Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAL

PERSEPSI SUAMI/ISTRI POLIGAMI TERHADAP NILAI


KEADILAN DALAM KELUARGA
(Studi Kasus di Kecamatan Sukadana, Lampung Timur)

Oleh:

AHMAD IRFAN WAHYUDI


NPM. 1502030016

Jurusan Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah)


Fakultas Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO


1442 H/2021 M
PERSEPSI SUAMI/ISTRI POLIGAMI TERHADAP NILAI
KEADILAN DALAM KELUARGA
(Studi Kasus di Kecamatan Sukadana, Lampung Timur)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Memenuhi Sebagian Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

AHMAD IRFAN WAHYUDI


NPM. 1502030016

Pembimbing : Sudirman, M.Sy

Jurusan Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhsiyyah)


Fakultas Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO


1442 H / 2021 M
A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah akad antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan atas dasar kerelaan dan kesukaan antara kedua belah pihak,

yang dilakukan oleh pihak lain (Wali) menurut sifat dan syarat yang telah

ditetapkan oleh syara’ untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya,

sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekufu’ sebagai

teman hidup dalam mahligai rumah tangga.1

Di Indonesia sendiri, persoalan mengenai perkawinan diatur dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, tertuang di dalamnya mengenai apa yang dimaksud dengan

perkawinan, tepatnya pada Pasal 1, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir

dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai

pasangan suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Perkawinan adalah akad yang suci untuk menghalalkan hubungan

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan atas dasar saling suka

sama suka dan kerelaan untuk membentuk keluarga yang sakinah,

mawadah, dan rahmah dalam naungan rida Allah SWT.

Poligami merupakan suatu bentuk perkawinan yang tidak dilarang

oleh ajaran agama Islam. Namun, kebolehannya bukan berarti

mempernudah seseorang untuk melakukan poligami, melainkan

1
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim,
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), 18.
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1.
mengharuskannya untuk memenuhi syarat-syarat tertentu dan alasan-

alasan yang tepat sebagaimana yang telah ditentukan oleh beberapa

undang-undang yang berlaku di Indonesia, salah satu ketentuannya ada

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun, pada kenyataannya saat

ini, poligami menjadi fenomena tersendiri, yang semula bertujuan untuk

mencapai keharmonisan dalam rumah tangga, menjadi suatu hal yang

sering kali dianggap menciderai hak-hak perempuan. Sekaligus

merendahkan martabat kaum perempuan dengan menempatkannya sebagai

objek, bukan sebagai subjek yang setara dengan kaum laki-laki dalam

perkawinan.3

Islam memperbolehkan berpoligami sampai empat orang istri

dengan syarat berlaku adil kepada mereka, yakni adil dalam melayani istri,

seperti persoalan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran, dan segala hal

yang bersifat lahiriah.4

Hal tersebut di atas sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat

An-Nisa’ ayat 3 dan Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 129

sebagai berikut:

‫ٓا ِء َم ۡثن َٰى‬GG‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َس‬GG َ َ‫ا ط‬GG‫ُوا َم‬ ْ ‫ٱن ِكح‬GGَ‫وا فِي ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى ف‬ ْ ُ‫ط‬GG‫َوإِ ۡن ِخ ۡفتُمۡ أَاَّل تُ ۡق ِس‬
َ G ِ‫ا َملَ َك ۡت أَ ۡي ٰ َمنُ ُكمۡۚ ٰ َذل‬GG‫ َدةً أَ ۡو َم‬G‫وا فَ ٰ َو ِح‬
‫ك أَ ۡدن ٰ َٓى أَاَّل‬ ْ ُ‫ ِدل‬G‫إ ِ ۡن ِخ ۡفتُمۡ أَاَّل ت َۡع‬G َ‫ث َو ُر ٰبَ ۖ َع ف‬َ َ‫َوثُ ٰل‬
٣ ‫وا‬ْ ُ‫تَعُول‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

3
Anis Nur Arifah, Reniyadus Sholehah, dan Hardianto, “Poligami Kiyai: Praktik Poligami Kiyai di
Kota Jember dalam Pandangan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Gender,” Jurnal Pemikiran Hukum dan
Hukum Islam: Yudisia, Vol. 7, No. 1, (Juni: 2016), 120-121.
4
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2015), 130-131.
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-
Nisa’ (4): 3).5

Ayat tersebut di atas menggunakan kata tuqsithu dan ta’dilu yang

keduanya diterjemahkan sebagai adil. Ada Ulama yang mempersamakan

maknanya dan ada pula yang membedakannya dengan berkata bahwa

tuqsithu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang

menjadikan keduanya senang. Sedang adil adalah berlaku baik terhadap

orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak

menyenangkan salah satu pihak. Firman-Nya ma malakat aimanukum

yang diterjemahkan dengan hamba sahaya perempuan yang kamu miliki,

menunjuk kepada satu kelompok masyarakat yang ketika itu yang

merupakan salah satu fenomena umum masyarakat di seluruh dunia. Allah

SWT dan Rasul-Nya tidak merestui perbudakan, meski dalam saat yang

sama harus pula diakui, bahwa Al-Qur’an dan Hadits tidak mengambil

langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus.

Al-Qur’an dan hadits menutup semua pintu untuk lahir dan

berkembangnya perbudakan kecuali satu pintu, yakni tawanan, yang

diakibatkan oleh peperangan dalam rangka mempertahankan diri dan

akidah, itu pun disebabkan karena ketika itu demikianlah perlakukan

manusia terhadap tawanan perangnya. Namun, kendati tawanan perang

diperkenankan untuk diperbudak, tapi perlakuan terhadap mereka sangat

manusiawi, bahwa Al-Qur’an memberikan peluang kepada penguasa

5
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, (Bandung: CV.
Penerbit Diponegoro, 2015), 77.
Muslim untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan,

berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu.6

‫ ِل‬G‫ َّل ۡٱل َم ۡي‬G‫وا ُك‬G


ْ Gُ‫تُمۡ ۖ فَاَل تَ ِميل‬G‫ص‬ ْ ُ‫ ِدل‬G‫ت َِطيع ُٓو ْا أَن ت َۡع‬G‫َولَن ت َۡس‬
ۡ ‫و َح َر‬Gۡ Gَ‫ٓا ِء َول‬G‫وا بَ ۡينَ ٱلنِّ َس‬
١٢٩ ‫ورا َّر ِح ٗيما‬ ْ ُ‫ُوا َوتَتَّق‬
ٗ ُ‫وا فَإ ِ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َغف‬ ْ ‫صلِح‬ ۡ ُ‫فَتَ َذرُوهَا َك ۡٱل ُم َعلَّقَ ۚ ِة َوإِن ت‬
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-
istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ (4): 129).7

Setelah menganjurkan ihsan kepada pasangan atau paling tidak

berlaku adil, dijelaskan, bahwa keadilan harus ditegakkan, walaupun

bukan keadilan secara mutlak, apalagi dalam kasus-kasus poligami.

