Anda di halaman 1dari 7

Mata Kuliah Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan

STATUS HUKUM PERKAWINAN DARI WANITA

DALAM KEADAAN HAMIL

DI SUSUN OLEH:

Faradilla Syahnaz 2303202010003


Rifka Ulya 2303202010008
Sri Ayu Tisna Murti 2303202010006
Hadzil 2303202010004

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala


Program Magister Kenotariatan
Tahun Ajaran 2023
A. LATAR BELAKANG
Pernikahan adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak yang
setara laki- laki dan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan berdasarkan
hukum atas kerelaan dan kesukaan untuk hidup bersama.(Ali Murtadho, 2009 : 29).
Hubungan laki-laki dan perempuan yang dipenuhi dengan cinta kini dikenal dengan
sebutan pacaran bukanlah hal yang tabuh bagi masyarakat zaman sekarang bahkan
tingkat sekolah dasar pun telah mengenal pacaran. Pacaran zaman sekarang banyak
yang telah mengarah pada hubungan intim pra nikah atau seks bebas. Hubungan seperti
ini berdampak pada lembaga perkawinan dan pergaulan yang telah melenceng jauh dari
kaidah-kaidah agama. Seks bebas dalam hukum Islam merupakan perbuatan tercela dan
dilaknat oleh Allah, karena perbuatan zina dapat berakibat buruk terhadap pelakunya,
dari mulai penyakit yang menular hingga terjadinya hamil diluar nikah. Padahal Allah
telah menegaskan dalam firmanNya dalam surah Al-Isra’ ayat 32 yaitu: Artinya: Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’ : 32).
Perkawinan telah diatur secara jelas oleh ketentuan-ketentuan hukum Islam
yang digali dan sumber-sumbernya baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan hasil Ijtihad. Oleh
karena itu bagi umat Islam adalah suatu kemestian untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan hukum perkawinan yang diatur oleh dalil-dalil yang jelas dan benar dalam
persoalan yang kecil sekalipun. Bagi seorang gadis tentu dia tidak pernah hamil, karena
belum pernah kawin, yang menjadi persoalan ialah ternyata dia hamil, maka dapat
dipastikan bahwa kehamilannya itu adalah hasil dari hubungan seksual di luar
perkawinan.
Akibatnya dengan berbagai pertimbangan dicoba untuk menutup-nutupinya,
antara lain dengan melangsungkan perkawinan dengan laki-laki, baik dengan orang yang
menghamilinya, ataupun dengan laki-laki lain yang bersedia mengawininya. Dalam
ketentuan hukum Islam, orang yang melakukan hubungan seksual di luar perkawinan
dihukumkan zina, jika wanita yang berbuat zina itu hamil, maka para Imam Mazhab fiqh
berpendapat, apakah wanita yang hamil itu boleh melangsungkan perkawinan dengan
laki-laki ataukah tidak boleh. Ada diantara pendapat Imam Mazhab yang membolehkan
wanita yang hamil itu melangsungkan perkawinan denga laki-laki yang menghamilinya
atau dengan laki-laki lain.
Tetapi ada pula pendapat Imam Mazhab yang tidak membolehkan wanita yang
hamil itu melangsungkan perkawinannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
perkawinan wanita hamil telah mendapat tempat pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2, dan 3
dan membolehkannya wanita hamil melangsungkan perkawinannya dengan laki-laki
yang menghamilinya. Pembolehan kawin hamil dalam KHI pasal 53 yaitu yang berbunyi:
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.(UU RI No. 1 tahun, 2009: 245). 1

