Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARIAH
2019
DAFTAR ISI
Pendahuluan
a. Latar belakang................................................................................................ 2
b. Rumusan Masalah....................................................................................... 2
c. Tujuan ........................................................................................................ 3
Pembahasan
Penutup
a. Kesimpulan ................................................................................................ 15
b. Saran .......................................................................................................... 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Djazuli,Ahmad.Fiqih Jinayah,Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam, PT.Raja Grafindo Persada.
Jakarta.1996.Hal.69
2
dan kami khususnya serta, kami akan bersenanang hati dalam menerima kritik yang
membangun guna kesempurnaan di masa mendatang.
B. Rumusan Masalah
Dari judul makalah ini, maka penulis akan sedikit memaparkan atau
membatasi masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan zina ?
2. Bagaimana dasar hukum dari zina ?
3. Apa saja macam-macam perzinaan ?
4. Bagaimana hukuman zina dalam islam ?
5. Ketetapan perzinaan dalam hukum positif ?
6. Apa saja hikmah dilarangnya zina ?
C. Tujuan
1. Agar mengetahui tentang perzinaan;
2. Agar mengetahui dasar hukum penetapan dilarangnya zina;
3. Agar mengetauhi macam-macam zina;
4. Agar mengetahui hukuman zina dalam islam dan ketentuan perzinaan dalam
hukum positif;
5. Agar mengetahui hikmah dari larangan zina.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zina
Kata zina menurut bahasa berarti menyetubuhi wanita tanpa akad nikah.
Menurut istilah fikih, zina adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang
dilakukan secara sadar tanpa adanya ikatan pernikahan (suami istri). Jumhur ulama
mengartikan zina dengan susunan kalimat yang berbeda-beda. Namun, maksudnya
sama, yaitu:
Artinya:
Memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan (dalam
persetubuhan) yang haram menurut zat perbuatannya bukan karena syubhat dan
perempuan itu mendatangkan syahwat.
Ada yang berpendapat bahwa zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi
bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena
kepemilikan (budak). Secara garis besar, pengertian ini sudah disepakati oleh para
ulama Islam, meskipun mereka masih berselisih pendapat tentang mana yang
dikatakan syubhat yang menghindarkan hukuman had dan mana yang pula yang tidak
menghindarkan hukuman tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan persetubuhan adalah memasukan alat kelamin
laiki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, walaupun alat kelamin laki-laki hanya
masuk sebagian, baik mengeluarkan air mani atau tidak.2
2
Suratno, Anang Zamroni, Mendalami Ushul Fikih, (PT. Serangkai Pustaka Mandiri), 2015, hlm. 26-27
4
Selain firman Allah SWT tersebut, Rasulullah SAW. bersabda sebagai berikut.
Artinya:
Saya (Abdullah bin Mas'ud) bertanya, "Ya Rasulullah, dosa apa yang paling
besar?"Nabi saw. menjawab, "Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia
yang menciptakan kamu." Saya bertanya lagi, "Kemudian (dosa) apa (lagi)?" "Engkau
membunuh anakmu karena takut miskin." Saya bertanya lagi, "Kemudian apa?"
Beliau menjawab, "Engkau berzina dengan istri tetanggamu." (H.R. al-Bukhari dan
Muslim). 3
Hadits dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasullullah SAW telah bersabda yang
artinya:
“kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua
kaki itu(bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari
oleh alat kelamin”.
(Hadis sahih diriwatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Muslim dari Ibnu Abbas
dan Abu Hurairah). “Setiap bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua
matapun berzina,dan zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina,
zinanya adalah menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah-menuju
perzinahan. Mulut berzina, zinanya adalah mencium.hati dengan keinginan dan
berangat-angan. Dan kemaluannya lah yang membenarkan atau menggagalkannya.”
(Hadis riwayah Bukhari) .
3
Ibid
5
Dari hadits- hadits diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa jenis zina yaitu:
Adalah zina yang dilakukan oleh dua orang yang bergandengan tangan dengan
yang bukan mahramnya.
Yaitu zina yang terjadi saat salah seorang muslim/muslimah melangkahkan kakinya
menuju perzinahan.
zina ini tidak hanya saat muslimin/muslimah berciuman dengan yang bukan
mahramnya tapi juga saat seorang muslimin/muslimah membicarakan lawan
jenisnya.
4
Hermenia Jurnal Kajian Islam Interdispliner ( Yogyakarta Penerbit Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta,2002 Rabiul akhir 1423 H ), hal 92.
