Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia modern yang melaju pesat saat ini, yang didukung oleh
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan sistem informasi yang cepat seiring lajunya
perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi. Terutama pada kalangan remaja dimana
teknologi informasi bukan lagi sekedar karena kebutuhan, melainkan telah menjadi tren
(mode) dan gaya hidup (Life Style). Bukanlah masalah jika yang diperoleh tersebut
merupakan hal-hal positif. Dampak tersebut akan menjadi positif apabila digunakan dengan
sebagaimana mestinya. Namun sebenarnya ada dampak negatif yang tidak kita sadari akan
menjerumuskan para remaja kedalam hal-hal yang buruk. Tidak mengherankan bila kalangan
remaja ini mudah terpengaruh hal-hal yang mereka dapat dari informasi teknologi tersebut.
Kebiasaan yang terkontaminasi budaya luar dapat menjerumuskan remaja pada hal-hal
yang melanggar norma-norma ketimuran dan norma agama. Dapat kita ambil contoh
maraknya pergaulan bebas, penggunaan obat-obat terlarang, pesta-pesta yang
mengatasnamakan kasih sayang. Bagi masyarakat ketimuran, utamanya masyarakat
Indonesia pada masa dahulu bersentuhan dengan lawan jenis adalah hal tabu, namun sekarang
ini bagi kalangan muda dan remaja berpacaran merupakan hal biasa bukan masalah besar.
Bahkan orang lain akan menganggap “aneh” atau “kuper” atau “jadul” (istilah saat ini) bila
tidak pacaran. Kebebasan yang tanpa batas itulah yang menyebabkan berbagai jenis
kejahatan, an arkh isme, kebrutalan dan kenakalan remaja saat ini. Sehingga hal – hal yang
tidak seharusnya terjadi pun tidak dapat dielakkan. Banyak praktik aborsi disana-sini hanya
untuk menghilangkan jejak terjadinya kehamilan di luar nikah. Bagi mereka yang tidak mau
menanggung dosa lebih banyak lagi, mau tidak mau harus menikahkan anaknya.

Namun adanya ketetapan pemerintah mengenai nikah hamil sering minimbulkan


pemahaman yang salah kaprah. Ketetapan pemerintah tersebut lebih sering dianggap sebatas
formalitas dan sebuah simbol legalitas. Masyarakat kebanyakan menganggap tidak masalah
melakukan hubungan intim diluar nikah, toh pada akhirnya mereka tetap diperbolehkan
menikah meskipun sudah dalam keadaan hamil sebelum menikah. Padahal maksud dari
adanya ketetapan tersebut adalah untuk melindungi anak-anak yang tidak berdosa yang harus
menanggung kesalahan kedua orang tuanya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi perkawinan ?


2. Bagaimana hukum perkawinan wanita hamil diluar nikah menurut hukum negara ?
3. Bagaimana hukum perkawinan wanita hamil diluar nikah menurut pandangan Islam ?
4. Bagaiman Hukum Wanita Hamil yang Menikah dengan Orang Yang Tidak
Menghamilinya ?
5. Bagaimana status anak yang dilahirkan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi perkawinan.
2. Untuk mengetahui hukum perkawinan wanita hamil diluar nikah menurut hukum
negara.
3. Untuk mengetahui hukum perkawinan wanita hamil diluar nikah menurut pandangan
Islam.
4. Untuk mengetahui Hukum Wanita Hamil yang Menikah dengan Orang Yang Tidak
Menghamilinya.
5. Untuk mengetahui status anak yang dilahirkan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Perkawinan

Perkawinan atau yang dalam bahasa Arab disebut pernikahan adalah suatu akad yang
mengandung diperbolehkannya wathi’ (hubungan badan) dengan lafadz nikah atau tazwij atau
terjemahannya.
Definisi nikah menurut para ulama Fiqih ialah akad yang diatur oleh agama yang
menjadikan kehalalan hubungan suami isteri (A. Rahman al-Jaziri, Al-Fiqhu`ala Mazhahib al-
Arba`ah, jilid IV hal:1-3)
Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Dalam kompilasi hukum Islam bab II pasal 2 juga disebutkan bahwa “Perkawinan
menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Perbedaan mendasar diantara definisi tersebut adalah, dalam konsep agama (Islam) nikah
dengan syarat dan rukun tertentu yang sesuai hukum agama menjadikan kehalalan hubungan
suami-isteri. Sementara dalam konsep negara, perkawinan dengan syarat administrasi yang
telah diatur negara menjadikan hubungan suami-isteri telah “resmi”. Status “kehalalan“
hubungan suami isteri setelah melangsungkan akad nikah menurut Islam itulah yang menjadi
inti ibadah karena menjangkau hubungan tanggung jawab manusia kepada Allah SWT,
sementara status “resmi” menurut UU positif hanya mengikat secara hukum ketaatan
masyarakat terhadap hukum negara.

