Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan salah satu hal yang disyariatkan oleh agama, membina
rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warohmah tentu menjadi sesuatu yang
diharapkan oleh pasangan yang telah menikah, namun apa jadinya jika pernikahan itu
malah menjadi pemicu munculnya permasalahan dan pertengkaran, banyak faktor
pemicunya slah satunya adalah praktek poligami yang hingga saat ini masih sering
diperdebatkan, yang tidak bisa dipungkiri poligami bisa saja menjadi penyebab
retaknya hubungan rumah tangga jika tidak didasari dengan pengetahuan yang jelas
tentang apa dan bagaimana poligami dalam islam itu sebenarnya.
mengingat pentingnya hal itulah maka kami menyusun makalah ini dengan
harapan bisa menjawab dan memberitahukan kepada masyarakat lebih dalam tentang
poligami.

2. Rumusan Masalah
A. Bagaimana sejarah poligami ?
B. Bagaimana konsep poligami?
C. Apa sebab-sebab bolenya poligami?
D. Apa saja pembatasan poligami?
E. Bagaimana izin poligami?
F. Apa pandangan ulama tentang poligami?

3. Tujuan Pembuatan Makalah


A. Untuk mengetahui Sejarah poligami
B. Untuk mengetahui konsep poligami
C. Untuk mengetahui pembatasan poligami
D. Untuk mengetahui sebab-sebab poligami dibolehkan
E. Untuk mengetahui tentang proses izin poligami
F. Untuk mengetahui pandangan ulama tentang poligami

1
BAB II
PEMBAHASAN
Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, “poli”
artinya “banyak”, “gami” artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya beristri banyak.
secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri” 1.
Atau “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat
orang”2.
Allah SWT membolehkan berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku
adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat
tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku
adil maka cukup satu istri saja (monogami).3
A. Sejarah Poligami
Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang
Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia,
Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang
berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa timur seperti bangsa Ibrani dan Arab,
mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah
yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya aturan poligami yang
berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak
menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar kalau
poligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam.
Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena tidak ada
satu ayat pun dalam Injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang-orang
Kristen di eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan
bangsa Eropa yang kebanyakan Kristen pada mulanya seperti orang Yunani dan
Romawi sudah lebih dulu melarang poligami, kemudian setelah mereka memeluk
Kristen mereka tetap mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang
poligami. Dengan demikian peraturan tentang monogami atau kawin hanya dengan
seorang istri bukanlah peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negara mereka,
tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut

1
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Hal. 60. Lihat pula Kamus
Istilah Fiqh, Hal. 261
2
Slamet Abidin dan H. Amiruddin, Fiqih Munakat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), cet ke 1,
Hal. 131
3
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2014) cet ke 6, Hal. 130

2
agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya
sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lembaran dari kitab Injil sendiri tidak
menyebutkan adanya larangan poligami.4
Didalam buku lain disebutkan bahwa terdapat fakta mengenai poligami yaitu
poligami terlihat mencolok dimasyarakat berperadaban maju dan berkurang atau
nyaris tidak berlaku sama sekali dimasyarakat primitif dan terbelakang. Fakta ini
diungkapkan oleh para pakar sosiologi dan ahli sejarah yang mengulas berbagai
peradaban terutama Westermark, Hopehose, Heiler dan Generberg.
Dapat disimpulkan bahwa monogami lebih banyak dipraktikkan oleh
masyarakat yang lebih terbelakang dan primitif, yaitu masyarakat yang bergantung
kepada hasil buruan dan mengumpulkan buah-buahan hasil alam. Juga oleh
masyarakat yang beralih dari kondisi primitif dan baru mulai bercocok tanam.
Sebaliknya, praktik poligami lebih banyak berkembang pada masyarakat dengan
peradaban jauh lebih maju, yaitu masyarakat yang telah melewati periode
berburuyang primitif dan lebih mengutamakan ternak dengan cara
mengembangbiakkan, mengembala dan memanfaatkan produknya. Mereka juga
merupakan masyarakat yang telah melewati masa mengumpulkan buah-buahan hasil
alam dan pertanian primitif, dan beralih pada pertanian yang teratur.5
B. Konsep Poligami
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang
dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian,
tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri
yang kaya dan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang
rendah dari golongan bawah. Bila suami khawatir berbuat zhalim dan tidak mampu
memenuhi semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami. Bila yang
sanggup dipenuhinya hanya tiga, maka tidak dianjurkan baginya menikah dengan
empat orang. Jika dia hanya mampu memenuhi hak dua orang istri maka tidak
dianjurkan baginya untuk menikah sampai tiga kali. Begitu juga kalau ia khawatir
berbuat dzalim dengan mengawini dua orang perempuan maka baginya tidak
dianjurkan untuk melakukan poligami.
Sebagaimana dalam firman Allah Swt dalam surat An- Nisa' ayat 3:

