Anda di halaman 1dari 18

POLEMIK PERNIKAHAN WANITA HAMIL DARI

HASIL ZINA PERSPEKTIF EMPAT MAZHAB


- Syafa‟at Annas -

ABSTRAK: Semakin maraknya kasus pernikahan wanita hamil akibat hubungan


yang tidak sah menjadi problematika tersendiri di kalangan para ahli
Risalah diuji:
fiqih. Bukan tanpa sebab, kejadian seperti itu sering terjadi dengan
14 Juni 2021
alasan menutupi rasa malu dan beban sosial terhadap masyarakat
sekitar. Hal ini kemudian menjadi sangat penting untuk dibahas dan
dikaji secara komprehensif. Fokus masalah pada penelitian ini yakni
mengkaji bagaimana hukum menikahi wanita hamil dan juga status
nasab anak dari wanita hamil tersebut berdasarkan pendapat ulama
empat mazhab dan yang mendukung pendapat tersebut. Metode
penelitian menggunakan Muqaranatul Mazahib dengan memaparkan
pendapat keempat ulama mazhab lalu membandingkannya. Dengan
Ketua Penguji: menggunakan metode tersebut, maka didapatkan bahwa Syafi‟i dan
Moh. Said, M.Pd Hanafi memperbolehkan menikahi wanita hamil akibat zina
sedangkan Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal yakni dengan
Penguji Utama: menunggu si wanita tersebut melahirkan. Adapun mengenai status
Drs. Kh. Chamzawi, nasab anak, keempat ulama mazhab sepakat untuk tidak menasabkan
M.HI anak hasil zina kepada bapak biologisnya namun kemudian ada ulama
Pembimbing: yang memberi solusi ketika yang terjadi adalah yang menikahi ibunya
Muhammad Muallif, adalah bukan orang yang menghamili tetapi orang lain. Solusi itupun
M.Ag hanya sekedar untuk mengetahui bahwa yang dikandung itu adalah
anak dari si A atau si B, bukan untuk menasabkan kepadanya.

Kata Kunci: Pernikahan, Hamil, Zina, Empat Mazhab

PENDAHULUAN
Data tiga tahun terakhir menunjukkan dari persentase
masyarakat Indonesia yang mengajukan pernikahan kurang lebih
sekitar delapan puluh persen dari mereka hamil diluar nikah
(Aladin, 2018). Artinya dari jumlah populasi keseluruhan
masyarakat Indonesia, terjadi sekitar 53 persen yang mengajukan
pernikahan dibawah umur dan terdapat 8 dari 15 kasus
pernikahan dibawah umur itu mereka berhubungan suami istri

- 121 -
- Prosiding Risalah Akhir Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Ali UIN Malang -

sebelum terjadi akad pernikahan yang berakibat pada kehamilan


(Ridha, 2020).
Pergaulan bebas menjadi salah satu faktor utama maraknya
kasus kehamilan diluar nikah dan juga nikah dibawah umur.
Dengan adanya kejadian tersebut, keadaan menjadi serba
dilematis. Apabila perempuan tersebut tidak segera dinikahkan,
maka akan menjadi aib bagi keluarga namun apabila perempuan
itu dinikahkan, maka akan terjadi ketidakjelasan status nasab
anak yang dikandung dengan ayahnya. Sebagaimana pendapat
Yusuf ibn ‘Abd al-Barr dalam kitabnya Al-Istidzkar yang
mengatakan bahwa anak yang didapatkan dari hasil zina tidak
dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya ( al-Barr, 1993: 510).
Kajian pernikahan wanita hamil ini telah dikaji pada artikel
sebelumnya yang membahas mengenai masalah-masalah hukum
yang terspesifikkan kepada hukum menikahi wanita hamil. Kajian
jurnal oleh Aladin menjelaskan bahwa wanita yang hamil diluar
nikah dapat langsung dinikahkan dengan laki-laki yang
menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anaknya (Aladin,
2018). Sedangkan pada jurnal oleh Wahyu Wibisana mengaitkan
pendapat antara empat mazhab dan undang-undang KHI
kemudian ditarik kesimpulan bahwa KHI lebih cenderung pada
pendapat Imam Syafi’i yang membolehkan menikahi wanita hamil
(Wibisana, 2017). Adapun status anak yang dilahirkannya dapat
diketahui dengan masa kehamilan minimum wanita yaitu enam
bulan. Apabila kurang dari masa itu dari pernikahannya si
perempuan melahirkan, maka dapat dipastikan anak yang
dilahirkan adalah anak zina (Ulfah, 2015).
Tulisan ini sebagai pelengkap dari preview studies yang
membahas mengenai tema yang sama. Pada kajian sebelumnya
banyak dibahas mengenai keabsahan menikahi wanita hamil
akibat zina dan juga status anak yang dikandungnya dalam
berbagai referensi namun sangat minim kajian yang bersumber
dari ulama-ulama salaf dan juga kitab klasik. Selanjutnya tulisan
ini mengupas tuntas mengenai hukum menikahi wanita hamil dan

- 122 -
- Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Malang -

juga status anak dari hubungan yang tidak sah antara laki-laki dan
perempuan menurut empat mazhab.
Dengan adanya tulisan ini, dapat diketahui bahwasannya
wanita dalam keadaan hamil akibat perbuatannya yang melanggar
maqashid al-syari’ah itu dapat dipertanggungjawabkan
sebagaimana mestinya. Dari beberapa pendapat ulama mazhab
tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan dengan
mempertimbangkan kemaslahatan dari beberapa pihak yang
terkait. Apabila yang lebih maslahat adalah dengan menikahinya
maka aib keluarga akan tertutupi dengan adanya itu dan apabila
yang lebih maslahat adalah dengan tidak menikahinya maka yang
menjadi beban adalah pihak wanita sedangkan si laki-laki
cenderung tidak bertanggung jawab.