Poligami sering kali menjadikan suami berlaku tidak adil. Di sisi lain,

kerelaan perempuan untuk dimadu dapat juga merupakan bentuk

perdamaian demi memelihara perkawinan. Suami diingatkan untuk dapat

berlaku adil, lebih-lebih apabila berpoligami, maka melalui ayat tersebut di

atas, para suami diberi kelonggaran, sehingga keadilan yang dituntut

bukanlah keadilan secara mutlak. Ayat tersebut di atas, menegaskan,

bahwa kamu wahai para suami, sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil,

yakni tidak dapat mewujudkan dalam hatimu walaupun kamu ingin

berbuat demikian, karena cinta di luar kemampuan manusia untuk

mengaturnya. Oleh karena itu, berlaku adillah sekuat kemampuanmu,

yakni dalam hal-hal yang bersifat material, dan kalau hatimu lebih

mencintai salah seorang atas yang lain, maka aturlah sedapat mungkin

6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Jilid 2, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 338-339.
7
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, 99.
perasaanmu sehingga janganlah kamu terlalu cenderung kepada istri yang

kamu cintai serta memumpuk semua cintamu kepadanya.8

Apabila dilihat sekilas dari kedua ayat tersebut, terdapat perbedaan

antara keadilan yang disyaratkan dalam poligami. Keadilan berdasarkan

surat An-Nisa’ ayat 3 adalah keadilan secara material, sedangkan dalam

surat An-Nisa’ ayat 129 adalah keadilan secara immaterial, maka tidaklah

tepat kalau ayat tersebut menjadi alasan untuk menutup pintu poligami

serapat-rapatnya. Namun, yang harus diperhatikan, bahwa Al-Qur’an tidak

membolehkan suatu hal untuk dikerjakan kecuali di dalamnya

mengandung kemaslahatan. Dalam hal kebolehan berpoligami ini,

menunjukkan bahwa Tuhan memberikan potensi kepada manusia untuk

berbuat adil walaupun sangat sulit untuk berbuat adil dalam poligami.9

Poligami diperbolehkan dan tidak dilarang dalam ajaran agama

Islam, dengan berlandasakan terpenuhinya syarat berlaku adil terhadap

istri-istrinya. Namun, poligami yang dilakukan dibataskan hanya sampai

empat orang istri saja. Kebolehan berpoligami dalam Islam menunjukkan

bahwa Allah SWT memberikan potensi kepada umat manusia dalam

rangka berbuat adil, meskipun sangat sulit berbuat adil dalam poligami.

Namun, kenyataannya, banyak masyarakat yang melaksanakan poligami.

Berdasarkan pra survei peneliti di Kecamatan Sukadana,

Kabupaten Lampung Timur, tepatnya di Desa Mataram Marga, banyaknya

kasus yang melakukan praktik poligami, kebanyakan orang yang

8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Jilid 2, 606-607.
9
Azwarfajri, “Keadilan Berpoligami dalam Perspektif Psikologi,” Substantia, Vol. 13, No. 2,
(2011), 164-165.
melakukan berkedudukan dalam adat dan strata sosial yang tinggi dalam

lingkup masyarakat. Dalam hal ini, peneliti mendapati sampel lima orang

yang melakukan praktik poligami, empat di antaranya berkedudukan

dalam adat dan satu berkedudukan sosial tinggi. Salah satu yang

berkedudukan adat yakni Bapak R bergelar Pengiran Rajo Ukum dan

Bapak W sebagai Pengusaha. Dari sebagian keluarga yang berpoligami

terdapat perbedaan dalam keadilan dan beberapa istri masih merasa kurang

diperlakukan secara adil.10

Berdasarkan uraian tersebut di atas, praktik poligami yang terjadi

di Desa Mataram Marga, banyak terjadi di kalangan orang yang bergelar

adat dan strata sosial yang tinggi. Hal ini berarti berpoligami dengan

bergelar adat serta kedudukan sosial yang tinggi dalam lingkup

masyarakat sudah menjadi suatu hal yang lumrah. Namun, tidak semua

keluarga yang berpoligami tersebut mempraktekkan nilai-nilai keadilan

dalam berpoligami. Maka dari itu, peneliti tertarik dalam permasalahan

tersebut dan akan mengadakan penelitian lebih lanjut dalam sebuah karya

ilmiah dalam bentuk Skripsi dengan judul: “PERSEPSI SUAMI/ISTRI

POLIGAMI TERHADAP NILAI KEADILAN DALAM KELUARGA

(Studi Kasus di Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka

selanjutnya dapat dirumuskan mengenai permasalahan, yakni bagaimana

10
Wawancara dengan Bapak R yang bergelar Pengiran Rajo Ukum dan Bapak W yang
berkedudukan sosial tinggi di Desa Mataram Marga, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur pada
28 November 2020.
persepsi suami/istri poligami terhadap nilai keadilan dalam keluarga (studi

kasus di Kecamatan Sukadana, Lampung Timur)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

mengenai persepsi suami/istri poligami terhadap nilai keadilan dalam

keluarga (studi kasus di Kecamatan Sukadana, Lampung Timur).

2. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini dilakukan dengan harapan:

a. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

menyumbangkan ide terhadap ilmu hukum keluarga Islam (ahwal

al-syakhshiyyah), khususnya terkait dengan persepsi suami/istri

poligami terhadap nilai keadilan dalam keluarga.

b. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

sumbangan ide atau sebagai bahan masukan yang memberikan

pengetahuan tentang persepsi suami/istri poligami terhadap nilai

keadilan dalam keluarga.

D. Kerangka Teori

1. Persepsi Suami-Istri

a. Pengertian Persepsi

Persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu serapan atau proses


seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca

inderanya.11Persepsi juga diartikan sebagai suatu proses

diterimanya rangsang melalui panca indera yang diahului oleh

perhatian, sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan

menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada di luar

maupun yang ada di dalam diri individu.

Suatu rangsangan dipandang sebagai kejadian-kejadian

yang ada di dalam lingkungan eksternal individu yang ditangkap

dengan menggunakan alat sel syaraf yang selanjutnya akan terjadi

proses pengolahan sensasi. Ketika sejumlah sensasi masuk ke

dalam struktur yang lebih dalam dari sistem susunan syaraf, maka

sensasi inilah yang disebut sebagai persepsi.12

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna

pada stimuli inderawi.13 Dikatakan juga, persepsi adalah proses

mengamati situasi dunia luar dengan menggunakan proses

perhatian, pemahaman, dan pengenalan terhadap objek atau

peristiwa. Persepsi diorganisasikan dalam bentuk, latar dasar, garis,

dan kejelasan.

