Anda di halaman 1dari 16

ARTIKEL

POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Guna Memenuhi Tugas UAS


Mata Kuliah: Hukum Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Lina Kushidayati, SHI, MA.

Oleh:
Nur Darina (1720110011)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
HUKUM KELUARGA ISLAM/ A5
TAHUN 2019
POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Nur darina
Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Kudus
Nurdarina712@gmail.com

Abstrak

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum berpoligami dalam hukum
islam maupun hukum positif di Indonesia serta mengetahui bagaimana pembagian harta
bersama dalam perkawinan poligami. Pengadilan Agama merupakan lembaga peradilan
dibawah Mahkamah Agung yang sangat penting dalam menangani permasalahan mengenai
sengketa yang berhubungan dengan agama Islam. Mulai dari perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, sampai ekonomi syariah menjadi tugas dan
wewenang dari Pengadilan Agama yang sesuai dengan Pasal 49 dan 50 UU No.7 Tahun
1989 tentang Pengadilan Agama yang telah diamandemen dengan UU No.3 Tahun 2006.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, apabila seorang suami
ingin beristri lebih dari seorang maka wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya (yaitu Pengadilan Agama). Diatur pula dalam pasal-pasal
berikutnya dalam pengajuan poligami harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan
menurut UU Perkawinan. Pengaturan tentang poligami di hukum positif seakan
mempersulit suami untuk poligami, sedangkan hukum islam sendiri tidak terlalu
mempersulit seorang suami untuk poligami. Oleh karena itu kedua hukum ini harus saling
sinkron agar tidak menimbulkan suatu permasalahan dalam perkawinan khususnya
poligami.

A. Pendahuluan
Poligami ada jauh sebelum Islam lahir telah menjadi tradisi dan diperaktekkan
oleh masyarakat jahiliyah. Sistem poligami pada masa pra Islam tidak dibatasi dengan
jumlah tertentu.  Poligami yang terjadi pada masa pra Islam nampak tidak menghargai
perempuan dan cenderung hanya untuk memuaskan keinginan kaum laki-laki saja. Tidak
ada larangan bagi para suami untuk memiliki beberapa orang istri bahkan mencapai
ratusan. 
Islam lahir dalam keadaan poligami sudah mentradisi di kalangan bangsa-
bangsa di permukaan bumi ini, tetapi tidak ada peraturan yang mengatur serta tidak ada
batasannya.  Islam sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamin berupaya untuk memberikan
perbaikan atas budaya dan tradisi yang tidak baik. Islam memberikan batasan dan syarat-
syarat yang cukup ketat dalam berpoligami, yaitu hanya dibatasi empat orang istri saja
serta suami harus bisa berlaku adil diantara empat orang istrinya.
Poligami merupakan perbuatan hukum dan tidak dilarang oleh ketentuan
agama,namun hanya diatur sedemikian rupa agar benar-benar dilakukan sesuai dengan
dan untuk tujuan yang dibenarkan oleh hukum. Oleh karena itu, agar poligami benar-
benar dilakukan sesuai dengan tujuan perkawinan, maka perlu diatur dalam suatu
perundang-undangan sebagai ketentuan pelaksana dari syariat perkawinan. Mengenai hal
tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dalam makalah ini.

A. Pengertian Monogami dan Poligami


Poligami merupakan antonim dari kata monogami. Secara etimologi, poligami
berasal dari bahasa Yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos
yang berarti kawin atau pernikahan. Sedangkan monogami berasal dari bahasa yunani
yaitu monos yang berarti satu atau sendiri, dan gamos yang berarti pernikahan.
Monogami adalah kondisi hanya memiliki satu pasangan pada pernikahan. Menurut
KBBI, monogami adalah sistem yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki
mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.
Dalam KBBI, poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.1
Dalam pengertian umum, dapat dikatakan poligami adalah ikatan perkawinan dimana
sang suami mempunyai istri lebih dari satu.

