Anda di halaman 1dari 14

MARSELA ANTARI JD

Marsela antari jd kelahiran Bengkalis, 08 maret 2003. Saat ini bertinggal di


Bengkalis jl. Antara, kecamatan Bengkalis. Anak keenam dari 6 bersaudara.
Menamatkan pendidikan di Sd aisyiyah Bengkalis, SMP muhammadiyah
Bengkalis, dan SMAN 1 Bengkalis pada tahun 2021 dengan jurusan IPS. Kini
melanjutkan pendidikan perkuliahan di salah satu kampus Melayu yaitu Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis. Mahasiswa semester 3 dengan
mengambil jurusan syariah dan ekonomi islam prodi hukum tata negara.
GARIS KETURUNAN (NASAB)

A. Konsep Nasab
Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah
ta’ala mensyari’atkan adanya pernikahan. Pensyari’atan pernikahan memiliki
tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara
nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah
mawaddah warahmah1. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang
berbunyi:

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir” (Qs. ar-Rum: 21).
Sebagai upaya untuk memperjelas paparan teori pelarangan nikah karena
adanya hubungan sedarah, di bawah ini berikut pembahasan tentang beberapa
faktor yang berhubungan dengan nasab.
Kata nasab berasal dari bahasa arab yang berarti keturunan bapak,
persaudaraan.2 Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata nasab diartikan
sebagai keturunan, pertalian darah.3 Kata nasab merupakan istilah dari pertalian
kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai akibat dari pernikahan yang
sah.4

1
Wahbah al- Zuhaili, al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. ke-
II, h.100.
2
H. Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia (Jakarta: PT. Hida Harya Agung, 1990) ,
cet. ke-I, h. 449.
3
Umi Chulsum,. dan Windy Novia,., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Surabaya:Kashiko,
2006), cet. ke-II, h.478.
4
Abdul Aziz Dahlan (ed.) et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4 (Jakarta: Ichtiar Baru
VanHoeve, 1996), cet. ke-II, h. 1304

1
Secara etimologis, kata nasab berasal dari bahasa Arab ‚an-nas}ab ‛ yang
artinya ‚keturunan, kerabat.5 Nasab juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan
berdasar hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah.
Secara terminologis, istilah nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai
hubungan darah, baik karena hubungan darah (bapak, kakek, ibu, nenek, dan
seterusnya) ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya) maupun kesamping (saudara,
paman, dan lain sebagainya).
Dari beberapa definisi tentang nasab di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa nasab adalah suatu legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan
pertalian darah, dan sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau
akibat dari nikah fasid, ataupun akibat dari senggama syubhat. Nasab merupakan
sebuah pengakuan syara‟ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan
ayahnya sehingga dengan adanya garis keturunan tersebut maka anak akan
menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian
anak tersebut juga berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan
nasab.

B. Sebab-Sebab Penentuan Nasab


Nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan kehamilan karena adanya
hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu
dilakukan berdasarkan akad nikah maupun tidak. Sedangkan penetapan nasab
seorang anak kepada ayahnya, terjadi bisa melalui pernikahan yang sah,
pernikahan fāsid, atau wāṭi’syubhāt. Amir Syarifuddin menyebutkan “kalau nasab
kepada ibunya bersifat alamiah, maka (nasab) anak kepada ayah adalah hubungan
hukum; yaitu terjadinya peristiwa hukum sebelumnya, dalam hal ini adalah
perkawinan”6. Karena itu, Islam tidak mengakui anak hasil zina sebagai yang
bernasab kepada laki-laki yang menzinahinya atau suami dari ibu sang anak
tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “anak-anak yang dilahirkan adalah

5
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 1411.
6
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-isu penting hukum Islam kontemporer
di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 198

