Anda di halaman 1dari 25

FIKIH JINAYAT

HUKUM, SANKSI DAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA ZINA


Dosen Pengampu : Wilnan fatahilah, S.H.I, M.M,

Disusun Oleh kelompok 1 :


Abdu Aziz
Adi Juliardi
Alia Royanti
Amin Hidayah

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MINHAJURROSYIDIIN
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas membuat jurnal dengan judul ; HUKUM, SANKSI DAN
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA ZINA.
Adapun tujuan dari pembuatan jurnal ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Dosen Wilnan
Fatahillah S.H.I.M.M pada mata kuliah Fikih Jinayat jurusan Hukum Keluarga Islam. Selain
itu, jurnal ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang HUKUM, SANKSI DAN
PEMBUKTIAN TINDAK PIDAN ZINA bagi para penulis dan umumnya juga bagi
pembaca.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wilnan Fatahillah S.H.I.M.M , selaku
dosen Fiqih Jinayat jurusan Hukum Keluarga Islam yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan jurnal ini. kami menyadari,jurnal yang
kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan jurnal ini.

Jakarta, Februari 2022


BAB 1
LATAR BELAKANG
1.1 PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam mempelajari Fiqh Jinayat terdapat
bermacam-macam hukum pidana yang diantaranya adalah hukum pidana zina.
Dalam syariat Islam yang murni dan tujuannya yang asasi adalah memelihara lima hal
yang paling penting, yaitu: akal, keturunan, jiwa, agama, dan harta. Lima hal ini dianggap
penting karena seluruh agama dan syariat menetapkan pemeliharaannya dan mengatur
bagaimana menjaganya, karena lima hal ini merupakan hal-hal yang mesti dalam kehidupan
manusia. Karena keturunan adalah salah satu dari lima perkara penting ini, maka syariat
Islam mensyariatkan hukuman yang berat demi terciptanya keamanan dan kestabilan sosial.
Memang hukuman zina yang diterapkan syariat Islam berat namun hukuman itu adil.
Sebab, siapakah dalam hal ini yang dihukum? Bukankah yang dihukum itu jiwa yang hanyut
mengikuti hawa nafsunya seperti hewan yang tidak lagi memperdulikan lagi jalan untuk
memenuhi syahwatnya serta tidak menghiraukan akibat dan bahayanya?
Untuk itu, lewat makalah ini kami akan menginformasikan kepada pembaca agar
memahami dan mengetahui bagaimana syariat Islam menetapkan hukuman terhadap zina
yang bertujuan untuk menciptakan keamanan dan kestabilan sosial dan juga memelihara
manusia dari kebinasaan.

1.2 MASALAH RUMUSAN


Dari latar belakang diatas dapat kami ambil rumusan masalahnya sebagai berikut :
a. Pengertian zina
b. Apa yang dimaksud dengan hukum tindak pidana zina menurut ilmu fikih jnayat
c. Apa sanksi tindak pidana zina menurut ilmu fikih jinayat
d. Bagaimana pembuktian pidana zina menurut ilmu fikh jinayat

1.3 TUJUAN PENULISAN

Setiap kegiatan pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai, demikian juga yang dilakukan
oleh pembuatan makalah ini. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui tentang zina dalam fikih jinayat
b. Untuk mengetahui hukum pidana zina dalam fikih jinayat
c. Untuk mengetahui sanksi pidana zian dalam fikih jinayat
d. Untuk mengetahui pembuktian pidana zina dalam fikih jinayat
BAB 2

1. DASAR HUKUM TINDAK PIDANA ZINA


Pengaturan zina di dalam aspek agama berpedoman dari aturan yang diberikan oleh Tuhan
dalam kitab suci masing-masing agama. Termasuk Agama Islam sebagai agama mayoritas
yang ada di Indonesia, memiliki pengaturan zina di dalam kitab suci Al-Qur’an dan juga As-
Sunnah. Zina di dalam Agama Islam telah diatur terkait dengan larangan maupun hukumannya.

Konsep syariat perzinaan dalam hal ini untuk mencegah menyebarluaskannya kecabulan
dan kerusakan akhlak serta untuk menumbuhkan pandangan bahwa perzinaan itu tidak hanya
mengorbankan kepentingan perorangan tetapi juga terlebih kepentingan masyarakat. seperti
kerusakan moral di negara barat menurut para ahli justru diperbolehkannya perzinaan bila
dilakukan oleh orang dewasa yang dilakukan dengan rela sama rela, sehingga banyak laki –
laki yang berpaling dari kehidupan rumah tangga yang bahagia, hal ini sudah tentu
membuatnya menjadi orang yang tidak bertanggung jawab, sebab kebutuhan seksualnya dapat
terpenuhi melalui hubungan seksual dengan setiap wanita yang bukan istrinya asal rela sama
rela.1 Perzinaan itu tidak hanya menyinggung hal perorangan melainkan juga menyinggung
hak masyarakat.

Zina secara harfiah berarti fahishah, yaitu perbuatan keji. Zina berarti hubungan kelamin
diantara seorang laki – laki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam
2
hubungan perkawinan. Para fuqaha (ahli hukum) mengartikan zina, yaitu melakukan
hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin pria) kedalam vagina wanita yang
dinyatakan haram, bukan karena syubhat dan atas dasar syahwat .3

Menurut ajaran Islam, zina adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh orang laki – laki
dan orang perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah, hubungan seksual
dilakukan dengan cara memasukkan alat kelamin laki – laki kedalam alat kelamin perempuan

1
.A. Djazuli, Fiqih Jinayah,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1997), hal 35-36.
2
Abdur Rahman I. Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam,(Jakarta:PT. Rineka Cipta,1992),hal. 31
3
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,2009), hal 37.
tanpa keraguan (syubhat) untuk mencari kenikmatan tertentu.4 Menurut Ensiklopedi Hukum
Islam, zina adalah “hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
tidak atau belum diikat dalam perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan
seksual tersebut”. 5

Ibn Rusyd mendefinisikan zina sebagai persetubuhan yang dilakukan bukan karena nikah
yang sah atau semu nikah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya. Sedangkan zina yang
mewajibkan hukuman ada yang mendefinisikan memasukkan kemaluan laki-laki sampai
tekuknya kedalam kemaluan perempuan.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh beberapa pendapat di atas, dapat dijelaskan
bahwa hakikat yang merupakan kriteria dari perzinahan yaitu :

a. Zina itu perbuatan memasukkan alat kelamin laki-laki atau żakar ke dalam alat kelamin
perempuan. Maksudnya apa saja yang dimasukkan selain dari żakar tidak disebut zina,
begitu pula memasukkan zakar ke lubang mana saja dari tubuh perempuan selain vagina
tidak disebut zina.
b. Perbuatan hubungan kelamin itu pada hakikatnya adalah haram. Hal ini mengandung
arti bila keharamannnya itu dikarenakan faktor luar atau keadaan, tidak disebut zina.
Umpamanya suami haram melakukan hubungan kelamin dengan isterinya yang sedang
menstruasi. Keharaman di sini bukan karena substansinya tetapi karena faktor luar.
c. Perbuatan hubungan kelamin itu pada dasarnya secara alamiah disenangi, yaitu dengan
manusia yang hidup. Hal ini berarti hubungan kelamin dengan mayat dan hewan tidak
disebut zina.
d. Perbuatan hubungan kelamin itu disebut zina dengan segala akibat hukumnya bila pada
perbuatan itu telah bebas dari segala kemungkinan kesamaran atau subhāt, seperti
bersetubuh dengan perempuan yang diyakini sebagai isterinya, akan tetapi justru orang
lain