B. PEMBAHASAN
1. STATUS HUKUM PERKAWINAN DARI WANITA DALAM KEADAAN HAMIL DILUAR
PERNIKAHAN
a. Menurut perspektif Hukum Positif
Pernikahan wanita hamil memang menjadi fenomena aktual
masyarakat. Fenomena pernikahan wanita hamil ini sesungguhnya telah muncul
semenjak dahulu dan – parahnya – terus ada hingga sekarang. Kasus-kasus
pernikahan wanita hamil ini ternyata bukan hanya menjadi fenomena sosial,
namun juga menjadi fenomena hukum, baik hukum agama maupun hukum
negara (hukum positif). Dalam kacamata hukum positif, regulasi mengenai
pernikahan wanita hamil dapat ditemukan dalam beberapa peraturan negara,
kendati masih bersifat global.
Peraturan mengenai pernikahan wanita hamil tersebut dapat dijumpai
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam. Kedua sumber hukum ini dinilai sebagai dasar hukum yang paling
otoritatif dan argumentatif perihal ihwal pernikahan. Oleh karenanya, setiap
aparatur lembaga pernikahan pasti mempedomani kedua peraturan tersebut.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara eksplisit
memang belum dijelaskan perihal perihal perkawinan wanita yang hamil
sebelum akad. Akan tetapi, secara implisit hal itu bisa ditemukan dalam Pasal 2
ayat (1) bahwa : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 2
Dari bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan tersebut, dapat ditarik sebuah formulasi hukum bahwa setiap
perkawinan hukumnya sah jika dilaksanakan sesuai hukum agama dan
kepercayaan yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah perkawinan wanita
hamil. Selanjutnya, prosesi akad perkawinan yang dilakukan dicatatkan di
hadapan pejabat negara, yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai syarat
legalisasi perkawinan berdasarkan hukum Negara.
Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur masalah
perkawinan wanita hamil karena zina yang terdapat dalam Bab VIII Pasal 53
yang berbunyi:
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
1
Nur fadhiilah syam dan Andri Nurwandi, analisis pernikahan wanita hamil diluar nikah menurutmashab syafi dan
lompilasi hukum islam, jurnal penelitian medan agama vol.12, Nomor 1 2021.hal.1-2
2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. 3
Penegasan KHI ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh Al-
Shabuni dalam kitabnya Al-Rawa’i al Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an
bahwa, kebolehan untuk menikah bagi mereka yang telah berbuat zina adalah
berdasarkan pendapat dari Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas, dan ini adalah
pendapat jumhur ulama, mereka menyandarkan pendapatnya kepada beberapa
hadits yang salah satu sanad terakhinya dari Siti Aisyah bahwa Rasulullah saw,
pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan perempuan dan
hendak menikahinya beliau bersabda, permulaannya adalah zina akhirnya
adalah nikah, dan sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal
(nikah).4 Menikahi wanita hamil karena zina bukanlah masalah baru dalam
masyarakat, hal ini juga pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Dengan
demikian, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan wanita hamil luar
nikah boleh dilakukan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun pria
lain yang tidak menghamilinya yang ingin bertanggung jawab terhadap wanita
tersebut, karena bisa jadi kehamilan itu bukan atas dasar perbuatan zina
melainkan perkosaan terhadapnya yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak jelas
keberadaannya. Oleh sebab itu, wanita hamil di luar nikah boleh dinikahkan
dengan pria manapun yang mau bertanggung jawab, karena apabila wanita
hamil tesebut tidak dapat dinikahkan dengan pria lain yang tidak menghamilinya
sedangkan pria yang menghamilinya tidak bertanggung jawab, dan tidak
dilaksanakannya pernikahan dalam batas-batas tertentu akan menimbulkan
dampak sosial di masyarakat.

b. Menurut Perspektif Hukum Islam


Dalam masalah kawin hamil, sebagaimana uraian di atas, terjadi perbedaan
pendapat para ulama’ ahli fiqh sebagai berikut :
Menurut Pendapat Madzhab Syafi’i 21 Ulama Syafi’iyah (madzhab Syafi’i)
berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita yang telah hamil akibat
zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang
menghamilinya. Alasannya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk
golongan wanita yang haram dinikahi (mahram). Mereka juga berpendapat
karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi
tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil. 5
Perkawinan yang dilakukan wanita meskipun dalam keadaan hamil
diperbolehkan menurut madzhab syafi’iyyah selama pernikahan tersebut
memenuhi syarat dan rukun nikah dan adanya ijab qabul. Wanita yang hamil
akibat zina, maka tidak ada hukum kewajiban ‘iddah, dan diperbolehkan untuk
menikahinya dan juga menggaulinya.6 Artinya, selama unsur-unsur pernikahan,

