Anda di halaman 1dari 10

STATUS ANAK ZINA DAN HUKUM MENIKAHI PEREMPUAN ZINA

DALAM PANDANGAN ISLAM

Karya Tulis Ini,Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata

Kuliah Masailul Fiqih Dan Kontemporer.

Dosen Pengampu: Hadi Muhtarom, M.Pd

Disusun oleh:
Arif Khairudin Basyari : 2010
Asri Fatkhum Muniro : 20101817
Nurul Fatikhatus Shilikhah : 2010

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN AN-NUR YOGYAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Status Anak
Zina dan Hukum Menikahi Perempuan Zina Dalam Pandangan Islam” ini tepat pada
waktunya. Tidak lupa sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW. yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat kelak.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah “Masailul Fiqih Dan
Kontemporer”. Yang di bimbing oleh beliau Bapak Hadi Muhtarom M.Pd.,Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar makalah ini
dapat menjadi yang lebih baik lagi nantinya. Demikian apabila terdapat banyak kesalahan
dari makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Bantul, 9 Juni 2022

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penulisan 5
BAB II PEMBAHASAN 6
A. Pengertian Zina, Inseminasi,dan Hukumnya 6
B. Status Anak di Luar Nikah 6
C. Status anak Hasil inseminasi 7
D. Hukum Menikahi Perempuan Zina 13

BAB III PENUTUP 15


A. Kesimpulan 15
B. Kritik dan Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan suatu yang sangat berarti dan
kebahagian bagi keluarga. Karena anak adalah buah pernikahan yang sah dan sebuah
landasan keturunan bagi kedua orang tua. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi
setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan,
dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Anak di
anggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat
mengontrol status sosial peran orang tua.

Dalam syariat ajaran Islam yang memperhatikan nasab dan keturunan. Dalam
rangka menjaga nasab dan keturunan ini lah agama Islam melarang bentuk perzinahan
dan prostitusi serta sangat menganjurkan nikah untuk melangsungkan keturunan umat
manusia agar tidak punah dan mempunyai hubungan kekerabatan yang sah dan jelas.
Dalam hal ini, pelaku zina muhshan, maupun ghairu muhshan harus dikenakan sanksi
hukum rajam atau dera seratus kali.

Menurut kamus besar Indonesia, anak adalah keturunan kedua, sedangkan zina
adalah perbuatan yang bersenggema antara laki-laki dengan perempuan yang tidak
terikat dalam hubungan pernikahan (perkwinan). Istilah ‚anak zina (anak yang lahir di
luar pernikahan)‛ oleh Ma’luf didefinisikan sebagai anak yang dilahiran oleh ibunya
dari hubungan yang tidak sah,. Secara yuridis tidak disambungkan nasabnya kepada
ayahnya atau suami dari ibunya. Oleh karena itu, Ulama sepakat bahwa nasab anak
zina (anak di luar nikah) hanya di hubungkan dengan ibu dan keluarga ibunya saja.
Anak itu sama sekali tidak memiiki hubungan nasab dngan ayahnya.

Ulama fiqih mengatakan bahwa nasab adalah merupakan salah satu fondasi yang
kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antara
pribadi berdasarkan kesatuan darah. Dalam rangka menjaga nasab atau keturunan
inilah ajaran agama Islam mensyaritkan nikah sebagai cara yang dipandang sah untuk
menjaga dan memelihara kemurnian nasab. Islam memandang bahwa kemurnian nasab
sangat penting, karena hukum Islam sangat terkait dengan struktur kekeluargaan, baik
hukum perkawinan, maupun kewarisan dengan berbagai derivasinya yang meliputi hak
perdata dalam hokum Islam, baik menyangkut hak nasab, hak perwalian, hak
memperoleh nafkah, dan hak mendapatkan warisan, bahkan konsep kemahraman atau
kemuhriman dalam Islam akibat hubungan perkawinan. Bersamaan dengan perintah
nikah, dalam hukum Islam juga di haramkan zina, karena zina menyebabkan tidak
terpeliharanya nasab secara sah.

