Anda di halaman 1dari 19

BAB II

POLIGAMI,ISLAM,DAN HINDU

2.1 Pengertian poligami


Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah
poligami karena mengundang pandangan yang kontroversial. Poligami adalah ikatan
perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama.
Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain
poligami disebut juga poliandri. Jika dalam poligami suami yang memiliki beberapa istri,
dalam poliandri sebaliknya, justri istri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang
sama. Akan tetapi dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan.
Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku tertentu seperti suku Tuda dan suku-
suku di Tibet.1
Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari
dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti
perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara terminologi
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai ikatan perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang
bersamaan. Sedangkan berpoligami berarti menjalankan atau melakukan poligami.2

Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami disebut dengan ta’addud al-zaujat yang
berarti banyak isteri, sedangkan secara istilah diartikan sebagai kebolehan mengawini
perempuan dua, tiga, atau empat, kalau bisa berlaku adil. Jumhur ulama membatasi poligami
hanya empat wanita saja.Dalam Islam, poligami didefinisikan sebagai perkawinan seorang
suami dengan isteri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam
waktu yang bersamaan. Batasan ini didasarkan pada QS. al-Nisa’ (4): 3 yang berbunyi:

”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Dari ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa batasan poligami itu boleh
lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari sembilan isteri. Namun batasan maksimal
empat isterilah yang paling banyak diikuti oleh para ulama dan dipraktikkan dalam sejarah
dan Nabi Muhammad Saw. Beliau melarang melakukan poligami lebih dari empat isteri.3

1
Musdah Mulia, Islam Mengguggat, hal. 46.
2
WJS Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta:Balai Pustaka, 1984), hal. 693
3
Supardi Mursalim , Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perkawinan dan Hukum Islam
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 16
Rasulullah Saw, membatasi poligami sampai empat orang isteri. Sebelum adanya pembatasan
ini, para sahabat sudah banyak yang mempraktikkan poligami melebihi dari empat isteri,
seperti lima isteri, sepuluh isteri, bahkan lebih dari itu. Mereka melakukan hal itu sebelum
mereka memeluk Islam, seperti yang dialami oleh Qais bin al-Harits. Ia berkata: “Aku masuk
Islam dan aku mempunyai delapan isteri, lalu aku datang kepada Nabi Saw. dan
menyampaikan hal itu kepada beliau lalu beliau berkata: “Pilih dari mereka empat orang.”
(HR. Ibnu Majah). Hal ini juga dialami oleh Ghailan bin Salamah al-Tsaqafi ketika memeluk
Islam. Ia memiliki sepuluh isteri pada masa Jahiliah yang semuanya juga memeluk Islam.
Maka Nabi Saw. menyuruhnya untuk memilih empat orang dari sepuluh isterinya (HR. al-
Tirmidzi).

Jadi pada dasarnya poligami sudah di praktikan jauh sebelum Islam datang. Bahkan praktik
poligami pada saat itu dapat dikatakan cukup marak. Hal ini dapat dilihat dari ajaran agama
yang dibawa oleh para nabi sebelum Rasulullah. Nabi Musa misalnya, ia tidak melarang dan
juga tidak membatasi jumlah wanita yang diperistri oleh seorang lelaki.Baidan
mengemukakan bahwa poligami sudah ada di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada
zaman purba, seperti Yunani, China, India, Babilonia, Asyria, Mesir, dan lain-lainnya.
Bahkan, poligami pada masyarakat tersebut tidak dibatasi jumlahnya hingga mencapai 130
istri bagi seorang suami. Seorang raja di China malah memiliki istri sebanyak 30.000 orang.4

Menanggapi masalah poligami ini berkembang berbagaipendapat di berbagai kalangan.


Masyarakat Barat (Eropa dan Amerika Serikat) berdalih bahwa sistem poligami akan
membuat pertentangan dan perpecahan antara suami dan isteri serta anak-anaknya. Kondisi
seperti ini pula yang mengakibatkan tumbuhnya perilaku yang buruk pada anakanak. Mereka
juga berpendapat bahwa poligami akan mengikis kemuliaan perempuan. Menurut mereka,
perempuan tidak dapat merasa memiliki hak dan kemuliaan, jika ia masih merasa bahwa
orang lain juga memiliki hati, cinta, dan kasih sayang suaminya. Seorang isteri senantiasa
menginginkan agar suami menjadi milik satu-satunya, sebagaimana juga suami berhak
menjadikan isteri milik satu-satunya tanpa yang lain. Menanggapi masalah poligami ini
berkembang berbagai pendapat di berbagai kalangan. Masyarakat Barat (Eropa dan Amerika
Serikat) berdalih bahwa sistem poligami akan membuat pertentangan dan perpecahan antara
suami dan isteri serta anak-anaknya.Kondisi seperti ini pula yang mengakibatkan tumbuhnya
perilaku yang buruk pada anak-anak. Mereka juga berpendapat bahwa poligami akan
mengikis kemuliaan perempuan. Menurut mereka, perempuan tidak dapat merasa memiliki
hak dan kemuliaan, jika ia masih merasa bahwa orang lain juga memiliki hati, cinta, dan
kasih sayang suaminya. Seorang isteri senantiasa menginginkan agar suami menjadi milik
satu-satunya, sebagaimana juga suami berhak menjadikan isteri milik satu-satunya tanpa
yang lain.5

Itulah sebagian propaganda Barat terkait dengan masalah poligami yang pada akhirnya
menyalahkan adanya sistem atau lembaga poligami. Poligami dipandang sebagai perlakuan
diskriminatif Islam, sebab hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk memiliki
pasangan lebih dari satu, sementara perempuan tidak boleh. Pandangan seperti ini juga

4
Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam
AlQur’an(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hal. 38.
5
Marzuki, “Poligami Dalam Islam”, diakses pada tanggal 24 Maret dari
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30251/1/SITI%20KHODIJAH-FSH.pdf
disebarkan di berbagai dunia termasuk dunia Islam, sehingga sebagian umat Islam memiliki
pandangan yang sama tentang poligami, yakni sebagai ketentuan yang salah yang harus
dilarang dalam Islam.Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam
adalah untuk kemaslahatan manusia. Dengan prinsip seperti ini, jelaslah bahwa
disyariatkannya poligami juga untuk kemaslahatan manusia. Poligami bertujuan untuk
mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk menyenangkan suami. Dari
prinsip ini juga dapat dipahami bahwa jika poligami itu tidak dapat mewujudkan
kemaslahatan, maka poligami tidak boleh dilakukan. Karena itulah, Islam memberikan
aturan-aturan yang dapat dijadikan dasar untuk pelaksanaan poligami sehingga dapat
terwujud kemaslahatan tersebut.6

Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami disebut dengan ta’addud al-zaujat yang
berarti banyak isteri, sedangkan secara istilah diartikan sebagai kebolehan mengawini
perempuan dua, tiga, atau empat, kalau bisa berlaku adil. Jumhur ulama membatasi poligami
hanya empat wanita saja. Kendatipun banyaknya poligami pada masyarakat kita ini, belum
pernah diselidiki secara research apa sebenarnya motif dan sebabnya, namun pada kenyataan
nya kebanyakan poligami dilakukan oleh masyarakat kita tidak sesuai dengan segala
ketentuan, sehingga poligami yang dilakukan itu sangat jauh dari hikmah-hikmah dan
rahasianya yang terkandung didalamnya. Kebolehan untuk melakukan poligami menurut
islam dalam banyak kenyataan sering diterapkan dengan cara membabi buta, maksudnya
seperti sekehendak hati saja layaknya, dengan tanpa memperhatikan dan mengindahkan
syaratsyarat yang harus dipenuhi.7

Poligami kebanyakan dilakukan mereka dengan cara yang begitu mudah, bahkan pada
kenyataan tertentu poligami dilakukan mereka semata-mata untuk kepentingan pribadi, yakni
untuk memuaskan hawa nafsu (nafsu birahi). Maka tidaklah heran jika saja poligami yang
dilakukan seperti ini akan menimbulkan mala petaka dan bencana yang tragis, yang melanda
dirinya dan masyarakat.
2.2.1 Alasan dan Syarat poligami menurut Undang-undang
Demi terwujudnya tujuan perkawinan yang disyari’atkan oleh islam maka seorang suami
yang ingin melakukan poligami harus memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan
dengan beberapa alasan yaitu :
a. Jumlah isteri yang dipoligami tidak lebih dari empat wanita. Pembatasan empat
wanita ini didasarkan pada Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3
b. Syarat selanjutnya adalah sanggup berbuat adil kepada para isteri, berbuat adil kepada
para isteri dalam poligami adalah, masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal,
menginap dan nafkah.
c. Wanita yang dipoligami tidak ada hubungan saudara dengan isterinya baik susuan
maupun nasab, karena dilarang mengumpulkan isteri dengan saudaranya atau dengan
bibinya, larangan ini terdapat pada Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 23 yaitu :

6
al-Buthi, 2002: 138
7
Supardi Mursalim , Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perkawinan dan Hukum Islam
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 16
‫ف ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َغ ُف ْو ًرا َّر ِحْي ًما‬ ِ
َ َ‫َواَ ْن جَتْ َمعُ ْوا َبنْي َ ااْل ُ ْخَتنْي ِ ااَّل َما قَ ْد َسل‬
d. Memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan
bertambahnya isteri, maksudnya bagi seorang suami yang ingin menikah dengan
seorang wanita harus yang sudah mampu, jika belum mampu haruslah menahan dulu
(puasa).
Persetujuan dari isteri, hal ini sesuai dengan posisi suami dan isteri dianggap satu
kesatuan dalam keluarga, Apapun yang dilakukan oleh suami dimintakan izin kepada
isteri, apalagi masalah ingin beristeri lagi. Persetujuan ini sangat penting demi keutuhan
dan kelangsungan hidup berkeluarga.
Sedangkan kondisi-kondisi yang memperbolehkan poligami menurut Al-Maragi
adalah :

a. Bila suami beristerikan mandul sedangkan ia sangat mengharapkan keturunan


b. Bila isteri sudah tua dan mencapai umur menopause (tidak haid) dan suami
mampu menberi nafkah lebih dari seorang isteri
c. Demi terpeliharanya kehormatan diri (tidak terjerumus dalam perzinahan) karena
kapasitas seksual suami mendorong untuk berpoligami.
d. bila diketahui dari hasil sensus penduduk bahwa kaum wanita lebih banyak dari
pada kaum pria dengan perbedaan yang mencolok.8
Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang poligami yaitu terdapat dalam Bab IX
(KHI) Pasal 55 sampai 59 yang berbunyi
Pasal 55 yang berbunyi tentang Batasan dalam beristri lebih dari satu orang dalam waktu
yang bersamaan. Batasan nya sampai 4 istri, kemudian seorang suami di tuntut untuk bisa
berbuat adil terhadap istri dan anak-anak nya.
Pasal 56 yang berbunyi tentang kewajiban seorang suami untuk meminta izin oleh istri
pertama, kemudian baru bisa mendapat izin dari pengadilan Agama. Tanpa izin dari istri
pertama, maka pengadilan agama tidak memiliki kekuatan hukum.
Pasal 57 yang berbunyi tentang suami yang boleh melakukan poligami menurut pengadilan
agama, seperti istri yang tidak menjalan tugas sebagai istri, cacat dan tidak dapat di
sembuhkan, dan mandul.
Pasal 58 yang berbunyi tentang, syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk
memperoleh izin pengadilan Agama, harus juga dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada
pasal 5 Undang-Undang No.1 tahun 1974 yaitu :
a. Adanya persetujuan isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka.

