Anda di halaman 1dari 8

Analisis Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Alasan/Prosedur Poligami

Nama : Lailatul Fitria

NIM : 2274230019

Prodi : Hukum Keluarga Islam

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA BLITAR

FAKULTAS AGAMA ISLAM

Abstrak

Artikel ini berisi tentang analisis tentang alasan serta prosedur poligami dalam perspektif fikih
serta hukum positif, yang tujuan utamanya adalah untuk memberikan edukasi terhadap
masyarakat mengenai permasalahan poligami. dimana poligami itu tidak dilarang asalkan
memiliki alasan yang tepat serta bukan untuk memperoleh kesenangan semata, dan juga
mendapatkan izin dari istri sah sebelumnya. Memang dalam UUP disebutkan bahwasanya asas
yang dianut merupakan asas monogami, dimana seorang suami hanya diperbolehkan memiliki
seorang istri dan begitupun sebaliknya, namun apabila ditinjau lebih dalam lagi, asas monogami
yang dianut bukanlah asas monogami mutlak melainkan monogami non mutlak, dimana dalam
pasal 4 UUP nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa diperbolehkannya poligami asalkan
dilakukan karena adanya persoalan dalam lingkup perkawinan, dimana seorang istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri, seorang istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan serta seorang istri tidak dapat melahirkan keturunan (mandul). Namun
dalam hal poligami ini tidak semata-mata kewenangan seorang suami, melainkan atas dasar izin
dari hakim (pengadilan) serta persetujuan dari seorang istri. Lalu dalam perspektif fikih,
poligami diperbolehkan apabila seorang suami dapat berperilaku adil serta tidak membeda-
bedakan antara satu dengan yang lainnya. Dalam perspektif fikih ini, poligami juga dibatasi
dimana hanya boleh menikahi sampai 4 orang wanita saja.

A.Pendahuluan
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan yang Maha Esa. Dalam Undang-undang Perkawinan
disebutkan, bahwasanya perkawinan dilakukan oleh seorang pria dan wanita. Setiap manusia
pasti mendambakan keluarga yang bahagia. Kebahagiaan perlu didukung dengan rasa cinta
terhadap pasangan. Cinta dan kasih sayang merupakan jembatan dari sebuah pernikahan dan
dasar dalam pernikahan adalah saling memberikan kebahagiaan. Pernikahan itu sendiri memiliki
berbagai jenis dalam masyarakat, namun yang paling populer diantaranya perkawinan monogami
dan perkawinan poligami. Dalam dua bentuk perkawinan ini, perkawinan monogami dianggap
paling sesuai untuk dilakukan. Perkawinan monogami ialah ikatan antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri, dimana pada prinsipnya suami hanya memiliki seorang istri saja.
Sedangkan perkawinan poligami merupakan suatu bentuk dari perkawinan yang berlaku dalam
islam, yaitu ikatan perkawinan yang dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang.
Dalam praktiknya melakukan pernikahan poligami tidaklah mudah, hal ini dikarenakan
banyaknya persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi seorang suami sebelum melakukan
poligami. Hal ini terjadi karena praktik poligami kerap di salah artikan oleh sebagian orang,
dimana konsep poligami yang telah berkembang suami dapat menikahi perempuan sampai
dengan empat orang tanpa meminta izin kepada istri dan tanpa memperhatikan syarat-syarat
yang telah ditentukan, baik yang disebutkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan di Indonesia maupun dalam hukum Islam. Selanjutnya ketidak pedulian
seorang suami yang hendak berpoligami terhadap syarat-syarat sebelum berpoligami yakni
meminta izin terhadap istri, mengakibatkan poligami akan dilakukan secara sirri, yakni
perkawinan tersebut dilakukan dibawah tangan tanpa adanya akta nikah yang resmi dikeluarkan
dari Kantor Urusan Agama (KUA). Namun praktik poligami dengan jalan nikah sirri ini
merupakan hal yang sering dilakukan, selain itu poligami yang dilakukan dengan nikah sirri
membuat kurangnyapengetahuan suami terhadap syarat-syarat poligami dalam hukum positif dan
kebanyakan dari suami tidak ingin mengambil resiko lebih tinggi, karena biasanya jika
mengikuti prosedur yang telah di tentukan jarang ada yang berhasil melakukan poligami. Maka
dari itu, poligami menjadi salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak
diperbincangkan sekaligus bersifat kontroversial. Di satu sisi poligami ditolak dengan berbagai
macam argumentasi, bahkan selalu dikaitkan dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.
Pada sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas
dan di pandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena perselingkuhan dan
prostitusi. Analisis dibawah ini akan mengkaji lebih dalam permasalahan poligami ditinjau dari
segi hukum positif dan hukum fikih.