B. Hukum Pernikahan Wanita Hamil Menurut Hukum Negara

Dalam fikih madzhab Indonesia yang terangkum dalam Kompilasi Hukum Islam
masalah ini tercantum dalam pasal 53

1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dialngsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

C. Hukum Pernikahan Wanita Hamil Diluar Nikah Menurut Pandangan Islam

Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang disyari’atkan Islam untuk mengikat
pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom sehingga menimbulkan hak
dan kewajiban antara keduanya. Islam telah mengatur masalah perkawinan dengan sangat
rinci, dan itu ditunjukkan dalam syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam perkawinan.
Meskipunpun demikian, lembaga perkawinan tetap menghadapi tantangan, bahkan bisa
terancam eksistensinya ketika dihadapkan pada problem sosial tentang masalah kehamilan
yang terjadi di luar nikah. Problem ini menjadi semakin bertambah rumit ketika dalam
kehidupan sosial dewasa ini ternyata kasus ini banyak terjadi di kalangan masyarakat. Kasus
ini tidak hanya menyangkut perbuatan zina dari para pelaku dan hukuman hudud atas
perbuatannya, melainkan juga menyangkut status dan nasib hidup bayi yang ada dalam
kandungannya.
Kawin hamil sendiri adalah perkawinan yang dilaksanakan karena mempelai wanita pada
saat melangsungkan perkawinan tersebut dalam keadaan hamil (pernikahan karena hamil
diluar ikatan pernikahan yang sah).

2
Para ulama berbeda berpendapat mengenai hukum menikahi wanita yang hamil diluar
nikah, apakah mereka dikenakan had (hukuman) atau tidak, sebagian ulama berpendapat
dikenakan had dan sebagian lagi tidak. Selain itu diantara para ulama ada yang berpendapat
bahwa wanita hamil karena zina ada masa iddahnya, dan juga ada yang berpendapat tidak.
Menurut pendapat para ulama tentang masalah ini yaitu :
a. Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Imam Hambali, membolehkan kawin dengan
perempuan yang sedang hamil karena zina, asalkan yang menikahinya adalah laki-laki
yang menghamilinya, sebab hamil yang semacam ini tidak menyebabkan haramnya
dinikahi.
b. Abu Yusuf dan Riwayat Imam Abu Hanifah, bahwa tidak boleh menikahi wanita
yang hamil karena zina, sebelum ia melahirkan, agar nutfah (darah) suami tidak
bercampur dengan tanaman orang lain.
c. Riwayat lain Abu Hanifah, bahwa perkawinan dengan perempuan berzina yang
hamil, sah, tetapi tidak boleh melakukan coitus/hubungan badan sebelum anaknya
lahir.
d. Imam Muhammad As-Syaibani, bahwa perkawinan dengan wanita yang dihamili
laki-laki lain hukumnya sah,tetapi haram baginya melakukan hubungan  badan hingga
bayi yang dikandungnya lahir.
e. Ibn Qudamah, pendapatnya sejalan degan  imam muhammad As-Syabani, namun
beliau menambahkan bahwa,wanita itu harus terlebih dahulu dipidana dengan pidana
cambuk.
f. Prof.Abdul Halim Mahmud, bahwa akad nikah perempuan yang hamil diluar nikah
sah. Apabila rukun syaratnya pernikahan terpenuhi,seperti wali saksi,dan
mahar.adapun status hukum hubungan sebelum akad adalah hubungan zina,berdosa
dan pelanggaran hukum. Bagi laki-laki dan perempuan yang melakukannya, hukuman
dan sanksinya disesuaikan dengan  pelaku perzinahan.

