PERJODOHAN
1. Pengertian Perjodohan
wali yang bersifat lebih mengikat, dan lebih sering dilakukan tanpa sepengetahuan
anak yang dijodohkan. Perjodohan tidak sama dengan praktek kawin paksa,
bagian dunia (di mana individu mencari dan memilih pasangan mereka sendiri),
sebaliknya perjodohan biasanya dibentuk oleh orang tua atau anggota keluarga
yang lebih tua. Dalam beberapa kasus, perjodohan melibatkan makcomblang seperti
perkawinan terhadap anak perempuan oleh orang tua atau walinya. Seorang bapak
atau kakek memaksa anak perempuannya yang masih perawan dengan seorang
anggapan bahwa jodoh untuk anak laki-laki ditetapkan Tuhan, sedangkan jodoh
Dalam realitanya, perjodohan merupakan hal yang positif bagi satu pihak,
tetapi seringkali memberikan hasil yang buruk untuk pihak lain, dalam hal ini
adalah calon pasangan suami istri, karena landasan berumah tangga ialah rasa kasih
1
Muhammad Rusli, Memang Jodoh (Bandung: Mizan, 2013), hal. 43.
sayang dan tanggung jawab. Sedangkan pada faktanya adalah mayoritas mereka
Kewajiban untuk menikahkan anaknya dimiliki oleh orang tua, tapi bukan berarti
jika orang tua dapat menikahkan anaknya hanya berdasarkan keinginannya saja.
ketertarikan anaknya, dalam hal ini orangr tua dan anak hendaknya sama-sama
rukun dalam perjodohan tersebut terpenuhi, yaitu adanya rasa saling suka di antara
termasuk perkara yang penting bagi orang tua untuk memperhatikan jodoh anaknya.
kemudharatan bagi keduanya di hari kemudian. Orang tua memiliki tanggung jawab
yang besar untuk memilihkan jodoh yang baik bagi anaknya, sebagaimana dalam
QS. Al-Baqarah: 221. Ayat ini menerangkam haramnya menikahi calon pasangan
yang tidak beragama Islam. Manakala hal ini dibawa kepada konsep perjodohan,
maka orang tua tidak dibenarkan memilihkan jodoh yang tidak seagama dengan
anaknya.2
namanya hak ijbar. Hak ijbar adalah hak ayah atau kakek untuk menikahkan anak
perempuannya, baik yang sudah dewasa maupun masih berusia muda, tanpa harus
memperoleh persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan
ini, para wali memiliki hak guna mengawinkan anak perempuannya yang masih di
sini bahwa dalam mazhab Syafi‟i dikenal istilah ijbar bagi wali mujbir. Wali
mujbir adalah orang tua calon mempelai perempuan, yang dalam aliran Syafi'i ialah
ayah, atau kakek jika ayahnya tidak ada. Meski demikian, hak ijbar ayah atau
kakek tidak serta merta mampu dijalankan dengan sekehendak hatinya. Ulama
diperlukan beberapa syarat, antara lain (1) Tidak adanya permusuhan yang nyata
antara anak perempuan dengan walinya; (2) Tidak ada permusuhan yang nyata
2
Yulia Octavia Rahmat, dkk, “Sistem Perjodohan pada Masyarakat Bentengnge Kabupaten Pinrang Perspektif
Hukum Islam”, Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, Vol. 22 No. 1 (Juni, 2021), hal. 19.
antara dia dengan calon suminya; (3) Calon suami harus sekufu; (4) Calon suami
Terdapat adanya perbedaan mengenai illat (alasan) adanya hak ijbar. Ulama
mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, Atha’, Sya’bi, dan An Nakha’i menyatakan bila
illat hak ijbar yakni keperawanan (al-bakarah), oleh karenanya hak ijbar berlaku
bagi anak perempuan yang masih perawan, baik sudah dewasa ataupun belum.