8
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Dar Al-Fikr, Beirut, h.181
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,
tetapi sekalipun telah ada persetujuan secara tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan
persetujuan lisan isteri pada sidang pengadilan agama.Persetujuan dimaksud pada ayat (1)
huruf a, tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam erjanjian atau apabila tidak ada
kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya atau karena sebab lain yang perlu
mendapat penilaian hakim.9
Pasal 59 yang berbunyi tentang, perihal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin beristeri lebih dari seorang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan
Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami mengajukan banding atau kasasi.10
Apabila diperhatikan alasan pemberian izin poligami diatas dapat dipahami bahwa alasannya
mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga
yang bahagia dan kekal dalam KHI dikenal dengan istilah Sakinan,Mawadah, Rahmah
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Apabila ketiga alasan yang disebutkan diatas
menimpa suami isteri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu
menciptakan keluarga bahagia.11
Selain alasan-alasan diatas untuk berpoligami, Syarat-Syarat dibawah ini harus terpenuhi.
Dalam Pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan :
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi Syarat-Syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka12
Sekarang marilah kita tinjau satu persatu syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan
Poligami :
Syarat (1), Adanya persetujuan isteri/ isteri-isteri, maksudnya syarat ini dapat berupa
persetujuan lisan maupun tulisan, apabila persetujuan itu berupa lisan, maka persetujuan itu
harus diucapkan didepan sidang pengadilan (Pasal 41b PP). Persetujuan isteri ini tidak perlu
bagi suami apabila isteri/ isteri-isteri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-
kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
hakim pengadilan.

9
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Akademika Pressindo, 2010), h.126
10
Ibid, h. 127
11
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 145
12
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Edisi Revisi (Jakarta :Rajawali Pers, 2013), h. 141
Syarat (2), Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka, maksud syarat ini dibuktikan dengan memperlihatkan
surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat
bekerja suami tersebut, atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat keterangan lain
yang dapat diterima oleh pengadilan.
Syarat (3), Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka, maksud syarat ini dilakukan dengan membuat surat pernyataan atau janji suami
yang akan melakukan poligami dalam bentuk yang ditetapkan.13

2.2.2 Poligami menurut Pandangan beberapa Agama

A. Menurut Pandangan Kristen

Agama Nasrani menurut penganutnya melarang poligami. Sebenarnya tidak ada satu
pernyataan dalam kitab suci Injil bahwa Yesus melarang poligami. Umat Kristen pada
awalnya banyak yang melakukan poligami dengan mengikuti tradisi Yahudi. Dalam
kitab suci Kristen dijelaskan bahwa Raja Sulaiman memiliki 100 isteri,puteri-puteri
mahkota, dan 300 gundik Anak laki-lakinya, Raja Daud, memiliki 18 isteri dan 60
orang gundik. Talmud memberi nasihat agar setiap laki-laki tidak menikah lebih dari
4 isteri, yakni jumlah isteri yang dimiliki Ya’qub. Tidak ada konsili gereja pun pada
abad-abad pertama menentang poligami. Pada tahun 1531 para penganut (sekte
Kristen) Anabaptis secara terang-terangan menyatakan bahwa orang Kristen yang
sejati harus memiliki beberapa orang isteri.14

Agama al-Masih, pada dasarnya tidak melarang umatnya untuk berpoligami, bahkan
dalam ajarannya terdapat nash yang membolehkan mereka untuk berpoligami,
sebagaimana yang dikatakan oleh Bulls yang mengatakan, “Seharusnya para uskup
tidak hanya memiliki satu isteri saja”. Begitu juga dia mengatakan, “Seharusnya
penjaga gereja memiliki isteri satu”15

B. Menurut Pandangan Yahudi

Berdasarkan kitab suci Talmud yang dipercayai oleh para pendeta Yadudi, bahwa
poligami hanya dibatasi dengan empat istri, seperti yang dilakukan oleh nabi Yaqub,
disamping itu tidak boleh menikahi kakak dan adik sebagai istri karena hal ini sudah
dijelaskan dalam kitab Imamat :

13
Abdurahman dan Riduan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung : Alumni,
1978), h. 95
14
Marzuki, “Poligami Dalam Islam”, diakses pada tanggal 24 Maret dari
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30251/1/SITI%20KHODIJAH-FSH.pdf
15
Munirul Abidin Farhan, Poligami Berkah atau Musibah Cet. I (Jakarta:Senayan Publishing, 2007), hal. 6
“Jangan kawin dengan saudara istrimu selama istrimu sendiri masih hidup”
(Imamat, 18:18)
Pada dasarnya Kakak dan Adik tidak boleh dimadu, walaupun dalam kitab kejadian
dibolehkan melakukan hal tersebut, seperti Nbi Yaqub yang menikahi kakak dan adik
nya untuk menjadi istri nya, yaitu Lea dan Rahel. Hanya kitab Imamat yang
membolehkan kejadian tersebut. Hal ini dilarang didalam kehidupan umat Yahudi
dewasa ini. Mereka melarang pernikahan seperti Nabi Yaqub.16

C. Poligami Menurut Arab Sebelum Islam

Bangsa Arab pada masa pra-Islam juga menjalankan praktik poligami. Sahabat Nabi
Muhammad bahkan ada yang beristri hingga sepuluh wanita. Ini dapat diketahui dari
hadis yang ditakhrij oleh Imam At-Tirmidzi berikut:

‫َأسلَ َم وله عشر نِ ْس َو ٍة يف‬


ْ ‫ أن َغْياَل َن بن َسلَ َمةَ الثقفي‬،‫عن ابن عمر‬
‫فَ ََأمَرهُ النيب صلى اهلل عليه وسلم أن َيتَ َخَّيَر‬, ‫َأسلَ ْم َن معه‬
ْ َ‫ ف‬،‫اجلاهلية‬
  ‫أربعا ِمْن ُه َّن‬
‫ رواه الرتمذي وابن ماجه وأمحد‬- ‫صحيح‬
17

Dalam konteks sejarah Islam, ayat tentang poligami turun setelah berakhirnya Perang
Uhud yang memakan korban meninggal dunia sebanyak 70 orang laki-laki dari 700
tentara muslim yang ikut berperang. Dampaknya, tidak sedikit muslimah menjadi
janda dan banyak anak yatim yang telantar. Melihat situasi sosial pada masa itu, cara
terbaik untuk menolong para janda dan anak yatim adalah dengan menikahi mereka,
dengan syarat mampu berlaku adil.18

