Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Poligami merupakan suatu tindakan yang saat ini masih menjadi pro kontra di
masyarakat. Hal ini dikarenakan perbedaan pendapat/pandangan masyarakat.
Masih banyak yang menganggap poligami adalah suatu perbuatan negatif.

Hal ini terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya
menguntungkan bagi kaum pria saja. Tujuan hidup keluarga adalah untuk
mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya Poligami yang
dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat menjadi hilang. Hal ini
tentunya merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya karena mereka
beranggapan tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami. 

Pandangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun


juga ada yang tidak setuju atau menentang terlebih lagi bagi kaum hawa yang
merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi
dengan perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan poligami. Berdasarkan
uraian itulah saya memilih judul “ Poligami Dalam Perspektif 3 Madzhab”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi poligami?


2. Apa dasar hukum poligami?
3. Apa saja permasalahan yang sering muncul dalam poligami?
4. Apa pendapat 3 Imam Madzhab mengenai poligami?
5. Apa pendapat penulis mengenai poligami?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Poligami

Kata poligami terdiri dari dua kata poli dan gami. Secara etimologi, poli


artinya banyak dan gami artinya istri. Jadi poligami itu artinya beristri banyak.
Secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu
istri. Atau, seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling
banyak empat orang.1
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani , polus  yang artinya
banyak,dan gamein yang artinya kawin. Jadi, poligami artinya kawin banyak atau
suami beristri banyak pada saat yang sama. Dalam bahasa arab poligami disebut
dengan ta’did al-zawjah (berbilangnya pasangan). Dalam bahasa indonesia
disebut permaduan.
Poligami adalah perkawinan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan
lebih dari seorang, dan seorang perempuan memiliki suami lebih dari seorang.
Adapun konsep perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki kepada perempuan
lebih dari seorang disebut poligini. Apabila perempuan bersuami lebih dari
seorang disebut poliandri. Menurut ajaran islam, yang kemudian disebut dengan
syariat islam (hukum islam), poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang
dibolehkan atau mubah. Dengan demikian, meskipun dalam surat An Nisa’ ayat 3
ada kalimat fankihu kalimat amr tersebut berfaedah kepada mubah bukan wajib,
dapat direlevansikan dengan kaedah ushul fiqh yang berbunyi, al-ash fi al-amr al-
ibahah hatta yadula dalilu ‘ala al-tahrim (asal dari sesuatu itu boleh, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya).2
Dalam hukum islam, poligami dipandang sebagai proses kepemimpinan laki-
laki atau suami dalam rumah tangganya. Apabila seorang suami yang poligami
tidak mampu melaksanakanprinsip keadilan dalam rumah tangga, ia tidak

1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 129.
2
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani,  Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim, (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), h. 30.

2
mungkin dapat melaksanakan keadilan jika menjadi pemimpin pada masyarakat.
Sebagaimana jika seorang suami sewenang-wenang kepada istri-istrinya, sebagai
pemimpin akan berbuat kezaliman kepada rakyatnya.
Muhammad Abduh mengatakan dalam Tafsir Al-Manar yang ditulis oleh
Muhammad Rasyid Ridha, “Meskipun agama islam membuka jalan bagi
poligami, tetapi jalan itu sangat disempitkan, sehingga poligami hanya dapat
dibenarkan untuk dikerjakan dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, poligami
hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang terpaksa serta meyakini bahwa dia
sanggup berlaku adil”.3

B. Dasar Hukum Poligami


1. An-Nisa ayat 3

‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬


ۡ ‫اب لَمُك ِ ّم َن ل ِن ّ َسٓا ِء َمثۡىَن ٰ َوثُلَٰ َث َو ُربَٰ َ ۖع فَ ۡن ِخ ۡفمُت‬ َ ‫َو ۡن ِخ ۡفمُت ۡ َأاَّل تُ ۡق ِس ُطو ْا يِف لۡ َي َتٰ َم ٰى فَ ن ِك ُحو ْا َما َط‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
ۚ َ
‫َأاَّل تَ ۡع ِدلُو ْا فَ َ ٰو ِحدَ ًة َأ ۡو َما َمل َك ۡت َأيۡمَٰ ُنمُك ۡ َذٰكِل َ َأ ۡدىَن ٰ ٓ َأاَّل تَ ُعولُو ْا‬
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S An-Nisa. 3)

