Anda di halaman 1dari 11

POLIGAMI DI INDONESIA DAN TUNISIA

Arifatussalimah

Ayu Surya Nensy

Rokaya

Syaikhul Kabir

Jurusan Hukum Keluarga

Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Jl. HR. Soebrantas Panam, Kec. Tampan, Kabupaten Kampar, Riau.

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hukum dan peraturan

seputar poligami yang ada di Indonesia dan Tunisia. Penelitian ini termasuk penelitian

normatif atau pendekatan undang-undang. Hasil dari penelitian ini menjelaskan

bagaimana hukum poligami yang berbeda antara Indonesia dan Tunisia. Terdapat

aturan-aturan tersendiri di setiap negara tentang poligami dan alasan atau sebab dari

adanya peraturan tersebut. Seperti Indonesia yang tidak melarang poligami, namun

membuat aturan yang ketat mengenai pelaksanaan poligami dalam Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 Pasal 3 hingga 5. Dan larangan melakukan poligami di Tunisia yang

tercantum dalam Undang-Undang Status Perorangan Tunisia (The Code Of Personal

Status) Tahun 1956 Pasal 18 dengan tujuan untuk menghindari penyalahgunaan


poligami oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab dan agar lebih melindungi hak-

hak wanita dan keluarga.

Kata Kunci : Poligami, Indonesia, Tunisia.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang tidak melarang poligami dalam Undang-Undang

hukum positifnya namun Undang-Undang tersebut mengatur dan membatasi poligami dengan

peraturan dan pembatasan yang ketat. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 1 tahun

1974 Pasal 3 Ayat 1 yang menjelaskan tentang asas monogami perkawinan nasional dan pasal 3

ayat 2 tentang persyaratan-persyaratan yang cukup ketat bagi orang yang akan melakukan

poligami. Bagi yang melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975. Khusus bagi pegawai

negeri sipil harus mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

Tunisia merupakan Negeri muslim yang sukses menghapus poligami. Tunisia adalah

negeri Arab yang berani dalam menyikapi poligami dimana negeri-negeri muslim tidak sampai

melarang poligami, paling tinggi hanya membatasi dan mempersulit terjadinya poligami tersebut.

Ketentuan yang melarang poligami juga diatur dalam Undang-Undang Status Perorangan Tunisia

(The Code Of Personal Status) Tahun 1956 Pasal 18. Dalam pasal ini dinyatakan dengan tegas

bahwa siapa saja yang menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir dalam

bentuk apapun dan dengan alasan apapun maka dapat dipenjara selama 1 tahun atau denda

240.000 malim (24.000 Francs), atau penjara sekaligus denda.

Terdapat dua alasan mengapa poligami dilarang. Pertama, poligami dinyatakan sebagai

bagian dari perbudakan yang diterima dalam islam pada masa perkembangan namun dilarang
setelah masyarakat semakin mengenal budaya. Kedua, bahwa syarat mutlak poligami adalah

kemampuan berlaku adil kepada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi SAW

yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya. Kedua pertimbangan ini bertumpu pada asas

maslahah atau maqashid al-syari’ah.

PEMBAHASAN

A. Poligami dalam Hukum Islam

Dalam islam sendiri poligami sendiri di perbolehkan dengan batasan sampai empat orang

dan diwajibkan untuk berlaku adil kepada baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal

dan lain sebagainya. Serta tidak membedakan antara istri yang kaya dan miskin, yang cantik

ataupun jelek, dan baik berasal dari keluarga yang keturunan tinggi maupun yang rendah.

Apabila suami khawatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-haknya. Maka,

hendaknya tidak berpoligami. Sebagaimana firman Allah SWT:

َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬


ً‫ َدة‬C‫ث َور ُٰب َع ۚ فَاِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تَ ْع ِدلُوْ ا فَ َوا ِح‬ َ َ‫ َما ط‬C‫ فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا‬C‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا‬

٣ ‫ا‬Cۗ ْ‫ك اَ ْد ٰنٓى اَاَّل تَعُوْ لُو‬


َ ِ‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬
ْ ‫اَوْ َما َملَ َك‬

Artinya : Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu

senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil,

(nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu

lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.1

Dilihat dari ayat diatas , Rasulallah Saw melarang seorang pria menghimpun lebih dari

empat orang istri pada saat yang sama. Ketika ayat itu turun, Rasulallah Saw memerintahkan
1
Qur’an Surat An-Nisa’ (4) Ayat 3.
setiap pria yang memiliki lebih dari empat istri agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga

maksimal seorang pria hanya memperistrikan empat orang wanita. Ketentuan ini ditegaskan

melalui ucapannya, “kami diberikan oleh Yahya ibn Hakim, kami diberikan Muhammad ibn