Dengan dalil-dalil ini jelaslah bagi kita bahwa poligami bukan perkara baru dan Islam
tidak membawa sesuatu yang belum dikenal oleh manusia sebelumnya mengenai
perkara ini. Lalu di manakah orang-orang yang berbicara tentang Islam dan kaum
muslimin mengenai hal ini, padahal itu ada di sisi mereka dalam kitab-kitab mereka?
Tetapi kedengkian dan permusuhan telah membutakan mata dan hati mereka tentang
apa yang ada di sisi mereka. Semua ini menodai Islam dan kaum muslimin serta
16
Syafiin Mansur, “Poligami dalam Agama Samawi” di akses pada Tanggal 8 januari dari
https://media.neliti.com/media/publications/365468-none-0af9e118.pdf
17
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa As-Sulami At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Hadist Nomor
1047, Juz 4, Maktabah Syamilah, hal. 33.
18
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj.Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf
(Yogyakarta:LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994), hal. 143-144.
menjadikan orang-orang yang menamakan diri mereka muslim ikut berbicara bersama
mereka dan larut dalam pembicaraan seperti orang-orang yang larut dalam
pembicaraan. Ketika Islam melihat perkara poligami sedemikian biadab, maka ia
datang untuk mengatur dan menertibkannya. Lalu menentukan setiap pria hanya bisa
beristerikan maksimal empat wanita; karena Islam mengetahui kekuatan laki-laki dan
kelemahan wanita di tengah-tengah dorongan syahwat dan godaan, juga di antara
peradaban yang salah satu kepentingannya ialah melemahkan umat sehingga mereka
melupakan identitas dan mengikuti syahwat mereka. Mengingat setelah terjadinya
peperangan di antara negeri-negeri, jumlah laki-laki berkurang dan jumlah gadis dan
janda semakin banyak serta khawatir tersebarnya zina dan untuk mencegah
tersebarnya bisnis prostitusi dalam masyarakat Barat, maka kita melihat solusi yang
paling ideal dan cara satu-satunya untuk mengatasi fenomena ini, yaitu poligami yang
dibolehkan Islam.

2.2.3 Pernikahan Menurut Islam

Istilah nikah berasal dari Bahasa arab, yaitu (‫ )النكاح‬, ada pula yang mengatakan perkawinan
menurut istilah fiqh di pakai perkataan nikah dan zawaj. Istilah nikah berasal dari Bahasa
sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Secara harfiah, an-nikh berarti al-
wath'u (‫ الوطء‬,) adh-dhammu ( ‫)الضم‬dan al-jam'u ( ‫ اجلمع‬.( Al-wath'u berasal dari kata wathi'a

- yatha'u - wath'an ) ‫وطأ‬ -‫ يطأ‬-‫ وطأ‬,( artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak,
memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. Syekh Kamil Muhammad
‘Uwaidah mengungkapkan menurut bahasa, nikah berarti penyatuan. Diartikan juga sebagai
akad atau hubungan badan. Selain itu, ada juga yang mengartikannya dengan percampuran.19

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut Nikah adalah Melakukan suatu aqad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua
belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah SWT. Pengertian
perkawinan di dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam Pasal 2 yang menyebutkan
bahwa “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.”20

Ikatan perkawinan ditandai dengan sebuah aqad (perjanjian) yang kuat (mitsaqon
gholiidhan). Aqad nikah adalah perjanjian yang melibatkan Allah, jadi bukan sekedar
perjanjian biasa. Aqad merupakan perjanjian istimewa karena mengahalalkan hubungan

19
Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghofar, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet. 10,
2002, hlm. 375.
20
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan), Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm.8.
kelamin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sebelumnya tidak
diperbolehkan menjadi diperbolehkan.21

Dalam kompilasi hukum islam di jelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad
yang kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah allah dan melaksanakan nya
merupakan ibadah. Dari berapa terminology yang telah dikemukakan Nampak jelas terlihat
bahwa pernikahan adalah fitrah ilahi. Hal ini di tuliskan dalam beberapa firman Allah:

1. Firman Allah ayat 21 surah 30 (Ar-Rum)

‫اجا لِّتَ ْس ُكُن ْٓوا اِلَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم‬ ِ ِ ِ


ً ‫َوم ْن اٰ ٰيته اَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم ِّم ْن اَْن ُفس ُك ْم اَْز َو‬
‫ت لَِّق ْوٍم يََّت َف َّكُر ْو َن‬ٍ ‫ك اَل ٰ ٰي‬ ِ ِ
َ ‫َّم َو َّد ًة َّو َرمْح َةً ۗ ا َّن يِف ْ ٰذل‬
2. Firman Allah ayat 3 Surah 4 (An-Nisa’)

‫ِّساِۤء َم ْثىٰن‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِّ
َ َ ْ َ َ ُْ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ل‬
َ ‫اب‬ ‫ط‬
َ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫و‬‫ح‬ ِ ْ‫واِ ْن ِخ ْفتُم اَاَّل ُت ْق ِسطُوا ىِف الْيت ٰٰمى فَان‬
‫ك‬ َ ْ ْ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
‫ك‬َ ‫ت اَمْيَانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬ْ ‫ث َو ُربٰ َع ۚ فَا ْن خ ْفتُ ْم اَاَّل َت ْعدلُْوا َف َواح َد ًة اَْو َما َملَ َك‬ َ ‫َوثُ ٰل‬
‫اَ ْد ٰنٓى اَاَّل َتعُ ْولُْو ۗا‬
Dari ayat dan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan adalah perintah dari
Allah dan Rasulnya, karena perkawinan merupakan sesuatu yang dasarnya suci dan mulia
pada sisi Allah maupun pada sisi manusia. Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu
merupakan akad yang memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang
sebelumnya tidak dibolehkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketika akad
perkawinan telah berlangsung, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi
diperbolehkan. Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah Allah
SWT dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau hawa nafsunya saja
karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah mengerjakan sebagian dari
syariat (aturan) Agama Islam.22
Perkawinan dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Perkawinan
harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam
kehidupan. Pada prinsipnya syari'at Islam tidak membenarkan prinsip anti menikah karena
ajaran Islam menganut keseimbangan tatanan hidup antara kepentingan dunia dan akhirat.