Mengenai pendapat Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, di mana dalam buku


Panduan Hukum Islam menyatakan bahwa status anak zina dapat di ungkap dua
kondisi. Imam Ibnu Qoyyim alJauziyah berpendapat bahwa kondisi pertama anak zina
dengan ayahnya (laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak) tetap memiliki
hubungan kemahraman,. Namun, dalam kondisi lain bahwa anak tidak di tetapkan
hubungannya dengan laki-laki pezina terkait dengan warisan dan nafkah. Jadi dalam
arti bahwa anak zina ini adalah mahram bagi ayahnya karena sebagai anak, namun
bukan anak dalam artian sebagai seorang ahli waris layaknya anak kandung (anak yang
sah menurut hukum)16 Dari gambaran diatas dapat dipahami bahwa pendapat jumhur
ulama, anak yang lahir di luar nikah hanya memiliki nasab kepada ibunya, dan terputus
dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Adapun menurut pandangan Ibnu
Qoyyim al-Jauziah, menetapkan adanya hubungan mahram dengan ayah biologisnya,
namun tidak ada hubungan keperdataan dengan ayahnya. Dari keterangan tersebut,
maka terlihat status anak zina masih banyak kontroversi pendapat dalam masyarakat
Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian Zina
b. Pengertian Inseminasi
c. Status Anak Di Luar Nikah
d. Status anak Hasil Inseminasi

C. TUJUAN MASALAH
a.

b.

c.

d.
BAB II
PEMBAHASAN
a) Pengertian Zina
Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seks antara laki-laki dan wanita tanpa
diikat oleh akad nikah yang sah disebut zina. Hubungan tersebut tanpa dibedakan
apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka beristri atau duda. Secara istilah,
para fuqaha mendifinisikan zina sebagai berikut : Zina adalah memasukkan dzakar ke
dalam faraj yang bukan istrinya, bukan campur secara subhat dan menimbulkan
kelezatan. Sedangkan menurut Taqiyudin dalam Kifayatul Akhyar, 1 menjelaskan,
batasan zina yang mewajibkan had adalah memasukkan minimal hasafah dzakar ke
dalam faraj yang diharamkan, bukan wati’ subhat.
Ada dua macam istilah yang biasa dipergunakan bagi pelaku zina, yaitu zina
muhsan dan zina ghairu muhsan. Yang dimaksud dengan zina muhsan adalah zina
yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah, sedangkan zina ghairu
muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah.
Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhsan yang dilakukan oleh gadis
atau perjaka sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap menganggapnya sebagai zina
yang harus dikenakan hukuman (had) zina. Hanya saja kuantitas dan frekuensinya
hukuman antara zina muhsan dan ghairu muhsan ada perbedaan. Bagi muhsan
hukumannya di rajam sampai mati, sedangkan bagi ghairu muhsan hukumannya
dicambuk seratus kali. Adapun syarat-syarat seorang dapat dikategorikan muhsan
adalah sebagai berikut : Syarat-syarat ihsan ada empat : baligh, berakal, merdeka dan
terdapatnya senggama dalam nikah yang sah.2 Islam melarang zina dengan peringatan
yang keras, bahkan memberikan sanksi pada mereka yang melakukannya. Larangan
yang bijaksana mengenai zina dimulai dengan perintah tidak boleh mendekati zina.
Ditegaskan dalam firman Allah swt. Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk. (al-Isra’; 23)
Ayat di atas melarang untuk mendekati perbuatan zina yaitu segala sesuatu yang bisa
mengakibatkan perzinahan. Zina baru akan dilakukan setelah terlebih dahulu
melakukan pendahuluannya, seperti, memegangmegang, memeluk, mencium, dan
sebagainya. Zina merupakan perbuatan yang keji dan jalan yang terkutuk. Manusia
yang normal dan sadar kedudukannya sebagai manusia pasti akan berpendapat bahwa
seks bebas merupakan perbuatan terkutuk. Oleh karena zina perbuatan yang terkutuk,
maka Islam memberikan sanksi hukuman yang berat kepada masing-masing
pelakunya. Apabila yang melakukan itu belum menikah (gadis atau jejaka) maka ia
akan dicambuk seratus kali. Hal ini dijelaskan oleh Allah swt. : Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya sehingga kamu
tidak menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat,
dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-
orang yang beriman. (An-Nur;2) Adapun orang yang pernah menikah atau sedang
bersuami atau beristri, hukumannya lebih berat lagi, yaitu di rajam sampai dia mati.3
Hal ini disebabkan orang yang berzina muhsan itu pernah merasakan dukhul dalam
pernikahan yang sah. Sehubungan dengan ini, ada sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari Muslim dari Abu Hurairah: Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia
berkata: seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah saw. Beliau sedang berada
di Masjid. Ia memanggilnya seraya berkata, Ya Rasulullah, sungguh saya telah
berzina. Kemudian nabi berpaling tidak menghiraukannya. Ia mengulangi sampai
empat kali (pengakuannya). Setelah empat kali bersaksi atas dirinya (mengakui), nabi
memanggilnya lalu berkata : apakah kamu gila ? ia menjawab : tidak. Kemudian
beliau bertanya lagi. Apakah kamu beristri (muhsan) ia menjawab : ya. Setelah itu
nabi berkata kepada para sahabat : bawalah dia dan rajamlah. Hadits di atas juga
menjelaskan bahwa Islam tidak memberikan hukuman tanpa adanya alat bukti yang
sah dan meyakinkan. Karena itu sebaiknya masalah hukuman zina ditangani dan
diselesaikan oleh pengadilan.1
b) Pengertian Inseminasi
Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari istilah Inggris artificial
insemination. Dalam bahasa Arab disebut al-talqih al-shina’iy. Dalam bahasa