Adapun perbuatan zina yang dapat dikenai hukuman, apabila perbuatan itu memenuhi
dua unsur zina, sebagai berikut :

a. Persetubuhan yang diharamkan

4
Neng Djubaedah, Pornografi & Pornografi Ditinjau dari Hukum Islam,(Jakarta Timur:Penada Media,2003),hal.
145
5
Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 6, cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm.
2026
Persetubuhan yang dianggap zina adalah persetubuhan dalam farji (vagina).
Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan laki-laki (kasyafah) telah masuk ke
dalam farji walaupun sedikit. Juga dianggap sebagai zina walaupun ada penghalang
antara zakar(kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan), selama
penghalangnya tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan
bersenggama. Di samping itu, kaidah untuk menentukan persetubuhan sebagai zina
adalah persetubuhan yang terjadi bukan pada miliknya sendiri. Dengan demikian,
apabila persetubuhan terjadi dalam lingkungan hak milik sendiri karena ikatan
perkawinan maka persetubuhan tersebut tidak dianggap sebagai zina, walaupun
persetubuhannya itu diharamkan karena suatu sebab. Misalnya, menyetubuhi istri
yang sedang haid, nifas, atau sedang berpuasa Ramadhan. Persetubuhan itu
semuanya dilarang, tetapi tidak dianggap sebagai zina. Apabila persetubuhan tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut maka tidak dianggap sebagai zina yang
dikenai hukuman had, melainkan hanya tergolong kepada perbuatan maksiat yang
diancam dengan hukuman ta‘zīr, walaupun perbuatannya itu merupakan
pendahuluan dari zina. Contohnya seperti mufakhadzah (memasukkan penis
diantara dua paha), atau memasukkannya kedalam mulut, atau sentuhan sentuhan
diluar farji. Demikian pula perbuatan maksiat yang lain yang juga merupakan
pendahuluan dari zina dikenai hukuman ta'zir. Contohnya seperti ciuman,
berpelukan, bersunyi-sunyi dengan wanita asing (bukan muhrim), atau tidur
bersamanya dalam satu ranjang. Perbuatan-perbuatan ini dan semacamnya yang
merupakan rangsangan terhadap perbuatan zina merupakan maksiat yang harus
dikenai hukuman ta‘zīr.

b. Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum


Sedangkan unsur yang kedua dari jarimah zina adalah adanya niat dari pelaku yang
melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan
(persetubuhan) padahal ia tahu bahwa wanita yang disetubuhinya adalah wanita
yang diharamkan baginya. Dengan demikian, apabila seseorang mengerjakan suatu
perbuatan dengan sengaja, tetapi ia tidak tahu bahwa perbuatan yang dilakukannya
haram maka ia tidak dikenai hukuman had. Contohnya seperti seorang laki-laki
menikah dengan seorang wanita yang sudah punya suami tapi dirahasiakan
kepadanya. Apabila terjadi persetubuhan setelah dilaksanakannya perkawinan
tersebut maka suami tidak dikenai pertanggungjawaban (tuntutan) selama ia benar-
benar tidak tahu bahwa wanita itu masih dalam ikatan perkawinan dengan suami
terdahulu. Melawan hukum atau sengaja berbuat ini harus disertai dengan
melakukan perbuatan yang diharamkannya itu, bukan sebelumnya. Artinya, niat
melawan hukum tersebut harus ada pada saat dilakukannya perbuatan yang dilarang
itu. Apabila pada saat dilakukannya perbuatan yang dilarang niat yang melawan
hukum itu tidak ada meskipun sebelumnya ada maka pelaku tidak dikenai
pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya. Contoh seperti seseorang
yang bermaksud melakukan zina dengan wanita pembantunya, tetapi setelah ia
memasuki kamarnya yang didapatinya adalah istrinya dan persetubuhan dilakukan
dengan istrinya itu maka perbuatannya itu tidak dianggap sebagai zina, karena pada
saat dilakukannya perbuatan itu tidak ada niat melawan hukum. Alasan tidak tahu
hukum tidak sama dengan tidak melawan hukum. Pada prinsipnya dinegeri islam
alasan tidak tahu hukum tidak bisa diterima sebagai alasan untuk dihapuskannya
pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan zina
dengan alasan tidak tahu bahwa zina itu diharamkan maka alasannya itu tidak bisa
diterima. Artinya, alasan tidak tahunya itu tidak dapat menghilangkan niat melawan
hukum atas perbuatan zina yang telah dilakukannya. Akan tetapi, para fuqoha
membolehkan penggunaan alasan tidak tahu hukum dari orang yang karena
beberapa hal sulit baginya untuk mengetahui hukum. Misalnya, seorang muslim
yang baru saja menyatakan keislamannya tetapi lingkungan tempat tinggalnya
bukan lingkungan islam, sehingga sulit baginya untuk mempelajari hukum-hukum
islam. Atau contoh lain seperti orang yang gila kemudian sembuh tetapi ingatannya
belum sempurna lalu ia berzina, dan karena ingatannya belum sempurna, ia masih
belum sadar betul bahwa zina itu dilarang oleh hukum. Apabila seseorang mengaku
tidak tahu tentang fasid atau batalnya suatu pernikahan yang mengakibatkan
persetubuhannya bisa diangap sebagai zina, sebagian ulama berpendapat bahwa
alasan tidak tahunya itu tidak bisa diterima, karena itu bisa mengakibatkan
gugurnya hukuman had. Itu merupakan kewajiban setiap orang untuk mengetahui
setiap perbuatan yang dilarang oleh syara. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa alasan tidak tahunya itu bisa diterima, dengan alasan bahwa
untuk mengetahui hukum diperlukan pemahaman dan kadang-kadang hal itu sulit
bagi orang yang bukan ahlinya. Dengan demikian, menurut pendapat yang kedua
tidak tahu hukum tersebut merupakan subhat atau keadaan yang menyebabkan
suatu perbuatan berada diantara dua ketentuan hukum,yaitu dilarang atau tidak yang
dapat menggugurkan hukuman had, tetapi tidak membebaskannya dari hukuman
ta‘zīr.6