Ayat tersebut menurut Khazim Nasuha merupakan ayat yang


memberikan pilihan kepada kaum laki-laki bahwa menikahi anak yatim
dengan rasa takut tidak berlaku adil karena keyatimannya atau menikahi
perempuan yang disenangi hingga jumlahnya empat. Akan tetapi, jika
semuanya dihantui rasa takut tidak berlaku adil, lebih baik menikah dengan
seorang perempuan atau hamba sahaya, karena hal itu menjauhkan diri dari
berbuat aniaya.

3
Ibid, h. 31

3
4
2. Hadits Nabi

“Rasulullah SAW. Selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil.


Dan beliau pernah berdoa, ‘Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku
kerjakan. Oleh karena itu, janganlah Engkau mencelaku tentang apa
yang Engkau kuasai, sedangkan aku tidak menguasainya.’ Abu Dawud
berkata, ‘yang dimaksud dengan Engkau kuasai, tetapi aku tidak
menguasainya adalah hati ’.” (HR. Abu Dawud dari Siti Aisyah)

Hadis-hadis yang telah dikemukakan tersebut merupakan dasar


hukum poligami. Beristri lebih dari seorang dilakukan oleh para sahabat
dan Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah digambarkan dalam hadis
tersebut tentang tata cara mempraktikkan keadilan dalam poligami.
Rasulullah membagi nafkah lahiriah keluarganya menurut
kemampuannya. Sementara keadilan dalam ha;l “hati” beliau
menyatakan tidak mempunyai kemampuan untuk menguasainya.
Rasulullah hanya mampu melaksanakan keadilan dalam pemberian
nafkah lahir dan batin, tetapi untuk hal cinta dan kasih sayang beliau
menyatakan tidak mampu.4

3. Kompilasi Hukum Islam BAB IX (Beristri Lebih Dari Satu Orang)


Pasal 55 ayat (1-3)
1) Beristri lebih dari satu orang pada aktu yang bersamaan, terbatas
hanya sampai empat orang.
2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari satu orang.5

4
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Op Cit, h. 38
5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2018) h 126

5
C. Permasalahan Dalam Poligami

Poligami adalah masalah yang sering diperhatikan di Indonesia, salah satu


negara yang memperbolehkan poligami dengan syarat tertentu. Poligami memang
termasuk ajaran agama Islam, agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Namun demikian, pemahaman orang Islam terhadap poligami dalam
ajaran agama berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa poligami dianjurkan
dalam keadaan tertentu; ada juga yang percaya bahwa poligami seharusnya
ditinggalkan pada masa kini.
Dalam media massa Indonesia, sering ada berita tentang poligami. Kasus
Aa Gym, seorang kyai dari Bandung yang menikah lagi pada tahun 2006, memicu
perdebatan luas dalam masyarakat Indonesia tentang topik yang kontroversial ini.
Hasil dalam penelitian adalah bahwa keputusan untuk berpoligami adalah
merupakan pilihan rasional yang dianggap merupakan solusi yang tepat dalam
mengakhiri setiap permasalahan yang terus-menerus yang tidak mempunyai
harapan lagi untuk bisa dipertahankan. Berbagai faktor yang membuat suami
berpoligami yaitu terjadinya konflik dimana dalam sebuah keluarga tersebut tidak
dikaruniai anak, takut terjadi perzinahan misalnya istrinya menderita penyakit
berkepanjangan, atau sudah tidak bisa lagi memenuhi keperluan seksual
suaminya, suami merasa mampu secara fisik maupun ekonomi sehingga
membuatnya ingin menikah lagi.
Faktor yang membuat istri mau dipoligami yaitu dilatarbelakangi oleh
beberapa alasan yaitu ingin menjaga nama baik dan martabat keluarga,
ketergantungan secara ekonomi pada suami, kepentingan anak, ingin menjadi istri
yang soleha yang berbakti pada suaminya, menjaga keutuhan dan kebahagian
keluarga dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak keharmonisan keluarga
seperti perselingkuhan dan perbuatan zina dan poligami dianggap sebagai suatu
suratan nasib. Dan pandangan masyarakat terhadap poligami berbeda-beda, ada
yang pro ada pula yang kontra, ada yang pro tetapi tidak mau melaksanakan atau
tidak berani melaksanakan karena pertimbangan tertentu, ada pula yang kontra

6
memang benar-benar tidak setuju dan ada pula yang tidak setuju tetapi bersikap
toleran kepada yang melaksanakannya.

