Anda di halaman 1dari 26

BAB II

PERJODOHAN

A. Perjodohan dalam Islam

1. Pengertian Perjodohan

Perjodohan adalah suatu proses perencanaan menjalin suatu keluarga oleh

wali yang bersifat lebih mengikat, dan lebih sering dilakukan tanpa sepengetahuan

anak yang dijodohkan. Perjodohan tidak sama dengan praktek kawin paksa,

perjodohan berbeda dari pernikahan otonom disebut perkawinan cinta di beberapa

bagian dunia (di mana individu mencari dan memilih pasangan mereka sendiri),

sebaliknya perjodohan biasanya dibentuk oleh orang tua atau anggota keluarga

yang lebih tua. Dalam beberapa kasus, perjodohan melibatkan makcomblang seperti

pemimpin agama atau imam.1

Dalam masyarakat muslim masih banyak terjadi pola pemaksaan

perkawinan terhadap anak perempuan oleh orang tua atau walinya. Seorang bapak

atau kakek memaksa anak perempuannya yang masih perawan dengan seorang

lelaki pilihan keduanya. Dalam sebagian masyarakat Indonesia masih banyak

anggapan bahwa jodoh untuk anak laki-laki ditetapkan Tuhan, sedangkan jodoh

bagi anak perempuan merupakan urusan orang tua (ayah).

Dalam realitanya, perjodohan merupakan hal yang positif bagi satu pihak,

tetapi seringkali memberikan hasil yang buruk untuk pihak lain, dalam hal ini

adalah calon pasangan suami istri, karena landasan berumah tangga ialah rasa kasih

1
Muhammad Rusli, Memang Jodoh (Bandung: Mizan, 2013), hal. 43.
sayang dan tanggung jawab. Sedangkan pada faktanya adalah mayoritas mereka

yang dijodohkan akhirnya mengalami kegagalan dalam rumah tangga disebabkan

keduanya sejatinya tidak saling suka, namun perjodohan tetap dilaksanakan.

Kewajiban untuk menikahkan anaknya dimiliki oleh orang tua, tapi bukan berarti

jika orang tua dapat menikahkan anaknya hanya berdasarkan keinginannya saja.

Orang tua seyogyanya lebih bijak dalam menentukan jodoh putra-putrinya. Di

samping ketertarikannya terhadap calon anaknya, ia pun harus memastikan

ketertarikan anaknya, dalam hal ini orangr tua dan anak hendaknya sama-sama

sepakat terhadap calon pasangannya. Keberhasilan pernikahan dapat diukur apabila

keduanya mampu bertahan hingga pada akhir hayatnya.

2. Hukum Perjodohan dalam Islam

Dalam syari’at Islam, perjodohan diatur dengan sedemikian rupa. Selama

rukun dalam perjodohan tersebut terpenuhi, yaitu adanya rasa saling suka di antara

kedua pihak. Kemudian, selama masa perjodohan tersebut tidak mengandung

unsur-unsur yang merusak tatanan perjodohan. Perjodohan haruslah benar-benar

mengedepankan aspek kemaslahatan bersama. Kemaslahatan bersama dalam

perjodohan ini kunci utama untuk diwujudkan, sebab tanpa mengindahkan

kemaslahatan maka jatuhnya seolah perjodohan memaksa, sementara dalam Islam

sendiri, pemaksaan sangatlah tidak dianjurkan.

Menjodohkan seorang anak pada hakikatnya tidak terdapat larangan, bahkan

termasuk perkara yang penting bagi orang tua untuk memperhatikan jodoh anaknya.

Namun terdapat norma-norma yang harus diperhatikan agar tidak menimbulkan

kemudharatan bagi keduanya di hari kemudian. Orang tua memiliki tanggung jawab
yang besar untuk memilihkan jodoh yang baik bagi anaknya, sebagaimana dalam

QS. Al-Baqarah: 221. Ayat ini menerangkam haramnya menikahi calon pasangan

yang tidak beragama Islam. Manakala hal ini dibawa kepada konsep perjodohan,

maka orang tua tidak dibenarkan memilihkan jodoh yang tidak seagama dengan

anaknya.2

Berkaitan dengan persoalan perjodohan, dalam ajaran Islam ada yang

namanya hak ijbar. Hak ijbar adalah hak ayah atau kakek untuk menikahkan anak

perempuannya, baik yang sudah dewasa maupun masih berusia muda, tanpa harus

memperoleh persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan

dinikahkan tersebut, asalkan ia bukan seorang janda. Berlandaskan pada ketentuan

ini, para wali memiliki hak guna mengawinkan anak perempuannya yang masih di

bawah umur, walau tanpa persetujuan yang bersangkutan. Perlu dikemukakan di

sini bahwa dalam mazhab Syafi‟i dikenal istilah ijbar bagi wali mujbir. Wali

mujbir adalah orang tua calon mempelai perempuan, yang dalam aliran Syafi'i ialah

ayah, atau kakek jika ayahnya tidak ada. Meski demikian, hak ijbar ayah atau

kakek tidak serta merta mampu dijalankan dengan sekehendak hatinya. Ulama

madzhab Syafi'i mengungkapkan bahwa untuk dapat mengawinkan anak lelaki di

bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan, sedangkan untuk anak perempuan

diperlukan beberapa syarat, antara lain (1) Tidak adanya permusuhan yang nyata

antara anak perempuan dengan walinya; (2) Tidak ada permusuhan yang nyata

2
Yulia Octavia Rahmat, dkk, “Sistem Perjodohan pada Masyarakat Bentengnge Kabupaten Pinrang Perspektif
Hukum Islam”, Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, Vol. 22 No. 1 (Juni, 2021), hal. 19.
antara dia dengan calon suminya; (3) Calon suami harus sekufu; (4) Calon suami

harus memberikan maskawin yang pantas.3

Terdapat adanya perbedaan mengenai illat (alasan) adanya hak ijbar. Ulama

mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, Atha’, Sya’bi, dan An Nakha’i menyatakan bila

illat hak ijbar yakni keperawanan (al-bakarah), oleh karenanya hak ijbar berlaku

bagi anak perempuan yang masih perawan, baik sudah dewasa ataupun belum.