6
2) Dera adalah jenis hukuman yang dilakukan dengan cara dicambuk atau dipukul
100 kali atau 50 kali.
3) Ta'rib adalah jenis hukuman yang dilakukan dengan cara pengasingan atau
dipenjara.
Pelaku zina dibedakan menjadi dua macam, yaitu zina muhsan dan zina gairu muhsan.
1) Zina Muhsan
Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang pernah terikat tali
ikatan perkawinan. Artinya, zina dilakukan, baik suami, istri, duda, maupun janda.
Hukuman (had) bagi pelaku zina muhsan adalah dirajam atau dilempari batu
sampai ia meninggal, sebagaimana diterangkan dalam sabda Nabi saw. berikut.
Artinya:
7
hamba atau budak. Hukuman seorang hamba yang berzina adalah separuh orang
merdeka, yaitu dijilid 50 kali dan diasingkan selama setengah tahun.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengasing an di samping hukuman
dera. Menurut Abu Hanifah dan pengikutnya, sama sekali tidak ada pengasingan.
Menurut Syafii, setiap pezina, baik laki-laki, perempuan, merdeka, maupun hamba
harus dikenakan pengasingan di samping hukuman dera. Menurut Imam Malik,
pengasingan hanya dikenakan kepada pezina laki-laki dan tidak dikenakan kepada
pezina pezina perempuan. Beliau juga berpendapat bahwa tidak ada pengasingan
bagi seorang hamba.
1) Adanya kesaksian empat orang, laki-laki, balig, berakal, dan adil. Allah Swt.
berfirman dalam Surah an-Nisa' Ayat 15 sebagai berikut:
Artinya:
8
tidak terpenuhi maka belum dapat dikatakan berbuat zina. Bahkan, orang yang
menuduh berbuat zina dikenakan hukum tersendiri (qażaf).
2) Pengakuan pelaku yang sudah balig dan berakal. Apabila orang yang mengaku
telah berbuat zina belum balig atau sudah balig tetapi akalnya terganggu (sakit
jiwa) maka tidak dapat ditetapkan had zina baginya.
3) Qarinah (tanda-tanda atau indikasi) yang dapat dianggap sebagai barang bukti
perzinaan yang sah.
5
Ibid.
9
a) Pezina al-Muhshân
Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam
(dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-
Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin Ayat yang
menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah
dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar
bin Khatthab Radhiyallahu 'anh menjelaskan dalam khuthbahnya :
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada
NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat
Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan hukuman
rajam dan kamipun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku
khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang
yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam
kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan
kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh
(hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang
yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah
terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri".
Ini adalah persaksian khalifah Umar bin al-Khatthâb
Radhiyallahu 'anhu diatas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun
yang mengingkarinya.
Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari sunnah,
maka ada riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam baik perkataan maupun perbuatan yang menerangkan bahwa
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah merajam pezina yang al-
Muhshân (ats-Tsaib al-Zâni).
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para ulama telah
berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus
dilempari batu sampai mati.
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Kewajiban merajam
pezina al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat
seluruh para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama
10
setelah mereka diseluruh negeri islam dan kami tidak mengetahui ada
khilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama) kecuali kaum
Khawariji.
Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja diingkari oleh
orang-orang Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal
mereka tidak memiliki hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta
nekat menyelisihi dalil-dalil syar’i dan ijma’ kaum muslimin.
Wallahul musta’an. Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi
pezina al-muhshân (yang sudah menikah dengan sah-red) karena ia
telah menikah dan tahu cara menjaga kehormatannya dari kemaluan
yang haram dan dia tidak butuh dengan kemaluan yang diharamkan
itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya dari ancaman hukuman
zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai syara’)
terbantahkan dari semua sisi . dan dia telah mendapatkan kenikmatan
sempurna. Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna (lalu
masih berbuat kriminal) maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji,
sehingga ia berhak mendapatkan tambahan siksaan.
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang dihukumi al-
Muhshân. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang
dihukumi sebagai al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1) Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual) langsung di
kemaluan. Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad
pernikahan namun belum melakukan jima’ , belum dianggap
sebagai al-Muhshân.
2) Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan berdasarkan
pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar
nikah
3) Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang sah.
4) Pelaku zina adalah orang yang baligh dan berakal.
5) Pelaku zina merdeka bukan budak belian.
Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshan, apabila
kriteria diatas sudah terpenuhi.
11
b) Pezina Gairu Muhshan
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-
muhshân, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali.
Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera
(cambuk)". [An-Nûr/24:2]
Al-Wazîr rahimahullah menyatakan : “Para ulama sepakat
bahwa pasangan yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-
red), apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk (dera),
masing-masing seratus kali.
Hukuman mati (dengan dirajam-red) diringankan buat mereka
menjadi hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red)
sehingga darahnya masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti
seluruh tubuhnya dengan cambukan.
Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun
menurut pendapat yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Ambilah dariku! ambillah dariku! Sungguh Allah telah
menjadikan bagi mereka jalan, yang belum al-muhshaan dikenakan
seratus dera dan diasingkan setahun." [HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :
“Apabila tidak muhshân , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan
al-Qur`an dan diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
2) Kekhususan Hukuman Pezina
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan tiga karakteristik khusus bagi
hukuman zina :
a. Hukuman yang keras, yaitu rajam untuk al-Muhshân dan itu adalah hukuman
mati yang paling mengenaskan dan sakitnya menyeluruh keseluruh badan.
Juga cambukan bagi yang belum al-muhshân merupakan siksaan terhadap
seluruh badan ditambah dengan pengasingan yang merupakan siksaan batin.
b. Manusia dilarang merasa tidak tega dan kasihan terhadap pezina.
12
c. Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dihadiri sekelompok kaum
mukminin. Ini demi kemaslahatan hukuman dan lebih membuat jera.
Hal ini disampaikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman"
[an-Nûr/24:2]
3) Syarat Penerapan Hukuman Zina.
a. Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan berakal (tidak gila).
b. Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
c. Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum tahu
hukumannya.
d. Jima’ (hubungan seksual) terjadi pada kemaluan.
e. Tidak adanya syubhat. Hukuman zina tidak wajib dilakukan apabila masih ada
syubhat seperti menzinahi wanita yang ia sangka istrinya atau melakukan
hubungan seksual karena pernikahan batil yang dianggap sah atau diperkosa.6
6
Suratno , Anang Amarzoni Mendalami Ushul Fiqh ( Jakarta Penerbit Tiga Serangkai 2015) hal 12
13
zinah ghoiru muhsan, di dalamnya juga mengandung pengertian bahwa selama
para pelaku suami atau istri yang tetap merasa aman dengan delik perzinahan
yang dilakukan pasangannya, maka pelaku tidak bisa di tuntut karena tidak
diadukan oleh pihak yang merasa dirugikan. Jadi kalau pelaku zinah itu suka
dan tidak sedang terikat ikatan perkawinan, maka oleh KUHP tidak dianggap
sebagai tindak pidana yang bisa dihukum.
Dalam hal ini bahwa apabila seorang laki-laki yang mempunyai istri
melakukan hubungan seksula (bersetubuh) dengan perempuan lain sedangkan
si istri tidak keberatan suaminya berselingkuh tersebut, maka KUHP tidak
akan diberlakukan kepada suaminya. Begitu pula apabila seorang perempuan
yang mempunyai suami bersetubuh dengan laki-laki lain sedangkan si suami
tidak keberatan, maka si istri yang melakukan perbuatan zinah juga tidak akan
dikenai hukuman oleh KUHP. Dengan demikian perbuatan zinah yang
dilakukan seorang suami atau seorang istri akan dapat berjalan trus. Jadi
berarti pasal 284 KUHP ini tidak akan berfungsi untuk mencegah terjadinya
perbuatan zina dalam masyarakat dan bahkan memberi peluang maraknya
perzinahan dalam masyarakat.7
7
Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Cet. 1, (Penerbit: Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta). Januari-Juni 2013.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Zina adalah perbuatan keji yang dilarang Allah. Perbuatan zina akan dapat
menurunkan derajat manusia. Zina dibedakan menjadi dua macam. Pezina
Muhsan, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah.Hukumannya
bagi pezina ini adalah dirajam sampai mati. pezina Gairu Muhsan, zina yang
dilakukan oleh remaja (orang yang belum menikah). Hukumannya bagi pezina ini
adalah didera 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.
Hadits dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasullullah SAW telah bersabda yang
artinya: “kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan
zina, kedua kaki itu(bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan
atau diingkari oleh alat kelamin” Dari hadits- hadits itu dapat disimpulkan bahwa
ada beberapa jenis zina yaitu: Zina Mata, Tangan, Kaki, Mulut, dan Zina Hati.
B. Saran
Makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu masukan serta
saran dari para pembaca sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan
tersebut.
15
DAFTAR PUSTAKA
Suratno, Anang Amarzoni. (2015). Mendalami Ushul Fiqh (Jakarta : Penerbit Tiga
Serangkai)
16