D. Bagaimana Hukum Wanita Hamil Yang Menikah Dengan Orang Yang Tidak
Menghamilinya

Berdasarkan sebab turunnya surat An Nur ayat 3,dapat diketahui bahwa Allah
mengharamkan seorang laki-laki yang bukan menghamilinya menikahi wanita yang hamil
karena zina. Hal ini bertujuan untuk menjaga kehormatan laki-laki yang beriman.
Ketentuan ini  diatur juga oleh undang-undang perkawinan maupun Kompolasi
Hukum Islam  pasal 53 ayat 1 yang berbunyi : “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”
Dari ketentuan pasal 53 diatas, KHI secara tegas mengatur bahwa perkawinan hamil
dapat dilakukan asalkan yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya. Ketentuan
ini juga sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran surat  An-Nur ayat 3 yang
artinya “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”.
Persyaratan ini dipertegas lagi oleh surat Al-Baqarah ayat 221 yang artinya ”Bahwa selain
laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil diharamkan oleh Allah untuk
menikahinya”. Perkawinan semacam ini juga tidak perlu menunggu habis masa iddah
wanita  hamil tersebut,dan tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandungnya lahir.
Menurut  pendapat para ulama tentang masalah ini yaitu,
a. Abu hanifah dan imam syafi’i  berpendapat bahwa, menikahi wanita hamil yang
dinikahi laki-laki lain hukumnya sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang
lain, dan boleh mengumpulinya karena janin yang telah ditanam tidak akan ternoda
oleh benih yang ditanam.
b. Imam Abu Yusuf, bahwa perkawinannya fasid(batal). Hal ini didasarkan kepada ayat
3 surat An –Nur.
c. Imam Muhammad as-Syaibani, bahwa perkawinan dengan wanita hamil sah,tetapi
haram melakukan hubungan badan ,sampai anak yang dikandungnya lahir.
Pemikirannya ini menghendaki pemisahan perkawinan hamil dengan anak yang
dikandung agar tidak terjadi ikhtilath nasab/percampuran keturunan.

3
d. Malik dan Ahmad,tidak sah menikah dan tidak boleh bergaul,dimana wanita hamil
karena zina wajib iddah dan tidak sah aqad nikahnya,karena tidak halal menikahi
wanita hamil sebelum melahirkan.
e. Abu yusuf dan Zafar, karena wanita itu hamil dari  hubungan dengan lelaki lain,maka
haram menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil lainnya, karena hamil
itu mencegah bersetubuh,maka juga mencegah akad nikah,sebagaimana hamil yang
ada nasabnya.Oleh karena tujuan nikah itu menghalalkan hubungan badan dan apabila
tidak berhubungan badan maka pernikahan itu tidak ada artinya.
f. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada sabda Nabi Muhammad S.A.W
“barang siapa yang beriman kepda Allah dan Hari Akhir maka
janganlah  menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.” ( H.R.Abu Dawud) dan dasar
berikut ini, “perempuan hamil dilarang dinikahi sampai ia melahirkan.” (H.R.Abu
Dawud).
g. Drs.Cut Anwar,MA, mengatakan bahwa tidak sah menikah karena larangan-larangan
yang dikemukakan ayat Al-Quran yang secara tegas melarangnya, dilihat dari sudut
biologis dengan menikahi wanita yang tidak halal digauli(untuk sementara) menjadi
kesulitan bagi laki-laki,karena sulit bagi seorang laki-laki membebndung
syahwatapalagi mereka tinggal serumah.Ia juga khwatir apabila si laki-laki tergelincir
melakukan larangan itu. Maka menurutnya lebih baik tidak menikah dari pada
menikah tapi tidak boleh berkumpul.

Sedangkan pernikahan dengan orang yang menghamilinya menurut para ulama hukumnya
sah, mereka boleh berhubungan layaknya suami istri. Dan ini juga tidak bertentangan dengan
isi surat An-Nur ayat 3, karena status mereka sebagai pezina. Tetapi seorang yang menghamili
wanita kemudian melaksanakan akaq nikah, masalahnya tidak selesai,karena mereka telah
berdosa dan melanggar hukum Tuhan,maka mereka wajib bertaubat yaitu taubat
nasuha.Menikahkan wanita pezina dengan laki-laki yang menzinahinya adalah sah,apabila
syarat dan rukunnya terpenuhi seperti wali,saksi,dan mahar. Adapun status hukum hubungan
sebelum akad adalah hubungan zina ,dosa dan pelanggaran hukum,laki-laki dan perempuan
yang melakukannya adalah pelaku pelanggaran hukum dan sanksinya adalah sanksi yang
biasa yang dikenakan kepada pelaku perzinahan.

E. Status Anak Yang Dilahirkan

Islam secara tegas telah menyatakan tentang larangan mendekati zina. Larangan tersebut
diberlakukan karena efek dari zina adalah mengarah pada pengkaburan keturunan. Termasuk
dalam kategori jalan pengkaburan tersebut adalah pengabsahan anak melalui nikah hamil. Hal
ini karena tidak semua yang menikahi wanita itu adalah laki-laki yang menghamilinya.
Kalaupun yang menikahi itu adalah yang menghamilinya, namun konsepsi[9] janin itu terjadi
sebelum pernikahannya, sehingga anak tersebut tetap dianggap anak zina.