2
untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak itu) dan bagi pezina
adalah rajam”.
Berikut ini penjelasan mengenai sebab-sebab penentuan nasab.
1. Melalui Pernikahan Sah
Para fuqaha menyepakati bahwa anak yang dilahirkan dari seorang
perempuan menikah dengan akad yang sah dinasabkan kepada suaminya (ayah
sang anak). Untuk hal ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu sebagai
berikut:
Pertama, suami telah matang secara biologis (bāligh).
Kedua, usia janin yang dikandung adalah minimal enam bulan sejak akad
perkawinan.
Pendapat ini adalah menurut Madzhab Hanafi. Sedangkan menurut ulama
selain Hanafi, masa minimal enam bulan terhitung mulai terjadinya persetubuhan
suami istri tersebut. Jika kelahiran itu kurang dari enam bulan, maka anak itu
tidak dapat dinasabkan kepada suami sang perempuan.
Ketiga, adanya pertemuan antara suami istri tersebut setelah akad nikah.
Kalangan Hanafiyah menganggap cukup pertemuan dengan berdasarkan
imaginasi (membayangkan) dan akal. Mereka berpendapat bahwa ketika
memungkinkan pertemuan suami istri itu secara akal maka anak yang dilahirkan
minimal enam bulan setelah akad, dinasabkan kepada suami, bahkan meskipun
tidak terjadi pertemuan secara langsung.
Pendapat ini menurut az-Zuhailī adalah bentuk konsistensi mereka dalam
mengamalkan hadits “al-waladu lil firāsy” meskipun tidak terjadi kemungkinan
persetubuhan antara suami istri tersebut. Hal ini merupakan bentuk perhatian
terhadap anak agar tidak terjadi penelantaran terhadapnya dan juga untuk menjaga
nama baik serta menutup kemungkinan terjadinya persoalan atas anak tersebut.
Kalaupun memang sang suami yakin kalau anak tersebut bukan anaknya, maka ia
bisa melakukan li‘ān (sumpah pengingkaran atas anak). Tentu saja pendapat ini
ditolak oleh tiga madzhab yang lain. Mereka berpendapat bahwa pertemuan itu
harus jelas secara lahiriyah dan memungkinkan terjadinya persetubuhan suami
istri tersebut.

3
2. Nasab yang ditetapkan Melalui Pernikahan Fāsid
Pernikahan fāsid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan
tidak memenuhi/cacat syarat sahnya. Misalnya menikahi perempuan yang dalam
masa ‘iddah. Para ahli fiqh sepakat bahwa penetapan nasab anak yang lahir dalam
pernikahan fāsid sama dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah,
dengan syarat: Pertama, suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil,
yaitu seorang yang bāligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa
menyebabkan isterinya tidak hamil. Kedua, adanyapersetubuhan suami istri.
Ketiga, anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya
persetubuhan.
3. Nasab yang disebabkan karena Wāṭi Syubhat
Wāṭisyubhat adalah terjadinya persetubuhan antara lakilaki dan perempuan
karena kesalahan, misalnya dalam keadaan malam yang gelap seorang laki-laki
menyetubuhi seorang perempuan di dalam kamarnya yang menurut keyakinannya
adalah istrinya. Jawād al-Mughniyah menyebutkannya dengan seorang laki-laki
menggauli seseorang perempuan yang haram atasnya karena tidak tahu dengan
keharaman itu7. Dalam kasus seperti ini, jika perempuan itu hamil dan melahirkan
setelah enam bulan sejak terjadinya persetubuhan tersebut dan sebelum masa
maksimal kehamilan, maka anak yang lahir itu dinasabkan kepada lakilaki yang
menyetubuhinya. Akan tetapi jika anak itu lahir setelah masa maksimal masa
kehamilan maka anak itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki tersebut.
Menurut madzhab Syafi‟i, mereka mengatakan bahwa syubhat itu sendiri
sebenarnya dapat dibagi kepada tiga pembagian, yaitu:
1. Syubhat pada objek suatu perbuatan. Misalnya, apabila seorang suami
menyetubuhi istrinya yang sedang haid atau sedang puasa. Menyetubuhi
istri adalah hak suami. Namun menyetubuhi istri di saat ia sedang haid atau
ketika istri sedang puasa maka hal semacam itu dilarang oleh syara‟.
2. Syubhat pada subjek (pelaku), yaitu syubhat yang bersumber pada dugaan
pelaku, yakni ia dengan i‟tikad baik melakukan perbuatan yang dilarang