4
H.S.A. Alhamdani., Risalah Nikah. (Pekalongan: Raja Murah. 1980). Hal. 72
5
Sayyid Sabiq, penerjemah, Asep Sobari, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Al-I’TISHOM, 2011). Hal. 290-291

3
          
          

        

“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran
dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami
sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini
membatasi poligami sampai empat orang saja.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW. Juga disebutkan:
‫ َعْن َأِبي‬، ‫ َعْن َبِش يِر ْبِن َنِه يٍك‬، ‫ َعِن الَّنْض ِر ْبِن َأَنٍس‬،‫ َح َّد َثَنا َقَتاَدُة‬،‫ َح َّد َثَنا َه َّم اٌم‬، ‫َح َّد َثَنا َأُبو اْلَو ِليِد الَّطَياِلِس ُّي‬

‫ِق ِة ِش ِئ‬ ‫ِإ ِإ‬ ‫ِن‬ ‫ِه َّل‬ ‫ِب َّل‬


‫ َج اَء َيْو َم اْل َياَم َو ُّقُه َم ا ٌل‬،‫ «َمْن َك اَنْت َلُه اْم َر َأَتا َفَم اَل َلى ْح َد اُه َم ا‬: ‫ َعِن الَّن ِّي َص ى اُهلل َعَلْي َو َس َم َقاَل‬،‫»ُه َر ْيَر َة‬
6
((‫رواه أبو داود والترمذى والنسائى وابن حبان‬

Dari Abi Hurairah R.a sesungguhnya Nabi Saw. bersabda,” Barang siapa yang
mempunyai dua orang istri lalu memberatkan pada salah satunya, maka ia akan
datang di hari kiamat nanti dengan punggung miring”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi,
Nasa’i, dan Ibnu Hibban).7
Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas, tidaklah bertentangan dengan
firman Allah Swt. Dalam Surat An-Nisa 129:
          
          

  

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
6
Sunan Abu Dawud
7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Bandung: Alma’arif, 2008. Cetakan XX. Hal