11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), 675.
12
Oman Sukmana, Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, 2003), 52.
13
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarja, 1999), 51.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami,

bahwa persepsi adalah proses mengamati keadaan dunia luar

dengan tiga tahapan, yakni perhatian, pemahaman, dan pengenalan

terhadap objek yang diamati.

b. Suami-Istri

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) suami

adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang

perempuan (istri).14 Sedangkan istri adalah wanita yang telah

bersuami atau wanita yang dinikahi.15 Secara sederhana dapat

dikatakan suami adalah pasangan sah untuk istri sedangkan istri

adalah pasangan yang sah untuk suami, yang dimana saling bahu

membahu segala hal dalam keluarga. Suami adalah orang

bertanggung jawab kepada keluarga terutama istri, sedangkan istri

adalah perempuan yang mendampingi suami dalam rumah tangga.

Perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan

perempuan untuk menembuh kehidupan dalam rumah tangga.

Sejak mengadakan perjanjian melalui akad, maka kedua belah

pihak telah terikat dan membentuk suatu keluarga yang

menimbulkan hak dan kewajiban selaku suami istri yang tidak

mereka miliki sebelumnya.16

Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang

diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan kewajiban


14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1378.
15
Ibid., 566.
16
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), 11.
adalah apa-apa yang harus dilakukan seseorang terhadap orang

lain. Kewajiban lahir karena hak yang melekat pada subjek

hukum.17

Dengan demikian, maka sesudah perkawinan

dilangsungkan, kedua belah pihak (suami-istri) harus memahami

hak dan kewajiban masing-masing. Hak bagi istri menjadi

kewajiban bagi suami, begitu pula kewajiban suami menjadi hak

bagi istri. Suatu hak belum pantas diterima sebelum kewajiban

dilaksanakan.

c. Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Hak suami dan istri adalah hak istri yang merupakan

kewajiban suami dan sebaliknya kewajiban suami yang menjadi

hak istri. Hak suami dan istri ada tiga bentuk, di antaranya:

1) Hak Istri atas Suami

Hak istri atas suami terdiri dari dua bentuk:

a) Hak finansial, yakni mahar dan nafkah.

b) Hak non-finansial, yakni hak untuk diperlakukan secara

adil (apabila suami menikahi perempuan lebih dari satu

orang) dan hak untuk tidak disengsarakan.

2) Hak Suami atas Istri

Suami memiliki beberapa hak yang menjadi kewajiban

istri terhadap suaminya, di antaranya:

17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group,
2007), 159.
a) Taat kepada suami.

b) Tidak durhaka kepada suami.

c) Memelihara kehormatan dan harta suami.

d) Berhias untuk suami.

3) Hak Bersama Suami dan Istri

Hak bersama yang dimiliki oleh suami dan istri terdiri

dari:

a) Baik dalam berhubungan.

b) Adanya kehalalan untuk melakukan hubungan suami-istri

dan menikmati pasangan.

c) Adanya keharaman ikatan perbesanan.

d) Tetapnya pewarisan antara keduanya setelah akad

terlaksana.

e) Tetapnya nasab dari anak suami yang sah.18

Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT di dunia ini

pasti memiliki hikmah yang terkandung di dalamnya. Seperti

halnya Allah SWT menciptakan manusia yang berlainan bentuk

yakni laki-laki dan perempuan agar masing-masing saling

membutuhkan dan saling melengkapi, sehingga kehidupan mereka

senantiasa dapat berkembang.

2. Poligami

a. Pengertian Poligami

18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013), 412.
Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak

mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang

bersamaan.19 Poligami memiliki dua makna, yakni poligini dan

poliandri. Poligini adalah seorang suami yang memiliki banyak

istri, sedangkan poliandri adalah seorang istri yang memiliki

banyak suami. Namun, dalam khazanah Islam di Indonesia,

poligami dimaksudkan dalam arti yang pertama, yakni poligami.20

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yakni polus,

yang artinya banyak dan gamein, yang artinya kawin. Jadi,

poligami artinya kawin banyak atau suami beristri banyak pada

saat yang sama. Dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan

ta’did al-zawjiyah (berbilangnya pasangan). Dalam bahasa

Indonesia disebut dengan permaduan.21

Poligami secara etimologi berarti perkawinan yang banyak

atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang istri. Pada dasarnya,

yang disebut dengan poligami adalah suatu sistem perkawinan di

mana seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri

dalam waktu yang bersamaan.22

Adapun secara terminologi, poligami diartikan sebagai

ikatan antara seorang suami dengan mengawini beberapa orang

istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang tetapi dibatasi

19
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 693.
20
Imam Mustofa, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Lampung: STAIN JURAI SIWO METRO,
2015), 16.
21
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim, 30.
22
Humaidi Tatapangarsa, Hakikat Poligami dalam Islam, (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 2.
paling banyak hanya empat orang saja. Poligami merupakan ikatan

perkawinan dalam hal di mana suami mengawini lebih dari satu

orang istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan

bentuk perkawinan semacam ini dikatakan bersifat poligami.23

Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang

mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang

berasal dari kata “polus” yang berarti banyak dan “gune” yang

berarti perempuan. Sedangkan, bagi seorang istri yang mempunyai

lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata

“polus” yang berarti banyak dan “andros” yang berarti laki-laki.

Jadi, kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri

lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini,

bukan poligami.24

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami,

bahwa poligami adalah suatu ikatan perkawinan antara seorang

suami dengan beberapa orang istri. Sedangkan kebalikan dari

poligami adalah monogami, yakni perkawinan tunggal dengan satu

istri. Adapun pada umumnya, istilah laki-laki yang memiliki istri

lebih dari seorang disebut poligami yang seharusnya adalah

poligini.

b. Poligami dalam Islam

23
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 129.
24
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), 352.
Banyak sekali pendapat para Ulama dan Ulama modern

yang menafsirkan tentang hukum poligami. Di antara isu-isu

hukum syari’at yang ditentang dan selalu dibicarakan oleh mereka

adalah apa yang berkaitan dengan poligami di dalam Islam.