Dalam konsep Islam, definisi anak sah itu didasarkan pada saat terjadinya konsepsi janin
dalam rahim ibunya. Konsepsi tersebut terjadi setelah pernikahan ayah dan ibunya. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa anak sah adalah anak yang lahir sebagai akibat dari adanya
pernikahan.

Para ulama memberikan batasan kelahiran minimal 6 bulan setelah pernikahan. Hal ini
merujuk pada dua ayat al quran :

‫صلُهُ فِ ْي ءَأ َمي ِْن‬ َ ‫صيِنَ ْاا ِال ْن َس‬


َ ِ‫ان بِ َواِل َد ْي ِه َح َملَتَهُ اُ ُّمهُ َو ْهنًا َءلَى َو ْه ٍن َّوف‬ َّ ‫َو َو‬

ِ ‫ي ْال َم‬
‫ص ْي ُر‬ َ ‫اَ ِن ا ْش ُكرْ لِ ْي َولِ َوالَ ِد ي‬
َّ َ‫ْك اِل‬

4
Artinya : Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya;ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembal dimu.(Luqman:14)

َ ‫ان بِ َوالِ َد ْي ِـه اِحْ َسـا ًن َح َملَهُ اُ ُّمهُ ُكرْ هًا َّو َو‬
ُ‫ض َعتَه‬ ْ َ‫ص ْين‬
َ ‫ـاا ِال ْن َس‬ َّ ‫َو َو‬

َ ‫صلُهُ َشلَ ُش ْو َن َش ْهر‬


‫ًا’حتَّ ْى اِ َذا بَلَ َغ اَ ُش َّدهُـ َوبَلَ َغ اَرْ بَ ِعي َْن‬ َ ِ‫ا’و َح ْملُهُ َوف‬
َ ً‫ُكرْ ه‬

‫ي َو َعلَى‬ َ ‫ك الَّتِ ْي اَ ْن َع ْم‬


َّ َ‫ت َعل‬ َ َ‫ـال َربِّ اَ ْو ِز ْعنِ ْي اَ ْن اَ ْش ُك َرنِ ْع َمت‬
َ َ‫َسنَةً ق‬

ُ ‫ضهُ َواَصْ لِ ْـح لِ ْي ِف ْي ُذرِّ يَّتِ ْي اِنِّ ْي ىتُب‬


‫ْت‬ َ ‫ي َواَ ْن اَ ْع َم َل‬
َ ْ‫صالِحًاتَر‬ َّ ‫َوالِ َد‬

‫ْك َواِنِّ ْي ِم َن ْال ُم ْسلِ ِمي َْن‬


َ ‫اِلَي‬
Artinya : Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah
payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan.(Al Ahqaaf :15)

Definisi tersebut secara otomatis mengecualikan bahwa semua anak yang lahir diluar
pernikahan adalah anak tidak sah (anak zina). Termasuk dalam pengertian ini adalah anak
yang dilahirkan dalam pernikahan, namun konsepsi janin terjadi sebelum pernikahan.

Konsep Islam ini berbeda dengan konsep yang ditawarkan oleh Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Dalam KHI pasal 99 disebutkan anak yang sah
adalah:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Rumusan tersebut senada dengan rumusan Undang-Undang Perkawinan pasal 42 yang


menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
Dari kedua rumusan senada tersebut dapat ditarik pengertian bahwa anak sah adalah
anak yang lahir “dalam perkawinan” dan anak yang lahir sebagai “akibat perkawinan”.
Pengertian pertama (dalam perkawinan) memberikan implikasi bahwa semua anak yang
lahir dalam perkawinan, baik proses terjadinya konsepsi janin itu sebelum atau setelah
pernikahan dianggap sebagai anak yang sah. Dengan demikian, anak yang dilahirkan dari
perbuatan zina dapat dianggap sebagai anak sah apabila kelahirannya terjadi dalam sebuah
pernikahan.
Sedangkan pengertian yang kedua (sebagai akibat perkawinan) memberikan pengertian
bahwa anak yang sah adalah anak yang memang benar-benar dibenihkan oleh ayah dan ibunya
dalam ikatan pernikahan. Anak yang menjadi akibat dari perkawinan adalah anak yang sejak
awal konsepsinya sebagai janin dalam kandungan ibunya terjadi setelah ayah dan ibunya
terikat pernikahan. Kelahiran anak yang merupakan akibat perkawinan tidak hanya terjadi
dalam perkawinan saja, tapi boleh jadi kelahiran itu terjadi setelah adanya pernikahan.
Maksud dari pernyataan kelahiran setelah pernikahan adalah kelahiran yang terjadi pada saat
ayah dan ibunya sudah tidak terikat pernikahan. Hal tersebut dikarenakan perceraian
keduanya atau ayahnya meninggal namun konsepsi janin terjadi dalam pernikahan tersebut.
Konsep ini sejalan dengan konsep yang diajarkan oleh Islam. Dalam ajaran Islam, anak sah