B. Pembahasan Alasan/Prosedur Poligami

A). Perspektif Fikih

Poligami memiliki akar sejarah yang cukup panjang, sepanjang sejarah peradaban manusia itu
sendiri. Sebelum Islam datang ke jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah
mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami pada masa itu dapat disebut poligami tak berbatas,
dimana seorang suami memiliki kewenangan penuh untuk memiliki istri sesuai keinginan
mereka. Lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah yang menentukan
sepenuhnya siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak
terbatas. Para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk mendapatkan sebuah
keadilan.Setelah kedatangan islam dengan adanya ayat-ayat yang membahas perihal poligami,
kendatipun tidak menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan berpoligami hanya
sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil di
antara para istri. Syarat-syarat ini ditemukan di dalam dua ayat poligami yaitu surah an-Nisa'
ayat 3 dan an-Nisa: 129.

"Dan jika kamu punya alasan takut kalau kamu tidak dapat bertindak secara adil kepada
anak- anak yatim, maka kawinilah perempuan dari antara mereka (yang lain) yang sah untuk
kamu, dua, tiga, empat, tapi jika kamu takut bahwa kamu tidak dapat memperlakukan mereka
secara adil, maka nikahilah satu...."

Selanjutnya pada surah yang sama ayat 129 Allah berfirman yang artinya:

"Dan tidak akan ada kekuatan dalam diri kamu untuk memperlakukan istri-istrimu secara
adil, meskipun kamu ingin sekali melakukannya, dan oleh karena itu, janganlah kamu terlalu
cenderung kepada yang satu sehingga mengabaikan yang lain, membiarkannya dalam keadaan
seperti mempunyai atau tidak mempunyai suami."
Dalam penafsiran Asghar, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa Al-Qur'an begitu
berat untuk menerima kebiasaan poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang
ada, maka Al-Qur'an membolehkan seorang pria kawin hingga empat orang istri, dengan syarat
harus bersikap adil dengan semuanya. Dengan mengutip Al-Tabari, menurut Asghar, inti ayat
diatas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi lebih kepada bagaimana berlaku adil
terhadap anak yatim, terlebih lagi ketika mengawini mereka. Apabila seorang suami takut tidak
dapat berperilaku adil terhadap istri-istri yang telah dinikahi, alangkah baiknya hanya menikahi
satu orang saja, untuk meminimalisir adanya ketidakadilan.Berbeda dalam pandangan fikih,
poligami yang di dalam kitab-kitab fikih disebut dengan ta'addud al-zaujat, sebenarnya poligami
tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika di katakan, bahwasanya ulama sepakat
tentang kebolehan poligami, namun dengan persyaratan yang bermacam-macam.

Ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami ketika
akan berpoligami, yakni:

1) Seorang pria harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai
keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi.
2) Seorang pria harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus
diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak yang lainnya.1

Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang memperbolehkan poligami, setidaknya ada


delapan keadaan yang disampaikan oleh para fuqaha perihal diperbolehkannya poligami.

1) Istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan.


2) Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan.
3) Istri sakit ingatan.
4) Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri.
5) Istri memiliki sifat buruk.
6) Istri pergi dari rumah.
7) Ketika terjadi ledakan misalnya sebab perang.
8) Kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak dipenuhi menimbulkan
kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.

1
Abdurrahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari'ah), (Jakarta:Rajawali Press,2002), h.192
dengan adanya syarat-syarat diatas maka dapat memberikan kelonggaran dan keleluasaan yang
cukup terhadap suami yang akan memutuskan untuk berpoligami atau tidak.

sebenarnya menurut fuqaha, kebolehan melakukan poligami tidak perlu diperdebatkan, asalkan
dalam melakukan poligami suami dapat berperilaku adil baik secara fisik maupun non fisik.

