Anda di halaman 1dari 7

Nama: Adib kamali Umairy (150710101555)

Matakuliah MPPH Kelas G


University Of Jember (2018)

Makna Keadilan dan Kemaslahatan Poligami dalam


Perspektif Perlindungan Perempuan dan Hak Asasi Manusia
Adib kamali umairy(150710101555)
Adibkamaliu144@gmail.com
Faculty Of law,Universitas Jember

Abstrak

Masalah makna adil adalah isu yang tidak pernah habis didalam berbagai persoalan
dalam kehidupan masyarakat. Baik adil dalam perspektif agama, adil dalam perspektif
hukum Nasional ataupun adil dalam perspektif budaya masyarakat atau hukum adat,
serta adil dalam perspektif perempuan dalam hal poligami. Ketika ketidakadilan tidak
di dapatkan maka ujung dari itu semua itu adalah pengadilan dan berakhir dengan
perceraian. Tetapi tidak selesei disitu karena nasib perempuan menjadi taruhan atas
persoalan tersebut. Syarat-syarat yang terdapat dalam undang-undang perkawinan
dalam hal kebolehan poligami apakah kemudian sudah dapat merespon keadilan yang
diharapkan perempuan dan dalam konteks yang lebih luas yaitu kemanusiaan.

Abstract

The problem of the meaning of the word of juctice is an issue that never runs out in
various problems in people's lives. Whether fair in a religious perspective, fair in the
perspective of national law or fair in the cultural perspective of society or customary
law, as well as fair in the perspective of women in terms of polygamy. When injustice
is not made it is the end of it all that is the court and ends in divorce. But it is not so
there because the fate of women is at stake in the matter. The conditions contained in
polygamous marriage law are then able to respond to the justice that women are
expected to and in the broader context of humanity.

I. Pendahuluan

Perdebatan mengenai poligami yang telah terjadi selama ini, cukup menyita perhatian
umat islam, karena hal tersebut dikaitkan dengan budaya islam dan juga sunnah Nabi. Secara
historis sebenarnya poligami sudah di praktekkan semenjak zaman pra-islam. Praktek
poligami sudah dilakukan di kalangan masyarakat persia, yunani, dan mesir kuno. bahkan
sebelum datangnya islam, masyarakat di jazirah arab telah mempraktekkan poligami, sampai
tidak terbatas. Beberapa riwayat juga menceritakan hampir rata-rata kepala suku mempunyai
puluhan istri, bahkan cukup banyak kepala suku yang sampai mempunyai ratusan istri.
Setelah datangnya islam, maka poligami di atur hingga maksimal empat istri. Tetapi dengan
sejumlah syarat yang cukup ketat dalam hal kewajiban yang harus dilakukan oleh suami
terhadap semua istrinya, yaitu dalam hal keadilan yang sebenarnya hampir tidak mungkin
bisa di lakukan oleh laki-laki.

Perjalanan hidup dalam berumah tangga memang tidak selalu berjalan dengan baik-
baik saja, tanpa ada pahit sedikitpun, dari berbagai permasalahan termasuk poligami. Karena
cukup banyak laki-laki yang ingin memiliki istri lebih dari satu, terlepas dari segala motif
laki-laki tersebut ingin memliki istri lebih dari satu. Karena akibat yang terjadi selalu hak-hak
perempuan yang akhirnya dikorbankan karena tindakan laki-laki. Keadilan tidak akan
semudah di ucapkan, karena realita yang terjadi dimasyarakat, keadilan tersebut selalu berat
sebelah. Di sisi yang lain, poligami juga di kampenyakan karena ada yang beranggapan
bahwa hal tersebut merupakan salah satu yang bisa di jadikan alternatif dalam menyelesaikan
persoalan selingkuh dan prostitusi. Di satu sisi juga, poligami di tolak dari berbagai
argumentasi, mulai dari yang sifatnya normatif, psikologis, hingga ketidakadilan gender.

Adanya Perbedaan penafsiran ayat poligami yang berakibat silang pendapat mengenai
syarat mutlak yang wajib di penuhi dalam berpoligami yaitu mengenai adil Yang terdapat
dalam surat An-Nisa’ ayat 3. Dari kalangan tradisionalis berpendapat bahwa poligami
tersebut adalah perintah dan menekankan pada syarat adil yang tertera pada surat An-Nisa’
ayat 3, perintah tersebut adalah kewajiban individu yang berpoligami. Jika dari kalangan
Modernis berpendapat bahwa teks poligami juga harus mempertimbangkan mengenai syarat
mutlak adil yang berlandaskan kemaslahatan. Adanya syarat adil yang terdapat dalam surat
An-Nisa’ bukan lalu di maknai sekaligus juga sebagai anjuran untuk berpoligami. Hal
tersebut bisa di lihat dari Asbabun Nuzul ayat tersebut. Untuk kemudian menjadi sebuah
aturan, Maka dalam memaknai “adil” yang menjadi syarat berpoligami harus terlebih dahulu
di kaji secara komprehensif. Agar tidak berakibat mudharat dalam penerapannya.