5
itu memiliki hubungan perdata dengan orang tuanya baik ayah maupun ibunya. Hubungan
tersebut berlanjut sampai kakek atau nenek dari kedua orang tuanya dalam garis lurus ke atas.
Akan tetapi bagi anak Zina (anak luar nikah) hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan rumusan Kompilasi hukum Islam pasal
100:

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya”.

dan Undang-Undang Perkawinan pasal 43 pasal 1:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya sebagaimana
disebutkan dalam UUP, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki da
perempuan untuk membentuk sebuah keluarga yang tentram, sakinah, warohmah, mawardah
sesuai aturan agama dan negara.

seorang wanita yang hamil diluar ikatan perkawinan yang sah dapat dinikahkan
dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak dalam kandungannya.
Pekawinan tersebut terus berlaku selama tidak ada perceraian sehingga perkawinan yang telah
terlaksana tidak perlu diulang kembali meskipun sudah melahirkan anaknya.

Dasar pertimbangan yang dipakai dalam Kompilasi Hukum Islam dalam menetapkan
perkawinan adalah QS An Nur ayat 3

ٍ ‫اَل َّزانِ ْي الَيَ ْن ِك ُح اِالَّ َزاِنِيَةً اَ ْو ُم ْش ِر ُكةً َّؤ ال َّزانِيَةُ الَيَ ْن ِك ُحهَااِالَّ َز‬
ٌ ‫ان اَ ْو ُم ْش ِر‬
‫ك َوحُرِّ َم‬
‫ك َع َل ال ُمْؤ ِمنِي َْن‬ َ ِ‫َذل‬
Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-
laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
yang mu’min. (QS. An Nur 24 : 3)

Adapun fenomena yang terjadi saat ini, yakni banyak terjadinya kehamilan sebelum
pernikahan, terdapat banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqih. Namun Indonesia
sebagai negara hukum telah mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan
dalam formulasi hukum tersendiri dengan tidak meninggalkan kaidah-kaidah agama,
termasuk didalamnya masalah kawin hamil dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Adanya perkawinan pasca kehamilan telah memberikan dampak terhadap status anak yang
dilahirkan karena dalam agama, UUP dan KHI menyatakan bahwa anak yang dilahirkan
nantinya hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

B. Saran

Demikianlah makalah studi kasus ini penulis buat, dengan harapan akan memberikan
inspirasi terhadap kaum muda terutama para remaja agar lebih berhati-hati dalam pergaulan,
jangan sampai mendekati zina karena sangat dilarang oleh agama.

Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini yang tentunya
tidak lepas dari keterbatasan penulis. Karena itulah saran dan kritik yang membangun sangat
penulis nantikan untu dapat menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi semuanya, bagi pembaca pada umumnya serta bagi penulis khususnya. Amin ya Robbal
‘al amin.

7
DAFTAR PUSTAKA

1. Sayyid Ahmad Bin Umar Al Syathiry Al ‘Alawy Al Husainy Al Tarimy, Al Yaqut


An Nafis Fi Madzhabi Ibni Idris, Surabaya : Al Hi dayah, Hal .141.

2. Hj.Mursyidah Thahir, http://www.muslimat-nu.or.id/index.php, 12/15/2013,

3. Departemen Agama, 2001, ”Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Direktorat


Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam

4. Huda,Nurul, 2009, Kawin Hamil Dalam Kompilasi Hukum Islam,


http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/2277, 15/12/2013

5. Drs. Cut Aswar,MA.1994. Problematika Hukum Islam Kontemporer.


Jakarta:Pustaka Firdaus

6. Drs. H.M. Anshary MK,S.H,M.H. 2010. Hukum perkawinan di


indonesia: masalah-masalah krusial. Jakarta: Pustaka    Pelajar

Anda mungkin juga menyukai