Sementara ulama mazhab Hanafi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim menegaskan,

illat hak ijbar adalah belum dewasa (shigar) sehingga hak ijbar berlaku bagi anak

perempuan yang belum dewasa saja, jadi tidak berlaku bagi wanita yang sudah

dewasa (baligh).

Dari beberapa pemaparan yang telah dijelaskan, bisa ditarik garis

kesimpulan:

a. Ulama sepakat bahwa hak ijbar tidak berlaku bagi janda (Al-Tsayyib).

b. Ulama sepakat apabila hak ijbar berlaku bagi tiap perempuan yang belum

dewasa (shagirah) dan perempuan yang gila (majnunah).

c. Mereka berbeda pendapat mengenai hak ijbar bagi perempuan yang masih

perawan, dewasa lagi berakal (al-bikr al-balighah al-aqilah). Jumhur ulama

dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali menetapkan hak ijbar atasnya,

sedangkan ulama mazhab Hanafi tidak menetapkannya. Artinya, menurut

mazhab Hanafi seorang wali tidak boleh memaksa perempuan yang perawan,

sudah dewasa dan berakal untuk menikah dengan laki-laki tanpa terlebih

dahulu meminta persetujuan darinya.4


3
Syaiful Hidayat, “Hak Ijbar Wali Nikah dalam Kajian Historis Fiqh Shafi’I”, Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan
Kajian Keislaman, Vol. 3 No. 1 (Juni, 2015), hal. 2.
4
Husnul Haq, “Reformulasi Hak Ijbar Fiqhi dalam Tantangan Isu Gender Kontemporer”, Palastren, Vol. 8 No. 1
(Juni, 2015), hal. 205.
Ketika membahas permasalahan hak ijbar ini, dalam kitabnya Al–Umm,

Imam Syafi’i mengemukakan riwayat tentang kondisi pernikahan Aisyah, yaitu:

“Nabi SAW menikahiku ketika aku berumur enam tahun atau tujuh tahun dan

berkumpul dengan aku ketika aku berumur sembilan tahun.”

Pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad SAW di atas dilakukan oleh

Abu Bakar sebagai wali bagi Aisyah. Mengenai hadits ini Imam Syafi’i

menjelaskan “Pernikahan Abu Bakar terhadap Aisyah, putrinya kepada Nabi SAW.

Ketika berumur enam tahun dan berumah tangga ketika berumur sembilan tahun

menunjukkan bahwa ayah lebih berhak atas anak gadisnya (yang belum baligh)

daripada anak gadisnya sendiri. Ketika anak gadisnya telah baligh, maka anak

tersebut lebih berhak atas dirinya daripada ayahnya. Ungkapan ini seakan

memberikan pemahaman bahwa seorang ayah tidak boleh menikahkan anak

gadisnya sampai dia baligh dan pada usia baligh ini harus ada izin anak gadisnya

(apabila hendak menikahkannya).”

Perkawinan Aisyah dengan Rasulullah yang dilakukan oleh Abu Bakar

tersebut menunjukkan bahwa ayah lebih berhak terhadap anak gadisnya daripada

anaknya sendiri. Namun yang perlu mendapat perhatian dari riwayat di atas adalah

bahwa ketika perkawinan terjadi, umur Aisyah baru enam tahun atau tujuh tahun.

Pada umur tersebut seseorang belum bisa diminta pertanggung jawaban atas

tindakan yang dilakukan, sehingga segala tindakannya, tidak hanya perkawinan

saja, mutlak diwakili oleh walinya yang dalam hal ini diwakili oleh ayahnya

sendiri.
Berdasarkan hadis dan keterangan Imam Syafi’i di atas dapat diambil

pelajaran bahwa ketika seseorang anak perempuan belum berusia baligh, maka

ayahnya lebih berhak atas diri anak perempuannya daripada dirinya sendiri.

Namun ketika anak gadis tersebut telah mencapai usia baligh, maka dia lebih

berhak atas dirinya sendiri dari pada ayahnya. Seorang ayah tidak boleh

menikahkan anak perempuannya yang sudah baligh dengan cara paksa, tetapi harus

atas izin dan kerelaan anak gadisnya.