21
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, Total Media, Yogyakarta, 2006, hlm.66
22
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga ( Keluarga Yang Sakinah), Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta,
1993, hlm.3
Hal itu menunjukkan bahwa setiap orang yang memenuhi syarat harus merasakan kehidupan
rumah tangga sebagai tangga untuk memperoleh kesempurnaan hidup.23
Masing-masing orang yang akan melaksanakan pernikahan, hendaklah memperhatikan inti
sari sabda Rasulullah SAW. yang menggariskan, bahwa semua amal perbuatan itu
disandarkan atas niat dari yang beramal itu, dan bahwa setiap orang akan memperoleh hasil
dari apa yang diniatkannya. Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat
Islam. Di antaranya adalah:
Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang.
Hal ini terlihat dari isyarat ayat surat an-Nisa' ayat 1:

‫اح َد ٍة َّو َخلَ َق ِمْن َها‬


ِ ‫س َّو‬ ٍ ‫َّاس َّات ُق ْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذ ْي َخلَ َق ُك ْم ِّم ْن نَّ ْف‬
ُ ‫ن‬‫ال‬ ‫ا‬ ‫ه‬َ ‫ي‬
َُّ‫ا‬ٓ‫ٰي‬
‫ث ِمْن ُه َما ِر َجااًل َكثِْيًرا َّونِ َساۤءً ۚ َو َّات ُقوا ال ٰلّهَ الَّ ِذ ْي تَ َساۤءَلُْو َن‬ َّ َ‫َز ْو َج َها َوب‬
‫بِه َوااْل َْر َح َام ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِْيبًا‬

Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri atau garizah umat manusia bahkan
juga garizah bagi makhluk hidup yang diciptakan Allah. Untuk maksud itu Allah
menciptakan bagi manusia nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari pasangan
hidupnya untuk menyalurkan nafsu syahwat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan
legal bagi penyaluran nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga perkawinan.24
Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.
Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21.

‫اجا لِّتَ ْس ُكُن ْٓوا اِلَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم‬


ً َ ْ‫و‬ ‫ز‬ْ ‫ا‬
َ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫س‬ِ ‫و ِمن اٰ ٰيتِه اَ ْن خلَق لَ ُكم ِّمن اَْن ُف‬
ْ ْ َ َ ْ َ
‫ت لَِّق ْوٍم يََّت َف َّكُر ْو َن‬ ٍ ٰ‫ك اَل ٰي‬ ِ ِ
َ ‫َّم َو َّد ًة َّو َرمْح َةً ۗ ا َّن يِف ْ ٰذل‬
Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia dapat saja
ditempuh melalui jalur luar perkawinan; namun dalam mendapatkan ketenangan dalam hidup
bersama suami istri itu tidak mungkin didapatkan kecuali melalui jalur perkawinan.25

23
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, Qolbun Salim, Jakarta, 2007, hlm. 86

24
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 46-47.

25
Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 47.
2.2.4 Pernikahan Menurut Hindu

Bagi umat Hindu perkawinan tidak hanya dianggap sebagai penyatuan antara seorang pria
dan wanita dengan tujuan hidup sebagai suami dan istri atau hanyalah hubungan antara
seorang pria dan wanita yang hidup bersama-sama, menghasilkan anak-anak dan membina
keluarga. Pengertian keluarga disini adalah suatu jalinan ikatan pengabdian antara suami, istri
dan anak. Jadi keluarga disini adalah persatuan yang terjalin diantara seluruh anggota
keluarga adalah dalam rangka “Pengabdiannya” kepada misi atau amanat dasar, yang mesti
diemban oleh anggota keluarga yang bersangkutan.26

Perkawinan merupakan ikatan yang jauh lebih dalam. Hubungan fisik merupakan bagian
penting dari perkawinan yang juga sama pentingnya adalah ikatan emosional yang akan
membawa pasangan tersebut menuju ikatan spiritual.27

Jika dikaji dari susastra Hindu, maka perkawinan dikenal dengan istilah pawiwahan yang
berasal dari kata wiwaha, yang berarti meningkatkan kesucian dan spiritual Kitab Manusmrti
dapat diketahui bahwa perkawinan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan
kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan serta menebus dosa-dosa orang tua dengan
menurunkan seorang putra.28

Dengan lembaga perkawinan juga dimaksudkan untuk mengatur hubungan seks yang layak,
yakni suatu hubungan biologis yang diperlukan dalam kehidupan seorang sebagai pasangan
suami istri. Di samping itu, wiwaha diidentikkan dengan samskara, yang menyebabkan
lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah sebagai hukum agama dan
persyaratannya pun harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan dari ajaran atau hukum Agama
Hindu. Jadi perkawinan adalah merupakan ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal menurut ajaran Agama Hindu.29

Menurut literatur Hindu, ada beberapa cara untuk menikah. Dalam Manusmriti, dituliskan
bahwa ada delapan jenis pernikahan :

1. Brahma (berhubungan dengan jiwa abadi),


2. Deva (berhubungan dengan para Dewa),
3. Aarsh (berhubungan dengan para Rsi),
4. Prajapatya (berhubungan dengan raja),
5. Asur (berhubungan dengan raksa),
6. Gandharv (berhubungan dengan masyarakat Gandharv yaitu pernikahan yang didasari
cinta),
7. Raksash (berhubungan dengan raksasa dan roh-roh jahat),

26
I Gede Jaman, Membina Keluarga Sejahtera, (Surabaya: Paramita, 2008)hal 10
27
Prem P. Bhalla, Tatacara Ritual dan Tradisi Hindu, (Surabaya: Paramita, 2010)hal 128
28
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, ctk. Pertama, Shantika Dharma, Bandung,
1984, hlm. 29.
29
I Ketut Sudarsana, “Upacara perkawinan (Prespektif Pendidikan Agama Hindu) diakses pada 9 januari
https://osf.io/gvryh/download/?format=pdf#:~:text=Menurut%20pandangan%20Agama%20Hindu
%20bahwa,dijalani%20oleh%20manusia%20dalam%20hidupnya.
8. Paisach (berhubungan dengan setan). Dari kedelapan pernikahan ini Manu menyetujui
empat yang pertama, dan menganggap yang lainnya tidak pantas.30

Tujuan pelaksanaan upacara perkawinan dalam kitab suci dan adat-istiadat dalam agama
Hindu, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat, karena
dalam agama Hindu berpedoman pada Kitab Weda (Sruti) dan hukum Hindu yang
berdasarkan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun. Dengan melakukan
upacara yang dilandasi oleh ajaran yang diajarkan dalam kitab suci dan mengikuti tata cara
adat yang telah berlaku turuntemurun, maka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia ini
(jagaditha) dan kebahagiaan yang abadi.