Sementara ulama mazhab Hanafi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim menegaskan,
illat hak ijbar adalah belum dewasa (shigar) sehingga hak ijbar berlaku bagi anak
perempuan yang belum dewasa saja, jadi tidak berlaku bagi wanita yang sudah
dewasa (baligh).
kesimpulan:
a. Ulama sepakat bahwa hak ijbar tidak berlaku bagi janda (Al-Tsayyib).
b. Ulama sepakat apabila hak ijbar berlaku bagi tiap perempuan yang belum
c. Mereka berbeda pendapat mengenai hak ijbar bagi perempuan yang masih
dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menetapkan hak ijbar atasnya,
mazhab Hanafi seorang wali tidak boleh memaksa perempuan yang perawan,
sudah dewasa dan berakal untuk menikah dengan laki-laki tanpa terlebih
“Nabi SAW menikahiku ketika aku berumur enam tahun atau tujuh tahun dan
Abu Bakar sebagai wali bagi Aisyah. Mengenai hadits ini Imam Syafi’i
menjelaskan “Pernikahan Abu Bakar terhadap Aisyah, putrinya kepada Nabi SAW.
Ketika berumur enam tahun dan berumah tangga ketika berumur sembilan tahun
menunjukkan bahwa ayah lebih berhak atas anak gadisnya (yang belum baligh)
daripada anak gadisnya sendiri. Ketika anak gadisnya telah baligh, maka anak
tersebut lebih berhak atas dirinya daripada ayahnya. Ungkapan ini seakan
gadisnya sampai dia baligh dan pada usia baligh ini harus ada izin anak gadisnya
tersebut menunjukkan bahwa ayah lebih berhak terhadap anak gadisnya daripada
anaknya sendiri. Namun yang perlu mendapat perhatian dari riwayat di atas adalah
bahwa ketika perkawinan terjadi, umur Aisyah baru enam tahun atau tujuh tahun.
Pada umur tersebut seseorang belum bisa diminta pertanggung jawaban atas
saja, mutlak diwakili oleh walinya yang dalam hal ini diwakili oleh ayahnya
sendiri.
Berdasarkan hadis dan keterangan Imam Syafi’i di atas dapat diambil
pelajaran bahwa ketika seseorang anak perempuan belum berusia baligh, maka
ayahnya lebih berhak atas diri anak perempuannya daripada dirinya sendiri.
Namun ketika anak gadis tersebut telah mencapai usia baligh, maka dia lebih
berhak atas dirinya sendiri dari pada ayahnya. Seorang ayah tidak boleh
menikahkan anak perempuannya yang sudah baligh dengan cara paksa, tetapi harus
Larangan menikahkan gadisnya secara paksa, tanpa ada izin dan kerelaan
seseorang dan izin yang diberikan tidak perlu dengan terus terang, tetapi cukup
dengan diam. Secara psikologis, anak gadis masih merasa malu – malu untuk
mengatakan terus terang dan seandainya dia tidak suka terhadap pilihan orang
tuanya, dia akan menangis atau menolak dengan tegas. Mengenai perkawinan
perempuan masih gadis atau sudah janda yang sudah baligh, Imam Syafi’i
mengatakan bahwa tidak ada perbedaan diantara ulama bahwa wali tidak boleh
menikahkan anak perempuannya, kecuali atas izinnya. Izin dari anak perempuan
tidaknya memaksa anak gadis untuk menikah serta mengikuti perkataan atau
perintah orang tua mereka, ini menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i al-
kharaqi dan Al-Qadhi. Selain dari itu, ada beberapa ulam yang berpendapat jika
seorang ayah tidak berhak untuk memaksakan anak putrinya dalam suatu
pernikahan, atau dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai perjodohan, pendapat
tersebut merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Abu Bakar Abdul Aziz bin
Ja’far.6
1. Hakikat Kyai
a. Pengertian Kyai
Arti kyai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebutan bagi alim ulama
(orang yang cerdik dan pandai dalam agama Islam). Untuk penyebutan istilah
tugas yang sama. Untuk persoalan ini, Ali Maschan Moesa dalam jurnal
yang berbeda di setiap daerah, seperti kyai (Jawa), ajengan (Sunda), tengku
5
Zaenul Mahmudi, Sosiologi Fikih Perempuan (Yogyakarta: UII Press), hal. 56.
6
Prayogo Kuncoro Insumar, “Perjodohan sebagai Penyebab Terjadinya Perceraian (Studi Analisis Putusan Hakim
No. 1523/Pdt. G/2015/PA. Sby. Perspektif Maqasid Syariah”, Maqasid: Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 4 No. 2
(2018), hal. 3.
