Anda di halaman 1dari 12

"PERKAWINAN WANIITA HAMIL”

(Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih Munakahat”)


Dosen pengampuh : Dr. Iskandar, M.Sy

Oleh Kelompok 13:


1. AZHARI GESI RADJA (2011111035)
2. WAWAN PRIYADI (2011111031)
3. ISMAIL SAMI (2011111030)
1. Pengertian Kawin Hamil

 Pengertian kawin hamil secara bahasa merupakan dari dua kata yaitu
kawin dan hamil keduanya mempunyai makna yang berbeda. Menurut
bahasa, kawin merupakan sinonim dari kata nikah, Kata nikah berasal
dari ‫ –نكاح ينكحو نكح‬yang berarti kawin atau perkawinan.
 Adapun pengertian hamil ditinjau dari bahasa adalah kata serapan
dari Bahasa Arab yang telah dibakukan, yaitu dari kata ‫ الحمل‬yang
berati kandungan. Hamil dalam istilah yaitu keadaan seseorang
wanita yang mengandung anak atau janin di dalam rahimnya setelah
terjadi pembuahan dalam rahim akibat hubungan seksual (wati’).
 Dari kedua pengertian diatas dapat ditarik pengertian nikah hamil
atau kawin hamil berarti pernikahan yang calon mempelai wanitanya
dalam keadaan hamil sebelum adanya ijab qobul.
2. Pandangan Hukum Islam tentang kawin Hamil
 Islam adalah agama yang mulia dan senantiasa mengajak umatnya untuk
berbuat baik dan menjalankan perintah Allah SWT. Salah satu hal yang
dianjurkan dalam islam adalah menikah. Meskipun demikian, sanagat
marak budaya pergaulan bebas. Pergaulan bebas dan perilaku zina dapat
menyebabkan seorang wanita hamil diluar nikah. Wanita yang hamil diluar
nikah dianggap membawa aib bagi keluarganya dan ia biasanya segera
dinikahkan untuk menutupi aib dan menghindari konflik dalam keluarga.

 Berdasarkan beberapa dasar hukum islam, hukum menikah saat hamil


dianggap sah dan wanita yang melakukan zina baik dalam keadaan hamil
maupun tidak, bisa menikah dengan pria yang menzinainya ataupun pria
lain yang tidak menzinainya.
 Ayat Al-Quraan dan hadist mengenai dasar pertimbangan wanita yang
menikah disaat hamil :
 Berdasarkan Q.S An-Nisaa : 24
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami,
kecuali budakbudak perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai
ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-
perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk
menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu
dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka, sebagai suatu
kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling
merelakannya, setelah ditetapkan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana”
 Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW
Wanita yang hamil boleh menikah dengan laki-laki yang menzinahinya
maupun yang tidak menzinahinya sebagaimana hadits berikut ini : “Seorang
laki-laki yang dihukum jilid (cambuk) tidak akan menikah kecuali dengan yang
serupa (wanita pelaku zina)”. (HR Abu Dawud) Jadi hukum wanita yang
menikah saat hamil adalah sah karena perbuatan zina yang haram hukumnya
tidak menghalangi perbuatan yang halal yakni menikah.
3. Kawin hamil menurut UUD No.1 Tahun 1974 dan KHI

 Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin


antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
 Pasal 1 UU Perkawinan dalam penjelasan Pasal demi Pasal dijelaskan
bahwa Perkawinan sangat erat hubungannya dengan kerohanian dan
agama. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
menyebutkan bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila,
dimana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Maha Esa. Maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan
yang penting. Membentuk keluarga bahagia rapat hubungan dengan
keturunan, merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan
pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
 Menurut KHI Pernikahan wanita saat hamil juga disebutkan dalam
kompilasi hukum islam dan hukumnya diperbolehkan dengan
menimbang segala manfaat dan mudharatnya.
 Berikut adalah bunyi pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita yang
hamil akibat zina:
1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya;
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir
4. Status Anak dari pernikahan Wanita Hamil dari segi
perspektif Fiqih
 Status Anak hasil kawin hamil ibunya menikah dengan ayah biologisnya
 Dari kalangan empat madzhab, Imam Abu Hanifah—pendiri madzhab Hanafi–
yang paling sharih (eksplisit) menegaskan sahnya status anak zina dinasabkan
pada bapak biologisnya apabila kedua pezina itu menikah sebelum anak lahir.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengutip pandangan Abu Hanifah demikian:
“Seorang lelaki yang berzina dengan perempuan dan hamil, maka boleh
menikahi perempuan itu saat hamil. Sedangkan status anak adalah anaknya”).
 Dalam madzhab Syafi’i ada dua pendapat. Pendapat pertama bahwa nasab
anak zina tetap kepada ibunya, bukan pada bapak biologisnya walaupun
keduanya sudah menikah sebelum anak lahir. Ini pendapat mayoritas ulama
madzhab Syafi’i. Pendapat kedua, status anak zina dalam kasus ini dinasabkan
kepada ayah biologisny apabila anak lahir di atas 6 bulan setelah akad nikah
antara kedua pezina. Dan tidak dinasabkan ke ayah biologisnya jika anak lahir
kurang dari enam bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si suami melakukan
ikrar pengakuan anak.
 Status Anak dari Kawin Hamil Zina yang Ibunya Menikah dengan Lelaki Lain
Bukan Ayah Biologisnya :
 Seorang wanita melakukan zina dengan seorang pria dan hamil. Kemudian dia
menikah dengan pria lain bukan yang menzinahinya. Hukum pernikahannya
adalah sah menurut madzhab Hanafi, As-Tsauri dan pendapat yang sahih dalam
madzhab Syafi’i. Walaupun terjadi perbedaan tentang apakah boleh hubungan
intim sebelum melahirkan atau tidak. Sedang menurut madzhab Maliki dan
Hanbali mutlak tidak boleh karena wajib melakukan istibra’ (penyucian rahim).
Ia baru boleh dinikahi setelah melahirkan. Adapun status anak dalam kasus ini
maka menurut madzhab Syafi’i jika anak lahir di atas 6 bulan pasca pernikahan,
anak tersebut secara dzahir saja dinasabkan kepada suaminya, dan ia wajib
menafikannya (tidak mengakui anak)
 Status Anak Zina dari Hasil Hubungan Perempuan Bersuami dengan Lelaki Lain :
 Apabila seorang perempuan bersuami berselingkuh, dan melakukan hubungan
zina dengan lelaki selingkuhannya sampai hamil, maka status anaknya saat lahir
adalah anak dari suaminya yang sah; bukan anak dari pria selingkuhannya.
Bahkan,walaupun pria yangmenzinahinya mengklaim (Arab, istilhaq) bahwa itu
anaknya. Sebagai anak dari laki-laki yang menjadi suami sah ibunya, maka anak
berhak atas segala hak nasab (kekerabatan) dan hak waris termasuk wali nikah
apabila anak tersebut perempuan.Ini adalah pendapat ijmak (kesepakatan) para
ulama dari keempat madzhab
5. Status Anak yang Lahir Akibat Pernikahan Wanita Hamil
dalam pandangan (Hukum Perdata dan Hukum Islam)

 Menurut Hukum Perdata :


