Anda di halaman 1dari 15

POLIGAMI

DISUSUN OLEH:
FAUZIAH ANDRIANA (220202005)

DOSEN PENGAMPU:
RADHIYATUL FITRI M,Ag

FAKULTAS MIPA DAN KESEHATAN


PROGRAM STUDI : BIOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
TAHUN 2022
ABSTRAK

Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini
beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Selain poligami, dikenal
juga poliandri yaitu seorang istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang
bersamaan. Tetapi pembolehan itu diberikan sebagai suatu pengecualian. Pembolehan
diberikan dengan batasan-batasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang
mendesak. Sehingga tidak terjadi salah pengertian terhadap arti poligami itu sendiri.
hingga kini dengan berbagai pembenaran dan legitimasi kultural, sosial, ekonomi, dan
agama. Poligami telah menjadi bagian gaya hidup laki-laki dan karenanya di
lingkungan tertentu praktek ini telah membudaya. Bila melihat variabel-variabel
poligami dalam al-Qur’an, maka ada tiga poin penting yang dapat ditarik, yaitu
pertama, memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk berpoligami. Kedua
peringatan atau warning kepada suami untuk harus berlaku adil. Ketiga, adanya
ketidakmampuan laki-laku untuk dapat berperilaku adil di antara istri-istrinya
sekalipun berusaha keras unutk itu. Ini artinya bila dilakukan komparasi atas berbagai
ayat, kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat
lainnya justru (seakan-akan) ingin menafikkan terwujudnya syarat adil. Ayat yang
membolehkan pun pada konteksnya berbicara tentang perlindungan terhadap yatim
piatu dan janda korban perang.

Kata kunci : Poligami, syarat - syarat, Adil, Hukum, Tuntunan


PENDAHULUAN

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak
dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai
macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan sangat
bersinggungan dengan ketidakadilan gender. Mereka berpendapat meskipun ada
indikasi kebolehan poligami, namun itu bertujuan menghindari perilaku tidak adil
dalam mengelolah harta anak yatim, itupun disertai persyaratan harus mampu berbuat
adil terhadap isteri-isteri yang dinikahi. Sementara berbuat adil bukanlah hal mudah
dan bahkan menurut mereka mustahil manusia mampu melakukannya. 1 Bagi
penentang Islam sendiri ada kecenderungan mengklaim poligami adalah bukti ajaran
Islam dalam bidang perkawinan yang sangat diskriminatif terhadap wanita. Mereka
menganggap poligamilah salah satu penyebab kemunduran dan keterbelakangan
dunia Islam.

Dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menganut kebolehan poligami bagi suami, walaupun terbatas hanya empat orang istri.
Ketentuan itu termaktub dalam pasal 3 dan 4 Undang-Undang Perkawinan dan Bab
XI pasal 55 s/d 59 KHI. Dalam KHI antara lain disebutkan bahwa syarat utama
beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya (pasal 55 ayat 2). Selain syarat utama tersebut, ada lagi syarat lain yang
harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu
adanya persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
kehidupan istri-istri dan anak-anak mereka. Perkawinan poligami adalah suatu
perkawinan yang dilakukan oleh seseorang (suami) karena adanya sebab/alasan
tertentu yang menyebabkan perkawinan itu terjadi.

Dengan merujuk ayat di atas tampak dengan jelas bahwa semua alasan yang
dikemukakan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah untuk membolehkan
suami berpoligami hanya dilihat dari kepentingan suami sama sekali tidak
mempertimbangkan perspektif kepentingan istri. Ketidak pahaman sebagian orang
untuk berpoligami akan makna dan substansi aturan-aturan tersebut, kadang kala
menjadikan orang yang berpoligami mengambil jalan pintas dengan menikah secara
sirri atau tidak dicatatkan sebagimana yang diatur dalam undang-undang . praktek
kawan sirri ini bisa berakibat pada tidak terjaminnya hak-hak yang timbul dari suatu
perkawinan tersebut di depan hukum.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Poligami

Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu
gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos
yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak
(Nasution, 1996: 84). Secara terminologis (ishthilahi) poligami adalah sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya
dalam waktu yang bersamaan (KBBI, 2001: 885). Jika yang memiliki pasangan lebih
dari satu itu seorang suami maka perkawinannya disebut poligini, sedang jika yang
memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang isteri maka perkawinannya disebut
poliandri. Namun dalam bahasa sehari-hari istilah poligami lebih populer untuk
menunjuk perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri. Lawan dari
poligami adalah monogami, yakni sistem perkawinan yang hanya membolehkan
seorang suami memiliki seorang isteri dalam satu waktu. Dalam Islam, poligami
didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan isteri lebih dari seorang
dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam waktu yang bersamaan. Batasan
ini didasarkan pada QS. al-Nisa‟ (4): 3

yang berbunyi:

”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.

Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
B. Dasar Hukum Poligami

Dapat kita jumpai dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur secara jelas
bahwa: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dan juga terdapat didalam al – qur’an surah An-QS. An-Nisa' Ayat 3

َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬


ِ ‫ث َو ُر ٰب َع ۚ فَا ِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تَ ْع ِدلُوْ ا فَ َو‬
ْ‫اح َدةً اَو‬ َ َ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا َما ط‬
‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذلِكَ اَ ْد ٰنٓى اَاَّل تَعُوْ لُوْ ۗا‬ ْ ‫َما َملَ َك‬

Artinya :

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan
yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

Maksudnya  berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti
pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Dan Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi
Muhammad SAW. Ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

QS. An-Nisa' Ayat 129

‫َولَ ْن تَ ْستَ ِط ْيع ُْٓوا اَ ْن تَ ْع ِدلُوْ ا بَ ْينَ النِّ َس ۤا ِء َولَوْ َح َرصْ تُ ْم فَاَل تَ ِم ْيلُوْ ا ُك َّل ْال َمي ِْل فَتَ َذرُوْ هَا َك ْال ُم َعلَّقَ ِة َۗواِ ْن تُصْ لِحُوْ ا َوتَتَّقُوْ ا فَا ِ َّن‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫َ َكانَ َغفُوْ رًا ر‬
‫َّح ْي ًما‬

Artinya :
Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu
sangat ingin terbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Sejak masa Rasulullah SAW, sahabat Tabi’in, periode Ijtihatdan setelahnya sebagian
besar kaum muslimin memahami dua syarat Akhkam itu sebagai berikut :

1. Perintah Allah SWT, “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu


senangi”, dipahami sebagai perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib.
Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami (istri satu) atau
berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan pendapat mayoritas
pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.

2. Larangan mempersunting istri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan,
sebagaimana dalam firman Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi; dua, tiga atau empat”. Menurut alqurtuki, pendapat yang
memperkenankan poligami lebih dari empat dengan pijakan nash di atas,
adalah pendapat yang muncul karena yang bersangkutan tidak memahami
gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa arab

3. Poligami harus berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman Allah,


“kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki.“ (Qs. An-nisa`: 3) seseorang tidak
dibolehkan menikahi lebih dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin
akan mampu untuk berpoligami. Walaupun dia menikah maka akad tetap sah,
tetapi dia berdosa terhadap tindakannya itu.

4. Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri adalah suatu hal
yang mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas kemampuan manusia.
Namun, suami semestinya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain
karena kecintaannya terhadap istrinya.

5. Sebagian ulama penganut madzhab syafi`I mensyaratkan mampu member


nafkah bagi orang sayang akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan
pemahaman imam syafi`I terhadap teks al`qur`an, “yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar tidak
memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab “akhkam al-qur`an”, imam
baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat
yang lain. Dalam pemahaman madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan
kemampuan memmberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat
diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia
tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan hukum.

Hadis
Ahmad al-Wahidi an-Naisaburi (w. 468 H/1076 M) dalam bukunya Asbab al-Nuzul
menceritakan bahwa pada waktu itu ada seorang laki-laki yang punya anak yatim itu
punya beberapa harta, maka kata Nabi saw “Jangan ia nikahi karena mengharapkan
hartanya, lalu ia disakiti dan disia-siakan kesehatannya. Karena itu, jika takut tidak
berlaku adil terhadap anak yatim itu, kawinilah wanita lain dan diperbolehkan ia
membatalkan niat untuk kawin dengan anak yatim itu” (HR. Muslim dari Abi
Kuraibah dari Abi Usama dari Hisyam).13
Dalam hadis lain yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw
melarang laki-laki untuk melamar wanita yang sudah dilamar oleh sudaranya, atau
membeli apa yang sudah dibeli saudaranya. Janganlah seorang wannita meminta
untuk menceritakan saudara wanitanya (madunya) supaya cukup baginya apa yang
ada di dalam bejana dan piringnya. Sesungguhnya rezekinya ada di dalam
tanggungan Allah swt,. (Muttafaq ‘alaih). Dalam hadis lain, Rasulullah saw.,
bersabda: “Tidak diperbolehkan menikahi seorang wanita dengan menceraikan yang
lainnya”. (HR.Ahmad).
Dari hadis Abu Hurairah di atas di dapatkan adanya larangan seorang wanita untuk
memberi syarat supaya menceritakan saudarinya. Sementara hadis selanjutnya juga
ada larangan yang menunjukkan kerusakan yang diakibatkannya. Karena dia
memberi syarat untuk menceraikan saudarinya maka batallah pernikahannya, batal
hak-haknya dan juga hak-hak isterinya. Sebagaimana ketika dia mensyaratkan untuk
menceraikannya, maka batallah jual belinya.