7
Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-aḥwal asy-Syakhṣīyah ‘alā alMaẓāhib al-Khamsah,
(Bairut: Dār al-Islāmī li al-Malāyin, 1964), h. 79

4
karena mengira bahwa perbuatan itu tidak dilarang. Misalnya, ia
menyetubuhi seorang wanita yang dia kira adalah istrinya, padahal wanita
yang telah disetubuhi tersebut bukanlah istrinya.
3. Syubhat pada ketentuan hukum, yaitu syubhat yang timbul dari perbedaan
pendapat di kalangan ulama fikih tentang ketentuan hukum suatu perbuatan.
Misalnya, Imam Hanafi memperbolehkan nikah tanpa wali dan Imam Malik
memperbolehkan nikah tanpa saksi asal di adakan walimatul ursy.

Adapun madzhab Hanafi membagi syubhat dalam dua bagian, yaitu:


1) Syubhat yang menyangkut perbuatan, yaitu syubhat bagi orang yang tidak
mengetahui kehalalan atau keharaman suatu perbuatan. Pada bentuk ini,
dalil yang menunjuk langsung atas kehalalan perbuatan itu tidak ada,
sedangkan ia mengira sesuatu yang bukan dalil sebagai dalil yang menunjuk
kehalalannya. Misalnya, hubungan seksual dengan mantan istri yang sedang
menjalani iddah dari talak tiga. Dalam hal ini, kehalalan hubungan seksual
di antara mereka sebenarnya sudah tidak ada lagi karena telah batal
disebabkan talak. Tetapi dengan adanya kewajiban suami memberikan
nafkah kepada mantan istri dan keharaman mantan istri melakukan
pernikahan dengan orang lain masih tetap ada, ditambah lagi dengan mantan
suami mungkin masih serumah dengannya. Hal inilah yang akan
menimbulkan syubhat.
2) Syubhat yang berkenaan dengan tempat (mahal). Syubhat ini disebut juga
dengan hukmiyyah (keraguan yang terletak pada status hukumnya) atau
syubhat al-milk (keraguan tentang pemilik yang sebenarnya). Syubhat ini
terjadi karena pada satu sisi terdapat dalil syara‟ yang mengharamkan,
namun pada sisi yang lain terdapat dalil syara‟ yang mengandung
pengertian membolehkannya. Misalnya, ada dalil yang mengharamkan
pencurian, namun ada dalil lain yang mengandung pengertian seorang ayah
mencuri harta anak sendiri.

C. Klasifikasi Nasab

5
Dalam ilmu nasab ada klasifikasi/pengelompokan status nasab seseorang:
1. Shohihun Nasab, adalah status nasab seseorang yang setelah melalui
penelitian dan pengecekan serta penyelidikan ternyata sesuai dengan buku
rujukan (buku H. Ali bin Ja‟far Assegaf dan buku induk), yang
bersangkutan dinyatakan berhak untuk mendapatkan buku dan dimasukkan
namanya di dalam buku induk.
2. Masyhurun Nasab , adalah status nasab seseorang yang diakui akan
kebenarannya namun tidak terdapat pada buku rujukan yang ada. Yang
bersangkutan tidak bisa dimasukkan dalam buku induk. Kebenaran
nasabnya didapat dari keterangan kalangan keluarganya sendiri dan
ditunjang oleh beberapa literatur/buku yang dapat dipercaya, juga diakui
oleh ahli-ahli silsilah terdahulu ditambah beberapa orang yang memang
diakui kepribadiannya di masanya.
3. Majhulun Nasab, adalah status nasab seseorang setelah diadakan masa
penyelidikan/pengecekan dan penelitian ternyata tidak didapatkan jalur
nasabnya. Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya status ini
diantaranya: karena ketidak tahuan, kebodohan, keminiman pengetahuan
masalah nasabnya ataupun niat-niat untuk memalsukan nasab.
4. Maskukun Nasab, adalah status nasab seseorang yang diragukan
kebenarannya karena didalam susunannya terjadi kesalahan/terlompat
beberapa nama. Hal ini dikarenakan terjadinya kelengahan sehingga tidak
tercatatnya beberapa nama pada generasi tertentu.
5. Mardudun Nasab, adalah status nasab seseorang yang dengan sengaja
melakukan pemalsuan nasab, yakni mencantum beberapa nama yang tidak
memiliki hubungan dengan susun galur nasab yang ada. Ataupun
menisbahkan namanya dengan qabilah tertentu bersandarkan dengan
cerita/riwayah dari seseorang yang tidak memiliki ilmu nasab/individu yang
mencari keuntungan ekonomi secara pribadi.
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan yang bersangkutan
bertindak memalsukan nasab ini sebagai contoh adalah karena yang
bersangkutan hendak melamar Syarifah ataupun masalah warisan.