KAJIAN TEORI
Definisi Pernikahan
Lafadz ‫ اجلَكح‬secara bahasa dimaknai sebagai berkumpul dan
bergabung. Sedangkan secara istilah yaitu melaksanakan proses
akad antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan pada
dilegalkannya berhubungan antara keduanya dengan
menggunakan lafadz al-inkah (‫ساح‬٧‫ )اْل‬dan at-tazwij (‫َتكيز‬١‫( )ا‬Al-

Bujairimi 2015: 138).


Pernikahan tidak dapat terealisasikan dalam hukum islam
kecuali dengan syarat-syarat tertentu yakni adanya wali, adanya
dua saksi adil, harus ada izin apabila wanita yang hendak dinikahi
berstatus janda, serta diamnya perawan yang berarti setuju (Al-
bashri, 2015: 218). Sedangkan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj
disebutkan bahwa rukun nikah itu ada lima yakni adanya
sepasang suami istri, wali, adanya dua saksi, shighat ijab oleh wali,
serta shighot qabul oleh laki-laki, juga pada redaksi berikutnya
dijelaskan bahwa kelima rukun tersebut masih menjadi
perdebatan diantara para ulama apakah itu termasuk rukun atau

- 123 -
- Prosiding Risalah Akhir Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Ali UIN Malang -

hanya syarat sah sehingga perlu adanya penjelasan lebih lanjut


(Ar-Ramli, 2015: 260).

Faktor Penyebab Wanita Hamil Diluar Nikah


Perempuan dalam keadaan hamil semestinya terdapat
konsekuensi hukum yang jelas mengenai siapa yang akan
menanggung atau wali dari anak yang dikandungnya. Fokus
masalah pada tulisan ini yakni menikahi wanita hamil akibat dari
hubungan yang tidak sah atau zina. Fenomena yang terjadi di
masyarakat banyak kemungkinan faktor yang menyebabkan
perempuan hamil diluar nikah baik dari sisi orangtua maupun
anak, antara lain: a) Faktor pendidikan, minimnya pendidikan
orangtua cenderung lebih membebaskan anaknya tanpa
controlling-self yang baik berupa nasihat pada anak atau yang
lain; b) Faktor ekonomi, terkadang orangtua merasa tidak mampu
meberikan pendidikan yang baik terhadap anaknya karena
kendala ekonomi sehingga yang terjadi adalah kurangnya
wawasan terhadap anak yang dapat menjerumuskannya pada
pergaulan bebas; c) Faktor keagamaan, minimnya pengetahuan
tentang agama akan berakibat fatal apabila yang terjadi adalah
tidak terjalin komunikasi yang baik antara anak dan orangtua dan
juga keduanya sama-sama tidak peduli akan hal tersebut; d)
Faktor lingkungan, faktor ini juga menjadi sangat urgent karena
dari beberapa fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat
dengan adanya kenakalan remaja dan juga pergaulan bebas
kebanyakan berawal dari lingkungan yang salah (Nuraini, 2020).

Definisi Zina
Istilah dalam hukum islam, melakukan seks atau
berhubungan badan tanpa adanya ikatan suami istri yang sah dan
tidak dilegalkan oleh hukum negara disebut zina. Istilah ini sering
terdengar di telinga masyarakat sebagai persepsi yang negatif.
Bahkan definisi di atas disepakati oleh Hanafiyah dan Imam Al-
Jurjani (Jurjani, 1985; Najim, n.d.).

- 124 -
- Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Malang -

Jumhur fuqaha mendefinisikan zina sebagai masuknya


hasyafah dzakar (kemaluan pria) kedalam faraj (kemaluan
wanita) yang belum halal disetubuhi sehingga menimbulkan
kenikmatan tersendiri seperti layaknya orang yang sudah
bersuami istri (Audah, n.d.). Sedangkan menurut Imam
Taqiyuddin dalam kitab Kifayatul Akhyar menjelaskan bahwa
batasan Zina yang dikenai hukum had adalah masuknya ujung
kemaluan pria kedalam kemaluan wanita dalam keadaan sadar
dan secara disengaja. Dalam artian kedua pelaku tersebut tidak
dalam keadaan mabuk ataupun wati’ syubhat (Hissi, 2001: 618).

