Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DI LUAR

NIKAH DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG – UNDANG


NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

(Studi Kasus di Kelurahan Pagutan Timur Kota Mataram )

JURNAL ILMIAH

Oleh :

ZURRIYATUN THOYYIBAH
D1A014359

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2018
HALAMAN PENGESAHAN

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DI LUAR


NIKAH DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG – UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
(Studi Kasus di Kelurahan Pagutan Timur Kota Mataram )

JURNAL ILMIAH

Oleh :
ZURRIYATUN THOYYIBAH
D1A014359

Menyetujui,
Pembimbing Pertama

Prof. Dr. H. Salim HS, SH., MS.


NIP.19600408 198603 1 004

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2018
I. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan perbuatan yang disyari’atkan Islam yang mengikat dan
menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara
keduanya. Oleh karenanya kebutuhan akan pembinaan iman dan takwa dalam usia dini sangat
diperlukan sebagai benteng awal yang kokoh membentuk akidah yang baik.
Islam dalam hal ini sebagai agama juga mengajarkan kepada umatnya tentang tatacara
bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia. Yaitu bagaimana seorang manusia
menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain. Dalam hal ini kalau dikaitkan dengan
keberadaan perempuan, maka banyak hal-hal yang dimiliki olehnya untuk dijaga, salah
satunya adalah kehormatan. Seks misalnya, apabila tidak di jaga dengan baik, maka akan
menjadi suatu hal yang terlarang yang dalam agama yang disebut dengan zina. Zinah adalah
hubungan suami istri antara laki-laki dengan perempuan yang tidak di ikat oleh sebuah
hubungan pernikahan. Perbuatan zinah itu semua tidak lepas dari peran serta media masa
yang bebas tanpa ada pilter media masa yang tidak dapat di bendung lagi, baik itu media TV,
Internet dan Majalah Dewasa dan banyak yang lainnya.
Akan tetapi permasalahan yang muncul saat ini adalah munculnya masalah kehamilan

di luar nikah. Masalah ini menjadi semakin bertambah rumit ketika dalam kehidupan sosial

ini ternyata kasus ini banyak terjadi di kalangan masyarakat. Permasalahan ini tidak hanya

menyangkut masalah perbuatan zina

dari para pelaku atas perbuatannya saja, melainkan pula menyangkut status bayi yang ada

dalam kandungannya dan status hukum pelaksanaan perkawinan dalam kondisi si wanita

sedang hamil.

Ada beberapa pendapat mengenai permasalahan perkawinan akibat hamil tersebut

antara lain menurut Ulama Hanafiah dan Ulama Hanabilah mengatakan

bahwa, perempuan itu tidak boleh dikawini kecuali setelah ia melahirkan anaknya,

sebagaimana tidak boleh mengawini perempuan pada masa iddah hamil. Sedangkan menurut

Ulama Syafi’iyah dan Ulama Zahiriyah mengatakan bahwa, perempuan yang sedang hamil

karena zina itu boleh dikawini tanpa menunggu kelahiran banyi yang dikandungnya. 1

1
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Moderen, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011,
hlm. 11
Pada pasal 53 KHI di jelaskan tentang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi

perempuan yamg hamil diluar nikah akibat zina, dengan pria yang menghamilinya, Ketentuan

dalam KHI ini sama sekali tidak menggugurkan status zina bagi pelakunya, meskipun telah

dilakukan perkawinan setelah terjadi kehamilan diluar nikah. Hal ini akan menjadi bertambah

rumit ketika permasalahan ini dihubungkan dengan status anak yang di lahirkan di kemudian

hari.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut : 1.