Upacara perkawinan merupakan suatu persaksian baik ke hadapan Ida Sang Hyang
Widhi/Tuhan, ataupun ke hadapan masyarakat bahwa kedua mempelai mengikat diri sebagai
suami isteri, sehingga hubungan seksnya dapat dibenarkan dan segala akibat perbuatannya
menjadi tanggung jawab mereka bersama. Secara rohaniah, upacara tersebut merupakan
pembersihan terhadap kedua mempelai, terutama sukla swanita kedua bibit mereka, yaitu
kama jaya, bibit dari laki-laki dan kama ratih bibit dari perempuan. Pembersihan ini
mengharapkan agar kedua bibit itu bebas dari pengaruh-pengaruh roh buruk, sehingga bila
keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan` terbentuklah suatu janin (manik) yang sudah
bersih. Dengan demikian, dapat diharapkan roh yang akan menjiwai janin itu atau roh yang
akan menjelma adalah roh yang suci dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang baik
sesuai dengan keturunan mereka.31

Diantara umat Hindu ada sebuah kepercayaan kuat bahwa pasangan yang menikah tidak
boleh berasal dari keluarga yang sama. Untuk memastikan bahwa pasangan tersebut tidak
berasal dari gotra (garis silsilah atau leluhur) yang sama, merupakan suatu kebiasaan untuk
memeriksa gotra sebelum melakukan pernikahan. Susastra mengatakan bahwa pernikahan
dengan keluarga adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama, dikutuk, dan penuh dengan
dosa. Para ilmuan juga telah menegaskan bahwa anak-anak yang lahir dari orangtua yang
berhubungan dekat memiliki kecenderungan yang besar bagi kecacatan dan juga masalah
kesehatan dan emosional. Timbulnya masalah-masalah ini terjadi lebih banyak pada
pasangan yang memiliki hubungan kekeluargaan dekat dari pada pasangan yang berasal dari
leluhur yang berbeda. Timbulnya aborsi, masalah kehamilan, bayi yang lahir meninggal,
masalah jantung dan penglihatan, juga lebih tinggi. Dengan memastikan bahwa pria dan
wanita yang berasal dari leluhur yang sama tidak menikah, timbulnya kelahiran kembar juga
bisa dikurangi, yang lebih banyak terjadi di desa dari pada di kota.32

Dalam astrologi, kecocokan pernikahan berdasarkan pada delapan parameter:

1. Varna merujuk pada perkembangan ego. Itu membawa satu nilai,


2. Vashya merujuk pada intensitas dari daya tarik dan kasih sayang pasangan, itu
membawa dua nilai,
3. Tara/Din merujuk pada kesehatan pasangan. Itu membawa tiga nilai,
30
Ibid.h.130
31
Martami, Tata Rias Pengnatin, (Denpasar: Upada Satra, 1993), 393
32
Prem P. Bhalla, Tatacara Ritual dan Tradisi Hindu, (Surabaya: Paramita, 2010)hal 131
4. Yoni merujuk pada kecocokan dan kepuasan biologis. Itu membawa empat nilai,
5. Graha Maitri merujuk pada penampakan luar, sasaran, level intelektual, eksistensi
spiritual. Itu membawa lima nilai,
6. Guna merujuk pada karakter temperamen. Itu membawa enam nilai,
7. Bhakut merujuk pada kesejahteraan keluarga. Itu membawa tujuh nilai,
8. Nadi merujuk pada penampilan luar dan kesehatan, itu membawa delapan nilai.

Kedelapan parameter tersebut bersama-sama membawa 36 nilai atau yang disebut dengan
guna dalam astrologi. Parameter-parameter tersebut saling melengkapi. Saat dua horoskop
dibandingakan, jumlah minimum yang diperlukan adalah 18 agar bisa disebut sebagai
pasangan yang cocok. Semakin banyak guna yang dicetak, semakin baik hasilnya. Kadang-
kadang horoskop menunjukkan ketidakcocokan total. Saat dua keluarga setuju bahwa sang
pria akan menikahi sang wanita, langkah selanjutnya adalah melaksanakan upacara roka atau
rokna. 33

Terjemahan harfiah dari kata rok adalah berhenti, dan kata rokna berarti untuk melarang,
menghindarkan, atau menghalangi. Untuk mengumumkan larangan bahwa pencarian
pasangan lebih lanjut oleh kedua keluarga, upacara roka dilaksanakan. Sedangkan sagai,
terjemah harfiahnya adalah upacara pertunangan. Itu merupakan kontrak formal antara
keluarga dan lebih rumit dari upacara sebelumnya. Seorang pendeta Brahmin akan memimpin
upacara. Pertamatama ia akan menghaturkan doa kepada Dewa Ganesh, diikuti dengan doa
kepada navgrah atau sembilan planet. Doa kepada Dewa Ganesh memohon supaya tidak ada
halangan. Doa kepada navgrah memohon berkah dan kebajikan.34

Setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan harus menyadari arti dan nilai perkawinan
bagi kehidupan manusia, sehingga nilai itulah yang menjadi landasan dasar kehidupan suami
istri sesudah perkawinan dilaksanakan. Perkawinan menurut ajaran Hindu adalah “yajna”,
sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan akan menuju gerbang grhastha asrama
yang merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaan serta kemuliaanya. Lembaga
yang suci ini hendaknya dilaksanakan dengan kegiatan yang suci pula seperti melaksanakan
dharma agama dan dharma negara. Termasuk di dalamnya pelaksanaan Panca Maha
Yajna.Perkawinan sebagai awal menuju masa grhastha merupakan masa yang paling penting
dalam kehidupan manusia. Di dalam grhastha inilah tiga prilaku yang harus dilaksanakan,
dan landasan yang harus dilaksanakan yaitu:

1. Dharma, ialah aturan-aturan yang harus delaksanakan dengan kesadaran yang


berpedoman pada dharma agama dan dharma negara,
2. Artha, ialah segala kebutuhan hidup berumaha tangga untuk mendapatkan
kesejahteraan yang berupa materi dan pengetahuan,
3. Kama, ialah rasa menikmati yang telah diterima dalam berkeluarga sesuai dengan
ajaran agama.35

Selain itu perkawinan juga mempunyai nilai yang penting bagi kehidupan manusia yaitu:

33
Ibid hal 132
34
Prem P. Bhalla, Tatacara Ritual dan Tradisi Hindu, (Surabaya: Paramita, 2010)hal 135
35
I Nyoman Arthayasa, Petuntuk Teknis Perkawinan Hindu, (Surabaya : Paramita,1998),hal 4-5
1. Dari orang yang dipimpin pada masa remaja menjadi orang yang memimpin sebagai
bapak atau ibu rumah tangga,
2. Dari orang yang memproduksi (meminta, menerima) menjadi orang yang
memproduksi (menghasilkan) segala kebutuhan hidup.