Ulama Empat Mazhab


Ulama empat mazhab adalah beliau yang diakui ijtihadnya
dalam meng-istinbathkan hukum. Adapun yang disebut ulama
empat mazhab ialah:
Pertama, Imam Syafi’i. Dasar dalam pengambilan hukum
yang dipakai oleh Imam Syafi’i ialah al-Qur’an dan Hadis. Apabila
tidak terdapat pada keduanya, maka dengan menganalogikan
(Qiyas) kepada al-Qur’an dan Hadis. Menurut beliau, kedudukan
Ijma’ lebih kuat dari khabar ahad dan hadis dan juga Hadis
Munqathi’ tidak dapat dijadikan hujjah kecuali yang diriwayatkan
oleh Ibnu al-Musayyab (Al-Sayis, 1990)
Kedua, Imam Malik. Beliau adalah seorang tokoh yang
dikenal oleh para ulama sebagai orang yang alim dalam ilmu hadis
(Yanggo, 2003). Karangan beliau yang paling terkenal yaitu Al-
Muwaththa’ yang merupakan kumpulan hadis-hadis yang berasal
dari Rasulullah saw., sahabat, ataupun Tabi’in. Maka dari itu selain
beliau ahli dalam meng-istinbathkan hukum, beliau juga ahli
dalam bidang hadis.
Ketiga, Imam Abu Hanifah. Beliau dikenal sebagai Ahl al-
Ra’yi dalam berijtihad sehingga dapat diketahui dalam
menentukan suatu hukum fikih beliau lebih mengedepankan nalar
daripada teks formal. Beliau lebih menggunakan ra’yi daripada
khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan beliau

- 125 -
- Prosiding Risalah Akhir Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Ali UIN Malang -

mengambil langkah qiyas dan istihsan. Apabila qiyas tidak


mendapatkan suatu hasil maka diambillah istihsan. Apabila
keduanya pun tidak cukup untuk mendapatkan output dari
ijtihad, maka diambillah ‘urf sehingga Imam Abu Hanifah banyak
memunculkan hukum-hukum baru yang tidak pernah ada
sebelumnya (Yanggo, 2003).
Keempat, Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau merupakan tokoh
yang terkenal sebagai ahli hadis yang disepakati oleh para ulama.
Ibnu Jarir Al-Thabari beranggapan bahwa Imam Ahmad bin
Hanbal ialah ahlu al-Hadis. Begitu juga Ibnu Qutaibah yang
mengkategorikan Ahmad bin Hanbal sebagai muhadditsun, bukan
fuqaha (Zahrah, 1987). Meski demikian, dengan berbagai ijtihad
beliau dalam meng-istinbathkan hukum, beliau pantas dianggap
sebagai fuqaha.

Definisi Nasab
Secara etimologi, Nasab berarti al-qarabah yang memiliki
makna hubungan kekerabatan. Sedangkan secara terminologi,
para ulama tidak memberikan definisi secara jelas tetapi cukup
dengan mengkhususkan dari makna etimologi yaitu al-qarabah
baina syakhsayn (kekerabatan antara dua orang) (Manzhur, t.t:
755).
Meski begitu, sebagian ahli bahasa dan mufassir
memberikan penjelasan mengenai nasab diantaranya Ibnu
Manzhur dan Al-Zubaydiy yang mengatakan bahwa nasab adalah
kekerabatan atau itu khusus bagi ayah (Zubaidiy, 1994: 428).
Dalam hal ini, yang dimaksud nasab adalah hubungan antara anak
dengan orangtua yang disahkan secara hukum islam.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kajian pustaka yang berisfat
deskriptif dimana peneliti akan menghadirkan referensi dari
berbagai macam literatur yang berkaitan dengan fokus masalah.
Adapun analisis pendekatan yang digunakan adalah kajian islam

- 126 -
- Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Malang -

berbasis Muqaranatul Madazahib dimana peneliti berusaha


memaparkan penadapat dari ulama empat mazhab terkait kasus
pernikahan wanita hamil. Setelah peneliti menemukan pendapat
keempat ulama mazhab, pendapat tersebut dipilih yang lebih
memiliki relevansi dengan konteks kemaslahatan secara umum.
Adapun sumber data primer yang digunakan pada penelitian
ini adalah kitab-kitab klasik yang mengupas secara langsung
terkait hukum menikahi wanita hamil yang telah dikarang oleh
beberapa ulama fiqh terutama ulama empat mazhab berdasarkan
keilmuannya. Sedangkan sumber data sekundernya adalah
berbagai macam literatur baik Al-qur’an, Hadits, Tafsir Al-qur’an,
Kitab Turats atau yang lainnya yang memiliki korelasi relevan
dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan berbasis dokumenter dimana topik kajian diambil dari
sumber data, baik primer maupun sekunder. Sedangkan analisis
data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut,
editing/pemeriksaan, klasifikasi dengan memetakan kajian
berdasarkan objek penelitian, verifikasi guna mendeteksi
kevalidan data dari berbagai macam para ulama, menganalisis,
yakni pendudukan data yang diperoleh guna dikomparasikan satu
dengan yang lain; dan terakhir kesimpulan.