Apakah wanita yang hamil di luar nikah sah untuk dinikahkan menurut Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ? 2. Bagaimana status
dan kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan wanita hamil di luar nikah ? 3.
Bagaimana pelaksanaan perkawinan wanita yang hamil di luar Nikah di Kelurahan Pagutan
Timur Kota Mataram ?
Tujuan dan manfaat penelitian

Tujuan penelitian adalah : a. Untuk mengetahui apakah wanita yang hamil di luar Nikah Sah
untuk dinikahkan menurut KHI dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
b. Untuk mengetahui bagaimana status dan kedudukan Anak yang dilahirkan dalam
perkawinan wanita hamil di luar Nikah. c. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan
perkawinan wanita hamil di luar nikah di Kelurahan Pagutan Timur Kota Mataram.
Manfaat Penelitian : a. Secara Akademik merupakan salah satu syarat untuk mencapai
Program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Mataram. b. Secara Teoritis, dimana
dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dalam Hukum Islam mengenai
perkawinan wanita hamil. c. Secara Prkatis memberikan pemikiran bagi masyarakat tentang
bagaimana persoalan terhadap kawin hamil tersebut dan sebagai bahan referensi bagi pihak
yang berkepentingan.
II. PEMBAHASAN

Perkawinan Wanita Hamil Diluar Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.Eksistensi

institusi ini adalah melegalkan hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan). 2 Oleh karena itu, bagi orang yang menikah harus mempunyai kesanggupan

dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu saja. Islam

khususnya di Indonesia telah memberikan kemudahan dengan keberadaan Pasal 53 KHI yang

memperbolehkan perkawinan wanita hamil. Keberadaan pasal tersebut dipandang sebagai

suatu pembuka bagi kemaslahatan kehidupan manusia terkait dengan kehormatan dan nasab

anak.3

Mengenai aturan kawin hamil tetap diletakkan pada pendapat katagori hukum “boleh”
tidak “mesti” seperti yang dianut oleh kehidupan berdasarkan hukum Adat. 4

Bunyi Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :

(1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Dari bunyi pasal diatas dapat dijelaskan ketentuan dalam KHI Pasal 53 sebagai

berikut :

2
Salim. HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 61
3
Haeratun, Analisa Pasal 53 KHI Tentang Pelaksanaan Kawin Hamil Diluar Nikah Ditinjau Dari
Hukum Islam,Vol. 30, No 1, Maret 2015, Jurnal Hukum Jatiswara Fakultas Hukum Universitas Mataram,
Mataram, 2015, hlm. 117
4
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta,
2005, hlm. 42
a) Perkawinan wanita hamil diperbolehkan kepada siapa saja yang dalam keadaan
hamil tanpa ada sebab-sebab ketentuan kehamilannya.
b) Perkawinan wanita hamil dapat dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya.
c) Perkawinan wanita hamil dilaksanakan tanpa adanya pelaksanaan had (rajam)
terlebih dahulu manakala kehamilan disebabkan oleh perzinaan yang disengaja
dan jelas.
d) Perkawinan wanita hamil dapat dilaksanakan tanpa menunggu kelahiran anak
dalam kandungan.
e) Perkawinan yang telah dilaksanakan tersebut sudah menjadi perkawinan yang sah
dan tidak perlu adanya pengulangan nikah. 5

Menurut Ulama Mazhab yang empat yang populer di Indonesia khususnya (Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh
bercampur sebagaimana suami istri. Sebab hamil semacam ini tidak menyebabkan haramnya
dikawini. Sedangkan Menurut Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya (sah)
boleh dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan bila telah bertaubat dan
menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina.6

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak diatur


mengenai persoalan perkawinan wanita hamil diluar pernikahan.Artinya bahwa apabila dalam
suatu pernikahan sudah terpenuhi rukun dan syarat dalam hukum agama, maka perkawinan
tersebut dianggap sah. Untuk itu disini akan dibahas mengenai rukun dan syarat perkawinan
yang akan dilakukan.

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam yang sesuai dengan
pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bunyi pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan “ perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.7

Status Dan Kedudukan Anak Yang Dilahirkan Dalam Perkawinan Wanita Hamil di
Luar Nikah

Menurut Undanng-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Masalah yang muncul saat ini adalah mengenai kedudukan anak yang dibuahkan
akibat zina, yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Menurut pasal 42 UU Perkawinan
bahwa yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang sah berdasarkan pasal 2 ayat (1)
adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

