos-diyat dan ta’zir, sehingga manusi bisa memelihara diri dari dari

perbuatan keji dan mungkar tersebut. Tetapi banyak di antara manusia yang tidak

sadar, bahkan ada yang melanggar hukum.

Sebagai contoh jarimah zina yang secara jelas di sebutkan oleh Allah

dalam surat An- Nuur ayat 25

     i     

            I

Artinya : perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah
tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.

4
Koesparnomo Irsan, Kejahatan Susila dan Pelecehan dalam Perspektif Kepolisian,
Yogyakarta, Tp, 1995 hal. 85
5
Depertemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV Toha
Putra, 1989, hal.. 257
3

Dari ayat Al-quran di atas menunjukan bahwa perempuan yang berzina

dan laki laki yang berzina hukuman dari tia-tiap orang keduanya seratus kali

cambuk dan tidak boleh ada belas kasihan untuk menjalankan hukuman Allah,

untuk pelaksanaannya harus disaksikan oleh sekelompok orang orang yang

beriman.

Ketentuan Allah yang menempatkan masalah perzinahan sebagai ranah

hak Tuhan yang menentukan bentuk tindak pidana dan pembuktiannya

merupakan ketentuan yang Qoth’i maupun Dzanni. Hanya saja ketentuan

hukum tersebut sering mendapat penilaian sebagai hukum yang tidak

manusiawi, melanggar hak asasi manusia (HAM), karena menurut mereka

hukum Islam terlalu kejam dan sudah tidak relevan dengan pekembangan

zaman sekarang dan hanya belaku pada saat turunnya ayat tersebut saja,

termasuk hukuman terhadap pelaku dan pebisnis zina itu sendiri.6

Dilihat dari bentuk hukuman zina itu semata tanpa melihat aspek yang

lainyang berkaitan dengan perzinahan berdasarkan syari’at Islam maupun nilai-

nilai Islam tentu akan melihat dengan sudut pandang yang berbeda, misalnya

dampak dari perbuatan zina terhadap anak yang akan dilahirkan, tentu hanya

mempunyai nasab denga ibunya maupun susunan kemasyarakatan tanpa

menghubungkannya dengan hukum kekeluargaan sesuai syari’at Islam. Dengan

kata lain jika perbutan zina itu hanya semata-mata sebgaimana cara pandang

6
Neng Djubaedah,. Perzinahan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ditinjau
dari Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media Group, 2010, hal. 7
4

dan cara berfiir orang-orang barat, maka akan berbeda dengan cara pandang

orang Islam yang mendasarkan pemikirannya pada hukum Islam.

Selain surat An-nur ayat 2 juga di jelaskan dalam Qur’an Surat Al-

Isra:32

          

Artinya: dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Perzinahan tersebut dapat di golongkan menjadi beberapa kriteria,

antara lain: zina mukhson dan zina ghoiru mukhson, pelacuran, homoseksual,

liwadh, pelecehan seksual, pemaksaan (pemerkosaan), serta yang di lakukan

oleh keluarga dekat (Inses / sumbing).7

Selain penzinahan yang sering terjadi di masyarakat, Inses juga

dipraktekkan dalam masyarakat tertentu dengan asumsi untuk menjaga

keunggulan (garis keturunan) dan ternyata tidak ada akibat negatif, hal itu tidak

berarti bahwa secara logika Inses menjadi sah-sah saja. Namun sekali lagi, tidak

ada sesuatu yang diharamkan Islam yang tidak mengandung bahaya. Sehingga

boleh jadi secara dlohir Inses (baik karena sedarah maupun sepersusuan) bagi

penjagaan jalur murni ini tidak ada bahaya, namun bisa saja secara kejiwaan

dan moral bisa berbahaya. Apalagi jika dihadapkan pada agama.

7
Sayyid Sabiq.. Fiqh Sunnah (terj). Bandung: PT Al- Ma’arif, 1990, hal. 95
5

Agama memandang praktek Inses sebagai sesuatu yang terlarang.

Karena moral masyarakat secara kolektif baik yang dibentuk oleh agama

maupun yang dibentuk oleh akal budi menolak praktek ini sebagai bentuk

penyaluran naluri seksual manusia. Sekalipun argumen dan pendekatan agama

berbeda-beda, bisa disimpulkan mengenai pembahasan Inses semua agama

memandang haram hanya saja terdapat perbedaan para imam mazhab dalam

penerapan hukumannya.