Ja’far, kami diberikan Mu’amar dari al-Zuhri, dari Salim, dari Ibn ‘Umar berkata, Ghilan Ibn

Salamah masuk islam dan dia memiliki 10 isteri, maka Nabi Saw bersabda ambillah dari mereka

(istri-istrimu) empat orang.

Keharusan berbuat adil diantara istri menurut imam as-syafi’i, berhubungan dengan urusan

fisik, misalnya mengunjungi istri dimalam hari ataupun siang hari. Tuntutan ini didasarkan pada

perilaku Nabi Saw dalam berbuat adil kepada istrinya, yakni dengan membagi giliran malam dan

memberikan nafkah.

Dalam perspektif hukum islam, poligami merupakan isu yang sangat kontroversil karena

menimbang beberapa hal. Pertama, Nabi Saw sendiri melakukan poligami, kedua ayat alqur’an

yang membicarakan poligami merupakan ayat mutasyabih sehingga kesamarannya dapat

menimbulkan berbagai penafsiran. Bahkan praktik poligami telah lama dikukuhkan dalam tradisi

agama-agama kuno.2

Aisyah r.a. berkata:

Artinya: Rasulallah SAW, selalu membagi giliran sesame istrinya dengan adil dan beliau

pernah berdo’a: Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu janganlah engkau

mencelakakanku tentang apa yang engkau kuasai, sedang aku tidak menguasainya. “Abu Dawud

berkata bahwa yang dimaksud dengan “ Engkau tetapi aku tidak mengusai”, yaitu hati. (HR.Abu

Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah).

Menurut sebagian ulama, Hadits tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian

yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam
2
James Hesting, Dictionary of Bible. (New York: Charles Scribner’s Sons,1963), h. 624.
menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk mencintai

perempuan yang satu dari yang lainnya, karena masalah cinta diluar kesanggupannya.

B. Poligami dalam Hukum Keluarga Indonesia dan Tunisia

1. Indonesia

Poligami menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak disebutkan

secara jelas tetapi pada intinya poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari

seorang. Masalah poligami di Indonesia ialah masalah yang cukup kontroversial yang mana

banyak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Dalam ketentuan Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinaan mencerminkan

pengutamaan diterapkannya asas monogamy dalam setiap perkawinan. Namun, dalam hal

kondisi tertentu dan darurat, dimungkinkan adanya poligami dengan dasar alasan yang ketat

dan persyaratan yang sangat berat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menghargai

pandangan sebagian masyarakat muslim yang membolehkan poligami dengan syarat harus

mampu berlaku adil.

Poligami sendiri mempunyai arti suatu system perkawinan antara satu orang pria

dengan lebih seorang isteri. Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas

dalam Pasal 3 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada dasarnya seorang prria hanya boleh

mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.

Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitative saja, karena

dalam pasal 3 Ayat 2 UU Perkawinan disebutkan bahwa dimana pengadilan dapat

memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh para pihak yang bersangkutan. Untuk mendapatkan izin poligami dari Pengadilan

Agama harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dibenarkan.

Untuk poligami ketentuan jumlah isteri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya

sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil

terhadap isteri-isterinya dan anak-anaaknya akan tetapi jika suami tidak bisa berlaku adil

maka suami dilarang beristeri lebih dari satu. Dan apabila suami tidak mendapat izin dari

pengadilan maka perkwinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dan untuk PNS diberikan izin apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu

syarat alternatif, dan ketiga syarat kumulatif.3 Berikut syarat-syarat alternatif:

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b) Istri mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan;

c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Adapun syarat- syarat kumulatif adalah:

a) Ada persetujuan tertulis dari istri;

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-

anak mereka;

c) Ada jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil.4

Pembuktian kemampuan suami dalam menjamin keperluan hidup keluarga dilakukan

dengan melihat surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani

bendahara tempat bekerja atau surat keterangan lain yang dapat diterima di pengadilan.