4
Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil,
yaitu pada ayat 3 surat An-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129
meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan
karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriyah bukan kemampuan
manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah
cinta dan kasih sayang.
Abi bakar bin Arabi mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam
cinta itu berada di luar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam
genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak-balikannya menurut kehendak-Nya.
Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang satu tapi
tidak begitu bergairah dengan istrinya yang lain. Dalam hal ini, apabila tidak sengaja,
ia tidak terkena hukuman dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh karena itu,
ia tidaklah dipaksa untuk melakukannya.
Aisyah R.a. berkata:
،‫ َعْن َعاِئَش َة‬، ‫ َعْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن َيِز يَد اْلَخ ْطِم ِّي‬،‫ َعْن َأِبي ِقاَل َبَة‬، ‫ َعْن َأُّيوَب‬،‫ َح َّد َثَنا َح َّم اٌد‬، ‫َح َّد َثَنا ُم وَس ى ْبُن ِإْس َم اِع يَل‬
‫ ِفيَم ا‬،‫ ِفيَم ا َأْم ِلُك َفاَل َتُلْم ِني‬،‫ «الَّلُهَّم َهَذ ا َقْسِم ي‬: ‫ َو َيُقوُل‬، ‫ َك اَن َرُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيْقِس ُم َفَيْعِد ُل‬: ‫َقاَلْت‬
‫ َيْعِني اْلَقْلب‬:‫ َقاَل َأُبو َداُو َد‬.»‫ َو اَل َأْم ِلُك‬،‫َتْم ِلُك‬
Rasullullah Saw. selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan
beliau pernah berdo’a: Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu
janganlah engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau Kuasai, sedang aku
tidak menguasainya. “ Abu Dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “Engkau
tetapi aku tidak menguasai”, yaitu hati. (HR.Abu Dawud, Tirmidzi,Nasa’i dan Ibnu
Majah).
Menurut sebagian ulama, hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan
pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat
sebelah dalam menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang
untuk mencintai perempuan yang satu daripada lainnya, karena masalah cinta berada
diluar kesanggupannya.
Jika suami melakukan perjalanan, hendaklah dia mengajak salah seorang
diantara istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan dengan
undian. Dalam hal ini, para ulama juga berkata, giliran yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw. terkadang ada yang mendapat siang hari, terkadang juga ada yang
mendapat giliran malam hari. Dalam hak giliran, juga ada hak hibah sebagaimana
adanya hak hibah dalam hal harta benda.
5
Kebanyakan ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemaninya
bepergian, maka hari-hari yang digunakan itu tidak dijumlahkan dan diganti dengan
hari-hari lainnya, dan hari-hari yang digunakannya itu tidak menyebabkan dia
kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan.
Akan tetapi, segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa, hari-hari yang
digunakan tadi dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lain sehingga nantinya ia
kehilangan sekian kali masa giliran, dan masa banyak.
Pendapat pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijma’ sebagian besar
ulama. Di samping itu, walaupun dia mendapatkan hari-hari menemani suaminya
lebih banyak, ia mengalami penderitaan dan kesusahan semasa perjalanan yang cukup
berat. Selain itu prinsip keadilan juga menolak hal ini. Sebab, kalau disamakan berarti
menyimpang dari rasa adil. Itulah maksud dari hadits berikut, yang memperbolehkan
istri yang mendapat giliran dari suaminya untuk tidak menggunakannya, sebab
menjadi hak sepenuhnya dan ia boleh memberikan kesempatan bepergian kepada istri
yang lain.
Dari Anas R.a. berkata: Nabi Saw. bergilir kepada istri-istrinya pada suatu malam,
dan bagi beliau ketika itu ada sembilan orang istri. (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang suami boleh masuk kepada istri yang bukan gilirannya di siang hari
sekedar untuk meletakkan barang atau memberi nafkah dan tidak boleh masuk untuk
berkasih mesra. Sekurang-kurangnya, giliran perempuan itu satu malam, dan paling
banyak tiga malam. Tidak diperbolehkannya melebihi tiga malam/hari agar tidak
menyebabkan adanya penyerobotan diantara istri-istri yang lain. Karena gilirannya
yang lebih dari tiga hari, berarti telah mengambil hak dari yang lain, yang berarti telah
berbuat durhaka.
C. Pembatasan Poligami
Praktik poligami yang buruk dan lemahnya komitmen terhadap ajaran-ajaran
Islam dalam melaksanakannya menjadi alasan kuat orang-orang yang hendak
mengekang poligami dan tidak membenarkan kaum laki-laki melakukannya kecuali
setelah diteliti oleh hakim atau pihak lain yang ditunjuk untuk masalah ini segala
yang terkait dengan kondisi dan kemampuan finansialnya, serta mendapat izin untuk
menikah lagi.
Kehidupan rumah tangga menurut biaya besar, sehingga ketika jumlah
anggota keluarga menjadi lebih banyak akibat poligami, maka beban suami menjadi
lebih banyak akibat poligami, maka beban suami menjadi lebih berat dan sulit
6
baginya mencukupi seluruh biaya keluarga. Dia juga tidak akan sanggup memberi
mereka pendidikan yang akan melahirkan mereka sebagai anak-anak shalih yang
mampu menanggung seluruh beban hidup. Karena itu, kebodohan merajalela,
pengangguran meningkat dan banyak masyarakat yang hidup terlantar. Mereka
beranjak dewasa dengan membawa benih-benih kerusakan yang merasuki seluruh
persendian badan.
Selain itu, akhir-akhir ini banyak orang melakukan poligami hanya karena
motif melampiaskan nafsu atau mendapat keuntungan materi, sehingga tidak
memperhatikan hikmah poligami dan bukan untuk mencapai kemaslahatan.
Perselisihan semakin sengit, setiap saat dan terus berkembang menjadi gelombang
besar sehingga dalam beberapa kasus sampai pada tingkat pembunuhan.
Itulah sekelumit dampak poligami yang dijadikan alasan, untuk itu kami
menjawab solusinya, bukan dengan cara melarang sesuatu yang dibolehkan Allah,
melainkan dengan mengajarkan, mendidik dan memahamkan ajaran agama kepada
masyarakat. Coba perhatikan, ketika manusia dibolehkan makan dan minum dengan
tidak berlebihan, lalu jika mereka melanggar dengan makan dan minum secara
berlebihan sehingga mengidap berbagai macam penyakit dan menderita. Itu bukan
karena faktor makanan dan minuman melainkan karena pola mengkonsumsinya yang
rakus dan berlebihan. Solusi masalah ini tentu bukan dengan cara melarangnya
makan dan minum, melainkan mengajarkannya kepadanaya etika yang harus dijaga
agar terhindar dari bahaya.
Pihak-pihak yang hendak melarang poligami kecuali dengan seizin hakim dan
berdaalih dengan kenyataan praktik poligami, tidak mengerti atau pura-pura tidak
mengerti tentang berbagai bahaya akibat larangan tersebut. Bahaya yang timbul dari
dibolehkannya poligami jauh lebih kecil daripada bahaya akibat pelarangannya.
Karena itu, harus dihindari bahaya yang lebih besar dengan konsenkuensi menerima
bahaya yang lebih kecil, sesuai dengan kaidah menanggung bahaya yang paling dari
dua bahaya yang ada.
Menyerahkan urusan ini kepada hakim tidak dapat menyelesaikan masalah,
karena tidak ada parameter-parameter yang akurat untuk mengukur kondisi nyata
masyarakat. Cara ini lebih cenderung berbahaya ketimbang manfaat. Dari dulu
hingga kini, masyarakat muslim biasa melakukan poligami dan tidak ada data yang
mengungkapkan pernah ada upaya melarangnya atau mengekangnya dengan cara
seperti di atas.
7
D. Sebab-sebab Poligami dibolehkan