Sebagai isu kekerasan seksual, Inses bukanlah kasus baru. Fakta tentang

terjadinya Inses seringkali tidak muncul ke permukaan karena dianggap sebagai

aib keluarga. Dari hasil telaah literatur ditemukan bermacam-macam pengertian

dari istilah Inses. Inses adalah hubungan badan atau hubungan seksual yang

terjadi antara dua orang yang mempunyai ikatan pertalian darah dimana ikatan

pertalian darah diantara mereka cukup dekat misalnya antara kakak dengan

adik, bapak dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki atau paman

dengan keponakan. Dalam hal ini hubungan seksual yang terjadi ada yang

bersifat sukarela dan ada yang bersifat paksaan. Yang bersifat paksaan itulah

yang dinamakan perkosaan. Kasus Inses yang banyak diketahui masyarakat

adalah perkosaan Inses, karena kasus inilah yang lebih banyak dilaporkan oleh

korban atau keluarganya.

Dapat dijelaskan bahwa pengertian Inses adalah ketika orang tua,

keluarga, kakak atau seseorang dalam keluarga yang memiliki kekuasaan

melakukan hubungan seksual dengan orang dari keluarga yang sama. Inses
6

yang sering terjadi adalah antara ayah dengan anak perempuannya. Menurut

Masland dan Estridge Inses adalah jenis perlakuan atau penyiksaan secara

seksual yang melibatkan dua anggota keluarga dalam satu keluarga, ayah

dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki, saudara laki-laki dengan

saudara perempuan dan kakek dengan cucu perempuan. Inses biasanya dapat

terjadi karena rumah mereka sangat sempit, akses untuk main keluar tidak ada

atau sangat terbatas. Kalau keluar misalnya untuk main atau bergaul dengan

teman-teman, harus mengeluarkan uang. Kondisi di rumah, satu kamar

beramai-ramai. Maka lamakelamaan orang yang berada di sana akan terangsang

nafsu biologisnya.

Secara eksplisit tidak ada tanda-tanda pemaksaan yang muncul. Tetapi

ketika melibatkan orang tua dan anak, perasaan takut ketahuan dan takut

dihukum merupakan bagian dari hubungan tersebut. Diakui bahwa otoritas dan

kekuatan superior orang dewasa biasanya mendorong anak menyetujui dan mau

melakukannya. Ini mungkin juga merupakan dorongan bagi sebagian anak atau

remaja untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang dewasa atau

saudara sekandung. Dengan demikian maka mucullah suatu permasalah bahwa

jika kejahatan inses tersebut termasuk kepada kejahatan pemerkosaan lalu

bagaimana jika pelaku adik beradik yang tidak ada unsur pemaksaan. Atau jika

kejahatan inses tersebut termasuk kepada perbuatan zina lalu bagaimana jika

inses tersebut dilakukan karena salah satunya ada karena keterpaksaan. Untuk

mengetahui hukuman atas kejahatan inses tersebut tentulah terlebih dahulu akan
7

ditentukan kejahatan tersebut termasuk kepada jarimah zina atau tidak termasuk

jarimah zina. Jika kejahatan inses tergolong pada jarimah zina maka hukuman

atas itu sudah jelas hukumannya sebagaimana yang terdapat pada surah An-Nur

ayat 2. Dalam hal ini Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal,

Ulama Zahiriyah, Ulama Zaidiyah dan pendapat Abu Yusuf serta Muhammad

(murid Imam Abu Hanifah) sepakat bahwa menyetubuhi mahram adalah

perbuatan zina dan wajib atasnya hukuman hudud, jika seseorang menikahi

mahramnya pernikahan tersebut dianggap batal dan jika ia tetap

menyetubuhinya maka ia wajib dijatuhi hukuman hudud8 sebagaimana yang

terdapat pada surah An-Nur ayat 2.

Akan tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang

menikahi perempuan yang tidak halal untuk dinikahi seperti ibunya, putrinya,

atau bibinya dan menyetubuhinya, ia tidak wajib untuk dijatuhi hukuman hudud

meskipun ia mengakui bahwa dirinya mengetahui keharaman hal tersebut.9

Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis

tertarik untuk membahas pandangan Imam Abu Hanifah terhadap hukuman

inses tersebut, dan adapun alasan penulis meneliti pandangan Imam Abu

Hanifah adalah karena Imam Abu Hanifah berbeda pendapat atau kontra

dengan pendapat Imam-Imam lainnya seperti Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam

ahmad bin Hanbal, Ulama Zaidiyah, Ulama Zahiriyah, dan Abu Yusuf (murid

8
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid IV, Bogor: PT. Kharisma Ilmu,
tt, hal. 163-164
9
Ibid.
8

Imam Abu Hanifah), oleh karena itu maka judul penelitian ini adalah: Analisis

Hubungan Seksual Sesama Muhrim (Inces) Menurut Imam Abu Hanifah

Perspektif Hukum Pidana Islam.