HASIL PENELITIAN
Hukum Menikahi Wanita Hamil
Problematika menikahi wanita hamil dari hasil zina ini
dikaitkan dengan hukum iddah pada beberapa referensi. Yang
menjadi titik poinnya adalah apakah wanita hamil dari hasil zina
itu memiliki masa iddah. Apabila iya maka wanita tersebut haram
dinikahi hingga habis masa iddahnya. Namun apabila tidak
memiliki masa iddah, maka boleh langsung dinikahi baik oleh pria
yang menghamilinya maupun selain pria yang menghamilinya
(Mawardi, 1994: 191).
Mazhab Syafi’i cenderung membolehkan menikahi wanita
dalam keadaan hamil sebab wanita yang berzina tidak ada masa

- 127 -
- Prosiding Risalah Akhir Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Ali UIN Malang -

iddahnya. Hal ini tentunya akan bercabang pada wanita yang


berzina yang sudah memiliki suami, maka boleh langsung
disetubuhi oleh suaminya karena tidak adanya masa iddah.
Perempuan dalam keadaan hamil dari hasil zina boleh dinikahi
ataupun disetubuhi hanya saja hukumnya makruh apabila
melakukannya (An-Nawawi, 1980: 242).
Pendapat Imam Malik justru kebalikan dari Imam Syafi’i,
yakni perempuan yang berzina dikenai hukum iddah. Sehingga
haram bagi siapapun untuk menikahinya sampai habis masa
iddahnya. Begitu juga wanita pezina yang sudah bersuami, maka
bagi suami tidak halal menyetubuhi istrinya sampai habis masa
iddahnya. Adapun perhitungan iddah bagi wanita pezina sama
seperti wanita yang telah ditalak raj’i oleh suaminya yakni apabila
ia tidak hamil maka iddahnya dengan tiga kali suci, sedangkan
apabila hamil maka iddahnya adalah hingga melahirkan
(Mawardi, 1994: 191).
Hanafi berpandangan bahwa wanita pezina tidak dikenai
hukum iddah. Sehingga halal bagi siapapun untuk menikahinya.
Namun terdapat pengecualian bagi wanita yang hamil dari hasil
zina yaitu jika yang menikahi adalah pria yang menyetubuhinya
maka hukumnya boleh dan pernikahannya sah, tetapi apabila
yang menikahi adalah orang lain, maka menurut Ibnu Syubramah
dan Abu Yusuf (ulama mazhab Hanafi) adalah dengan menunggu
hingga wanita tersebut melahirkan (Mawardi, 1994: 191).
Sedangkan versi Abu Hanifah sendiri, boleh dinikahi ketika hamil
hanya saja perempuan tersebut tidak berhak menerima nafkah
dan tidak boleh disetubuhi hingga melahirkan (Az- Zabidi, 2006:
83).
Pada Mazhab Hanabilah juga menganggap bahwa wanita
pezina dikenai hukum iddah. Namun disamping itu, Hanabilah
memberi dua syarat wanita pezina halal dinikahi. Pertama, telah
selesai masa iddahnya yaitu apabila wanita tersebut hamil, maka
sampai melahirkan. Kedua, perempuan tersebut harus bertaubat.
Hal ini harus dibuktikan dengan pengujian atau dites dengan cara

- 128 -
- Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Malang -

mengajak si wanita dengan rayuan untuk berzina, apabila ia


menolak maka ia sudah benar-benar bertaubat. Sedangkan dalam
versi lain, cukup hanya menyesali perbuatannya dan berjanji tidak
akan mengulanginya lagi. Adapun laki-laki yang telah
menzinahinya tidak disyaratkan untuk bertaubat apabila hendak
menikah dengannya (Al-Bahuti, 1983: 83).

Status Nasab Anak Zina


Mengenai status nasab anak zina sendiri, keempat ulama
mazhab bersepakat untuk tidak menetapkan nasab anak zina
kepada ayah biologisnya dalam artian secara otomatis nasabnya
terputus (Syarifuddin, 2008: 238). Namun mengingat tentang hak
anak yang pasti butuh kepada orangtuanya, Imam Abu Hanifah
memberi solusi mengenai hal ini yakni dengan melihat kepada di
ranjang mana anak tersebut dilahirkan dengan berlandasan pada
hadis riwayat Aisyah ra (Rofiq, 1998: 133).
Dan juga pada qoul lain yang disepakati oleh Multaqo Ahlil
Hadits mengatakan bahwa masa minimal kehamilan adalah enam
bulan. Pendapat ini sekaligus menggambarkan bahwa wanita yang
melahirkan secara sempurna dalam jangka waktu kurang dari
enam bulan (dihitung sejak pernikahannya dengan seseorang)
maka dapat dipastikan bahwa anak yang terlahir itu bukan dari
bapak yang menikahi wanita tersebut melainkan dari orang lain
(Hadits, 2010).

