Nim : 191110012 Jurusan : HKI A 6 MK : TUGAS RESUME MASAIL FIQIYAH
1. Hukum menikahi wanita hamil karena zina
Hukum menikahi wanita hamil ini tergantung bagaimana cara pandang mereka masing-masing bisa menjadi sah dan bisa menjadi tidak sah dalam QS an nur (4): 3 Artinya "laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan dengan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin". Penjelasan para mufassir Ibnu Katsir “inilah penjelasan dari Allah bahwa laki-laki penzina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita penzina atau wanita musyrik artinya ia tidak boleh mengikuti keinginannya untuk menikah kecuali dengan wanita yang suka maksiat atau musyrik yang tidak menganggap lagi hukum keharamannya.” Adapun menurut Al qurtubi menjelaskan, maksud maksud dari ayat ini adalah menegaskan keburukan perbuatan zina dan pelakunya sehingga diharamkan kepada orang-orang beriman menikah dengannya. “ Bila melihat pendapat imam mazhab antara lain: 1. Ibnu Hamzah bahwa keduanya boleh dinikahkan dan boleh juga bercampur dengan syarat apabila keduanya telah dijilid (dicambuk) dan diasingkan titik setelah itu kemudian bertaubat dengan taubatan nasuha dan menyesali apa yang telah diperbuatnya. 2. Menurut abu Hanifah dan Al Syafi’i mengatakan wanita yang zina itu tidak dikenai had (cambuk), karena mungkin wanita tersebut dipaksa, atau mendatangi wanita tersebut sedang tidur, maka boleh menikah dalam kondisi wanita tersebut hamil. Dalam kondisi belum tersedia intuisi yang dapat mengeksekusi hukum had (cambuk) tersebut, maka cukup bertobat dengan taubatan nasuha banyak yang beramal sholeh menyesal dengan penyesalan yang mendalam berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya sebagaimana firman Allah dalam QS Al Furqon (25):68-71. 3. Adapun dalam kompilasi hukum Islam BAB 111 pasal 53 dinyatakan (1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan dalam ayat 1 dapat dilakukan tanpa menunggu lebih terdahulu kelahiran kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung telah dilahirkan. akibat hukum anak yang lahir diluar nikah Status anak yang lahir diluar nikah atau zina ialah dikutip dari pendapat husainan Muhammad ma’ruf tentang hasil anak zina: “anak zina ialah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Dan anak Lian ialah anak yang secara hukum tidak dinasatkan kepada bapaknya, setelah suami istri saling melihat dengan sifat (tuduhan) dengan jelas. " Pada dasarnya anak hasil hubungan tidak sah itu sama dengan anak yang dilahirkan dengan status pernikahan yang sah semua anak adalah suci dari segala dosa, yang berbeda dosa adalah kedua laki- laki dan perempuan itulah yang berbuat sebagaimana Rasulullah bersabda dalam hadis "tidak setiap anak dilahirkan suci bersih ( menurut fitrah) ......” (hr.bukhari ) mengenai akibat hukum anak yang lahir diluar nikah ada berapa pendapat antara lain Ulama 4 mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) mereka mengatakan tidak ada had karena mungkin wanita itu dipaksa atau hakim mendatanginya sedang tidur dan perkawinan keduanya adalah sah dan boleh bercampur karena tidak mungkin nasab (keturunan bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya dan demikian status anak itu anak zina karena yang dinikahi itu bukan laki yang menzinahi ibunya bila pria yang mengawini ibunya itu laki-laki yang menghamilinya maka ada beberapa perbedaan Bayi yang dilahirkan itu sebagai anak Cina, bila saat ibunya dinikahi itu usia kandungannya berusia di atas 4 bulan Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah di luar nikah. Pada dasarnya nasab anak zina itu dihubungkan kepada ibunya Menurut wahbah ajuhaili yaitu menetapkan batas waktu kelahiran anak dihitung sejak terjadinya akad nikah, karena kehamilan seorang itu agak sulit diketahui oleh orang lain menurutnya bila bayi itu lahir setelah 6 bulan dihitung sejak perkawinannya maka bayi itu dinishabkan pada suaminya, akan tetapi jika kurang dari 6 bulan maka dinasabkan pada ibunya. 2. Iddah bagi wanita karir Pelarangan bagi wanita yang sedang menjalani Ida dan kebetulan mereka juga melakuni pekerjaan atau disebut juga wanita karir itu tentu pelanggaran seperti keluar rumah itu sangat membatasi agar gerak mereka dalam menjalankan aktivitasnya. Kemudian untuk berhias diri sebagai pekerja tentu ada batasan-batasan mereka gunakan sebagai wanita yang sedang beribadah titik profesionalitas dalam bekerja juga akan menjamin dia untuk tetap menjalankan masa iddahnya dan menjalankan tugasnya dalam bekerja. Batasan-batasan wanita yang sedang beribadah memang harus dikaji apalagi dengan melihat zaman seperti ini wanita yang tidak beribadah maupun beribadah mereka harus keluar rumah untuk menakuti