Meskipun para ulama berbeda mendefinisikan zina, tetapi mereka sepakat terterhadap
dua unsur zina yaitu, a). Persetubuhan yang diharamkan dan b). adanya kesengajaan
atau niat yang melawan hukum.7

a. Persetubuhan yang diharamkan atau wathi haram


Persetubuhan yang dianggap sebagai zina adalah persetubuhan dalam farji
(kemaluan), apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk kedalam farji
walaupun sedikit juga dianggap sebagai zina walaupun ada penghalam antara zakar
(kemaluan laki – laki) dan farji (kemaluan perempuan).8 Sedangkan wathi haram
adalah wathi pada faraj wanita bukan istrinya atau hambanya dan masuknya zakar
itu seperti masuknya ember pada sumur adan tetap dianggap zina meskipun ada
penghalang antara zakar dengan farajnya selama penghalang itu tidak menghalangi
kenikmatan.9
Menurut ajaran Islam, pelampiasan nafsu seksualitas hanya dianggap legal, bila
dilakukan dengan perkawinan yang sah. Diluar itu persetubuhan dianggap
melampaui batas dan dianggap haram, bahkan mendekatinya saja merupakan
perbuatan terlarang. 10 Apabila perbuatan yang menjurus pada zina dihukumi ta’zir
walaupun perbuatannya itu pendahuluan dari zina seperti, memasukkanya penis
dalam kedua paha atau memasukkanya dalam mulut atau sentuhan – sentuhan diluar
fajri, ciuman, berpelukan, bersunyi – sunyi dengan wanita yang bukan muhrimnya
atau tidur bersamanya dalam satu ranjang. perbuatan – perbutan ini dan
semacamnya yang merupakan rangsangan terhadap perbuatan zina merupakan
maksiat yang harus dikenai hukuman ta’zir.11
Dasar keharaman zina dalam syari’at Islam adalah firman Allah dalam surat Al
– Mu’minun ayat 5 – 7 :
‫) فَ َم ِن ا ْبت َغى‬6( ‫ومي َن‬ ِ ُ‫َت أَيْمانُ ُه ْم فَإِنَّ ُه ْم َغي ُْر َمل‬
ْ ‫واج ِه ْم أ َ ْو ما َملَك‬
ِ ‫) ِإالَّ َعلى أ َ ْز‬5( َ‫ظون‬ ِ ‫َوا َّلذِينَ هُ ْم ِلفُ ُر‬
ُ ِ‫وج ِه ْم حاف‬
7( َ‫) َورا َء ذ ِل َك فَأُول ِئ َك هُ ُم العاد ُون‬

6
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,hal. 25-26
7
.A. Djazuli, Fiqih Jinayah,36.
8
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,8.
9
.A. Djazuli, Fiqih Jinayah,36.
10
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam,72
11
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,8-9
Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-
isteri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-
orang yang melampaui batas.12
Bahkan tidak hanya zina yang haram, melainkan mendekatinya pun haram,
sebagaimana firman Allah dalam surat Al – Isra : 32
۟
‫نٰٓ ۖ إِّنَّهُۥ اكا ان ىفا ِّح اشةً او اسآٰءا اسبِّ ًيل‬ِّ
‫ؤاَل تا ْقاربُ اى‬
‫ٱلز‬ ‫ا‬
‫و‬
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. 13
Setiap perbuatan yang pada akhirnya akan mendatangkan dan menjurus kepada
perbuatan zina merupakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman jarimah
ta’zir sedangkan perbuatan yang telah melakukan zina dihukum dengan jarimah
hudud atau had.
b. Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum.
Unsur yang kedua dari jarimah zina adalah adanya niat dari pelaku yang
melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan
(persetubuhan) padahal ia tahu bahwa wanita yang disetubuhinya adalah wanita
yang diharamkan baginya. Dengan demikian, apabila seseorang mengerjakan suatu
perbuatan dengan sengaja, tetapi ia tidak tahu bahwa perbuatan yang dilakukannya
haram maka ia tidak dikenakan hukuman had. contohnya, seperti seorang laki – laki
menikahi seorang perempuan sedangkan perempuan tersebut sebenarnya
mempunyai suami tetapi ia merahasiakan kepadanya. Apabila terjadi persetubuhan
setelah dilaksanakannya perkawinan tersebut maka suami tidak dikenakan
hukuman atau pertanggungjawaban (tuntutan) selama ia tidak tahu bahwa wanita
itu masih dalam ikatan perkawinan dengan suami yang terdahulu.14 Unsur melawan
hukum atau kesengajaan berbuat zina harus berbarengan dengan melakukan
perbuatan yang diharamkannya itu, bukan sebelumnya. Artinya, niat melawan
hukum tersebut harus ada pada saat dilakukannya perbuatan yang dilarang itu.15

12
Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemah Indonesia, (Jakarta : PT. Sari Agung,2002),648
13
Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemah Indonesia, (Jakarta : PT. Sari Agung,2002),533
14
H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,25.
15
Ibid
Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghoiru muhsan) didasarkan pada ayat Al-
Qur’an Surat An-Nuur ayat 2,

‫اَّللِّ إِّ ْن ُكْن تُ ْم تُ ْؤِّمنُو ان‬


َّ ‫ين‬ِّ ‫اح ٍد ِّمْن ُه اما ِّمائاةا اج ْل ادةٍ ۖ اواَل اَتْ ُخ ْذ ُك ْم ِبِِّّ اما ارأْفاةٌ ِِّف ِّد‬
ِّ ‫الزِّاِن فااجلِّ ُدوا ُك َّل و‬
‫ا‬ ْ َّ ‫الزانِّياةُ او‬
َّ
ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ
‫ِِّب ََّّلل اوالْيا ْوم ْاْلخ ِّر ۖ اولْيا ْش اه ْد اع اذ ااِبُ اما طاائ افةٌ م ان الْ ُم ْؤمن ا‬
‫ي‬

Artinya: "Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus
kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman."

Bagi orang yang sudah menikah (muhsan) hukumannya menurut para ahli hukum Islam
adalah rajam (dilempari batu) sampai mati. Hukuman ini disandarkan pada hadist dari Ubadah
bin Shamit ra., Rasulullah bersabda:

ِّ ‫الب ْكر ِبلبِّ ْكر اج ْل ُد مائة ونا ْفي اسناة والث يب ِبلث ي‬
‫ اج ْل ُد مائة والر ْجم‬، ‫ب‬ ُ ُ
Artinya: “Perawan dengan perjaka (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan diasingkan
setahun. Duda dengan janda (jika berzina) maka dicambuk 100 kali dan dirajam.” (HR.
Muslim)

Zina dapat dibuktikan baik dengan pengakuan maupun dengan persaksian. Dalam hal
terdapat pengakuan, menurut Syafi’i dan Malik, bila pelakunya dewasa dan berakal yang
mengakui perbuatannya itu, maka hukuman harus dijatuhkan. Abu Hanifah, Ahmad, dan Syiah
Imamiah berpendapat bahwa hukuman tidak dijatuhkan, kecuali pengakuan pelaku diulang-
ulang sebanyak empat kali. Sesuatu yang menarik dalam eksekusi hukuman rajam atas pelaku
zina muhsan adalah apabila pembuktian didasarkan pada pengakuannya sendiri. Apabila ia
kemudian melarikan diri pada saat hukuman dijatuhkan, menurut mayoritas ahli hukum, tidak
perlu dikejar.

Pada dasarnya sistem hukum yang ada di Indonesia juga mengatur terkait dengan
masalah perzinaan. Hukum perzinaan di Indonesia memiliki polemik sendiri dari ketentuan
hingga penerapan sanksi. Bagaimana tidak, hukum yang mengatur perzinaan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap tidak relevan untuk diterapkan dalam
masyarakat Indonesia, terutama perzinaan di Indonesia dianggap sebagai tindakan yang sangat
tidak pantas dan bertentangan dengan moral dan norma dalam masyarakat yang berbudaya.
Pengaturan tentang zina terdapat dalam Pasal 284 KUHP. Pengaturan perzinaan dan sanksi
sangat jelas bahwa Pasal 284 KUHP hanya mengatur masalah perselingkuhan, yang di mana
pasal tersebut hanya berlaku jika salah satu pelaku atau keduanya masih terikat oleh
perkawinan sah dengan orang lain. Kemudian pada ayat (2) menjelaskan zina merupakan
pelanggaran pengaduan, yang hanya bisa dituntut jika pasangan sah melakukan keberatan atau
aduan. Sedangkan untuk kasus hubungan seksual di luar konteks pasal ini, akan berlaku asas
legalitas, seperti dalam kasus salah satu selebritas di Indonesia tahun 2010, di mana pelaku
hanya dituntut berdasarkan Pasal 4 UU Pornografi, Pasal 27 UU Teknologi Informasi dan Pasal
282 KUHP. Ini terjadi karena video aksi para pelaku yang tersebar di dunia maya, jadi jika
video itu tidak ada, maka pelakunya tidak terjerat dalam pasal mana pun, karena Pasal 284
KUHP tidak berlaku padanya. Ketentuan itu menimbulkan masalah di masyarakat.

Pandangan publik tentang perzinaan jauh lebih kompleks daripada yang ditetapkan
dalam hukum nasional. Perzinaan bukan hanya selingkuh, tetapi lebih bermoral dan harus
dicegah sejak dini, dan bukan hanya setelah menikah. Perspektif ini muncul dalam masyarakat
karena pengaruh norma-norma agama dan kekuasaan yang kuat dari rakyat terhadap nilai-nilai
Pancasila, di mana ajaran pertama menyebutkan “Kepercayaan pada Yang Maha Agung”
sehingga hukum yang taat kepada Tuhan lebih baik daripada hukum lainnya.

Dengan demikian definisi perzinaan yang tertanam dalam nilai-nilai masyarakat


cenderung sifat perzinaan dalam agama, yang menganggap perzinaan sebagai tindakan keji,
sebagaimana tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Isra 'ayat 32

۟
‫نٰٓ ۖ إِّنَّهُۥ اكا ان ىفا ِّح اشةً او اسآٰءا اسبِّيلًة‬ِّ
‫ؤاَل تا ْقاربُ اى‬
‫ٱلز‬ ‫ا‬
‫و‬

Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk."

Penjelasan terkait pengaturan zina dalam KUHP di atas memberikan gambaran


bahwasanya masyarakat lebih cenderung terhadap pengaturan di dalam hukum yang hidup di
masyarakat. Hukum yang hidup di dalam masyarakat biasa disebut dengan istilah the living
law yang memiliki pengertian yaitu hukum yang hidup dan sedang aktual dalam suatu
masyarakat, sehingga tidak membutuhkan upaya reaktualisasi lagi. The living law bukan
sesuatu yang statis, tetapi terus berubah dari waktu ke waktu. The living law adalah hukum
yang hidup di dalam masyarakat, bisa tertulis bisa juga tidak.

Melihat penjelasan yang ada di atas terkait konsep yang ada di dalam pengaturan tindak
pidana zina dalam KUHP, pada dasarnya memiliki beberapa masalah. Masalah yang ada dalam
pengaturan tersebut antara lain karena masyarakat merasa unsur-unsur yang terdapat di dalam
KUHP sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat Indonesia.

2. SANKSI ZINA

1. Sanksi Zina Menurut Syariat Islam

Dalam hadis muslim dijelaskan yang artinya :

Dari Ubadah bin Shamit Radliallahu taála ánhu, ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda :
“Ambillah dariku Ambillah dariku (terimalah hukuman dari padaku) sungguh Allah telah
menjadikan suatu jalan bagi perempuan: Yang belum kawin dengan yang belum kawin
(berzina), hukumannya jilid 100 (seratus) kali dan diasingkan satu tahun; yang sudah kawin
dengan yang sudah kawin hukumannya dirajam (H.R. Muslim)

Sanksi Pidana Zina Menurut Syaria’at Islam Hadits di atas menjelaskan bahwa jika pelaku
zina itu adalah bujang gadis atau belum menikah, maka hukumannya didera/dicambuk seratus
kali dan diasingkan dari rumahnya selama satu tahun. Sedangkan pelaku zina itu sudah
menikah, maka hukumannya dirajam sampai mati.

Zina terbagi dalam beberapa jenis yaitu :

a. Zina muhsan yaitu perzinahan yang di lakukan oleh orang yang sudah menikah.
Sanksi jika pelakunya sudah menikah, dan melakukan zina secara suka rela atau tidak
diperkosa maka mereka dihukum dengan dirajam atau dikubur hidup-hidup sampai leher,
kemudian disekitarnya ditaruh batu supaya semua orang bisa melemparinya dan berhak
untuk melemparinya dengan batu tersebut sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al
Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ para ulama. Karena orang yang sudah menikah
mereka sudah merasakan yang namanya kenikmatan yang sempurna yang ia dapatkan
dari kemaluan suami/istri. Jadi kalau orang tersebut berbuat zina maka kejahatannya
lebih keji, maka ia berhak mendapat tambahan siksaan yaitu dihukum sampai mati.
b. Zina ghairu muhsan yaitu perzinahan yang di lakukan oleh orang yang belum menikah.
Sanksi Jika pelakunya belum pernah menikah, maka mereka didera atau dicambuk 100
kali kemudian diasingkan selama satu tahun. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
Al-qur’an surah An-Nur ayat 2;
Yang Artinya: “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah (cambuklah) masing-
masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya,
mencegah kamu untuk menjalankan agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada
Allah atau hari kemudian, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh
sebagian orang-orang yang beriman.”

Muh.Syarief Sukandy, 1978, “Terjemah Bulughul Maram Fiqih Berdasarkan Hadits,


Cetakan ketiga, Bandung: Almaárif, hlm 449

Wahbah Az-Zuhaili, 2011, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, Jilid 7, Jakarta: Gema Insani,
hlm. 303

Haji Sa’id Haji Ibrahim, 1996, “Qanun Jinayah Syari’ah Dan Sistem Kehakiman Dalam
Perundangan Islam Berdasarkan Qur’an Dan Hadits”, Kuala Lumpur:Darul Ma’rifah,
hlm 27

2.Sanksi Zina Menurut KUHP

Tindak Pidana Perzinahan yang diatur didalam pasal 284 KUHP, adapun bunyinya sebagai
berikut,

1. Dihukum Penjara selama-lamanya Sembilan bulan

a. Laki-laki yang beristeri, berbuat Zina, sedang diketahuinya pasal 27 KUH Perdata (sipil)
berlaku padanya;

b. Perempuan yang bersuami berbuat Zina:

a) Laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut, sedang diketahuinya bahwa kawannya


itu bersuami:

b) Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang
diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami.
2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 , dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan
permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga;

3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75;

4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum
dimulai;

5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 , pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan
belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan
tempat tidur menjadi tetap.

Dalam Rancangan KUHP 2015, Tindak Pidana Zina diatur dalam Pasal 484 angka (1) sampai
(5). Adapun bunyi Pasal itu sendiri yaitu :

Penjelasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2015, Pasal 484 angka
(1) sampai angka (5)

Pasal 484

a. Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:

1) laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan


perempuan yang bukan istrinya;

2) perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukanpersetubuhan dengan laki-


laki yang bukan suaminya;

3) laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan


perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;

4) perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki,
padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau

5) laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah
melakukan persetubuhan.

b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali
atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
c. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal
26, Pasal 27, dan Pasal 29.

d. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

3. Sanksi Zina menurut Qanun Nomor 6 Tahun 2014

Qanun adalah sebuah kata arab.Kata ini dapat merujuk pada hukum yang dibuat oleh
penguasa muslim.

Hukum Jinayat adalah hukum yang mengatur tentang Jarimah dan ‘Uqubat. Jarimah adalah
perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam Qanun ini diancam dengan ‘Uqubat
Hudud dan/atau Ta’zir.

‘Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku Jarimah.

Hudud adalah jenis ‘Uqubat yang bentuk dan besarannya telah ditentukan di dalam Qanun
secara tegas.Ta’zir adalah jenis ‘Uqubat yang telah ditentukan dalam qanun yang bentuknya
bersifat pilihan dan besarannya dalam batas tertinggi dan/atau terendah.

Berdasarkan Qanun Nomor 6 tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat pada bagian kelima
mengenai zina, yaitu sebagai berikut:

Pasal 33

a) Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat
Hudud cambuk 100 (seratus) kali.

b) Setiap Orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam
dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali dan dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir
denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau ‘Uqubat Ta’zir penjara
paling lama 12 (dua belas) bulan.

c) Setiap Orang dan/atau Badan Usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau
mempromosikan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100
(seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara
paling banyak 100 (seratus) bulan.
Pasal 34

“Setiap Orang dewasa yang melakukan Zina dengan anak, selain diancam dengan ‘Uqubat
Hudud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat ditambah dengan ‘Uqubat
Ta’zir cambuk paling banyak 100 Universitas Sumatera Utara (seratus) kali atau denda paling
banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan”.

Pasal 35

“Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina dengan orang yang
berhubungan Mahram dengannya, selain diancam dengan ‘Uqubat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir denda paling banyak 100
(seratus) gram emas murni atau “uqubat Ta’zir penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan”.

Pasal 36

“Perempuan yang hamil di luar nikah tidak dapat dituduh telah melakukan Jarimah Zina
tanpa dukungan alat bukti yang cukup”

Muh.Syarief Sukandy, 1978, “Terjemah Bulughul Maram Fiqih Berdasarkan Hadits, Cetakan ketiga,
Bandung: Almaárif, hlm 449

Wahbah Az-Zuhaili, 2011, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, Jilid 7, Jakarta: Gema Insani, hlm. 303

Haji Sa’id Haji Ibrahim, 1996, “Qanun Jinayah Syari’ah Dan Sistem Kehakiman Dalam Perundangan
Islam Berdasarkan Qur’an Dan Hadits”, Kuala Lumpur:Darul Ma’rifah, hlm 27

39Ibid, http://reformasikuhp.org/tindak-pidana-zina-dalam-r-kuhp-2015-html.

3. ALAT BUKTI DAN METODE PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK PIDANA


ZINA

Pembuktian dan Bentuk-Bentuk Alat Bukti Pidana Zina dalam KUHP Pembuktian
merupakan penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh hakim yang memeriksa
suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Di
dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara
di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara dan
perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar salahnya terdakwa terhadap suatu perkara
pidana di dalam sidang pengadilan. 16

Pembuktian sangat penting untuk mengetahui benar atau tidaknya terdakwa melakukan
tindak pidana yang didakwakan. Untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana maka harus
dilakukan pembuktian sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana formil atau hukum acara
pidana. Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian merupakan sebuah ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang dan yang
boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa.”17

Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang- undang “tidak
cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan”
dari hukuman sesuai Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang isinya: (1) Jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah sebuah metode atau penyajian alat-alat
bukti yang dilakukan di depan persidangan untuk membuktikan dan meyakinkan hakim
terhadap kebenaran perbuatan pidana seorang terdakwa agar dapat dijatuhi hukuman
terhadapnya.

Pembuktian di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(KUHAP) pada bagian ke-empat, pada bab ini menjelaskan bahwa seorang hakim tidak dapat
memutuskan suatu perkara tanpa sekurang-kurangnya dua alat bukti ditambah satu keyakinan
hakim, hal ini untuk meyakini bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya. 18

Untuk menunjang keyakinan hakim tersebut sebagaimana yang dijelaskan diatas maka
diperlukan alat-alat bukti yang dapat dihadirkan dalam persidangan, hal ini penting selain
karena syarat untuk memutuskan sebuah perkara tidak terpenuhi, juga menghindari kesalahan
hakim untuk memutuskan terdakwa. Beberapa bentuk-bentuk alat bukti yang dihadirkan dalam
persidangan juga telah diatur dalam KUHAP pada Pasal 184 ayat (1) yaitu :