PEMBAHASAN
Meninjau dari penelitian yang telah dilakukan, maka empat
ulama mazhab saling beradu argumen satu sama lain. Ada yang
memperbolehkan menikahi wanita hamil dan ada juga yang tidak
memperbolehkan hingga wanita tersebut melahirkan. Juga terkait
status nasab anak yang dikandung oleh wanita dari hasil zina.
Maka sebagian ulama ada yang berpegang pada masa minimal
kehamilan dan sisanya bergantung pada ‫ؽاش‬ٙ٢‫دل ل‬٬‫ ال‬yakni nasabnya
tergantung pada siapa yang menikahinya. Apabila yang menikahi

- 129 -
- Prosiding Risalah Akhir Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Ali UIN Malang -

itu adalah yang menghamilinya maka anak tersebut dinasabkan


kepadanya. Dan apabila yang menikahi itu adalah orang lain maka
anak tersebut juga dinasabkan kepada orang lain itu.

Landasan Hujjah Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah


Mengenai kebolehan menikahi wanita yang berzina baik
dalam keadaan hamil ataupun tidak para ulama mengambil
sumber hukum dari: a) Firman Allah Swt: “Dan dihalalkan bagi
kalian selain yang demikian itu”. Redaksi ayat ini menerangkan
tentang wanita-wanita yang haram dinikahi dari arah keturunan,
saudara sepersusuan (Rodho’), dan termasuk juga pezina muhson
(yang sudah bersuami). Maka adapun wanita pezina yang belum
bersuami hukumnya halal dinikahi (Al-Khatib, 2005: 88); b) Hadis
Nabi yang diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ibnu Umar, Ibnu
Abbas, dan Jabir Ra bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw
bersabda: “Jika seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita,
maka tidak haram bagi laki-laki tersebut untuk menikahinya”
(Mawardi, 1994: 189).
Dari kedua landasan hukum di atas dapat disimpulkan
bahwa wanita yang melakukan perbuatan zina baik ia hamil
setelahnya ataupun tidak maka halal bagi laki-laki untuk
menikahinya terkecuali bagi pezina muhson (yang telah
bersuami) sesuai ayat diatas.
Dan adapun Imam Abu Hanifah yang membolehkan
menikahi wanita yang berzina tetapi masih mensyaratkan dan
membedakan antara yang menikahi itu laki-laki yang
menzinahinya atau orang lain, landasan hukumnya adalah surah
al-Nur ayat 3 sebagaimana berikut:
ٍ ‫َّ ى ى ٍ ي َّ ى ى ن ى ٍ ي ٍ ى ن ى َّ ى ي ى ى ٍ ي ى َّ ى ى ٍ ي‬
‫رش هؾ ىك يض ٌ ًؽ ىـ‬
ً ‫اف أك م‬ ‫ا ًإَل ز و‬٫‫ط‬ٟ
ً ٨‫رشكث كالؾا ًجيث َل ح‬
ً ‫ص ًإَل زا ًجيث أك م‬ٟ ً ٨‫الؾ ًاِن َل ح‬
‫ى ى ىى‬
‫ ى‬٨٤‫ ٍؤ‬٥‫لَع ال ٍ ي‬
‫ني‬ ًً ًٝ‫ذل‬
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau

- 130 -
- Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Malang -

laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-


orang yang mukmin.”
Ayat di atas jelas mengharamkan wanita pezina dinikahi
oleh laki-laki yang bukan pezina dan sebaliknya laki-laki pezina
harus menikah dengan wanita pezina juga. Maka dari itu, Imam
Abu Hanifah mengatakan boleh yang menikahi wanita hamil
akibat zina tersebut selain orang yang menzinahinya asalkan
wanita itu tidak berhak menerima nafkah dari suaminya dan tidak
boleh disetubuhi hingga ia melahirkan (Az- Zabidi 2006: 83).
Begitu juga Ibnu Syubramah dan Abu Yusuf yang mengatakan
haram secara mutlak menikahi wanita hamil dari hasil zina
sampai ia melahirkan (Mawardi 1994: 191).
Di samping itu, Hanafi juga berpedoman pada hadis riwayat
Ruwaifi’ ibn Tsabit al-Anshari yang beredaksi sebagai berikut:
ً‫ِيق‬ ‫ ي‬٤‫ ى‬ٚ‫ـً ٍاَل ًعؽ ٘ى ىًل ي ى ٍف‬٬ٍ ‫هلل ىك ٍاحلى‬
ٍ ‫اء يق ىك ى ىدل ىد‬ ٍ‫ى ٍ ى ى ي‬
ً ‫ ةًا‬٦‫ ي‬٤ً ‫ َكف يؤ‬٦٤
ً ً ً
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah ia tidak mencampur air (sperma) nya dengan anak
orang lain.” (Tirmidzi, 1987: 437)
Interpretasi dari hadis di atas adalah Rasulullah Saw
melarang laki-laki yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk bersetubuh dengan wanita yang hamil dari orang lain.
Hadis ini juga sebagai alasan mengapa Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah menetapkan hukum iddah bagi wanita pezina. Salah satu
alasan yang logis adalah sebagai penanda bahwa rahim wanita
tersebut benar-benar kosong dari janin ataupun sperma (Syaltut,
2001: 53).