C. Alasan Poligami

Dalam Islam, poligami merupakan cara agar lelaki tidak terjerumus


ke dalam perbuatan menyimpang, seperti berzina dan juga cara untuk menjaga
kehormatan perempuan dan lelaki. Poligami juga dapat menjadi cara untuk
memperbanyak keturunan atau solusi bagi pasangan suami dan istri yang sebelumnya
sulit memiliki anak.

Seorang suami yang beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin
(Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin
poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan (UUP) dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai
berikut:

a.Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b.Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c.Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat


dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan,
yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah,
mawaddah, dan rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga
alasan yang disebutkan di atas menimpa suami-istri maka dapat dianggap rumah
tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan
rahmah).

D. Syarat - syarat Poligami

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan


terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agam

Syarat Poligami Menurut Hukum Islam

Syarat poligami di KUA atau syarat poligami bagi yang beragama Islam, secara garis
besar, hukum poligami menurut hukum Islam memang tidak jauh berbeda dengan UU
Perkawinan. Namun, dalam KHI terdapat syarat poligami lainnya yang harus
diperhatikan, yaitu:

Suami hanya boleh beristri terbatas sampai 4 istri pada waktu bersamaan. Suami
harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya. Jika tidak
mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang. Suami harus
memperoleh persetujuan istri dan adanya kepastian suami mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Persetujuan ini dapat diberikan
secara tertulis atau lisan. Harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Jika nekat
dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum. Jika istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
diajukan atas dasar alasan yang sah menurut hukum, Pengadilan Agama dapat
menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama. Atas penetapan ini, istri/suami dapat
mengajukan banding atau kasasi. Alasan yang sah yang dimaksud adalah jika istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan,

Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya jika istri pertama tidak


menyetujui suami untuk menikah lagi, maka suami tidak dapat melakukan poligami,
mengingat persetujuan istri merupakan syarat yang wajib dipenuhi jika suami hendak
beristri lebih dari 1 orang. Namun, dalam hal permohonan izin poligami diajukan ke
Pengadilan Agama berdasarkan alasan yang sah menurut hukum, Pengadilan Agama
dapat memberi izin setelah memeriksa dan mendengar keterangan dari istri yang
bersangkutan.
E. Tuntunan Poligami

1. Keadilan dalam Berpoligami

Salah satu hal yang sering dipertanyakan orang adalah mengapa laki-laki
cenderung untuk berpoligami. Tidak sedikit pula yang menjawab bahwa
mereka berpoligam dengan alasan menjalankan kewajibannya untuk
berlaku adil. Itulah sebabnya, mengapa para isteri membenci poligami
karena banyak didapatkan suami yang menikah dengan wanita lain akan
berpaling pada isteri barunya dengan lebih mencintai dan menyayanginya
dari isteri lamanya. Demikian halnya bagi suami untuk tidak boleh lebih
cenderung cinta secara mencolok kepada salah seorang isteri karena dapat
menimbulkan kecemburuan sakit hati sehingga dapat menimbulkan
permusuhan antara isteri-isteri.Oleh sebab itu, tinjuan al-Qur’an tentang
poligami tidak hanya ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya. Tetapi
harus juga dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka
kondisi yang mungkin terjadi. Sehingga wajarlah suatu perundang-
undangan apalagi agama yang bersifat universal dapat berlaku untuk
setiap waktu dan tempat dalam rangka mempersiapkan ketentuan hukum
yang boleh jadi terjadi pada suatu ketika.