16
http://repository.unpas.ac.id/5159/5/9.%20BAB%20II.pdf diakses tgl.23/02/2022
17
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemariksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hlm. 273.
18
Lihat Pasal 183 KUHAP
(1) Alat bukti yang sah ialah ; a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli c. Surat; d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa; Pada metode pembuktian dan pengajuan alat bukti pidana ini
berlaku untuk seluruh bentuk dan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh seorang
pelaku pidana, demikian juga seperti misalnya dalam tindak pidana zina (Overspel)
tidak terdapat perbedaan di dalam metode pembuktian dan pengajuan alat bukti dalam
perkara pidana menurut hukum positif di Indonesia. Akan tetapi dalam pembuktian
perkara zina (Overspel), seseorang dapat dibuktikan perbuatannya serta dijatuhi
hukuman apabila terdapat pihak yang melakukan pengaduan dan merasa dirugikan,
apabila tidak dilakukan pengaduan maka dalam hukum positif perbuatan zina tersebut
tidak termasuk kategori perbuatan pidana dan tidak dapat dilakukan pembuktian
terhadap perbuatannya. Dalam hal ini dapat kita ambil contoh, apabila A dan B berzina
pihak C yang merupakan suami/istri A melakukan pelaporan kepada pihak yang
berwajib, maka A sebagai pelaku dianggap telah melakukan perbuatan overspel yang
dilarang dalam KUHP. Sedangkan kedudukan yang berlaku bagi pihak B (lawan main
A) adalah sebagai saksi, demikian pula bagi B, apabila pihak D yang merupakan
istri/suami B merasa dirugikan ikatan perkawinannya dan melakukan pelaporan kepada
pihak yang berwenang, maka B akan dibuktikan perbuatannya dan dijatuhi
hukumannya dengan menjadikan A sebagai saksi atas perbuatan B.19
(2) Bentuk-Bentuk Alat Bukti dan Pembuktian Pidana Jarimah Zina dalam Fiqh dan Qanun
Jinayat
Pembuktian menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata "al-bayyinah" yang artinya
suatu yang menjelaskan. Bayyinah dalam istilah fuqaha, sama dengan syahadah /
kesaksian, tetapi Ibnu Al Qayyim memaknai Bayyinah dengan segala yang dapat
menjelaskan perkara.20 Dalam arti luas pembuktian adalah memperkuat kesimpulan
dengan syarat-syarat bukti yang sah, sedangkan secara arti terbatas pembuktian itu
hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh
tergugat.21
Lebih lanjut, Hasbie Ash-Shidqie menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
membuktikan sesuatu ialah memberikan keterangan dan dalil hingga dapat meyakinkan
dan yang dimaksud dengan yakin adalah sesuatu yang diakui adanya, berdasarkan
kepada penyelidikan atau dalil dan sesuatu yang sudah diyakinkan adanya serta tidak

19
Lihat Putusan tingkat Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 1558 K/Pid/2012
20
Teungku M. Hasbie Ash-Shiddieqie, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1970), hlm.129
21
http://digilib.uinsby.ac.id/10733/5/bab%202.pdf diakses tgl.23/02/2022
bisa lenyap, kecuali dengan datangnya keyakinan lain.22 Dalam Hukum Islam,
keyakinan hakim memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan keyakinan hakim tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Yaqiin. Yaitu si hakim benar-benar yakin (terbukti 100%).
2. Zhaan. Sangkaan yang kuat, yaitu lebih condong untuk membenarkan adanya
pembuktian (terbukti 75-99%).
3. Syubhat Ragu-ragu (terbukti 50%).
4. Waham : Tidak yakin, (terbukti < 50%), pembuktiannya lemah. 23
Suatu pembuktian diharapkan dapat memberikan keyakinan hakim pada tingkat
yang meyakinkan (terbukti 100%) dan dihindarkan pemberian putusan apabila terdapat
kondisi syubhat atau yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan dalam pengambilan
keputusan berdasarkan kondisi syubhat, dapat memungkinkan adanya penyelewengan.
Pembuktian merupakan salah satu tahapan yang menjadi prioritas yang harus dipenuhi
dalam penyelesaian suatu sengketa. Seperti halnya tiga tingkatan kebutuhan yang harus
dilindungi dalam penegakan syariat Islam untuk kemaslahatan umat manusia.24
Dalam proses pembuktian suatu perkara jinayat, diperlukan adanya alat bukti yang
dijadikan sebagai pendukung untuk mengungkapkan dan meyakinkan hakim dalam
memutuskan suatu perkara, dalam hal ini Hasbi Ash-Shiddieqie menyebutkan ada enam
macam alat bukti dalam hukum Islam diantaranya; 25
1. Iqrar (Pengakuan)
2. Syahadah (Kesaksian)
3. Qasamah (Sumpah) Qasamah tidak diberlakukan dalam kasus pidana selain
pembunuhan mulai dari mutilasi organ tubuh dan perusakan harta benda.
4. Nukul (Menolak Sumpah)
5. Keyakinan Hakim
Adapun menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqih Sunnah menerangkan bahwa
dasar-dasar penetapan hukuman had zina dapat dibuktikan dengan beberapa alat bukti
yaitu :
1. Pengakuan (Iqrar)
2. Persaksian, dan

22
Teungku M. Hasbie Ash-Shiddieqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam… hlm.129
23
Ibid., hlm.133
24
Ibid, hlm.130
25
Ibid, hlm.136
3. Kehamilan, dalam hal ini hukuman tidak dapat dijatuhkan berdasarkan kehamilan
semata-mata melainkan adanya pengakuan atau bukti nyata lainnya yang mampu
menjadi penguat bahwa kehamilan tersebut terjadi diluar pernikahan yang sah. 26
Apabila kehamilan terjadi diluar pernikahan yang sah namun seorang wanita
tersebut berada dalam paksaan untuk melakukan perbuatan zina, sebagaimana yang
disebutkan Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’ dari hadist Umar r.a. maka ia
tidak dikenakan hukuman hudud.27
Mengenai kehamilan ini, berdasarkan pasal 44 Qanun Nomor 06 Tahun 2014 ayat (1)
dan (2) Tentang Jinayat menjelaskan bahwa, pemohon yang mengakui perbuatannya
dalam keadaan hamil dapat membuktikan kehamilannya melalui tes DNA (Deoxyribo
Nucleic Acid) untuk membuktikan kebenaran siapa pasangan zinanya dimuka
persidangan sebagai syarat menggantikan kewajiban pemohon dalam menghadirkan
empat orang saksi.
Dari sisi lain, berdasarkan Qanun Nomor 07 Tahun 2013 Tentang Acara Jinayat
terdapat beberapa perbedaan pada macam-macam alat bukti yang diajukan, hal ini dapat
dilihat pada Pasal 181 ayat 1 Qanun Acara Jinayat tentang macam-macam alat bukti
yang dapat dihadirkan di muka persidangan yaitu:
1. Keterangan Saksi; Pada Qanun Nomor 07 Tahun 2013 Tentang Acara Jinayat, bila
ditinjau secara keseluruhan syarat menjadi seorang saksi haruslah dari laki-laki
tidak disebutkan sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep fiqih jinayat, dengan
demikian perempuan diperbolehkan menjadi saksi zina selama kesaksiannya itu
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
2. Keterangan Ahli;
3. Barang Bukti;
4. Surat;
5. Bukti Elektronik;
6. Pengakuan Terdakwa; dan
7. Keterangan Terdakwa;
Pada pembahasan ini, Qanun Jinayat juga membolehkan pengajuan barang bukti
berupa Bukti Elektronik dan Keterangan Para Ahli untuk melihat dan memastikan serta
menunjang keyakinan hakim akan kebenaran sebuah perbuatan jarimah itu dan