Al-Jurjani dalam kitabnya Hikmah Al-Tasyri' wa falsafatuhu menjelaskan ada empat hikmah
dalam berpoligami:

1) Kebolehan Poligami yang dibatasi sampai empat orang menunjukkan bahwa manusia
sebenarnya terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya. Jadi menurutnya, sangatlah
pantas apabila pria itu beristri empat.
2) Batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian pria, yakni
pemerintahan, perdagangan,pertanian dan industri.
3) Bagi seorang suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai waktu yang
cukup senggang tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk mencurahkan kasih
sayang.2

Kita boleh saja sepakat atau tidak dengan hikmah yang digali oleh Al-Jurjawi diatas, namun
setidaknya pernyataan diatas cukup sebagai bukti bahwasanya ulama fikih selalu berusaha untuk
melakukan rasionalisasi agar poligami dapat diterima dengan sangat baik.

B). Perspektif Hukum Positif

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa suami diberi izin untuk beristri
lebih dari seorang, tetapi dengan serangkaian persyaratan yang berat. Dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, yang menjadi dasar diperbolehkannnya poligami di atur pada pasal 3 ayat
(2) yang berbunyi ―pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.3
Dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 1/1974 tentang perkawinan memberikan peluang
kepada seorang suami untuk melakukan poligami. Artinya, terdapat alasan-alasan yuridis yang
membolehkan dan membenarkan dilakukannya poligami oleh seorang suami. Alasan-alasan

2
Ibid, h.193
3
Ali Ahmad Al-Jarjawi, Hikmah Al-Tasyri' wa Falsafatuhu, (Beirut:Dar Al-Fikr, t.t), Juz 11, h. 10
yuridis yang dimaksudkan, sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 1/1974 tersebut,
juga secara rinci terdapat dalam pasal Bab I dasar perkawinan pasal 4 yang menyebabkan
sebagai berikut :
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana dalam pasal 3 ayat (2)
undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam pasal 2 dari huruf (a) sampai dengan huruf (c) dijelaskan bahwa bagi suami yang
bermaksud
melakukan poligami harus memberikan tiga alasan substansial yang benar-benar terbukti, yakni
istri yang tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.Kemudian dalam Pasal 5 Undang-
undang Nomor 1/1974 terdapat dalam Bab I juga dijelaskan sebagai berikut :
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluaan hidup
istriistri dan anak-anak
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri/istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun, atau
karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.Apabila
diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami diatas, dapat dipahami bahwa alasannya
mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang
kekal (sakinah, mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Apabila tiga
alasan yang disebutkan di atas menimpa suami Istri maka dapat dianggap rumah tangga
tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).4Misalnya,
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, tentu hal tersebut akan menggangu kelangsungan
hidup rumah tangga yang mereka jalani. Kemudian jika kebutuhan seksual tidak terpenuhi, hal
ini akan menjadi masalah bagi pasangan suami Istri tersebut. Demikian juga, apabila Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa untuk disembuhkan. Akan halnya alasan
yang ketiga, tidak setiap pasangan suami istri, yang istrinya tidak dapat melahirkan keturunan
memilih alternative untuk berpoligami. Mereka terkadang menempuh cara mengangkat anak
asuh. Namun jika suami ingin berpoligami, adalah wajar dan masuk akal. Karena tanpa ada anak,
tidaklah lengkap. Adapun Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang mempersulit terjadinya
poligami memberikan pemahaman bahwa perempuan atau Istri diangkat derajatnya agar tidak
diperlakukan semena-mena oleh laki-laki. Oleh karena itu, suami ingin berpoligami harus
meminta persetujuan kepada Isteri dan harus dinyatakan di depan majelis hakim di pengadilan.
Dalam hal ini dapat ditemukan titik terang, bahwasanya tidak semua permasalahan yang terjadi
dalam rumah tangga jalan keluarnya adalah poligami, ada juga alternatif lain yang dilakukan
oleh sebagian orang untuk tetap bertahan terhadap pasangannya.Dengan adanya alasan serta
prosedur untuk melaksanakan poligami ini dapat membatasi seorang pria agar poligami tidak
dilakukan hanya untuk memperoleh kesenangan semata. Namun karena diniatkan benar-benar
untuk menjaga keturunan dan lain sebagainya.

4
Zainuddin Ali, Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
h, 47
C. Daftar Pustaka
Dr. H. Amiur Nuruddin, MA & Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia cet ke-3 Jakarta:Kencana, 2006
Zainuddin Ali, Perdata Islam Di Indonesia Jakarta:Sinar Grafika, 2006
Abdurrahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari'ah), Jakarta:Rajawali
Press,2002
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta:LKiS, 2003
Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta:INIS, 2002
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan:Zahir Trading Co Medan, 1975
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:Rajawali Pers, 1998
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia:Berlaku bagi Umat Islam, Jakarta:UI Pers,1986

Anda mungkin juga menyukai