Anda di halaman 1dari 10

1

TUGAS MAKALAH
HUKUM PERKOSAAN

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI

TUGAS MATA KULIAH

FIQIH KONTEMPORER

Disusun oleh :

M. Anwar Sadat
Nim : 0331204057

KHOIRUL BARIYAH

Dosen Pembimbing
Dr. Ali Imran Sinaga, M.Pd

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCA SARJANA (S2) NON REGULER

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SUMATERA UTARA

T.A. 2020/2021

DAFTAR ISI
2

BAB I :

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................................3
B. Rumusan Masalah.....................................................................................3

BAB II :

PEMBAHASAN

A. Makna Perkosaan........................................................................................4
B. Konsep Zina dan Perkosaan.......................................................................5
C. Pembuktian Tindak Perkosaan...................................................................5
D. Hukuman Terhadap Pemerkosa.................................................................6

Daftar pustaka......................................................................................................9

BAB I

PENDAHULUAN

Tindakan yang biadab dan tidak berprikemanusiaan terhadap kodrat


wanita dimana wanita dipaksa untuk melayani nafsu bejat pria sebagai
pemerkosanya. Katakanlah perkosaan namanya, telah banyak terjadi dimana-
mana baik di indonesia sebagai negara berkembang baik juga amerika sebagai
negara maju. Di Amerika pemerkosaan semangkin meningkat bahkan 3 orang
perempuan pernah mengalami serangan seksual dalam hidup mereka. Wanita
3

sebagai kodrat yang memiliki kecantikan sudah sepantasnya menjaga aurat


keindahannya. Islam mengatur hal tersebut namun banyak yang melanggar
bagaimana berpakaian yang baik didalam islam bagi wanita.

Maka salah satu sebab terpancingnya birahi kaum lelaki adalah hal
tersebut. Sehingga banyak terjadi pemerkosaan diberbagai negara bukan hanya
marak di negara berkembang bahkan lebih banyak pada negara maju. Menurut
hasil survei The Boston Women’s Health pada tahun 1987 satu dari empat
perempuan yang menjadi responden adalah korban pemerkosaan atau kekerasan
seksual1. Namun anehnya diberbagai negarra tidak tersedia survei laporan
mengenai pemerkosaan dari korban, sedang jika dilihat dari kondisi suatu
negara, masyarakat luas, maupun media merespon terhadap kasus kekerasan
terhadap perempuan, khususnya perkosaan, sangatlah tidak adil dan memadai
sebab perkosaan masih dikatakan kejahatan kriminal biasa.

Di indonesia sudah lama mencuat kasus-kasus perkosaan bahkan sampai


sekarang banyak saja kasus-kasus tersebut terjadi, pernah sekali muncul pada
majalah tempo memuat berita “hati-hati bila anda mempunyai anak gadis
sebab di sekitar kita banyak calon-calon pemerkosa yang sulit dideteksi” 2.
Terjadinya pemerkosaan akan berakibat buruk bagi wanita yang diperkosa.
Bukan hanya tromatik kejiwaannya terganggu dan menjadi beban tetapi juga
masa depan, sosial, budaya, ekonomui dan keluarga. Untuk itu Islam hadir
memberikan solusi seputar permasalahan perkosaan ini dan bagaimana tindakan
hukum islam untuk menghukum pelaku pemerkosa agar ada efek jera baginya.

1
The Boston Women’s Health Book Collective(New York: Simon and Schuster Inc, 1992), h.31
2
Majalah Tempo, 28 Agustus 1993.
4

Bab II

Pembahasan

A. Makna Perkosaan

Perkosaan menurut pakar adalah pemaksaan hubungan seks


terhadap wanita tanpa persetujuan dan kehendak yang disadari wanita itu.
Permerkosaan terjadi karena adanya paksaan dari seorang pria yang
memaksa kepada wanita untuk berhubungan seksual, pemaksaan dalam
hal ini yang disebut dengan tindak pemerkosaan kepada kodrat wanita.
Pemaksaan bisa saja terjadi dengan berbagai macam cara melalui
ancaman pisik, kalau tidak mau akan dibunuh atau disakiti. Atau dibawah
tekanan mental akibat pengaruh obat-obatan tertentu.
Menurut Loebby luqman Perkosaan adalah persetubuhan di luar
nikah dengan tindak kekerasan atau ancaman kekerasan. Dapat dikatakan
bahwa perkosaan adalah perbuata persetubuhan yang terjadi karena
paksaan psikis yang memang tidak dikehendaki oleh wanita tersebut.
5