Larangan menikahkan gadisnya secara paksa, tanpa ada izin dan kerelaan

anak gadisnya tersirat dalam hadis sebagai berikut :

:‫ف ِإ ْذنُ َها؟ قَ َال‬ ِ


َ ‫ يَا َر ُس ْو َل اهلل َو َكْي‬:‫ قَالُْوا‬.‫الَ ُتْن َك ُح اَْألمِّيُ َحىَّت تُ ْستَْأ َمَر َوالَ ُتْن َك ُح الْبِكُْر َحىَّت تُ ْستَْأذَ َن‬
‫ت‬َ ‫َأ ْن تَ ْس ُك‬
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah
(dimintai pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta
izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya
seorang gadis?” “Izinnya adalah dengan ia diam”, jawab Rasulullah. (HR. Al-
Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Hadis ini menerangkan bahwa ayah harus bermusyawarah dengan anak

gadisnya untuk meminta persetujuan apabila ayah hendak mengawinkan dengan

seseorang dan izin yang diberikan tidak perlu dengan terus terang, tetapi cukup

dengan diam. Secara psikologis, anak gadis masih merasa malu – malu untuk

mengatakan terus terang dan seandainya dia tidak suka terhadap pilihan orang

tuanya, dia akan menangis atau menolak dengan tegas. Mengenai perkawinan

perempuan masih gadis atau sudah janda yang sudah baligh, Imam Syafi’i

mengatakan bahwa tidak ada perbedaan diantara ulama bahwa wali tidak boleh
menikahkan anak perempuannya, kecuali atas izinnya. Izin dari anak perempuan

baru mempunyai kekuatan hukum ketika anak tersebut sudah baligh.5

3. Pendapat Ulama tentang Perjodohan

Ada beberapa ulama yang mengungkapkan pendapatnya bahwa boleh serta

tidaknya memaksa anak gadis untuk menikah serta mengikuti perkataan atau

perintah orang tua mereka, ini menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i al-

kharaqi dan Al-Qadhi. Selain dari itu, ada beberapa ulam yang berpendapat jika

seorang ayah tidak berhak untuk memaksakan anak putrinya dalam suatu

pernikahan, atau dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai perjodohan, pendapat

tersebut merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Abu Bakar Abdul Aziz bin

Ja’far.6

B. Kyai dan Santri

1. Hakikat Kyai

a. Pengertian Kyai

Arti kyai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebutan bagi alim ulama

(orang yang cerdik dan pandai dalam agama Islam). Untuk penyebutan istilah

kyai di Indonesia memang berbeda-beda, tetapi substansinya memiliki peran dan

tugas yang sama. Untuk persoalan ini, Ali Maschan Moesa dalam jurnal

penelitian Mansur Hidayat (2016) dikatakan, “ulama juga mempunyai sebutan

yang berbeda di setiap daerah, seperti kyai (Jawa), ajengan (Sunda), tengku

(Aceh), syekh (Tapanuli), buya (Minangkabau), tuan guru (Nusa Tenggara,

5
Zaenul Mahmudi, Sosiologi Fikih Perempuan (Yogyakarta: UII Press), hal. 56.
6
Prayogo Kuncoro Insumar, “Perjodohan sebagai Penyebab Terjadinya Perceraian (Studi Analisis Putusan Hakim
No. 1523/Pdt. G/2015/PA. Sby. Perspektif Maqasid Syariah”, Maqasid: Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 4 No. 2
(2018), hal. 3.
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah)”.7 Kyai

merupakan figur sentral dalam dunia pesantren dan juga faktor determinan

terhadap maju dan mundurnya sebuah pondok pesantren termasuk pendidikan

sistem kurikulumnya bahkan ada pesantren yang tidak menerapkan sistem

kurikulum yang mana merupakan hak preogratif kyai.

b. Syarat menjadi Seorang Kyai

Seorang yang berhak menyandang gelar kyai, seperti dalam penjelasannya

Ronald Alan Lukens-Bull, paling tidak harus memiliki empat komponen, yakni:

pengetahuan, kekuatan spritual, keturunan (spritual maupun biologis), dan

moralitas. Senada dengan ini, Manfred Ziemek menyebutkan bahwa seorang

dapat disebut kyai apabila memenuhi beberapa kriteria, yakni: pertama, berasal

dari suatu keluarga kyai di lingkungannya agar dapat menggunakan kesetiaan

kerabat dan masyarakatnya. Kedua, sosialisasi dan proses pendidikanya dalam

sesuatu pesantren terpandang yang dilengkapi dengan pengalaman dan latar

belakang kepemimpinan yang telah ditanamkan. Ketiga, adanya kesiapan pribadi

yang tinggi untuk bertugas, yakni kemauan untuk mengabdikan kehidupan

pribadinya demi tugasnya di pesantren. Keempat, sebagai pemimpin agama dan

masyarakat untuk bekerja secara suka rela guna membangun dan membiayai

pesantren. Kelima, mampu mengumpulkan dana dan bantuan tanah wakaf dari

warga ekonomi menengah ke atas.

c. Gaya Kepemimpinan Kyai

7
Mansur Hidayat, “Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren”, Jurnal Komunikasi ASPIKOM, Vol. 2 No.
6 (Januari, 2006), hal. 386.
Kyai sebagaimana kita ketahui merupakan sentra utama berdirinya pondok

pesantren, tidak ada pesantren tanpa kyai. Menurut Sonhaji (2003), otoritas

kepemimpinan sepenuhnya berada pada kyai. Oleh karena itu keberadaan dan

perkembangan pesantren ditentukan oleh kekuatan kyai yang bersangkutan.

Dalam teori kepemimpinan tipe kepemimpinan kyai adalah tipe kepemimpinan

otoriter, di mana kepemimpinan menempatkan kekuasaan di tangan satu orang.

Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal, sehingga semua determinasi

“policy” dilakukan oleh sang pemimpin.