Terutama ayat yang menjelaskan tentang poligami yang berbunyi:

‫ٓا ِء‬G‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َس‬G َ G‫ط‬ َ ‫ا‬GG‫ُوا َم‬ ْ ‫ٱن ِكح‬GGَ‫وا فِي ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى ف‬ ْ ُ‫ط‬G‫َوإِ ۡن ِخ ۡفتُمۡ أَاَّل تُ ۡق ِس‬
َ َ‫َم ۡثن َٰى َوثُ ٰل‬
ْ ُ‫ ِدل‬G‫إ ِ ۡن ِخ ۡفتُمۡ أَاَّل ت َۡع‬G َ‫ ۖ َع ف‬Gَ‫ث َو ُر ٰب‬
ۚۡ‫ا َملَ َك ۡت أَ ۡي ٰ َمنُ ُكم‬GG‫ َدةً أَ ۡو َم‬G‫وا فَ ٰ َو ِح‬
٣ ‫وا‬ ْ ُ‫ٰ َذلِكَ أَ ۡدن ٰ َٓى أَاَّل تَعُول‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga, atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’ (4): 3).25
Menurut pandangan Jumhur Ulama, ayat 3 pada surat An-

Nisa’ tersebut di atas, turun setelah Perang Uhud, ketika banyak

pejuang Islam yang gugur di medan perang. Sebagai

konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati

oleh ayah dan suaminya. Akibatnya, banyak anak yatim yang

terabaikan dalam kehidupan, pendidikan, dan masa depannya.26

Muhammad Baqir Al-Habsyi berpendapat, bahwa di dalam

Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan atau

menganjurkan poligami, sebutan tentang hal itu dalam surat An-

Nisa ayat 3 hanyalah sebagai informasi sampingan dalam kerangka

25
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, 77.
26
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Academia, 18\996), 85.
perintah Allah SWT agar memperlakukan sanak keluarga terutama

anak-anak yatim dan harta mereka dengan perlakuan yang adil.27

Al-Maraghi dalam tafsirnya yang terkenal dengan sebutan

Tafsir Al-Maraghi menyebutkan, bahwa kebolehan berpoligami

yang disebut pada surat An-Nisa’ ayat 3 merupakan kebolehan

yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami

diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat yang hanya bisa

dilakukan oleh orang yang benar-benar membutuhkan, kemudian

beliau mencatat kaidah fiqhiyah, dar’u al-mafasid muqaddamun

‘ala jalbi al-masalih. Pencatatan ini dimaksudkan, barang kali,

untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk bersikap hati-hari

dalam melakukan poligami.28

Menurut pandangan M. Quraish Shihab menjelaskan,

bahwa bagaimana ayat tersebut di atas tidak mewajibkan poligami

atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya

poligami, itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui

oleh orang yang amat sangat membutuhkannya dan dengan syarat

yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami

dalam pandangan Al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi

ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut

27
Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqh Praktis (Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama), (Bandung: Mizan, 2002), 91.
28
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1963), 181.
pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin

terjadi.29

Walaupun dengan alasan yang berbeda-beda, umumnya,

pemikir Islam modern, termasuk Muhammad Abduh, berpendapat,

bahwa tujuan ideal Islam dalam perkawinan adalah monogami.

Tentang konsep poligami yang jelas-jelas tertulis dalam Al-Qur’an,

menurut sebagian dari mereka, hanyalah karena tuntutan pada

zaman Nabi SAW yang pada saat itu banyak anak yatim dan janda

yang ditinggal oleh ayahnya atau suaminya saat berperang.

Sedangkan, sebagian yang lain berpendapat, bahwa kebolehan

berpoligami hanyalah bersifat darurat.30

Bagi Muhammad Abduh, poligami merupakan suatu

perbuatan yang haram, kalau tujuannya hanya untuk kesenangan

semata. Akan tetapi, apabila alasannya karena tuntutan zaman atau

darurat, maka kemungkinan dibolehkan untuk melakukannya tetap

saja ada. Dengan kata lain, kalau alasannya dimaksudkan untuk

memenuhi kebutuhan biologis Kaum Adam, maka hukumnya

menjadi tidak boleh. Sebab, menurut beliau, kalau untuk

memenuhi kebutuhan biologis ini, manusia tidak akan puas, dan

kalau dituruti terus-menerus, manusia tidak ada bedanya dengan

binatang. Muhammad Abduh juga menyinggung perilaku poligami

yang dilakukan sebagai simbol kekuatan atau kejantanan. Latar

29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Jilid 2, 410.
30
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, 83.
belakang sejarah inilah, barang kali, yang membuat Muhammad

Abduh bersikap sangat ketat terhadap hukum poligami.31

Sayyid Qutub mengatakan, bahwa poligami merupakan

suatu perbuatan yang bersifat rukhsah. Karena merupakan rukhsah,

maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang benar-

benar mendesak. Kebolehan inipun masih disyaratkan bisa berbuat

adil terhadap istri-istrinya. Keadilan yang dituntut di sini dalam

bidang nafkah, mu’amalah, pergaulan, serta pembagian malam.

Sedangkan, bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka

diharuskan cukup satu saja.32

Di kalangan masyarakat Barat, bahwa Islam merupakan

satu-satunya agama yang tidak mengharamkan poligami. Mereka

mengulang-ngulangi apa yang tersebar itu, menurut mereka,

poligami itu merendahkan derajat kaum perempuan dan

menginjak-nginjak martabat para istri.33

Sehubungan dengan status melakukan poligami, menurut

Al-Jashshash, hanya bersifat mubah, kebolehan ini juga disertai

dengan syarat kemampuan berbuat adil di antara para istri. Untuk

ukuran keadilan di sini, menurut Al-Jashshah, termasuk material,

seperti tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian, dan lain

sejenisnya. Kedua, kebutuhan non-material, seperti kasih sayang,

kecenderungan hati, dan lain semacamnya. Namun, beliau


31
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, 101.
32
Sayyid Qutub, Fi Dhilal Al-Qur’an IV, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1961), 236.
33
Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, (Jakarta: Al-Mairah, 2001), 221.
mencatat, bahwa kemampuan berbuat adil di bidang non-material

ini sangat berat.34

Dengan demikian, bahwa Islam bukan menciptakan

undang-undang poligami, tetapi anya membatasi poligami dengan

ketentuan dan jumlah tertentu. Al-Qur’an tidak menyuruh

poligami, tetapi hanya membolehkan. Namun, kebolehan di sini

masih diancam dengan sebuah kondisi berupa ketidakmampuan

berbuat adil.

c. Dasar Hukum Poligami

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat mengenai poligami,

kendati tidak menghapus praktik ini. Namun, Islam membatasi

kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri saja dengan

syarat-syarat yang ketat, seperti keharusan berlaku adil terhadap

istri-istrinya. Syarat-syarat ini ditemukan dalam dua ayat tentang

poligami, yakni surat An-Nisa’ ayat 3 dan surat An-Nisa’ ayat 129

sebagai berikut:

‫ٓا ِء‬G‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َس‬G َ G‫ط‬ َ ‫ا‬GG‫ُوا َم‬ ْ ‫ٱن ِكح‬GGَ‫وا فِي ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى ف‬ ْ ُ‫ط‬G‫َوإِ ۡن ِخ ۡفتُمۡ أَاَّل تُ ۡق ِس‬
َ َ‫َم ۡثن َٰى َوثُ ٰل‬
ْ ُ‫ ِدل‬G‫إ ِ ۡن ِخ ۡفتُمۡ أَاَّل ت َۡع‬G َ‫ ۖ َع ف‬Gَ‫ث َو ُر ٰب‬
ۚۡ‫ا َملَ َك ۡت أَ ۡي ٰ َمنُ ُكم‬GG‫ َدةً أَ ۡو َم‬G‫وا فَ ٰ َو ِح‬
٣ ‫وا‬ ْ ُ‫ٰ َذلِكَ أَ ۡدن ٰ َٓى أَاَّل تَعُول‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga, atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’ (4): 3).35