kegiatan sebagai wujud tanggung jawab mereka sebagai orang tua akan tetapi mereka mempunyai batasan tersendiri apalagi bagi mereka yang sedang ber iddah . Wanita-wanita karir yang beraktivitas di luar rumah dianggap melanggar tradisi baik secara adat masing-masing masyarakat setempat ataupun tradisi hukum Islam, sehingga wanita yang sedang mengalami masa iddah tersebut dikucilkan titik sejalan dengan perkembangan zaman yang menuntut wanita bisa bergerak bebas aktif di luar tentu jika mengalami masa iddah dengan konteks dia sebagai wanita karir tentu profesional sebagai wanita karir dan wanita yang dalam masa iddah harus diperhitungkan setidaknya dalam menjalani idah dan ih dah harus terlihat situasi. Pada zaman milenial ini tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja titik karena perempuan dapat bertanggung jawab dan berdedikasi tinggi dalam menjalankan tugasnya. Namun ketika perempuan ada pada masa iddah karena ditinggal mati oleh suaminya atau cerai oleh suaminya maka baginya idah titik dalam menjalani proses iddah itulah dibolehkan ia keluar rumah untuk bekerja secara profesional asalkan tidak melakukan hal-hal negatif apalagi melakukan pernikahan yang haram di masa iddah perempuan yang sedang melakukan iddah diikuti pula oleh itu masa berkabung namun pada masa berkabung ini bukan berarti pertemuan harus berdiam diri dan berpangku tangan dengan meninggalkan profesi yang merupakan tanggung jawabnya. 3. Peristiwa ijab kabul dalam pernikahan ini sebetulnya masih jauh akan dilakukan oleh bangsa Indonesia akan tetapi kasus ini pernah terjadi, sebagaimana yang ditulis dalam bukunya Muhammad Ikhwan pernikahan via telepon yang dialami oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam saat itu calon mempelai wanita berada di Indonesia sedangkan calon mempelai laki-laki berada di Amerika. Menurut pendapat Muhammad Ikhwan, bahwa syarat bisa dilaksanakannya nikah via telepon kaitannya dengan jarak yang memisahkan kedua calon suami istri jika keduanya tinggal pada negara yang berkelainan karena disebabkan menunaikan hajat pokok dalam waktu lama yang ditentukan oleh pihak luar maka hal itu dapat membolehkan dilaksanakannya nikah via telepon titik tentu saja tidak jika hal tersebut jika kedua calon suami istri sama-sama menghendaki untuk itu dengan dasar keinginan yang sesuai dengan tuntutan syara jika nikah itu dilaksanakan Karena kekhawatiran akan terjerumus kepada maksiat maka walaupun melalui telepon asalkan memenuhi berbagai persyaratan nikah itu perlu disegerakan. Sombong dan ijab kabul via telepon nampaknya ada kesamaan dengan kasus Rasulullah saat menikah hai seorang wanita yang bernama umu habibati Abi Sufyan selanjutnya Muhammad Ikhwan mengatakan bahwa adapun dalam keadaan calon suami istri berpisah tempat namun dengan mudah dapat berhubungan dalam artian tidak akan mengorbankan hajat pokok yang sedang dihadapi maka tidak boleh dilaksanakan nikah dengan telepon, dengan alasan bahwa nikah adalah suatu pekerjaan dan tanggung jawab yang mulia sehingga oleh karenanya harus dihadapi dengan segala kesungguhan titik lebih dari itu, nabi sendiri mungkin tidak akan diwakilkan andai kata beliau tidak melakukan sesuatu yang sangat penting yang tidak bisa ditinggalkan selain itu yang dijadikan rujukan oleh pengadilan agama Jakarta Selatan tentang hadits riwayat Ummu Habibah menjelaskan tentang wakil dalam pelaksanaan akad nikah, di mana calon suami sama sekali tidak dalam satu majelis baik fisik maupun suara melainkan terwakili oleh seorang lain atas dasar ini menikah melalui telepon suara calon suami dapat didengar dalam satu majelis dan dapat dilakukan komunikasi langsung dengan pihak wali dan saksi. Jadi akan nikah melalui telepon lebih kuat daripada menggunakan wakil Komisi fatwa MUI Jawa timur, mengeluarkan fatwa bahwa akan nikah melalui telepon itu sah dengan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi titik alasan yang harus digunakan adalah hadits riwayat umum Habibah titik selain itu alasan lainnya tidak adanya dalil qod iqomah yang mengatur tentang teknis akad nikah secara masalah teknis tersebut adalah masalah ijtihadiah pengertian satu majelis bukan mutlak harus majelis atau satu tempat akan tetapi bisa diartikan majelis jamani satu waktu Adapun di sisi lain pernikahan melalui telepon terdapat tanggapan yang berbeda beberapa ulama menyatakan bahwa pernikahan melalui telepon tidak sah hal ini dikemukakan oleh Munawir sazali dan ketua MUI pusat titik pendapat ini mengacu kepada pendapat imam Syafi'i yang mensyaratkan akad nikah harus satu majelis dalam artian satu tempat. Disamping itu akan nikah berarti tangan Budi (ibadah), sehingga jika dilaksanakan melalui telepon tidak sah hukumnya.