Tholhah Hasan berpendapat bahwa, kepemimpinan kyai umumnya tampil dalam

empat dimensi, yaitu: 1). Sebagai pemimpin masyarakat (Community leadher),

jika tampil sebagai pemimpin organisasi masyarakat atau organisasi politik, 2).

Pemimpin keilmuan (Intellectual leader), dalam kapasitasnya sebagai guru

agama, pemberi Fatwa, rujukan hukum, 3). Pemimpin kerohanian (spritual

leader) apabila kyai memimpin kegiatan peribadatan, menjadi mursyid thariqat,

menjadi panutan moral, dan 4). Pemimpin administratif, kyai berperan sebagai

penanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan, pondok pesantren atau

lembaga-lembaga lainnya. Dari banyak kajian hasil sebuah penelitian ada

beberapa model kepemimpinan kyai di pondok pesantren yaitu:

1) Kepemimpinan Religio- paternalistik dimana adanya suatu gaya interaksi

antara kyai dengan para santri atau bawahan didasarkan atas nilai-nilai agama

yang di sadarkan kepada gaya kepemimpinan nabi Muhammad SAW.

2) Kepemimpinan patenarlistik-otoriter, di mana pemimpin pasif, sebagai

seorang bapak yang memberi kesempatan anak-anaknya untuk berkreasi,


tetapi juga otoriter, yaitu memberi kata-kata final untuk memutuskan apakah

karya anak buah yang bersangkutan dapat di teruskan atau di hentikan.

3) Kepemimpinan Legal-Formal, mekanisme kerja kepemimpinan ini

menggunakan fungsi kelembagaan, dalam hal ini masing-masing unsur

berperan sesuai dengan bidangnya, dan secara keseluruhan bekerja

mendukung keutuhan lembaga.

4) Kepemimpinan bercorak alami, model kepemimpinan ini kyai tidak membuka

bagi pemikir-pemikiran yang menyangkut mentukan kebijakan-kebijakan

pondok pesantren, mengingat hal itu menjadi kewengan mutlak. Jika ada

pengusulan-pengusulan pengembangan yang berasal dari luar yang berbeda

sama sekali dari kebijakan kyai justru di respon secara negatif.

5) Kepemimpinan Karismati-tradisional-rasional, yaitu suatu pola

kepemimpinan yang mengacu pada figur sentral yang di anggap oleh

komunitas pendukungnya memiliki kekuatan supranatural dari Allah SWT,

kelebihan berbagai bidang keilmuan, partisipasi komunitas dalam mekanisme

kepemimpinan tidak diatur secara biokratik, membutuhkan legalitas formal

komunitas pendukungnya dengan cara mencari kaitan geneologis dari pola

kepemimpinan karismatik yang ada sebelumnya, pola kepemimpinan yang

bersifat kolektif, dimana tingkat partisifasi komunitas lebih tinggi, struktur

keorganisasian lebih kompleks serta kepemimpinan tidak mengarah satu

individu melainkan lebih mengarah pada kelembagaan, dan makanisme

kepemimpinan diatur secara manajerial.8

b. Peran Kyai
8
Muslichan Noor, “Gaya Kepemimpinan Kyai”, Jurnal Kependidikan, Vol. 7 No. 1 (Mei, 2019), hal. 149.
Menurut Lubis, kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pondok pesantren, maju

mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang kyai.

Peranan kyai dalam Pondok Pesantren, masyarakat dan santri adalah sebagai

berikut:

1) Guru Ngaji

Kyai sebagai guru ngaji dijabarkan secara khusus dalam jabatan-jabatannya di

antaranya sebagai berikut: Mubaligh, khotib, penasihat, guru Diniyah atau

pengasuh dan Qori kitab salaf dalam sistem sorogan.

2) Tabib

Kyai memiliki tugas sebagai tabib yang diuraikan dalam bentuk berikut: Kyai

melakukan pengobatan dengan rukyah (mengobati pasien dengan doa),

mengobati pasien dengan menggunakan alat non medis seperti air, akik dan

lainnya dengan perantara kepada sang illahi untuk mengurus roh halus.

3) Rois atau Imam

Sebagai rois atau imam tugas kyai tercermin sebagai berikut: imam sholat

rawatib dan shalat Sunnah lainnya, imam ritual slametan, imam tahlilan dan

imam prosesi perawatan dan penyampaian maksud atau hajatan.

4) Pegawai Pemerintahanb

Tugas kyai sebagai pegawai pemerintah tercermin dalam tugas-tugasnya

sebagai berikut: Kepala KUA atau penghulu, Moddin, PPN, Guru Agama

Islam, pegawai dinas partai politik, dan pengurus organisasi kemasyarakatan.


5) Pengasuh dan Pembimbing Santri

Kyai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan

menfatwakan kitab kuning. Kyai demikian ini menjadi menjadi panutan bagi

Pondok Pesantren, bahkan bagi masyarakat Islam secara luas. Namun, di

dalam konteks kelangsungan Pondok Pesantren kyai dapat dilihat dari

perspektif lainnya.

6) Pemimpin Non Formal dan Pemimpin Spiritual

Kedudukan kyai pasti sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat

lapisan bawah di desa. Sebagai pemimpin masyarakat, kyai memiliki jama‟ah

komunitas dan masa yang diikat oleh hubungan keguyuban dan ikatan budaya

paternalistik. Petuah-petuahnya selalu didengar, diikuti dan dilaksanakan oleh

jama‟ah, komunitas dan masa yang dipimpinnya. Maka sudah pasti kyai

menjadi seseorang yang ditirukan oleh masyarakat, atau menjadi bapak

masyarakat terutama masyarakat desa.