34
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, 86.
35
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, 77.
Ayat tersebut di atas menggunakan kata tuqsithu dan

ta’dilu yang keduanya diterjemahkan sebagai adil. Ada Ulama

yang mempersamakan maknanya dan ada pula yang

membedakannya dengan berkata bahwa tuqsithu adalah berlaku

adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan

keduanya senang. Sedang adil adalah berlaku baik terhadap orang

lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak

menyenangkan salah satu pihak. Firman-Nya ma malakat

aimanukum yang diterjemahkan dengan hamba sahaya perempuan

yang kamu miliki, menunjuk kepada satu kelompok masyarakat

yang ketika itu yang merupakan salah satu fenomena umum

masyarakat di seluruh dunia. Allah SWT dan Rasul-Nya tidak

merestui perbudakan, meski dalam saat yang sama harus pula

diakui, bahwa Al-Qur’an dan Hadits tidak mengambil langkah

drastis untuk menghapuskannya sekaligus.

Al-Qur’an dan hadits menutup semua pintu untuk lahir dan

berkembangnya perbudakan kecuali satu pintu, yakni tawanan,

yang diakibatkan oleh peperangan dalam rangka mempertahankan

diri dan akidah, itu pun disebabkan karena ketika itu demikianlah

perlakukan manusia terhadap tawanan perangnya. Namun, kendati

tawanan perang diperkenankan untuk diperbudak, tapi perlakuan

terhadap mereka sangat manusiawi, bahwa Al-Qur’an memberikan

peluang kepada penguasa Muslim untuk membebaskan mereka


dengan tebusan atau tanpa tebusan, berbeda dengan sikap umat

manusia ketika itu.36

ْ Gُ‫تُمۡ ۖ فَاَل تَ ِميل‬G‫ص‬


‫ َّل‬G‫وا ُك‬G ْ ُ‫ ِدل‬G‫َولَن ت َۡست َِطيع ُٓو ْا أَن ت َۡع‬
ۡ ‫و َح َر‬Gۡ Gَ‫ٓا ِء َول‬G‫وا بَ ۡينَ ٱلنِّ َس‬
‫ورا‬G ْ Gُ‫ُوا َوتَتَّق‬
ٗ Gُ‫انَ َغف‬GG‫إ ِ َّن ٱهَّلل َ َك‬G َ‫وا ف‬G ْ ‫لِح‬G ‫ص‬ ۡ ُ‫ۡٱل َم ۡي ِل فَتَ َذرُوهَا َك ۡٱل ُم َعلَّقَ ۚ ِة َوإِن ت‬
١٢٩ ‫َّح ٗيما‬ ِ ‫ر‬
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan
jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ (4): 129).37

Setelah menganjurkan ihsan kepada pasangan atau paling

tidak berlaku adil, dijelaskan, bahwa keadilan harus ditegakkan,

walaupun bukan keadilan secara mutlak, apalagi dalam kasus-

kasus poligami. Poligami sering kali menjadikan suami berlaku

tidak adil. Di sisi lain, kerelaan perempuan untuk dimadu dapat

juga merupakan bentuk perdamaian demi memelihara perkawinan.

Suami diingatkan untuk dapat berlaku adil, lebih-lebih apabila

berpoligami, maka melalui ayat tersebut di atas, para suami diberi

kelonggaran, sehingga keadilan yang dituntut bukanlah keadilan

secara mutlak.

Ayat tersebut di atas, menegaskan, bahwa kamu wahai para

suami, sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, yakni tidak dapat

mewujudkan dalam hatimu walaupun kamu ingin berbuat

demikian, karena cinta di luar kemampuan manusia untuk

36
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Jilid 2, 338-
339.
37
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, 99.
mengaturnya. Oleh karena itu, berlaku adillah sekuat

kemampuanmu, yakni dalam hal-hal yang bersifat material, dan

kalau hatimu lebih mencintai salah seorang atas yang lain, maka

aturlah sedapat mungkin perasaanmu sehingga janganlah kamu

terlalu cenderung kepada istri yang kamu cintai serta memumpuk

semua cintamu kepadanya.38

Adapun dasar hukum diperbolehkannya praktik poligami

dalam Hadits adalah Hadits Riwayat Abu Hurairah r.a. sebagai

berikut:

ٌ ِ‫ان َفلَ ْم َي ْع ِد ُل َبْيَن ُه َما َجاءَ َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة َو ِشقُّهُ َساق‬
ِ َ‫الرجل امرأَت‬ ِ ِ
‫ط‬ َ ْ َ ُ َّ ‫إذَا َكا َن عْن َد‬.
“Jika seorang laki-laki memilik dua istri, namun dia tidak berbuat
adil, niscaya akan datang pada Hari Kiamat dengan keadaan
miring (tubuhnya).”39

Berdasarkan hadits tersebut, bahwa suami haruslah dapat

berlaku adil kepada istri-istrinya. Apabila tidak dapat berlaku adil,

maka sewaktu Kiamat datang dan manusia berkumpul di Padang

Mahsyar, akan terlihat separuh pundak laki-laki yang tidak dapat

berlaku adil tersebut turun sebelah atau miring. Keadilan yang

dimaksud adalah keadilan dalam nafkah (sandang, pangan, dan

papan) serta membagi giliran waktu untuk bermalam.

ِ ‫ي عن س امِلِ بنِعب ِد‬ ِ ِ‫ح َّدثَنا هنَّاد ح َدثَنا عب َدةُ عن س ع‬


‫اهلل‬ ْ َ ْ َ ْ َ ِّ ‫الز ْه ِر‬ ُّ ‫يد بْ ِن أَيِب َعُروبَةَ َع ْن َم ْع َم ٍر َع ْن‬ َ ْ َ َْ َ َ ٌ َ َ َ
ِ ِِ ٍ ِ ِ َّ َ‫َن َغياَل ن بن س لَمة‬
ُ‫َس لَ ْم َن َم َع ه‬ ْ ‫َس لَ َم َولَ هُ َع ْش ُر ن ْس َوة يِف اجْلَاهليَّة فَأ‬ ْ ‫الش َقف َّي أ‬ َ َ َ ْ ْ َّ ‫َعن ابْ ِن عُ َم َر أ‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن َيتَ َخَّيَر أ َْر َب ًعا ِمْن ُه َّن‬
َ ُّ ‫فَأ ََمَرهُ النَيِب‬.
38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Jilid 2, 606-
607.
39
Muhammad bin Kamal Khalid As-Suyuthi, Kumpulan Hadits yang Disepakati Empat Imam: Abu
Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 261.
“Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan
kepada kami ‘Abdah dari Sa’id bin Abu ‘Arubah dari Ma’mar dari
Az-Zuhri dari Salim bin Abdullah dari Ibnu Umar bahwa Ghailan
bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki
sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk
Islam juga. Nabi SAW. menyuruhnya agar memilih empat orang
dari mereka.”40