Dalam persepktif Hak Asasi Manusia, adanya izin istri menjadi syarat dalam
berpoligami dan hal tersebut merupakan hak individu yang harus di perjuangkan, dalam
konteks ini perkawinan tidak hanya di pandang sebagai persoalan biologis, tetapi juga
mengenai psikologis, sosiologis walaupun juga ada yang menginginkan poligami dengan
menggunakan tameng agama, yang padahal berorientasi murni biologis. Maka dari itu konsep
adil dalam poligami juga haruslah di tinjau dari berbagai sisi. Termasuk bagaimana makna
adil dalam perspektif agama serta apakah undang-undang perkawinan yang berasaskan
monogami terbuka telah dapat memberikan perlindungan atas keadilan terhadap perempuan.

II. Pembahasan
Praktek poligami merupakan isu yang sudah cukup lama berkembang di indonesia,
yang telah ada sejak jaman nenek moyang sebelum datangnya islam. Jika dicermati pada era
60.an, munculnya praktek poligami telah banyak dilakukan oleh orang-orang pejabat
pemerintah, sehingga hal tersebut melatarbelakangi lahirnya undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan. Sehingga kemudian memberikan sejumlah syarat yang relatif berat
untuk di penuhi oleh suami yang ingin berpoligami kecuali dilakukan dengan cara yang tidak
legal atau siri. Aturan yang memberatkan tersebut terdapat dalam pasal 3, 4, dan 5.1

Menurut empat mazhab yaitu Imam syafi’i, Imam Hanafi, Imam maliki dan Imam
Hambali mengenai ayat poligami, berpendapat bahwa seorang laki-laki diperbolehkan
mempunyai lebih dari satu istri, karena di dalam agama islam laki-laki boleh menikah hingga
maksimal empat orang istri. Tetapi hal tersebut memiliki syarat yaitu seorang suami harus
berlaku adil terhadap istri-istrinya, baik dari segi nafkah dan gilirannya. Makna adil yang
yang paling besar adalah dalam hal tauhid, artinya seorang tersebut juga haruslah menjadi
tulus dan bertambah taat dalam beribadah, dengan cara menjalankan perintah dan menjauhi
larangan Allah SWT dengan sempurna dan sebenar-benarnya. Sehingga syarat tersebut
memberi isyarat bahwa syarat poligami adalah dengan menjadi muslim yang bertakwa
dengan cara menjalankan kewajiban kepada Allah SWT dan kewajibannya kepada
pasangannya.2

Berdasarkan “asbabun Nuzul” Surat An-Nisa’ Ayat 3 yang memperbolehkan adanya


poligami pada dasarnya ditujukan dalam upaya penyelamatan anak-anak yatim agar dapat
hidup layak. oleh karena itu menikahi ibu dari anak yatim bukan menjadi tujuan utama.
Sehingga tujuan dari poligami yang utama adalah memberikan keadilan terhadap anak-anak
yatim dengan menikahi ibunya. Jika di lihat dari berbagai literatur fiqih klasik mengenai

1
Moh Mardi, “Praktek Keadilan Dalam Berpoligami Menurut Perspektif Para Kyai Di Kabupaten Bangkalan”
(2017) 1:02 AL Iman J Keislam Dan Kemasyarakatan 190 at 10.
2
Nur Cahaya, “SANKSI PELAKU POLIGAMI DI INDONESIA PERSPEKTIF FIQH” (2018) 17:1 Huk Islam 74 at 8.
eksistensi poligami di dalam Al-Quran memang hampir tidak ada ulama menolak
kebolehannya. Baik ulama klasik dan modern.3

Muhammad Syahrur berpandangan mengenai poligami bahwa poligami adalah satu


tema yang penting dan telah diperhatikan dengan kusus oleh Allah SWT. menurutnya, baik
para mufasir dan ahli fiqih mengabaikan adanya redaksi umum mengenai ayat tersebut, yaitu
mengabaikan adanya keterkaitan erat antara poligami dan penyantunan pada para janda dan
anak yatim. Menurut Muhammad Syahrur, terdapat dua syarat berpoligami yaitu pertama
syarat “kammiyah” (kuantitas) dan yang kedua syarat “naw’iyyah” (kualitas). “Kammiyah”
adalah menyangkut jumlah batas perempuan yang akan di poligami, yaitu maksimal empat
Seperti yang terdapat dalam surat An-Nisa’. Dan “Naw’iyyah” Yaitu menyangkut kualitas
laki-laki yang akan berpoligami. Sehingga yang pertama harus ada kekhawatiran untuk tidak
dapat berbuat adil terhadap anak yatim sebagaimana dalam isyarat firman Allah Swt. (Q.S.
al-Nisa [4]: 3). kedua pelaku yang berpoligami harus bisa berlaku adil hingga semaksimal
mungkin. Baik terhadap istirnya-istrinya dan anak yatim yang dari para janda yang di
nikahinya. Dan ketiga perempuan yang akan di poligami harus berstatus janda dan juga
memiliki anak yatim, sebab konteks ayat tersebut yaitu berkaitan dengan para janda yang
juga memiliki anak.4