7) Penggerak Kebangkitan Agama

Menurut Kontowijaya bahwa kebangkitan agama dalam bentuk pembenahan

lembaga pendidikan Pondok Pesantren dan tarekat Islam pada abad ke-19,

dipimpin oleh kyai. Melalui tarekat, pengaruh kyai makin menemukan

momentum untuk berkembang makin luas.

8) Pemegang Kekuasaan Tertinggi

Peran kyai dalam pendidikan Pondok Pesantren adalah sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi yang sifatnya absolut, sehingga dalam seluruh kegiatan

yang ada di Pondok Pesantren haruslah atas persetujuan kyai. Bahkan dalam
proses pentransformasian ilmu pun yang berhak menentukan adalah kyai. Ini

terlihat dalam penentuan buku yang dipelajari, materi yang dibahas dan lama

waktu yang dibutuhkan dalam mempelajari sebuah buku, kurikulum yang

digunakan, penentuan evaluasi, dan tata tertib yang secara keseluruhan di

rancang oleh kyai.9 Melihat kajian diatas, peran kyai sangatlah penting dalam

membina akhlak santri agar memilik akhlakul kharimah, berilmu, memiliki

kemandirian, agar sikapnya mencerminkan keperibadian seorang muslim dan

muslimah.

2. Hakikat Santri

a. Pengertian Santri

Santri adalah mereka yang dengan taat melaksanakan perintah agamanya, yaitu

Islam. Sedangkan asal-usul perkataan santri menurut Rizki (2010) setidaknya

ada 2 pendapat yang dapat dijadikan rujukan. Pertama santri berasal dari kata

“Santri” dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Kedua, kata santri

yang berasal dari bahasa Jawa “Cantrik” yang berarti seseorang yang

mengikuti seorang guru kemanapun pergi atau menetap dengan tujuan dapat

belajar suatu keilmuwan kepadanya. Makna santri secara umum, yakni orang

yang belajar agama Islam dan mendalami agama Islam di sebuah pesantrian

(pesantren) yang menjadi tempat belajar bagi para santri.10 Dari berbagai

asumsi yang sudah di paparkan di atas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa

santri merupakan sosok dengan identitas yang jelas ke-Islamannya yang

9
Imam Tabroni, dkk, “Peran Kyai dalam Membina Akhlak Santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Al-Muminah
Desa Simpang Kecamatan Wanayasa”, Jurnal Pendidikan, Sains, Sosial dan Agama, Vol. 7 No. 2 (Desember,
2021), hal. 109.
10
Mansur Hidayat, op.cit., hal. 387.
terdidik dengan matang di dalam pesantren yang menjunjung tinggi nilai

spiritual dan moral dalam kehidupannya.

b. Peran Santri

Santri pada umumnya bagi masyarakat awam santri diartikan sebagai orang

atau murid yang mencari ilmu agama dalam sebuah pesantren. Besar kecilnya

atau tumbuh berkembangnya pesantren biasanya diukur dari banyaknya santri

yang berada dalam pesantren tersebut. Bagi kebanyakan masyarakat, santri erat

hubungannya bahkan tak bisa lepas dari kata pesantren. Adapun peran santri

nantinya akan terjun di tengah-tengah masyarakat sebagai bentuk pengabdian

kepada masyarakat, sekaligus untuk mengamalkan ilmu yang sudah di

dapatkannya. Maka dari itu sudah sepantasnya santri dituntut harus mempunyai

sumber daya kemampuan yang mempuni untuk mengarahkan dan mendidik

masyarakat ke jalan yang sesuai dengan ajaran islam. Dalam hal mendidik,

santri nantinya akan berperan sebagai pendidik bagi peserta didik di suatu

lembaga yang ia tempati untuk mengembangkan seluruh potensi peserta

didiknya, baik dalam segi kognitif, afektif, ataupun psikomotorik. Santri

merupakan pemberi kontribusi besar dalam filsafat pendidikan islam dengan

berbagai pemikiran-pemikiran (akal/rasio) yang berasal dari ilmu agamanya,

dari pengalaman dan juga dari tingkat keimanannya.11

C. Keluarga Sakinah

1. Pengertian Keluarga Sakinah

11
Idris Sodiq, dkk, “Peran Santri terhadap Kemajuan Filsafat Pendidikan Islam”, TARLIM: Jurnal Pendidikan
Agama Islam, Vol. 3 No. 2 (September, 2020), hal. 143.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakatyang terdiri atas kepala keluarga

dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu

atap dalam keadaan saling ketergantungan.Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu

dan anak-anaknya, dimana keluarga tersebut terbentuk harus melalui sebuah

perkawinan.12 Sedangkan sakinah adalah bermakna tenang, tentram dan tidak

gelisah, mawaddah bermakna penuh cinta, sedangkan rahmah bermakna kasih

sayang. Jadi mawaddah warahmah adalah saling mencintai dan saling berkasih

sayang antara suami istri dan anak-anaknya, yang tenang damai, damai saling

mencintai dan menyayangi. Untuk mencapai keluarga sakinah mawaddah

warahmah bukanlah suatu hal yang mudah, karena akan banyak sekali hambatan

dan rintangan yang menghadang.13

Pasangan secara konsepsional harus melahirkan harmoni atau dinamika, salah

satu konsep hidup berkeluarga adalah keluarga sakinah, yakni keluarga yang

berlangsung dengan mengikuti panduan agama Islam. Keluarga sakinah merupakan

subsistem dari sistem sosial menurut Al-Quran dan bukanlah sebuah bangunan

keluarga di atas lahan kosong. Seorang akan merasakan sakinah apabila terpenuhi

unsur-unsur hajat hidup spirutual dan material secara layak dan seimbang. Seseorang