Oknum yang melanggar aturan-aturan poligami dianggap melanggar peraturan yang berlaku

3
PP no. 10 tahun 1983 pasal 10 ayat 1.
4
UU no. 1 tahun 1974 pasal 5, PP no. 9 tahun 1975.
dan dapat dihukum dengan hukuman denda setinggitingginya tujuh ribu lima ratus rupiah.

Jumlah hukuman denda itu harus dilihat dari nilainya bukan dari jumlahnya.

PNS yang beristri lebih dari seorang tanpa izin dapat dihukum dengan empat

kemungkinan;

a) Penurunan pangkat setingkat lebih rendah.

b) Pembebasan jabatan.

c) Pemberhentian dengan hormat tidak dengan atas permintaan sendiri sebagai PNS.

d) Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.5

PNS wanita yang menjadi istri kedua, ketiga, keempat dari seorang pria maka

diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS.6

2. Tunisia

Tunisia merupakan Negara berbentuk republik yang dipimpin oleh presiden. Negara

yang beribukotaka Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi Negara. Setelah

merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan

kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini

didasarkan pada penafsiran liberal syariah, terutama berkaitan dengan hukum keluarga.

Lahirlah Majallat al-Ahwal as-Syaksiyah yang kontroversial. Dibawah kepemimpinan

Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi Negara Arab pertama yang melarang poligami.

Majallat itu sendiri mencakup materri hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan

anak yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasilk.7

5
PP no. 30 pasal 6 ayat 4 tahun 1980
6
PP no. 45 tahun 1990 pasal 15 ayat 2
7
Mardani, Hukum Perkwinan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 51.
Dari berbagai pembaharuan ada dua UU yang mendapat respon negatif dari sejumlah

kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di Pengadilan. Di Tunisia

Ketentuan yang melarang poligami juga diatur dalam Undang-Undang Status Perorangan

Tunisia (The Code Of Personal Status) Tahun 1956 Pasal 18. Dalam pasal ini dinyatakan

dengan tegas bahwa siapa saja yang menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar

berakhir dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun maka dapat dipenjara selama 1

tahun atau denda 240.000 malim (24.000 Francs), atau penjara sekaligus denda.8

Teks lengkap pasal 18 Majallat al-Ahwal as-Syaksiyah (status personal) Nomor 66

Tahun 1956 berbunyi.9

a. Memiliki lebih dari satu orang istri atau poligami dilarang. Siapa saja, yang sudah

menikah dan pernikahannya itu belum putus secara hukum, dan melakukan pernikahan

lagi. Maka, akan dipidana dengan pidana kurungan selama satu tahun, atau dengan

pidana denda dengan 240.000 malim, atau dengan kombinasi pidana kurungan dan

denda tersebut, dan perkawinannya yang kemudian dianggap melanggar ketentuan-

ketentuan dalam Undang-Undang ini.

b. Siapa saja yang sudah kawin yang melakukan dengan cara melanggar ketentuan-

ketentuan yang tercantum dalam UU No.3 Tahun 1957 tentang penyelenggaraan

perikatan hak-hak keperdataan. Akad perkawinan dengan wanita lain padahal masih

berada pada ikatan perkawinan dengan istrinya yang terdahulu, akan dipidana seperti

dipidana diatas.

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
8

Perkawinan di Dunia Muslim, Cet. I, (Yogyakarta: Academia + Taffaza, 2009), h.289.


9
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis, (New
Academy Of Law And Religion, 1987), h. 155-156.
c. Seseorang yang secara sadar melakukan perkawinan dengan orang lain yang dijatuhi

suatu pidana berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, juga akan dikenai

pidana yang sama dengannya.

d. Pasal 53 UU Hukum Pidana tidak berlaku lagi perbuatan melanggar hukum yang

ditetapkan dalam UU ini.10

Ada beberapa alasan diberlakukannya ancaman pidana bagi pelaku poligami dalam

hukum keluarga Tunisia sebagai berikut:

a. Untuk mengatur poligami agar lebih tertib dan selektif dalam rangka menghindari

penyalahgunaan poligami oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab dan agar lebih

melindungi hak-hak wanita dan keluarga.

b. Dalam rangka mereformasi hukum keluarga islam dari ketentuan fiqh yang bersifat

rigid dan kaku serta cenderung biar gender menjadi hukum keluarga islam yang lebih

egalitarian, demokratis dan adil.

c. Dalam satu kasus seperti di Turki kecenderungan reformasi hukum keluarga ini juga

dimaksudkan meningkatkan daya tawar agar lebih dapat diterima dalam pergaulan

msyarakat Uni Eropa.