6
6. Tahtal Bahas (dalam pembahasan), adalah status nasab seseorang yang
mana di dalamnya terjadi kesimpang siuran dalam susunan namanya. Hal ini
banyak penyebabnya, diantaranya karena yang bersangkutan di tinggal oleh
orang tuanya dalam keadaan masih kecil atau terjadinya kehilangan
komunikasi dengan keluarganya atau terjadi kesalahan dalam menuliskan
urutan-urutan namanya. Posisinya nasab ini bisa menjadi shohihun.nasab
atau majhulun nasab atau mardudun nasab sesuai dengan hasil penyelidikan
dan pengecekan yang dilakukan.
7. Math‟unun Nasab, adalah status seseorang yang tertolak nasabnya karena
yang bersangkutan terlahir dari hasil perkawinan di luar Syariat Islam.
Tertolaknya nasab ini setelah melalui penelitian dan pengecekan juga
dengan ditegaskan oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya. Hal ini
juga dikenal dengan cacat nasab.

D. Akibat Dari Hubungan Nasab


Implikasi dari adanya hubungan nasab akan menimbulkan adanya beberapa
hubungan, yaitu :
1. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan itu merupakan
sebab memperoleh hak mempusakai terkuat, dikarenakan kekerabatan itu
termasuk unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan.
Berlainan halnya dengan perkawinan, ia merupakan hal baru dan dapat hilang,
misalnya kalau ikatan perkawinan itu telah diputuskan.
Pada tahap pertama seseorang anak menemukan hubungan kerabat dengan
ibu yang melahirkanya. Seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu
mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya. Hal ini bersifat
alamiah dan tidak ada seorangpun yang membantah hal ini karena si anak jelas
keluar dari rahim ibunya itu.8

8
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), 116.

7
Pada tahap selanjutnya seseorang mencari hubungan pula dengan laki-laki
yang menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan. Bila dapat dipastikan secara
hukum bahwa laki-laki yang menikahi ibunya itu yang menyebabkan ibunya
hamil dan melahirkan, maka hubungan kerabat berlaku pula dengan laki-laki itu.
Laki-laki itu kemudian disebut dengan ayahnya. Bila hubungan keibuan berlaku
secara alamiah maka hubungan keayahan berlaku secara hukum.
2. Kewarisan
Salah satu misi syariat Islam adalah hizf}un nasl, yakni terpeliharanya
kesucian keturunan manusia sebagai pemegang amanah khalifah di muka bumi.
Hubungan darah (nasab) antara orang tua dan anak merupakan hubungan
keperdataan yang paling kuat dan tidak dapat diganggu gugat oleh hubungan lain
dari manapun. Di bidang kewarisan, kedudukannya tidak dapat dihijab (dihalangi)
baik hirman maupun nuqshan. Bahkan hubungan itu dalam pandangan agama
dimungkinkan berlangsung sampai keluar batas kehidupan dunia, misalnya secara
moral anak saleh merasa berkepentingan menyertakan do’a untuk keselamatan
kedua orang tuanya di akhirat. Alquran melukiskan kedekatan hubungan itu
sebagaimana tercantum dalam surah al-Furqan ayat 54. Allah SWT berfirman
dalam surah an-Nisa’ ayat 11:

Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi

8
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3. Perwalian
Adanya wali dalam suatu pernikahan dianggap sangat penting, sebab suatu
pernikahan menjadi tidak sah apabila tidak ada wali. Sebagaimana disebutkan
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 19, wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya. Amir Syarifuddin mengatakan bahwa secara
umum, wali adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk
bertindak terhadap dan atas nama orang lain, sedangkan wali dalam perkawinan
adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu
akad nikah.9 Dalam hal ini seseorang yang dalam urutan awal menjadi wali bagi
seorang perempuan yang hendak menikah adalah wali dari jalur nasab. Karena
nasab merupakan hubungan yang paling erat dan dekat hingga dapat
menimbulkan hak-hak yang sedemikian rupa.
Dalam hal ini seseorang yang dalam urutan awal menjadi wali bagi seorang
perempuan yang hendak menikah adalah wali dari jalur nasab. Karena nasab
merupakan hubungan yang paling erat dan dekat hingga dapat menimbulkan hak-
hak yang sedemikian rupa. Sedangkan dalam Alquran yang mengisyaratkan
tentang perwalian ada dalam surah al-Baqarah ayat 232 :

9
Amir Syarifuddin. Ibid hlm. 69

9
Artinya : ‚Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma
´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

E. Cara Menentukan Nasab Pada Masa Nabi


Pada Rasul dan Zaman sahabat untuk menentukan hubungan nasab yakni
dengan melihat dari perkawinan yang sah orang tua anak atau orang tersebut.
Seorang laki-laki dan perempuan yang menikah dan melahirkan seorang anak,
maka secara otomatis anak itu dinasabkan kepada kedua orang tuanya dengan
catatan tidak ada pengingkaran oleh si suami. Misalnya Jika seorang istri
melahirkan anak yang berkulit hitam padahal kedua suami istri tersebut berkulit
putih atau sebaliknya, maka di sini ada dua pendapat. Pertama sang suami boleh
tidak mengakui anak tersebut, yaitu karena faktor kemiripan. Kedua suami tidak
boleh menolak anak itu, karena mungkin ada kelainan atau penyakit pada anak itu.
Dalam masalah ini bisa di bantu oleh seorang Qa-fah, yakni orang yang tahu
menetukan nasab berdasarkan kemiripan jasmaniah. Selain itu juga digunakan
sistem al-qiyafa, yakni menurut penglihatan setelah melihat bagian-bagian pada
bayi yang baru lahir serta melihat ciri-ciri jasmaniah anak tersebut. Dan salah satu
contohnya atau yang saat ini telah diqiyas-kan adalah dalam bentuk sidik jari.
Melalui sidik jari tersebut, seseorang ditentukan bahwa inilah sebenarnya
hubungannya. Selain kedua cara di atas, islam juga menggunakan persaksian dan
pengakuan (iqrar) untuk menentukan nasab seseorang. Istilhaq/lahiqa atau iqraru