1
Tri Rama K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Karya Agung), 390.
B. Poligami dalam Pandangan Hukum Islam
Tujuan utama perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan suatu
keluarga yang sejahtera, suami dan istri-istrinya serta anak-anaknya hidup rukun dan
damai, berkasih sayang dan sejahtera sebagaimana yang dimaksudkan dalam Al-Qur'an
Surat al-Rum ayat 21.
Apabila diamati secara seksama, asas perkawinan dalam hukum Islam adalah
monogami, dapat dilihat dari Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 3:
‫ث َو ُربَا َع ۖ فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدلُوا‬
َ ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء َم ْثن َٰى َوثُاَل‬
َ ‫ط‬َ ‫َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسطُوا فِي ْاليَتَا َم ٰى فَا ْن ِكحُوا َما‬
َ ِ‫ت َأ ْي َمانُ ُك ْم ۚ ٰ َذل‬
)٣(‫ك َأ ْدن َٰى َأاَّل تَعُولُوا‬ ْ ‫اح َدةً َأوْ َما َملَ َك‬
ِ ‫فَ َو‬
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.” (Q.S An-Nisa' Ayat 3)
Dari ayat di atas dijelaskan bahwa pada dasarnya asas perkawinan dalam Islam adalah
monogami. Hal itu dapat dilihat pada kata “Maka (kawinilah) seorang saja”. Namun
dari kata tersebut tampak bahwa monogami adalah sebuah anjuran. Dalam hal ini, Allah
tidak melarang poligami, namun ditetapkan syarat bagi orang yang ingin berpoligami
yang telah dijelaskan dalam Surat An-Nisa’ ayat 3 yaitu:
1. Bertujuan untuk mengurus anak yatim
2. Pembatasan jumlah istri
3. Akan sanggup adil kepada istri-istrinya.2
Menurut Rasyid Ridha maksud dari ayat tersebut adalah untuk memberantas
tradisi pada zaman jahiliyyah yang tidak manusiawi yaitu wali anak wanita yatim
mengawini anak yatimnya tanpa memberi mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud
untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah. Serta ia menghalangi anak

2
Nur Hayati, Poligami dalam Perspektif Hukum Islam dalam Kaitannya dengan Undang-
undang Perkawinan, Jurnal Hukum, 2005, Vol. 3, No. 1, 40.
yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan hartanya.
Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang mengawini istri banyak dengan perlakuan
yang tidak adil, yang dilarang oleh umat Islam menurut ayat ini.
Menurut Kutbuddin Aibak, ada kelompok yang diwakili oleh ulama
kontemporer, diantaranya Muhammad Abduh. Menurut Muhammad Abduh, poligami
hukumnya tidak boleh. Pada dasarnya kelompok ini berpendapat bahwa hukum poligami
itu boleh asal suami dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. Permasalahnnya adalah
pada zaman sekarang jarang suami yang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tidak
sedikit suami yang berpoligami malah cenderung pada istri kedua lantas mengabaikan
istri pertama. Bahkan poligami tersebut hanya bertujuan memuaskan hawa nafsu tanpa
ada pertanggung jawaban yang penuh sebagai seorang suami. 3
Secara sosiologis, poligami dalam Islam merupakan lompatan kebijakan
sekaligus sebagai koreksi Islam atas syariat sebelumnya dan tradisi masyarakat Arab
yang membolehkan menikah dengan perempuan tanpa batas. Faktor historis,
membuktikan bahwa pada masa Rasulullah SAW. mengenai pembatasan poligami
maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan, didasarkan kepada hadits Ghailan
Ibn Salamah, riwayat dari Abdullah Ibn ‘Umar yang artinya:
“Sesungguhnya Ghailan ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh
istri. Mereka bersama-sama dia masuk Islam. Maka nabi SAW. memerintahkan
kepadanya agar memilih empat orang saja di antara mereka (dan) menceraikan
yang lainnya.” (Riwayat Ahmad, al-Tirmidzi, dan dishahihkan IbnHiban).
Begitu pula Abu Dawud meriwayatkan dari Haris bin Qais:
Haris bin Qais berkata: “Aku memeluk Islam sedang aku memiliki delapan orang
istri. Aku mengadukan hal iti kepada Nabi SAW. Lalu beliau bersabda: "pilihlah
empat istri saja dari mereka”.
Riwayat ini membuktikan bahwa poligami merupakan respon sosiologis dan
antropologis Al-Qur’an terhadap budaya masyarakat Arab.4