yang sakinah hidupnya adalah orang yang terpelihara kesehatannya, cukup sandang,

pangan dan papan, diterima dalam pergaulan masyarakat yang beradab, serta hak-

hak azasinya terlindungi oleh norma agama, norma hukum dan norma susila.14

Keluarga yang sakinah adalah keluarga yang bahagia lahir dan batin, tenang

dan tentram dan masalah-masalah yang perlu dihindari oleh pasangan suami istri
12
Mahmud Al-Shabagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,1994) hal. 130.
13
Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Paraktis: Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan dalam Rumah Tangga
(Salatiga: STAIN Salatiga Press.2006) hal. 33.
14
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahnya (Semarang: CV. Diponegoro, 2000), hal. 5.
yang dapat memicu ketidak tentraman, percekcokan dan perselisihan. 15 Keluarga

sakinah merupakan keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu

memenuhi hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi

suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan lingkungan dengan selaras, serasi

serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan,

ketakwaan dan ahlak yang mulia.16

2. Dasar Pembinaan Keluarga Sakinah

Islam membangun fondasi rumah tangga yang sakinah, mengikatnya dengan

asas yang kuat dan sangat kokoh sehingga menganggapai awan dan bintang-bintag.

Jika bintang-bintang adalah sebuah perhiasan langit, maka rumah tangga adalah

perhiasan-perhiasansebuah masyarakat.17

Islam telah menentukan bangunan bagi sebuah rumah tangga ideal dengan

dasar-dasar yang istemewa dan permanen sehingga tidak ada seorang ahli bangunan

pun yang mampu menyamainya. Untuk itu, marilah kita lihat keistimewaan

ketentuan hukum Islam bagi suami istri demi terciptanya sebuah bangunan yang

kokoh sehingga tidak tergoncang oleh kerasnya kehidupan. Salah satu syarat lain

yang tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan keluarga sakinah mawaddah

waramah adalah pertimbangan usia orang yang menikah. Apakah ia sudah siap, yang

berarti dewasa baik fisik, psikis maupun ekonominya. 18 Karena hal ini akan

15
Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas Ke XIV (Jakarta: BP4 Pusat,
2009) hal. 2.
16
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahnya (Semarang: CV.Diponegoro, 2000), hal. 6.
17
Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah (Bandung: Al-Bayan Mizan, 2005)
hal. 20.

18
Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Paraktis: Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan dalam Rumah Tangga
(Salatiga: STAIN Salatiga Press.2006) hal. 35
mempunyai dampak yang sangat besar dalam menentukan pola hidup yang

selanjutnya akan bisa mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Selain kemungkinan-kemunkinan di atas, untuk membentuk keluarga sakinah,

mawaddah wa rahmah banyak jalan yang harus ditempuh anata lain:

a. Memilih calon istri yang baik

b. Memilih calon suami yang baik

c. Perkawinan yang baik

Istri tempat penenang bagi suami, tempat menyemaikan benih,

sekutuhidupnya, pengatur rumah tangganya, ibu dari anak-anaknya, tempat

tambatan hati, tempat menumpahkan rahasianya dan menyatukan nasibnya. Karena

itu, Islam menganjurkan agar memilih istri yang saleh dan menyatakannya sebagai

perhiasan yang terbaik yang sepatutnya dicari dan diusahakan mendapatkannya

dengan sungguh-sungguh.Yang dimaksud saleh disini adalah hidup mematuhi

agama dengan baik, bersikap luhur, menghormati hak-hak suaminya dan memelihara

anak-anaknya dengan baik.19

Rasulullah SAW menyarankan dalam hal memilih calon istri dengan

memberikan petunjuk empat kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:

a. Karena kekayaannya.

b. Karena keturunannya.

c. Karena kecantikannya.

d. Karena agamanya, itulah yang lebih baik bagimu.20

19
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: PT Al Ma’ruf,1980) hal. 29.
20
Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas Ke XIV (Jakarta: BP4 Pusat,
2009) hal. 5.
Memilih suami yang saleh juga sangat penting demi kokohnya dasar

kehidupan rumah tangga diatas pilar yang kuat. Rumah tangga akan langgeng

jika berada pada alur yang sudah ditetapkan-Nya. Jika hal tersebut terpenuhi, maka

besar kemungkinan akan tercapainya tingkat sosial yang baik, tingkat ekonomi yang

mapan, tingkat pengetahuan yang tinggi dan hal yang terpenting adalah bahwa

suami yang saleh dapat melindungi hak dan kepentingan wanita.

Ada pula kriteria tersendiri yang harus dimiliki calon suami, yaitu mampu

memberi sarana dan prasarana hidup yang layak (mata pencaharian yang cukup)

untuk menghidupi keluarganya. Karena suami adalah pemimpin keluarga,

bertanggung jawab atas urusan biaya hidup keluarga dan hal tersebut tidak akan

dapat terpenuhi jika suami tidak memberikan nafkah yang layak untuk

keluarganya.21 Setelah ada calon istri yang baik dan calon suami yang baik maka

cara melangsungkan perkawinanpun harus baik pula. Perkawinan yang baik adalah

salah satu jembatan untuk menuju rumah tangga yang baik.