Landasan Hujjah Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal


Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal memberikan
statement bahwa wanita yang hamil dari hasil zina tidak boleh
dinikahi sampai ia melahirkan dikarenakan adanya hukum iddah
yang bertujuan untuk mengkosongkan rahim wanita dari janin
yang ada di kandungannya. Adapun landasan hukum yang

- 131 -
- Prosiding Risalah Akhir Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Ali UIN Malang -

digunakan beliau adalah penggalan firman Allah Swt Q.S. Ath-


Thalaq: 4
‫ٍ ى ى‬ ٍ ‫ىي ى ي ٍى ٍى ى ي ى‬
٦َّ ٫‫ ي‬٢ٍ‫ ْح‬٦‫ أف يى ىيٓ ى‬٦َّ ٫‫ ي‬٢‫اؿ أ ىس‬
ً ‫كأكَلت اَلْح‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.
Berdasarkan ayat di atas menunjukkan bahwa setiap wanita
hamil yang tidak memiliki suami itu ada masa dimana ia harus
menjaga dirinya dari laki-laki yang ingin menghampirinya dengan
alasan tertentu dan di masa itu juga ia tidak dihalalkan untuk
menikah sampai ia melahirkan.
Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Ubay bin Ka’ab. Beliau bertanya kepada Rasulullah saw. tentang
maksud dari ayat “ ‫اؿ‬ ‫ىي ى ي ٍ ى ٍى‬
ً ‫ ”كأكَلت اَلْح‬kemudian Rasulullah Saw
menjawab: “Yaitu masa iddah bagi setiap wanita yang hamil ialah
sampai ia melahirkan apa yang ada didalam kandungannya.” (Ath-
Thabari, 2013: 545).

Status Nasab Anak Zina


Mengenai status nasab anak zina beberapa ulama memberi
definisi anak zina yakni sebagai berikut: a) Wahbah az-Zuhaili
mengatakan anak zina adalah anak yang terlahir dari ibunya dari
jalan yang menyalahi syari’at atau buah dari hubungan yang tidak
halal (Zuhaili, 1985: 430); b) Mausu’ah al-Fiqhiyyah memberi
statement definisi anak zina yakni anak yang terlahir yang
dihasilkan dari hubungan yang jelek (Wakaf, 1983: 70).
Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa anak zina
adalah anak yang terlahir dari hubungan yang tidak semestinya
(diluar pernikahan). Jumhur Ulama bersepakat bahwa anak yang
terlahir dari hubungan yang tidak halal maka secara otomatis
nasabnya terputus dengan ayah yang telah menzinahi ibunya
(Syarifuddin, 2008: 238).
Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa nasab seorang anak
terhadap ibunya tetap bisa diakui baik dari hubungan yang halal

- 132 -
- Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Malang -

maupun dari hubungan yang tidak halal secara syari’at.


Sedangkan nasab seorang anak terhadap ayahnya hanya bisa
diakui dengan jalan nikah yang shahih ataupun fasid, wati’
syubhat, atau adanya pengakuan dari sang ayah kepada anak
dengan syarat-syarat tertentu yang secara syariat disebut dengan
istilhaq. (Zuhaili, 1985: 37).
Kendati demikian, ulama tidak semerta-merta mengabaikan
status nasab anak dengan ayahnya. Mengingat secara psikologis,
setiap anak yang terlahir pasti akan butuh dengan sosok ayah
yang telah membuatnya terlahir ke dunia. Oleh karena itu,
sebagian ulama memberikan statementnya mengenai nasab anak
zina dengan kajian tersendiri.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ishaq bin Rahawayh yang
dikutip oleh Hamid Sarong dalam bukunya “Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia” bahwa anak yang dilahirkan akibat hubungan
diluar pernikahan dapat menjadi anak sah yang dinasabkan
kepada bapak ibunya secara biologis dengan syarat harus adanya
pengakuan secara hukum (istilhaq) (Sarong, 2010: 201).
Pendapat ini sejalan dengan Imam Abu Hanifah yang
mengatakan bahwa anak yang terlahir di dunia ini tetaplah
menjadi anak dari ayahnya secara biologis meskipun dihasilkan
dari hubungan yang tidak halal, dengan melihat pada keumuman
hadis “‫ؽاش‬ٙ٢‫دل ل‬٬‫ ”ال‬yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra (Rofiq, 1998:
133).
Sedangkan dalam referensi lain dikatakan bahwa paling
sedikitnya masa kehamilan itu adalah enam bulan. Artinya ketika
seorang wanita berzina dengan si A lalu dia menikah dengan si B
kemudian jangka waktu kurang dari enam bulan wanita tersebut
melahirkan, maka dapat dipastikan anak yang lahir itu bukan anak
dari si B, melainkan anak dari si A.
Adapun terkait dengan ketentuan masa minimum kehamilan
yakni dengan merujuk pada Firman Allah Swt QS. Al-Ahqaf: 15:
ٍ ‫ى ى ٍ يي ى ى يي ىى ي ى ى‬
‫ نؽا‬٫‫ف ك‬٬‫اَل ذًلذ‬ ‫ ك ً٘ه‬٩٢‫كْح‬

- 133 -
- Prosiding Risalah Akhir Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Ali UIN Malang -

“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”.