D. Pendapat Ulama Madzhab

Dalam konteks fiqh, Imam besar madzhab seringkali berbeda pendapat


dalam menanggapi suatu permasalahan yang terjadi. Begitu pula dalam
permasalahan poligami. Di bawah ini akan diuraikan pendapat 3 Imam Madzhab
tentang poligami.

1. Imam Syafi’i
Imam Syafi’I menegaskan pada kasus poligami ini beliau mencoba
mentransformasikan hadis dalam praktik Nabi Muhammad SAW
terhadap wahyu yang diturunkan. Kemudian pada kasus poligami ini,
Nabi sedang mengejawantahkan QS. An-Nisa 2-3 mengenai
perlindungan terhadap janda mati dan anal-anak yatim. Kebanyakan
istri nabi adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakar ra.
Sayid Sabiq, memaparkan Imam Syafi’I berkata bahwa masalah
poligami telah ditunjukkan oleh sunah Rasulullah SAW tidak ada
seorang pun yang dibenarkan kawin lebih dari empat perempuan.
Seperti dijelaskan dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’I menyatakan
turunnya ayat tentang pembolehan poligami ini adalah sesuai dengan
firman Allah SWT (QS An-Nisa’: 3) : “Maka kawinilah wanita-wanita
yang kamu senangi: dua, tiga dan empat”.pada saat ayat ini
diturunkan, masyarakat Arab memiliki istri yang tidak dapat dihitung
dengan jari dan budak-budak wanita tidak wanita yang tidak terbatas
jumlahnya. Dengan turunnya ayat ini, Al-Qur’an melarang seluruh
umat islam untuk menikah lebih dari empat orang (kekhususan hanya
diberikan kepada Rasulullah SAW).
Lebih lanjut Imam Syafi’I juga memberikan saran, apabila tidak
bias berlaku adil hendaknya beristri satu saja itu lebih baik. Para ulama
ahli sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami

7
mempunyai istri lebih dari empat maka hukumnya haram. Dan
perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah,
kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu
telah habis pula masa iddah-nya. Dalam masalah membatasi istri
empat orang saja, Imam Syafi’I berpendapat bahwa hal tersebut telah
ditunjukkan oleh sunah Rasullullah saw sebagai penjelasan dari firman
Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan
nikah lebih dari empat perempuan. Sedangkan pada ayat “dzalika
‘adna alla ta‘ulu” dipahami oleh Imam Syafi’I dalam arti tidak banyak
tanggungan kamu. Ia terambil dari kata ’alla ya’ulu yang berarti
“menanggung dan membelanjai”.
2. Imam Malik
Dalam hal poligami menurut Imam Malik apabila seorang suami
mempunyai istri lebih dari empat maka hukumnya haram. Dan
perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah,
kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu
telah habis pula masa iddah-nya. Dalam masalah membatasi istri
empat orang saja, merujuk pada Q.S An-Nisa 2-3.
Menurut Imam Malik seorang suami boleh memiliki isteri lebih
dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang isteri. Akan tetapi
kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara
perempuan-perempuan yang dinikahinya itu, baik dari nafkah atau
giliran malamnya.
3. Imam Hanafi
Imam Hanafi berpendapat bahwa poligami merupakan hal yang
dibolehkan secara mutlak oleh agama. meski menyinggung masalah
keadilan bagi istri yang dipoligami, namun hal tersebuthanya sebatas
keadilan yang bersifat lahiriah semata, seperti pembagian giliran,
pakaian, makanan serta pergaulan, dan bukan adil dalam hal psikis.
Hal ini yang membedakan pandangan Imam hanafi dengan Imam
syafii, beliau berpendapat meski tidak menyinggung soal keadilan