Maka dari itu tindakan pemerkosaan adalah tindakan yang melampaui


batas nilai-nilai, yaitu tindakan yang bersifat amoral, biadab, nista dan
bejat sebab pada dasarnya tindakan itu merupakan pelampiasan nafsu
sesaat diluar pernikahan yang sah yang dilakukan dengan hal yang tidak
wajar dan memaksa. Artinya pemerkosaan menurut moral dan hukum
yang berlaku perkosaan adalah perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah
normatif dan juridis.
Dalam kaidah fiqih maka perkosaan termasuk kedalam kategori
‘az-zina bi al-ikrah. Dengan kata lain kontak seksual antara pria dan
wanita yang bukan suami istri yang sah, yang dilakukan dengan paksaan
dan ancaman. Atas dasar ini islam tidak mengenal suami memperkosa
istrinya(marital rape)

B. Konsep Zina dan Perkosaan.

Hukum dasar perzinaan di dalam Al-Qur’an adalah haram, sesuai


dengan Qur’an Suroh An-Nur ayat 3 yang artinya:

“Pezina laki-laki tidak menikah kecuali dengan pezina perempuan atau


seorang wanita musyrik. Dan pezina perempuan tidak menikah kecuali
dengan pezina laki-laki atau seorang laki-laki musyrik dan diharamkan
demikian bagi orang orang mukmin(QS. An-Nur:3)

Dampak pemerkosaan begitu keji dan nista hal ini sesuai alquran suroh al-
isra’ ayat 32 yang berbunyi:

Artinya: dan janganlah kamu dekati zina sesungguhnya perbuatan itu


adalah keji dan suatu jalan yang paling jelek(QS. Al-Isra 32)

Pada tingkat selanjutnya dosa zina setingkat dengan dosa syirik dan
tindakan pembunuhan yang jika tidak bertaubat maka pelakunya kekal
dalam neraka sebagaimana tercantum dalam Al-Furqon 68-69

Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang
melakukan demikian itu, niscaya mendapat (pembalasan dosanya). Yakni
6

akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia kekal dalam
azab itu, dalam keadaan terhina(QS. Furqon 68-69)

C. Pembuktian Tindak Pemerkosaan.

Didalam islam dikenal beberapa macam alat bukti diantaranya:

1. Pengakuan pelaku sendiri(Al-Iqrar)

Secara historis sebenarnya alat bukti sesuai dengan praktek


dilakukan Rasulullah. Ketika menjatuhkan hukuman rajam kepada
Maiz bin malik al-aslam dan seorang wanita yang bernama
Gamidiyah. Keduanya telah berterus terang mengakui berzina
dihadapan Rasulullah saw. keduanya akhirnya dirajam yaitu hukuman
mati.

2. Keterangan saksi

Berkenaan dengan alat bukti ini yang akan menjadi saksi minimal
memenuhi 6 kriteria, yaitu :
1. 4 orang laki-laki
2. Baligh dan berakal
3. Adil
4. Menyaksikan langsung peristiwa tersebut dengan jelas
5. Mengemukakan kesaksian dengan bahasa yang jelas
6. Muslim

3. Indikator atau tanda-tanda tertentu (Al-Qarinah)

Alqarinah yang dapat digunakan untuk membuktikan atau tidaknya


kasus perzinaan dan pemerkosaan yaitu antara lain adanya perobekan
selapur dara wanita tersebut, adanya seperma diliang vagina korban
jika dalam persetubuhan tersebut disertai adanya ejakulasi dan
terlihatnya tanda tanda kehamilan pada wanita belum nikah.

4. Sumpah lian
7

Alat bukti berbentuk sumpah ini hanya dapat diterapkan untuk


membuktikan, jika istri dituduhkan oleh suami terhadap istrinya dan
atau sebaliknya. Dalam hukum islam seseorang yang menuduh
istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan 4 orang saksi haruslah
ia bersumpah dengan nama Allah sebanyak 4 kali. Bahwa adalah
benar dalam tuduhannya. Kemudian, ia bersumpah sekali lagi bahwa
dia akan kena laknat Allah swt jika berdusta(annur ayat 10).

D. Hukuman Terhadap Pemerkosa.

Orang yang melakukan pemerkosaan berarti melakukan tindak


pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual. Ulama mengategorikan
pemerkosaan sebagai tindakan zina. Hukumannya adalah had yang sudah 
ditetapkan dalam kasus perbuatan zina. Jika pelaku belum menikah,
hukumannya cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Jika 
pelakunya sudah menikah maka hukuman rajam bisa dilaksanakan. Dalam
kasus pemerkosaan ada pengecualian bagi korban.