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah)”.7 Kyai
merupakan figur sentral dalam dunia pesantren dan juga faktor determinan
Ronald Alan Lukens-Bull, paling tidak harus memiliki empat komponen, yakni:
dapat disebut kyai apabila memenuhi beberapa kriteria, yakni: pertama, berasal
masyarakat untuk bekerja secara suka rela guna membangun dan membiayai
pesantren. Kelima, mampu mengumpulkan dana dan bantuan tanah wakaf dari
7
Mansur Hidayat, “Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren”, Jurnal Komunikasi ASPIKOM, Vol. 2 No.
6 (Januari, 2006), hal. 386.
Kyai sebagaimana kita ketahui merupakan sentra utama berdirinya pondok
pesantren, tidak ada pesantren tanpa kyai. Menurut Sonhaji (2003), otoritas
kepemimpinan sepenuhnya berada pada kyai. Oleh karena itu keberadaan dan
jika tampil sebagai pemimpin organisasi masyarakat atau organisasi politik, 2).
menjadi panutan moral, dan 4). Pemimpin administratif, kyai berperan sebagai
antara kyai dengan para santri atau bawahan didasarkan atas nilai-nilai agama
pondok pesantren, mengingat hal itu menjadi kewengan mutlak. Jika ada
b. Peran Kyai
8
Muslichan Noor, “Gaya Kepemimpinan Kyai”, Jurnal Kependidikan, Vol. 7 No. 1 (Mei, 2019), hal. 149.
Menurut Lubis, kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pondok pesantren, maju
mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang kyai.
Peranan kyai dalam Pondok Pesantren, masyarakat dan santri adalah sebagai
berikut:
1) Guru Ngaji
2) Tabib
Kyai memiliki tugas sebagai tabib yang diuraikan dalam bentuk berikut: Kyai
mengobati pasien dengan menggunakan alat non medis seperti air, akik dan
lainnya dengan perantara kepada sang illahi untuk mengurus roh halus.
Sebagai rois atau imam tugas kyai tercermin sebagai berikut: imam sholat
rawatib dan shalat Sunnah lainnya, imam ritual slametan, imam tahlilan dan
4) Pegawai Pemerintahanb
sebagai berikut: Kepala KUA atau penghulu, Moddin, PPN, Guru Agama
menfatwakan kitab kuning. Kyai demikian ini menjadi menjadi panutan bagi
perspektif lainnya.
komunitas dan masa yang diikat oleh hubungan keguyuban dan ikatan budaya
jama‟ah, komunitas dan masa yang dipimpinnya. Maka sudah pasti kyai
lembaga pendidikan Pondok Pesantren dan tarekat Islam pada abad ke-19,
yang ada di Pondok Pesantren haruslah atas persetujuan kyai. Bahkan dalam
proses pentransformasian ilmu pun yang berhak menentukan adalah kyai. Ini
terlihat dalam penentuan buku yang dipelajari, materi yang dibahas dan lama
rancang oleh kyai.9 Melihat kajian diatas, peran kyai sangatlah penting dalam
muslimah.
2. Hakikat Santri
a. Pengertian Santri
Santri adalah mereka yang dengan taat melaksanakan perintah agamanya, yaitu
ada 2 pendapat yang dapat dijadikan rujukan. Pertama santri berasal dari kata
“Santri” dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Kedua, kata santri
yang berasal dari bahasa Jawa “Cantrik” yang berarti seseorang yang
mengikuti seorang guru kemanapun pergi atau menetap dengan tujuan dapat
belajar suatu keilmuwan kepadanya. Makna santri secara umum, yakni orang
yang belajar agama Islam dan mendalami agama Islam di sebuah pesantrian
(pesantren) yang menjadi tempat belajar bagi para santri.10 Dari berbagai
asumsi yang sudah di paparkan di atas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa
9
Imam Tabroni, dkk, “Peran Kyai dalam Membina Akhlak Santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Al-Muminah
Desa Simpang Kecamatan Wanayasa”, Jurnal Pendidikan, Sains, Sosial dan Agama, Vol. 7 No. 2 (Desember,
2021), hal. 109.