Sebab-sebab tidak dilarangnya poligami apabila melihat fakta yang ada di


masyarakat yang mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda dari satu tempat
dengan tempat yang lain, sehingga menyebabkan praktek poligami merupakan solusi
yang lebih baik dari perceraian atau untuk mengatasi masalah moral masyarakat.
Akan tetapi, sebagian besar ulama Islam memperbolehkan poligami dengan
berberapa sebab seorang laki-laki yang mendapati bahwasanya istrinya mandul, dan
pada saat yang bersamaan sangat menginginkan anak.

1. Untuk menjaga keutuhan rumah tangga tanpa menceraikan istri, dikarenakan istri
tidak bisa menjalankan kewajibannya karena cacat atau sakit.
2. Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari berbuat zina dan kerusakan moral
lainnya.
3. Poligami hanya diperbolehkan bagi orang yang mampu berbuat adil. Baik dalam
masalah ekonomi maupun psikologis.
4. Apabila jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki, yang disebabkan oleh
perang seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW.

Yang paling penting dalam menyikapi keberadaan poligami dalam Islam adalah
ia sebagai jalan keluar yang ditawarkan oleh Islam dalam mengentas masalah sosial
yang ada di dalam masyarakat, terutama masalah keluarga. Jadi, ketika kita berbicara
tentang poligami hendaknya tidak untuk menjawab pertanyaan mana yang lebih baik
poligami atau monogamI, tetapi hendaknya melihat poligami sesuai dengan keadaan
yang sedang terjadi. Dan hal lain yang tidak kalah penting, bahwasanya poligami bagi
seorang istri adalah seperti pisau bermata dua. Disatu sisi dia dituntut untuk
mempertahankan cinta suami, dan disatu sisi ia dihadapkan pada masalah sosial yang
sedang terjadi. Yaitu, apabila ia tidak mengizinkan sang suami melakukan poligami
maka ia telah menutup kesempatan bagi perempuan lain untuk menikah.

E. Izin Poligami

8
Mengenai izin poligami atau prosedur dan tata cara yang resmi diatur oleh
Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, diIndonesia dengan
Kompilasi Hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut.
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat
isteri.
(2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristeri dari seorang.

Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan
Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin
dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh
izin pengadilan
Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-
Undang No.1
Tahun 1974 yaitu :
9
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri
dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis
atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari
isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang
perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam
pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.8

F. Pandangan Ulama terhadap Poligami


Imam Syafi’i dan ijma para ulama berpendapat bahwa dibolehkan berpoligami
sampai empat istri dan tidak ada seorangpun dibenarkan kawin lebih dari itu, kecuali
Rasulullah Saw sendiri sebagai pengecualian, sedangkan kaum Syi’ah membolehkan
lebih dari empat orang istri bahkan ada sebagian mereka yang membolehkan tanpa
batas. Pendapat ini berpegang pada praktek Rasulullah sendiri. Imam Qurthubi
menolak pendapat mereka dengan alasan bahwa bilangan dua dan tiga dan empat
bukan menunjukkan dihalalkannya kawin sembilan istri dan kata ‫( و‬wawu) disini
bukan menunjukkan jumlah.
Adapun kaum Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir memahami kata “mastna”
(dua-dua) sama artinya dengan dua tambah dua begitupula dengan kata “tsulatsa”
(tiga-tiga) dan “ruba’a” (empat-empat). Bahkan sebagian ahli Zhahir berpendapat
8
Kompilasi Hukum Islam

10
lebih ekstrim dari itu, yaitu mereka membolehkan kawin sampai delapan belas
orang, dengan alasan bahwa bilangan-bilangan tersebut disebut dengan mengulang-
ulang dan adanya kata penghubung “wawu” yang menunjukkan arti jumlah. Jadi
ayat tersebut menunjukkan arti jumlah “2 + 2 + 3 + 3 + 4 + 4 = 18”. Faham-faham
seperti ini jelas menunujukkan kebodohan mereka dalam memahami Bahasa Arab
dan ijma kaum muslimin atau tabi’in yang tak pernah memadu lebih dari empat
orang.
Malik meriwayatkan dalam Al-Muwattha’, Nasa’i dan Daruquthni dalam masing-
masing kitabnya:
‫ ِاْخ َتْر ِم ْنُهَّن َاْر َبًعا َو َفاِر ْق َس اِئَر ُهَّن‬: ‫أّن النبّي صلعم قال ِلَغْيَالَن ْبِن ُاَم َّيَة الَّثَقِفِّي َو َقْد َاْس َلَم َو َتْح َتُه َع ْش ُر ِنْس َو ٍة‬
“Bahwa Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah Atsqalani yang masuk Islam,
padahal ia punya sepuluh orang istri. Beliau bersabda kepadanya: Pilihlah empat
orang di antara mereka dan ceraikanlah yang lainnya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa setelah ayat di atas turun (An-Nisa: 3) Rasulullah
memerintahkan agar setiap orang hanya boleh beristri maksimal empat orang tidak
lebih dari itu, dengan selalu memperhatikan batasan-batasan “kemampuan” yang
tersurat dan tersirat pada ayat tersebut.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

11
Berkaitan dengan masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip
oleh Masyfuk Zuhdi, sebagai berikut:
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/madharat daripada
manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak
cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan
kadar tinggi, jika hidup dalam keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa
menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-
istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya
masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami,
sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat/watak cemburu, iri hati dan suka
mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis, berbeda dengan keluarga yang
poligamis, orang akan mudah peka dan teransangsang timbulnya perasaan cemburu, iri
hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan
keluarga dan dapat puka membahayakan keutuhan keluarga.
Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri
ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human
investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa
amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang shaleh dan selalu berdo'a untuknya.
Maka berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan
syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap
adil dalam pemberian nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam
pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995


12
Ghazali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2014
Sabiq, Sayyid, penerjemah, Asep Sobari, Fiqih Sunnah, Jakarta: Al-I’TISHOM, 2011
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, Pekalongan: Raja Murah. 1980
Kompilasi Hukum Islam

13

Anda mungkin juga menyukai