10
bin nasab dipergunakan untuk pengakuan anak atau pengesahan anak, dimana
alasan utama dari pengakuan atau pengesahan itu ialah karena ada hubungan
darah antara yang mengakui dengan anak yang diakui.
Pengakuan anak/ pengakuan nasab itu ada dua macam[4], yakni pengakuan
anak oleh diri sendiri/pengakuan anak langsung), dan pengakuan anak oleh orang
lain. Pengakuan anak oleh diri sendiri adalah jika seseorang menyatakan bahwa
anak ini adalah anaknya, atau orang itu adalah ayahnya. Menurutnya, pengakuan
seperti itu dapat diterima dengan empat syarat:
a) Anak yang diakui tidak diketahui nasabnya. Jika diketahui nasabnya maka
pengakuan itu batal, karena tidak diperbolehkan memindahkan nasab seseorang
pada nasab orang lain. Dalam Hadits disebutkan: ” Nabi melaknat orang yang
bernasab kepada selain ayahnya “ Dalam hal objek pengakuan anak adalah
anak dari ibu yang dilian (anak li‟an), maka ulama sepakat tidak perlu syarat
ini, dan anak li‟an tidak boleh diakui sebagai anak kecuali oleh ayah yang
meli-an, karena dalam hal ini dia dianggap mencabut pernyataannya yang tidak
mengakuinya sebagai anak.
b) Pengakuan anak tersebut adalah pengakuan yang masuk akal/logis, tidak
bertentangan dengan akal sehat, seperti perbedaan umurnya wajar, atau tidak
bertentangan dengan pengakuan orang, dan sebagainya.
c) Anak yang diakui menyetujui atau tidak membantah, jika anak yang diakui itu
sudah cukup umur untuk membenarkan atau menolak (baligh dan berakal
sehat). Demikian pendapat jumhur ulama. Tetapi menurut mazhab Malikiyah,
syarat ini tidak diperlukan, karena nasab adalah hak anak kepada ayahnya,
karena itu pengakuan anak tidak memerlukan persetujuan anak, sepanjang
tidak terbukti pengakuan itu dusta atau tidak benar.
d) Pada anak tersebut belum ada hubungan nasab dengan orang lain. Artinya, jika
pengakuan anak itu diajukan oleh seorang isteri atau seorang perempuan
beriddah, maka disyaratkan adanya persetujuan dari suaminya tentang
pengakuan itu.

11
F. Cara Menentukan Nasab pada Masa Modern
Di era modern saat ini, menentukan nasab (tentunya dalam arti adanya
ikatan darah) selain dengan melihat anak yang lahir dari perkawinan yang sah,
juga bisa dilakukan dengan tes DNA (deoxyribo nucleic acid). Tes ini bukan
merupakan hal baru dalam lapangan sains. Namun bila, persoalan tes ini dikaitkan
dengan agama, tentu akan menjadi suatu persoalan yang menarik untuk dibahas.
Karena mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama, yaitu
ada yang membenarkan dan ada yang tidak memperbolehkan, sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Pembuktian anak kandung melalui tes DNA adalah berdasarkan teori dan
praktik ilmu genetika umat manusia. Kesamaan di bidang struktur bentuk dan
fungsi fisiologi dari generasi ke generasi dianalissi terhadap kecirian keturunan,
untuk memastikan hubungan kandung yang mencurigakan antara bapak dan anak
atau ibu dan anak.
Sedangkan cara pembuktian anak kandung dari ilmu forensik sebagai
berikut, pembuktian melalui tipe darah, perbandingan melalui ciri wajah,
pemeriksaan terhadap kurai atau barik-barik kulit, pemeriksaan penyakit
keturunan, perbedaan corak, serta membuat inferensi terhadap stadium
pembuahan, periode melahirkan dan kemampuan reproduksi.
Tes DNA itu merupakan penemuan pada ilmu kedokteran terkini. Sebab
pada zaman rasul dan sahabat belum dikenal istilah seperti itu.Yang ada pada saat
itu adalah sistem al-qiyâfa, yakni menurut penglihatan setelah melihat bagian-
bagian pada bayi yang baru lahir. Dan salah satu contohnya atau yang saat ini
telah di-qiyas-kan adalah dalam bentuk sidik jari. Melalui sidik jari tersebut,
seseorang ditentukan bahwa inilah sebenarnya hubungannya. Dalam tes DNA,
akurasi tingkat kebenaran sudah mencapai 99,9 persen, dan bisa dijadikan sebagai
penetapan bahwa seseorang itu memiliki hubungan dengan yang lain. Oleh karena

12
itu, dalam penetapan nasab/keturunan, hasil tes DNA dapat dijadikan sebagai
bagian yang akan mendukung boleh tidaknya seseorang itu diakui sebagai nasab.10

10
M. Jamil. NASAB DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AHKAM. Universitas Islam Negeri
(UIN) Sumatera Utara Medan. HLM. 129

13

Anda mungkin juga menyukai