Kebahagiaan bukanlah satu-satunya tujuan dalam berkeluarga, namun

mencapai ridha allah adalah tujuan utama ajaran Islam yang bagaikan gunung kokoh

tegar menjulang tak tergoyahkan oleh badai dan tak tergoncangkan oleh topan. Hal

ini diragukan lagi mengingat keagungan ajaran Islam banyak memberi kemudahan,

memberi solusi pemecahan setiap masalah, tidak rumit dan tidak menyusahkan

ataupun melelahkan, karena segala sesuatunya sudah dimudahkan oleh Allah SWT.

Kebahagiaan adalah sebuah mahligai indah yang didasari oleh amal saleh,

iman yang mantap dan hati yang teguh. Inilah tiang penyangga yang sangat penting

21
Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah (Bandung: Al-Bayan Mizan, 2005)
hal. 30.
bagi sebuah perkawinan. Maka jika orang-orang menyangka bahwa sumber

kebahagiaan hanya bertumpuk pada materi, artinya pasangang suami istri harus

memulai rumah tangganya dengan melulu mengutamakan standar materi, maka

sangkaan mereka salah. Orang yang salah pasti terombang-ambing dalam kerugian

dan mereka pasti merugi.

3. Kriteria Keluarga Sakinah

Didalam kehidupan berkeluarga, agar tujuan perkawinan dapat tercapai yaitu

untuk menjadi keluarga sakinah maka harus ada kriteria kriteriayang dilaksanakan

didalam keluarga tersebut.Menurut Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat

Islam (Ditjen Bimas Islam) Departemen Agam RI dalam Program pembinaan

Gerakan Keluarga Sakinah kriteria-kriteria umum keluarga sakinah terdiri dari

keluarga Pra sakinah, Keluarga Sakinah I, Keluarga Sakinah II, Keluarga Sakinah

III, dan Keluarga Sakinah III plus yang dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai

dengan kondisi masing-masing daerah. Uraian masing-masing kriteria sebagai

berikut:

a. Keluarga Pra Sakinah

Keluarga pra sakinah yaitu keluarga-keluarga yang dibentuk bukan

melalui ketentuan perkawinan yang syah, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar

spiritual dan material secara minimal, seperti keimanan, shalat, zakat fitrah,

puasa, sandang, pangan, papan dan kesehatan.

Tolok ukur tingaktan keluarga pra sakinah :


1) Keluarga yang pernikahannya tidak syah, dibuktikan dengan tidak memiliki

surat nikah atau bukti nikah lain

2) Keluarga yang dibentuk tidak sesuai dengan perundang – undangan yang

berlaku

3) Tidak memiliki dasar keimanan

4) Tidak melakukan sholat wajib

5) Tidak mengeluarkan zakat fitrah

6) Tidak menjalankan puasa wajib

7) Tidak tamat SD, tidak dapat baca tulis

8) Termasuk kategori fakir atau miskin

9) Berbuat asusila

10) Terlibat perkara – perkara kriminal

b. Keluarga Sakinah I

Keluarga sakinah I yaitu keluarga-keluarga yang dibangun atas

perkawinan yang syah dan telah dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan material

secara minimal tetapi masih belum dapat memenuhi kebutuhan sosial

psikologinya seperti kebutuhan akan pendidikan, bimbingan keagamaan dalam

keluarganya, mengikuti interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya .

Tolok ukur umum keluarga sakinah I, yaitu :

1) Pernikahan sesuai denan peraturan syariat dan Undang – undang No 16

Tahun 2019

2) Keluarga memiliki surat nikah atau bukti lain sebgai bukti pernikahn yang

syah
3) Mempunyai perangkat sholat, sebagai bukti melaksankan sholat wajib dan

dasar keimanan

4) Memiliki Al qur’an

5) Terpenuhi kebutuhan makanan pokoknya, sebagai tanda bukan tergolong

fakir dan miskin

6) Masih sering meninggalakan sholat

7) Jika sakit sering pergi ke dukun

8) Percaya terhadap tahayul

9) Tidak datang di pengajian atau majlis taklim

10) Rata – rata keluarga tamat mempunyai ijazah SD

c. Keluarga Sakinah II

Keluarga Sakinah II yaitu keluarga-keluarga yang dibangun atas

perkawinan yang syah dan disamping telah dapat memenuhi kebutuhan

kehidupannya juga telah mampu memahami pentingnya pelaksanaan ajaran

agama serta bimbingan keagamaan dalam keluarga serta mampu mengadakan

interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya, tetapi belum mampu

menghayati serta mengembangkan nilai-nilai keimanan, ketaqwan dan akhlaqul

karimah, infaq, zakat, amal jariah, menabung dan sebagainya.

Tolok ukur keluarga sakinah II yaitu :

1) Tidak terjadi perceraian, kecuali sebab kematian atau hal sejenis lainnya

yang mengharuskan terjadinya perceraian.

2) Penghasilan keluarga melebihi kebutuhan pokok, sehingga bisa menabung

3) Rata – rata keluarga memiliki ijazah SLTP


4) Memiliki rumah sendiri meskipun sederhana

5) Keluarga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan sosial keagamaan

6) Mampu memenuhi standar makanan yang sehat serta memenuhi empat sehat

lima sempurna

7) Tidak terdapat perkara kriminal, judi, mabuk, prostitusi dan perbuatan

amoral lainnya.

d. Keluarga Sakinah III

Keluarga Sakinah III yaitu keluarga-keluarga yang dapat memenuhi

seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan, akhlaqul karimah sosial psikologi, dan

pengembangankeluarganya, tetapi belum mampu menjadi suri tauladan bagi

lingkungannya.