26
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah... hlm.110-120
27
Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, Jakarta, Pustaka Azzam: 2010, Cet.II, hlm.370
terdakwa dapat dijatuhi hukuman yang sesuai. Adapun pada ranah pengambilan
keputusan pemberian hukuman dalam Qanun Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Jinayat
bila ditinjau berdasarkan Pasal 180;
(180) seorang hakim dilarang menjatuhkan ‘Uqubat kepada terdakwa kecuali Hakim
memperoleh keyakinan dengan paling kurang 2 (dua) alat bukti yang sah, bahwa suatu
jarimah benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, kecuali
pada jarimah zina. Secara keseluruhan, metode pengambilan keputusan untuk
menjatuhi hukuman bagi terdakwa pada Qanun Jinayat sama dengan apa yang menjadi
konsep dalam Hukum Positif (KUHAP) yaitu adanya keyakinan hakim serta ditambah
dengan 2 alat bukti yang sah yang dihadirkan di hadapan persidangan. Akan tetapi
pengecualian dalam Qanun Jinayat di khususkan terhadap perkara zina yang harus di
buktikan dengan adanya empat orang saksi yang melihat langsung proses yang
menunjukkan telah terjadi perbuatan zina pada waktu, tempat serta orang yang sama.28
Berbeda halnya dengan hukum positif Indonesia (KUHP), pembuktian terhadap
seseorang yang diduga telah melakukan perbuatan zina dalam Islam tidak mendasari
atas pelaporan pihak yang merugikan baik dalam hal ini suami atau isteri maupun orang
lain. Maka dari itu, zina dapat diproses atau dilakukan pembuktiannya apabila terdapat
laporan dari seseorang yang melihat perbuatan tersebut dengan dihadiri empat orang
saksi yang memenuhi syarat melihat secara langsung proses perbuatan zina tersebut
tanpa adanya perantara atau adanya pengakuan dari pelaku bahwa dia telah melakukan
perbuatan zina tersebut. 29
Perkara zina merupakan jarimah yang memiliki konsekuensi yang berat, sehingga
syariat Islam juga memberikan persyaratan yang berat pula dalam pembuktiannya.
Tujuan persyaratan ini untuk menutup jalan bagi siapa saja yang dhalim dengan cara
menuduh orang baik-baik dengan semena-mena telah melakukan perbuatan zina.
Adapun tatacara pembuktian terhadap perkara jarimah zina dalam Islam menurut sistem
pembuktian dalam fiqh adalah ;
1. Pengakuan dari pelaku (Iqrar) Semua ulama hukum mengatakan ikrar merupakan
dalil atau dasar utama bagi penetapan hukuman. Rasulullah SAW, sendiri telah
mendasarkan hukuman atas pengakuan langsung dari Ma’iz (pelaku) dan
pengakuan seorang tertuduh dari suku Ghamidiyah dalam kasus perzinaan mereka.

28
Lihat Qanun Acara Jinayat Pasal 182 ayat (5)
29
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujathid wa Nihayatul
Muqtashid,... hlm. 621
Kekuatan pengakuan sebagai dasar pengambilan keputusan hukum, memang tidak
diperselisihkan lagi, kecuali tentang jumlah pengakuan yang diucapkan tertuduh.30
Tentang bilangan pengakuan yang mengharuskan dijatuhkannya hukuman,
menurut Imam Malik dan Syafi’ie, satu kali pengakuan sudah cukup untuk
menjatuhkan hukuman. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Dawud, Abu T. Sawur,
Ath-Thabari, dan golongan para fuqaha. Abu hanifah beserta para pengikutnya dan
Ibnu Abi Laila berpendapat bahwa hukuman baru dapat
dijatuhkan dengan pengakuan empat kali yang dikemukakan satu persatu.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad dan Ishaq. Abu Hanifah dan para
pengikutnya menambah, pengakuan empat kali itu diucapkan di tempat yang
berbeda-beda.31 Sementara pengakuan yang bagi orang bisu, pemberian isyarat
yang dilakukan oleh orang (bisu) tersebut berkenaan dengan zina dianggap
mencukupi dalam pengambilan keputusan had zina.32
2. Kesaksian Menuduh orang lain berzina merupakan perbuatan yang efeknya buruk
sekali bagi kejatuhan martabat seseorang, kehilangan kehormatan merupakan suatu
ketercelaan baik untuk diri sendiri, keluarga dan keturunannya. Oleh karena sebab
itulah Islam menetapkan syarat-syarat yang ketat untuk diterima atau tidaknya
tuduhan berzina ini sehingga tidak mudah melakukannya (menuduh sembarangan
orang yang belum tentu melakukannya). 33
Adapun syarat-syarat sahnya kesaksian dalam perkara zina adalah;34
1. Empat orang saksi Orang-orang yang menyaksikan perbuatan zina haruslah
berjumlah empat orang, apabila hanya seseorang saja yang memberikan
kesaksian atau tidak mencukupi jumlah kesaksian, maka kesaksiannya tidak
dapat diterima. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an surah
An-Nisa ayat 15;

َ ‫َوالالَّ تِي يَأْتِينَ ْالفَاحِ َشةَ ِم ْن نِ َسا ِئ ُك ْم فَا ْست َ ْش ِهد ُوا َعلَ ْي ِه َّن أ َ ْربـَعَةً ِم ْن ُك ْم ◌ۖ فَإ ِ ْن‬
ِ ‫ش ِهد ُوا فَأ َ ْم ِس ُكو ُه َّن فِي ْالبـُيُو‬
‫ت َحت َّ ٰى يـَتـ َ َوفَّاه َُّن‬
ً‫سبِيال‬ َّ ‫ْال َم ْوتُ أَو َ◌يَ ْجعَ َل‬
َ ‫َّللاُ لَ ُه َّن‬

Artinya; “Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat orang
diantara kamu untuk menjadi saksi. Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian,

30
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah... hlm.110
31
Op,Cit. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujathid wa Nihayatul Muqtashid,... hlm. 617
32
Wahbah Zuhaili Fiqh Imam Syafi’I/ Al-Fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar, (Beirut, Darul Fikr; 2008 Cet.I) hlm.275
33
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah... hlm.113
34
Ibid., hlm.113-117
maka kurunglah wanita-wanita itu dalam rumah hingga mereka menemui ajalnya, atau hingga
َ‫ َوالَّذِين‬Allah memberikan jalan lain kepadanya.” (Q.S An-Nisa; 15) Dan surah An-Nur ayat 4-5;
◌ِ ◌ َ‫َاس قُون‬ ِ ‫ش َهدَا َء فَا ْج ِلد ُو ُه ْم ث َ َمانِينَ َج ْلدَة ً َوالَ تـ َ ْق بـَلُوا لَ ُه ْم َش َهادَة ً أَبَدًا َوأُو ٰلَئِ َك ُه ُم ْالف‬
ُ ‫ت ث ُ َّم لَ ْم يَأْت ُوا بِأ َ ْربـَعَ ِة‬
ِ ‫صنَا‬ َ ‫يـ َ ْر ُمونَ ْال ُم ْح‬
Artinya; “Dan orang-orang yang menuduh wanita- ‫ح ي ٌم‬ ِ ‫ور َر‬ ٌ ُ‫َّللا َغف‬ ْ َ ‫إ الَّ الَّذِينَ ت َابُوا ِم ْن بـ َ ْع ِد ٰذَ ِل َك َوأ‬
َ َّ ‫صلَ ُحوا فَإ ِ َّن‬
wanita yang baik-baik (berbuat zina) kemudian mereka tidak mampu mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka untuk selamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik,
kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya)...” (Q.S An-Nur; 4-
5