C. Larangan Poligami Ditinjau dari Teori Maslahat Mursalah (Maqasid al-Syari’ah)

Setiap hukum islam baik itu menyangkut hak-hak Allah ataupun manusia mempunyai

tujuan (Maqasid al-Syari’ah), menjaga kemaslahatan adalah tujuan utama Hukum Islam. Oleh

karena itu, ‘Allal al-Fasi , Ulama pembaharu dan toko nasionalisme maroko, dalam Maqasid al-

Diterjemahkan oleh Asmawi, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam
10

Kontemporer, T.t, h. 21
Shari’at al-islamiyyat wa Makarimiha mengajukan tiga pendapat tentang kenapa poligami harus

dilarang dengan tegas. Melarang poligami ialah bertujuan menjaga kemaslahatan umum yaitu:

1. Mencegah akibat buruk oleh peorangan untuk mencegah akibat buruk yang lebih besar

artinya kemaslahatan umum dikedepankan dari kemaslahatan pribadi. Al-Fasi

mengatakan, melarang poligami itu merugikan orang sebab mencegah keinginan mereka

yang ingin poligami. Tetapi dengan tetap membolehkan poligami akan menimbulkan

kerugian lebih besar pada masa sekarang. Dampak negatif yang besar itu yaitu merugikan

citra islam. Jika islam berbicara peningkatan derajat wanita itu tidak akan tercapai dengan

adanya poligami.

2. Mencegah kerusakan untuk lebih dikedepankan dari pada menarik manfaat.

3. Perubahan hukum suatu perbuatan mengikuti perubahan kemaslahatannya. Pada masa

Nabi Saw dibolehkannya poligami hingga empat untuk melindungi anak yatim. Tetapi

jika keadaan pada zaman sekarang lebih baik, yaitu sederajat dengan pria dan harta gadis

yatim-piatu diatur oleh lembaga keuangan professional, konsekuensinya poligami tidak

boleh. Karena itu untuk memberi perlindungan pada perempuan dan keluarga, Negara

harus melarang poligami.

D. Kesimpulan

Dari uraian diatas, penulis memberikan analisa singkat mengenai judul tulisan “Poligami

di Indonesia dan Tunisia”. Setiap negara memiliki kebijakan tersendiri untuk mengatur

masyarakatnya. Tak terkecuali dalam masalah poligami yang terjadi dalam rumah tangga.

Terdapat perbedaan peraturan mengenai hal ini, khususnya di Indonesia dan Tunisia. Di

Indonesia tidak ada larangan untuk melakukan poligami, namun terdapat peraturan yang ketat
mengenai praktek poligami tersebut. Peraturan tersebut dimuat dalam Undang-Undang nomor 1

Tahun 1974 Pasal 3 hingga 5. Dan khusus PNS, terdapat peraturan tersendiri tentang Poligami

yang dimuat dalam PP no. 30 Pasal 6 ayat 4 tahun 1980 dan PP no. 45 tahun 1990 Pasal 15 ayat

2 yang menjelaskan sanksi bagi PNS yang melakukan poligami tidak sesuai prosedur. Berbeda

dengan Tunisia yang melarang keras adanya poligami hingga terdapat sanksi dan denda yang

diatur dalam ndang-Undang Status Perorangan Tunisia (The Code Of Personal Status) Tahun

1956 Pasal 18 dengan berbagai tujuan salah satunya menghindari penyalahgunaan poligami oleh

laki-laki yang tidak bertanggung jawab dan agar lebih melindungi hak-hak wanita dan keluarga.

E. DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer” (T.t)

Atho’ Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Cet. I,

(Jakarta: Ciputat Press, 2003)

Hesting, James, Dictionary of Bible, New York: Charles Scribner’s Sons, 1963.

Khoiruddin, Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum

Perkawinan di Dunia Muslim, Cet. I (Yogyakarta: Academia + Taffaza, 2009)

Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis,

New Delhi: Academy of Law And Religion,1987.

Mardani, Hukum Perkawinan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011).

Masnun, Tahir, “Hak-Hak Perempuan Dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia”, al-Mawarid

Edisi XVIII Tahun 2008.

Anda mungkin juga menyukai