3
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), 72-74.
4
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, 75.
Menurut Kutbuddin Aibak, Islam memandang poligami lebih banyak membawa
resiko/ madharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human
nature) mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut
akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang
poligamis. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan
keluarga. Poligami dalam pandangan Islam merupakan pintu darurat yang hanya
sewaktu-waktu saja dapat dipergunakan, misalnya apabila istri mandul. Dalam hal ini
poligami dalam Islam dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, seperti dalam kitab Al-
Fiqih Ala Al-Islam wa Adillatuhu, dijelaskan bahwa syariat memperkenankan suami
berpoligami bila memenuhi dua ketentuan:
1. Bisa memberikan rasa adil di antara istri-istrinya.
Dalam artian kemampuan berbuat adil dalam hal-hal yang bersifat kebendaan
seperti memberi nafkah, dapat bergaul dengan mereka secara baik serta menggiliri
mereka dengan sama rata, Allah SWT berfirman :
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’ ayat :3)
Dalam ayat ini diterangkan, Allah memerintahkan untuk mencukupi satu istri
saja bila seseorang khawatir tidak mampu berbuat adil diantara para istrinya.Dan
bukan yang dimaksud adil disini adalah sama dalam hal membagi perasan, kasih
sayang, cinta dan kecenderungan hati, karena yang demikian tentunya tidak akan
mampu dilakukan oleh seorangpun sedang syariat tidak akan menerapkan hukum
diluar batas yang dimampui oleh seseorang maka ia tidak dituntut untuk menjalani
hal-hal yang diluar fitrah kemampuan untuk tunduk pada keinginan seperti cinta dan
benci hanya saja kekhawatiran terbelenggu oleh cinta (pada seorang diantara istri-istri
lainnya) dapat menjadi kenyataan sehingga menjadikan istri bagai tergantung, tiada
terpenuhi hak-haknya dan ia juga tiada tertalak dari cengkeraman kuasa suami. Allah
berfirman:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung.” (Q.S. An-Nisa’ ayat: 129)
Ayat ini sebagai penegasan tentang ketentuan legalnya berpoligami agar tidak
menjadikan mendzalimi kaum wanita sehingga membuat nasibnya terkatung-katung
dan orang berakal adalah mereka yang mampu menguasai hal sebelum tertimpa
masalah karenanya.
2. Mampu memberikan nafkah pada istri-istrinya.
Syariat tidak menghalalkan seseorang memasuki ranah pernikahan baik
menikah hanya seorang istri atau lebih kecuali ia berkemampuan memenuhi biaya
dan tuntutan-tuntutan dalam sebuah rumah tangga, mampu memenuhi hak-hak yang
semestinya didapatkan seorang istri atas suaminya berdasarkan sabda Nabi :
“Wahai kawula muda, barangsiapa yang mampu dari kalian atas biaya maka
menikahlah” yang dimaksud biaya adalah biaya yang dibutuhkan dalam
pernikahan dan rumah tangga”.5

C. Poligami Dalam Tinjauan Hukum Positif


Pada prinsipnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) UUP No.1 Tahun 1947 yang
berbunyi “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istrinya, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”, dapat
disimpulkan bahwa UUP menganut asas monogami. (Lihat juga pasal 27 KUH Perdata).
UUP menganut asas monogami, tetapi dalam hal tertentu seorang pria
diperbolehkan untuk memiliki lebih dari seorang atau berpoligami sebagaimana diatur
dalam pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa “pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan”.6
1. Alasan poligami

5
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani Press,2016 ), 160.
6
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), 32.
A
‌ dapun dalam pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa “dalam hal seorang suami
akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Adapun alasan-alasan yang dipedomani
oleh pengadilan untuk dapat memberi izin poligami, dasar pemberian izin poligami
oleh Pengadilan Agama diatur dalam pasal 4 ayat (2) UUP, dan juga dalam pasal 57
KHI (jo.Ps. 41a PP), bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.7
2. Syarat-syarat poligami
Selain alasan-alasan tersebut, Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
berpoligami yang di atur dalam pasal 5 UUP dijelaskan:
1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri / istri-istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak meraka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka.
2) Persetujuan yang dimaksud pada pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri/ istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.8
3. Prosedur poligami

7
Amran suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam
serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenada Media,2016), 67.
8
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015),
140-141.
Selanjutnya prosedur poligami diatur dalam pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975
yang menyatakan bahwa “Apabila suami bermaksud untuk beristri lebih dari
seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.
Hal tersebut juga disebutkan dalam Pasal 56 KHI bahwa:
1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab Vlll Peraturan Pemerintahan No. 9 Tahun 1975
3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau, keempat tanpa izin
dari pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.9
Permohonan pengajuan poligami oleh suami dapat diajukan sendiri maupun
melalui kuasanya. Selanjutnya pengadilan akan memanggil pihak-pihak dalam
permohonan ini dan setelah diperiksa oleh hakim pengadilan maka akan
menghasilkan putusan yang bersifat penetapan. Setelah adanya penetapan, apabila
tidak puas terhadap putusan pengadilan maka suami ataupun istri berhak upaya
hukum banding dan seterusnya kasasi.
Terhadap permohonan poligami, maka hakim wajib mempertimbangkan
sebagaimana pasal 57 KHI yang menyatakan bahwa pengadilan agama hanya
memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.10
Pengadilan agama setelah menerima permohonan poligami, kemudian
memeriksa sebagaimana diatur dalam Pasal 41 PP No.9 Tahun 1975 sebagai berikut:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, yaitu
seperti yang disebutkan dalam Pasal 57 KHI diatas