5
Haeratun, Op.Cit, hlm. 124
6
Ibid, hlm. 122
7
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 2004, hlm.
114
kepercayaannya itu. 8 Bila kita cermati rumusan pasal 42 UU Perkawinan tersebut, maka
akan timbul sedikit kerancauan. Dalam klausula “Anak yang lahir akibat perkawinan yang
sah” mungkin tidak akan menjadi persoalan, namun dalam klausula “Anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah” ini akan menimbulakn suatu kecurigaan bahwa bisa saja si anak
sebenarnya dibenihkan sebelum orang tuanya kawin. 9 Namun karena keduanya kemudian
melangsungkan perkawinan, maka anak tersebut mendapat status anak sah. Undang-undang
tidak mempersoalkan apakah si anak dibenihkan sebelum atau sesudah terjadinya
perkawinan, yang penting kelahiran si anak terjadi pada saat orang tuanya sedang dalam
ikatan perkawinan dan si ayah tidak mengingkari bahwa itu adalah anaknya. 10 Dengan
demikian, untuk menentukan anak sebagai anak sah tidak tergantung pada waktu anak
dibuahkan dalam rahim ibu apakah ia dibuahkan dalam dan akibat perkawinan yang sah atau
tidak, dan tidak tergantung pada jangka waktu perkawinan berlangsung sampai anak
dilahirkan.

Status dan Kedudukan Anak dalam Kompilasi Hukum Islam

Di dalam beberapa kesempatan, M Yahya Harahap dalam Anshary menyampaikan

bahwa tujuan dilegalkan perkawinan hamil antara lain adalah untuk memberikan kepastian

pada kedudukan anak yang dilahirkan, sehinga silsilah keturunan anak tersebut dapat

dinasabkan kepada ibu dan laki-laki yang menghamili ibunya. 11

Pemikiran M. Yahya Harahap dalam Anshary tersebut telah terumuskan di dalam pasal

99 KHI yang menyatakan :

Anak sah adalah :

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.


b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut.

Kalau diperhatikan ketentuan pada huruf (a) akan jelas bahwa KHI membuka
kemungkinan bagi tertampungnya anak yang lahir akibat perkawinan hamil kedalam
pengertian anak sah, sekalipun anak itu dilahirkan beberapa hari setelah perkawinan
dilaksanakan.

8
D. Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Kedudukan Anal Luar Kawin, Prestasi Pustakaraya, Jakarta,2012,
hlm. 137
9
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat “Menurut Hukum Tertulis dan
Hukum Islam”, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 287
10
Ibid
11
Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia “masalah-masalah krusial”, Pustka Harapan,
Yogyakarta, 2010, hlm. 61
Masalah “anak yang lahir dari perkawinan wanita hamil”, dapat ditemukan dalam
RUU Hukum Perkawinan Islam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI)
pada pasal 47 RUU Hukum Peerkawinan Islam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum
Islam (CLD-KHI) menetukan :

(1) Status anak yang lahir dari perkawinan hamil dinasabkan kepada ibu
yang melahirkan dan laki-laki yang menghamilinya.
(2) Apabila ada keragu-raguan mengenai status anak, maka status anak
ditentukan oleh Pengadilan Agama.

Padahal menurut Hukum Islam, meskipun ayah biologisnya menjadi suami

ibunya, namun antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya tersebut tetap tidak

mempunyai hubungan hukum (nasab).

Akan tetapi, pengaruh sekularisme dan teori receptie benar-benar telah mewarnai

Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU-

HM-PA-BP) Tahun 2007.Hal itu dapat dilihat pada pasal 96 yang merumuskan, bahwa anak

tersebut berkedudukan sebagai anak sah yang mempunyai hubungan nasab dengan ibunya

dan suami ibunya, baik laki-laki yang menikahi ibunya adalah ayah biologisnya maupun

bukan. Rumusan pasal 96 RUU-HM-PA-Bidang Perkawinan Tahun 2007 :

“Dalam hal perkawinan perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam pasal


47 dan pasal 48, maka anak yang lahir dalam waktu kurang dari 180 (seratus
delapan puluh) hari terhitung sejak akad nikah, hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. 12

Batas usia perkawinan yang menentukan sah atau tidak sahnya anak yang dilahirkan

dalam perkawinan adalah berdasarkan jumlah 180 hari. Dalam hukum Islam, batas usia enam