Kemudian sebagai pembanding dari ayat ini adalah QS.
Luqman: 14:
ٍ ‫ى ى يي ى ى‬
‫ني‬
ً ٤‫ك ً٘هاَل ًِف ع‬
“Dan menyapihnya dalam dua tahun.”
Dari kedua ayat tersebut, ayat pertama menyatakan bahwa
masa wanita mengandung dan menyapih adalah tiga puluh bulan
sedangkan ayat kedua menunjukkan keumuman masa wanita
menyapih anaknya adalah setelah dua tahun. Maka dari itu dapat
dikalkulasikan antara keduanya sehingga dapat disimpulkan
bahwa masa minimum kehamilan adalah enam bulan (Utsaimin,
1997: 3546).
Pada zaman Rasulullah juga terdapat sengketa antara Sa’ad
bin Abi Waqqash dengan ‘Abd bin Zam’ah. Mereka saling
mengakui seorang anak laki-laki yang terlahir dari seorang budak
perempuan Zam’ah. Lalu Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: Utbah
berpesan kepadaku bahwa ini adalah anaknya. Sedangkan ‘Abd
mengklaim bahwa ini adalah saudaranya karena ia terlahir di
ranjang ayahnya dengan budak perempuan ayahnya. Keduanya
mengadu kepada Rasulullah dan meminta solusi. Setelah
Rasulullah membandingkan dan melihat kemiripannya, ternyata
dia mirip Utbah. Lalu Rasulullah bersabda: "Ini adalah milikmu
wahai ‘Abd, maka tetaplah kamu menutupi tabirmu terhadapnya
wahai Sawdah bin Zam’ah."
Peristiwa tersebut seakan memberi pengetahuan baru
kepada kita bahwa sebelum ditemukannya DNA (Deoxyribonucleid
Acid) sebagai alat untuk mengetahui keturunan biologis manusia,
Rasulullah saw. sebagai The Light Personified, menetapkan nasab
manusia dengan melihat kemiripan yang tampak pada raut wajah
anak dan bapak. Sehingga metode ini sering disebut oleh
masyarakat Arab kala itu sebagai metode al-qiyafah (Nawawi,
n.d.).

- 134 -
- Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Malang -

KESIMPULAN
Kajian menikahi wanita hamil ini menjadi sangat urgent
ketika dihadapkan dengan konteks masyarakat, konteks sosial,
dan juga konteks hukum. Imam Syafi’i dengan segala potensinya
beliau berpendapat bahwa menikahi wanita dalam keadaan hamil
akibat berzina itu boleh tetapi hukumnya makruh sedangkan
Imam Malik mengatakan haram secara mutlak. Di sisi lain, Imam
Abu Hanifah mengatakan boleh dinikahi ketika hamilnya tetapi
yang menikahi itu harus orang yang menghamilinya, jika tidak
demikian maka tidak boleh disentuh sekalipun dan tidak berhak
diberi nafkah apabila yang menikahi adalah selain orang yang
menghamilinya. Sedangkan ulama dari kalangan Abu Hanifah
sendiri seperti Ibnu Syubramah dan Abu Yusuf tidak sependapat
dengan Imam Abu Hanifah, mereka lebih cenderung mengatakan
tidak boleh dinikahi ketika hamilnya apabila yang hendak
menikahi adalah orang lain.
Adapun pada mazhab Hanabilah juga mengharamkan
menikahi wanita hamil dari hasil zina ketika hamilnya. Dalam
perihal ini, Mazhab Hanabilah paling ekstrem dalam memberikan
hujjah. Disamping tidak memperbolehkan menikahi wanita hamil
akibat zina, Imam Ahmad bin Hanbal juga mensyaratkan wanita
pezina untuk bertaubat ketika hendak menikah setelah
melahirkan kandungannya atau telah selesai masa iddahnya.
Pensyaratan bertaubat ini tidak hanya pengakuan dari lisan saja
tetapi harus dapat dibuktikan dan harus ada saksi yang
membenarkan kesaksiannya.
Sedangkan untuk ketentuan nasab anak zina agaknya
keempat ulama mazhab bersepakat untuk tidak menasabkan anak
zina kepada bapak biologisnya. Namun, mengingat hak asuh anak
yang lahir tanpa dosa ini harus dipenuhi, maka Imam Abu Hanifah
dengan hujjahnya mengatakan terkait dengan hak asuh anak ini
dengan melihat pada ranjang siapa anak tersebut dilahirkan.
Pendapat kedua yang disepakati oleh Multaqa Ahlil Hadits
mengatakan dengan melihat masa minimal kehamilan.