2. Jumlah Batasan Berpoligami

Poligami adalah sistem yang telah lahir di Arab sebelum Islam datang.
Praktek ini dilakukan semata-mata untuk kebutuhan biologis dan beberapa
aspek masyarakat. Islam yang datang kemudian tidak serta melarang
umatnya untuk berpoligami dan tidak pula menganjurkan secara mutlak
tanpa ada batasan. Islam membatasi dengan ikatan keimanan yang
terkandung dalam al- Qur’an dengan cara membatasi hanya dengan empat
orang wanita saja.
Membatasi laki-laki untuk menikah dengan empat wanita merupakan
usaha yang paling dekat untuk dapat beraku adil daripada memiliki lebih
dari itu. Sebab kasih sayang seorang suami tidak akan bisa berbuat adil
meskipun mereka sudah berusaha sekuatnya.

3. Pembagian Nafkah (bathin) antara Isteri Muda dan Isteri Tua

Terhadap Isteri yang baru dinikahi (yang masih gadis) diberikan waktu
luang untuk berkenalan lebih intim dengan suaminya karena baru pertama
kali menikah dan melakukan hubungan seksual. Sedangkan bagi wanita
yang sebelumnya pernah menikah (janda) dalam banyak hal sudah tidak
asing lagi dengannya dalam mengenali teman hidupnya yang baru.

4. Giliran Terhadap Para Isteri

Seorang suami yang memiliki tekad paling kuat dan paling luhur untuk
membagi waktu bergilirnya secara adil dan bijaksana terhadap Isteri-
Isterinya tentu akan mengalami dilema bagaimana memulai pembagian
waktu bergilrnya. Dalam banyak hal ia akan menemui beberapa persoalan
untuk dipertimbangkan manakah isteri pertama yang mendapat giliran.
Karena itu keputusan yang tepat bisa dianggap sebagai perlakuan yang
tidak memihak terhadap isteri-isteri yang lain. Karena itu sebenarnya tidak
ada metode yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah ini. Bila
melihat metode undian (quru’ah), sebagai metode yang sederhana, yang
pernah dicontohkan Rasulullah, maka pada prinsipnya tidak menetapkan
hak-hak terlebih dahulu kepada isteri. Jadi, jika seorang suami menikah
lagi, maka ia harus segera menata ulang kembali pembagian waktu
bergilirnya kepada para isterinya tersebut.
PENUTUP

Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama
mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Adapun alasan Poligami, pada dasarnya
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang beristri lebih dari
seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan
Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57.

Makna keadilan dalam poligami bukan seperti pada keadilan makna batin
(seperti cinta dan kasih sayang) melainkan keadilan pada hal-hal yang bersifat
material dan terukur. Pendapatnya didasarkan pada ayat 129 surat An-Nisa’ yang
menyatakan bahwa manusia tidak mungkin berlaku adil dalam bidang immateri.
Makna keadilan yang disyaratkan dalam poligami sebagaimana disebutkan dalam
ayat 3 surat An-Nisa’ menurut M. Quraish Shihab terkait dengan ayat sebelumnya
yaitu ayat 2. Menurutnya, adil poligami terkait dengan perlakuan adil terhadap
anak yatim, hal ini disimpulkan melalui penelusuran sejarah poligami dan
asbabunnuzul surat An-Nisa’ ayat 3 yang menjadi dalil poligami

Adapun syarat-syarat poligami, termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang. Prosedur Poligami. Adapun prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud
untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis
kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi
Hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

https://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98597750278460766

https://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/162/137

https://journal.uny.ac.id/index.php/civics/article/view/4376

https://www.google.com/search?
q=Hukum+Poligami+dan+Prosedurnya+yang+Sah+di+Indonesia+-
+Klinik+Hukumonline&oq=Hukum+Poligami+dan+Prosedurnya+yang+Sah+di+Ind
onesia+-+Klinik+Hukumonline&aqs=chrome..69i57.678j0j4&client=ms-android-
samsung-gj-rev1&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8

https://www.google.com/search?q=Al-Qur%27an+Surat+An-Nisa+Ayat+ke-3+-
+Merdeka.com+merdeka.com&oq=Al-Qur%27an+Surat+An-Nisa+Ayat+ke-3+-
+Merdeka.com+merdeka.com&aqs=chrome..69i57j69i60l2.720j0j9&client=ms-
android-samsung-gj-rev1&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://staff.uny.ac.id/
sites/default/files/penelitian/dr-marzuki-mag/60-memahami-ketentuan-poligami-
dalam-hukum-islam.pdf&ved=2ahUKEwjxoJ-
V1Pv6AhUTSmwGHeVhD5YQFnoECBEQBg&usg=AOvVaw0VwYjXF2QQ9Qw1
JSNWkw4y

Anda mungkin juga menyukai