3
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam..., hal. 33
4
Al-Shabuni, al Rawa’i al-Bayan Tafsir al-Ahkam min al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah,2001), hal 39`
5
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hal. 124
6
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh, (Mesir,Maktabah al-Tijariyyah al Kubra, 1969),hal 523.
baik syarat maupun rukun terpenuhi, pernikahan antara kedua mempelai
tersebut hukumnya sah.
Berdasarkan hal itu, dapat diketahui bahwa ulama madzhab Syafi’I
menghukumi sah atas pernikahan wanita hamil karena zina dengan beberapa
argumentasi berikut :
1) Pernikahan wanita hamil di luar nikah dinyatakan sah selama syarat
dan rukun nikah terpenuhi, baik dengan laki-laki yang
menghamilinya ataupun yang bukan mengahmilinya.
2) Wanita yang hamil akibat perzinaan bukan termasuk wanita yang
haram untuk dinikahi (mahram), sehingga tidak ada larangan laki-
laki manapun untuk menikahinya.
3) Bagi wanita yang hamil di luar nikah tidak dikenal masa iddah (masa
tunggu). Sebab, iddah hanya berlaku bagi wanita-wanita yang
ditinggalkan suaminya dalam hubungan pernikahan yang sah.

2. STATUS ANAK DALAM PERKAWINAN DARI WANITA DALAM KEADAAN HAMIL


a. PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
Masalah yang muncul saat ini adalah mengenai kedudukan anak yang
dibuahkan akibat zina, yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Menurut
pasal 42 UU Perkawinan bahwa yang dimaksud dengan anak sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan
perkawinan yang sah berdasarkan pasal 2 ayat (1) adalah perkawinan yang
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
7
Bila kita cermati rumusan pasal 42 UU Perkawinan tersebut, maka akan timbul
sedikit kerancauan. Dalam klausula “Anak yang lahir akibat perkawinan yang
sah” mungkin tidak akan menjadi persoalan, namun dalam klausula “Anak yang
lahir dalam perkawinan yang sah” ini akan menimbulkan suatu kecurigaan
bahwa bisa saja si anak sebenarnya dibenihkan sebelum orang tuanya kawin. 8
Namun karena keduanya kemudian melangsungkan perkawinan, maka anak
tersebut mendapat status anak sah.
Undang-undang tidak mempersoalkan apakah si anak dibenihkan
sebelum atau sesudah terjadinya perkawinan, yang penting kelahiran si anak
terjadi pada saat orang tuanya sedang dalam ikatan perkawinan dan si ayah
tidak mengingkari bahwa itu adalah anaknya. 9 Dengan demikian, untuk
menentukan anak sebagai anak sah tidak tergantung pada waktu anak
dibuahkan dalam rahim ibu apakah ia dibuahkan dalam dan akibat perkawinan
yang sah atau tidak, dan tidak tergantung pada jangka waktu perkawinan
berlangsung sampai anak dilahirkan.
b. PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