10
Mansur Hidayat, op.cit., hal. 387.
terdidik dengan matang di dalam pesantren yang menjunjung tinggi nilai
b. Peran Santri
Santri pada umumnya bagi masyarakat awam santri diartikan sebagai orang
atau murid yang mencari ilmu agama dalam sebuah pesantren. Besar kecilnya
yang berada dalam pesantren tersebut. Bagi kebanyakan masyarakat, santri erat
hubungannya bahkan tak bisa lepas dari kata pesantren. Adapun peran santri
dapatkannya. Maka dari itu sudah sepantasnya santri dituntut harus mempunyai
masyarakat ke jalan yang sesuai dengan ajaran islam. Dalam hal mendidik,
santri nantinya akan berperan sebagai pendidik bagi peserta didik di suatu
C. Keluarga Sakinah
11
Idris Sodiq, dkk, “Peran Santri terhadap Kemajuan Filsafat Pendidikan Islam”, TARLIM: Jurnal Pendidikan
Agama Islam, Vol. 3 No. 2 (September, 2020), hal. 143.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakatyang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu
atap dalam keadaan saling ketergantungan.Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu
sayang. Jadi mawaddah warahmah adalah saling mencintai dan saling berkasih
sayang antara suami istri dan anak-anaknya, yang tenang damai, damai saling
warahmah bukanlah suatu hal yang mudah, karena akan banyak sekali hambatan
satu konsep hidup berkeluarga adalah keluarga sakinah, yakni keluarga yang
subsistem dari sistem sosial menurut Al-Quran dan bukanlah sebuah bangunan
keluarga di atas lahan kosong. Seorang akan merasakan sakinah apabila terpenuhi
unsur-unsur hajat hidup spirutual dan material secara layak dan seimbang. Seseorang
yang sakinah hidupnya adalah orang yang terpelihara kesehatannya, cukup sandang,
pangan dan papan, diterima dalam pergaulan masyarakat yang beradab, serta hak-
hak azasinya terlindungi oleh norma agama, norma hukum dan norma susila.14
Keluarga yang sakinah adalah keluarga yang bahagia lahir dan batin, tenang
dan tentram dan masalah-masalah yang perlu dihindari oleh pasangan suami istri
12
Mahmud Al-Shabagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,1994) hal. 130.
13
Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Paraktis: Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan dalam Rumah Tangga
(Salatiga: STAIN Salatiga Press.2006) hal. 33.
14
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahnya (Semarang: CV. Diponegoro, 2000), hal. 5.
yang dapat memicu ketidak tentraman, percekcokan dan perselisihan. 15 Keluarga
sakinah merupakan keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu
memenuhi hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi
suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan lingkungan dengan selaras, serasi
asas yang kuat dan sangat kokoh sehingga menganggapai awan dan bintang-bintag.
Jika bintang-bintang adalah sebuah perhiasan langit, maka rumah tangga adalah
perhiasan-perhiasansebuah masyarakat.17
Islam telah menentukan bangunan bagi sebuah rumah tangga ideal dengan
dasar-dasar yang istemewa dan permanen sehingga tidak ada seorang ahli bangunan
pun yang mampu menyamainya. Untuk itu, marilah kita lihat keistimewaan
ketentuan hukum Islam bagi suami istri demi terciptanya sebuah bangunan yang
kokoh sehingga tidak tergoncang oleh kerasnya kehidupan. Salah satu syarat lain
waramah adalah pertimbangan usia orang yang menikah. Apakah ia sudah siap, yang
berarti dewasa baik fisik, psikis maupun ekonominya. 18 Karena hal ini akan
15
Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas Ke XIV (Jakarta: BP4 Pusat,
2009) hal. 2.
16
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahnya (Semarang: CV.Diponegoro, 2000), hal. 6.
17
Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah (Bandung: Al-Bayan Mizan, 2005)
hal. 20.
18
Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Paraktis: Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan dalam Rumah Tangga
(Salatiga: STAIN Salatiga Press.2006) hal. 35
mempunyai dampak yang sangat besar dalam menentukan pola hidup yang
itu, Islam menganjurkan agar memilih istri yang saleh dan menyatakannya sebagai
agama dengan baik, bersikap luhur, menghormati hak-hak suaminya dan memelihara
a. Karena kekayaannya.
b. Karena keturunannya.
c. Karena kecantikannya.
19
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: PT Al Ma’ruf,1980) hal. 29.
20
Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas Ke XIV (Jakarta: BP4 Pusat,
2009) hal. 5.