Dengan demikian nampak jelas bahwa masa grhsatha menjadi puncak kesibukan manusia
dalam membina nilai-nilai kehidupan. Penyempurnaan wujud jasmani dan rohani
dimatangkan pada masa grhastha ini, yang dalam bentuk kegiatanya berupa;

1. Kegiatan jasmani yaitu kehidupan duniawi yang meliputi pengumpulan artha


sebanyak-banyaknya, mencari ilmu seluasluasnya, menata pergaulan sebaik-
sebaiknya sesuai dengan Tri Hita Karana,
2. Kegiatan rohani yaitu melaksanakan Panca Yajna. Apa yang dicari dalam bentuk
kebahagiaan jasmani harus dituangkan untuk yajna, sebagai kewajiban untuk
mencapai subhu karma. Berarti bahwa seluruh artha harus ditumpahkan untuk yajna,
tetapi semua itu telah memiliki aturan prilakunya.36

Perkawinan sebagai awal menuju masa grhastha merupakan masa yang paling penting dalam
kehidupan manusia. Di dalam grhastha inilah tiga prilaku yang harus dilaksanakan, dan
landasan yang harus dilaksanakan yaitu:

1. Dharma, ialah aturan-aturan yang harus delaksanakan dengan kesadaran yang


berpedoman pada dharma agama dan dharma negara,
2. Artha, ialah segala kebutuhan hidup berumaha tangga untuk mendapatkan
kesejahteraan yang berupa materi dan pengetahuan
3. Kama, ialah rasa menikmati yang telah diterima dalam berkeluarga sesuai dengan
ajaran agama.37

Masa Grhastha inilah yang harus menjadi pusat perhatian bagi umat Hindu. Dengan demikian
keluarga Hindu, dituntut untuk;

1. Hidup dalam kesadaran keluarga Hindu,


2. Bebas dari Avidya (memiliki pengetahuan),
3. Giat bekerja,
4. Sadar beryajna. Dengan pedoman tersebut tidak akan terjadi dalam keluarga Hindu
yang di dalam kebodohan, malas, pemborosan, melupakan leluhur dan sebagainya.
Sebab kesempurnaan keluarga Hindu tercipta dalam ikatan Tri Hita Karana.38

36
Ibid hal 4-5
37
I Nyoman Arthayasa, Petuntuk Teknis Perkawinan Hindu, (Surabaya : Paramita,1998),hal 4-5
38
I Nyoman Arthayasa, Petuntuk Teknis Perkawinan Hindu, (Surabaya : Paramita,1998),hal 6
Inti dari tujuan perkawinan atau vivaha maka kita dapat lihat kembali tentang batasan
perkawinan menurut undang-undang No, 1 tahun 19, pasal 1, yaitu untuk membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. Rumusan di atas
menjelaskan bahwa terwujudnya keluarga bahagia merupakan tujuan pokok perkawinan.
Bahagia yang dimaksud adalah bahagia lahir dan batin. Kebahagiaan dan kekekalan harus
dibina sepanjang masa. Kebahagiaan dalam rumah tangga tidak saja menumpuknya harta
benda, tidak saja terpenuhi hubungan seks, tetapi terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani
yang wajar.39

Tujuan perkawinan dalam agama Hindu salah satunya adalah mendambakan hidup sejahtera
dan bahagia. Dalam kitab Mnanavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan perkawinan
meliputi:

1. Dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma),


2. Praja (melahirkan keturunan),
3. Rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indra lainnya).40

Tujuan pernikahan tidak hanya terbatas pada kesenangan sensual tapi juga menciptakan dasar
dari sebuah rumah, memiliki anak-anak dan membentuk keluarga. Jadi tujuan utama
perkawinan adalah melaksanakan darma. Dalam perkawinan, suami istri hendaknya berupaya
jangan sampai ikatan tali perkawinan retak atau lepas. Pasangan suami istri hendaknya
mewujudkan kebahagiaan, tidak terpisahkan, bermain riang gembira dengan anak-anak dan
cucu-cucunya.41

Dalam kitab Veda juga dijelaskan: Sam Jaspatyari suyamam astu devah. (Rgveda X. 85.23)

“Ya, para dewata, semoga kehidupan perkawinan kami berbahagia dan tentram”. Asthuri no
garhapyani santu. ( Rgveda VI.15.19) “Hendaknyalah hubungan suami istri tidak bisa putus
berlangsung abadi”.42

2.2.5 Konsep Hikmah

Dalam bahasa Indonesia kata hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan dan


kesaktiansehingga orang yang memiliki hikmah adalah orang yang memiliki
kebijaksanaan atau kesaktian. Sedangkan kata-kata hikmah adalah kata-kata yang
mengandung kebijaksanaan dan kesaktian.43

kebijaksanaan dan kesaktian, Di dalam kitab-kitab tafsir, kata-kata hikmah terkadang


didefinisikan dengan makna Al-Qur‟an, terkadang dengan makna As-Sunnah atau kenabian.
Karena itulah diriwayatkan dalam beberapa hadis tentang doa Rasulullah kepada Abdullah
39
Ibid. hal 6
40
Imade titib, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan (Paramita: Surabaya, 1996) hal.394

41
Prem P. Bhalla, Tatacara Ritual dan Tradisi Hindu, (Surabaya: Paramita, 2010)hal 129
42
Imade titib, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan (Paramita: Surabaya, 1996) hal.394
43
Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 351
bin Anas yang berbunyi, “Semoga Allah mengajarkan hikmah kepadanya dan paham dalam
Agama. Maksudnya adalah paham terhadap AlQur‟an dan As-Sunnah serta mengamalkan
keduanya, seperti yang ditegaskan oleh mayoritas Tabi‟in dan di kuatkan oleh Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyah dengan ucapannya, Adapun hikmah dalam Al-Qur‟an, maka
maksudnya adalah mengenai kebenaran dan mengamalkannya.44