(6) bulan kehamilan yang dihitung enam (6) bulan sejak usia perkawinan berlangsung,

sehingga mengakibatkan anak yang dilahirkan sebagai anak sah, adalah jika perempuan

tersebut tidak hamil sebelum nikah atau tidak diketahui ia hamil sebelum akad nikah

dilangsungkan. 13

12
Neng Djubaidah, Op.cit, hlm 166
13
Ibid
Menurut seluruh Mazhab fiqih, baik Sunni maupun syi’i, bersepakat bahwa batas

minimal usia kehamilan seorang perempuan adalah enam (6) bulan berdasarkan surah Al-

Ahqaaf ayat 15 surah Luqman ayat 14 dan surah Al-Baqarah ayat 233. Surah Al-Ahqaaf ayat

15 menetukan tentang masa kehamilan dan pemberian ASI oleh ibu kepada anaknya sampai

menyapih anak adalah tiga puluh (30) bulan. Surah Luqman ayat 14 dan surah Al-Baqarah

ayat 233 menetukan batas pemberian ASI secara penuh adalah dua tahun atau dua puluh

empat (24) bulan. 14

Maka jika dihitung masa kehamilan dan pemberian ASI selama tiga puluh (30) bulan
berdasarkan surah Al-Ahqaaf tersebut, dikurangi masa pemberian ASI secara penuh adalah
dua tahun atau dua puluh empat (24) bulan berdasarkan surah Al-Luqman dan surah Al-
Baqarah tersebut, maka masa kehamilan adalah enam (6) bulan.
Pelaksanaan perrkawinan wanita hamil di luar nikah di Kelurahan pagutan Timur
Kota Mataram

Menurut Ustad Mansup sebagai penghulu di Lingkungan Petemon Pagutan Timur


berpendapat bahwa :

Perkawinan wanita hamil diluar nikah ini, bisa dilakukan asalkan perempuan itu
dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Bahkan mengharuskan untuk segera
dikawinkan sebelum si perempuan ini melahirkan, karena untuk menyelamatkan status si
anak yang dikandung. Walaupun nantinya si anak itu tetap dipandang sebagia hasil perbuatan
zina tetapi setidaknya anak itu mempunyai seorang bapak. Kecuali anak yang dilahirkan itu
anak perempuan, maka si bapaknya itu tidak bisa menjadi wali nikah ketika anak
perempuannya itu akan menikah, wali nikahnya itu harus di serahkan ke wali hakim. 15

Apabila si perempuan itu dikawinkan dengan laki-laki yang bukan menghamilnya, itu

tidak bisa, harus dicarikan dulu siapa laki-laki yang menghamilinya.Tetapi masalah seperti

ini belum pernah terjadi di Lingkungan ini. Namun apabila laki-laki tersebut sudah diketahui

oleh masyarakat bahwa ia telah menghamili si perempuan itu, maka perkawinan harus

dilakukan secara “paksa” dan segaera untuk dikawinkan. Apabila si laki-laki itu menyangkal,

maka kita harus mempunyai bukti yang kuat dengan cara musyawarah kepaada kedua pihak

14
Ibid, hlm. 83
15
Wawancara Ust. Mansup, Penghulu Lingkungan Petemon Pagutan Timur Kota Mataram,
Tanggal 21 Januari 2018
apakah benar mereka telah melakukan hal yang menyebabkan terjadinya kehamilan.

Mengenai pelaksanaan perkawinannya itu sama dengan perkawinan pada umumnya, namun

disini ada unsur“paksaan” karena Adat sudah menentukan demikian. 16

Menurut Bapak Musatatok MA,berpendapat bahwa mengenai perkawinan wanita


hamil, kalau dalam mazhab Syafi’i dan mazhab lain yang populer di Indonesia itu
dibolehkan, tidak wajib. Hukum juga melegalkan perkawinan wanita hamil asalkan dengan
laki-laki yang menghamilinya.Mengenai pelaksanaan perkawinannya itu tidak berbeda
dengan perkawinan pada umumnya yang harus memenuhi rukun dan syarat nikah, namun
disini ada “paksaan” untuk segera menikahkan keduanya sebelum anak yang dikandung itu
lahir, agar si anak itu mempunyai ayah dan memperoleh status anak sah dari negara, tetapi
secara Syari’i ia tidak diakuiapabila ia lahir kurang dari enam (6) bulan sejak perkawinan
orang tuanya. 17