Memilih suami yang saleh juga sangat penting demi kokohnya dasar
kehidupan rumah tangga diatas pilar yang kuat. Rumah tangga akan langgeng
jika berada pada alur yang sudah ditetapkan-Nya. Jika hal tersebut terpenuhi, maka
besar kemungkinan akan tercapainya tingkat sosial yang baik, tingkat ekonomi yang
mapan, tingkat pengetahuan yang tinggi dan hal yang terpenting adalah bahwa
Ada pula kriteria tersendiri yang harus dimiliki calon suami, yaitu mampu
memberi sarana dan prasarana hidup yang layak (mata pencaharian yang cukup)
bertanggung jawab atas urusan biaya hidup keluarga dan hal tersebut tidak akan
dapat terpenuhi jika suami tidak memberikan nafkah yang layak untuk
keluarganya.21 Setelah ada calon istri yang baik dan calon suami yang baik maka
cara melangsungkan perkawinanpun harus baik pula. Perkawinan yang baik adalah
mencapai ridha allah adalah tujuan utama ajaran Islam yang bagaikan gunung kokoh
tegar menjulang tak tergoyahkan oleh badai dan tak tergoncangkan oleh topan. Hal
ini diragukan lagi mengingat keagungan ajaran Islam banyak memberi kemudahan,
memberi solusi pemecahan setiap masalah, tidak rumit dan tidak menyusahkan
ataupun melelahkan, karena segala sesuatunya sudah dimudahkan oleh Allah SWT.
Kebahagiaan adalah sebuah mahligai indah yang didasari oleh amal saleh,
iman yang mantap dan hati yang teguh. Inilah tiang penyangga yang sangat penting
21
Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah (Bandung: Al-Bayan Mizan, 2005)
hal. 30.
bagi sebuah perkawinan. Maka jika orang-orang menyangka bahwa sumber
kebahagiaan hanya bertumpuk pada materi, artinya pasangang suami istri harus
sangkaan mereka salah. Orang yang salah pasti terombang-ambing dalam kerugian
untuk menjadi keluarga sakinah maka harus ada kriteria kriteriayang dilaksanakan
keluarga Pra sakinah, Keluarga Sakinah I, Keluarga Sakinah II, Keluarga Sakinah
III, dan Keluarga Sakinah III plus yang dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai
berikut:
melalui ketentuan perkawinan yang syah, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar
spiritual dan material secara minimal, seperti keimanan, shalat, zakat fitrah,
berlaku
9) Berbuat asusila
b. Keluarga Sakinah I
perkawinan yang syah dan telah dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan material
Tahun 2019
2) Keluarga memiliki surat nikah atau bukti lain sebgai bukti pernikahn yang
syah
3) Mempunyai perangkat sholat, sebagai bukti melaksankan sholat wajib dan
dasar keimanan
4) Memiliki Al qur’an
c. Keluarga Sakinah II
1) Tidak terjadi perceraian, kecuali sebab kematian atau hal sejenis lainnya
6) Mampu memenuhi standar makanan yang sehat serta memenuhi empat sehat
lima sempurna
amoral lainnya.
lingkungannya.
7) Melaksanakan ibdah haji secara baik dan benar sesuai tuntunan agama dan
1) Keluarga yang telah melaksanakan ibadah haji dan dapat memenuhi kriteria
oleh masyarakat
8) Tumbuh dan berkembang perasaan cinta kasih sayang secara selaras, serasi
Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah atau akan membina
suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin
keharmonisan diantara suami istri yang saling menyayangi dan mengasihi itu
pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam suatu rumah tangga.
menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang
dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk ketenagan dan
ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya. Untuk
membangun keluarga sakinah minimal ditunjang oleh teladan, cinta ilmu dan sistem
yang Islami. Hanya rumah tangga sakinahlah yang dapat menjadi fondasi tangguh
bagi berdirinya masyarakat dan bangsa yang beradab, maju, dan beriman.22
22
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2012) hal.31.
Untuk menciptakan keluarga sakinah ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan, diantaranya:
yang ada menjadi sebuah sinergi yang menguntungkan dan saling menguatkan.
penting dan berpengaruh di keluarga. Sikap ikhlas menjadi modal dasar yang
c. Orang tua harus mampu memberikan teladan yang baik bagi anakanaknya.
Teladan yang baik dari orang tua akan mempengaruhi perkembangan mental dan
spiritual anak.
h. Berusaha untuk mendampingi pihak istri yang tengah gundah gulana agar dapat
mengatasinya dengan kepala dingin, hati lega dan ridha dan pertolongan Allah
semata.
23
Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas Ke XIV (Jakarta: BP4 Pusat,
2009) hal. 5.