Al-Alusi mengemukakan dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah
meletakkan sesuatu pada tempatnya, atau pemahaman terhadap Agama, baik yang bersumber
dari Al-Qur‟an maupun dari hadis, lebih lanjut ia mengemukan hikmah itu terbagi menjadi
dua, ada yang berbentuk teoritis dan dan ada yang berbentuk praktis.45

sedangkan Ibnu Asyur bahwa yang disebut dengan hikmah adalah penyempurnaan ilmu
pengetahuan dan pengamalan sesuai dengan kapasitas ilmu yang dimiliki. Begitu juga dengan
Ibnu Rajab memberikan komentar tentang makna hikmah yang mencakup semua makna. Ia
mengatakan, yang dimaksud dengan hikmah adalah segala yang menghalangi dari kebodohan
dan mencegah dari yang kejelekan.

Kata hikmah berasal dari kata “hakama” kata yang menggunakan huruf ha, kaf dan mim.
Yang oleh Ibnu Faris diartikan sebagai al-mani‟ yang menghalangi, seperti hakam yang
menghalangi terjadinya penganiyaan, kendali bagi hewan disebut dengan hakama yang
berarti menghalangi hewan tersebut untuk mengarah kepada yang tidak diinginkan atau liar.46

Menurut Muhammad Quraish Shihab hikmah juga terambil dari kata “hakama” yang pada
mulanya yang berarti menghalangi. Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang
bermakna kendali, yakni sesuatu yang fungsinya mengantarkan kepada yang baik dan
menghindarkan yang buruk. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan pengetahuan dan
kemampuan untuk menerapkannya.47

Thahir Ibn Al-Asyur menggaris bawahi bahwa hikmah adalah nama himpunan segala ucapan
atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan kebaikan dan kepercayaan manusia
secara bersinambung. Thabathaba‟i mengutip ar-Raghib al-Asfahani yang menyatakan secara
singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal. Para
mufassir memahami kata hikmah di dalam Al-Qur‟an dengan berbagai makna. Di antaranya,
dalam tafsir Ibnu Katsir hikmah adalah pemahaman dalam Agama. Sedang menurut Bisri
Mustafa dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Ibriz Li Ma‟rifati Tafsir al-Qur‟an. Ia menafsirkan
kata hikmah dengan ilmu yang bermanfaat seperti penjelasannya ketika menafsirkan dan
menjelaskan surah AlBaqarah ayat 269.

44
Mahmud Muhammad Al-Khazandar, Pengertian Hikmah Dalam Perspektif Al-Qur‟an, Artikel. (Jakarta:
Islam House, 2009), 4
45
Syihab Al-Din Said Mahmud al-Alusi Al-Baghdadi, Ruh Al-Ma‟ani fi Tafsir Al-Qur‟an Al-Adzim, (Beirut:
Darl al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), 285
46
Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu‟jam al-Muqayis fi al-Lughah (Beirut: Darl al-Fikr, 1998),
227
47
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol I (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 327
Al-Farabi seorang tokoh Filsafat Islam, mendefinisikan kata hikmah sebagai pengetahuan
tertinggi menyangkut eksistensi-eksistensi yang paling utama.37 Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Al-Syahrastani bahwa hikmah adalah ilmu filsafat.48

Di katakan demikian karena hikmah adalah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan
perkataan, pemikiran dan perbuatan (action). Orang yang pertama kali memakai istilah
filsafat yang diambil dari kata hikmah adalah Phytagoras Filosof Yunani yang hidup pada
abad keenam sebelum Nabi Isa. Selain Al-Farabi dan Al-Syahrastani, Ibnu Rusyd juga
memahami hikmah sebagai ilmu filsafat ini bisa dibuktikan dari bagaimana Ibnu Rusyd
seringkali memakai kata hikmah bahwa sesungguhnya. hanya antara syari‟ah dan filsafat
tidaklah bertantangan bahkan kata Ibnu Rusyd, filsafat adalah saudara perempuannya
syari‟ah. Lebih simpelnya, ini tampak jelas dari judul yang dipakai oleh Ibnu Rusyd dalam
mengaitkan antara syari‟ah dan filsafat yaitu, Fasl al-Maqal wa Taqriru ma Baina al-Syariah
wa alHikmah min al-Ittisal.49

Dengan demikian, menurut Thabathaba‟i hikmah adalah argumen yang menghasilkan


kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan dan tidak juga kekaburan.
Hikmah tidak perlu disipati dengan sesuatu karena dari maknanya telah diketahui bahwa dia
adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasarkan ilmu dan akal. Hikmah tersebut ada
yang bersifat fitrah dan ada pula yang berawal dari usaha. Dan di antara sebab-sebab untuk
mendapatkan hikmah tersebut adalah paham dalam Agama, dan menebarkan kebaikan baik
kepada sesama manusia atau makhluk Allah yang lainnya. Diantara pengertian hikmah
adalah, memahami Al-Qur‟an mengenai kebenaran dan mengamalkannya, dan meletakkan
sesuatu pada tempatnya.

Jadi definisi hikmah menurut M. Quraish Shihab, bahwa kata Hikmah sejalan dengan kata
sasa-yasusu-sais-siyasat yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara
pengendalian.50 Hal ini dikarenakan ada persamaan makna antara kata hikmah dan politik,
para ulama mengartikan hikmah dengan arti bijaksana, atau kemampuan menangani suatu
masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindari madrat, makna ini sejalan
dengan kata politik dalam kamus bahsa Indonesia yaitu segala urusan dan tindakan
(kebiajakan, siasat dan sebagainya) mengenai perintahan Negara atau Negara lain.51

48
Ahmad al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, Juz II (Mesir: Mustafa Al-Babi, 1976), 58-
49
Ibnu Rusyd, Fasl al-Maqal wa Taqriru ma Baina al-Syariah wa al-Hikmah min al-Ittisal. (Beirut: Darl al-
Masyriq, 1986), 58
50
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007) h. 417
51
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007) Ibid. hal 416

Anda mungkin juga menyukai