 Seorang anak menyandang status hukum yang berkaitan dengan status
perkawinan orang tuanya. Mengacu peraturan seperti Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sedikitnya ada dua kedudukan seorang anak yakni anak sah
dan anak luar perkawinan. Anak sah yakni anak yang dilahirkan setelah
orang tuanya menjalani perkawinan yang sah. Perkawinan dinyatakan
sah ketika dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama dan
kepercayaannya.
 Untuk anak luar kawin ada dua pengertian. Pertama, anak yang
dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Kedua, anak
dibenihkan di luar perkawinan, tapi dilahirkan setelah orang tuanya
melakukan perkawinan. Untuk pengertian yang kedua itu, dalam hukum
perdata, anak tersebut bisa dikategorikan sebagai anak sah. ini diatur
dalam pasal 50 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana telah diperbarui lewat UU No. 24 Tahun
2013
 Bagi penganut agama Islam, anak luar nikah itu tidak dapat dikategorikan
sebagai anak sah. Penganut agama Islam juga tidak boleh melakukan pengakuan
terhadap anak luar kawin, tapi anak tersebut harus dilindungi. Bukan berarti
ayah bilogis dari anak luar kawin itu lepas tanggung jawab, dia bisa dituntut
oleh si anak dan ibunya untuk memenuhi pemberian nafkah, biaya penghidupan,
perawatan, pendidikan, pengobatan sampai usia anak beranjak dewasa.
 Menurut Hukum Islam :
 Salah satu tipe kasus perempuan yang hamil karena zina adalah bahwa laki-laki
yang menzinahi tidak mau bertanggung jawab. Seakan-akan pihak pria-lah
satusatunya oknum yang yang harus bertanggung jawab atas masalah
kecelakaan ini. Faktanya adalah keduanya sama-sama bersalah. Itulah sebabnya
dalam hukum Islam yang terkena hukuman bukan hanya pelaku pria tapi juga
wanita. Allah berfirman dalam QS An-Nur 24:2 “Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat,
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.” Hukuman dera adalah apabila pelaku zina tidak
memiliki suami atau istri. Sedangkan untuk kasus terakhir maka hukumanya
adalah rajam.
 Adapun status anak hasil zina yang lahir tanpa ada ikatan pernikahan
sama sekali antara ibunya dengan pria manapun, maka ada dua
pendapat ulama. Pendapat pertama adalah anak tersebut dinasabkan
pada ibunya walaupun seandainya ayah biologisnya mengklaim bahwa
ia adalah anaknya. Ini pendapat mayoritas ulama antar-madzhab yaitu
madzhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan sebagian madzhab Hanafi.
 Pendapat kedua adalah bahwa anak zina tersebut dinasabkan pada
ayah biologisnya walaupun tidak terjadi pernikahan dengan ibu
biologisnya. Ini adalah pendapat dari Urwah bin Zubair, Sulaiman bin
Yasar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Nakha’i, dan Ishaq. Urwah bin Zubair dan
Sulaiman bin Yasar pernah berkata bahwa “Seorang pria yang datang
pada seorang anak dan mengklaim bahwa anak itu adalah anaknya dan
mengaku pernah berzina dengan ibunya dan tidak ada laki-laki lain
yang mengakui, maka anak itu adalah anaknya ”.
Kesimpulan

1) Pengertian hamil ditinjau dari bahasa adalah kata serapan dari Bahasa Arab
yang telah dibakukan, yaitu dari kata ‫ الحمل‬yang berati kandungan. Dalam
KBBI kata hamil berarti mengandung janin di rahim karena sel telur dibuahi
oleh spermatozoa. Hamil dalam istilah yaitu keadaan seseorang wanita yang
mengandung anak atau janin di dalam rahimnya setelah terjadi pembuahan
dalam rahim akibat hubungan seksual (wati’).
2) Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 32, menyatakan : “Seseorang
yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zina, sekali-
kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu.”
3) Pernikahan wanita saat hamil juga disebutkan dalam kompilasi hukum islam
dan hukumnya diperbolehkan dengan menimbang segala manfaat dan
mudharatnya.
4) Berdasarkan perspektif fiqih status anak dalam kasus kawin hamil maka
menurut madzhab Syafi’i jika anak lahir di atas 6 bulan pasca pernikahan,
anak tersebut secara dzahir saja dinasabkan kepada suaminya, dan ia wajib
menafikannya (tidak mengakui anak).

Anda mungkin juga menyukai