1
Ali Mohtarom, KEDUDUKAN ANAK HASIL HUBUNGAN ZINA MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF, Al-Murabbi:jurnal Pendidikan Islam, volume 3, nomer2, juni 2018.hal.193-194
Indonesia ada yang menebutnya permainan buatan, pembuahan buatan, atau
penghamilan buatan. Batasannya dirumuskan dengan redaksi yang bermacam-macam.
Drh.Djamalin Djanah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan inseminasi
buatan ialah “Pekerjaan memasukan mani (sperma) ke dalam rahim (kandungan)
dengan menggunakan alat khusus dengan maksud terjadi pembuahan”. Secara umum
dapat diambil pengertian bahwa inseminasi buatan adalah suatu cara atau teknk
memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan (coitus). Hukum melakukan
inseminasi menurut para ulama itu boleh asalkan ada ikatan pernikahan yang sah.2
c) Status Anak Di Luar Nikah
Pengertian anak luar nikah Menurut pendapat Hassanain, anak zina adalah, anak
yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Apabila telah terjadi
perkawinan antara suami istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan
anaknya, maka suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila:
a. Istri melahirkan anak sebelum cukup masa kehamilan
b. Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa
perceraian.
jumhur fuqaha memberikan batas minimal masa kehamilan selama enam bulan,
berdasar pada ayat: mengandung dan menyapihnya itu selama tigapuluh bulan (al-
Ahqaf;15). Dalam surat al-Ahqaf ayat 15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah
mengandung dan menyapih yaitu 30 bulan.
Dan Kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya,
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah dan
menyapihkan dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang
ibu bapakmu, hanya kepada Ku lah kembalimu (Luqman;14)
Sedangkan dalam surat Luqman ayat 14 dijelaskan batas maksimal menyapih
adalah dua tahun (24 bulan). Jadi masa mengandung yang paling sedikit adalah 30
bulan dikurangi 24 bulan yaitu 6 bulan. Sedangkan batas maksimal masa kehamilan
menurut Imam Malik adalah 5 tahun.
Imam Syafii memberi batasan 4 tahun, sedangkan Hanafiyah memberi batasan 2
tahun.6 Terlepas dari perbedaan di atas, kenyataannya masa hamil pada umumnya
berkisar antara sembilan bulan sampai satu tahun. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa apabila seorang istri melahirkan anaknya kurang dari enam bulan masa

2
Elang Saepudin Bahtiar, inseminasi Buatan Pada Manusia Menurut Hukum islam, Al-I’tibar:
Jurnal Pendidikan Islam, vol.9No1, Februari 2022, hal. 22
kehamilannya, maka suami bisa mengajukan keberatan atas anak yang dilahirkan itu.
Bahkan secara yuridis anak itu bukan lagi dianggap sebagai anak yang sah. Begitu
pula halnya seorang wanita yang telah dicerai, kemudian ia melahirkan anak pada
masa yang lebih dari sembilan bulan sampai satu tahun, maka anak itu bukan dari
anak suaminya.3

3
Ali Mohtarom, KEDUDUKAN ANAK HASIL HUBUNGAN ZINA MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF, Al-Murabbi, volume 3, nomer2, juni 2018.hal.197
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. KRITIK DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai