Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH/RINGKASAN MATA KULIAH MASAIL FIQH

STIS AL MANAR 2017

Poligami, Poliandri, Nikah Mut’ah, Nikah Siri


dan Pernikahan Sejenis
disusun oleh: Alfi, Atun, dan Burhanita

BAB I
POLIGAMI
A. Pengertian

Secara bahasa poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu polus yang artinya banyak dan
gamos yang artinya perkawinan. Bila digabungkan berarti, poligami mempunyai arti
perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan di mana seorag laki-laki
mempunyai lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan atau seorang perempuan
mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang besamaann, pada dasarnya disebut
poligami.
Menurut bahasa Indonesia, pengertian poligami adalah system perkawinan yang salah
satu pihak memiliki/ mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Para ahli membedakan istilah laki-laki yang memiliki lebih dari seorang istri dengan
isltilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Jadi
kata yang tepat untuk menyebut laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri adalah poligini
bukan poligami. Akan tetapi dalam perkataan sehari hari lebih umum disebut poligami.

B. Landasan Hukum Syar’i

Masalah poligami bukan hanya ada setelah Islam datang, tetapi telah ada jauh sebelumnya.
jauh sebelum Islam datang telah ada poligami.
1. AL-QURAN

‫لك ْ من النس ء مثْنى ثَث رب ع فِ ْن خ ْفت ْ أ اَ ت ُِْل ا‬ ‫إ ْن خ ْفت ْ أ اَ ت ْسط ا في ْاليت مى ف ْنكح ا م ط‬
‫ت أيْم نك ْ ۚ ذل أُْنى أ اَ تِ ل ا‬
ْ ‫ف احُة ً أ ْ م م ك‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. QS.An-Nisa : 3

2. AS-SUNNAH

ّ ‫عن بن ع ر أ غيَ بن س ة ل قفي أس م له عشر نسو في لج ه ية فأس ن معه فأمر ل ي ص‬


( ‫ترمي ي‬ ) . ‫ع يه س م أ يت ير أ بع م ن‬
“Dari Ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan ia
mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga masuk Islam
bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih (mempertahankan)
empat diantara mereka. “ (HR. Tirmidzi).
Hadits di atas diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Hannad, dari ‘Abdah, dari Sa’id bin
Abi ‘Arwah, dari Ma’mar dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ibnu Umar. Hadits di atas
menunjukkan bolehnya berpoligami dengan ketentuan tidak boleh lebih dari empat orang istri.
Seandainya poligami tidak boleh, mestinya Nabi memerintahkan Ghailan memilih salah satu
saja dari sepuluh orang istrinya dan menceraikan yang lain. Ini menunjukkan bahwa batasan
maksimal seorang laki-laki yang berpoligami adalah empat orang istri. Hal ini sejalan
dengan QS. An-Nisa’ ayat 3.

C. Pembahasan
Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberikan hukum-hukum yang lengkap
untuk memecahkan permasalahan atau problematika kehidupan umat manusia. Salah satunya,
Islam mebolehkan kepada seorang laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu orang dalam
waktu yang bersamaan, yang dinamakan poligami. Hanya saja, Islam membatasi jumlahnya
yakni maksimal empat orang istri, dan mengharamkan lebih dari jumlah itu..
Syarat-Syarat Poligami
1. Adanya keadilan bagi para istri
Islam membolehkan laki-laki memiliki istri lebih dari satu orang, jika mampu untuk berbuat
adil terhadap istri-istrinya, akan tetapi dalam ayat di atas disebutkan jika takut tidak dapat
berlaku adil maka kawinilah seorang saja. Artinya jika seorag laki-laki khawatir tidak dapat
berlaku adil (dengan beristri lebih dari satu), Islam menganjurkan untuk menikah hanya dengan

2
seorang wanita saja sekaligus meningggalkan upaya untuk menikah dengan lebih dari seorang
wanita. Karena ini adalah pilihan yang paling dekat untuk tidak berlaku aniaya.
Namun demikian, keadilan yang dituntut oleh seorang suami terhadap istri-istrinya
bukanlah keadilan yang bersifat mutlak dalam segala hal, karena hal ini tidak akan mampu
dilakukan oleh suamii. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ْ ‫صت ْ فَ تمي ا ك ال ْالميْل فتذر ه ك ْلمِ ا ِ إ ْن ت‬


‫صح ا‬ ْ ‫ل ْن تسْتطيِ ا أ ْن ت ُِْل ا بيْن النس ء ل ْ حر‬
‫ّ ك ن غف ًرا رحي ًم‬ ‫تت ا ا فِ ان ا‬
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. QS.An-
Nisa : 129
Para mufasirin menafsirkan ayat di atas bahwa ketidakmampuan yang dimaksud adalah
dalam perkara kasih sayang dan syahwat suami terhadap istri-istrinya. Keadilan selain dalam
dua hal inilah yang sebetulnya dituntut dan diwajibkan atas para suami yang melakukan
poligami, sedangkan keadilan dalam hal rasa kasih sayang dan kecenderungan syahwatnya
bukan sesuatu yang diwajibkan atas mereka.
Imam Ahmad dan para penulis kitab Sunan meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. , ia berkata
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan giliran malam kepada istri-istri beliau
secara adil. Selanjutnya beliau bersabda,
‫ل م ه قس ي في أم ك فَ ت ي في ت ك ا أم ك‬
“Ya Allah, inilah pembagian yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela diriku pada apa
yang Engkau miliki dan tidak aku miliki.” (‘Aisyah berkata), “Yaitu hati.” HR.Abu Daud
Apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri-istrinya, maka janganlah
berlebihan sehingga membiarkan yang lain terkatung-katung, maksudnya seperti tidak
memiliki suami dan tidak juga diceraikan. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‫ج ء يو لقي مة شقه م ئل‬ ‫بي‬ ‫ية( ف م يع‬ ‫ ) في‬، ‫ح ه‬ ‫ل‬ ‫له مرأت ف‬ ‫ف نك‬
‫ية( س قط‬ ‫) في‬
“Barang siapa mempunyai dua orang istri sedang dia lebih cenderung kepada salah seorang
dari keduanya… (dan dalam riwayat yang lain) : ...sedang dia tidak berlaku adil kepada salah
seorang di antara keduanya, dia akan datang nanti pada hari kiamat sedang pinggangnya

3
(rusuknya) condong (senget sebelah) .. (dan dalam riwayat yang lain) .. gugur.” HR.Abu
Daud, At-Tirmidzi
Dengan demikian , keadilan yang dituntut oleh suami terhadap istri-istrinya adalah keadilan
dalam meladeni istri seperti pakaian , tempat tinggal, giliran dan hal-hal lain yang bersifat
lahiriyah

2. Mampu memberikan nafkah


Secara syariat, tidak boleh melakukan pernikahan baik satu istri terlebih pernikahan
terhadap lebih dari satu istri kecuali dengan adanya kemampuan untuk mendatangkan fasilitas
pernikahan dan biayanya serta kesinambungan dalam memberikan nafkah wajib kepada istri.
Berdasarkan Sabda Shallallahu ‘alaihi wasallam,
‫م م ل ء ف يتز‬ ‫ من ستط‬, ‫ي معشر لش‬
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menyediakan fasilitas
perkwinan, maka hendaklah dia kawin.”

3. Aman dari lalai untuk beribadah kepada Allah


Seorang yang melakukan poligami, harusnya menjadikan ia bertambah ketakwaannya
kepada Allah, dan rajin beribadah. Namum ketika setelah melaksanakan poligami, menjadikan
ia lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas
untuk melakukan poligami. Allah berfirman. QS.Ath-Thaghabun : 14
ْ‫ُۡحواْ وَ ُۡۡروا‬ ۬
ۡ َ‫عدوا لّڪمۡ ف ۡحذروهمۡ وإن َ ُۡۡواْ و‬ ۡ‫يـٓأيّہا لّذين ءامن ٓواْ إنّ م ۡن أ ۡزو جكمۡ وأ ۡولـدڪم‬
‫ور ّرحيم‬ ۬ ُ‫فإنّ ّّ غ‬
“Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka”

Sebab-Sebab Poligami
Di antara sebab-sebab poligami, terdapat sebab-sebab yang bersifat umum dan sebab-sebab
yang bersifat khusus, yang menjadikan poligami sangat dibutuhkan secara sosial dan moral
yang megandung unsur mashlahat dan rahmat.
1. Sebab-sebab Umum Poligami
a. Mengatasi banyaknya kaum perempuan dan sedikitnya laki-laki, terutama akibat dari
adanya peperangan
b. Menjaga kaum perempuan dari keburukan dan penyimpangan, yang membuat mereka
terkena penyakit yang menbahayakan serta melindungi mereka dalam rumah tangga
yang berisikan rasa tenang dan nyaman.

4
c. Adanya kebutuhan umat terhadap bertambahnya jumlah penduduk untuk melakukan
peperangan melawan musuh atau untuk membantu pekerjaan pertanian, pabrik dan
lainnya.
d. Kebutuhan social untuk mendapatkan hubungan kekerabatan dan besanan untuk
menyebarkan dakwah Islam, sebagaimana yang terjadi terhadap Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam.
2. Sebab-sebab Khusus Poligami
a. Kemandulan istri, atau adanya penyakit atau tabiatnya tidak sejalan dengan suami.
Bisa jadi seorang istri mandul dan tidak bisa memiliki anak, atau memiliki penyakit
yang kronis yang membuatnya terhalang untuk mewujudkan keinginan suaminya, atau
tabiatnya tidak selaras dengan tabiat suaminya. Maka alangkah baik dan benarnya bila
istri tetap berada dalam ikatan perkawinan karena hal ini lebih mulia untuknya.
b. Besarnya rasa benci seorang laki-laki terhadap istrinya pada beberapa waktu.
Terkadang dalam pernikahan terjadi perselisihan atau percekcokan antara suami
dengan istri atau dengan keluarga istrinya yang tidak menemukan jalan keluar dan
berujung pada perpisahan untuk selama-lamanya, yang menyebabkan hati istri sakit
untuk selama-lamanya. Maka suami bersabar dan bersikap bijak dengan
mempertahankan pernikahan dan melakukan poligami, jauh lebih baik dari pada
perceraian.
c. Bertambahnya kemampuan seksual pada beberapa orang laki-laki.
Terkadang beberapa laki-laki memiliki energy seks yang tinggi yang membuat dirinya
tidak merasa cukup dengan satu orang istri, yang bisa jadi karena usia istri yang sudah
tua, atau karena panjangnya masa haid dan nifas istrinya. Maka untuk menjaga kesucian
dan kemuliaannya adalah dengan jalan poligami dari pada melakukan hubungan seks
yang tidak illegal yang mendatangkan murka Allah serta mendatangkan keburukan
individu dan social secara umum dengan menyebarnya kekejian dan zina.

Prosedur Poligami
Tata cara untuk melakukan poligami yang diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan
secara pasti, akan tetapi di Indonesia, dengan Kompilasi Hukum Islamnya, telah mengatur tata
cara melakukan poligami tersebut, yaitu :
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
Agama yang pengajuannya telah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5
2. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari
pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
satu orang apabila,
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Di samping syarat-syarat tersebut di atas, maka untuk memperoleh izin pengadilan agama
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut,
1. Adanya persetujuan istri baik secara lisan atau tulisan pada siding pengadilan agama.
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
meraka.

Hikmah Poligami
Sistem istri tunggal sesungguhnya adalah system yang paing baik, dan yang mayoritas
dianut oleh manusia. Sedangkan poligami adalah suatu perkara yang jarang dan bersifat
pengecualian, yang tidak dilakukan kecuali dalam kondisi yang sangat diperlukan. Syariat tidak
mewajibkannya kepada seorang pun bahkan tidak mendorongnya. Syariat membolehkannya
karena beberapa sebab baik yang umum maupun yang khusus.
Adapun beberapa hikmah dari poligami adalah,
1. Merupakan karunia Allah dan Rahmat-Nya kepada manusia yaitu diperbolehkannya
poligami dan membatasinya sampai empat.
2. Memparbanyak keturunan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
disertai pendidikan yang baik agar mampu menjadi penolong agama Allah dalam berbagai
bidang.
3. Memberikan jalan keluar atas ketidakseimbangan persentase wanita yang lebih banyak
dari jumlah laki-laki.
4. Dalam poligami terdapat jaminan sosial bagi sejumlah wanita, karena Allah telah
mewajibkan nafkah seorang istri atas suaminya.
5. Mengukuhkan tujuan dari sebuah pernikahan, yaitu berketurunan dan menjaga eksistensi
umat manusia. Kesiapan laki-laki untuk melakukan tugas reproduksi lebih panjang dari
wanita, maka seandainya poligami tidak dibolehkan, niscaya kesiapan bereproduksi itu

6
akan menjadi non aktif (tidak berfungsi) karena perbedaan masa reproduski laki-laki dan
wanita.
6. Memberikan jalan keluar bagi para wanita atas ketidaksiapan semua laki-laki untuk
menikah. Wanita lebih memiliki kesiapan untuk menikah, dari pada laki-laki. Wanita tidak
memiliki halangan untuk menikah, sedangkan laki-laki dihalangi oleh kefakiran dan
ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan pernikahan.
7. Memberikan jalan keluar dalam mendapatkan keturunan. Terkadang istri mengalami
kemandulan sementara suami senang untuk berketurunan, atau istri menderita sakit kronis.
8. Terkadang laki-laki memiliki dorongan sex yang begitu kuat yang tidak terpenuhi hanya
dengan seorang istri, baik karena ketuaannya, kelemahannya atau karena banyaknya hari-
hari haid, nifas , sakit atau yang serupa itu. Dalam kondisi seperti ini, akan lebih memilih
pernikahan yang disyariatkan dari pada hubungan yang diharamkan.
9. Pernikahan merupakan factor terjalinnya suatu hubungan dan ikatan di antara sesama
manusia. Poligami akan menjalinkan ikatan di antara banyak keluarga dan menjalinkan
hubungan sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Inilah salah satu factor Nabi
menikahi sejumlah wanita.
10. Dalam poligami terdapat solusi bagi problematika perawan tua.

7
BAB II
POLIANDRI

A. Pengertian
Poliandri berasal dari kata polus yang berarti banyak dan andros yang berarti laki-laki. Jadi
poliandri artinya pernikahan seorang perempuan dengan lebih dari satu orang suami dalam
waktu bersamaan.

B. Tinjauan Sosial
Islam membolehkan laki-laki untuk memiliki lebih dari satu istri dalam waktu bersamaan
dengan batasan maksimal 4 orang. Namun hal ini tidak berlaku untuk wanita. Ada sebagian
orang yang beranggapan, pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam poliandri tidak
memungkinkan karena apabila wanita itu hamil, maka akan sukar ditentukan siapa bapak
biologis si anak. Namun dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, anak bisa ditentukan
dengan tes DNA. Apakah dengan demikian poliandri dibolehkan ?

C. Landasan Hukum Syar’i


Keharaman poliandri bukan hanya karena khawatir akan terjadinya kerancuan keturunan,
akan tetapi semata-mata karena keharaman yang telah Allah tetapkan. Poliandri tetap haram

8
dilakukan, sekalipun oleh seorang wanita yang mandul. Dalam syariat Islam, jangankan
melakukan poliandri, melamar wanita yang sedang dalam lamaran orang lain pun hukumnya
haram, termasuk melamar wanita yang sedang menjalani masa iddah baik karena perceraian
ataupun suami si wanita meninggal. Dasar hukum diharamkannya poliandri dalam Islam,
1. Al Qur’an

‫اَِ َعلَْي ُك ْم َوأ ُِح هل لَ ُك ْم َما َوَراءَ ذَلِ ُك ْم‬ ِ ِ ِ ِ ‫والْمحصن‬


‫اب ه‬ َ َ‫ت أََْْانُ ُك ْم كت‬ ْ ‫ات م َن النّ َساء إِا َما َملَ َك‬ ُ ََ ْ ُ َ
ِِ ِِ ِِ ِ
َ‫ض‬
َ َِ‫ورُُ هن ف‬ َ ُُ
ُ ‫وُ هن أ‬ ُ ُ‫استَ ْمتَ ْعتُ ْم بِه مْن ُُ هن فَتت‬
ْ ‫ن فَ َما‬ َ ‫ن َغ ْ َْ ُم َسافح‬ َ ‫أَ ْن تَْب تَغُوا ِِ َْم َوال ُك ْم ُُْصن‬
‫اََ َكا َن َعلِيما َح ِكيما‬ ‫ضَ ِ إِ هن ه‬ ِ ِِ
َ ِ ‫اضْي تُ ْم بِه م ْن بَ ْعد الْ َف‬
َ ََِ‫يما ت‬
ِ‫وا ُناح علَي ُكم ف‬
َ ْ ْ َ َ َُ َ
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki, (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina.” QS.An-Nisa : 24
Dalam ayat di atas jelas menunjukkan bahwa salah satu katergori wanita yang haram untuk
dinikahi laki-laki adalah wanita yang telah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-
muhshanaat.
2. As Sunnah
Adapun dalil As-Sunnah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita
itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (ayyumaa `mra`atin zawwajahaa
waliyaani fa-hiya lil al-awwali minhumaa) (HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi)
Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali
menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap
sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama. Dengan demikian, jelaslah
bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

D. Pembahasan
Terkadang terbersit pertanyaan di fikiran kita atau bahkan digembor-gemborkan oleh
sebagian aktifis yeng mengklaim sedang memperjuangkan kesetaraan gender. “Jika lelaki
boleh memiliki istri lebih dari satu, mengapa wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu
(poliandri) ?
Terdapat beberapa uraian untuk menjawab hal tersebut yaitu,

9
1. Ketentuan dari Allah
Allah yang telah mengatur ketentuan tidak bolehnya seorang wanita muslimah memiliki
lebih dari satu suami. Tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba yang beriman kepada Allah
kecuali menaati dan menerima dengan sepenuh hati setiap ketentuan-Nya.

‫أ ل ك هم ل ف حو‬ ‫أ ع‬ ‫سوله ليح م بي م أ يقولو س ع‬ ّ ‫عو ل‬ ‫ن ك قو ل م ين‬


“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-
Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata:
Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah
orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51)
Tidaklah apa yang Allah tentukan untuk hamba-Nya melainkan pasti memiliki hikmah
yang besar bagi sang hamba. Namun sang hamba wajib pasrah kepada ketentuan itu baik tahu
akan hikmahnya, maupun tidak tahu hikmahnya.

2. Laki-laki adalah pempimpin keluarga


Islam mengatur bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman,
‫ص حت قنتت‬‫ض بم ٓ أنف اْ م ۡن أمۡ ل ۡۚ فصل ا‬
ٖ ِۡ‫لرج ل ق ا م ن ع ى لنس ٓء بم فضال اَ بِۡ ض ۡ ع ى ب‬
‫ضرب ه ان فِ ۡن‬
ۡ ‫َ لاتي تخ ف ن نش زه ان فِظ ه ان ۡهجر ه ان في ۡلمض جع‬ ۚ ‫غي بم حفظ ا‬ ۡ ۡ ‫ت ل‬ٞ ‫حفظ‬
ۗ ً ‫أطِۡ نك ۡ فَ ۡتبغ اْ ع ۡي ان سب‬
‫يَ إ ان اَ ك ن ع ٗي كب ٗيرا‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-
laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara (mereka ).”QS.An-Nisa : 34.
Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda,

‫في أ ْه ه ه‬ ْ
‫ ل ّ جل‬،‫عن عيّته‬ ‫س‬
ْ ‫م‬ ْ
‫ إم‬،‫عن عيّته‬ ْ ‫ ك ّ ْم م‬،
‫س‬ ‫ك ّ ْم‬
ْ ‫س لة‬
‫عن عيّت‬ ْ ‫م‬ ‫عية في بيْت ْ ج‬ ْ
‫ ل ْ أ‬،‫عن عيّته‬ ‫س‬
ْ ‫م‬
“Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai
pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan
dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya
dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap

10
urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari
Musim).
Oleh karena itu, seorang istri wajib taat kepada suaminya selama bukan dalam perkara maksiat.
Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

‫ ْخ ي ْل ّة م ْن‬: ‫ْ ج قيل ل‬ ْ‫ أ عت‬، ‫ ح تْ ف ْ ج‬، ‫ ص متْ ش ْ ه‬، ‫ْ أ خ ْ س‬ ‫إ ص ّت ْل‬


‫ّة ش ْت‬ ‫ْل‬ ‫أ ّ أ ْب‬

“Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, menjaga
kemaluannya, taat kepada suaminya akan dikatakan padanya kelak: ‘Masuklah ke dalam
surga dari pintu mana saja yang engkau inginkan’” (HR. Ahmad )
Jika seorang wanita memiliki lebih dari satu suami, apakah rumah tangga akan berjalan dengan
banyak pemimpin? Suami manakah yang akan di taati? Bagaimana jika suami berselisih dan
memberi perintah yang berlainan?

3. Cobaan terbesar bagi laki-laki adalah wanita, namum tidak sebaliknya


Cobaan terbesar dan terdashsyat serta paling menjatuhkan laki-laki adalah cobaan wanita.
Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti dalam urusan ini, melalui
sabdanya,

‫ل ّ ج من ل ّس ء‬ ‫فتْ ة أض ّ ع‬ ‫م ت كْت ب ْع‬


“Tidaklah aku tinggalkan cobaan yang paling berbahaya bagi kaum lelaki selain wanita” (HR.
Bukhari Muslim).
Beliau Shallallahu’alahi wasallam juga bersabda,

ّ ‫ فن‬،‫ل ّس ء‬ ‫تّق‬ ‫ل ّ ْني‬ ‫ ف تّق‬، ‫كيْف ت ْع‬ ْ ‫ في‬، ‫ْم في‬ ْ ‫ست‬
ْ ‫ إ ّ هم‬، ‫خ‬ ْ ‫إ ّ ل ّ ْني ح‬
‫س ئيل ك نتْ في ل ّس ء‬
ْ ‫أ ّ فت ْ ة ب ي إ‬

“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah menyerahkannya kepada
kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya.
Berhati-hatilah dari fitnah dunia dan waspadalah terhadap wanita. Karena cobaan pertama
yang melanda Bani Israil adalah wanita” (HR. Muslim ).
Tentang godaan setan, Allah Ta’ala berfirman:

‫ضعي‬ ‫ك‬ ّ ‫إ ّ ك ْي ل‬
‫شيْط‬
11
“Sesungguhnya tipu-daya setan itu lemah” (QS. An Nisaa: 76)

Namun tentang godaan wanita, Allah Ta’ala berfirman:

‫إ ّ ك ْي كنّ ع يم‬
“Sesungguhnya godaan wanita itu sangat dahsyat” (QS. Yusuf: 28)

Oleh karena itu, Allah mensyariatkan poligami bagi laki-laki sebagai salah satu jalan untuk
meringankan cobaan dan godaan wanita. Namum sebaliknya tidak didapati dalil yang
menunjukkan bahwa cobaan terbesar wagi wanita adalah godaan laki-laki. Ini salah satu
hikmah mengapa poliandri tidak disyariatkan.

4. Menjaga kejelasan Nasab


Dalam agama Islam, anak dinasabkan kepada ayahnya. Masalah nasab adalah masalah yang
sangat urgen dalam Islam, sampai-sampai mencela nasab dan menasabkan diri kepada selain
ayah kandung dikategorikan oleh para ulama sebagai perbuatan dosa besar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ ه ي ْع م ف ْل ّة ع يْه ح‬،‫من ّع إل غ ْي أبيه‬


“Barangsiapa menasabkan diri kepada selain ayah kandungnya, padahal ia tahu ayah
kandungnya, maka surga haram baginya” (HR. Bukhari Muslim).
Sebagaimana juga hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu:

‫ل ّي حة‬ ‫خا م ْن خا ل ه يّة ل ّط ْعن في أ ْنس‬


“Diantara perbuatan orang Jahiliyyah adalah mencela nasab” (HR. Bukhari).
Nasab menentukan banyak urusan, seperti dalam pernikahan, nafkah, pembagian harta
warisan dan lain-lain. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Pernyataan ‘laki-laki dibolehkan
menikahi empat orang wanita, namum wanita tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu laki-
laki’, adalah salah satu bentuk kesempurnaan sifat hikmah dari Allahu Ta’ala. Allah Maha
Tinggi dan Maha Suci dari kebalikan sifat tersebut. Syariat Islam disucikan dari hal-hal yang
berlawanan dengan hal itu. Sekiranya wanita dibolehkan menikah dengan dua orang atau lebih,
makan dunia akan hancur, nasab jadi kacau, para suami saling bertikai satu dengan yang lain,
fitnah mendera dan sebagainya.

12
BAB III
NIKAH MUT’AH

A. Pengertian

Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (az-zawaj al-mu’aqqat) dan nikah putus (az-
zawaj al-munqathi’). Gambaran nikah mut’ah adalah seorang laki-laki melangsungkan akad
nikah dengan seorang wanita untuk jangka waktu sehari atau seminggu atau sebulan,atau waktu
yang ditentukan selainnya. Dinamakan mut’ah,karena laki-laki mengambil keuntungan dari
pernikahan dan menikmati hubungan dengan wanita hingga batas waktu yang ditetapkan.

B. Landasan Hukum
Seluruh imam mazhab sepakat mengharamkan nikah ini. Mereka berkata, “Jika akad nikah
dilakukan, maka seketika itu juga nikahnya batal /tidak sah” (Sayyid Sabiq dalam Fiqih
Sunnah, terjemahan). Pendapat ini mereka kemukakan berdasarkan dalil-dalil berikut :
1) Nikah mut’ah tidak terkait dengan hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang
menyentuh persoalan pernikahan, talak (perceraian), ’iddah dan pewarisan, sehingga
hukumnya batil, sama seperti nikah-nikah batil lainnya.
2) Hadis-hadis menyatakan keharamannya dengan jelas. Saburah Al-Juhani menuturkan
bahwa dirinya menyertai Nabi saw dalam peristiwa Pembebasan Kota Mekkah. Saat itu
beliau mengizinkan para sahabat menikahi wanita secara mut’ah. Saburah berkata, “Tapi
belum juga keluar dari Mekkah, beliau telah mengharamkannya.”

13
3) Dalam redaksi lain yang diriwayatkan Ibnu Majah dinyatakan bahwa Rasulullah saw
mengharamkan nikah mut’ah seraya bersabda :
“Wahai segenap manusia, sesungguhnya aku sudah mengijinkan kalianbersenang-senang
(nikah mut’ah). Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari
kiamat”. (HR. Muslim dan Ibnu Majah)
Ali ra menyatakan bahwa Rasulullah saw melarang menikahi wanita secara mut’ah pada
Peristiwa Khaibar. Juga melarang memakan daging kedelai jinak.
4) Umar ra. Mengumumkan pengharaman nikah mut’ah saat berpidato di atas mimbar pada
masa pemerintahannya. Ketika itu semua sahabat Rasulullah saw tidak ada yang
membantah. Para sahabat mustahil tidak membantah,seandainya pernyataan Umar ra itu
salah.
5) Al-Khaththabi berkata:”Pengharaman nikah mut’ah bisa dianggap ijma’, kecuali beberapa
kalangan syiah. Ali sendiri menyatakan dalam riwayat yang shahih bahwa nikah mut’ah
telah dihapus (naskh). Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad bahwa suatu
ketika ia ditanya tentang hukum mut’ah. Jafar menjawab:”Mut’ah adalah zina itu sendiri.”
6) Nikah mut’ah bertujuan melampiaskan nafsu saja, tidak untuk melahirkan keturunan dan
merawat anak yang justru merupakan tujuan-tujuan nikah yang sebenarnya. Karena itu,
nikah mut’ah tidak berbeda dengan zina dalam tujuannya bersenang-senang semata.
Selain itu, mut’ah merugikan wanita, karena dirinya disamakan dengan barang yang dapat
berpindah tangan dari satu orang ke orang lain. Juga merugikan anak-anak, karena tidak
mendapati rumah untuk menetap, menerima pendidikan dan pengasuhan.

C. Pembahasan

Asy-Syaukani berkata, “Bagaimanapun, kita hanya menjalankan ibadah sesuai dengan


ajaran yang disampaikan oleh Pemilik Syari’at. Kita telah mendapatkan dalil yang shahih
bahwa mut’ah telah diharamkan. Mengenai beberapa sahabat yang berbeda pendapat, sama
sekali tidak mengurangi kekuatannya sebagai dalil dan tidak menjadi alasan bagi kita untuk
membenarkan praktiknya. Bagaimana tidak, hampir semua sahabat mengetahui
pengharamannya,memegang dengan teguh dan meriwayatkan kepada kita. Bahkan Ibnu Umar
ra –sebagiamana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang shahih- menuturkan bahwa
Umar ra berkata, “Rasulullahmengijinkan kami melakukan mut’ah 3 kali,
lalumengharamkannya. Demi Allah, sekiranya aku tahu ada seorang laki-laki yang telah
menikahmelakukan mut’ah, maka pastiakuakan merajamnya dengan batu”.

14
Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasululah saw bersabda, “Mut’ah telah dibatalkan dengan
pernikahan,perceraian, ‘iddah dan pewarisan.” (HR.Ad-Daruquthni). Al-Hafidzh menilai
hadis ini hasan. Kebanyakan para sahabat dan semua fuqaha berbagai negeri menyatakan
keharamanan nikah mut’ah. Terdapat hadis-hadis mutawatir dari Rasulullah saw yang
menjelaskan tentang keharamannya, meski diperselisihkan mengenai waktu terjadinya
keharaman tersebut. Sebagian menyatakan pada Perang Khaibar. Sebagian menyatakan
pada hari Fathu Makkah. Lainnya pada Perang Tabuk,dan lainnya pada Haji Wada.
Terdapat riwayat yang masyhur dari Ibnu Abbas tentang kehalalannya dan perkataan Ibnu
Abbas tentang kehalalan nikah mut’ah inidiikuti oleh para pengikutnya dari penduduk
Mekkah dan Yaman. Mereka meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berhujjah dengan firman
Allah:
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka mas kawin (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban dan tiada berdosa bagimu”.
(QS. An-Nisa : 24)
Dalam suatu bacaan yang diriwayatkan darinya, “Hingga masa tertentu…”. Dan
diriwayatkan darinya, bahwa dia mengatakan, nikah mut’ah tidak lain adalah rahmat Allah
kepada umat Muhammad saw. Andaikata tidak ada larangan Umar, maka tidak akan terpaksa
berbuat zina kecuali orang-orang yang celaka.” Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu abbas,yang
diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dan Amru bin Dinar. Dan dari Atha’,diaberkata : aku mendengar
Jabir bin Abdullah mengatakan :
“Kami melakukan nikah mut’ah pada masa Rasulullah saw dan Abu Bakar dan setengah dari
masa Umar,kemudian Umar melarang orang-orang melakukannikahmut’ah tersebut”.
Mengenai pendapat yang mengklaim bahwa kehalalan nikah mut’ah ditetapkan
berdasarkan ijma’ dan ijma’ bersifat qath’i (pasti); sementara pengharamannya
diperselisihkan,dan sesuatu yang diperselisihkan bersifat zhanni (asumsi),dan sesuatu
yangzhanni tidak dapat menghapus (naskh) hukum yang qath’i. Jawaban atas klaim ini seperti
berikut :
1) Klaim sesuatu yang qath’i tidak dapat dihapus (naskh) oleh sesuatu yang zhanni, tidak
dapat diterima. Sebab, apa dalil klaim ini? Keberadaannya hanya sekedar pendapat
kebanyakan ulama (jumhur) tidak dapat diterima begitu saja oleh orang yang menuntut
lawannya untuk mengungkapkan dalil logika dan nash. Hal ini juga merupakan ijma
seluruh ulama.
2) Penghapusan (naskh) dengan yang zhanni di sini disebabkan karena kehalalannya
berlanjut. Kondisi berlanjut juga bersifat zhanni,bukan qath’i.
15
Sementara bacaan Ibnu Abbas,Ibnu Mas’ud,Ubay bin Ka’b dan Sa’id bin Jubair yang
berbunyi, ”Maka instri-istri yang telah engkau nikmati (berhubungan) dengan sebagian
mereka hingga waktu tertentu”; bukanlah ayat Al-Qur’an, menurut para ulama yang
mensyaratkan mutawatir. Bukan juga merupakan Sunah (hadis) yang diriwayatkan sebagai
ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, yang paling tepat adalah penafsiran terhadap ayat Al-
Qur’an dan tentunya tidak bisa dijadikan dalil. Sementara para ulama yang tidak
mensyaratkan mutawatir pada ayat Al-Qur’an,tidak mempermasalahkan penghapusan (naskh)
bagian Al-Qur’an yang bersifat zhanni dengan Sunah (hadis) zhanni,sebagaimana ditetapkan
dalam ilmu Ushul.

BAB IV
NIKAH SIRI

A. Definisi
Nikah siri dalam bahasa Arab berasal dari kata As-Sirrun yang berarti perkara yang
dirahasiakan. Bentuk jamaknya Asyrarun. Bila dikatakan, Asarrun As-Syaia berarti
merahasiakan dan menyembunyikannya. Sedangkan kata As-Surriyyatu artinya budak wanita
yang menjadi hak milik dan untuk kepentingan melakukan hubungan badan. Berbentuk dari
wazan (format kata) fu’liyyatun, yang berasal dari kata As-Sirrun. Sebab, seringkali seorang
lelaki merahasiakan dan menutup-nutupinya dari istri resminya dan menempatkan budak
wanita itu di rumah lain. Kata As-Sirrun adalah pernikahan yang dirahasiakan. Allah
berfirman:
“(Dalam pada itu) janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secarara
rahasia.”(QS. Al Baqarah : 235)
Pengertian nikah siri secara terminologi adalah “Pernikahan yang diperintahkan agar
dirahasiakan”. Dalam versi lain, “Pernikahan yang dilangsungkan tanpa tasyhir
(pengumuman kepada publik)”.

B. Tinjaun Sosial
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri)
dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah

16
pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa
mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan
negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya
di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu
membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan
melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain
sebagainya.
3. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya
karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap
tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

C. Tinjauan Dalil
1. Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan
semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra;
bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

‫إا ب لي‬ ‫ان‬


“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy,
lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak
sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna
semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra,
bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

‫لي ف ح ب ل‬ ‫م أ ن حت بغي إ‬ ‫أي‬, ‫ ف ح ب ل‬, ‫ف ح ب ل‬


“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil;
pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat,
Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

‫لز نية هي لتي تز ج ن س‬ ‫ا تز ج ل أ ل أ ا تز ج ن س فن‬

17
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak
menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita)
yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy
Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649).
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali
adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak
mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi
bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan
tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar
sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh
menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa
wali.

2. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil


Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat
namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang
harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak
mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya
tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum.
Pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai
tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia.
Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
digariskan oleh Allah swt,yaitu : (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal
ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak
dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara,
maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
a. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar
telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah
sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang
telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah)
18
di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan,
maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian,
nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara,
bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan
alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar),
dan lain sebagainya.
b. Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan
maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-
orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi
negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa
dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga
pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks
keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim
saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi
mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat
bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para
shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis
(mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah
swt;

‫ا يأ ْ ك تب أ ْ ي ْتب ك‬ ْ ‫ْتب ب ْي ْم ك تب ب ْلع‬


ْ ‫ْلي‬ ‫ي أيّ ّل ين ء م إ ت ي ْت ْم ب يْن إل أجل مس ً ف كْت‬
ْ‫قسي أ‬ ّ ‫س م ْه ش ْي فن ْ ك لّ ع يْه ْلح‬ ْ ْ ‫َ ّبه ا ي‬ ّ ‫ْتب ْلي ْ ل لّ ع يْه ْلحقّ ْليتّق‬ ْ ‫َ ف ْي‬ ّ ‫عّ ه‬
‫ش ي يْن م ْن ج ل ْم فن ْ ل ْم ي ن ج يْن ف جل‬ ْ ‫ست‬
‫ش‬ ْ ْ ‫ستطيع أ ْ ي ّل ه ف ْي ْ ْل ليّه ب ْلع‬ْ ‫ضعي أ ْ ا ي‬
‫سأم‬
ْ ‫ش ءإ م ع ات‬ ّ ‫ا يأ ْ ل‬ ‫ش ء أ ْ ت ّل إحْ ه فت ّك إحْ ه ْأ ْخ‬ ّ ‫ْم أت م ّ ْن ت ْ ض ْ من ل‬
‫حض‬ ‫ت‬ ‫أ ْن أ ّا ت ْ ت ب إ ّا أ ْ ت‬ ّ ‫َ أ ْق ل‬
‫ش‬ ّ ْ ‫أ ْ ت ْت صغي أ ْ ك ي إل أج ه ل ْم أ ْقسط ع‬
‫إ ْ ت ْع‬ ‫ّ ك تب ا ش ي‬ ‫إ ت ي ْعت ْم ا ي‬ ْ ‫أ ّا ت ْت ه أ‬
‫ش‬ ‫ت ي ن ب ْي ْم ت ي ن ب ْي ْم ف يْس ع ْي ْم ج‬
‫شيء ع يم‬ ّ َ
ْ ‫َ ب ّل‬ ّ ‫َ يع ّ م‬ ّ ‫فننّه فس ب ْم تّق‬

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis,
dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan

19
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur.

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,
(Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah
suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):

c. Dalam hal pengaturan urusan pernikahan, Kepala negara atau Khalifah boleh saja
menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan;
misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam
ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan
sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara.
Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -
padahal negara telah menetapkan aturan tersebut - telah terjatuh pada tindakan mukhalafat.
Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang
yang diberinya kewenangan. Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara
syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh
kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah.
d. Jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara
tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan

20
ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas
kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut,
bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak
mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
e. Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan
dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun
tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah).
Nabi saw bersabda:

‫ل ْ بش ح ّث أ ْ ل ْم‬

“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan


Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya
adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan
masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang
menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang
sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang
dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap
perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai
persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua
kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya;
dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk
mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan
kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

21
BAB V
PERNIKAHAN SEJENIS

A. Pengertian
Perkawinan adalah penggabungan, persilangan, dan pembastaran dari dua jenis kelamin
yang berbeda, laki-laki dengan perempuan pada manusia, atau jantan dengan betina pada
hewan dan tumbuhan. Berdasarkan definisi tersebut maka ketika muncul istilah perkawinan
sejenis hal ini tentu menimbulkan ketidaksesuaian dengan makna dari perkwinan itu sendiri.
Sejenis berarti memiliki jenis kelamin yang sama pria dan pria ataupun wanita dan wanita.
B. Tinjaun Sosial
Perilaku menyimpang seperti lesbian, gay, biseksual dan transgender dewasa ini semakin
marak terutama setelah Amerika Serikat melegalkan pernikahan sejenis di negaranya. Kaum
yang menyebut diri mereka kaum LGBT semakin berusaha untuk menyuarakan hak mereka
yaitu dilegalkannya pernikahan sejenis atas nama hak asasi manusia.
Keberadaan kaum LGBT ini seperti sebuah cerminan bangkitnya kembali kaum Sodom
pada masa Nabi Luth. Padahal sesungguhnya Allah SWT telah melaknat dan mengazab kaum
ini akibat perbuatan mereka. Kaum Sodom adalah orang-orang yang kufur kepada Allah ta’ala,
mereka sudah terbiasa melakukan suatu perbuatan keji yang belum pernah ada sebelumnya di
muka bumi, mereka melakukan penyimpangan seksual yang sangat bertentangan dengan
fitrah, yaitu mendatangi kaum lelaki (homoseksual).
Nabi Luth mulai menyampaikan dakwahnya kepada mereka, mengajak mereka
menyembah Allah SWT sebagai tuhan tunggal, dan meninggalkan perbuatan keji yang mereka
lakukan yaitu mereka meninggalkan kaum perempuan lalu melampiaskan syahwatnya kepada
sesama lelaki. Padahal jika mereka berpikir sehat mereka akan tahu bahwa hal tersebut adalah
22
perbuatan yang sangat menjijikkan dan tanpa disadari dalam perilaku homoseksual dan lesbian
terdapat banyak bahaya besar.
1. Bahaya Secara Medis, misalnya:
 Sakit pada anus, penularan virus dan bakteri berbahaya, seperti Escherichia coli (E.
coli) yang dapat menyebabkan penyakit yang ringan dan parah seperti gastroenteritis
(penyakit infeksi usus yang sangat menular) dan infeksi saluran kemih,
 Kanker. Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research Inggris[16] menemukan,
bahwa homoseksual dan lesbian lebih rentan terkena kanker. Dari penelitian yang
dilakukan selama tahun 2001, 2003, dan 2005, diketahui bahwa (penderita kanker)
1.493 pria dan 918 wanita mengaku sebagai gay dan lesbian. Dalam penelitian tersebut
ditemukan bahwa gay dua kali lebih berisiko terkena kanker dibandingkan dengan pria
heteroseksual. Terdapat beberapa kanker yang rawan diderita oleh para pelaku
hubungan sejenis diantaranya kanker anal yang disebabkan virus HPV (Human
Papillomavirus) dan kanker mulut yang disebabkan oral seks para gay dan lesbi pada
banyak pasangan yang berbeda.
 HIV dan PMS
2. Bahaya Secara Psikologis (Rohani).
Banyak kaum homoseksual yang kemudian menjadi sangat posesif dengan pasangannya.
Hal Ini disebabkan karena peluang mereka yang jauh lebih terbatas dibandingkan dengan
kaum heteroseksual. Sehingga bermula dari sikap posesif inilah muncul tindakan
kekerasan dan pembunuhan di kalangan kaum homoseksual dan lesbian (jauh lebih banyak
jika dibandingkan dari segi proporsional). Perasaan gelisah karena merasa berbeda dan
berdampak pada terkucilkan dalam pergaulan bermasyarakat (terutama masyarakat timur)
yang berakhir dengan keputusasaan yang menyebabkan sulit untuk berubah.
Meskipun telah terpampang bahaya dari penyimpangan kaum LGBT tersebut serta telah
dicontohkan bagaimana aazab yang menimpa kaum Sodom tetapi sampai saat ini kaum LGBT
ini masih terus ada dan berusaha melegalkan nafsu mereka. Mereka tidak mengambil pelajaran
bagaimana adzab Allah kepada kaum Sodom sebagaimana dijelaskan dalam QS Hud ayat 82:

‫و‬ ‫من سجيل م‬ ‫أمطرن ع ي حج‬ ‫ج ء أمرن جع ٰع ي س ف‬ ‫ف‬


“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah
(Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan
bertubi-tubi.”
C. Tinjauan Dalil

23
Dalil-dalil mengenai pernikahan sejenis menyatakan bahwa hukum dari pernikahan sejenis
ini adalah haram baik berdasarkan Al Qur’an maupun hadist. Hukum haram ini juga telah
disepakati ulama melalui Ijmâ’, bahwa perilaku homoseksual dan lesbian adalah haram. Tidak
ada diantara ulama yang berselisih tentang masalah ini. Jadi, tidak ada seorang ulama pun yang
berpendapat tentang kehalalannya. Dalil Al Qur’an yang membahas mengenai hubungan
sejenis sebagai berikut
1. Ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Lûth yang diutus kepada kaum Sodom.

‫ أئ م‬٢٨ ‫ق لقومه ن م لتأتو لف حشة م س ق م ب من أح من لع ل ين‬ ‫لو‬


‫قومه ا أ‬ ‫جو‬ ‫رۖف ك‬ ‫تقطعو لس يل تأتو في ن ي م ل‬ ‫لتأتو لرج‬
‫ك ت من لص قين‬ ّ ‫ق لو ئت بع‬
Dan (ingatlah) ketika Lûth berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kamu benar-benar
mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun
dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki,
menyamun1 dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu ?” Maka
jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allâh,
jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” [al-‘Ankabût/29:28-29]
2. QS. An Naml ayat 54 – 58
“Dan (ingatlah kisah) Lûth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu
mengerjakan perbuatan fâhisyah itu sedang kamu melihatkan(nya)? Mengapa kamu
mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita?
Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu),” maka tidak
lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Lûth beserta keluarganya dari
negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya)
bersih,” maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah
mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).”
3. Allah SWT menggambarkan bagaimana azab yang menimpa kaum Nabi Luth atas
perbuatan mereka di dalam QS Hud ayat 82 – 83.

٨٢ ‫و‬ ‫من سجيل م‬ ‫أمطرن ع ي حج‬ ‫ج ء أمرن جع ع لي س ف‬ ‫ف‬


‫بك ۖ م هي من ل ل ين ب عي‬ ‫مسومة ع‬

1
Homoseksual

24
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lûth itu yang di atas ke bawah
(Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan
bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang
yang zalim.”

Selain Al Qur’an,berikut adalah hadist yang juga menunjukkan bahwa pernikahan sesama
jenis ini merupakan sesuatu yang terlarang dan haram.

1. Tidaklah Allah SWT menurunkan azabnya kecuali kepada orang-orang yang zhalim
(melakukan hal yang diharamkan Allah). Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda :

‫أ م ت ي ع ل قو لو‬ ‫أخوف م أخ ف ع‬ : ‫ه ع يه س م‬ ‫سو ه ص‬ ‫ ق‬: ‫عن ج بر بن ع ه ق‬

Dari Jabir bin Abdullâh Radhiyallahu anhu , ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah
perbuatan kaum Lûth” (HR Ibnu Mâjah, 2563; Tirmidzi, 1457. Tirmidzi berkata, “Hadits
ini hasan gharîb.” Hâkim berkata, “Hadits shahîhul isnâd.” al-Mustadrak, 8057).

2. Pendapat ulama tentang keharaman pernikahan sejenis juga didasarkan kepada hadits dari
Abu Musa al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ِ ‫إِذَا أَتَى الهُِل الهُِل فَُما َزانِي‬


‫ان‬َ َُ َ ُ ُ ُ
“Jika seorang laki-laki menyetubuhi seorang laki-laki lainnya maka keduanya adalah orang
yang berzina.” (HR. Al-Baihaqi dan At-Thabarani. Sanadnya dinyatakan sangat lemah oleh
Abu Hatim, Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan lain-lain).
D. Diskusi
Ulama sepakat bahwa pernikahan sejenis dihukumi haram dan tidak ada perbedaan
pendapat didalamnya. Namun demikian, ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan bentuk
hukuman yang dikenakan kepada pelakunya karena perbedaan dalam menginterpretasi dalil-
dalil yang bersumber dari all Qur’an, hadits dan atsar (fakta sejarah sahabat). Perbedaan
tersebut berkaitan dengan dua hal yaitu perbedaan sahabat dalam menentukan jenis hukuman.
dan perbedaan ulama dalam mengkategorikan perbuatan tersebut, apakah dikategorikan zina
atau bukan. Berikut pendapat ulama mengenai perbedaan tersebut:

25
1. Imam Abu Hanifah
Menurut Imam Abu Hanifah, praktek homoseksual tidak dikategorikan zina dengan
alasan:
 tidak ada unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya yaitu unsur menyia-nyiakan anak dan
ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktek homoseksual,
 berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para sahabat.
Sehingga Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual adalah
ta’zir (diserahkan kepada penguasa atau pemerintah).2
Menurut Muhammad ibnu al-Hasan asy-Syaibani dan Abu Yusuf (keduanya murid Abu
Hanifah): “Praktek homoseksual dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur
kesamaan antara keduanya, seperti: tersalurkannya syahwat pelaku, tercapainya kenikmatan
(karena penis dimasukkan ke lubang dubur), tidak diperbolehkan dalam Islam, menumpahkan
(menyia-nyiakan) air mani”. Sehingga Muhammad Ibnu al-Hasan dan Abu Yusuf berpendapat
bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual sama seperti hukuman yang dikenakan kepada
pezina, yaitu kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam (dilempari
dengan batu sampai mati), dan kalau ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk dan
diasingkan selama satu tahun.3
2. Imam Malik
Praktek homoseksual dikategorikan zina, dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya
adalah dirajam (bila ia baligh, berakal, dan tidak dipaksa), baik pelakunya muhshan (sudah
menikah) atau ghairi muhshan (perjaka).4
3. Imam Syafi’i
Praktek homoseksual tidak dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan; bahwa keduanya
sama-sama merupakan hubungan seksual terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya
ialah jika pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam, jika ghairi muhshan
(bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Pendapat ini
sama dengan pendapat Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, an-Nakha’i, al-Hasan dan
Qatadah.5

2
Al-Hidâyah Syarhul Bidâyah, 7/194-196; Fathul-Qadîr, 11/445-449, dan al-Mabsûth, 9/134-
135 dalam Elbagani (2015)
3
Dalam al-Hidâyah Syarhul-Bidâyah, 7/194-196; Fathul Qadîr, 11/444-449 dan al-Mabsûth,
9/132-133 dalam Elbagani (2015)
4
Minahul Jalîl, 19/455 dalam Elbagani (2015)
5
Al-Majmû’, 20/22-24 dan al-Hâwi al-Kabîr, 13/474-477 dalam Elbagani (2015)
26
4. Menurut Imam Hambali
Praktek homoseksual dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan
kepada pelakunya beliau mempunyai dua pendapat yaitu:
 dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum
rajam, dan alau pelakunya ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan
diasingkan selama satu tahun. Pendapat inilah yang paling kuat.
 dibunuh dengan dirajam, baik pelakunya muhshan maupun ghairi muhshan”.6

E. Kesimpulan
Pernikahan sejenis merupakan suatu bentuk penyimpangan yang tidak sesuai dengan
definisi dari pernikahan sendiri dan penyimpangan atas syariat Islam. Tidak ada perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang hokum dari pernikahan sejenis. Ulama telah sepakat
hukum atas pernikahan sejeni adalah haram baik berdasarkan Al Qur’an, Hadist dan Ijma
ulama. Perbedaan pendapat ulama terletak pada apakah hubungan sejenis ini kemudian
disamakan dengan zina atau tidak serta hukuman yang tepat bagi pelakunya.

6
Al-Furû’10/53-57, al-Mughni, 10/155-157, dan al-Inshâf, 10/134-136 dalam ELbagani
(2015)
27
DAFTAR PUSTAKA

Furi, Syaikh Shafiyyur al-Mubarak. 2006. Tafsir Ibnu Katsir. Pustaka Ibnu Katsir: Bogor.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam wa Adillatuhu. Gema Insani: Jakarta.

Tihami, Sohari Sahrani. 2010. Fikih Munakahat. Rajawali Pers: Jakarta.

Kholid Al-Juraisy. 2010. Keajaiban Poligami. Qiblat Press: Solo.

Pernikahan Sejenis dalam Pandangan Fiqh. (http://darusyahadah.com/pernikahan-sejenis-


dalam-pandangan-fiqih/)
Elbagani, Ruslan Zuardi Mora. 2015. Perkawinan Sejenis dalam Tinjauan Islam.
(https://almanhaj.or.id/4261-perkawinan-sejenis-dalam-tinjauan-islam.html 2015).

Ali Ibnu. 2010. Hukum Islam tentang Poligami dan Dalil-dailnya.


(http://mursyidali.blogspot.co.id/2010/04/hukum-islam-tentang-poligami-dan-dalil.html)

Priyanto, Wiwit Hadi. 2010. 4 Syarat Poligami. (https://almanhaj.or.id/774-dalil-dalil-


poligami-dalam-islam.html)

Ma’ruf, Farid. 2007. Dalil Haramnya Poliandri.


(https://konsultasi.wordpress.com/2007/02/13/dalil-haramnya-poliandri/)

https://www.eramuslim.com/nikah/masih-haramkah-poliandri-setelah-ditemukannya-test-
dna.htm#.WPdm9TU_YTI

28

Anda mungkin juga menyukai