Korban pemerkosaan tidak dikenakan hukuman zina. Jika tindakan zina,


maka dua pelakunya sama-sama  mendapatkan hukuman had. Namun dalam
pemerkosaan, sang korban terbebas dari hukuman. Dalilnya  adalah Alquran
surah al-An'am ayat 145. "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang
dia tidak  menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Imam Malik dalam Al-Muwatha' berpendapat, orang yang memperkosa


wanita selain dijatuhi hukuman had zina juga mendapat sanksi tambahan. Sang
pelaku diharuskan membayar mahar kepada wanita. Sementara Imam Abu
Hanifah berpendapat, pemerkosa hanya mendapatkan had zina saja tanpa
kewajiban membayar mahar. Jika tindakan pemerkosaan dibarengi dengan
tindakan penyiksaan atau perampasan harta maka hukumannya bisa ditambah.
Beberapa ulama berpendapat, tambahan hukuman bagi pemerkosa yang
menyiksa atau merampas harta sesuai dengan Alquran surah al-Maidah ayat 33.

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang


yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan
yang besar."
8

Pendapat yang sama juga pernah dilontarkan KH Ali Mustafa Yakub.


Kiai Ali berpendapat bahwa pemerkosaan terdapat unsur paksaan. Sehingga
hukuman yang dijatuhkan bukan hanya had zina namun juga takzir karena 
paksaannya. Takzir ditetapkan oleh hakim dan bisa saja lebih berat dari
hukuman had seperti hukuman  mati. Kiai Ali menerangkan dalam ushul fiqh
ada bab ikrah (pemaksaan). Yang dibahas pada bab ini, justru  tentang hukum
bagi si korban yang dipaksa. Bahwa pembebasan hukuman berlaku karena
ikrah. Sementara hukuman bagi pelaku bisa berupa takzir. Takzir ini boleh lebih
berat dari had, hal ini berdasarkan pendapat Syekh Abdul Qadir Audah.

Soal hukum kebiri ada perbedaan pendapat di kalanga ulama. Ulama


golongan klasik banyak yang melarang paraktik kebiri. Pendapat ini dikeluarkan
oleh Imam Ibnu Abdil Bar dalam Al Istidzkar, Imam Ibnu  Hajar al Asqalani
dalam Fathul Bari, Imam Badruddin al 'Aini dalam 'Umdatul Qari, Imam al
Qurthubi dalam al Jami' li Ahkam Alquran dan Imam Shan'ani dalam Subulus
Salam.

Para ulama yang mengharamkan kebiri berdalil dengan hadis Ibnu


Mas'ud RA yang mengatakan, "Dahulu kami  pernah berperang bersama Nabi
SAW sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu, kami bertanya kepada  Nabi
SAW, 'Bolehkah kami melakukan pengebirian?'. Maka Nabi SAW
melarangnya." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban).

Ketua MIUMI KH Hamid Fahmy Zarkasy berpendapat, pemerintah boleh-boleh


saja menjadikan kebiri sebagai salah satu pilihan hukuman bagi terpidana kasus
pedofilia. Namun, ijtihad seorang hakim dalam  menjatuhkan hukuman
sangatlah menentukan. Tidak seluruh kasus yang akan mendapat hukuman
kebiri. Hakim bisa berijtihad dengan kaidah fikih, ad dharuratu tubihu al-
mahdhurat (keadaan terdesak dapat  membolehkan hukuman yang sebenarnya
terlarang).

Kondisi darurat yang dimaksudkan kaidah fikih ini benar-benar sesuai


dengan definisinya, yakni sudah  pada tahap mengancam jiwa. Misalnya, pelaku
perkosaan tersebut melakukan tindakan pembunuhan atau  penyiksaan secara
sadis kepada korbannya. Atau, bila hasratnya tidak terpenuhi, dia bisa
menghilangkan  nyawa korban.
9

Daftar Pustaka

The Boston Women’s Health Book Collective(New York: Simon and Schuster Inc, 1992), h.31
Majalah Tempo, 28 Agustus 1993.

Brownmiller, changing Patterns of Inequality(Cambrige; Polity Press, 1996)

Abu Bakar, Al-Masyhuri, I’anah at-Talibin(Mesir; Dar al-Kutub li at-Tauzi’ wa an-Nasyr, tth.)
10

Sinaga, Ali Imran, Fikih Kontemporer(Medan; Pusdikra Mitra Jaya 2020)

Rusydi, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (indonesia; Ihya Al-Kutub


Al-‘Arabiyah)

Anda mungkin juga menyukai