7
D. Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Kedudukan Anal Luar Kawin, Prestasi Pustakaraya, Jakarta,2012, hlm. 137
8
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat “Menurut Hukum Tertulis dan Hukum
Islam”, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 287
9
Ibid
Menurut Muhammad Abu Zahra, seorang anak dapat dikatakan sah dan
dapat dinasabkan kepada orang tuanya harus memenuhi tiga syarat, 10 yaitu
minimal kelahiran anak enam bulan dari pernikahan, 11 adanya hubungan
seksual, dan merupakan akibat perkawinan yang sah.
Dalam terminologi yang tidak ditemukan istilah “anak diluar nikah”.
Ulama fiqih menggunakan istilah anak yang dilahirkan diluar perkawinan dengan
anak zina. Anak zina adalah anak yang dilahirkan sebagia akibat dari hubungan
tidak halal. Hubungan tidak halal yaitu hubungan badan antara dua orang yang
tidak terkait tali perkawinandan tidak memenuhi syarat dan rukunnya. 12
Anak diluar nikah dapat dibagi menjadi dua macam: pertama, anak yang
dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan
yang sah.
pengaruh sekularisme dan teori receptie benar-benar telah mewarnai
Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan (RUUHM-PA-BP) Tahun 2007. Hal itu dapat dilihat pada pasal 96
yang merumuskan, bahwa anak tersebut berkedudukan sebagai anak sah yang
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan suami ibunya, baik laki-laki
yang menikahi ibunya adalah ayah biologisnya maupun bukan. Rumusan pasal
96 RUU-HM-PA-Bidang Perkawinan Tahun 2007 :
“Dalam hal perkawinan perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam
pasal 47 dan pasal 48, maka anak yang lahir dalam waktu kurang dari 180
(seratus delapan puluh) hari terhitung sejak akad nikah, hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.13
Menurut Imam Maliki dan Syafi’i anak yang lahir setelah enam bulan dari
pernikahan ibu dan ayahnya, anak itu nasabnya kepada ayahnya. Jika anak
tersebut itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada
ibunya. Berbeda dengan pendapat imam Abu Hanifah bahwa anak diluar nikah
tetap dinasabkan kepada ayahnya yang sah. 14 Kedua, anak yang dibuahi dan
dilahirkan diluar pernikahan yang sah. Status anaknya dalam kategori kedua
dusamakan statusnya dengan anak zina dan li’an. Anak yang lahir dalam
kategori ini memiliki akibat hukum:
1) Tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya. Ayahnya tidak ada kewajiban memberi
nafkah kepada anak tersebut, namun secara biologis adalah anaknya.
Jadi hubungan yang timbul hanyaklah secara manusiawi, bukan secara
hukum.
2) Tidak saling mewarisi harta dengan ayahnya, karena hubungan
nasabnya merupakan salah satu penyebab mendapat warisan.

10
Wahba az-Zuhaili, al-fiqh al-islami qa al-adillatuh,hal.681.
11
Muhammad abu Zahra, Al-ahwal Asy-Syakhisyah (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958)
12
Hasan Makruf, al-Mawaris fi al-Syari’ah (Kairo: Mathba’ah al-Qahirah,1976), hal 196
13
Neng Djubaidah, Op.cit, hlm 166
14
M. Ali Hasan , azas-azas hukum islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja
wali Press,1997),hal 81
3) Ayah tidak dapat menjadi wali bafi anak diluar nikah, apabila anak diluar
nikah kebetulan perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah,
maka ia tidal berkah dinikahkan oleh ayah biologisnya. 15
3. KESIMPULAN
Perkawinan wanita yang hamil diluar nikah adalah sah apabila sudah terpenuhi
rukun dan syarat perkawinan yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan wanita hamil di luar
nikah boleh dilakukan, tidak wajib, asalkan dikawinkan dengan laki-laki yang
menghamilinya maupun orang lain apabila ia bersedia dan menghendakinya dan tidak
perlu dilakukan perkawinan ulang ketika anak itu sudah lahir.
Status dan kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil di luar
nikah yaitu adalah anak sah apabila anak itu lahir dalam perkawinan yang sah antara ibu
dan ayahnya. Karena dalam pasal 42 UUP dan pasal 99 KHI menetukan bahwa anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sehinggan
anak tersebut dapat dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya dan ayah yang
menikahi ibunya. Namun dalam ketentuan demikian, dalam Hukum Islam anak yang
lahir dari perkawinan wanita hamil di luar nikah untuk dapat dinasabkan kepada
ayahnya si anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam (6) bulan sejak perkawinan
orang tuanya.

15
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad ( Jakarta: Ciputat Press,2022).hal 195

Anda mungkin juga menyukai