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah dalam penulisan ini penulis merumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan Imam Abu Hanifah terhadap hubungan seksual

sesama muhrim (Inses)?

2. Bagaimanakah hukuman kejahatan hubungan seksual sesama muhrim (Inses)

menurut hukum pidana Islam?

C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui pandangan Imam Abu Hanifah terhadap hubungan seksual

sesama muhrim (Inses).

2. Untuk mengetahui hukuman kejahatan hubungan seksual sesama muhrim

(Inses) menurut hukum pidana Islam.

D. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research),

yakni membahas tentang pandangan Imam Abu Hanifah terhadap kejahatan

hubungan seksual sesama muhrim (Inses) baik yang di dalamnya ada unsur

keterpaksaan maupun yang di dalamnya ada unsur suka sama suka dan

hukuman kejahatan hubungan seksual sesama muhrim (Inses) baik yang di


9

dalamnya ada unsur keterpaksaan maupun yang di dalamnya ada unsur suka

sama suka menurut hukum pidana Islam.

2. Sifat penelitian

Adapun sifat penelitian ini adalah deskriftif analitis yakni

menggambarkan analisa penulis tentang kejahatan hubungan seksual sesama

muhrim (inses) menurut Imam Abu Hanifah perspektif Hukum Pidana Islam.

3. Data dan sumber data

Dalam penelitian ini yang merupakan jenis penelitian pustaka, maka data

dan sumber data yang digunakan adalah terbagi kepada tiga bagian sebagai

berikut:

a. Sumber data primer adalah sumber data utama yakni kitab al-Tasyiri al-

Jinai al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’I dan Terjemahannya.

b. Sumber data skunder ialah buku-buku yang memuat teori-toeri tentang

hukum pidana islam, seperti Jaih Mubarok (Kaidah Fiqh jinayah), Ahmad

Wardi Muslich (Hukum Pidana Islam), dan juga buku-yang memuat

tentang biografi Imam Abu Hanifah seperti Munawar Khalil, (Biografi

Empat Serangkai Mazhab), Syaikh M. Hasan Al-Jamal, ( Biografi 10

Imam Besar), Munawar Khalil, (Biografi Empat Serangkai Mazhab),

Ahmad asy-Syurbasy (al-Aimmah al-Arba’ah) dan lain sebagainya.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang sifatnya pendukung dalam

menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini,

seperti kamus, ensiklopedi, jurnal, dan lain sebagainya


10

4. Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data dalam peneitian ini adalah

mengumpulkan berbagai referensi yang berhubungan dengan penelitian ini

baik yang diperoleh dari pustaka kampus maupun pustaka wilayah ataupun

dari toko-toko buku.

5. Analisis data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif analisis yang digunakan

adalah deduktif yaitu menganalisis literatur-literatur yang bersifat umum

kemudian diolah untuk mendapatkan kesimpulan yang khusus

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Biografi Imam Abu Hanifah meliputi : Nasab Imam Abu Hanifah,

Pendidikan Imam Abu Hanifah, Guru Imam Abu Hanifah, Murid-

murid Imam Abu Hanifah, Imam Abu Hanifah menjadi ulama,

Pemikiran Imam Abu Hanifah, Metode Istimbath hukum Imam Abu

Hanifah, Karya-karya Imam Abu Hanifah, Imam Abu Hanifah

menurut penilaian para ulama, dan ketokohan Imam Abu Hanifah.

BAB III : Tinjauan Kepustakaan meliputi: pengertian inces, faktor-faktor

penyebab inces, macam-macam inces, dan bentuk-bentuk inces.

BAB IV : Hasil Penelitian meliputi: pandangan Imam Abu Hanifah terhadap

kejahatan hubungan seksual sesama muhrim (Inses) baik yang di


11

dalamnya ada unsur keterpaksaan maupun yang di dalamnya ada unsur

suka sama suka dan hukuman kejahatan hubungan seksual sesama

muhrim (Inses) baik yang di dalamnya ada unsur keterpaksaan maupun

yang di dalamnya ada unsur suka sama suka menurut hukum pidana

Islam

BAB V : Penutup meliputi: kesimpulan dan saran

Anda mungkin juga menyukai