Menurut Muhammad Syahrur bahwa disisi lain hukum poligami menjadi solusi dari
berbagai permasalahan yang sangat besar, yang menuntut perjuangan masyarakat untuk
menyelesaikannya. antara lain adalah pertama dengan adanya seorang janda di sisi laki-laki
maka akan mampu untuk menjaga dan memeliharnya dari perbuatan keji. Kedua memberikan
tempat perlindungan bagi anak-anak yatim sehingga mereka merasa aman dan dapat
berkembang. Ketiga keberadaan ibu dan ayah tiri disisi anak-anak yatim dapat sekaligus
mendidik dan menjaga mereka. Sehingga jelas bahwa Muhammad Syahrur berusaha
mengambalikan aspek kemanusiaan di dalam persoalan poligami, yaitu dengan terpeliharanya
anak yatim. Tetapi oleh karena ayat ini bersifat “Hududiyyah” sehingga Muhammad
Syahrur berpendapat bahwa hakim dapat membangun segala kemungkinan yang terjadi
dalam menetapkan hukum mengenai poligami. Dengan memperhatikan kecendrungan sosial
objektifnya. Seperti ketika jumlah lelaki banyak berkurang karena akibat dari korban perang,
sehingga seorang hakim mungkin dapat mempertimbangkan untuk membolehkan seorang

3
Fatimah Zuhrah, “Problematika Hukum Poligami Di Indonesia (Analisis Terhadap UU No. 1 Tahun 1974 Dan
KHI)” (2017) 5:1 AL-USRAH at 5.
4
Nur Shofa Ulfiyati, “Tinjauan Hak Asasi Manusia tentang Izin Isteri Sebagai Syarat Poligami dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974” (2017) 8:2 Jure J Huk Dan Syariah 97 at 9.
suami untuk menikah lebih dari satu perempuan janda yang memilik anak. Tetapi selamanya
akan dilarang apabila seorang laki-laki tersebut hanya menikahi dan mengambil ibunya tanpa
membawa dan mengasuh anaknya karena hal ini sudah keluar dari “Hudud” Allah Swt.5

Terdapat ungkapan yang menarik dikutip Al Bajuri dari Ibn ‘abd As salam yang
berkata bahwa dahulu, pada zaman syariat Nabi musa a.s, perempuan di perbolehkan untuk di
nikahi hingga tanpa batas karena untuk kemaslahatan laki-laki. Jika pada zaman syariat Nabi
Isa a.s,. tidak diboleh menikah lebih dari satu karena hal tersebut untuk kemaslahatan
perempuan. Dan pada syariat Nabi Muhammad, kedua maslahat tersebut dipelihara,
sedangkan hikmah dari hal tersebut adalah jika pada Nabi musa a.s. mengutamakan
kemaslahatan laki-laki karena Fir’aun kala itu banyak membunuh anak laki-laki dan
meninggalkan banyak perempuan. Pada masa Nabi Isa a.s., mengutamakan kemaslahatan
perempuan karena Nabi Isa di ciptakan tanpa ayah. Adapun di zaman syariat Nabi
Muhammad lahirlah hikmah yang memperbolehkan menikah hingga maksimal empat karena
agar secara bertahap dapat menentramkan psikis masyarakat arab yang pada zaman itu
berbudaya patriarki dan memiliki istri yang banyak. Dari hal tersebut yang jadi pertimbangan
utama mengenai ada dan tidaknya atau boleh dan tidaknya atau diizinkan dan tidaknya
poligami ialah tergantung kemaslahatannya. Sehingga kemaslahatanlah yang menjadi titik
sentral dari peniliaian para pihak untuk kemudian mengambil keputusan hukum.6

Didalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tersebut muncul


kata adil yang mewajibkan seorang suami yang mempunyai lebih dari satu istri. Namun jika
dilihat pada prakteknnya bahwa klausul kata adil bagi perempuan ialah sangat subyektif
karena terdapat banyak sekali factor yang kemudian mempengaruhi definisi kata adil tersebut
bagi perempuan terutama terhadap perasaan atau batin seorang perempuan yang dipoligami.
Jika dilhat Kata adil menurut KBBI memiliki arti tidak berat sebelah, sama berat, tidak
memihak, tidak sewenang-wenag, berpihak pada pandji kebenaran. Sedangkan kata adil itu
sendiri berasal dari bahasa arab yaitu “adlu” yang bermakna jujur, lurus, tulus, dan berada
ditengah-tengah. sehingga perilaku seseorang bisa dikatakan adil jika seseorang tersebut telah
mampu untuk bersikap adil, jujur dan juga tidak memihak.