Dari kedua pendapat Tokoh Agama diatas terdapat 5 poin penting mengenai
perkawinan wanita hamil di Kelurahan Pagutan Timur Kota Mataram diantaranya : 1.
Perkawinan wanita hamil di Kelurahan Pagutan Timur Kota Mataram dapat dilakukan,
asalkan ia di kawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya, hukum juga melegalkan
perkawinan seperti ini. 2. Apabila anak yang dilahirkan perempuan, maka si bapaknya tidak
bisa menjadi wali nikah ketika anak perempuannya itu akan menikah. 3. Apabila ia
dikawinkan dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, itu tidak boleh. 4. Status anak tidak
diakui secara Syari’i apabila anak itu lahir kurang dari enam (6) bulan sejak tanggal
perkawinan orang tuanya. 5. Mengenai pelaksanaan perkawinannya sama dengan perkawinan
pada umumnya, namun disini ada unsur “paksaan” karena Adat sudah menentukan demikian.

16
Ibid
17
Wawancara, Bapak Musatatok, Penghulu Muda KUA Kota Mataram, Tanggal 30 Januari 2018
III. PENUTUP

Kesimpulan :
1. Perkawinan wanita yang hamil diluar nikah adalah sah apabila sudah terpenuhi rukun dan
syarat perkawinan yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan wanita hamil di luar nikah boleh dilakukan,
tidak wajib, asalkan dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya maupun orang lain
apabila ia bersedia dan menghendakinya dan tidak perlu dilakukan perkawinan ulang ketika
anak itu sudah lahir. 2. Status dan kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil
di luar nikah yaitu adalah anak sah apabila anak itu lahir dalam perkawinan yang sah antara
ibu dan ayahnya. Karena dalam pasal 42 UUP dan pasal 99 KHI menetukan bahwa anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sehinggan anak
tersebut dapat dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya dan ayah yang menikahi ibunya.
Namun dalam ketentuan demikian, dalam Hukum Islam anak yang lahir dari perkawinan
wanita hamil di luar nikah untuk dapat dinasabkan kepada ayahnya si anak itu harus lahir
sekurang-kurangnya enam (6) bulan sejak perkawinan orang tuanya. 3. Pelaksanaan
perkawinan wanita yang hamil diluar nikah di Kelurahan Pagutan Timur Kota Mataram yaitu
harus dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Pelaksanaan perkawinannya sama
dengan perkawinan pada umumnya namun disini ada unsur “paksaan” yang mengharuskan
untuk segera dinikahkan sebelum anak dalam kandungannya lahir apabila salah satu pihak
ada yang menolak.
Saran :
1. Perlu adanya peraturan baru yang tegas dan jelas dan berlaku secara nyata demi adanya
kepastian hukum yang jelas mengenai status anak yang dilahirkannya. 2. Kepada Tokoh
Agama dan Tokoh Masyarakat di Kelurahan Pagutan Timur Kota Mataram, sebaiknya perlu
ada sanksi yang lebih tegas untuk memperkecil terjadinya perkawinan semacam ini.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdurrahman, H. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Cet ke 4,CV. Akademika
Pressindo, Jakarta, 2004.
Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia “masalah-masalah krusial”, Cet ke 1,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Djubaidah, Neng. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan
“Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia dan Hukum Islam, Ed-1 Cet. 2,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Ed-2
Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan kelima, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Moderen, Cet ke 1, Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2011.
Witanto, D. Y. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Cet.
Pertama, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2012.

Jurnal
Haeratun. “Analisa Pasal 53 KHI Tentang Pelaksanaan Kawin Hamil Diluar Nikah
Ditinjau Dari Hukum Islam”, Vol. 30, No 1, Maret 2015, Jurnal Hukum
Jatiswara Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram, 2015.

Anda mungkin juga menyukai