Berdasarkan hadits tersebut di atas, bahwa Islam

memperbolehkan praktik poligami, namun dibatasi jumlah istrinya

hanya empat orang saja. Karena pada hadits tersebut, Ghailan telah

masuk Islam bersaman dengan sepuluh orang istrinya, kemudian

Nabi Muhammad SAW menyuruhnya untuk memilih empat orang

dan menceraikan yang lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami,

bahwa Islam membolehkan praktik poligami hanya sampai dengn

empat orang istri saja dengan syarat-syarat yang ketat, seperti

keharusan berlaku adil terhadap istri-istrinya. Berbuat adil terhadap

istri-istri tidak mungkin untuk dapat dilakukan apabila hal tersebut

menyangkut persoalan hati. Karena persoalan hati di luar

kemampuan manusia itu sendiri. Namun, keadilan yang harus

terpenuhi adalah adil dalam segi materi (sandang, pangan, dan

papan) dan pembagian hari, sehingga dapat mensejahterakan

kehidupan istri-istrinya secara adil.

3. Keadilan

a. Pengertian Keadilan

40
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
865-866.
Keadilan berdasarkan segi bahasa berarti berdiri lurus

menyamakan, netral, insyaf, tebusan, pertengahan, dan seimbang

atau sebanding. Dalam hal ini, terdapat dua bentuk kesimbangan,

dalam bahasa Arab dibedakan antara al-‘adlu yang berarti

keseimbangan abstrak dan al-‘idlu yang berarti keseimbangan

konkret dalam wujud benda. Misalnya, al-‘idlu menunjuk pada

keseimbangan pikulan antara bagian depan dan belakang,

sedangkan al-‘adlu menunjuk pada keseimbangan abstrak, tidak

konkret, yang muncul karena adanya persamaan manusia.41

Adapun kata adil dalam bahasa Inggris adalah justice, di

mana artinya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam

hal ini, adil tidak berarti sama, namun memberikan hak-hak yang

dimiliki oleh seseorang sesuai dengan fungsi dan peranannya.42

Lebih jauh, dikatakan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia,

bahwa keadilan adalah sendi pokok dalam hukum. Perbedaan

tingkat dan kedudukan sosial, perbedaan derajat dan keturunan,

tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk membedakan hak

seseorang di hadapan hukum, baik hukum Tuhan maupun hukum

yang dibuat oleh manusia.43

Kehendak atau kepentingan setiap individu maupun

masyarakat atau berdasarkan kepentingan golongan yang satu dari

41
Noordjanah Djohantini, Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban
Kekerasan Demi Keadilan, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009), 29.
42
Attabik Ali, Kamus Inggris-Indonesia-Arab, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), 690.
43
Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1980), 87.
golongan yang lain atau bagi generasi yang satu atas generasi yang

lain, masing-masing mereka memiliki hak dan kewajiban sendiri-

sendiri berdasarkan keadilan dan persamaan. Islam melaksanakan

terwujudnya keadilan sosial dengan tetap memelihara unsur-unsur

dasar dalam fitrah manusia, namun tidak pula menutup mata

terhadap kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang.44

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami,

bahwa keadilan merupakan sebuah bentuk tindakan yang

memberikan perlakuan yang sama kepada setiap orang dalam

situasi yang sama. Karena pada hakikatnya, setiap manusia itu

mempunyai kedudukan dan nilai yang sama sebagai manusia.

Namun, pada persoalan-persoalan tertentu atau pada kondisi-

kondisi tertentu, terkadang diperlukan perlakuan yang tidak sama

dalam rangka mencapai apa yang disebut sebagai suatu bentuk

keadilan.

b. Dasar Hukum Keadilan

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam menunjukkan

praktik penegakan keadilan, menghargai dan mengangkat derajat

orang-orang yang berlaku adil, serta melarang dan mencela tindak

terhadap ketidakadilan. Al-Qur’an juga menempatkan keadilan

sebagai asas yang harus dipegang oleh setiap manusia dalam

seluruh aktivitas kehidupannya.

44
Sayyid Qutub, Keadilan Sosial dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), 33-35.
Adil merupakan kebajikan yang paling dekat dengan takwa,

karena keadilan merupakan refleksi dari ketakwaan. Hal ini

sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Ma’idah ayat 8

sebagai berikut:

ۡ‫ ِر َمنَّ ُكم‬G‫ ِۖط َواَل يَ ۡج‬G‫هَدَٓا َء بِ ۡٱلقِ ۡس‬G‫ ٰ َّو ِمينَ هَّلِل ِ ُش‬Gَ‫وا ق‬G
ْ Gُ‫وا ُكون‬G ْ Gُ‫ا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬GGَ‫ٰيَٓأَيُّه‬
ْ ُ‫وا هُ َو أَ ۡق َربُ لِلتَّ ۡق َو ٰ ۖى َوٱتَّق‬
َ ‫وا ٱهَّلل ۚ َ إِ َّن ٱهَّلل‬ ْ ُ‫ٱع ِدل‬ۡ ‫وا‬ْ ۚ ُ‫ان قَ ۡو ٍم َعلَ ٰ ٓى أَاَّل ت َۡع ِدل‬
ُ َGَٔ‫َشٔ‍ن‬
٨ َ‫َخبِي ۢ ُر بِ َما ت َۡع َملُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah (5): 8).45

Surat Al-Ma’idah ayat 8 ini masih merupakan lanjutan-

lanjutan pesan-pesan Ilhai, karena sebelum ini, telah ada perintah

untuk berlaku adil terhadap istri-istri, yakni pada awal surat akan

ada di pertengahan surat nanti, sedang ada di antara istri-istri itu

yang non-Muslim karena surat ini pun telah mengizinkan untuk

mengawininya, maka adalah sangat sesuai apabila izin tersebut

disusuli dengan perintah untuk bertakwa. Karena itu, ayat ini

menyeru: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu

menjadi Qawwamin, yakni orang-orang yang selalu dan

bersungguh-sungguh menjadi pelaksana yang sempurna terhadap

tugas-tugas kamu, terhadap perempuan, dan lain-lain dengan

menegakkan kebenaran demi karena Allah SWT, serta menjadi

45
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, 108.
saksi dengan adi. Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu

terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,

baik terhadap keluarga istri kamu yang non-Muslim itu maupun

terhadap selain mereka. Berlaku adillah, terhadap siapa pun walau

atas dirimu sendiri karena ia, yakni adil itu lebih dekat kepada

takwa yang sempurna, dari pada selain adil. Dan bertakwalah

kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa

yang kamu kerjakan.46

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami,

bahwa Allah SWT memerintahkan kepada umat manusia untuk

menegakkan keadilan, baik dalam urusan umum maupun

kehidupan keluarga. Adapun keadilan terhadap perempuan

menempati jawaban bagi perlakuan tidak adil terhadap perempuan

yang terjadi pada zaman Jahiliyah. Dengan demikian, Al-Qur’an

memerintahkan agar keadilan menjadi dasar hubungan antara laki-

laki dan perempuan di wilayah publik maupun domestik.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun karya ilmiah

berbentuk Skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research), yakni

suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau lokasi penelitian atau

46
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an) Jilid 3, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 41.
suatu tempat yang dipilih sebagai lokasi untuk menyelidiki gejala

objektif.47

Penelitian lapangan ini dilakukan untuk mengamati,

menganalisis, dan mengetahui persepsi suami/istri poligami terhadap

nilai keadilan dalam keluarga (studi kasus di Kecamatan Sukadana,

Lampung Timur).

Sifat penelitian ini adalah deskriptif, yakni mengumpulkan

data dalam bentuk kata-kata atau gambaran keadaan suatu objek

sehingga tidak menekankan pada angka.48 Peneliti bermaksud untuk

mendeskripsikan realitas objek yang akan diteliti, yakni mengenai

persepsi suami/istri poligami terhadap nilai keadilan dalam keluarga

(studi kasus di Kecamatan Sukadana, Lampung Timur).

2. Sumber Data

Sumber data adalah rekaman atau gambaran atau keterangan

suatu hal atau fakta. Apabila data tersebut diolah, maka ia akan

menghasilkan informasi. Jadi, yang dimaksud dengan sumber data

dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data tersebut diperoleh. 49

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data, di

antaranya:

a. Sumber data hukum primer, adalah sumber data yang langsung

memberikan data kepada pengumpul data untuk tujuan penelitian. 50

47
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2006), 96.
48
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), 13.
49
Ibid., 308.
50
Ibid., 225.
Adapun yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah

suami/istri poligami yakni Bapak R dan Bapak W sebagai Suami

Poligami, Ibu D, Ibu T, dan Ibu F sebagai Istri yang Dipoligami,

Bapak I sebagai Tokoh Masyarakat, dan Bapak H sebagai Tokoh

Agama di Kecamatan Sukadana, Lampung Timur.

b. Sumber data hukum sekunder, adalah sumber data yang tidak

langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya

melalui orang lain atau melalui dokumen.51 Adapun yang menjadi

sumber sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku yang

berkaitan dengan persepsi suami/istri poligami terhadap nilai

keadilan dalam keluarga, di antaranya:

1) Abdullah, Boedi dan Ahmad Saebani, Beni. Perkawinan dan

Perceraian Keluarga Muslim. Bandung: Pustaka Setia, 2013.

2) Rahman Ghazali, Abdul. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana,

2015.

3) Shidiq, Sapiudin. Fiqh Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2017.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling

strategis dalam suatu penelitian, karena tujuan utama dari penelitian

adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan

data, maka penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi

51
Ibid.
standar yang ditetapkan.52 Teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini, di antaranya:

a. Wawancara, adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya-

jawab lisan yang berlangsung secara satu arah, pertanyaan tersebut

datang dari pihak yang mewawancarai dan jawaban yang diberikan

oleh pihak yang diwawancarai.53 Jenis wawancara yang digunakan

dalam penelitian ini adalah wawancara langsung, yakni wawancara

yang dilakukan secara tatap muka.

Dalam metode ini, pewawancara langsung bertatap muka

dengan pihak yang diwawancarai.54 Sampel yang digunakan adalah

teknik purposive sampling, yakni teknik yang digunakan dengan

menunjuk langsung siapa saja yang akan menjadi sampel dalam

penelitian, tetapi pemilihannya didasarkan dengan tujuan spesifik

dari penelitian yang dilakukan.55 Teknik pengumpulan data

menggunakan metode wawancara ini ditujukan kepada suami/istri

poligami di Kecamatan Sukadana, Lampung Timur.

b. Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-

barang tertulis. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi,

pengumpul data menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-

52
Ibid., 224.
53
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, 105.
54
Ibid., 108.
55
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, 124.
buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat,

catatan harian, dan lain sebagainya.56

Teknik pengumpulan data menggunakan metode

dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data sekunder,

yakni mengumpulkan informasi yang dibutuhkan terkait dengan

persepsi suami/istri poligami terhadap nilai keadilan dalam

keluarga (studi kasus di Kecamatan Sukadana, Lampung Timur)

dan dokumen lainnya di lapangan.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini

adalah analisis kualitatif, yakni melakukan pendekatan terhadap

sumber primer dan sumber sekunder yang mencakup isi dan struktur

hukum, yakni suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti untuk

menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan sebagai

rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi

objek kajian.57

Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti selanjutnya

dianalisa dengan teknik analisa berpikir induktif. Teknik analisa

berpikir induktif adalah analisa yang berpihak pada fakta-fakta yang

bersifat khusus, kemudian diteliti, dan akhirnya ditemui pemecahan

permasalahan yang bersifat umum.58

56
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2010), 158.
57
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 107.
58
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 21.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, berkaitan dengan teknik

analisis data, peneliti menggunakan data yang telah diperoleh,

kemudian data tersebut dianalisis dengan menggunakan cara berpikir

induktif yang berangkat dari informasi mengenai persepsi suami/istri

poligami terhadap nilai keadilan dalam keluarga mengenai persepsi

suami/istri poligami terhadap nilai keadilan dalam keluarga (studi

kasus di Kecamatan Sukadana, Lampung Timur).

F. Penelitian Relevan

Adapun hasil penelitian terdahulu adalah sebagai berikut:

1. Muhammad Najmul Walid, dalam Skripsinya yang berjudul:

“ANALISIS IZIN POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA (Studi

Putusan Hakim tentang Izin Poligami di Pengadilan Agama Semarang

Tahun 2016. Adapun hasil penelitiannya menyatakan bahwa,

penerapan terhadap syarat-syarat poligami di Pengadilan Agama

Semarang tidak bersifat kaku. Hal ini tentunya dikarenakan terdapat

latar belakang serta keadaan yang berbeda dengan apa yang telah

undang-undang tetapkan. Apabila dalam suatu perkara tidak memenuhi

syarat alternatif, Hakim di dalam pertimbangannya, dapat

menggunakan syarat kumulatif. Tidak dipenuhinya syarat alternatif,

seharusnya berimbas dengan tidak akan ada izin yang diperoleh

seseorang ketika mengajukan izin poligami. Hal inilah yang kemudian

menjadikan Hakim berijtihad keluar dari konteks undang-undang

dengan melakukan penafsiran maupun contra legem sebagaimana yang


telah ditentukan di dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Islam telah mengatur

perihal poligami dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, seperti

pemenuhan sikap adil dan mampu. Tentunya, tidak setiap kasus

poligami di Pengadilan Agama Semarang dilatarbelakangi oleh alasan

sebagaimana Islam telah gariskan, tetapi bermacam-macam. Hukum

Islam tentunya tidak bersifat memberatkan, tetapi bersifat

memudahkan. Hal inilah yang di dalam penerapan syarat poligami,

hakim mempertimbangkan juga dalam hukum Islam, selain berpaku

terhadap pemenuhan hukum positif seperti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Pemenuhan terhadap aspek maslahat dan menghilangkan

aspek mafsadat turut melatrbelakangi terhadap pertimbangan hukum

yang dikeluarkan oleh majelis hakim yang tentunya sejalan dengan

hukum Islam yang bertujuan untuk meraih kemaslahatan, meringankan

beban, serta kebahagiaan.59

2. Zulfa Hudaya, dalam Skripsinya yang berjudul: “POLIGAMI DALAM

PERSEPSI DAN PRAKTIK MUSLIMAH JAMAAH TABLIGH DI

KECAMATAN SUMOWONO, KABUPATEN SEMARANG”.

59
Muhammad Najmul Walid, “Analisis Izin Poligami Di Pengadilan Agama (Studi Putusan Hakim
tentang Izin Poligami di Pengadilan Agama Semarang Tahun 2016),” Skripsi, (Semarang: Universitas Islam
Negeri Walisongo, 2017).
Adapun hasil penelitiannya menyatakan bahwa, Muslimah Jamaah

Tabligh memahami poligami, yaitu pernikahan yang dilakukan laki-

laki terhadap dua perempuan atau lebih dalam satu waktu dan memiliki

syarat tertentu untuk melakukannya. Mayoritas Muslimah Jamaah

Tabligh sepakat dengan poligami, karena memang dalam Al-Qur’an

telah diajarkan dan Muslimah Jamaah Tabligh sendiri adalah jamaah

yang berusaha untuk mengamalkan ajaran di dalam Al-Qur’an maupun

Hadits, sehingga Muslimah yang sering mengikuti kajian malam

Jum’at Wage, kebanyakan mereka sepakat dengan poligami, namun

sebagian dari mereka ada yang melakukan dan ada yang belum.

Mereka beranggapan, dengan melakukan poligami akan menggapai

Jannah-Nya, menegakkan Sunnah Rasul, serta tunduk dan patuh

terhadap suami. Adapula yang tidak sepakat, hal tersebut didasarkan

pada alasan rasionalitas dan emosional. Muslimah yang melakukan

atau praktik poligami ada dua keluarga, hal ini dilakukan dikarenakan

tidak mempunyai anak, mempertahankan dakwah di kalangan mereka

dengan memperbanyak keturunan, dan menghindari mudharat yang

lebih besar. Adapula Muslimah yang melakukan praktik poligami

dengan prinsip tolong-menolong, sehingga akan meraih Jannah-Nya

kelak dan bisa membantu suami untuk menyebarluaskan pendidikan

dalam agama Islam.60

60
Zulfa Hudaya, “Poligami Dalam Persepsi Dan Praktik Muslimah Jamaah Tabligh Di Kecamatan
Sumowono, Kabupaten Semarang,” Skripsi, (Salatiga: Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2018).
3. Harun Fadli, dalam Skripsinya yang berjudul: “KONSEP ADIL

DALAM POLIGAMI (Studi terhadap Pemikiran Dosen Fakultas

Syari’ah, Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung)”. Adapun

hasil penelitiannya menyatakan bahwa, konsep adil dalam poligami

menurut pemikiran para dosen tidak hanya susah dijalani, tetapi lebih

banyak mengandung kemudharatan daripada kebaikannya, karena

poligami merupakan suatu pernikahan yang banyak ditentang kaum

perempuan, disebabkan hanya akan merugikan kehidupan keluarga

yang menjalankan poligami, susahnya tercipta kehidupan yang

harmonis, karena manusia pada hakikatnya akan merasa selalu

kekurangan. Adil dalam poligami sangat sulit untuk dijalani pada

kehidupan zaman sekarang, dikarenakan yang menjalani poligami

sendiri sebagian besar hanya mencari kepuasan duniawi semata. Selain

itu, di dalam Islam, membolehkan poligami, namun pada praktiknya

dari hukum Islam sendiri, persyaratan untuk berpoligami adalah dapat

berlaku adil atau dapat menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya.61

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu tersebut di atas, maka

dapat diketahui, bahwa penelitian ini memiliki satu persamaan, yakni

sama-sama meneliti mengenai konsep poligami. Adapun perbedaannya di

sini, peneliti memfokuskan pada persepsi suami/istri poligami terhadap

nilai keadilan dalam keluarga.

G. Outline

61
Harun Fadli, “Konsep Adil Dalam Poligami (Studi terhadap Pemikiran Dosen Fakultas Syari’ah,
Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung),” Skripsi, (Lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan,
2017).
OUTLINE

PERSEPSI SUAMI/ISTRI POLIGAMI TERHADAP NILAI


KEADILAN DALAM KELUARGA
(Studi Kasus di Kecamatan Sukadana)

HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL

HALAMAN NOTA DINAS

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN ABSTRAK

HALAMAN ORISINALITAS PENELITIAN

HALAMAN MOTTO

HALAMAN PERSEMBAHAN

HALAMAN KATA PENGANTAR

HALAMAN DAFTAR ISI

HALAMAN DAFTAR TABEL

HALAMAN DAFTAR GAMBAR

HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

2. Manfaat Penelitian
D. Kerangka Teori

1. Persepsi Suami-Istri

a. Pengertian Persepsi

b. Suami-Istri

c. Hak dan Kewajiban Suami-Istri

2. Poligami

a. Pengertian Poligami

b. Poligami dalam Islam

c. Dasar Hukum Poligami

3. Keadilan

a. Pengertian Keadilan

b. Dasar Hukum Keadilan

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

2. Sumber Data

3. Teknik Pengumpulan Data

4. Teknik Analisis Data

F. Penelitian Relevan

G. Outline

H. Rancangan Waktu Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kecamatan


Sukadana
B. Persepsi Suami/Istri terhadap
Nilai Keadilan dalam Keluarga
C. Analisis Persepsi Suami/Istri
terhadap Nilai Keadilan dalam Keluarga di
Kecamatan Sukadana, Lampung Timur

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Penutup

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

H. Rancangan Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan oleh untuk mengadakan penelitian yaitu

pada bulan September 2020-Juni 2021 dalam rangka menggali informasi

serta menganalisis mengenai persepsi suami/istri poligami terhadap nilai

keadilan dalam rumah tangga di mana lokasi penelitian bertempat di

Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur.

Anda mungkin juga menyukai