Relevansinya ketentuan poligami dengan dalam undang-undang Nomer 1 Tahun


1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pada dasarnya didalam kedua ketentuan
tersebut mengarah kepada asas Monogami terbuka dalam aturan perkawinan yang
5
Abdul Jalil, “Wanita Dalam Poligami (Studi Pemikiran Muhammad Syahrur)” (2018) 2:1 J CENDEKIA at 11.
6
Ulfiyati, supra note 4 at 8.
membolehkan poligami dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama Didalam UU
No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan batasan laki-laki yang akan menikah lagi. Jika didalam
KHI membatasi Seorang laki-laki untuk menikah hingga empat istri. Kedua dari alasan atau
syarat seorang laki-laki yang ingin menikah lebih dari satu dari kedua ketentuan peraturan
teresebut tidak terdapat perbedaan, yaitu sama-sama mengutamakan keadaan dan kondisi
istri. Ketiga dalam persyaratan agar diizinkan oleh pengadilan sama yaitu harus terdapat
persetujuan dari istri. Jika dalam KHI persetujuan juga harus disampaikan secara lisan di
pengadilan agama. sedangkan UU No 1Tahun 1974 tidak memberikan syarat seperti itu.
Keempat diantara kedua peraturan sama-sama juga mengatur kasus yang tidak dapat dimintai
izin istri, sebab keadaan tertentu, sehingga hakim lah yang perlu menilai. Tetapi dalam KHI
jika dalam hal istri tidak mau memberikan izin kepada suaminya untuk menikah lagi, suami
atau istri dapat mengajukan banding ataupun kasasi. Sedangkan didalam UU No 1 tahun 1974
tidak memberikan kesempatan kepada suami untuk dapat mengajukan banding atau kasasi
apabila tidak diizinkan untuk menikah lagi.7

Dari sekian pendapat yang berpendapat mengenai asas keadilan yang sangat penting
dalam berpoligami, tidak hanya mengacu pada segi kuantitatifnya saja seperti pemberian
materi atau nafkah ataupun pembagian waktu menginap. Tetapi yang harus diperhatikan juga
berkenaan dengan segi kualitatif yaitu bentuk kasih sayang kepada istrinya-istrinya dan juga
anaknya yang lalu dijadikan fondasi dan filosofi dalam kehidupan berumah tangga sekali
lagi. Agar kemudian pencapaian kata adil tersebut dapat benar-benar terwujud. Sehingga hal
tersebut menjadi sangat penting untuk melindungi perempuan. pendapat tersebut juga senada
dengan pendapat Sayyid Qutub.8

III. Penutup
Bisa ditarik kseimpulan bahwa yang dimaksud dengan klausul kata adil masih
sangatlah luas cangkupannya. karena Di dalam poligami itu sendiri sulit untuk bisa
mempraktikkan keadilan dan menyakinkan bahwa keadilan tersebut tidak akan bisa tercapai
walaupun pelaku poligami tersebut sangat menginginkannya. Sebab adil dalam poligami
masih hanya sebatas pemberian hak-hak nafkah lahir maupun batin saja sedangkan dalam
prakteknya memang terjadi ketidakseimbangan antara hak-hak terutama nafkah batin yang
memang diperbolehkan untuk disimpangi tetapi dengan adanya catatan bahwa janganlah

7
Zuhrah, supra note 3 at 11.
8
Romli, “persepsi perempuan tentang poligami (studi badan musyawarah organisasi islam wanita indonesia
provinsi lampung)” (2017) at 2.
seorang suami tersebut kemudian memperlihatkan rasa berat sebelah karena dasar
kecintaanya pada salah satu istrinya. Dan Kemudian hukum merespon mengenai
perlindungan perempuan terkait klausul adil sudah dijadikan dasar. baik tersebut didalam
agama islam dan hukum hasil komparasi hukum islam yang kemudian menghasilkan UU
nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa seoang laki-laki atau suami bisa berpoligami
tetapi tentu atas dasar ijin dari istri, dan laki-laki tersebut juga memiliki kewajiban yang harus
dipenuhi dalam segala kebutuhan istrinya, anaknya, dan rumah tangganya dan juga mampu
bersikap adil.

Anda mungkin juga menyukai