9
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 142.
10
Supriyadi, Dasar-dasar Hukum Perdata di Indonesia, (Kudus: Kiara Science, 2015), 63.
b. Ada atau tidaknya perjanjian dari istri , baik perjanjian lisan maupun tertulis,
apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus diucapkan
didepan sidang pengadilan.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-isstri
dan anak-anak, dan memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan sang suami yang ditanda tangani oleh
bendahar tempat bekerja.
ii. Surat keterangan pajak penghasilan
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam
bentuk yang ditetapkan untuk itu.
(Lihat juga pasal 5 ayat (1) UUP jo. Pasal 58 ayat (1) KHI)
Pasal 58 ayat (2) menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan pasal
41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri -istri dapat diberikan
secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan
Agama.
Mengenai teknis pemeriksaan, Pasal 42 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur:
1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41,
pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-
lampirannya.
Apabila karena sesuatu dan lain hal si istri atau istri-istri tidak mungkin diminta
persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, maka dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (2) UUP menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri atau istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya,
dan tidak dapat menjadi pihakdalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istri-istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. (Lihat juga pasal
58 Ayat (3) KHI).
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan keputusannya yang berupa
izin untuk beristri lebih dari seorang (Ps. 43 PP No. 9 Tahun 1975).11
Adapun ketentuan-ketentuan yuridis formil yang menjadi dasar hukum
pemberian izin poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, juncto Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum islam
memberikan landasan hukum pemberian izin poligami melalui Pasal 56 ayat (3) yang
menyatakan bahwa “perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum
tetap”.12
Pada hakikatnya permohonan izin poligami akan ditentukan oleh penilaian
hakim dan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon. pada dasarnya
Pengadilan dapat memberi izin apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan
Agama dan terhadap penetapan ini, istri atau suami dapat melakukan upaya hukum.
Apabila putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka pemohon,
atas dasar penetapan tersebut dapat melangsungkan poligami, tetapi jika permohonan
di tolak oleh pengadilan maka pemohon tidak dapat melanjutkan poligami.13
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami mengikat
semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan PPN (pegawai pencatat
nikah). Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal yang

11
Supriyadi, Dasar-dasar Hukum Perdata di Indonesia, 64.
12
Reza Fitra Ardhian dkk, Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia Urgensi
Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama, Jurnal Hukum, 2015, Vol. 3, No. 2, 103.
13
Supriyadi, Dasar-dasar Hukum Perdata di Indonesia, 64.
mengatur poligami, dikenakan sanksi pidana. Masalah ini diatur dalam Bab IX Pasal
45 PP No.9 Tahun 1975:
1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka:
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3),
40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-
tingginya Rp.7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
b. Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6,7,8,9,10
ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum sengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
2) Tindak Pidana yang dimaksud dalam ayat 1 diatas merupakan pelanggaran.14

D. Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami


Masalah harta bersama dalam perkawinan poligami merupakan masalah yang
cukup pelik dan rumit, dan dapat berakibat pada kerugian bagi isteri terdahulu, apabila
tidak dilakukan pembukuan yang rapi dan akuntabel. Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam
mengatur sebagai berikut:
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari
seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih
dari seorang sebagaimana tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya
akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.
Mahkamah Agung RI dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI
Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 Tanggal 4 April 2006 telah memberlakukan Buku II
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, yang isinya antara
lain mengenai masalah harta bersama dalam perkawinan poligami. Dalam ketentuan
tersebut diatur hal-hal sebagai berikut:

14
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 144.
1. Pada saat melakukan permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah, suami wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama
dengan isteri sebelumnya bersamaan dengan permohonan izin poligami. Apabila
suami tidak mengajukannya, maka isteri terdahulu (yang belum dicerai) dapat
mengajukan gugatan rekonvensi penetapan harta bersama. Apabila isteri terdahulu
tidak mengajukan gugatan rekonvensi, maka permohonan izin poligami tersebut
harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet ont vanklijk verklaaard).
2. Harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dengan isteri pertama harus
dipisahkan dengan harta bersama perolehan . Harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan dengan isteri pertama harus dipisahkan dengan harta bersama perolehan
dengan isteri kedua dan seterusnya.
b. Apabila terjadi perceraian atau karena kematian, maka penghitungan harta bersama
adalah untuk isteri pertama ½ dari harta bersama dengan suami yang diperoleh
selama perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami dengan
isteri pertama dan kedua, ditambah ¼ dari harta bersama yang diperoleh suami
bersama isteri ketiga, isteri kedua dan isteri pertama, ditambah 1/5 dari harta bersama
yang diperoleh suami bersama isteri keempat, ketiga, kedua, dan isteri pertama.15

E. Penutup
Dari makalah dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya asas perkawinan baik
menurut hukum Islam (dalam Q.S An-Nisa' ayat 3) maupun hukum positif (dalam Pasal
3 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974) adalah monogami. Poligami semata-mata hanyalah
sebagai suatu alternatif darurat yang dalam pelaksanaannya pun membutuhkan
kebijaksanaan dan kemampuan suami untuk berbuat adil serta terlebih dahulu perlu
adanya persetujuan dari pihak terkait.
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu
yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Dalam hukum Islam yang
terdapat pada Q.S An-Nisa' ayat 3, poligami dimungkinkan, namun harus bersamaan

15
Jamaluddin dan Nanda amalia. Buku Ajar Hukum Perkawinan, (Sulawesi: Unimal Press,
2016), 131-132.
dengan syarat-syarat yang sebenarnya cukup berat untuk dijalankan kecuali oleh orang-
orang tertentu, syarat-syarat tersebut diantaranya:
1. Bertujuan mengurus anak yatim
2. Pembatasan jumlah istri
3. Akan sanggup adil kepada istri-istrinya.
sedangkan dalam hukum positif di Indonesia, pada dasarnya seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang istri (pasal 3 ayat (1) UUP). Seorang suami yang beristri lebih
dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) UUP). Dasar pemberian izin
poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan (UUP) dan juga dalam Pasal 57 KHI dan Pasal 41a PP.
Adapun syarat-syarat poligami tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang. Selanjutnya prosedur poligami yang diatur dalam Pasal 40
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami
bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58
Kompilasi Hukum Islam.
Mengenai teknis pemeriksaan dapat dilihat dalam pasal 42 PP No. 9 tahun
1975. Selanjutnya berdasarkan Pasal 43 PP apabila pengadilan berpendapat bahwa
cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan
memberikan keputusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.
Dengan demikian, jika seseorang yang beragama Islam ingin melakukan
poligami, hal tersebut dimungkinkan, asalkan memenuhi ketentuan hukum Islam dan
ketentuan Undang-undang Perkawinan. Dalam hal ini, ketentuan poligami berdasarkan
hukum Islam dan UUP, harus berjalan seiring tanpa saling mempertentangkan.
Harta bersama dalam perkawinan poligami diatur dalam pasal 94 Kompilasi
Hukum Islam dan diatur dalam Mahkamah Agung RI dengan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 Tanggal 4 April 2006 telah
memberlakukan Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan, yang isinya antara lain mengenai masalah harta bersama dalam perkawinan
poligami.
DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Kutbuddin. 2017. Kajian Fiqih Kontemporer. Yogyakarta: Kalimedia.


Ardhian, Reza Fitra dkk. 2015. Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Indonesia Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama. Jurnal
Hukum. Vol. 3. No. 2.
Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: CV. Mandar Maju.
Hayati, Nur. 2005. Poligami dalam Perspektif Hukum Islam dalam Kaitannya
dengan Undang-undang Perkawinan. Jurnal Hukum. Vol. 3, No. 1, 40.
Jamaluddin dan Nanda amalia. 2016. Buku Ajar Hukum Perkawinan. Sulawesi:
Unimal Press
Rama K, Tri. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung.

Rofiq, Ahmad. 2015. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Suadi, Amran dan Mardi Candra. 2016. Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata
dan Pidana Islam serta Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media
Supriyadi. 2015. Dasar-dasar Hukum Perdata di Indonesia. Kudus: Kiara Science.
Zuhaili, Wahbah. 2016. Fiqih Islam wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani Press.

Anda mungkin juga menyukai