Tolok ukur keluarga sakinah III

1) Aktif dalam upaya meningkatkan kegiatan dan gairah keagaman di masjid –

masjid walaupun dalam keluarga

2) Keluarga aktif dalam mengurus kegiatan dan sosial kemasyarakatan

3) Aktif memberikan dorongan dan motivasi untuk meningkatkan kesehatan

ibu dan anak serta kesehatan masyarakat pada umumnya

4) Rata – rata keluarga memiliki ijazah SMA keatas

5) Mengeluarkan zakat, infaq, shodaqah dan wakaf senantiasa meningkat

6) Meningkatkan pengeluaran kurban

7) Melaksanakan ibdah haji secara baik dan benar sesuai tuntunan agama dan

ketentuan perundang – undangan yang berlaku.

e. Keluarga Sakinah III Plus


Keluarga sakinah III Plus yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat

memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketakwaan dan akhlaqul karimah

secara sempurna, kebutuhan sosial psikologis, dan pengembangannya serta

dapat menjadi suri tauladan bagi lingkungannya.

Tolok ukur keluarga sakinah III plus :

1) Keluarga yang telah melaksanakan ibadah haji dan dapat memenuhi kriteria

haji yang mabrur

2) Menjadi tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh organisasiyang dicintai

oleh masyarakat

3) Mengeluarkan zakat, infaq, shodaqah jariyah, wakaf meningkat, baik secara

kualitatif dan kuatitativ

4) Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat sekelilingnya dalam

memenuhi ajaran agama

5) Keluarga mampu mengemban ajaran agama

6) Rata- rata anggota memiliki ijazah sarjana

7) Nilai- nilai keimanan ketaqwaan dan akhlakul karimah tertanam dalam

kehidupan pribadi dan keluarganya

8) Tumbuh dan berkembang perasaan cinta kasih sayang secara selaras, serasi

dan seimbang dalam anggota keluarga dan lingkungannya

9) Mampu menjadi suri taudalan masyarakat disekitarnya.

4. Konsep Keluarga Sakinah

Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah atau akan membina

suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin
keharmonisan diantara suami istri yang saling menyayangi dan mengasihi itu

sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangga. Dalam

Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21, Allah SWT berfirman:

‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َم َو َّد ًة‬ ِ ِ ِِ ِ


ً ‫َوم ْن آيَاته َأ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن َأْن ُفس ُك ْم َْأز َو‬

‫ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّكُرو َن‬


ٍ ‫ك آَل ي‬ِٰ ‫ِإ‬
َ َ ‫َو َرمْح َةً ۚ َّن يِف ذَل‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S.
Arrum : 21)

Ayat diatas menjelaskan bahwa dalam hidupnya manusia memerlukan

ketenangan dan ketentraman hidup untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan

masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota

keluarga dalam keluarganya.

Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan

pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam suatu rumah tangga.

Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam

menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang

dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk ketenagan dan

ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya. Untuk

membangun keluarga sakinah minimal ditunjang oleh teladan, cinta ilmu dan sistem

yang Islami. Hanya rumah tangga sakinahlah yang dapat menjadi fondasi tangguh

bagi berdirinya masyarakat dan bangsa yang beradab, maju, dan beriman.22

22
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2012) hal.31.
Untuk menciptakan keluarga sakinah ada beberapa aspek yang harus

diperhatikan, diantaranya:

a. Seluruh komponen rumah tangga harus mampu mengelola semua perbedaan

yang ada menjadi sebuah sinergi yang menguntungkan dan saling menguatkan.

b. Perlu menghindarkan sikap menonjolkan diri atau mengganggap dirinya paling

penting dan berpengaruh di keluarga. Sikap ikhlas menjadi modal dasar yang

utama, terutama bagi orang tua dalam mendidik anak.

c. Orang tua harus mampu memberikan teladan yang baik bagi anakanaknya.

Teladan yang baik dari orang tua akan mempengaruhi perkembangan mental dan

spiritual anak.

d. Harus ada kesabaran dari orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

e. Menanamkan nilai-nilai moral dan agama kepada anak-anak terutama ketika

masih dalam tarap perkembangan.

f. Sedangkan menurut Marwa dan Mubaligh (2011:18) untuk melestarikan

pernikahan, upaya yang harus dilakukan antara lain:

g. Memupuk rasa cinta kasih dengan mewujudkan saling mengorbankan

kepentingan diri demi untuk kepentingan bersama.

h. Berusaha untuk mendampingi pihak istri yang tengah gundah gulana agar dapat

segera terusir kesedihannya dengan cara yang mesra dan ikhlas.

i. Merasakan kesedihan yang tengah disandang oleh suami agar ikut

membagi rasa dalam suka dan bahagia.


j. Berupaya menekan emosi ketika menghadapi kesulitan sehingga dapat

mengatasinya dengan kepala dingin, hati lega dan ridha dan pertolongan Allah

semata.

k. Liku-liku kehidupan dan halang rintangan dalam rumah tangga hadapilah

dengan jiwa besar dan hati tabah penuh kesabaran.23

23
Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas Ke XIV (Jakarta: BP4 Pusat,
2009) hal. 5.

Anda mungkin juga menyukai