8
sebagaimana yang dilakukan oleh para mufasir kontemporer dalam
mengkaji masalah poligami, namun selama poligami itu dilakukan
dengan tidak melebihi dari empat orang istri, maka poligami
merupakan hal yang dibolehkan secara mutlak.
Imam Hanafi juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami
mempunyai istri lebih dari empat maka hukumnya haram. Dan
perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah,
kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu
telah habis pula masa iddah-nya. Dalam masalah membatasi istri
empat orang saja, Kosep keadilan dalam berpoligami juga tetap ada.6

E. Pendapat Penulis

Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh


dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan). Adapun makna perintah
dalam firman Allah Ta’ala,

‫اب لَمُك ْ ِم َن النِ ّ َسا ِٰء َمثْىَن َوثُاَل َث َو ُراَب َع‬


َ ‫َو ْٰن ِخ ْفمُت ْ َأاَّل تُ ْق ِس ُطوا يِف الْ َيتَا َمىٰ فَانْ ِك ُحوا َما َط‬
‫ِإ‬
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).

Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami,


karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-
Nya,

‫فَ ْٰن ِخ ْفمُت ْ َأاَّل ت َ ْع ِدلُوا فَ َوا ِحدَ ًٰة َأ ْو َما َملَ َك ْت َأيْ َمانُمُك ْٰ َذكِل َ َأ ْدىَن َأاَّل تَ ُعولُوا‬
‫ِإ‬

6
Bani Aziz Utomo, Konsep Adil Dalam Poligami Prespektif K.H Husein Muhammad, Soft File
Skripsi.

9
Artinya: “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun
berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu  larangan
menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil.

Dalam poligami banyak terdapat kemslahatan/kebaikan yang agung bagi


kaum laki-laki maupun permpuan, bahkan bagi seluruh umat Islam. Sebab
dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk
menundukkan pandangan, menjaga kemaluan (kesucian), memperbanyak
(jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin
beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta
menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan dan penyimpangan.  Adapun bagi
yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka
cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja).

Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan


sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Alla SWT. Semoga ini
semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama
islam, karena ditetapkan oleh Allah SWT yang Maha Sempurna semua sifat-
sifatnya.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata poligami terdiri dari dua kata poli dan gami. Secara etimologi, poli


artinya banyak dan gami artinya istri. Jadi poligami itu artinya beristri banyak.
Secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu
istri. Atau, seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling
banyak empat orang.

Ketiga Imam Madzhab (Syafi’I, Maliki, Hanafi) juga telah sepakat, bahwa
apabila seorang suami mempunyai istri lebih dari empat maka hukumnya haram.
Dan perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali
suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu telah habis pula masa
iddah-nya. Dalam masalah membatasi istri empat orang saja.
Menurut mereka seorang suami boleh memiliki isteri lebih dari satu tetapi
dibatasi hanya sampai empat orang isteri. Akan tetapi kebolehannya tersebut
memiliki syarat yaitu berlaku adil antara perempuan-perempuan yang dinikahinya
itu, baik dari nafkah atau giliran malamnya.
Dalam QS An-Nisa 3 disebutkan

‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬


ۡ ‫اب لَمُك ِ ّم َن ل ِن ّ َسٓا ِء َمثۡىَن ٰ َوثُلَٰ َث َو ُربَٰ َ ۖع فَ ۡن ِخ ۡفمُت‬ َ ‫َو ۡن ِخ ۡفمُت ۡ َأاَّل تُ ۡق ِس ُطو ْا يِف لۡ َي َتٰ َم ٰى فَ ن ِك ُحو ْا َما َط‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
ۚ َ
‫َأاَّل تَ ۡع ِدلُو ْا فَ َ ٰو ِحدَ ًة َأ ۡو َما َمل َك ۡت َأيۡمَٰ ُنمُك ۡ َذٰكِل َ َأ ۡدىَن ٰ ٓ َأاَّل تَ ُعولُو ْا‬
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya (Q.S An-Nisa. 3)

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003)

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo,

2018)

Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani,  Perkawinan Perceraian

Keluarga Muslim, (Bandung: Pustaka Setia, 2013)

12

Anda mungkin juga menyukai