Keharusan mendatangkan empat orang saksi dan konsekuensinya jika tidak mampu
menghadirkan, juga dibebankan kepada seorang istri yang menuduh suaminya melakukan zina.
Tetapi tidak sebalikanya kalau suami yang menuduh istrinya.35

Adapun bagi seorang suami yang menuduh istrinya telah berbuat zina tetapi ia tidak
bisa mendatangkan empat orang saksi, maka ia terhindar dari sanksi Qadzaf, dengan cara
mengganti empat orang saksi itu dengan empat kali sumpah Demi Allah bahwa dia benar dalam
tuduhannya ditambah dengan satu pernyataan bahwa dia akan menerima laknat Allah apabila
dia berdusta. Namun sumpah suami itu tidak bisa menyebabkan istri dikenai hukuman, kalau
istri itu juga mengucapkan empat kali sumpah bahwa dia akan menanggung murka Allah kalau
suaminya benar, dengan demikian keduanya tidak dapat dikenakan hukuman hudud.36

2. Saksi haruslah orang-orang yang sudah baligh/cukup umur.


3. Seorang saksi haruslah berakal/sehat akal dan tidak gila.
4. Orang-orang yang menjadi saksi itu haruslah orang yang adil.
5. Yang menjadi saksi haruslah orang Islam.
6. Orang yang menjadi saksi hendaknya mengetahui secara jelas dan detail, bahkan ia
dapat melihat jelas perbuatan zina tersebut.
7. Dalam memberikan kesaksian, para saksi harus menggunakan kata-kata yang jelas
alias tidak berbelit-belit dan bukan dengan kata-kata sindiran.
8. Dalam memberikan kesaksian, para saksi haruslah berada dalam satu majelis, bukan
dalam keadaan yang terpisah baik terpisah tempat maupun waktu antara satu saksi
dengan saksi lainnya.

35
36
9. Yang bertindak sebagai saksi harus laki-laki, bukan perempuan.
10. Peristiwa perzinaan yang disaksikan oleh para saksi merupakan peristiwa yang
masih baru, bukan peristiwa yang lama. Hal ini didasarkan atas perkataan Umar bin
Khattab: “Siapa saja yang bersaksi atas suatu pengadilan, tetapi perkaranya sudah
kadaluwarsa, maka kesaksian tersebut hanya merupakan dendam. Dengan
demikian, maka kesaksiannya tidak diterima”.

Untuk melaksanakan hukuman atas pezina, Islam juga telah menentukan syarat-syarat
yang berat bagi terlaksananya penjatuhan hukuman tersebut antara lain;37

a. Hukuman dapat dibatalkan bila masih terdapat keraguan terhadap peristiwa


perbuatan zina itu. Hukuman tidak dapat dijalankan melainkan setelah benar-
benar diyakini terjadinya perzinaan.
b. Untuk meyakini perihal terjadinya perzinaan tersebut, haruslah ada empat orang
saksi laki-laki yang adil. Kesaksian empat orang wanita tidak cukup untuk
dijadikan bukti, hal ini sama dengan bersaksinya empat orang laki-laki yang
fasiq.
c. Kesaksian empat orang laki-laki yang adil sebagaimana yang disebutkan diatas
masih memerlukan syarat, yaitu bahwa masing-masing mereka melihat persis
proses perzinahan itu, seperti ketika masuknya kemaluan laki-laki ke liang
kemaluan si wanita tersebut. Persyaratan ini sepertinya agak sulit terpenuhi.
d. Andaikata seorang dari keempat saksi mata tersebut menyatakan kesaksian
yang berbeda dari kesaksian tiga orang saksi lainnya, atau salah seorang saksi
mencabut kesaksiannya, maka terhadap mereka (saksi) semuanya dijatuhi
hukuman Qadzaf yakni menuduh orang lain berzina dengan dera/jilid sebanyak
80 kali.
e. Menurut wahbah zuhaili dalam kitab Fiqh Imam Syafi’I mengatakan bahwa
para saksi dalam menyampaikan kesaksiannya haruslah mengawali ucapannya
dengan kalimat ashadul ‘ala annahu zana biha (aku bersaksi bahwa dia telah
berzina dengan perempuan itu), dengan menyebutkan tempat perzinaan
dilakukan.38

37
38
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa persyaratan untuk menjatuhkan had
atau hukuman zina ini sangat sulit terpenuhi. Dan inilah sebabnya hukuman
tersebut lebih ditekankan sebagai upaya pencegahan (preventive) dari pada
pembalasan.39

Pada pembahasan ini dapat dilihat bahwa pada tahap persaksian zina dalam
KUHP, apabila A dan B berzina pihak C yang merupakan suami/istri A
melakukan pelaporan kepada pihak yang berwajib, maka A sebagai pelaku
dianggap telah melakukan perbuatan overspel yang dilarang dalam KUHP
sedangkan kedudukan yang berlaku bagi pihak B (lawan main A) adalah sebagai
saksi. Dalam hal ini 1 (satu) alat bukti perzinaan telah terpenuhi dan hakim
hanya memerlukan 1 (satu) alat bukti lagi untuk meyakinkan hakim dalam
memutuskan perkara. Berbeda halnya dalam Qanun Jinayat, meskipun C
menuduh A benar melakukan zina, apabila C tidak mampu menghadirkan empat
orang saksi selain dirinya, maka tuduhan C tidak dapat diterima, dan B sebagai
lawan main A kedudukannya tidak dapat dijadikan sebagai saksi karena dalam
hal ini B juga dituduh telah melakukan perbuatan zina.

Pembuktian perzinaan dalam Fiqih lebih sukar dari pada pembuktian dalam
KUHP, tuduhan zina dalam KUHP lebih mudah diterima dari pada tuduhan zina
yang terdapat dalam penjelasan Fiqih dan Qanun Jinayat. dengan menjadikan
lawan main tertuduh zina sebagai saksi, maka dalam KUHP satu alat bukti telah
terpenuhi. Sedangkan dalam Fiqih dan Qanun Jinayat tidak dapat menjadikan
lawan main tertuduh sebagai saksi, karena keduanya di kategorikan sebagai
pelaku.

39

Anda mungkin juga menyukai