4. Bunuh diri dan euthanasia
bunuh diri dan euthanasia terdapat kemiripan diantaranya: Ada yang karena putus asa masalahnya karena belum terselesaikan, seperti mata kuliah yang belum terselesaikan judul yang belum diterima dan lain-lain atau ada karena permasalahan orang tua broken home dll Macam-macam cara digunakan untuk bunuh diri sebagai beriku Ada yang gantung diri dengan tali, ada yang minum Baygon atau racun serangga, dan ada yang lompat dari apartemen, mencari lantai yang lebih tinggi, ada yang menabrakkan diri ke kereta, yang minum ramuan-ramuan yang bisa mematikan orang dan dalam hal tersebut menunjukkan bahwa ketidakmampuan yang menghadapi hidup dengan kenyataan. Orang yang bunuh diri tidak dibenarkan oleh Islam walaupun dalam kondisi apapun titik setiap yang melakukan penghilangan nyawa (bunuh diri) adalah dikategorikan sebagai mendahului Allah SWT atau mendahului takdir akibat dari manusia telah mendahului takdir adalah dosa besar seperti yang dijelaskan oleh firman Allah dalam QS al-baqarah ayat surat kedua ayat ke 29 “.. dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang dan kepadamu Pada ayat tersebut menjelaskan seorang dilarang untuk bunuh diri, membunuh orang lain. Dalam hal ini banyak kasus-kasus bunuh diri khususnya di Indonesia yang terjadi dan kasus-kasus tersebut mengakibatkan pembunuhan dari mulai hal sepele, menjadi akibat karena tidak bersabar dan menyadari bahwa dalam hidup itu banyak permasalahan-permasalahan yang kita hadapi. Bunuh diri bukan merupakan solusi, akan tetapi sebaliknya menambah masalah. Setiap manusia wajib berjuang untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya urusan kematian sudah digariskan dan ditakdirkan oleh Allah yang maha esa Euthanasia ialah dalam pertolongan medis adalah kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Contoh seorang yang sakit kronis seperti kanker stadium 3 diobati ke rumah sakit sudah 1 bulan lamanya per hari harus membayar 7 juta, sedangkan keuangan sudah menipis mobil dan kebutuhan lainnya sudah dijual untuk biaya pengobatan titik karena sudah kehabisan dana maka pihak keluarga pasien atau si pasiennya sendiri merasa sakit sehingga meminta untuk disegerakan untuk mengakhiri kehidupan atau bisa jadi pihak keluarga tidak tega melihat orang tua atau keluarga menderita yang berkepanjangan Euthanasia telah ada sejak zaman Yunani purba merupakan suatu persoalan yang cukup dilematik, baik di kalangan dokter praktisi hukum maupun kalangan agamawan sudut pandang agama ada sebagian yang membolehkan dan ada sebagian yang tidak membolehkan terhadap tindakan euthanasia dengan berbagai macam alasan dan argumentasi. Komisi fatwa majelis ulama Indonesia pusat Ibrahim Husein menyatakan bahwa Islam membolehkan penderita AIDS di euthanasia bilamana memenuhi syarat-syarat berikut obat yang tidak ada vaksin yang tidak ada, kondisi kesehatannya makin parah, atas permintaannya dana atau keluarga serta atas persetujuan dokter adanya peraturan perundang-undangan yang mana mengizinkannya. Hukum bunuh diri atau euthanasia dalam beberapa kasus bunuh diri atau euthanasia menurut hemat orang yang kurang beriman kepada Allah jika seseorang itu memiliki keimanan maka akan memancarkan cahaya iman dan tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang orang yang sabar dalam menghadapi berbagai macam masalah dan ujian dari yang maha kuasa menerima musibah kemudian sabar maka Allah akan memberikan ampunan dan hidayah dan juga akan mendapatkan petunjuk seperti dalam firman Allah QS an-nisa ayat 29 Adapun pendapat para ahli tafsir yang dikutip oleh m Ali Hasan, bahwasanya para ulama dan Ibnu Abbas menafsirkan ayat di atas dengan jangan saling membunuh antara sesama muslim sedangkan Amru bin ash memahaminya dengan jangan bunuh diri. Baik Alquran maupun Al hadits menjelaskan bahwa sesungguhnya orang ingin secepatnya mengakhiri kehidupan (meninggal), baik dilakukan dengan bunuh diri atau dengan cara euthanasia (matinya gampang) adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam. Perbuatan tersebut dianggap telah mendahului Allah karena takdir itu sudah ditentukan masing-masing oleh yang maha kuasa bukan ditentukan oleh manusia itu sendiri dalam hal kematian sedikitpun akal manusia tidak sampai ke sana karena kematian dan kehidupan di luar area manusia maka Allah mengancam dengan ancaman yang tidak akan masuk surga.