- 135 -
- Prosiding Risalah Akhir Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Ali UIN Malang -

Melihat dengan kondisi masyarakat yang masih minim


pengetahuan, maka yang paling relevan adalah pendapat Imam
Abu Hanifah yakni dengan menikahkan wanita hamil dengan
orang yang menghamilinya. Apabila tidak demikian maka si
wanita tersebut tidak boleh disetubuhi dan tidak berhak diberi
nafkah. Adapun mengenai status nasab anak maka yang lebih
tepat adalah dengan melihat kepada masa minimal kehamilan
yaitu enam bulan. Apabila lebih atau pas enam bulan anak yang
dikandung itu lahir, maka dapat dipastikan itu adalah anak dari
bapak yang menikahi si wanita hamil tersebut. Namun apabila
kelahirannya kurang dari enam bulan dihitung dari
pernikahannya, maka dapat dipastikan itu adalah anak dari bapak
yang menikahinya akan tetapi ulama’ empat mazhab tetap tidak
setuju apabila anak dari hasil zina itu dinasabkan kepada bapak
biologisnya karena itu terkait dengan wali nikah dan hak waris.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahuti, Mansur. 1983. Kasyaf Al-Qona’ an Matn Al-Iqna’. Beirut:
’Alamul Kutub.
Al-bashri, Abu al-Hasan. 2015. Al-Iqna’ Fi Al-Fiqhi Al-Syafi’i.
Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Bujairimi, Sulaiman. 2015. “Hasyiah Al-Bujairimi Ala Al-
Minhaj.” In 11, Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 381.
Al-Khatib, Yahya Abdurrahman. 2005. Fikih Wanita Hamil. Jakarta:
Qisthi Press.
Al-Sayis, Muhammad Ali. 1990. Tarikh Al-Fiqh Al-Islami. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Aladin, Aladin. 2018. “PERNIKAHAN HAMIL DI LUAR NIKAH
DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN
FIQIH ISLAM DI KANTOR URUSAN AGAMA (STUDI KASUS
DI KOTA KUPANG).” Masalah-Masalah Hukum.
An-Nawawi, Abu Zakariya. 1980. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab.
Jeddah: Maktabah al-Irsyad.

- 136 -
- Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Malang -

Ar-Romli, Syamsuddin Muhammad. 2015. Nihayah Al-Muhtaj Ila


Syarh Al-Minhaj. Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ath-Thabari, Ibnu Jarir. 2013. “Jami’ Al-Bayan.” In 23, Beirut: Dar
al-Fikr al-’Araby, 454.
Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri’ Al-Jana’i Al-Islamiy. Beirut: Dar al-
Katib al-’Araby.
Az- Zabidi, Abu Bakar. 2006. Jauharoh An-Niroh Ala Mukhtasor Al-
Qoduri. ed. Ilyas Qablan. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Hissi, Taqiyudin. 2001. Kifayatul Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah.
Ibn ’Abd al-Barr, Yusuf. 1993. Al-Istidzkar. Damaskus: Daru
Qutaibah.
Jurjani, Ali. 1985. At-Ta’rifat. Lebanon: Maktabah Lebanon.
Manzhur, Ibn. Lisan al-'Arab, Juz I. (Maktabah Syamilah versi 2)
Mawardi, Abu al-Hasan. 1994. Al-Hawi Al-Kabir. Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah.
Najim, Ibnu. Al-Bahr Al-Raiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq. Beirut: Dar
al-Ma’rifah.
Nawawi, Muhy ad-Din. “Majmu’ Syarh Al-Muhadhdhab.” In 15,
Beirut: Dar al-Fikr.
Nuraini, Oktavia Pungky. 2020. Faktor-Faktor Penyebab Remaja
Hamil Diluar Nikah Dan Solusinya Dalam Hukum Islam.
Purwokerto.
Ridha, Abdurrasyid. 2020. “PERNIKAHAN BAWAH UMUR DAN
KEUTUHAN KELUARGA : KASUS DI INDRAMAYU.” Tatar
Pasundan : Jurnal Diklat Keagamaan.
Rofiq, Ahmad. 1998. Fikih Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sarong, Hamid. 2010. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. 3rd
ed. Banda Aceh: PeNA.
Syaltut, Mahmud. 2001. Al-Islam ’Aqidah Wa Syari’ah. Kairo: Dar
al-Syuruq.
Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

- 137 -
- Prosiding Risalah Akhir Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Ali UIN Malang -

Tirmidzi, Muhammad ibn Isa. 1987. Sunan At-Tirmidzi. Beirut: Dar


al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ulfah, Maria. 2015. “Wanita Hamil Di Luar Nikah ( Status Anak ).”
Jurnal Pembaharuan Hukum.
Wakaf, Kementrian Agama dan. 1983. Mausu’ah Al-Fiqhiyyah.
Kuwait: Dzat As-Salasil.
Wibisana, Wahyu. 2017. “Perkawinan Wanita Hamil Di Luar Nikah
Serta Akibat Hukumnya: Perspektif Fiqh Dan Hukum
Positif.” At-Ta’lim: Jurnal Pendidikan Agama Islam.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 2003. Pengantar Perbandingan
Mazhab. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Zahrah, Abu. 1987. Tarikh Al-Mazahib Al-Islamiyyah. Al-Qahirah:
Dar al-Fikr al-’Araby.
Zubaidiy, Al-Murtada. 1994. Taj Al-’Arus Min Jawahir Al-Qamus.
Beirut: Dar al-Fikr.
Zuhaili, Wahbah. 1985. Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu. Damaskus:
Dar al-Fikr.
http://www.ahlalhadeeth.com: 2010 diakses pada 8 Juli 2021

- 138 -

Anda mungkin juga menyukai